Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-24 Thread Awang Satyana
"Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia konvensi 
maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan bahwa perasaan 
kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini boleh dikatakan tak 
menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat dalam proceedings, maka 
hilanglah mana paper oral mana paper poster. 
   
  Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi oral. 
Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat presentasi 
oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral sama susahnya 
dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan power point 
presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih bisa melakukan 
perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan.
   
  Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu orang 
melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan memberikan bahannya 
ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya dijagai pembuatnya bisa 
setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti siap sedia menjawab pertanyaan 
pengunjung selama posternya digantung. Membawanya ke tempat konvensi pun tak 
sederhana, tak hanya disakui seperti flash disk; tapi mesti dibawa menggunakan 
tabung pipa, dibawa terbang, jauh melintasi benua2 (kalau mengikuti konvensi 
internasional), merepotkan. Dan, biaya membuat poster dengan kualitas cetak 
yang prima sungguh tak murah biayanya. Maka, sungguh tak adil kalau poster 
dikelasduakan sebab dalam banyak hal menyiapkannya lebih susah daripada 
presentasi oral.
   
  Hanya, dalam pengamatan saya, orang2 lebih senang menonton presentasi oral 
daripada presentasi poster. Mengapa ? Sebagian karena kesalahan panitia juga 
yang menempatkan abstrak2 yang menurutnya menarik menjadi presentasi oral; 
sedangkan yang ditaruh di poster yang menurutnya biasa2 saja; atau bila tak 
tertampung di oral, maka ditaruh di poster saja. Sebagian lagi karena penonton 
umumnya pasif, mereka merasa lebih nyaman duduk di ruang yang enak, setengah 
gelap, dan mengikuti presentasi oral dengan nyaman. Coba kalau melihat poster, 
mereka mesti berdiri, berhadapan dengan penulisnya, dan merasa canggung bila 
diam saja tak bertanya. Jadi, para pengunjung poster hanya berjalan-jalan cepat 
melihat poster2 dari jauh. Unrtuk mendekatinya agak enggan, apalagi kalau di 
booth poster itu gak ada orang lain hanya penulisnya. Umumnya si pengunjung tak 
akan mampir untuk berdiskusi dengan penulisnya. Maka, begitu juga alasan 
mengapa booth poster sering juga tak dijagai penulisnya -yang
 lihat aja gak ada kok...
   
  Kalau booth poster bersebelahan dengan booth pameran industri, nah 
celakalah,sebab booth pameran industri selalu menjadi magnet yang paling kuat 
di setiap konvensi.
   
  Maka,kalau poster terasa sebagai kelas dua, ya kesalahannya ada di kita juga. 
Semuanya harus berubah sebab presentasi poster harus dihargai setinggi 
presentasi oral, penghargaannya juga harus sebanyak kategori2 penghargaan di 
oral, jangan dibedakan. Penulis poster harus menyerahkan full paper seperti 
juga oral. 
   
  Tentang nilai cum untuk penulisan makalah, mestinya saat ini sudah direvisi. 
IPA tak mencetak prosiding-nya secara langsung, tetapi berdasarkan pesanan. 
Alasannya, biaya mencetak prosiding IPA itu semakin mahal,sehingga satu volume 
harganya bisa sekitar Rp 1 juta. Memang di penilaian cum ada kategori2 tertentu 
apakah makalahnya dimuat di jurnal nasional, internasional, di publikasi yang 
punya ISBN, atau ISSN, dll. Dalam era digital seperti sekarang mestinya aturan2 
itu ditinjau lagi. 
   
  Menulis paper untuk mengejar nilai cum guna mencapai posisi2 tertentu di 
akademik memang pendorong semangat berkarya; hanya setelah posisi itu tercapai, 
diharapkan jangan berkurang berkaryanya. Menulis memang bisa berkorelasi dengan 
mengejar jabatan, sebab begitu memang rangsangan aturannya; tetapi menulis 
paper sejatinya adalah untuk kemajuan sains yang pada akhirnya berguna juga 
untuk kemajuan bangsa.
   
  Pengalaman pribadi saja, belasan tahun saya telah menulis paper dan berbagai 
publikasi lainnya, sampai saat ini ada 130 publikasi, setengahnya adalah paper2 
ilmiah di berbagai pertemuan atau jurnal2 nasional dan internasional yang ada 
makalah lengkapnya. Tidak ada nilai cum, tidak ada posisi jabatan tertentu yang 
diberikan karena karya2 tulis itu. Yang ada hanyalah perasaan cinta kepada 
geologi yang semakin mendalam. Tetapi begitulah bila orang jatuh cinta, tentu 
banyak ia menulis surat.
   
  salam,
  awang
   
   
  
Eddy Subroto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Mas Syaiful,

He he enggak, saya di Bandung saja (di kantor). Lho kan ITB mempergunakan
jasa AI3 (jangan tanya singkatannya karena saya lupa) dari Jepang. Jadi
kalau saya kirim email, maka setelah melalui servernya ITB, email saya
jalan-jalan dulu ke Jepang dan baru dikirim ke server IAGI. Mungkin di
perjalanan itu jam saya diganti dengan GMT. Jadi kalau ingin tahu saat
saya mengir

Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-24 Thread Eddy Subroto
Untuk orang yang bekerja di instansi tertentu menulis makalah memang punya
beberapa tujuan, antara lain untuk naik jabatan, untuk dapat jalan-jalan
ke tempat lain atau luar negeri, sebagai tuntutan perusahaan, atau karena
memang cinta (seperti kata Pak Awang di bawah).

Ada instansi yang "mapan" yang akan menyiapkan biaya bagi penulis makalah.
Jadi kalau kata Pak Awang "karena jatuh cinta maka banyak menulis surat,"
kalau di perguruan tinggi lebih dari itu: "kalau jatuh cinta banyak
menulis surat dan banyak mengeluarkan biaya." Kan ada plesetan lagunya
Titiek Puspa: "Jatuh cinta banyak biayanya." Kalau saya menulis makalah,
maka saya harus siap pula dengan faktor biaya ini. Mencari sponsor sih
mencari, tetapi kalau sampai tidak dapat sponsor ya saya akan minta
sponsor dari Yang Maha Kuasa. Beruntung saya punya teman sejawat, Pak
Dardji Noeradi, yang seide dengan saya, karena itu saya sering menulis
menulis makalah dengannya. Alhamdulillah, dengan sponsor Yang Maha Kuasa
ini kami dapat presentasi di AAPG Paris (2005), Perth (2006), dan ke
Middle East Geoscience Conference di Bahrain Maret 2008 kemarin. Kami
(saya dan Pak Dardji) sih berdoa untuk nanti ke AAPG Capetown (2 makalah
oral) dan ke AAAPG (Assoc. of Afro-Asian Petroleum Geochemists) Abuja
(Nigeria) (juga 2 makalah oral) akan dapat sponsor entah seluruhnya atau
hanya sebagian saja. Amin.

Beberapa teman saya di perguruan tinggi memang ada yang menulis makalah
untuk "memancing sponsor." Masalahnya, kelompok ini walau makalahnya
diterima kalau kebetulan tidak dapat sponsor, maka mereka tidak jadi atau
batal datang. Saya sering menasihati sambil bergurau kalau mereka itu
telah menghilangkan (mendhalimi) hak orang lain untuk berpresentasi dan
merugikan panitia dan juga hadirin.

Wasalam,
EAS

> "Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia
> konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan
> bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini
> boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat
> dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster.
>
>   Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi
> oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat
> presentasi oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral
> sama susahnya dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan
> power point presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih
> bisa melakukan perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan.
>
>   Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu
> orang melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan
> memberikan bahannya ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya
> dijagai pembuatnya bisa setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti
> siap sedia menjawab pertanyaan pengunjung selama posternya digantung.
> Membawanya ke tempat konvensi pun tak sederhana, tak hanya disakui
> seperti flash disk; tapi mesti dibawa menggunakan tabung pipa, dibawa
> terbang, jauh melintasi benua2 (kalau mengikuti konvensi internasional),
> merepotkan. Dan, biaya membuat poster dengan kualitas cetak yang prima
> sungguh tak murah biayanya. Maka, sungguh tak adil kalau poster
> dikelasduakan sebab dalam banyak hal menyiapkannya lebih susah daripada
> presentasi oral.
>
>   Hanya, dalam pengamatan saya, orang2 lebih senang menonton presentasi
> oral daripada presentasi poster. Mengapa ? Sebagian karena kesalahan
> panitia juga yang menempatkan abstrak2 yang menurutnya menarik menjadi
> presentasi oral; sedangkan yang ditaruh di poster yang menurutnya biasa2
> saja; atau bila tak tertampung di oral, maka ditaruh di poster saja.
> Sebagian lagi karena penonton umumnya pasif, mereka merasa lebih nyaman
> duduk di ruang yang enak, setengah gelap, dan mengikuti presentasi oral
> dengan nyaman. Coba kalau melihat poster, mereka mesti berdiri,
> berhadapan dengan penulisnya, dan merasa canggung bila diam saja tak
> bertanya. Jadi, para pengunjung poster hanya berjalan-jalan cepat
> melihat poster2 dari jauh. Unrtuk mendekatinya agak enggan, apalagi
> kalau di booth poster itu gak ada orang lain hanya penulisnya. Umumnya
> si pengunjung tak akan mampir untuk berdiskusi dengan penulisnya. Maka,
> begitu juga alasan mengapa booth poster sering juga tak dijagai
> penulisnya -yang
>  lihat aja gak ada kok...
>
>   Kalau booth poster bersebelahan dengan booth pameran industri, nah
> celakalah,sebab booth pameran industri selalu menjadi magnet yang paling
> kuat di setiap konvensi.
>
>   Maka,kalau poster terasa sebagai kelas dua, ya kesalahannya ada di kita
> juga. Semuanya harus berubah sebab presentasi poster harus dihargai
> setinggi presentasi oral, penghargaannya juga harus sebanyak kategori2
> penghargaan di oral, jangan dibedakan. Penulis poster harus menyerahkan
> full paper seperti juga oral.
>
>   Tentang nilai cum untuk penulisan makalah, mestinya saat

Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-24 Thread noor syarifuddin
Pak Eddy,

Salut dengan dedikasi pak Eddy (dan pak Dardji) untuk selalu berusaha hadir di 
forum internasional.mudah2an bisa memperluas jaringan komunikasi dengan 
para pakar .
(jadi keingat cerita di paris ya pak...:-).
Kalau ke Abuja, mungkin nanti bisa tolong dikabari kalau-kalau teman-teman yang 
sedang di Port Harcourt dan Lagos bisa ikutan bantu-bantu...paling gak bantu 
tunjukin jalan-jalan he  he  he  ...:-)

salam,
- Original Message 
From: Eddy Subroto <[EMAIL PROTECTED]>
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Friday, April 25, 2008 3:45:58 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

Untuk orang yang bekerja di instansi tertentu menulis makalah memang punya
beberapa tujuan, antara lain untuk naik jabatan, untuk dapat jalan-jalan
ke tempat lain atau luar negeri, sebagai tuntutan perusahaan, atau karena
memang cinta (seperti kata Pak Awang di bawah).

Ada instansi yang "mapan" yang akan menyiapkan biaya bagi penulis makalah.
Jadi kalau kata Pak Awang "karena jatuh cinta maka banyak menulis surat,"
kalau di perguruan tinggi lebih dari itu: "kalau jatuh cinta banyak
menulis surat dan banyak mengeluarkan biaya." Kan ada plesetan lagunya
Titiek Puspa: "Jatuh cinta banyak biayanya." Kalau saya menulis makalah,
maka saya harus siap pula dengan faktor biaya ini. Mencari sponsor sih
mencari, tetapi kalau sampai tidak dapat sponsor ya saya akan minta
sponsor dari Yang Maha Kuasa. Beruntung saya punya teman sejawat, Pak
Dardji Noeradi, yang seide dengan saya, karena itu saya sering menulis
menulis makalah dengannya. Alhamdulillah, dengan sponsor Yang Maha Kuasa
ini kami dapat presentasi di AAPG Paris (2005), Perth (2006), dan ke
Middle East Geoscience Conference di Bahrain Maret 2008 kemarin. Kami
(saya dan Pak Dardji) sih berdoa untuk nanti ke AAPG Capetown (2 makalah
oral) dan ke AAAPG (Assoc. of Afro-Asian Petroleum Geochemists) Abuja
(Nigeria) (juga 2 makalah oral) akan dapat sponsor entah seluruhnya atau
hanya sebagian saja. Amin.

Beberapa teman saya di perguruan tinggi memang ada yang menulis makalah
untuk "memancing sponsor." Masalahnya, kelompok ini walau makalahnya
diterima kalau kebetulan tidak dapat sponsor, maka mereka tidak jadi atau
batal datang. Saya sering menasihati sambil bergurau kalau mereka itu
telah menghilangkan (mendhalimi) hak orang lain untuk berpresentasi dan
merugikan panitia dan juga hadirin.

Wasalam,
EAS

> "Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia
> konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan
> bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini
> boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat
> dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster.
>
>  Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi
> oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat
> presentasi oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral
> sama susahnya dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan
> power point presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih
> bisa melakukan perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan.
>
>  Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu
> orang melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan
> memberikan bahannya ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya
> dijagai pembuatnya bisa setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti
> siap sedia menjawab pertanyaan pengunjung selama posternya digantung.
> Membawanya ke tempat konvensi pun tak sederhana, tak hanya disakui
> seperti flash disk; tapi mesti dibawa menggunakan tabung pipa, dibawa
> terbang, jauh melintasi benua2 (kalau mengikuti konvensi internasional),
> merepotkan. Dan, biaya membuat poster dengan kualitas cetak yang prima
> sungguh tak murah biayanya. Maka, sungguh tak adil kalau poster
> dikelasduakan sebab dalam banyak hal menyiapkannya lebih susah daripada
> presentasi oral.
>
>  Hanya, dalam pengamatan saya, orang2 lebih senang menonton presentasi
> oral daripada presentasi poster. Mengapa ? Sebagian karena kesalahan
> panitia juga yang menempatkan abstrak2 yang menurutnya menarik menjadi
> presentasi oral; sedangkan yang ditaruh di poster yang menurutnya biasa2
> saja; atau bila tak tertampung di oral, maka ditaruh di poster saja.
> Sebagian lagi karena penonton umumnya pasif, mereka merasa lebih nyaman
> duduk di ruang yang enak, setengah gelap, dan mengikuti presentasi oral
> dengan nyaman. Coba kalau melihat poster, mereka mesti berdiri,
> berhadapan dengan penulisnya, dan merasa canggung bila diam saja tak
> bertanya. Jadi, para pengunjung poster hanya berjalan-jalan cepat
> melihat poster2 dari jauh. Unrtuk mendekatinya agak enggan, apalagi
> kalau di booth pos

Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-24 Thread Eddy Subroto
Mas Noor,

Waktu saya nulis email memang saya sambil membayangkan ketika kami makan
malam di rumah Anda di Paris. Rupanya nyambung. Terima kasih atas
perhatian Anda. Memang, kami (saya dan Pak Dardji) ada rasa was-was ke
Abuja karena masalah keamanan. Katanya sih Abuja aman tetapi penerbangan
kami kemungkinan lewat Lagos yang katanya agak mengerikan. Mohon bagi yang
tahu kondisi Nigeria dapat memberikan pencerahan.

Wasalam,
EAS


> Pak Eddy,
>
> Salut dengan dedikasi pak Eddy (dan pak Dardji) untuk selalu berusaha
> hadir di forum internasional.mudah2an bisa memperluas jaringan
> komunikasi dengan para pakar .
> (jadi keingat cerita di paris ya pak...:-).
> Kalau ke Abuja, mungkin nanti bisa tolong dikabari kalau-kalau teman-teman
> yang sedang di Port Harcourt dan Lagos bisa ikutan bantu-bantu...paling
> gak bantu tunjukin jalan-jalan he  he  he  ...:-)
>
> salam,
> - Original Message 
> From: Eddy Subroto <[EMAIL PROTECTED]>
> To: iagi-net@iagi.or.id
> Sent: Friday, April 25, 2008 3:45:58 PM
> Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
>
> Untuk orang yang bekerja di instansi tertentu menulis makalah memang punya
> beberapa tujuan, antara lain untuk naik jabatan, untuk dapat jalan-jalan
> ke tempat lain atau luar negeri, sebagai tuntutan perusahaan, atau karena
> memang cinta (seperti kata Pak Awang di bawah).
>
> Ada instansi yang "mapan" yang akan menyiapkan biaya bagi penulis makalah.
> Jadi kalau kata Pak Awang "karena jatuh cinta maka banyak menulis surat,"
> kalau di perguruan tinggi lebih dari itu: "kalau jatuh cinta banyak
> menulis surat dan banyak mengeluarkan biaya." Kan ada plesetan lagunya
> Titiek Puspa: "Jatuh cinta banyak biayanya." Kalau saya menulis makalah,
> maka saya harus siap pula dengan faktor biaya ini. Mencari sponsor sih
> mencari, tetapi kalau sampai tidak dapat sponsor ya saya akan minta
> sponsor dari Yang Maha Kuasa. Beruntung saya punya teman sejawat, Pak
> Dardji Noeradi, yang seide dengan saya, karena itu saya sering menulis
> menulis makalah dengannya. Alhamdulillah, dengan sponsor Yang Maha Kuasa
> ini kami dapat presentasi di AAPG Paris (2005), Perth (2006), dan ke
> Middle East Geoscience Conference di Bahrain Maret 2008 kemarin. Kami
> (saya dan Pak Dardji) sih berdoa untuk nanti ke AAPG Capetown (2 makalah
> oral) dan ke AAAPG (Assoc. of Afro-Asian Petroleum Geochemists) Abuja
> (Nigeria) (juga 2 makalah oral) akan dapat sponsor entah seluruhnya atau
> hanya sebagian saja. Amin.
>
> Beberapa teman saya di perguruan tinggi memang ada yang menulis makalah
> untuk "memancing sponsor." Masalahnya, kelompok ini walau makalahnya
> diterima kalau kebetulan tidak dapat sponsor, maka mereka tidak jadi atau
> batal datang. Saya sering menasihati sambil bergurau kalau mereka itu
> telah menghilangkan (mendhalimi) hak orang lain untuk berpresentasi dan
> merugikan panitia dan juga hadirin.
>
> Wasalam,
> EAS
>
>> "Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia
>> konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan
>> bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir
>> ini
>> boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya
>> dimuat
>> dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster.
>>
>>  Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi
>> oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat
>> presentasi oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral
>> sama susahnya dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan
>> power point presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih
>> bisa melakukan perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan.
>>
>>  Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu
>> orang melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan
>> memberikan bahannya ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya
>> dijagai pembuatnya bisa setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti
>> siap sedia menjawab pertanyaan pengunjung selama posternya digantung.
>> Membawanya ke tempat konvensi pun tak sederhana, tak hanya disakui
>> seperti flash disk; tapi mesti dibawa menggunakan tabung pipa, dibawa
>> terbang, jauh melintasi benua2 (kalau mengikuti konvensi internasional),
>> merepotkan. Dan, biaya membuat poster dengan kualitas cetak yang prima
>> sungguh tak murah biayanya. Maka, sungguh tak adil kalau poster
>> dikelasduakan sebab dalam banyak hal menyiapkannya lebih susah daripada
>> presentasi oral.
>>
>>  Hanya, dalam pengamatan saya, orang2 l

Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-24 Thread yanto R.Sumantri


Awang 

Jadi seperti kata-nya NIKE "just do it".

Si Abah
(ndak punya sepatu Nike)
> 

 
"Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari
panitia
> konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak
bisa dinafikan
> bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam
lima tahun terakhir ini
> boleh dikatakan tak menganut pembedaan
itu, sekali paper lengkapnya dimuat
> dalam proceedings, maka
hilanglah mana paper oral mana paper poster.
> 
>  
Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi
> oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu
saat
> presentasi oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan
presentasi oral
> sama susahnya dengan menyiapkan poster.
Sekarang, dengan menggunakan
> power point presentation, 10 menit
sebelum presentasi pun kita masih
> bisa melakukan perubahan atas
bahan presentasi bila diperlukan.
> 
>   Presentasi oral
hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu
> orang
melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan
>
memberikan bahannya ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya
> dijagai pembuatnya bisa setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga
mesti
> siap sedia menjawab pertanyaan pengunjung selama posternya
digantung.
> Membawanya ke tempat konvensi pun tak sederhana, tak
hanya disakui
> seperti flash disk; tapi mesti dibawa menggunakan
tabung pipa, dibawa
> terbang, jauh melintasi benua2 (kalau
mengikuti konvensi internasional),
> merepotkan. Dan, biaya
membuat poster dengan kualitas cetak yang prima
> sungguh tak
murah biayanya. Maka, sungguh tak adil kalau poster
>
dikelasduakan sebab dalam banyak hal menyiapkannya lebih susah daripada
> presentasi oral.
> 
>   Hanya, dalam pengamatan
saya, orang2 lebih senang menonton presentasi
> oral daripada
presentasi poster. Mengapa ? Sebagian karena kesalahan
> panitia
juga yang menempatkan abstrak2 yang menurutnya menarik menjadi
>
presentasi oral; sedangkan yang ditaruh di poster yang menurutnya
biasa2
> saja; atau bila tak tertampung di oral, maka ditaruh di
poster saja.
> Sebagian lagi karena penonton umumnya pasif, mereka
merasa lebih nyaman
> duduk di ruang yang enak, setengah gelap,
dan mengikuti presentasi oral
> dengan nyaman. Coba kalau melihat
poster, mereka mesti berdiri,
> berhadapan dengan penulisnya, dan
merasa canggung bila diam saja tak
> bertanya. Jadi, para
pengunjung poster hanya berjalan-jalan cepat
> melihat poster2
dari jauh. Unrtuk mendekatinya agak enggan, apalagi
> kalau di
booth poster itu gak ada orang lain hanya penulisnya. Umumnya
> si
pengunjung tak akan mampir untuk berdiskusi dengan penulisnya. Maka,
> begitu juga alasan mengapa booth poster sering juga tak dijagai
> penulisnya -yang
>  lihat aja gak ada kok...
> 
>   Kalau booth poster bersebelahan dengan booth pameran industri,
nah
> celakalah,sebab booth pameran industri selalu menjadi magnet
yang paling
> kuat di setiap konvensi.
> 
>  
Maka,kalau poster terasa sebagai kelas dua, ya kesalahannya ada di kita
> juga. Semuanya harus berubah sebab presentasi poster harus
dihargai
> setinggi presentasi oral, penghargaannya juga harus
sebanyak kategori2
> penghargaan di oral, jangan dibedakan.
Penulis poster harus menyerahkan
> full paper seperti juga
oral.
> 
>   Tentang nilai cum untuk penulisan makalah,
mestinya saat ini sudah
> direvisi. IPA tak mencetak prosiding-nya
secara langsung, tetapi
> berdasarkan pesanan. Alasannya, biaya
mencetak prosiding IPA itu semakin
> mahal,sehingga satu volume
harganya bisa sekitar Rp 1 juta. Memang di
> penilaian cum ada
kategori2 tertentu apakah makalahnya dimuat di jurnal
> nasional,
internasional, di publikasi yang punya ISBN, atau ISSN, dll.
>
Dalam era digital seperti sekarang mestinya aturan2 itu ditinjau lagi.
> 
>   Menulis paper untuk mengejar nilai cum guna mencapai
posisi2 tertentu di
> akademik memang pendorong semangat berkarya;
hanya setelah posisi itu
> tercapai, diharapkan jangan berkurang
berkaryanya. Menulis memang bisa
> berkorelasi dengan mengejar
jabatan, sebab begitu memang rangsangan
> aturannya; tetapi
menulis paper sejatinya adalah untuk kemajuan sains
> yang pada
akhirnya berguna juga untuk kemajuan bangsa.
> 
>  
Pengalaman pribadi saja, belasan tahun saya telah menulis paper dan
> berbagai publikasi lainnya, sampai saat ini ada 130 publikasi,
> setengahnya adalah paper2 ilmiah di berbagai pertemuan atau
jurnal2
> nasional dan internasional yang ada makalah lengkapnya.
Tidak ada nilai
> cum, tidak ada posisi jabatan tertentu yang
diberikan karena karya2
> tulis itu. Yang ada hanyalah perasaan
cinta kepada geologi yang semakin
> mendalam. Tetapi begitulah
bila orang jatuh cinta, tentu banyak ia
> menulis surat.
>

>   salam,
>   awang
> 
> 
> 
> Eddy Subroto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>   Mas
Syaiful,
> 
> He he enggak, saya di Bandung saja (di
kantor). Lho kan ITB mempergunakan
> jasa AI3 (jangan tanya
singkatannya karena saya lupa) dari Jepang. Jadi
> kalau saya
kirim email, maka setelah melalui server

Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-24 Thread yanto R.Sumantri



Eddy

Kalau mau masuk Nigeria atau Lagos , selalu siap
handy cam , siapa tahu ada peristiwa .
Kalau bisa diambl gambar
gambar-nya , siapa tahu dapat lagi fulus kalau laku dijual.
Selamat
dan sukses selalu.
Apa kata orang jawa ? jER BASUKI MAWA BEYO ?

Si Abah>

 Mas Noor,
> 
> Waktu
saya nulis email memang saya sambil membayangkan ketika kami makan
> malam di rumah Anda di Paris. Rupanya nyambung. Terima kasih
atas
> perhatian Anda. Memang, kami (saya dan Pak Dardji) ada rasa
was-was ke
> Abuja karena masalah keamanan. Katanya sih Abuja aman
tetapi penerbangan
> kami kemungkinan lewat Lagos yang katanya
agak mengerikan. Mohon bagi yang
> tahu kondisi Nigeria dapat
memberikan pencerahan.
> 
> Wasalam,
> EAS
> 
> 
>> Pak Eddy,
>>
>>
Salut dengan dedikasi pak Eddy (dan pak Dardji) untuk selalu berusaha
>> hadir di forum internasional.mudah2an bisa memperluas
jaringan
>> komunikasi dengan para pakar .
>>
(jadi keingat cerita di paris ya pak...:-).
>> Kalau ke Abuja,
mungkin nanti bisa tolong dikabari kalau-kalau
>>
teman-teman
>> yang sedang di Port Harcourt dan Lagos bisa
ikutan bantu-bantu...paling
>> gak bantu tunjukin jalan-jalan
he  he  he  ...:-)
>>
>> salam,
>> -
Original Message 
>>
From: Eddy Subroto
<[EMAIL PROTECTED]>
>> To: iagi-net@iagi.or.id
>> Sent: Friday, April 25, 2008 3:45:58 PM
>> Subject:
Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
>>
>> Untuk orang yang bekerja di instansi tertentu menulis makalah
memang
>> punya
>> beberapa tujuan, antara lain
untuk naik jabatan, untuk dapat jalan-jalan
>> ke tempat lain
atau luar negeri, sebagai tuntutan perusahaan, atau
>>
karena
>> memang cinta (seperti kata Pak Awang di bawah).
>>
>> Ada instansi yang "mapan" yang akan
menyiapkan biaya bagi penulis
>> makalah.
>> Jadi
kalau kata Pak Awang "karena jatuh cinta maka banyak menulis
>> surat,"
>> kalau di perguruan tinggi lebih dari
itu: "kalau jatuh cinta banyak
>> menulis surat dan banyak
mengeluarkan biaya." Kan ada plesetan lagunya
>> Titiek
Puspa: "Jatuh cinta banyak biayanya." Kalau saya menulis
makalah,
>> maka saya harus siap pula dengan faktor biaya ini.
Mencari sponsor sih
>> mencari, tetapi kalau sampai tidak dapat
sponsor ya saya akan minta
>> sponsor dari Yang Maha Kuasa.
Beruntung saya punya teman sejawat, Pak
>> Dardji Noeradi, yang
seide dengan saya, karena itu saya sering menulis
>> menulis
makalah dengannya. Alhamdulillah, dengan sponsor Yang Maha Kuasa
>> ini kami dapat presentasi di AAPG Paris (2005), Perth (2006),
dan ke
>> Middle East Geoscience Conference di Bahrain Maret
2008 kemarin. Kami
>> (saya dan Pak Dardji) sih berdoa untuk
nanti ke AAPG Capetown (2 makalah
>> oral) dan ke AAAPG (Assoc.
of Afro-Asian Petroleum Geochemists) Abuja
>> (Nigeria) (juga 2
makalah oral) akan dapat sponsor entah seluruhnya atau
>> hanya
sebagian saja. Amin.
>>
>> Beberapa teman saya di
perguruan tinggi memang ada yang menulis makalah
>> untuk
"memancing sponsor." Masalahnya, kelompok ini walau
makalahnya
>> diterima kalau kebetulan tidak dapat sponsor,
maka mereka tidak jadi
>> atau
>> batal datang. Saya
sering menasihati sambil bergurau kalau mereka itu
>> telah
menghilangkan (mendhalimi) hak orang lain untuk berpresentasi dan
>> merugikan panitia dan juga hadirin.
>>
>>
Wasalam,
>> EAS
>>
>>>
"Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari
panitia
>>> konvensi maupun peserta konvensi, juga
penulisnya. Tidak bisa dinafikan
>>> bahwa perasaan kelas
dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir
>>> ini
>>> boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper
lengkapnya
>>> dimuat
>>> dalam proceedings,
maka hilanglah mana paper oral mana paper poster.
>>>
>>>  Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan
presentasi
>>> oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu,
tenaga, dan biaya. Dulu saat
>>> presentasi oral masih
menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi
>>> oral
>>> sama susahnya dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan
menggunakan
>>> power point presentation, 10 menit sebelum
presentasi pun kita masih
>>> bisa melakukan perubahan atas
bahan presentasi bila diperlukan.
>>>
>>> 
Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu
>>> orang melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash
disk dan
>>> memberikan bahannya ke panitia untuk di-copy.
Nah, poster : booth-nya
>>> dijagai pembuatnya bisa setengah
h

RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-24 Thread Maryanto (Maryant)

Wah begitu ya Pak Eddy, dengan Pak Dardji, ternyata banyak melanglang
buwana, yang kadang dengan sponsor pribadi juga. 

Ya, baguslah kalau kedepan Oral dan Poster, di hargai sama. Saya malah
sering memilih poster, atas waktu diskusi yang lebih banyak. Komentar
Pak Awang, memang cermat, jeli. Bagus. Yang perlu saya tambah adalah,
banyak diskusi yang bisa lahirkan ide-ide dengan diskusi detil di
Poster. 

Oral presentation, 7-14 slide, durasi 20 menit (0,3 jam). Poster, jauh
lebih banyak slide, 4-8 jam (atau 12-24 kali durasi oral. Pernah saya
ajukan, waktu itu kuduga sepi peminant, dengan dua judul. Pilihan
utamanya poster, pilihan 2nya malah Oral.

Di awali th 2003, dengan utamanya 2 poster. Masing-masing poster berisi
7x7 slide (atau semua 98 slide). Ya, memang satu poster itu saya kotaki
menjadi 7 baris dan 7 lajur, dan slide tinggal tempelkan di dalamnya.
Semakin tambah tahun, semakin banyak data. Sehingga harus memilih lagi,
mengurangi yang kurang penting, tambah yang lebih penting. Th 2004,
dapat sebagi Oral. Wah sedikit banget waktunya. Th 2005, ada 3 poster,
lebih padat. Th 2006, 3 poster dengan lebih padat lagi. Th 2007, dengan
7 poster (3 @ 7x7 slide, 4 dengan tabel kecil-detil). Tiga dinding penuh
semua. Kalau saja ada meja, tentu laptop saya juga saya letakkkan di
situ, untuk display data-data yang belum bisa di tayangkan.

Ide lain, saya buat saja folder (map), berisi teori saya, dan kapan saja
bisa diskusi. Kemana saja saya bawa folder (Salamologi) itu, dan bisa di
buka kapan saja. Di tempat makan, istirahat, jalan-jalan di kereta,
istirahat di airport, juga ketemu di kampus, kantor, dst.

Salam,
Maryanto.

-Original Message-
From: Eddy Subroto [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Friday, April 25, 2008 2:46 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

Untuk orang yang bekerja di instansi tertentu menulis makalah memang
punya beberapa tujuan, antara lain untuk naik jabatan, untuk dapat
jalan-jalan ke tempat lain atau luar negeri, sebagai tuntutan
perusahaan, atau karena memang cinta (seperti kata Pak Awang di bawah).

Ada instansi yang "mapan" yang akan menyiapkan biaya bagi penulis
makalah.
Jadi kalau kata Pak Awang "karena jatuh cinta maka banyak menulis
surat,"
kalau di perguruan tinggi lebih dari itu: "kalau jatuh cinta banyak
menulis surat dan banyak mengeluarkan biaya." Kan ada plesetan lagunya
Titiek Puspa: "Jatuh cinta banyak biayanya." Kalau saya menulis makalah,
maka saya harus siap pula dengan faktor biaya ini. Mencari sponsor sih
mencari, tetapi kalau sampai tidak dapat sponsor ya saya akan minta
sponsor dari Yang Maha Kuasa. Beruntung saya punya teman sejawat, Pak
Dardji Noeradi, yang seide dengan saya, karena itu saya sering menulis
menulis makalah dengannya. Alhamdulillah, dengan sponsor Yang Maha Kuasa
ini kami dapat presentasi di AAPG Paris (2005), Perth (2006), dan ke
Middle East Geoscience Conference di Bahrain Maret 2008 kemarin. Kami
(saya dan Pak Dardji) sih berdoa untuk nanti ke AAPG Capetown (2 makalah
oral) dan ke AAAPG (Assoc. of Afro-Asian Petroleum Geochemists) Abuja
(Nigeria) (juga 2 makalah oral) akan dapat sponsor entah seluruhnya atau
hanya sebagian saja. Amin.

Beberapa teman saya di perguruan tinggi memang ada yang menulis makalah
untuk "memancing sponsor." Masalahnya, kelompok ini walau makalahnya
diterima kalau kebetulan tidak dapat sponsor, maka mereka tidak jadi
atau batal datang. Saya sering menasihati sambil bergurau kalau mereka
itu telah menghilangkan (mendhalimi) hak orang lain untuk berpresentasi
dan merugikan panitia dan juga hadirin.

Wasalam,
EAS

> "Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia 
> konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa 
> dinafikan bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun

> terakhir ini boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper 
> lengkapnya dimuat dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral
mana paper poster.
>
>   Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi

> oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu 
> saat presentasi oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan 
> presentasi oral sama susahnya dengan menyiapkan poster. Sekarang, 
> dengan menggunakan power point presentation, 10 menit sebelum 
> presentasi pun kita masih bisa melakukan perubahan atas bahan
presentasi bila diperlukan.
>
>   Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis 
> itu orang melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan 
> memberikan bahannya ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya 
> dijagai pembuatnya bisa setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga 
> mesti siap sedia menjawab pertanyaan pengunjung selama posternya
digantung.
> Membawanya ke tempat konvensi pun tak sederhana, tak hanya disakui 
> seperti f

RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Thread Herman.Darman
Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di 
majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia (FOSI). 
Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya mula-mula karena 
tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami mendaftarkan majalah ini ke 
LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga tidak banyak mendapat kontribusi. 
Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita Sedimentologi ini adalah majalah atau 
organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau papernya di publish secara domestik, lebih 
baik sekalian INTERNATIONAL. 

Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk 
menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point dan 
mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang sampaikan 
sebelumnya.

Herman




-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM
To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation


"Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia konvensi 
maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan bahwa perasaan 
kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini boleh dikatakan tak 
menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat dalam proceedings, maka 
hilanglah mana paper oral mana paper poster. 
   
  Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi oral. 
Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat presentasi 
oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral sama susahnya 
dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan power point 
presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih bisa melakukan 
perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan.
   
  Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu orang 
melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan memberikan bahannya 
ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya dijagai pembuatnya bisa 
setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti siap sedia menjawab pertanyaan 
pengunjung selama posternya digantung. Membawanya ke tempat konvensi pun tak 
sederhana, tak hanya disakui seperti flash disk; tapi mesti dibawa menggunakan 
tabung pipa, dibawa terbang, jauh melintasi benua2 (kalau mengikuti konvensi 
internasional), merepotkan. Dan, biaya membuat poster dengan kualitas cetak 
yang prima sungguh tak murah biayanya. Maka, sungguh tak adil kalau poster 
dikelasduakan sebab dalam banyak hal menyiapkannya lebih susah daripada 
presentasi oral.
   
  Hanya, dalam pengamatan saya, orang2 lebih senang menonton presentasi oral 
daripada presentasi poster. Mengapa ? Sebagian karena kesalahan panitia juga 
yang menempatkan abstrak2 yang menurutnya menarik menjadi presentasi oral; 
sedangkan yang ditaruh di poster yang menurutnya biasa2 saja; atau bila tak 
tertampung di oral, maka ditaruh di poster saja. Sebagian lagi karena penonton 
umumnya pasif, mereka merasa lebih nyaman duduk di ruang yang enak, setengah 
gelap, dan mengikuti presentasi oral dengan nyaman. Coba kalau melihat poster, 
mereka mesti berdiri, berhadapan dengan penulisnya, dan merasa canggung bila 
diam saja tak bertanya. Jadi, para pengunjung poster hanya berjalan-jalan cepat 
melihat poster2 dari jauh. Unrtuk mendekatinya agak enggan, apalagi kalau di 
booth poster itu gak ada orang lain hanya penulisnya. Umumnya si pengunjung tak 
akan mampir untuk berdiskusi dengan penulisnya. Maka, begitu juga alasan 
mengapa booth poster sering juga tak dijagai penulisnya -yang
 lihat aja gak ada kok...
   
  Kalau booth poster bersebelahan dengan booth pameran industri, nah 
celakalah,sebab booth pameran industri selalu menjadi magnet yang paling kuat 
di setiap konvensi.
   
  Maka,kalau poster terasa sebagai kelas dua, ya kesalahannya ada di kita juga. 
Semuanya harus berubah sebab presentasi poster harus dihargai setinggi 
presentasi oral, penghargaannya juga harus sebanyak kategori2 penghargaan di 
oral, jangan dibedakan. Penulis poster harus menyerahkan full paper seperti 
juga oral. 
   
  Tentang nilai cum untuk penulisan makalah, mestinya saat ini sudah direvisi. 
IPA tak mencetak prosiding-nya secara langsung, tetapi berdasarkan pesanan. 
Alasannya, biaya mencetak prosiding IPA itu semakin mahal,sehingga satu volume 
harganya bisa sekitar Rp 1 juta. Memang di penilaian cum ada kategori2 tertentu 
apakah makalahnya dimuat di jurnal nasional, internasional, di publikasi yang 
punya ISBN, atau ISSN, dll. Dalam era digital seperti sekarang mestinya aturan2 
itu ditinjau lagi. 
   
  Menulis paper untuk mengejar nilai cum guna mencapai posisi2 tertentu di 
akademik memang pendorong semangat berkarya; hanya setelah posisi itu tercapai, 
diharapkan jangan berkurang berkaryanya. Menulis memang bisa berkorelasi dengan 
mengejar jabatan, sebab begitu memang rangsangan aturannya; t

Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Thread baginda . saragih
Pak Edi dan Pak Darji,

Untuk sampai ke Abuja kita harus transit dulu di Lagos.
Dari Lagos Internatinal Airport  ke Lokal Air port (untuk penerbangan 
Lagos-Abuja) jarak nya sekitar  2 km.
Disini kita perlu transportasi (taxi lokal tidak recommended, security 
issue). Biasanya kita (TOTAL staff)  di jemput dan diantar oleh TOTAL 
protokoler.
Untuk case Pak Eddy/Pak Dardji kita disini bersama teman Indonesia (Mas 
Fata cs) yang di Lagos sedang  coba cari solusinya, apakah bisa pakai 
TOTAL protokoler atau pakai sopir (mobil) salah seorang Expatriat yang di 
Lagos.
Kebetulan saya domisilinya di Port Harcourt (Balikpapan nya Nigeria), 
bukan di Lagos. Kalu sempat nanti mampir juga Ke Port Harcourt pak.

Di Abuja, security level jauh lebih baik. Kalau sampai siang hari, bisa 
paki taxi airport ke hotel, kalu sampainya larut  malam, mungkin ada 
baiknya kontak dulu dengan administratornya AAPG disana, bisa ndak di 
jemput ke Airport.

Salam dari Nigeria,

Baginda
Mantan anak bimbingan P Dardji.




"Eddy Subroto" <[EMAIL PROTECTED]> 
25/04/2008 05:20 PM
Please respond to
[EMAIL PROTECTED]


To
[EMAIL PROTECTED]
cc
[EMAIL PROTECTED]
Subject
Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation






Halo Rio,

Selalu saya mengatakan, bahwa seorang pengajar itu akan bahagia kalau
bekas anak didiknya itu lebih sukses dan lebih pintar dari dirinya.
Selamat ya Rio.

Terima kasih pula untuk bantuannya menghubungkan saya dengan Baginda. Halo
Baginda apa kabar? Selamat ya kalian telah "menjadi orang."

Akan tetapi, melalui Pak Noor Syarifudin, saya telah dihubungkan dengan
Pak Fata yang juga dari Total dan sekarang sedang di Nigeria. Jadi
sementara ini saya sedang "diskusi" dengan Pak Fata.

OK ya sekian dulu. Selamat berakhir minggu. Saya belum pernah ke Pau, saya
hanya dengar cerita dari teman di BPMIGAS kalau mereka harus meninjau ke
Total di Pau.

Wasalam,
Eddy

> Hallo Pak Eddy
> Selamat pagi dan selamat sore di Indonesia tercinta.
> Apa kabarnya nih Pak...
> Semoga selalu sehat dan sukses selalu ya...
> Saya saat ini sedang IA (international assignment)  di Total E&P France
> untuk 2 tahun,
> tapi saya tidak di Paris, melainkan di kota Pau..
> Untuk informasi Nigeria, kebetulan ada teman kita Baginda Saragih ('95)
> yang sedang IA juga disana dan sudah menetap lebih dari setahun.
> Mungkin bisa dapat informasi lebih tentang kondisi Nigeria dan Pak Darji
> pasti senang juga bila dapat berjumpa Baginda disana.
> Kalo ada kesempatan maen ke Pau/france, bisa kontak saya Pak, manatau 
ada
> yang bisa saya bantu atau sekedar menjadi guide..hehe...
>
> Baginda,
> saya cc emailnya ya
>
> Salam Sukses Pak Eddy..
>
>
> Regards
> Rio Sitorus.
> Mantan anak bimbingan TA
>
>
>
>
> Thanks and Best Regards
> """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
> Rio SITORUS
> GSR/TG/COP/OPE
> TOTAL CSTJF Pau, Bureau BA1015
> Telp : 33.(0)5 59 83 52 40
> Fax  : 33.(0)5 59 83 51 00
> Email : [EMAIL PROTECTED]
> """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
>
>
>
>  "Eddy Subroto"
>  <[EMAIL PROTECTED]
>  c.id> To
>iagi-net@iagi.or.id
>  25/04/2008 11:28 cc
>
> Subject
>  Please respond to Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs 
Oral
>  <[EMAIL PROTECTED] Presentation
>.id>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Mas Noor,
>
> Waktu saya nulis email memang saya sambil membayangkan ketika kami makan
> malam di rumah Anda di Paris. Rupanya nyambung. Terima kasih atas
> perhatian Anda. Memang, kami (saya dan Pak Dardji) ada rasa was-was ke
> Abuja karena masalah keamanan. Katanya sih Abuja aman tetapi penerbangan
> kami kemungkinan lewat Lagos yang katanya agak mengerikan. Mohon bagi 
yang
> tahu kondisi Nigeria dapat memberikan pencerahan.
>
> Wasalam,
> EAS
>
>
>> Pak Eddy,
>>
>> Salut dengan dedikasi pak Eddy (dan pak Dardji) untuk selalu berusaha
>> hadir di forum internasi

RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Thread Awang Harun Satyana
Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi saat 
saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI). Saat ini 
MGI punya no. ISSN 0216-1061. "Wah, kalau hanya ISSN malas-lah, coba naikkan 
dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan" begitu kata seorang 
teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih tinggi daripada 
nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya dengan menyumbang 
tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir "scientist must write" Maka MGI pun 
sangat sepi dikontribusi...

Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya 
memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat 
judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya, 
semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal 
(jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang 
ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya 
(untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).

Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka Robert 
Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007 (kami saat itu 
sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa) tercenung melihat 
kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau perguruan tinggi, tetapi 
dari BPMIGAS. "You did your research as a hobby ?", begitu tanyanya. "Yes, I 
did", jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi ekspresi cinta. Orang yang 
jatuh cinta tak akan pernah berhitung, "just do it" (kata Abah), walaupun 
dengan nilai kum : 0.

Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad, tekun, 
berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi bahan bakar 
perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu dan berdebat 
dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan seorang doktor 
riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan pertemuan dan 
perdebatan melalui forum-forum ilmiah.

Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !

Salam,
awang

-Original Message-
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++
To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di 
majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia (FOSI). 
Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya mula-mula karena 
tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami mendaftarkan majalah ini ke 
LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga tidak banyak mendapat kontribusi. 
Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita Sedimentologi ini adalah majalah atau 
organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau papernya di publish secara domestik, lebih 
baik sekalian INTERNATIONAL.

Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk 
menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point dan 
mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang sampaikan 
sebelumnya.

Herman




-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM
To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation


"Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia konvensi 
maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan bahwa perasaan 
kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini boleh dikatakan tak 
menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat dalam proceedings, maka 
hilanglah mana paper oral mana paper poster.

  Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi oral. 
Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat presentasi 
oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral sama susahnya 
dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan power point 
presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih bisa melakukan 
perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan.

  Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu orang 
melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan memberikan bahannya 
ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya dijagai pembuatnya bisa 
setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti siap sedia menjawab pertanyaan 
pengunjung selama posternya digantung. Membawanya ke tempat konvensi pun tak 
sederhana, tak hanya disakui seperti flash disk; tapi mesti dibawa menggunakan 
tabung pipa, dibawa terbang, jauh melintasi benua2 (kalau mengikuti konvensi 
internasional), merepotkan. Dan, biaya membuat poster dengan kualitas cetak 
yang prima sungguh tak murah biayanya. Maka, sungguh tak adil kalau 

RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Thread Eddy Subroto
Mas Awang,

Saya mau memperjelas sedikit, karena saya tidak yakin kalau ada permintaan
pengubahan dari ISSN ke ISBN. Karena MGI adalah majalah/jurnal, maka ya
tentu saja pendaftarannya akan memakai ISSN (serial) dan bukan ISBN
(book). Di dunia akademik, keduanya diakui dan mendapat nilai yang cukup
tinggi. Yang menjadi perhatian para akademisi adalah aturan yang
menyebutkan adanya akreditasi jurnal. Depdiknas melalui Dikti (Pendidikan
Tinggi) mengeluarkan akreditasi jurnal; A, B, C, dan tidak terakreditasi,
sekarang berubah menjadi A, B dan tidak terakreditasi. Untuk naik jabatan
ke Lektor Kepala, apalagi ke Guru Besar maka makalah yang dapat
diperhitungkan adalah makalah yang dimuat di jurnal terakreditasi. Jadi
kalau makalah seorang akademisi dimuat di jurnal tidak terakreditasi, maka
makalahnya masih dapat poin akan tetapi tidak dapat digunakan sebagai
makalah utama untuk kenaikan jabatannya.

Saya tadi bertemu di dua rapat dengan Pak Zaim dan karena cerita saya
dianggap sudah jelas maka beliau tidak mau menambah komentarnya di milis
ini. Nah, bagi kami yang hobi menulis, tidak masalah apakah makalah kami
akan dimuat di buku prosidings atau di CD (yang sulit dipakai naik
jabatan). Walau AAPG mentradisikan CD toh kami tetap saja memasukkan
makalah ke situ. Kalau tidak ada orang yang ngotot seperti kami, bagaimana
mungkin kita akan mengubah tradisi?

Wasalam,
EAS


> Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi
> saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI).
> Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. "Wah, kalau hanya ISSN malas-lah,
> coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan"
> begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN
> lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain
> rupanya dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir
> "scientist must write" Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi...
>
> Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya
> memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat
> judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya,
> semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di
> jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang
> terkenal, yang ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya);
> semua ada nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).
>
> Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka
> Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007
> (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa)
> tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau
> perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. "You did your research as a hobby
> ?", begitu tanyanya. "Yes, I did", jawab saya. Sebenarnya bukan hobi,
> tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung,
> "just do it" (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0.
>
> Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad,
> tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi
> bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu
> dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia
> bukan seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan
> dengan pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah.
>
> Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !
>
> Salam,
> awang
>
> -Original Message-
> From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
> Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++
> To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
> Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
>
> Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di
> majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia
> (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya
> mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami
> mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga
> tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita
> Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau
> papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL.
>
> Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk
> menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point
> dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang
> sampaikan sebelumnya.
>
> Herman
>
>
>
>
> -Original Message-
> From: Awang Sat

Re: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Thread Ismail Zaini

Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !

Paling tidak nulis di millis , tapi itupun kdg kdg  msh   susah juga.. 
kalau tidak hoby..itu tadi )


ISM

- Original Message - 
From: "Awang Harun Satyana" <[EMAIL PROTECTED]>

To: 
Sent: Friday, April 25, 2008 1:09 AM
Subject: RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation


Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi saat 
saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI). Saat 
ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. "Wah, kalau hanya ISSN malas-lah, coba 
naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan" begitu kata 
seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih tinggi 
daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya dengan 
menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir "scientist must write" 
Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi...


Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya 
memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat 
judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya, 
semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal 
(jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang 
ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya 
(untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).


Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka Robert 
Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007 (kami saat 
itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa) tercenung 
melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau perguruan 
tinggi, tetapi dari BPMIGAS. "You did your research as a hobby ?", begitu 
tanyanya. "Yes, I did", jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi ekspresi 
cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung, "just do it" (kata 
Abah), walaupun dengan nilai kum : 0.


Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad, 
tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi 
bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu 
dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan 
seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan 
pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah.


Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !

Salam,
awang

-Original Message-
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++
To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di 
majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia 
(FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya 
mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami 
mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga 
tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita 
Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau 
papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL.


Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk 
menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point 
dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang 
sampaikan sebelumnya.


Herman




-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM
To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation


"Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia 
konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan 
bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini 
boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat 
dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster.


 Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi oral. 
Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat presentasi 
oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral sama susahnya 
dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan power point 
presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih bisa melakukan 
perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan.


 Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu 
orang melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan memberikan 
bahannya ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya dijagai 
pembuatnya bisa setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti siap s

Re: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Thread mohammad syaiful
tampaknya perlu diadakan pertemuan yg mengundang perwakilan dari
organisasi2 (profesi) utk berdiskusi tentang presentasi dalam bentuk
oral dan poster ini. ada ipa, ada hagi, ada iatmi, dan tentu saja ada
iagi, dll.

bayangan saya, tentunya ada standar yg sama di antara para organisasi
tsb utk pengadaan makalah dan pelaksanaan presentasinya (sekali lagi,
baik oral maupun poster).

hasilnya enggak usah muluk2, tidak terlalu mengikat, tetapi berupa
kesepakatan saja agar penulisan makalah di tanah-air semakin baik dan
pelaksanaan pit-nya bertambah ok.

salam,
syaiful

On 4/25/08, Ismail Zaini <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !
>  
>  Paling tidak nulis di millis , tapi itupun kdg kdg  msh   susah juga..
> kalau tidak hoby..itu tadi )
>
>  ISM
>
>  - Original Message - From: "Awang Harun Satyana"
> <[EMAIL PROTECTED]>
>  To: 
>  Sent: Friday, April 25, 2008 1:09 AM
>  Subject: RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
>
>
>
>  Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi
> saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI).
> Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. "Wah, kalau hanya ISSN malas-lah,
> coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan" begitu
> kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih
> tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya
> dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir "scientist must
> write" Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi...
>
>  Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya
> memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat
> judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya,
> semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal
> (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang
> ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya
> (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).
>
>  Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka
> Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007
> (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa)
> tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau
> perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. "You did your research as a hobby ?",
> begitu tanyanya. "Yes, I did", jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi
> ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung, "just do
> it" (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0.
>
>  Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad,
> tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi
> bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu
> dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan
> seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan
> pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah.
>
>  Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !
>
>  Salam,
>  awang
>
>  -Original Message-
>  From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
>  Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++
>  To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
>  Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
>
>  Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di
> majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia
> (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya
> mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami
> mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga
> tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita
> Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau
> papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL.
>
>  Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk
> menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point
> dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang
> sampaikan sebelumnya.
>
>  Herman
>
>
>
>
>  -Original Message-
>  From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]
>  Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM
>  To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI
>  Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
>
>
>  "Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan b

RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Thread Awang Satyana
Terima kasih Pak Eddy atas penjelesannya, mungkin saya salah dengar dulu itu, 
yang dimaksudkannya barangkali adalah dari ISSN ke ISSN tetapi dengan status 
akreditasi yang berbeda.
   
  CD IPA sama persis dengan buku proceedings-nya, hanya yang bukunya telah 
memiliki ISBN. Aneh rasanya kalau makalah yang sama di CD dan bukunya, tetapi 
tak bisa di-claim hanya gara-gara di dalam CD. Bagaimana kalau di-print saja 
Pak yang di CD itu dan cukup ditanyakan saja ke IPA berapa nomor ISBN 
proceedings-nya.
   
  salam,
  awang

Eddy Subroto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Mas Awang,

Saya mau memperjelas sedikit, karena saya tidak yakin kalau ada permintaan
pengubahan dari ISSN ke ISBN. Karena MGI adalah majalah/jurnal, maka ya
tentu saja pendaftarannya akan memakai ISSN (serial) dan bukan ISBN
(book). Di dunia akademik, keduanya diakui dan mendapat nilai yang cukup
tinggi. Yang menjadi perhatian para akademisi adalah aturan yang
menyebutkan adanya akreditasi jurnal. Depdiknas melalui Dikti (Pendidikan
Tinggi) mengeluarkan akreditasi jurnal; A, B, C, dan tidak terakreditasi,
sekarang berubah menjadi A, B dan tidak terakreditasi. Untuk naik jabatan
ke Lektor Kepala, apalagi ke Guru Besar maka makalah yang dapat
diperhitungkan adalah makalah yang dimuat di jurnal terakreditasi. Jadi
kalau makalah seorang akademisi dimuat di jurnal tidak terakreditasi, maka
makalahnya masih dapat poin akan tetapi tidak dapat digunakan sebagai
makalah utama untuk kenaikan jabatannya.

Saya tadi bertemu di dua rapat dengan Pak Zaim dan karena cerita saya
dianggap sudah jelas maka beliau tidak mau menambah komentarnya di milis
ini. Nah, bagi kami yang hobi menulis, tidak masalah apakah makalah kami
akan dimuat di buku prosidings atau di CD (yang sulit dipakai naik
jabatan). Walau AAPG mentradisikan CD toh kami tetap saja memasukkan
makalah ke situ. Kalau tidak ada orang yang ngotot seperti kami, bagaimana
mungkin kita akan mengubah tradisi?

Wasalam,
EAS


> Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi
> saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI).
> Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. "Wah, kalau hanya ISSN malas-lah,
> coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan"
> begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN
> lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain
> rupanya dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir
> "scientist must write" Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi...
>
> Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya
> memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat
> judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya,
> semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di
> jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang
> terkenal, yang ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya);
> semua ada nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).
>
> Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka
> Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007
> (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa)
> tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau
> perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. "You did your research as a hobby
> ?", begitu tanyanya. "Yes, I did", jawab saya. Sebenarnya bukan hobi,
> tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung,
> "just do it" (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0.
>
> Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad,
> tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi
> bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu
> dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia
> bukan seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan
> dengan pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah.
>
> Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !
>
> Salam,
> awang
>
> -Original Message-----
> From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
> Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++
> To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
> Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
>
> Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di
> majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia
> (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya
> mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami
> mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga
> tidak banyak

RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-28 Thread yanto R.Sumantri



> Awang 

Jangan bilang ndak dapat apapun akh , Anda
melakukan sesuatu dengan dasar cinta maka cinta pula yang akan datang pada
Anda .
Apa itu ?
Anda dicintai oleh seluruh rekan ahli kebumian,
PERCAYAl-ah bahwa hal itu telah terjadi.

Si Abah



   Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan
kebanyakan teman akademisi
> saat saya minta menyumbang tulisan
untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI).
> Saat ini MGI punya no.
ISSN 0216-1061. "Wah, kalau hanya ISSN malas-lah,
> coba
naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan"
> begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal
ber-ISBN
> lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN.
Hm...ada maksud lain
> rupanya dengan menyumbang tulisan itu,
tadinya saya hanya berpikir
> "scientist must write"
Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi...
> 
> Seorang
kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya
> memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka
predikat
> judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di
akademik kelihatannya,
> semua ada perhitungannya. Berapa paper di
simposium, berapa paper di
> jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal
internasional dengan ISBN, yang
> terkenal, yang ada peer
review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya);
> semua ada
nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).
>

> Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya
begitu. Maka
> Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya
saat pertemuan IPA 2007
> (kami saat itu sebagai dua pembicara
yang berurutan tentang tektonik Jawa)
> tercenung melihat kartu
nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau
> perguruan tinggi,
tetapi dari BPMIGAS. "You did your research as a hobby
>
?", begitu tanyanya. "Yes, I did", jawab saya. Sebenarnya
bukan hobi,
> tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak
akan pernah berhitung,
> "just do it" (kata Abah),
walaupun dengan nilai kum : 0.
> 
> Siapapun bisa dan
boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad,
> tekun,
berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi
> bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia
bertemu
> dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak
risetnya (karena ia
> bukan seorang doktor riset atau bukan doktor
akademik) akan ditentukan
> dengan pertemuan dan perdebatan
melalui forum-forum ilmiah.
> 
> Mari meneliti dan menulis
walaupun tanpa apresiasi apa pun !
> 
> Salam,
>
awang
> 
> -Original Message-
>
From:
[EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
> Sent:
Friday, April 25, 2008 2:07 C++
> To: iagi-net@iagi.or.id;
[EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
> Subject: RE:
[iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
> 
> Saya mau
sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di
>
majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia
> (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan,
alasannya
> mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena
hal ini kami
> mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat
ISSN / ISBN masih juga
> tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi
alasannya ganti: FOSI / Berita
> Sedimentologi ini adalah majalah
atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau
> papernya di publish
secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL.
> 
>
Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk
> menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum /
credit point
> dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau
menulis seperti Awang
> sampaikan sebelumnya.
> 
>
Herman
> 
> 
> 
> 
> -Original
Message-
>
From: Awang Satyana
[mailto:[EMAIL PROTECTED]
> Sent: Thursday, April 24, 2008
6:53 PM
> To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI
>
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
> 
> 
> "Perasaan" bahwa poster kelas dua harus
dihapuskan baik dari panitia
> konvensi maupun peserta konvensi,
juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan
> bahwa perasaan kelas dua
itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini
> boleh dikatakan
tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat
> dalam
proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster.
>

>   Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan
presentasi
> oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga,
dan biaya. Dulu saat
> presentasi oral masih menggunakan slide 35
mm menyiapkan presentasi oral
> sama susahnya dengan menyiapkan
poster. Sekarang, dengan menggunakan
> power point presentation,
10 menit sebelum presentasi pun kita masih
> bisa melakukan
perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan.
> 

RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-28 Thread Awang Satyana
Hm..filosofi yang dalam Abah, terima kasih atas pengingatannya, benar dan saya 
percaya.
   
  Jadi ingat nasihat Sang Guru kepada Almitra :
   
  "Pabila cinta memanggilmu, ikutilah dia, walau jalannya terjal berliku-liku. 
Dan pabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang 
tersembunyi di sela sayap itu melukaimu."
   
  "Cinta tak memberikan apa-apa, kecuali keseluruhan dirinya,utuh-penuh. Pun 
tidak mengambil apa-apa, kecuali dirinya sendiri." (Kahlil Gibran - Sang Nabi)
   
  salam,
  awang
   
   
   
   
  
"yanto R.Sumantri" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  


> Awang 

Jangan bilang ndak dapat apapun akh , Anda
melakukan sesuatu dengan dasar cinta maka cinta pula yang akan datang pada
Anda .
Apa itu ?
Anda dicintai oleh seluruh rekan ahli kebumian,
PERCAYAl-ah bahwa hal itu telah terjadi.

Si Abah


   
-
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[iagi-net-l] Lagos....Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-26 Thread Franciscus B Sinartio
Pak Eddy,
Lagos aman-aman saja. saya pernah hidup di Lagos sekitar satu setengah tahun.
Mungkin harus bermalam satu malam di Lagos, karena biasanya penerbangan sampai 
sore di Lagos.
besoknya bisa terbang ke Abuja.  di dekat airport ada beberapa hotel yang cukup 
aman.
saya bisa tanyain teman yang masih disana.
Jendra juga ikut di milis inikan? Jendra tahu nama hotel yang dekat airport ?
Kalau Abuja juga aman2 saja cuma saya sendiri tidak pernah kesana.
Kalau ke Port Harcourt yah memang harus hati-hati.

Sejak Akhir 2007 memang banyak perampokan di Lagos, tetapi itu terjadi diatas 
jam 9 malaman. dan terjadinya di restoran, bar, diskotek dan casino.   dan 
biasanya banyak terjadi perampokan dekat Natal dan akhir tahun soalnya perampok 
nya ngumpulin duit untuk berakhir tahun.

yah macam Jakarta saja ada daerah yang rawan perampokan dan banyak daerah aman. 
di Nigeria mereka tidak membom fasilitas umum yang banyak orangnya.  

Sayang saya sudah tidak di Lagos.

Tetapi kalau perlu info lebih jauh bisa lewat japri,  email ini saya sengaja 
jawab ke milis siapa tahu ada orang lain yang juga akan ke Abuja.

salam,
frank



- Original Message 
From: Eddy Subroto <[EMAIL PROTECTED]>
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Friday, April 25, 2008 5:28:21 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

Mas Noor,

Waktu saya nulis email memang saya sambil membayangkan ketika kami makan
malam di rumah Anda di Paris. Rupanya nyambung. Terima kasih atas
perhatian Anda. Memang, kami (saya dan Pak Dardji) ada rasa was-was ke
Abuja karena masalah keamanan. Katanya sih Abuja aman tetapi penerbangan
kami kemungkinan lewat Lagos yang katanya agak mengerikan. Mohon bagi yang
tahu kondisi Nigeria dapat memberikan pencerahan.

Wasalam,
EAS


> Pak Eddy,
>
> Salut dengan dedikasi pak Eddy (dan pak Dardji) untuk selalu berusaha
> hadir di forum internasional.mudah2an bisa memperluas jaringan
> komunikasi dengan para pakar .
> (jadi keingat cerita di paris ya pak...:-).
> Kalau ke Abuja, mungkin nanti bisa tolong dikabari kalau-kalau teman-teman
> yang sedang di Port Harcourt dan Lagos bisa ikutan bantu-bantu...paling
> gak bantu tunjukin jalan-jalan he  he  he  ...:-)
>
> salam,
> - Original Message 
> From: Eddy Subroto <[EMAIL PROTECTED]>
> To: iagi-net@iagi.or.id
> Sent: Friday, April 25, 2008 3:45:58 PM
> Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
>
> Untuk orang yang bekerja di instansi tertentu menulis makalah memang punya
> beberapa tujuan, antara lain untuk naik jabatan, untuk dapat jalan-jalan
> ke tempat lain atau luar negeri, sebagai tuntutan perusahaan, atau karena
> memang cinta (seperti kata Pak Awang di bawah).
>
> Ada instansi yang "mapan" yang akan menyiapkan biaya bagi penulis makalah.
> Jadi kalau kata Pak Awang "karena jatuh cinta maka banyak menulis surat,"
> kalau di perguruan tinggi lebih dari itu: "kalau jatuh cinta banyak
> menulis surat dan banyak mengeluarkan biaya." Kan ada plesetan lagunya
> Titiek Puspa: "Jatuh cinta banyak biayanya." Kalau saya menulis makalah,
> maka saya harus siap pula dengan faktor biaya ini. Mencari sponsor sih
> mencari, tetapi kalau sampai tidak dapat sponsor ya saya akan minta
> sponsor dari Yang Maha Kuasa. Beruntung saya punya teman sejawat, Pak
> Dardji Noeradi, yang seide dengan saya, karena itu saya sering menulis
> menulis makalah dengannya. Alhamdulillah, dengan sponsor Yang Maha Kuasa
> ini kami dapat presentasi di AAPG Paris (2005), Perth (2006), dan ke
> Middle East Geoscience Conference di Bahrain Maret 2008 kemarin. Kami
> (saya dan Pak Dardji) sih berdoa untuk nanti ke AAPG Capetown (2 makalah
> oral) dan ke AAAPG (Assoc. of Afro-Asian Petroleum Geochemists) Abuja
> (Nigeria) (juga 2 makalah oral) akan dapat sponsor entah seluruhnya atau
> hanya sebagian saja. Amin.
>
> Beberapa teman saya di perguruan tinggi memang ada yang menulis makalah
> untuk "memancing sponsor." Masalahnya, kelompok ini walau makalahnya
> diterima kalau kebetulan tidak dapat sponsor, maka mereka tidak jadi atau
> batal datang. Saya sering menasihati sambil bergurau kalau mereka itu
> telah menghilangkan (mendhalimi) hak orang lain untuk berpresentasi dan
> merugikan panitia dan juga hadirin.
>
> Wasalam,
> EAS
>
>> "Perasaan" bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia
>> konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan
>> bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir
>> ini
>> boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya
>> dimuat
>> dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster.
>>
>>  Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi
>> oral.