[Ida-Krisna Show] DOA KANG SUTO (Mohammad Sobary, Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 1991)

2005-11-10 Terurut Topik Doni Wibisono Wiroto





mungkin bisa jadi cermin agar hati 
kita tetap terjaga kebrsihannya sampai ramadhan berikutnya

doni

DOA KANG SUTOPernah saya tinggal di Perumnas 
Klender. Rumah itu dekatmesjid yang 
sibuk. Siang malam orang pada ngaji. Saya takselalu bisa ikut. Saya 
sibuk ngaji yang lain.Lingkungan sesak itu saya amati. Tak 
cuma di mesjid. Dirumah-rumah pun setiap 
habis magrib saya temui kelompokorang belajar 
membaca Al Quran. Anak-anak, ibu-ibu 
danbapak-bapak, di tiap gang giat mengaji. Ustad pun 
diundang.Di jalan Malaka bahkan ada kelompok serius bicara 
sufisme.Mereka cabang sebuah tarekat yang inti ajarannya 
berserahpada Tuhan. Mereka banyak zikir. Solidaritas 
mereka kuat.Semangat agamis, pendeknya, menyebar di mana-mana.Dua 
puluh tahun lebih di Jakarta, tak saya temukan 
corakhidup macam itu sebelumnya. Saya bertanya: gejala apa 
ini?Saya tidak heran Rendra dibayar dua belas juta untuk 
membacasajak di Senayan. Tapi, melihat Ustad Zainuddin 
tiba-tibajadi superstar pengajian (ceramahnya 
melibatkan panitia,stadion, puluhan ribu jemaah dan honor 
besar), sekali lagisaya dibuat bertanya: jawaban 
sosiologis apa yang harusdiberikan 
buat menjelaskan gairah Islam, termasuk 
dikampus-kampus sekular kita? Benarkah ini wujud santrinisasi?Di 
Klender yang banyak mesjid itu saya mencoba 
menghayatikeadaan. Sering ustad menasihati, 
"Hiasi dengan bacaanQuran, biar rumahmu teduh."Para 
"Unyil" ke mesjid, berpici dan ngaji. Pendeknya, orangseperti kemarok 
terhadap agama.Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang 
Tuhan, munculKang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah 
lama iaingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya. Dan dia 
tidaktahu. Dia pun menemui pak ustad untuk 
minta bimbingan,setapak demi setapak.Ustad Betawi 
itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena,biarpun sudah tua, ia 
masih bersemangat belajar. Katanya,"Menuntut 
ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa ilmu takditerima. 
Repotnya, malaikat yang mencatat amal kita cumatahu bahasa 
Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal kitatak sia-sia."Setelah 
pendahuluan yang bertele-tele, ngaji pun 
dimulai.Alip, ba, ta, dan seterusnya. Tapi di tingkat awal ini 
KangSuto sudah keringat dingin. Digebuk pun tak bakal ia 
bisamenirukan pak ustad. Di Sruweng, kampungnya, 'ain itu 
tidakada. Adanya cuma ngain. Pokoknya, kurang lebih, ngain."Ain, Pak 
Suto," kata Ustad Bentong bin H. Sabit."Ngain," kata Kang 
Suto."Ya kaga bisa nyang begini mah," pikir ustad.Itulah 
hari pertama dan terakhir pertemuan mereka 
yangrunyem itu. Tapi Kang Suto tak putus asa. 
Dia cari gurungaji lain. Nah, ketemu anak 
PGA. Langsung Kang Sutodiajarinya baca 
Al-Fatihah."Al-kham-du ...," tuntun guru 
barunya."Al-kam-ndu ...," Kang Suto 
menirukan. Gurunya bilang,"Salah.""Alkhamdulillah ...," 
panjang sekalian, pikir gurunya itu."Lha kam ndu lilah ...," Guru itu 
menarik napas. Dia merasawajib meluruskan. Dia bilang, bahasa Arab 
tidak sembarangan.Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita dosa 
karena mengubaharti Quran.Kang Suto takut. "Mau belajar malah 
cari dosa," gerutunya.Ia tahu, saya tak paham soal kitab. Tapi ia datang 
ke rumah,minta pandangan keagamaan saya."Begini Kang," akhirnya saya 
menjawab. "Kalau ada ustad yangbisa menerima ngain, teruskan ngaji. 
Kalau tidak, apa bolehbuat. Salat saja sebisanya. Soal diterima 
tidaknya, urusanTuhan. Lagi pula bukan 
bunyi yang penting. Kalau Tuhanmengutamakan ain, menolak ngain, 
orang Sruweng masuk nerakasemua, dan surga isinya cuma Arab 
melulu."Kang Suto mengangguk-angguk.Saya ceritakan kisah 
ketika Nabi Musa marah pada orang yangtak fasih berdoa. Beliau langsung 
ditegur Tuhan. "Biarkan,Musa. Yang 
penting ketulusan hati, bukan 
kefasihanlidahnya.""Sira guru nyong," (kau guruku) katanya, 
gembira.Sering kami lalu bicara agama dengan sudut 
pandang Jawa.Kami menggunakan sikap semeleh, 
berserah, pada Dia yangMahawelas dan Asih. Dan saya pun tak 
berkeberatan ia zikir,"Arokmanirokim," (Yang Pemurah, 
Pengasih).Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya, 
kamisalat di teras mesjid yang sudah tutup, gelap dan sunyi. 
Iamembisikkan kegelisahannya pada Tuhan."Ya Tuhan, 
adakah gunanya doa hamba yang tak fasih ini.Salahkah 
hamba, duh Gusti, yang hati-Nya luas tanpa 
batas..."Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam 
penglihatannya,mesjid gelap itu seperti mandi cahaya. Terang-benderang. 
Dankang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai pagi ...Mohammad 
Sobary, Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 
1991





=
Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day! -- Ida  Krisna

Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=






  




  
  
  YAHOO! GROUPS LINKS



  Visit your group "idakrisnashow" on the 

Re: [Ida-Krisna Show] DOA KANG SUTO (Mohammad Sobary, Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 1991)

2005-11-10 Terurut Topik M IRSYAD





tulisan yang menarik.
tulisan kang sobari -dari buku kang sejo mencari 
tuhan- lebih lengkap dapat dibaca di http://media.isnet.org/v01/sufi/Sejo/toc.html
yang sedang saya cari dari tulisan kang 
sobariberjudul "tombo ati". kalau ada anggota milis yang tahu, mohon 
diinformasikan.

irsyad

  - Original Message - 
  From: 
  Doni Wibisono Wiroto 
  To: idakrisnashow@yahoogroups.com 
  
  Sent: Friday, November 11, 2005 11:28 
  AM
  Subject: [Ida-Krisna Show] DOA KANG SUTO 
  (Mohammad Sobary, Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 1991)
  
  mungkin bisa jadi cermin agar hati 
  kita tetap terjaga kebrsihannya sampai ramadhan berikutnya
  
  doni
  
  DOA KANG SUTOPernah saya tinggal di Perumnas 
  Klender. Rumah itu dekatmesjid yang 
  sibuk. Siang malam orang pada ngaji. Saya takselalu bisa ikut. Saya 
  sibuk ngaji yang lain.Lingkungan sesak itu saya amati. Tak 
  cuma di mesjid. Dirumah-rumah pun 
  setiap habis magrib saya temui kelompokorang 
  belajar membaca Al Quran. Anak-anak, 
  ibu-ibu danbapak-bapak, di tiap gang giat mengaji. Ustad pun 
  diundang.Di jalan Malaka bahkan ada kelompok serius bicara 
  sufisme.Mereka cabang sebuah tarekat yang inti ajarannya 
  berserahpada Tuhan. Mereka banyak zikir. Solidaritas 
  mereka kuat.Semangat agamis, pendeknya, menyebar di mana-mana.Dua 
  puluh tahun lebih di Jakarta, tak saya temukan 
  corakhidup macam itu sebelumnya. Saya bertanya: gejala apa 
  ini?Saya tidak heran Rendra dibayar dua belas juta untuk 
  membacasajak di Senayan. Tapi, melihat Ustad Zainuddin 
  tiba-tibajadi superstar pengajian (ceramahnya 
  melibatkan panitia,stadion, puluhan ribu jemaah dan 
  honor besar), sekali lagisaya dibuat bertanya: jawaban 
  sosiologis apa yang harusdiberikan 
  buat menjelaskan gairah Islam, termasuk 
  dikampus-kampus sekular kita? Benarkah ini wujud santrinisasi?Di 
  Klender yang banyak mesjid itu saya mencoba 
  menghayatikeadaan. Sering ustad menasihati, 
  "Hiasi dengan bacaanQuran, biar rumahmu teduh."Para 
  "Unyil" ke mesjid, berpici dan ngaji. Pendeknya, orangseperti 
  kemarok terhadap agama.Dalam suasana ketika tiap orang yakin 
  tentang Tuhan, munculKang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah. 
  Sudah lama iaingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya. 
  Dan dia tidaktahu. Dia pun menemui pak ustad 
  untuk minta bimbingan,setapak demi setapak.Ustad 
  Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena,biarpun sudah 
  tua, ia masih bersemangat belajar. 
  Katanya,"Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa 
  ilmu takditerima. Repotnya, malaikat yang mencatat amal 
  kita cumatahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal 
  kitatak sia-sia."Setelah pendahuluan yang bertele-tele, 
  ngaji pun dimulai.Alip, ba, ta, dan seterusnya. Tapi di 
  tingkat awal ini KangSuto sudah keringat dingin. Digebuk pun tak 
  bakal ia bisamenirukan pak ustad. Di Sruweng, 
  kampungnya, 'ain itu tidakada. Adanya cuma ngain. Pokoknya, kurang lebih, 
  ngain."Ain, Pak Suto," kata Ustad Bentong bin H. 
  Sabit."Ngain," kata Kang Suto."Ya kaga bisa nyang begini mah," 
  pikir ustad.Itulah hari pertama dan terakhir 
  pertemuan mereka yangrunyem itu. Tapi 
  Kang Suto tak putus asa. Dia cari gurungaji lain. 
  Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang 
  Sutodiajarinya baca Al-Fatihah."Al-kham-du ...," tuntun guru 
  barunya."Al-kam-ndu ...," Kang Suto 
  menirukan. Gurunya bilang,"Salah.""Alkhamdulillah 
  ...," panjang sekalian, pikir gurunya itu."Lha kam ndu lilah ...," 
  Guru itu menarik napas. Dia merasawajib meluruskan. Dia bilang, 
  bahasa Arab tidak sembarangan.Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita 
  dosa karena mengubaharti Quran.Kang Suto takut. "Mau 
  belajar malah cari dosa," gerutunya.Ia tahu, saya tak paham soal 
  kitab. Tapi ia datang ke rumah,minta pandangan keagamaan 
  saya."Begini Kang," akhirnya saya menjawab. "Kalau ada ustad 
  yangbisa menerima ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa 
  bolehbuat. Salat saja sebisanya. Soal diterima tidaknya, 
  urusanTuhan. Lagi pula bukan bunyi 
  yang penting. Kalau Tuhanmengutamakan ain, menolak ngain, orang 
  Sruweng masuk nerakasemua, dan surga isinya cuma Arab 
  melulu."Kang Suto mengangguk-angguk.Saya ceritakan kisah 
  ketika Nabi Musa marah pada orang yangtak fasih berdoa. Beliau langsung 
  ditegur Tuhan. "Biarkan,Musa. Yang 
  penting ketulusan hati, bukan 
  kefasihanlidahnya.""Sira guru nyong," (kau guruku) katanya, 
  gembira.Sering kami lalu bicara agama dengan sudut 
  pandang Jawa.Kami menggunakan sikap semeleh, 
  berserah, pada Dia yangMahawelas dan Asih. Dan saya pun tak 
  berkeberatan ia zikir,"Arokmanirokim," (Yang Pemurah, 
  Pengasih).Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya, 
  kamisalat di teras mesjid yang sudah tutup, gelap dan sunyi. 
  Iamembisikka