Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)

2007-03-01 Terurut Topik Franciscus B Sinartio
mau nambahin lagi.
ARCO sekitar akhir 80 an kasih beasiswa ke mahasiswa yang kurang mampu dan 
harus bekerja sambilan untuk membiayai hidup nya. terutama kalau kerjaannya 
kerjaan kasar atau pekerjaan yang membahayakan.
waktu itu IP tidak dijadikan standard, tetapi peningkatan IP di harapkan 
setelah diberikan beasiswa.

masih ada kah perusahaan/orang yang mau memberikan bantuan kepada yang kurang 
beruntung supaya mereka bisa memperbaiki hidup mereka?

fbs
 
- Original Message 
From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Thursday, March 1, 2007 12:41:01 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field 
study opportunity_v1)


Aku berani bertaruh ada hubungan antara IP dengan kecerdasan dan
bahkan kesuksesan. Coba saja diuji dengan statistik, saya yakin
modus akan muncul pada pernyataan diatas yaitu ada hubungan antara
kecerdasan, IP dan kesuksesan.

Sayangnya, selalu saja oarang yag sukses karena tiga hal diatas
relatif diam dan tidak mengemuka suaranya. Lebih banyak
argumentasi-argumentasi yang berlandaskan azas ANOMALI yang muncul
secara acak dan kasuistis. misal :
- Aku dulu IPnya rendah toh sekarang bisa sukses.
- Aku ini tidak tergolong cerdas (IQ nunduk) toh sekarang bisa menjadi manajer
- Walaupun aku IP tinggi aku ini bukan anak cerdas, tetapi tetep juga sukses.

Salah satu argumentasi anomali :
Anakku dulu disuruh blajar susah banget dia bilang Bill Gates ...
sekolah ndak lulus sekarang kaya, tetapi anaknya tetep sekolah dan
kiliah, aku cuman jawab Lah emangnya kamu Billgates ? Kamu cuman
anaknya Rovicky yg biasa saja, dan bukan cerdas, jadi tetep saja kau
harus kerja keras

Mungkin kita bisa buat crosplot 3D antara kecerdasan, kesuksesan, dan
IP disekolah. Aku kok yakin untuk tujuan praktis menggunakan IP
sebagai tolok ukur seleksi masih akan valid dan dapat dipertanggung
jawabkan alasannya. Nah kalau bisa ditambah dengan faktor aktif
organisasi pasti juga akan terlihat hasilnya.

Memang bener
IP tinggi saja ... tidak cukup
Organisasi thok  ndak memenuhi syarat
Cerdas doank ... sampun mundur aja sana

Jadi, buat mahasiswa -- kalau mau sukses harus punya nulai plus ketiga-tiganya
Memang tidak ada superman di dunia ini, tetapi dunia ini sangat kejam
sekejam ibu kota dan untuk saat ini bagus saja tidak cukup ! 
mesti bagsbang !

rdp
ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo

On 3/1/07, Franciscus B Sinartio [EMAIL PROTECTED] wrote:
 ikutan juga ya..
 menarik juga ulasan2 yang sudah ada.
 kalau misalnya yang kurang mampu selalu belajar dalam hidupnya maka saya 
 yakin dia bisa berhasil dalam hidup(karier) juga.
 jadi metode yang dilakukan untuk dapat nilai tinggi diterapkan dalam hidup.

 IP memang tidak selalu bisa di identikkan dengan kecerdasan.  tapi apakah 
 hanya orang yang cerdas yang bisa berhasil dalam pekerjaan?
 menurut artikel2 yang sudah banyak di terbitkan, manusia itu hanya pakai 
 kurang dari 15 % dari kapasitas otaknya.  Einstein saja katanya hanya pakai 
 15 % an.  saya tidak tahu bagaimana ngukurnya.  tapi banyak sekali yang quote 
 hasil penelitian ini.
 Nah kalau ini benar maka tidak perlu jadi orang jenius,  cukup orang 
 biasa-biasa saja yang mau pake kapasitas otaknya.
 dan lingkungan pergaulan dan tantangan yang diterima yang membuat orang 
 memakai otaknya secara optimum atau tidak . (justru itu ada pendapat seperti 
 yang disebutkan Oki)
 jadi mungkin tidak ada orang yang dilahirkan sudah menjadi jenius dan lebih 
 dari pada yang lain.

 kalau menurut saya recruitment yang optimum akan dicapai kalau memakai 
 prinsip put the right man on the right place.
 mungkin perusahaan minyak boleh belajar dari rekruitmen pemain sepakbola atau 
 olahraga yang lain di klub2 dunia.
 setiap calon pemain di recruit berdasarkan dimana dia bisa kontribusi dalam 
 team.  misalnya yang kidal dan kuat larinya bisa ditempatkan di kiri 
 luar(tentu saja harus sering latihan bola dan bisa dreeble bola).
 kalau di geoscientist,  yang kuat matematiknya (sering di identik kan dengan 
 jenius) di pekerjakan sebagai geophysicist yang ngerjain processing dan 
 modelling atau yang lain yang perlu analisa matematik yang tinggi.  dst... 
 dst..

 sebagai tambahan,  ada satu artikel di salah satu penerbitan AAPG tahun 80 an 
 yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang sebagai geoscientist dalam dunia 
 perminyakan tergantung dari dua tahun pertama dia. karena pada dua tahun 
 pertama itulah ditumbuhkan minat akan cabang2 geoscientistnya dan juga saat 
 mendapatkan fondasi2 yang diperlukan.

 ada lagi pendapat:  yang bisa berhasil adalah yang bisa menyesuaikan diri 
 dengan perubahan.

 fbs
 IP saya sih biasa2 saja, tidak tinggi tapi cukup untuk lulus



 Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED] wrote:

 saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk 
 menghasilkan karya yang bagus.
 tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak?

 saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan

RE: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)

2007-03-01 Terurut Topik Hartadi, Edo Tri
rdp
ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo

Bang Rovicky, berarti seharusnya dalam argumen yang dibawah... Bejo
harus dijadikan salah satu parameter kesuksesan...
Kadangkala... Ketiga parameter yang sebelumnya juga tidak akan cukup,
jika dia tidak bejo...
Sehingga... Sebenernya bejo sudah sangat cukup walaupun tanpa IP
tinggi, Organisasi, dan Cerdas, begitu bukan?

eTH

-Original Message-
From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, March 01, 2007 12:41 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored
field study opportunity_v1)


Aku berani bertaruh ada hubungan antara IP dengan kecerdasan dan
bahkan kesuksesan. Coba saja diuji dengan statistik, saya yakin
modus akan muncul pada pernyataan diatas yaitu ada hubungan antara
kecerdasan, IP dan kesuksesan.

Sayangnya, selalu saja oarang yag sukses karena tiga hal diatas
relatif diam dan tidak mengemuka suaranya. Lebih banyak
argumentasi-argumentasi yang berlandaskan azas ANOMALI yang muncul
secara acak dan kasuistis. misal :
- Aku dulu IPnya rendah toh sekarang bisa sukses.
- Aku ini tidak tergolong cerdas (IQ nunduk) toh sekarang bisa menjadi
manajer
- Walaupun aku IP tinggi aku ini bukan anak cerdas, tetapi tetep juga
sukses.

Salah satu argumentasi anomali :
Anakku dulu disuruh blajar susah banget dia bilang Bill Gates ...
sekolah ndak lulus sekarang kaya, tetapi anaknya tetep sekolah dan
kiliah, aku cuman jawab Lah emangnya kamu Billgates ? Kamu cuman
anaknya Rovicky yg biasa saja, dan bukan cerdas, jadi tetep saja kau
harus kerja keras

Mungkin kita bisa buat crosplot 3D antara kecerdasan, kesuksesan, dan
IP disekolah. Aku kok yakin untuk tujuan praktis menggunakan IP
sebagai tolok ukur seleksi masih akan valid dan dapat dipertanggung
jawabkan alasannya. Nah kalau bisa ditambah dengan faktor aktif
organisasi pasti juga akan terlihat hasilnya.

Memang bener
IP tinggi saja ... tidak cukup
Organisasi thok  ndak memenuhi syarat
Cerdas doank ... sampun mundur aja sana

Jadi, buat mahasiswa -- kalau mau sukses harus punya nulai plus
ketiga-tiganya
Memang tidak ada superman di dunia ini, tetapi dunia ini sangat kejam
sekejam ibu kota dan untuk saat ini bagus saja tidak cukup ! 
mesti bagsbang !

rdp
ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo

On 3/1/07, Franciscus B Sinartio [EMAIL PROTECTED] wrote:
 ikutan juga ya..
 menarik juga ulasan2 yang sudah ada.
 kalau misalnya yang kurang mampu selalu belajar dalam hidupnya
maka saya yakin dia bisa berhasil dalam hidup(karier) juga.
 jadi metode yang dilakukan untuk dapat nilai tinggi diterapkan dalam
hidup.

 IP memang tidak selalu bisa di identikkan dengan kecerdasan.  tapi
apakah hanya orang yang cerdas yang bisa berhasil dalam pekerjaan?
 menurut artikel2 yang sudah banyak di terbitkan, manusia itu hanya
pakai kurang dari 15 % dari kapasitas otaknya.  Einstein saja katanya
hanya pakai 15 % an.  saya tidak tahu bagaimana ngukurnya.  tapi banyak
sekali yang quote hasil penelitian ini.
 Nah kalau ini benar maka tidak perlu jadi orang jenius,  cukup orang
biasa-biasa saja yang mau pake kapasitas otaknya.
 dan lingkungan pergaulan dan tantangan yang diterima yang membuat
orang memakai otaknya secara optimum atau tidak . (justru itu ada
pendapat seperti yang disebutkan Oki)
 jadi mungkin tidak ada orang yang dilahirkan sudah menjadi jenius dan
lebih dari pada yang lain.

 kalau menurut saya recruitment yang optimum akan dicapai kalau memakai
prinsip put the right man on the right place.
 mungkin perusahaan minyak boleh belajar dari rekruitmen pemain
sepakbola atau olahraga yang lain di klub2 dunia.
 setiap calon pemain di recruit berdasarkan dimana dia bisa kontribusi
dalam team.  misalnya yang kidal dan kuat larinya bisa ditempatkan di
kiri luar(tentu saja harus sering latihan bola dan bisa dreeble bola).
 kalau di geoscientist,  yang kuat matematiknya (sering di identik kan
dengan jenius) di pekerjakan sebagai geophysicist yang ngerjain
processing dan modelling atau yang lain yang perlu analisa matematik
yang tinggi.  dst... dst..

 sebagai tambahan,  ada satu artikel di salah satu penerbitan AAPG
tahun 80 an yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang sebagai
geoscientist dalam dunia perminyakan tergantung dari dua tahun pertama
dia. karena pada dua tahun pertama itulah ditumbuhkan minat akan cabang2
geoscientistnya dan juga saat mendapatkan fondasi2 yang diperlukan.

 ada lagi pendapat:  yang bisa berhasil adalah yang bisa menyesuaikan
diri dengan perubahan.

 fbs
 IP saya sih biasa2 saja, tidak tinggi tapi cukup untuk lulus



 Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED] wrote:

 saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang
tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus.
 tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak?

 saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa
banyak waktu yg dipakai untuk belajar,
 IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin

Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)

2007-03-01 Terurut Topik Shofiyuddin

Orang pinter, cerdas, IP tinggi, organisasi bagus ... kalo gak bejo ya ...
gimana gitu 
Jadi orang BEJO jadi orang enak  tapi untuk jadi BEJO sering dengan
kerja extra keras, tidak harus pinter 
eee jadi balik lagi .


sudahin aja diskusi ini, gak selesai selesai karena masalah BEJO ini gak
bisa diukur dengan parameter apapun!!!
seperti halnya kenapa orang pilih bakwan goreng pinggir jalan daripada beli
pizza padahal uangnya ada ... karena selera ... ya selera gak bisa diukur
 BEJO pun sama!!


On 3/2/07, Hartadi, Edo Tri [EMAIL PROTECTED] wrote:


rdp
ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo

Bang Rovicky, berarti seharusnya dalam argumen yang dibawah... Bejo
harus dijadikan salah satu parameter kesuksesan...
Kadangkala... Ketiga parameter yang sebelumnya juga tidak akan cukup,
jika dia tidak bejo...
Sehingga... Sebenernya bejo sudah sangat cukup walaupun tanpa IP
tinggi, Organisasi, dan Cerdas, begitu bukan?

eTH



Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)

2007-03-01 Terurut Topik mohammad syaiful

bejo itu adalah pemberian yg maha memberi, jadi memang di luar
pemikiran manusia seperti oh shofi, he..he..

salam,
syaiful

On 3/2/07, Shofiyuddin [EMAIL PROTECTED] wrote:

Orang pinter, cerdas, IP tinggi, organisasi bagus ... kalo gak bejo ya ...
gimana gitu 
Jadi orang BEJO jadi orang enak  tapi untuk jadi BEJO sering dengan
kerja extra keras, tidak harus pinter 
eee jadi balik lagi .


sudahin aja diskusi ini, gak selesai selesai karena masalah BEJO ini gak
bisa diukur dengan parameter apapun!!!
seperti halnya kenapa orang pilih bakwan goreng pinggir jalan daripada beli
pizza padahal uangnya ada ... karena selera ... ya selera gak bisa diukur
 BEJO pun sama!!


On 3/2/07, Hartadi, Edo Tri [EMAIL PROTECTED] wrote:

 rdp
 ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo

 Bang Rovicky, berarti seharusnya dalam argumen yang dibawah... Bejo
 harus dijadikan salah satu parameter kesuksesan...
 Kadangkala... Ketiga parameter yang sebelumnya juga tidak akan cukup,
 jika dia tidak bejo...
 Sehingga... Sebenernya bejo sudah sangat cukup walaupun tanpa IP
 tinggi, Organisasi, dan Cerdas, begitu bukan?

 eTH





--
Mohammad Syaiful - Explorationist
Mobile: 62-812-9372808
Email: [EMAIL PROTECTED]

Exploration Think Tank Indonesia (ETTI)
Head Office:
Jl. Tebet Barat Dalam III No.2-B Jakarta 12810 Indonesia
Phone: 62-21-8356276 Fax: 62-21-83784140
Email: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]


Hot News!!!
CALL FOR PAPERS: send your abstract by 30 March 2007 to [EMAIL PROTECTED]
Joint Convention Bali 2007 - The 32nd HAGI  the 36th IAGI Annual Convention and Exhibition, 
Patra Bali, 19 - 22 November 2007


To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
-



Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)

2007-03-01 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari

On 3/2/07, Hartadi, Edo Tri [EMAIL PROTECTED] wrote:

rdp
ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo

Bang Rovicky, berarti seharusnya dalam argumen yang dibawah... Bejo
harus dijadikan salah satu parameter kesuksesan...
Kadangkala... Ketiga parameter yang sebelumnya juga tidak akan cukup,
jika dia tidak bejo...
Sehingga... Sebenernya bejo sudah sangat cukup walaupun tanpa IP
tinggi, Organisasi, dan Cerdas, begitu bukan?

eTH


Waaah ya ndak gitu,
itu kan berlaku buat mereka yang sudah sukses, aku sendiri tidak
bisa mengkategorikan diriku sudah sukses.

Sukses itu kan persepsi personal.

Persepsiku sukses adalah, seandainya generasi penerus atau adik-adik
dibawahku lebih baik dari aku. nah kalau yang dibawah sudah merasa
dirinya lebih baik dari generasiku, aku akan menyatakan generasiku
juga sukses   otherwise sapa saja boleh menyatakan diriku gagal
total !

pripun ?

RDP


Hot News!!!
CALL FOR PAPERS: send your abstract by 30 March 2007 to [EMAIL PROTECTED]
Joint Convention Bali 2007 - The 32nd HAGI  the 36th IAGI Annual Convention and Exhibition, 
Patra Bali, 19 - 22 November 2007


To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
-



Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)

2007-02-28 Terurut Topik Franciscus B Sinartio
ikutan juga ya..
menarik juga ulasan2 yang sudah ada.
kalau misalnya yang kurang mampu selalu belajar dalam hidupnya maka saya 
yakin dia bisa berhasil dalam hidup(karier) juga.
jadi metode yang dilakukan untuk dapat nilai tinggi diterapkan dalam hidup.

IP memang tidak selalu bisa di identikkan dengan kecerdasan.  tapi apakah hanya 
orang yang cerdas yang bisa berhasil dalam pekerjaan?
menurut artikel2 yang sudah banyak di terbitkan, manusia itu hanya pakai kurang 
dari 15 % dari kapasitas otaknya.  Einstein saja katanya hanya pakai 15 % an.  
saya tidak tahu bagaimana ngukurnya.  tapi banyak sekali yang quote hasil 
penelitian ini.
Nah kalau ini benar maka tidak perlu jadi orang jenius,  cukup orang 
biasa-biasa saja yang mau pake kapasitas otaknya.
dan lingkungan pergaulan dan tantangan yang diterima yang membuat orang memakai 
otaknya secara optimum atau tidak . (justru itu ada pendapat seperti yang 
disebutkan Oki) 
jadi mungkin tidak ada orang yang dilahirkan sudah menjadi jenius dan lebih 
dari pada yang lain.

kalau menurut saya recruitment yang optimum akan dicapai kalau memakai prinsip 
put the right man on the right place.
mungkin perusahaan minyak boleh belajar dari rekruitmen pemain sepakbola atau 
olahraga yang lain di klub2 dunia.
setiap calon pemain di recruit berdasarkan dimana dia bisa kontribusi dalam 
team.  misalnya yang kidal dan kuat larinya bisa ditempatkan di kiri luar(tentu 
saja harus sering latihan bola dan bisa dreeble bola).
kalau di geoscientist,  yang kuat matematiknya (sering di identik kan dengan 
jenius) di pekerjakan sebagai geophysicist yang ngerjain processing dan 
modelling atau yang lain yang perlu analisa matematik yang tinggi.  dst... dst..

sebagai tambahan,  ada satu artikel di salah satu penerbitan AAPG tahun 80 an 
yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang sebagai geoscientist dalam dunia 
perminyakan tergantung dari dua tahun pertama dia. karena pada dua tahun 
pertama itulah ditumbuhkan minat akan cabang2 geoscientistnya dan juga saat 
mendapatkan fondasi2 yang diperlukan.

ada lagi pendapat:  yang bisa berhasil adalah yang bisa menyesuaikan diri 
dengan perubahan.

fbs
IP saya sih biasa2 saja, tidak tinggi tapi cukup untuk lulus

  
  
Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED] wrote:
  
saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk 
menghasilkan karya yang bagus.
tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak?

saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa banyak 
waktu yg dipakai untuk belajar,
IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin, atau kurang cerdas tapi 
sangat rajin.
IP rendah, bisa jadi kurang cerdas dan kurang rajin, atau sangat cerdas tapi 
samasekali tidak rajin.

selama menjadi asisten dosen, kasus2 yang saya amati sering terjadi adalah sbb:
anak cerdas sering merasa bosan dengan pengajaran yang lambat, atau sering juga 
jadi merasa terlalu meremehkan pelajaran, berakhir dengan nilai rendah, atau 
sedang.
anak yang kurang cerdas, merasa diri kurang mampu, jadi berambisi untuk 
mengejar teman-temannya, dia rajin mengerjakan tugas, pr, belajar dsb, berakhir 
dengan nilai tinggi.

saya sendiri beberapa kali melihat kasus dimana mahasiswa berIP tinggi malah 
kurang bisa berkomunikasi, karena jarang bergaul di kampusnya.. 
mungkin ini kasus2 untuk dari kelompok kurang cerdas tapi sangat rajin..

semuanya punya kelebihan dan kekurangan masing2... 
yang paling bagus? menurut saya yang bisa berdiri diantara.. punya kecerdasan 
lumayan, rajin, dan bisa berkomunikasi (bersosialisasi)

kalau mau filter yang cukup mudah, cepat, dan efisien, mungkinbisa lihat IP per 
semester, disamping IPK..
dalam IP semester itu bisa dilihat kemajuan/kemunduran atau anomali IP selama 
kuliah, yang mungkin bisa memberi bayangan penyebab nilai IPK.

salam,
Wayan Young


On 2/27/07, Shofiyuddin wrote:
 Dalam suatu ceramah tentang kecerdasan diperoleh bukti empiris bahwa di
 negara negara maju, kecerdasan otak hanya menyumbang sekitar sepuluh persen
 dari kesuksesan, sisanya adalah masalah sikap.

 Tapi kalo skripsi ini dianggap masalah kecerdasan semata bagaimana
 memetakkan singkapan yang kemudian diterjemahkan ke dalam konsep geology,
 saya pikir filter IP sih oke oke saja. Butuh kecerdasan yang tinggi untuk
 menghasilkan karya yang bagus.



 Shofi



 On 2/27/07, Parvita Siregar 
wrote:
 
  Bapak2 yang tertarik dengan program IPA, ini saya jelaskan ya...
 
  Cak Noor: Ibaratnya, ada orang yang punya duit dan punya interest di
  Ombilin Basin dan IPA yang mengorganize program ini. Jadi ini
  samenwerken between IPA and the company, where the money comes from the
  other company. Untungnya kita dari IPA bisa meyakinkan bahwa project
  ini bisa dijadikan project thesis mahasiswa di sini, instead of mereka
  hire bule2 maupun mahasiswa bule. Maka setujulah mereka, asal IPA yang
  organize.
 
  Sama seperti kegiatan rig visit IPA-IAGI, duitnya 100% dari IPA, tetapi
  tenaga mentor dan materi kuliahnya 

Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)

2007-02-28 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari

Aku berani bertaruh ada hubungan antara IP dengan kecerdasan dan
bahkan kesuksesan. Coba saja diuji dengan statistik, saya yakin
modus akan muncul pada pernyataan diatas yaitu ada hubungan antara
kecerdasan, IP dan kesuksesan.

Sayangnya, selalu saja oarang yag sukses karena tiga hal diatas
relatif diam dan tidak mengemuka suaranya. Lebih banyak
argumentasi-argumentasi yang berlandaskan azas ANOMALI yang muncul
secara acak dan kasuistis. misal :
- Aku dulu IPnya rendah toh sekarang bisa sukses.
- Aku ini tidak tergolong cerdas (IQ nunduk) toh sekarang bisa menjadi manajer
- Walaupun aku IP tinggi aku ini bukan anak cerdas, tetapi tetep juga sukses.

Salah satu argumentasi anomali :
Anakku dulu disuruh blajar susah banget dia bilang Bill Gates ...
sekolah ndak lulus sekarang kaya, tetapi anaknya tetep sekolah dan
kiliah, aku cuman jawab Lah emangnya kamu Billgates ? Kamu cuman
anaknya Rovicky yg biasa saja, dan bukan cerdas, jadi tetep saja kau
harus kerja keras

Mungkin kita bisa buat crosplot 3D antara kecerdasan, kesuksesan, dan
IP disekolah. Aku kok yakin untuk tujuan praktis menggunakan IP
sebagai tolok ukur seleksi masih akan valid dan dapat dipertanggung
jawabkan alasannya. Nah kalau bisa ditambah dengan faktor aktif
organisasi pasti juga akan terlihat hasilnya.

Memang bener
IP tinggi saja ... tidak cukup
Organisasi thok  ndak memenuhi syarat
Cerdas doank ... sampun mundur aja sana

Jadi, buat mahasiswa -- kalau mau sukses harus punya nulai plus ketiga-tiganya
Memang tidak ada superman di dunia ini, tetapi dunia ini sangat kejam
sekejam ibu kota dan untuk saat ini bagus saja tidak cukup ! 
mesti bagsbang !

rdp
ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo

On 3/1/07, Franciscus B Sinartio [EMAIL PROTECTED] wrote:

ikutan juga ya..
menarik juga ulasan2 yang sudah ada.
kalau misalnya yang kurang mampu selalu belajar dalam hidupnya maka saya yakin 
dia bisa berhasil dalam hidup(karier) juga.
jadi metode yang dilakukan untuk dapat nilai tinggi diterapkan dalam hidup.

IP memang tidak selalu bisa di identikkan dengan kecerdasan.  tapi apakah hanya 
orang yang cerdas yang bisa berhasil dalam pekerjaan?
menurut artikel2 yang sudah banyak di terbitkan, manusia itu hanya pakai kurang 
dari 15 % dari kapasitas otaknya.  Einstein saja katanya hanya pakai 15 % an.  
saya tidak tahu bagaimana ngukurnya.  tapi banyak sekali yang quote hasil 
penelitian ini.
Nah kalau ini benar maka tidak perlu jadi orang jenius,  cukup orang 
biasa-biasa saja yang mau pake kapasitas otaknya.
dan lingkungan pergaulan dan tantangan yang diterima yang membuat orang memakai 
otaknya secara optimum atau tidak . (justru itu ada pendapat seperti yang 
disebutkan Oki)
jadi mungkin tidak ada orang yang dilahirkan sudah menjadi jenius dan lebih 
dari pada yang lain.

kalau menurut saya recruitment yang optimum akan dicapai kalau memakai prinsip put 
the right man on the right place.
mungkin perusahaan minyak boleh belajar dari rekruitmen pemain sepakbola atau 
olahraga yang lain di klub2 dunia.
setiap calon pemain di recruit berdasarkan dimana dia bisa kontribusi dalam 
team.  misalnya yang kidal dan kuat larinya bisa ditempatkan di kiri luar(tentu 
saja harus sering latihan bola dan bisa dreeble bola).
kalau di geoscientist,  yang kuat matematiknya (sering di identik kan dengan 
jenius) di pekerjakan sebagai geophysicist yang ngerjain processing dan 
modelling atau yang lain yang perlu analisa matematik yang tinggi.  dst... dst..

sebagai tambahan,  ada satu artikel di salah satu penerbitan AAPG tahun 80 an 
yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang sebagai geoscientist dalam dunia 
perminyakan tergantung dari dua tahun pertama dia. karena pada dua tahun 
pertama itulah ditumbuhkan minat akan cabang2 geoscientistnya dan juga saat 
mendapatkan fondasi2 yang diperlukan.

ada lagi pendapat:  yang bisa berhasil adalah yang bisa menyesuaikan diri 
dengan perubahan.

fbs
IP saya sih biasa2 saja, tidak tinggi tapi cukup untuk lulus



Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED] wrote:

saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk 
menghasilkan karya yang bagus.
tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak?

saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa banyak 
waktu yg dipakai untuk belajar,
IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin, atau kurang cerdas tapi 
sangat rajin.
IP rendah, bisa jadi kurang cerdas dan kurang rajin, atau sangat cerdas tapi 
samasekali tidak rajin.

selama menjadi asisten dosen, kasus2 yang saya amati sering terjadi adalah sbb:
anak cerdas sering merasa bosan dengan pengajaran yang lambat, atau sering juga 
jadi merasa terlalu meremehkan pelajaran, berakhir dengan nilai rendah, atau 
sedang.
anak yang kurang cerdas, merasa diri kurang mampu, jadi berambisi untuk 
mengejar teman-temannya, dia rajin mengerjakan tugas, pr, belajar dsb, berakhir 
dengan nilai tinggi.

saya sendiri beberapa kali melihat kasus dimana mahasiswa berIP 

Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)

2007-02-27 Terurut Topik oki musakti
Kalo persaratan ini diterapkan tahun 90 an, yang bisa KP atawa kerja dari ITB 
cuman segelintir genius model Frankie, Noor, Hasan, Hasto, Sigit etc. 
  Awakyang anggota klompencapir (Kelompok pencinta IP rendah) cuman bisa gigit 
jari  la...

   
  Kalo kata istri saya yang tiap hari kerjaannya dibagian rekruting, ada trend 
bahwa orang yang sukses dalam karir adalah mereka yang waktu mahasiswanya aktif 
berorganisasi baik di kampus maupun diluar (termasuk parpol) dan bukan mereka 
yang melulu punya IP tinggi. Recrutment agency dia, sudah sering menyarankan 
kepada client untuk menghapuskan IP sebagai prasarat awal. Ada yang terima tapi 
banyak juga perusahaan yang kekeuh. Untuk yang kekeuh, dia cuma bilang 'its 
their loss'
   
  Bagaimana cara penyaringan awal kalau gak pake IP ? Banyak  
   
  Untuk kasus ini salah satunya adalah dengan melihat track record dia di 
organisasi. Mungkin bisa kasi bobot lebih untuk yang aktif di pencinta alam 
atau seperti istilahnya Yanri, punya 'CV rimba' . After all, ini kan pekerjaan 
pemetaan yang menuntut untuk naik turun bukit dan mungkin gak cocok untuk 
seorang genius kutubuku yang cuma kuat satu jam di lapangan. Kriteria lain yg 
mungkin bisa dipakai adalah apakah dia pernah kerja prktek,presentasi, jadi 
asisten lab, pengurus Himpunan, RT, remaja mesjid/gereja dll.
   
  Cara kedua, bisa memanfaatkan 'persaingan' antar institusi pendidikan. 
Misalnya minta tiap uni untuk hanya mengirim 5 atau 10 of their best students. 
Jurusan otomatis akan mencari kandidat yang fit for purpose untuk tugas yang 
akan ditempuh . Dengan cara ini, praktis panitia mendelegasikan tugas 
pre-screening pada institusi yang mestinya paling tahu mengenai kondite si 
kandidat yaitu universitas masing-masing. Variant dari metode ini adalah hanya 
mempertimbangkan kandidat yang punya surat rekomendasi dari jurusannya, dengan 
asumsi bahwa jurusan hanya akan merekomendasikan mereka yang dianggap 
layak..gak tahu apakah asumsi valid apa gak he he he
   
  Cara ketiga, paling susah. Undang semua pelamar tanpa pre screening. Langsung 
test (tertulis dan wawancara) bareng-bareng dan pilih yang paling baik dari 
semua. Cara ini paling 'adil' karena semua punya kesempatan yang sama tapi juga 
paling mahal karena mesti memberi akomodasi dan transportasi buat peserta 
supaya tidak terlalu bias terhadap mereka yang berdomisili di Jakarta.
   
  Eee, sekedar saran putusan tentunya di tangan panitia.
   
  Cheers
  Oki
   
   
   
  
Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED] wrote:
  
saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk 
menghasilkan karya yang bagus.
tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak?

saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa banyak 
waktu yg dipakai untuk belajar,
IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin, atau kurang cerdas tapi 
sangat rajin.
IP rendah, bisa jadi kurang cerdas dan kurang rajin, atau sangat cerdas tapi 
samasekali tidak rajin.

selama menjadi asisten dosen, kasus2 yang saya amati sering terjadi adalah sbb:
anak cerdas sering merasa bosan dengan pengajaran yang lambat, atau sering juga 
jadi merasa terlalu meremehkan pelajaran, berakhir dengan nilai rendah, atau 
sedang.
anak yang kurang cerdas, merasa diri kurang mampu, jadi berambisi untuk 
mengejar teman-temannya, dia rajin mengerjakan tugas, pr, belajar dsb, berakhir 
dengan nilai tinggi.

saya sendiri beberapa kali melihat kasus dimana mahasiswa berIP tinggi malah 
kurang bisa berkomunikasi, karena jarang bergaul di kampusnya.. 
mungkin ini kasus2 untuk dari kelompok kurang cerdas tapi sangat rajin..

semuanya punya kelebihan dan kekurangan masing2... 
yang paling bagus? menurut saya yang bisa berdiri diantara.. punya kecerdasan 
lumayan, rajin, dan bisa berkomunikasi (bersosialisasi)

kalau mau filter yang cukup mudah, cepat, dan efisien, mungkinbisa lihat IP per 
semester, disamping IPK..
dalam IP semester itu bisa dilihat kemajuan/kemunduran atau anomali IP selama 
kuliah, yang mungkin bisa memberi bayangan penyebab nilai IPK.

salam,
Wayan Young


On 2/27/07, Shofiyuddin wrote:
 Dalam suatu ceramah tentang kecerdasan diperoleh bukti empiris bahwa di
 negara negara maju, kecerdasan otak hanya menyumbang sekitar sepuluh persen
 dari kesuksesan, sisanya adalah masalah sikap.

 Tapi kalo skripsi ini dianggap masalah kecerdasan semata bagaimana
 memetakkan singkapan yang kemudian diterjemahkan ke dalam konsep geology,
 saya pikir filter IP sih oke oke saja. Butuh kecerdasan yang tinggi untuk
 menghasilkan karya yang bagus.



 Shofi



 On 2/27/07, Parvita Siregar 
wrote:
 
  Bapak2 yang tertarik dengan program IPA, ini saya jelaskan ya...
 
  Cak Noor: Ibaratnya, ada orang yang punya duit dan punya interest di
  Ombilin Basin dan IPA yang mengorganize program ini. Jadi ini
  samenwerken between IPA and the company, where the money comes from the
  other company. Untungnya kita dari IPA bisa meyakinkan bahwa project
  

Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)

2007-02-26 Terurut Topik Wayan Ismara Heru Young

saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk 
menghasilkan karya yang bagus.
tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak?

saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa banyak 
waktu yg dipakai untuk belajar,
IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin, atau kurang cerdas tapi 
sangat rajin.
IP rendah, bisa jadi kurang cerdas dan kurang rajin, atau sangat cerdas tapi 
samasekali tidak rajin.

selama menjadi asisten dosen, kasus2 yang saya amati sering terjadi adalah sbb:
anak cerdas sering merasa bosan dengan pengajaran yang lambat, atau sering juga 
jadi merasa terlalu meremehkan pelajaran, berakhir dengan nilai  rendah, atau 
sedang.
anak yang kurang cerdas, merasa diri kurang mampu, jadi berambisi untuk 
mengejar teman-temannya, dia rajin mengerjakan tugas, pr, belajar dsb, berakhir 
dengan nilai tinggi.

saya sendiri beberapa kali melihat kasus dimana mahasiswa berIP tinggi malah 
kurang bisa berkomunikasi, karena jarang bergaul di kampusnya.. 
mungkin ini kasus2 untuk dari kelompok kurang cerdas tapi sangat rajin..

semuanya punya kelebihan dan kekurangan masing2... 
yang paling bagus? menurut saya yang bisa berdiri diantara.. punya kecerdasan 
lumayan, rajin, dan bisa berkomunikasi (bersosialisasi)

kalau mau filter yang cukup mudah, cepat, dan efisien, mungkinbisa lihat IP per 
semester, disamping IPK..
dalam IP semester itu bisa dilihat kemajuan/kemunduran atau anomali IP selama 
kuliah, yang mungkin bisa memberi bayangan penyebab nilai IPK.

salam,
Wayan Young


On 2/27/07, Shofiyuddin [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Dalam suatu ceramah tentang kecerdasan diperoleh bukti empiris bahwa di
 negara negara maju, kecerdasan otak hanya menyumbang sekitar sepuluh persen
 dari kesuksesan, sisanya adalah masalah sikap.

 Tapi kalo skripsi ini dianggap masalah kecerdasan semata bagaimana
 memetakkan singkapan yang kemudian diterjemahkan ke dalam konsep geology,
 saya pikir filter IP sih oke oke saja. Butuh kecerdasan yang tinggi untuk
 menghasilkan karya yang bagus.



 Shofi



 On 2/27/07, Parvita Siregar [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
  Bapak2 yang tertarik dengan program IPA, ini saya jelaskan ya...
 
  Cak Noor:  Ibaratnya, ada orang yang punya duit dan punya interest di
  Ombilin Basin dan IPA yang mengorganize program ini.  Jadi ini
  samenwerken between IPA and the company, where the money comes from the
  other company.  Untungnya kita dari IPA bisa meyakinkan bahwa project
  ini bisa dijadikan project thesis mahasiswa di sini, instead of mereka
  hire bule2 maupun mahasiswa bule.  Maka setujulah mereka, asal IPA yang
  organize.
 
  Sama seperti kegiatan rig visit IPA-IAGI, duitnya 100% dari IPA, tetapi
  tenaga mentor dan materi kuliahnya dari IAGI, dan lapangannya ya well2
  yang lagi didrill sama Pertamina (tanya kenapa: kok wellnya
  Pertamina???).
 
  Mas Herman:  Setelah proposal masuk, kita masih ada tahap interview.
  Kalau melihat IPK para pelamar2 pekerjaan di oil companies, sekarang
  banyak yang IPKnya di atas 3.0.  Ndak seperti jamannya kita dulu,
  apalagi yang di ITB, yang dapet IP di atas 2.6 saja sudah bagus (artinya
  banyak C, dan beberapa B kan).
 
  Analogi: Femina suka mengadakan pemilihan Wajah Femina, syaratnya
  umurnya tidak lebih dari 25 kalau ndak salah.  Saya mikir, teman2 saya
  banyak yang bilang saya keren dan baby face, kok pake dibatasi sih
  usianya.  Tapi kalau tidak dibatasi, nanti yang datang segabruk.
  Padahal saya mau meyakinkan kalau saya itu umurnya masih 23 lho.
 
  Itu aja di Femina sudah ada dedicated team yang khusus nanganin program
  itu, sementara untuk program IPA ini kerjaan volunteer, in which kita
  ngerjain ini di luar jam kantor.
 
  Kalau soal nyontek menyontek ya saya ndak tahu ya, Mas Herman, you know
  that it is beyond our ability to know that.
 
  Tenang aja bapak2, ibu2, program ini 100% halal, legal, tidak melanggar
  business ethics and cenderung mendatangkan manfaat dan kesempatan bagi
  para mahasiswa (amiiin).  Berhubung program ini baru pertama kali kita
  adakan, jadi musti agak ketat seleksinya.  Dan mudah2an program seperti
  ini bisa berlanjut di tahun2 berikutnya, sebagaimana Student Oral 
  Poster session di Annual Convention dulu, walaupun banyak pro  kontra,
  sekarang sudah berjalan sendiri dan menjadi acara rutin IPA tiap tahun.
 
  Mudah2an penjelasan ini cukup memuaskan.
 
  Nuhun ya moderator IAGI, boleh mengiklankan programnya IPA didieu!
 
  Wassalam,
 
  Parvita H. Siregar
  Chief Geologist
  Salamander Energy
  Jakarta-Indonesia
 
 
  Disclaimer:  This email (including any attachments to it) is
  confidential and is sent for the personal attention of the intended
  recipient only and may contain information that is privileded,
  confidential or exempt from disclosure.  If you have received this email
  in error, please advise us immediately and delete it.  You are notified
  that using, disclosing, copying, distributing or taking any action in
  reliance 

Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)

2007-02-26 Terurut Topik benyamin sembiring

Belum lagi kalau standar nilai (IP) dari setiap perguruan tinggi yang
(dianggap) berbeda. Gak jarang kita melihat publikasi/iklan seperti ini ; IP
2.7 untuk Univ Negri dan 3.0 untuk Univ swasta. sangat rasial tapi ini
fakta.

benz



Pada tanggal 07/02/27, Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED]
menulis:



saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi
untuk menghasilkan karya yang bagus.
tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak?

saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa
banyak waktu yg dipakai untuk belajar,
IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin, atau kurang cerdas
tapi sangat rajin.
IP rendah, bisa jadi kurang cerdas dan kurang rajin, atau sangat cerdas
tapi samasekali tidak rajin.

selama menjadi asisten dosen, kasus2 yang saya amati sering terjadi adalah
sbb:
anak cerdas sering merasa bosan dengan pengajaran yang lambat, atau sering
juga jadi merasa terlalu meremehkan pelajaran, berakhir dengan
nilai  rendah, atau sedang.
anak yang kurang cerdas, merasa diri kurang mampu, jadi berambisi untuk
mengejar teman-temannya, dia rajin mengerjakan tugas, pr, belajar dsb,
berakhir dengan nilai tinggi.

saya sendiri beberapa kali melihat kasus dimana mahasiswa berIP tinggi
malah kurang bisa berkomunikasi, karena jarang bergaul di kampusnya..
mungkin ini kasus2 untuk dari kelompok kurang cerdas tapi sangat rajin..

semuanya punya kelebihan dan kekurangan masing2...
yang paling bagus? menurut saya yang bisa berdiri diantara.. punya
kecerdasan lumayan, rajin, dan bisa berkomunikasi (bersosialisasi)

kalau mau filter yang cukup mudah, cepat, dan efisien, mungkinbisa lihat
IP per semester, disamping IPK..
dalam IP semester itu bisa dilihat kemajuan/kemunduran atau anomali IP
selama kuliah, yang mungkin bisa memberi bayangan penyebab nilai IPK.

salam,
Wayan Young


On 2/27/07, Shofiyuddin [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Dalam suatu ceramah tentang kecerdasan diperoleh bukti empiris bahwa di
 negara negara maju, kecerdasan otak hanya menyumbang sekitar sepuluh
persen
 dari kesuksesan, sisanya adalah masalah sikap.

 Tapi kalo skripsi ini dianggap masalah kecerdasan semata bagaimana
 memetakkan singkapan yang kemudian diterjemahkan ke dalam konsep
geology,
 saya pikir filter IP sih oke oke saja. Butuh kecerdasan yang tinggi
untuk
 menghasilkan karya yang bagus.



 Shofi



 On 2/27/07, Parvita Siregar [EMAIL PROTECTED]
wrote:
 
  Bapak2 yang tertarik dengan program IPA, ini saya jelaskan ya...
 
  Cak Noor:  Ibaratnya, ada orang yang punya duit dan punya interest di
  Ombilin Basin dan IPA yang mengorganize program ini.  Jadi ini
  samenwerken between IPA and the company, where the money comes from
the
  other company.  Untungnya kita dari IPA bisa meyakinkan bahwa project
  ini bisa dijadikan project thesis mahasiswa di sini, instead of mereka
  hire bule2 maupun mahasiswa bule.  Maka setujulah mereka, asal IPA
yang
  organize.
 
  Sama seperti kegiatan rig visit IPA-IAGI, duitnya 100% dari IPA,
tetapi
  tenaga mentor dan materi kuliahnya dari IAGI, dan lapangannya ya well2
  yang lagi didrill sama Pertamina (tanya kenapa: kok wellnya
  Pertamina???).
 
  Mas Herman:  Setelah proposal masuk, kita masih ada tahap interview.
  Kalau melihat IPK para pelamar2 pekerjaan di oil companies, sekarang
  banyak yang IPKnya di atas 3.0.  Ndak seperti jamannya kita dulu,
  apalagi yang di ITB, yang dapet IP di atas 2.6 saja sudah bagus
(artinya
  banyak C, dan beberapa B kan).
 
  Analogi: Femina suka mengadakan pemilihan Wajah Femina, syaratnya
  umurnya tidak lebih dari 25 kalau ndak salah.  Saya mikir, teman2 saya
  banyak yang bilang saya keren dan baby face, kok pake dibatasi sih
  usianya.  Tapi kalau tidak dibatasi, nanti yang datang segabruk.
  Padahal saya mau meyakinkan kalau saya itu umurnya masih 23 lho.
 
  Itu aja di Femina sudah ada dedicated team yang khusus nanganin
program
  itu, sementara untuk program IPA ini kerjaan volunteer, in which kita
  ngerjain ini di luar jam kantor.
 
  Kalau soal nyontek menyontek ya saya ndak tahu ya, Mas Herman, you
know
  that it is beyond our ability to know that.
 
  Tenang aja bapak2, ibu2, program ini 100% halal, legal, tidak
melanggar
  business ethics and cenderung mendatangkan manfaat dan kesempatan bagi
  para mahasiswa (amiiin).  Berhubung program ini baru pertama kali kita
  adakan, jadi musti agak ketat seleksinya.  Dan mudah2an program
seperti
  ini bisa berlanjut di tahun2 berikutnya, sebagaimana Student Oral 
  Poster session di Annual Convention dulu, walaupun banyak pro 
kontra,
  sekarang sudah berjalan sendiri dan menjadi acara rutin IPA tiap
tahun.
 
  Mudah2an penjelasan ini cukup memuaskan.
 
  Nuhun ya moderator IAGI, boleh mengiklankan programnya IPA didieu!
 
  Wassalam,
 
  Parvita H. Siregar
  Chief Geologist
  Salamander Energy
  Jakarta-Indonesia
 
 
  Disclaimer:  This email (including any attachments to it) is
  confidential and is sent for the personal attention of the intended