Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)
mau nambahin lagi. ARCO sekitar akhir 80 an kasih beasiswa ke mahasiswa yang kurang mampu dan harus bekerja sambilan untuk membiayai hidup nya. terutama kalau kerjaannya kerjaan kasar atau pekerjaan yang membahayakan. waktu itu IP tidak dijadikan standard, tetapi peningkatan IP di harapkan setelah diberikan beasiswa. masih ada kah perusahaan/orang yang mau memberikan bantuan kepada yang kurang beruntung supaya mereka bisa memperbaiki hidup mereka? fbs - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Thursday, March 1, 2007 12:41:01 PM Subject: Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1) Aku berani bertaruh ada hubungan antara IP dengan kecerdasan dan bahkan kesuksesan. Coba saja diuji dengan statistik, saya yakin modus akan muncul pada pernyataan diatas yaitu ada hubungan antara kecerdasan, IP dan kesuksesan. Sayangnya, selalu saja oarang yag sukses karena tiga hal diatas relatif diam dan tidak mengemuka suaranya. Lebih banyak argumentasi-argumentasi yang berlandaskan azas ANOMALI yang muncul secara acak dan kasuistis. misal : - Aku dulu IPnya rendah toh sekarang bisa sukses. - Aku ini tidak tergolong cerdas (IQ nunduk) toh sekarang bisa menjadi manajer - Walaupun aku IP tinggi aku ini bukan anak cerdas, tetapi tetep juga sukses. Salah satu argumentasi anomali : Anakku dulu disuruh blajar susah banget dia bilang Bill Gates ... sekolah ndak lulus sekarang kaya, tetapi anaknya tetep sekolah dan kiliah, aku cuman jawab Lah emangnya kamu Billgates ? Kamu cuman anaknya Rovicky yg biasa saja, dan bukan cerdas, jadi tetep saja kau harus kerja keras Mungkin kita bisa buat crosplot 3D antara kecerdasan, kesuksesan, dan IP disekolah. Aku kok yakin untuk tujuan praktis menggunakan IP sebagai tolok ukur seleksi masih akan valid dan dapat dipertanggung jawabkan alasannya. Nah kalau bisa ditambah dengan faktor aktif organisasi pasti juga akan terlihat hasilnya. Memang bener IP tinggi saja ... tidak cukup Organisasi thok ndak memenuhi syarat Cerdas doank ... sampun mundur aja sana Jadi, buat mahasiswa -- kalau mau sukses harus punya nulai plus ketiga-tiganya Memang tidak ada superman di dunia ini, tetapi dunia ini sangat kejam sekejam ibu kota dan untuk saat ini bagus saja tidak cukup ! mesti bagsbang ! rdp ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo On 3/1/07, Franciscus B Sinartio [EMAIL PROTECTED] wrote: ikutan juga ya.. menarik juga ulasan2 yang sudah ada. kalau misalnya yang kurang mampu selalu belajar dalam hidupnya maka saya yakin dia bisa berhasil dalam hidup(karier) juga. jadi metode yang dilakukan untuk dapat nilai tinggi diterapkan dalam hidup. IP memang tidak selalu bisa di identikkan dengan kecerdasan. tapi apakah hanya orang yang cerdas yang bisa berhasil dalam pekerjaan? menurut artikel2 yang sudah banyak di terbitkan, manusia itu hanya pakai kurang dari 15 % dari kapasitas otaknya. Einstein saja katanya hanya pakai 15 % an. saya tidak tahu bagaimana ngukurnya. tapi banyak sekali yang quote hasil penelitian ini. Nah kalau ini benar maka tidak perlu jadi orang jenius, cukup orang biasa-biasa saja yang mau pake kapasitas otaknya. dan lingkungan pergaulan dan tantangan yang diterima yang membuat orang memakai otaknya secara optimum atau tidak . (justru itu ada pendapat seperti yang disebutkan Oki) jadi mungkin tidak ada orang yang dilahirkan sudah menjadi jenius dan lebih dari pada yang lain. kalau menurut saya recruitment yang optimum akan dicapai kalau memakai prinsip put the right man on the right place. mungkin perusahaan minyak boleh belajar dari rekruitmen pemain sepakbola atau olahraga yang lain di klub2 dunia. setiap calon pemain di recruit berdasarkan dimana dia bisa kontribusi dalam team. misalnya yang kidal dan kuat larinya bisa ditempatkan di kiri luar(tentu saja harus sering latihan bola dan bisa dreeble bola). kalau di geoscientist, yang kuat matematiknya (sering di identik kan dengan jenius) di pekerjakan sebagai geophysicist yang ngerjain processing dan modelling atau yang lain yang perlu analisa matematik yang tinggi. dst... dst.. sebagai tambahan, ada satu artikel di salah satu penerbitan AAPG tahun 80 an yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang sebagai geoscientist dalam dunia perminyakan tergantung dari dua tahun pertama dia. karena pada dua tahun pertama itulah ditumbuhkan minat akan cabang2 geoscientistnya dan juga saat mendapatkan fondasi2 yang diperlukan. ada lagi pendapat: yang bisa berhasil adalah yang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan. fbs IP saya sih biasa2 saja, tidak tinggi tapi cukup untuk lulus Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED] wrote: saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus. tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak? saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan
RE: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)
rdp ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo Bang Rovicky, berarti seharusnya dalam argumen yang dibawah... Bejo harus dijadikan salah satu parameter kesuksesan... Kadangkala... Ketiga parameter yang sebelumnya juga tidak akan cukup, jika dia tidak bejo... Sehingga... Sebenernya bejo sudah sangat cukup walaupun tanpa IP tinggi, Organisasi, dan Cerdas, begitu bukan? eTH -Original Message- From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, March 01, 2007 12:41 PM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1) Aku berani bertaruh ada hubungan antara IP dengan kecerdasan dan bahkan kesuksesan. Coba saja diuji dengan statistik, saya yakin modus akan muncul pada pernyataan diatas yaitu ada hubungan antara kecerdasan, IP dan kesuksesan. Sayangnya, selalu saja oarang yag sukses karena tiga hal diatas relatif diam dan tidak mengemuka suaranya. Lebih banyak argumentasi-argumentasi yang berlandaskan azas ANOMALI yang muncul secara acak dan kasuistis. misal : - Aku dulu IPnya rendah toh sekarang bisa sukses. - Aku ini tidak tergolong cerdas (IQ nunduk) toh sekarang bisa menjadi manajer - Walaupun aku IP tinggi aku ini bukan anak cerdas, tetapi tetep juga sukses. Salah satu argumentasi anomali : Anakku dulu disuruh blajar susah banget dia bilang Bill Gates ... sekolah ndak lulus sekarang kaya, tetapi anaknya tetep sekolah dan kiliah, aku cuman jawab Lah emangnya kamu Billgates ? Kamu cuman anaknya Rovicky yg biasa saja, dan bukan cerdas, jadi tetep saja kau harus kerja keras Mungkin kita bisa buat crosplot 3D antara kecerdasan, kesuksesan, dan IP disekolah. Aku kok yakin untuk tujuan praktis menggunakan IP sebagai tolok ukur seleksi masih akan valid dan dapat dipertanggung jawabkan alasannya. Nah kalau bisa ditambah dengan faktor aktif organisasi pasti juga akan terlihat hasilnya. Memang bener IP tinggi saja ... tidak cukup Organisasi thok ndak memenuhi syarat Cerdas doank ... sampun mundur aja sana Jadi, buat mahasiswa -- kalau mau sukses harus punya nulai plus ketiga-tiganya Memang tidak ada superman di dunia ini, tetapi dunia ini sangat kejam sekejam ibu kota dan untuk saat ini bagus saja tidak cukup ! mesti bagsbang ! rdp ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo On 3/1/07, Franciscus B Sinartio [EMAIL PROTECTED] wrote: ikutan juga ya.. menarik juga ulasan2 yang sudah ada. kalau misalnya yang kurang mampu selalu belajar dalam hidupnya maka saya yakin dia bisa berhasil dalam hidup(karier) juga. jadi metode yang dilakukan untuk dapat nilai tinggi diterapkan dalam hidup. IP memang tidak selalu bisa di identikkan dengan kecerdasan. tapi apakah hanya orang yang cerdas yang bisa berhasil dalam pekerjaan? menurut artikel2 yang sudah banyak di terbitkan, manusia itu hanya pakai kurang dari 15 % dari kapasitas otaknya. Einstein saja katanya hanya pakai 15 % an. saya tidak tahu bagaimana ngukurnya. tapi banyak sekali yang quote hasil penelitian ini. Nah kalau ini benar maka tidak perlu jadi orang jenius, cukup orang biasa-biasa saja yang mau pake kapasitas otaknya. dan lingkungan pergaulan dan tantangan yang diterima yang membuat orang memakai otaknya secara optimum atau tidak . (justru itu ada pendapat seperti yang disebutkan Oki) jadi mungkin tidak ada orang yang dilahirkan sudah menjadi jenius dan lebih dari pada yang lain. kalau menurut saya recruitment yang optimum akan dicapai kalau memakai prinsip put the right man on the right place. mungkin perusahaan minyak boleh belajar dari rekruitmen pemain sepakbola atau olahraga yang lain di klub2 dunia. setiap calon pemain di recruit berdasarkan dimana dia bisa kontribusi dalam team. misalnya yang kidal dan kuat larinya bisa ditempatkan di kiri luar(tentu saja harus sering latihan bola dan bisa dreeble bola). kalau di geoscientist, yang kuat matematiknya (sering di identik kan dengan jenius) di pekerjakan sebagai geophysicist yang ngerjain processing dan modelling atau yang lain yang perlu analisa matematik yang tinggi. dst... dst.. sebagai tambahan, ada satu artikel di salah satu penerbitan AAPG tahun 80 an yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang sebagai geoscientist dalam dunia perminyakan tergantung dari dua tahun pertama dia. karena pada dua tahun pertama itulah ditumbuhkan minat akan cabang2 geoscientistnya dan juga saat mendapatkan fondasi2 yang diperlukan. ada lagi pendapat: yang bisa berhasil adalah yang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan. fbs IP saya sih biasa2 saja, tidak tinggi tapi cukup untuk lulus Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED] wrote: saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus. tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak? saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa banyak waktu yg dipakai untuk belajar, IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin
Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)
Orang pinter, cerdas, IP tinggi, organisasi bagus ... kalo gak bejo ya ... gimana gitu Jadi orang BEJO jadi orang enak tapi untuk jadi BEJO sering dengan kerja extra keras, tidak harus pinter eee jadi balik lagi . sudahin aja diskusi ini, gak selesai selesai karena masalah BEJO ini gak bisa diukur dengan parameter apapun!!! seperti halnya kenapa orang pilih bakwan goreng pinggir jalan daripada beli pizza padahal uangnya ada ... karena selera ... ya selera gak bisa diukur BEJO pun sama!! On 3/2/07, Hartadi, Edo Tri [EMAIL PROTECTED] wrote: rdp ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo Bang Rovicky, berarti seharusnya dalam argumen yang dibawah... Bejo harus dijadikan salah satu parameter kesuksesan... Kadangkala... Ketiga parameter yang sebelumnya juga tidak akan cukup, jika dia tidak bejo... Sehingga... Sebenernya bejo sudah sangat cukup walaupun tanpa IP tinggi, Organisasi, dan Cerdas, begitu bukan? eTH
Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)
bejo itu adalah pemberian yg maha memberi, jadi memang di luar pemikiran manusia seperti oh shofi, he..he.. salam, syaiful On 3/2/07, Shofiyuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: Orang pinter, cerdas, IP tinggi, organisasi bagus ... kalo gak bejo ya ... gimana gitu Jadi orang BEJO jadi orang enak tapi untuk jadi BEJO sering dengan kerja extra keras, tidak harus pinter eee jadi balik lagi . sudahin aja diskusi ini, gak selesai selesai karena masalah BEJO ini gak bisa diukur dengan parameter apapun!!! seperti halnya kenapa orang pilih bakwan goreng pinggir jalan daripada beli pizza padahal uangnya ada ... karena selera ... ya selera gak bisa diukur BEJO pun sama!! On 3/2/07, Hartadi, Edo Tri [EMAIL PROTECTED] wrote: rdp ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo Bang Rovicky, berarti seharusnya dalam argumen yang dibawah... Bejo harus dijadikan salah satu parameter kesuksesan... Kadangkala... Ketiga parameter yang sebelumnya juga tidak akan cukup, jika dia tidak bejo... Sehingga... Sebenernya bejo sudah sangat cukup walaupun tanpa IP tinggi, Organisasi, dan Cerdas, begitu bukan? eTH -- Mohammad Syaiful - Explorationist Mobile: 62-812-9372808 Email: [EMAIL PROTECTED] Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) Head Office: Jl. Tebet Barat Dalam III No.2-B Jakarta 12810 Indonesia Phone: 62-21-8356276 Fax: 62-21-83784140 Email: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Hot News!!! CALL FOR PAPERS: send your abstract by 30 March 2007 to [EMAIL PROTECTED] Joint Convention Bali 2007 - The 32nd HAGI the 36th IAGI Annual Convention and Exhibition, Patra Bali, 19 - 22 November 2007 To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id Pembayaran iuran anggota ditujukan ke: Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta No. Rek: 123 0085005314 Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bank BCA KCP. Manara Mulia No. Rekening: 255-1088580 A/n: Shinta Damayanti IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi -
Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)
On 3/2/07, Hartadi, Edo Tri [EMAIL PROTECTED] wrote: rdp ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo Bang Rovicky, berarti seharusnya dalam argumen yang dibawah... Bejo harus dijadikan salah satu parameter kesuksesan... Kadangkala... Ketiga parameter yang sebelumnya juga tidak akan cukup, jika dia tidak bejo... Sehingga... Sebenernya bejo sudah sangat cukup walaupun tanpa IP tinggi, Organisasi, dan Cerdas, begitu bukan? eTH Waaah ya ndak gitu, itu kan berlaku buat mereka yang sudah sukses, aku sendiri tidak bisa mengkategorikan diriku sudah sukses. Sukses itu kan persepsi personal. Persepsiku sukses adalah, seandainya generasi penerus atau adik-adik dibawahku lebih baik dari aku. nah kalau yang dibawah sudah merasa dirinya lebih baik dari generasiku, aku akan menyatakan generasiku juga sukses otherwise sapa saja boleh menyatakan diriku gagal total ! pripun ? RDP Hot News!!! CALL FOR PAPERS: send your abstract by 30 March 2007 to [EMAIL PROTECTED] Joint Convention Bali 2007 - The 32nd HAGI the 36th IAGI Annual Convention and Exhibition, Patra Bali, 19 - 22 November 2007 To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id Pembayaran iuran anggota ditujukan ke: Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta No. Rek: 123 0085005314 Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bank BCA KCP. Manara Mulia No. Rekening: 255-1088580 A/n: Shinta Damayanti IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi -
Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)
ikutan juga ya.. menarik juga ulasan2 yang sudah ada. kalau misalnya yang kurang mampu selalu belajar dalam hidupnya maka saya yakin dia bisa berhasil dalam hidup(karier) juga. jadi metode yang dilakukan untuk dapat nilai tinggi diterapkan dalam hidup. IP memang tidak selalu bisa di identikkan dengan kecerdasan. tapi apakah hanya orang yang cerdas yang bisa berhasil dalam pekerjaan? menurut artikel2 yang sudah banyak di terbitkan, manusia itu hanya pakai kurang dari 15 % dari kapasitas otaknya. Einstein saja katanya hanya pakai 15 % an. saya tidak tahu bagaimana ngukurnya. tapi banyak sekali yang quote hasil penelitian ini. Nah kalau ini benar maka tidak perlu jadi orang jenius, cukup orang biasa-biasa saja yang mau pake kapasitas otaknya. dan lingkungan pergaulan dan tantangan yang diterima yang membuat orang memakai otaknya secara optimum atau tidak . (justru itu ada pendapat seperti yang disebutkan Oki) jadi mungkin tidak ada orang yang dilahirkan sudah menjadi jenius dan lebih dari pada yang lain. kalau menurut saya recruitment yang optimum akan dicapai kalau memakai prinsip put the right man on the right place. mungkin perusahaan minyak boleh belajar dari rekruitmen pemain sepakbola atau olahraga yang lain di klub2 dunia. setiap calon pemain di recruit berdasarkan dimana dia bisa kontribusi dalam team. misalnya yang kidal dan kuat larinya bisa ditempatkan di kiri luar(tentu saja harus sering latihan bola dan bisa dreeble bola). kalau di geoscientist, yang kuat matematiknya (sering di identik kan dengan jenius) di pekerjakan sebagai geophysicist yang ngerjain processing dan modelling atau yang lain yang perlu analisa matematik yang tinggi. dst... dst.. sebagai tambahan, ada satu artikel di salah satu penerbitan AAPG tahun 80 an yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang sebagai geoscientist dalam dunia perminyakan tergantung dari dua tahun pertama dia. karena pada dua tahun pertama itulah ditumbuhkan minat akan cabang2 geoscientistnya dan juga saat mendapatkan fondasi2 yang diperlukan. ada lagi pendapat: yang bisa berhasil adalah yang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan. fbs IP saya sih biasa2 saja, tidak tinggi tapi cukup untuk lulus Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED] wrote: saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus. tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak? saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa banyak waktu yg dipakai untuk belajar, IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin, atau kurang cerdas tapi sangat rajin. IP rendah, bisa jadi kurang cerdas dan kurang rajin, atau sangat cerdas tapi samasekali tidak rajin. selama menjadi asisten dosen, kasus2 yang saya amati sering terjadi adalah sbb: anak cerdas sering merasa bosan dengan pengajaran yang lambat, atau sering juga jadi merasa terlalu meremehkan pelajaran, berakhir dengan nilai rendah, atau sedang. anak yang kurang cerdas, merasa diri kurang mampu, jadi berambisi untuk mengejar teman-temannya, dia rajin mengerjakan tugas, pr, belajar dsb, berakhir dengan nilai tinggi. saya sendiri beberapa kali melihat kasus dimana mahasiswa berIP tinggi malah kurang bisa berkomunikasi, karena jarang bergaul di kampusnya.. mungkin ini kasus2 untuk dari kelompok kurang cerdas tapi sangat rajin.. semuanya punya kelebihan dan kekurangan masing2... yang paling bagus? menurut saya yang bisa berdiri diantara.. punya kecerdasan lumayan, rajin, dan bisa berkomunikasi (bersosialisasi) kalau mau filter yang cukup mudah, cepat, dan efisien, mungkinbisa lihat IP per semester, disamping IPK.. dalam IP semester itu bisa dilihat kemajuan/kemunduran atau anomali IP selama kuliah, yang mungkin bisa memberi bayangan penyebab nilai IPK. salam, Wayan Young On 2/27/07, Shofiyuddin wrote: Dalam suatu ceramah tentang kecerdasan diperoleh bukti empiris bahwa di negara negara maju, kecerdasan otak hanya menyumbang sekitar sepuluh persen dari kesuksesan, sisanya adalah masalah sikap. Tapi kalo skripsi ini dianggap masalah kecerdasan semata bagaimana memetakkan singkapan yang kemudian diterjemahkan ke dalam konsep geology, saya pikir filter IP sih oke oke saja. Butuh kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus. Shofi On 2/27/07, Parvita Siregar wrote: Bapak2 yang tertarik dengan program IPA, ini saya jelaskan ya... Cak Noor: Ibaratnya, ada orang yang punya duit dan punya interest di Ombilin Basin dan IPA yang mengorganize program ini. Jadi ini samenwerken between IPA and the company, where the money comes from the other company. Untungnya kita dari IPA bisa meyakinkan bahwa project ini bisa dijadikan project thesis mahasiswa di sini, instead of mereka hire bule2 maupun mahasiswa bule. Maka setujulah mereka, asal IPA yang organize. Sama seperti kegiatan rig visit IPA-IAGI, duitnya 100% dari IPA, tetapi tenaga mentor dan materi kuliahnya
Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)
Aku berani bertaruh ada hubungan antara IP dengan kecerdasan dan bahkan kesuksesan. Coba saja diuji dengan statistik, saya yakin modus akan muncul pada pernyataan diatas yaitu ada hubungan antara kecerdasan, IP dan kesuksesan. Sayangnya, selalu saja oarang yag sukses karena tiga hal diatas relatif diam dan tidak mengemuka suaranya. Lebih banyak argumentasi-argumentasi yang berlandaskan azas ANOMALI yang muncul secara acak dan kasuistis. misal : - Aku dulu IPnya rendah toh sekarang bisa sukses. - Aku ini tidak tergolong cerdas (IQ nunduk) toh sekarang bisa menjadi manajer - Walaupun aku IP tinggi aku ini bukan anak cerdas, tetapi tetep juga sukses. Salah satu argumentasi anomali : Anakku dulu disuruh blajar susah banget dia bilang Bill Gates ... sekolah ndak lulus sekarang kaya, tetapi anaknya tetep sekolah dan kiliah, aku cuman jawab Lah emangnya kamu Billgates ? Kamu cuman anaknya Rovicky yg biasa saja, dan bukan cerdas, jadi tetep saja kau harus kerja keras Mungkin kita bisa buat crosplot 3D antara kecerdasan, kesuksesan, dan IP disekolah. Aku kok yakin untuk tujuan praktis menggunakan IP sebagai tolok ukur seleksi masih akan valid dan dapat dipertanggung jawabkan alasannya. Nah kalau bisa ditambah dengan faktor aktif organisasi pasti juga akan terlihat hasilnya. Memang bener IP tinggi saja ... tidak cukup Organisasi thok ndak memenuhi syarat Cerdas doank ... sampun mundur aja sana Jadi, buat mahasiswa -- kalau mau sukses harus punya nulai plus ketiga-tiganya Memang tidak ada superman di dunia ini, tetapi dunia ini sangat kejam sekejam ibu kota dan untuk saat ini bagus saja tidak cukup ! mesti bagsbang ! rdp ip rendah, bodo, males organisasi ... cuman wong bejo On 3/1/07, Franciscus B Sinartio [EMAIL PROTECTED] wrote: ikutan juga ya.. menarik juga ulasan2 yang sudah ada. kalau misalnya yang kurang mampu selalu belajar dalam hidupnya maka saya yakin dia bisa berhasil dalam hidup(karier) juga. jadi metode yang dilakukan untuk dapat nilai tinggi diterapkan dalam hidup. IP memang tidak selalu bisa di identikkan dengan kecerdasan. tapi apakah hanya orang yang cerdas yang bisa berhasil dalam pekerjaan? menurut artikel2 yang sudah banyak di terbitkan, manusia itu hanya pakai kurang dari 15 % dari kapasitas otaknya. Einstein saja katanya hanya pakai 15 % an. saya tidak tahu bagaimana ngukurnya. tapi banyak sekali yang quote hasil penelitian ini. Nah kalau ini benar maka tidak perlu jadi orang jenius, cukup orang biasa-biasa saja yang mau pake kapasitas otaknya. dan lingkungan pergaulan dan tantangan yang diterima yang membuat orang memakai otaknya secara optimum atau tidak . (justru itu ada pendapat seperti yang disebutkan Oki) jadi mungkin tidak ada orang yang dilahirkan sudah menjadi jenius dan lebih dari pada yang lain. kalau menurut saya recruitment yang optimum akan dicapai kalau memakai prinsip put the right man on the right place. mungkin perusahaan minyak boleh belajar dari rekruitmen pemain sepakbola atau olahraga yang lain di klub2 dunia. setiap calon pemain di recruit berdasarkan dimana dia bisa kontribusi dalam team. misalnya yang kidal dan kuat larinya bisa ditempatkan di kiri luar(tentu saja harus sering latihan bola dan bisa dreeble bola). kalau di geoscientist, yang kuat matematiknya (sering di identik kan dengan jenius) di pekerjakan sebagai geophysicist yang ngerjain processing dan modelling atau yang lain yang perlu analisa matematik yang tinggi. dst... dst.. sebagai tambahan, ada satu artikel di salah satu penerbitan AAPG tahun 80 an yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang sebagai geoscientist dalam dunia perminyakan tergantung dari dua tahun pertama dia. karena pada dua tahun pertama itulah ditumbuhkan minat akan cabang2 geoscientistnya dan juga saat mendapatkan fondasi2 yang diperlukan. ada lagi pendapat: yang bisa berhasil adalah yang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan. fbs IP saya sih biasa2 saja, tidak tinggi tapi cukup untuk lulus Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED] wrote: saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus. tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak? saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa banyak waktu yg dipakai untuk belajar, IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin, atau kurang cerdas tapi sangat rajin. IP rendah, bisa jadi kurang cerdas dan kurang rajin, atau sangat cerdas tapi samasekali tidak rajin. selama menjadi asisten dosen, kasus2 yang saya amati sering terjadi adalah sbb: anak cerdas sering merasa bosan dengan pengajaran yang lambat, atau sering juga jadi merasa terlalu meremehkan pelajaran, berakhir dengan nilai rendah, atau sedang. anak yang kurang cerdas, merasa diri kurang mampu, jadi berambisi untuk mengejar teman-temannya, dia rajin mengerjakan tugas, pr, belajar dsb, berakhir dengan nilai tinggi. saya sendiri beberapa kali melihat kasus dimana mahasiswa berIP
Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)
Kalo persaratan ini diterapkan tahun 90 an, yang bisa KP atawa kerja dari ITB cuman segelintir genius model Frankie, Noor, Hasan, Hasto, Sigit etc. Awakyang anggota klompencapir (Kelompok pencinta IP rendah) cuman bisa gigit jari la... Kalo kata istri saya yang tiap hari kerjaannya dibagian rekruting, ada trend bahwa orang yang sukses dalam karir adalah mereka yang waktu mahasiswanya aktif berorganisasi baik di kampus maupun diluar (termasuk parpol) dan bukan mereka yang melulu punya IP tinggi. Recrutment agency dia, sudah sering menyarankan kepada client untuk menghapuskan IP sebagai prasarat awal. Ada yang terima tapi banyak juga perusahaan yang kekeuh. Untuk yang kekeuh, dia cuma bilang 'its their loss' Bagaimana cara penyaringan awal kalau gak pake IP ? Banyak Untuk kasus ini salah satunya adalah dengan melihat track record dia di organisasi. Mungkin bisa kasi bobot lebih untuk yang aktif di pencinta alam atau seperti istilahnya Yanri, punya 'CV rimba' . After all, ini kan pekerjaan pemetaan yang menuntut untuk naik turun bukit dan mungkin gak cocok untuk seorang genius kutubuku yang cuma kuat satu jam di lapangan. Kriteria lain yg mungkin bisa dipakai adalah apakah dia pernah kerja prktek,presentasi, jadi asisten lab, pengurus Himpunan, RT, remaja mesjid/gereja dll. Cara kedua, bisa memanfaatkan 'persaingan' antar institusi pendidikan. Misalnya minta tiap uni untuk hanya mengirim 5 atau 10 of their best students. Jurusan otomatis akan mencari kandidat yang fit for purpose untuk tugas yang akan ditempuh . Dengan cara ini, praktis panitia mendelegasikan tugas pre-screening pada institusi yang mestinya paling tahu mengenai kondite si kandidat yaitu universitas masing-masing. Variant dari metode ini adalah hanya mempertimbangkan kandidat yang punya surat rekomendasi dari jurusannya, dengan asumsi bahwa jurusan hanya akan merekomendasikan mereka yang dianggap layak..gak tahu apakah asumsi valid apa gak he he he Cara ketiga, paling susah. Undang semua pelamar tanpa pre screening. Langsung test (tertulis dan wawancara) bareng-bareng dan pilih yang paling baik dari semua. Cara ini paling 'adil' karena semua punya kesempatan yang sama tapi juga paling mahal karena mesti memberi akomodasi dan transportasi buat peserta supaya tidak terlalu bias terhadap mereka yang berdomisili di Jakarta. Eee, sekedar saran putusan tentunya di tangan panitia. Cheers Oki Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED] wrote: saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus. tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak? saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa banyak waktu yg dipakai untuk belajar, IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin, atau kurang cerdas tapi sangat rajin. IP rendah, bisa jadi kurang cerdas dan kurang rajin, atau sangat cerdas tapi samasekali tidak rajin. selama menjadi asisten dosen, kasus2 yang saya amati sering terjadi adalah sbb: anak cerdas sering merasa bosan dengan pengajaran yang lambat, atau sering juga jadi merasa terlalu meremehkan pelajaran, berakhir dengan nilai rendah, atau sedang. anak yang kurang cerdas, merasa diri kurang mampu, jadi berambisi untuk mengejar teman-temannya, dia rajin mengerjakan tugas, pr, belajar dsb, berakhir dengan nilai tinggi. saya sendiri beberapa kali melihat kasus dimana mahasiswa berIP tinggi malah kurang bisa berkomunikasi, karena jarang bergaul di kampusnya.. mungkin ini kasus2 untuk dari kelompok kurang cerdas tapi sangat rajin.. semuanya punya kelebihan dan kekurangan masing2... yang paling bagus? menurut saya yang bisa berdiri diantara.. punya kecerdasan lumayan, rajin, dan bisa berkomunikasi (bersosialisasi) kalau mau filter yang cukup mudah, cepat, dan efisien, mungkinbisa lihat IP per semester, disamping IPK.. dalam IP semester itu bisa dilihat kemajuan/kemunduran atau anomali IP selama kuliah, yang mungkin bisa memberi bayangan penyebab nilai IPK. salam, Wayan Young On 2/27/07, Shofiyuddin wrote: Dalam suatu ceramah tentang kecerdasan diperoleh bukti empiris bahwa di negara negara maju, kecerdasan otak hanya menyumbang sekitar sepuluh persen dari kesuksesan, sisanya adalah masalah sikap. Tapi kalo skripsi ini dianggap masalah kecerdasan semata bagaimana memetakkan singkapan yang kemudian diterjemahkan ke dalam konsep geology, saya pikir filter IP sih oke oke saja. Butuh kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus. Shofi On 2/27/07, Parvita Siregar wrote: Bapak2 yang tertarik dengan program IPA, ini saya jelaskan ya... Cak Noor: Ibaratnya, ada orang yang punya duit dan punya interest di Ombilin Basin dan IPA yang mengorganize program ini. Jadi ini samenwerken between IPA and the company, where the money comes from the other company. Untungnya kita dari IPA bisa meyakinkan bahwa project
Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)
saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus. tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak? saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa banyak waktu yg dipakai untuk belajar, IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin, atau kurang cerdas tapi sangat rajin. IP rendah, bisa jadi kurang cerdas dan kurang rajin, atau sangat cerdas tapi samasekali tidak rajin. selama menjadi asisten dosen, kasus2 yang saya amati sering terjadi adalah sbb: anak cerdas sering merasa bosan dengan pengajaran yang lambat, atau sering juga jadi merasa terlalu meremehkan pelajaran, berakhir dengan nilai rendah, atau sedang. anak yang kurang cerdas, merasa diri kurang mampu, jadi berambisi untuk mengejar teman-temannya, dia rajin mengerjakan tugas, pr, belajar dsb, berakhir dengan nilai tinggi. saya sendiri beberapa kali melihat kasus dimana mahasiswa berIP tinggi malah kurang bisa berkomunikasi, karena jarang bergaul di kampusnya.. mungkin ini kasus2 untuk dari kelompok kurang cerdas tapi sangat rajin.. semuanya punya kelebihan dan kekurangan masing2... yang paling bagus? menurut saya yang bisa berdiri diantara.. punya kecerdasan lumayan, rajin, dan bisa berkomunikasi (bersosialisasi) kalau mau filter yang cukup mudah, cepat, dan efisien, mungkinbisa lihat IP per semester, disamping IPK.. dalam IP semester itu bisa dilihat kemajuan/kemunduran atau anomali IP selama kuliah, yang mungkin bisa memberi bayangan penyebab nilai IPK. salam, Wayan Young On 2/27/07, Shofiyuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: Dalam suatu ceramah tentang kecerdasan diperoleh bukti empiris bahwa di negara negara maju, kecerdasan otak hanya menyumbang sekitar sepuluh persen dari kesuksesan, sisanya adalah masalah sikap. Tapi kalo skripsi ini dianggap masalah kecerdasan semata bagaimana memetakkan singkapan yang kemudian diterjemahkan ke dalam konsep geology, saya pikir filter IP sih oke oke saja. Butuh kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus. Shofi On 2/27/07, Parvita Siregar [EMAIL PROTECTED] wrote: Bapak2 yang tertarik dengan program IPA, ini saya jelaskan ya... Cak Noor: Ibaratnya, ada orang yang punya duit dan punya interest di Ombilin Basin dan IPA yang mengorganize program ini. Jadi ini samenwerken between IPA and the company, where the money comes from the other company. Untungnya kita dari IPA bisa meyakinkan bahwa project ini bisa dijadikan project thesis mahasiswa di sini, instead of mereka hire bule2 maupun mahasiswa bule. Maka setujulah mereka, asal IPA yang organize. Sama seperti kegiatan rig visit IPA-IAGI, duitnya 100% dari IPA, tetapi tenaga mentor dan materi kuliahnya dari IAGI, dan lapangannya ya well2 yang lagi didrill sama Pertamina (tanya kenapa: kok wellnya Pertamina???). Mas Herman: Setelah proposal masuk, kita masih ada tahap interview. Kalau melihat IPK para pelamar2 pekerjaan di oil companies, sekarang banyak yang IPKnya di atas 3.0. Ndak seperti jamannya kita dulu, apalagi yang di ITB, yang dapet IP di atas 2.6 saja sudah bagus (artinya banyak C, dan beberapa B kan). Analogi: Femina suka mengadakan pemilihan Wajah Femina, syaratnya umurnya tidak lebih dari 25 kalau ndak salah. Saya mikir, teman2 saya banyak yang bilang saya keren dan baby face, kok pake dibatasi sih usianya. Tapi kalau tidak dibatasi, nanti yang datang segabruk. Padahal saya mau meyakinkan kalau saya itu umurnya masih 23 lho. Itu aja di Femina sudah ada dedicated team yang khusus nanganin program itu, sementara untuk program IPA ini kerjaan volunteer, in which kita ngerjain ini di luar jam kantor. Kalau soal nyontek menyontek ya saya ndak tahu ya, Mas Herman, you know that it is beyond our ability to know that. Tenang aja bapak2, ibu2, program ini 100% halal, legal, tidak melanggar business ethics and cenderung mendatangkan manfaat dan kesempatan bagi para mahasiswa (amiiin). Berhubung program ini baru pertama kali kita adakan, jadi musti agak ketat seleksinya. Dan mudah2an program seperti ini bisa berlanjut di tahun2 berikutnya, sebagaimana Student Oral Poster session di Annual Convention dulu, walaupun banyak pro kontra, sekarang sudah berjalan sendiri dan menjadi acara rutin IPA tiap tahun. Mudah2an penjelasan ini cukup memuaskan. Nuhun ya moderator IAGI, boleh mengiklankan programnya IPA didieu! Wassalam, Parvita H. Siregar Chief Geologist Salamander Energy Jakarta-Indonesia Disclaimer: This email (including any attachments to it) is confidential and is sent for the personal attention of the intended recipient only and may contain information that is privileded, confidential or exempt from disclosure. If you have received this email in error, please advise us immediately and delete it. You are notified that using, disclosing, copying, distributing or taking any action in reliance
Re: [iagi-net-l] seleksi (Re: [iagi-net-l] FW: IPA sponsored field study opportunity_v1)
Belum lagi kalau standar nilai (IP) dari setiap perguruan tinggi yang (dianggap) berbeda. Gak jarang kita melihat publikasi/iklan seperti ini ; IP 2.7 untuk Univ Negri dan 3.0 untuk Univ swasta. sangat rasial tapi ini fakta. benz Pada tanggal 07/02/27, Wayan Ismara Heru Young [EMAIL PROTECTED] menulis: saya tertarik dengan kalimat bapak shofi : Butuh kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus. tapi apa kecerdasan selalu tercermin pada IP pak? saya rasa IP itu gabungan antara kecerdasan dan keseriusan (seberapa banyak waktu yg dipakai untuk belajar, IP tinggi, bisa jadi sangat cerdas dan cukup rajin, atau kurang cerdas tapi sangat rajin. IP rendah, bisa jadi kurang cerdas dan kurang rajin, atau sangat cerdas tapi samasekali tidak rajin. selama menjadi asisten dosen, kasus2 yang saya amati sering terjadi adalah sbb: anak cerdas sering merasa bosan dengan pengajaran yang lambat, atau sering juga jadi merasa terlalu meremehkan pelajaran, berakhir dengan nilai rendah, atau sedang. anak yang kurang cerdas, merasa diri kurang mampu, jadi berambisi untuk mengejar teman-temannya, dia rajin mengerjakan tugas, pr, belajar dsb, berakhir dengan nilai tinggi. saya sendiri beberapa kali melihat kasus dimana mahasiswa berIP tinggi malah kurang bisa berkomunikasi, karena jarang bergaul di kampusnya.. mungkin ini kasus2 untuk dari kelompok kurang cerdas tapi sangat rajin.. semuanya punya kelebihan dan kekurangan masing2... yang paling bagus? menurut saya yang bisa berdiri diantara.. punya kecerdasan lumayan, rajin, dan bisa berkomunikasi (bersosialisasi) kalau mau filter yang cukup mudah, cepat, dan efisien, mungkinbisa lihat IP per semester, disamping IPK.. dalam IP semester itu bisa dilihat kemajuan/kemunduran atau anomali IP selama kuliah, yang mungkin bisa memberi bayangan penyebab nilai IPK. salam, Wayan Young On 2/27/07, Shofiyuddin [EMAIL PROTECTED] wrote: Dalam suatu ceramah tentang kecerdasan diperoleh bukti empiris bahwa di negara negara maju, kecerdasan otak hanya menyumbang sekitar sepuluh persen dari kesuksesan, sisanya adalah masalah sikap. Tapi kalo skripsi ini dianggap masalah kecerdasan semata bagaimana memetakkan singkapan yang kemudian diterjemahkan ke dalam konsep geology, saya pikir filter IP sih oke oke saja. Butuh kecerdasan yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bagus. Shofi On 2/27/07, Parvita Siregar [EMAIL PROTECTED] wrote: Bapak2 yang tertarik dengan program IPA, ini saya jelaskan ya... Cak Noor: Ibaratnya, ada orang yang punya duit dan punya interest di Ombilin Basin dan IPA yang mengorganize program ini. Jadi ini samenwerken between IPA and the company, where the money comes from the other company. Untungnya kita dari IPA bisa meyakinkan bahwa project ini bisa dijadikan project thesis mahasiswa di sini, instead of mereka hire bule2 maupun mahasiswa bule. Maka setujulah mereka, asal IPA yang organize. Sama seperti kegiatan rig visit IPA-IAGI, duitnya 100% dari IPA, tetapi tenaga mentor dan materi kuliahnya dari IAGI, dan lapangannya ya well2 yang lagi didrill sama Pertamina (tanya kenapa: kok wellnya Pertamina???). Mas Herman: Setelah proposal masuk, kita masih ada tahap interview. Kalau melihat IPK para pelamar2 pekerjaan di oil companies, sekarang banyak yang IPKnya di atas 3.0. Ndak seperti jamannya kita dulu, apalagi yang di ITB, yang dapet IP di atas 2.6 saja sudah bagus (artinya banyak C, dan beberapa B kan). Analogi: Femina suka mengadakan pemilihan Wajah Femina, syaratnya umurnya tidak lebih dari 25 kalau ndak salah. Saya mikir, teman2 saya banyak yang bilang saya keren dan baby face, kok pake dibatasi sih usianya. Tapi kalau tidak dibatasi, nanti yang datang segabruk. Padahal saya mau meyakinkan kalau saya itu umurnya masih 23 lho. Itu aja di Femina sudah ada dedicated team yang khusus nanganin program itu, sementara untuk program IPA ini kerjaan volunteer, in which kita ngerjain ini di luar jam kantor. Kalau soal nyontek menyontek ya saya ndak tahu ya, Mas Herman, you know that it is beyond our ability to know that. Tenang aja bapak2, ibu2, program ini 100% halal, legal, tidak melanggar business ethics and cenderung mendatangkan manfaat dan kesempatan bagi para mahasiswa (amiiin). Berhubung program ini baru pertama kali kita adakan, jadi musti agak ketat seleksinya. Dan mudah2an program seperti ini bisa berlanjut di tahun2 berikutnya, sebagaimana Student Oral Poster session di Annual Convention dulu, walaupun banyak pro kontra, sekarang sudah berjalan sendiri dan menjadi acara rutin IPA tiap tahun. Mudah2an penjelasan ini cukup memuaskan. Nuhun ya moderator IAGI, boleh mengiklankan programnya IPA didieu! Wassalam, Parvita H. Siregar Chief Geologist Salamander Energy Jakarta-Indonesia Disclaimer: This email (including any attachments to it) is confidential and is sent for the personal attention of the intended