Ida Arimurti OOT: Intel (Buku Pilihan Saya Untuk Bulan Maret 2007 )

2007-03-29 Terurut Topik Pandu Ganesa

Intel--Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia
Ken Conboy
Penerbit Pustaka Primatama, Jakarta 2007
ISBN: 978-9-793-93015-2
XIV + 294 halaman

Akhir-akhir ini media massa Indonesia--terutama televisi--mempunyai 
tradisi baru. Setiap kali terjadi peristiwa besar--terutama teror 
bom--maka sebagai bagian dari kemasan pemberitaannya, stasiun 
televisi gemar menghadirkan pengamat intelijen untuk melakukan 
analisa. 

Manullang, Suripto dan Almarhum Juanda adalah beberapa pengamat 
intelijen yang sering mengoceh di layar televisi kita. Tapi karena 
dilakukan dalam durasi yang sangat singkat maka tentu saja ocehan 
para pengamat intelijen tersebut menjadi terkesan sumir, menjemukan
dan acapkali bodoh. 

Ketika asap ledakan Bom Bali I atau II belum lagi pupus, maka 
para pengamat intelijen itu sudah mengoceh tentang teori small 
nuclear bomb. Dan cilakanya sebagai pemirsa kita tak pernah mendapat
kesempatan untuk mendengar pertanggung-jawaban mereka, ketika 
ternyata hasil penyelidikan polisi menunjukkan bahwa bom tersebut 
adalah bom biasa yang berdaya ledak tinggi. 

Para pengamat intelijen tersebut juga gemar mengaitkan sebuah 
peristiwa--yang belum lagi diselidiki secara tuntas oleh polisi--
sebagai sebuah konspirasi negara asing untuk memecah-belah Indonesia.
Dan cilakanya mereka tak pernah mampu untuk menerangkan 
secara masuk akal bagaimana cara kerja dan ditil konspirasi 
tersebut dijalankan.

Memang kalau diocehkan hanya secara garis besar, kisah-kisah 
intelijen akan mejemukan. Kisah-kisah intelijen baru akan menarik 
kalau dituliskan secara panjang lebar dan dirangkai dalam gaya 
fiksi. 

Dan pada kenyataannya kisah-kisah intelijen memang boleh dikatakan 
sebagai fiksi. Karena sifat operasi intelijen yang serba samar-
samar, maka tidak akan pernah ada alat yang bisa mengukur atau 
memverifikasi apakah kisah-kisah tersebut memang benar demikian.

Kita tidak pernah tahu sejauh mana sebenarnya kebenaran yang ada 
dalam kisah tentang CIA, KGB atau Mossad, yang ditulis oleh mereka 
yang mengaku dekat atau pernah menjadi bagian dari institusi 
tersebut. Sebaliknya kita juga cenderung untuk percaya bahwa
fiksi The Hunt for The Red October juga mengandung kebenaran. Tapi 
karena si penulis mampu menghidupkan kisah-kisah tersebut maka tak 
terlalu perduli lagi terhadap fakta dan kebenaran. Kita hanya 
menikmati kisah-kisah tersebut. Dan memang demikianlah hakekatnya 
membaca kisah-kisah intelijen.

Berbeda dengan pengamat intelijen seperti Manullang, Suripto atau 
Juanda, Ken Conboy tidak mengoceh secara sumir di televisi. Ia 
menuliskan berbagai kasus dan peristiwa yang pernah terjadi dalam 
dunia intelijen Indonesia dalam uraian-uraian yang rinci, masuk 
akal dan enak.

Buku ini berisi berbagai kasus dan peristiwa yang terjadi dalam 
dunia Intelijen Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga tahun 2000-
an. Walau pun Ken Conboy hanya bercerita tentang intel melayu, 
tapi ia mampu membuat kita terpukau seperti ketika membaca
kisah-kisah tentang Mossad dalam The Way of Deception.

Dalam kisah Durna--misalnya--Ken Conboy bercerita tentang 
pertarungan perebutan kekuasaan dalam memanfaatkan intelijen. 
(Karena ruang geraknya yang serba tertutup maka intelijen selalu 
memiliki kecenderungan untuk merambah kemana-mana dan gampang
dimanfaatkan oleh fihak-fihak yang berkepentingan. Kisah-kisah 
tentang intrik politik dengan memanfaatkan intelijen, kisah-kisah 
tentang bagaimana seorang kepala negara harus menjinakkan 
intelijen agar selalu berfihak pada kepentingannya, kisah-kisah
deception dsb adalah kisah-kisah intelijen yang menarik untuk 
dibaca).

Dalam Kerajaan Pertapa Ken Conboy bercerita tentang intelijen 
Indonesia yang tak putus-putusnya menguping dan mengintip gerak-
gerik para diplomat Kore Utara. (Sebagaimana diketahui, pada masa 
Orde Baru isyu tentang komunis adalah sesuatu yang harus selalu
diwaspadai). Acapkali, setelah capek memasang alat penyadap dan 
menguping, maka yang didengar seorang agen di ujung sana hanyalah 
suara dua makhluk berlainan jenis yang sedang berkencan; bukan 
pembicaraan politik atau perencanaan teror. 

Dalam Sasaran Sulit Ken Conboy bercerita tentang bagaimana 
intelijen Uni Soviet merekrut beberapa perwira TNI untuk mensuplai 
informasi. (Dan kita tentu masih ingat skandal seorang kolonel 
Angkatan Laut yang tertangkap karena mensuplai peta-peta kelautan 
kita terhadap intelijen Uni Soviet).

Dalam Faruq Ken Conboy bercerita tentang Umar Faruq dan jaringan 
teror al-Qaeda di Indonesia. 

Sebagaimana kita ketahui pada tahun 2002 Umar Faruq tertangkap oleh 
BIN dan dikirim ke sebuah pangkalan AS di Afghanistan untuk ditahan. 
Memang dalam uraiannya Ken Conboy tidak sempat mengulas bagaimana Al 
Faruq di kemudian hari bisa lolos dari tahanan. (Kalau saja ada
sedikit simpul fakta tambahan, maka Ken Conboy pasti bisa menyajikan 
kisah lain yang menarik, yaitu tentang siapa memanfaatkan 
siapa, siapa mengumpan siapa sebagaimana layaknya yang banyak 
terjadi di dunia intelijen. Tapi 

Re: Ida Arimurti OOT: Intel (Buku Pilihan Saya Untuk Bulan Maret 2007 )

2007-03-29 Terurut Topik Jamsir Sabara
Untuk tambahan referensi, buku Mossad juga layak dibaca, tulisan David Lahav. 
Sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. 

Yang membuat saya surprise adalah, jumlah personnel Mossad jauh lebih kecil 
dibandingkan dengan KGB atau CIA. Mossad tidak perlu membuka kantor di 
negara-negara Arab dan negara lain yang bermusuhan dengan Israel. Tapi cukup di 
Eropa Barat dan Amerika Utara. Kenapa? Di Eropa Barat dan Amerika Utara lah 
para intelektual dari negara-negara yang bermusuhan dengan Israel akan 
bersekolah. Di sanalah, secara tidak sadar mereka direkrut oleh Mossad. Untuk 
dapat informasi dari militer, Mossad punya cara, rekrut mereka saat mengikuti 
pelatihan di Eropa Barat atau North America. Belum lagi kalau negera-negara 
tersebut akan membeli senjata. Ada paket dari Mossad. 

Banyak kisah-kisah menarik dari buku Mossad itu. Dan apakah secara tidak sadar 
kita telah menjadi agen Mossad?


Jamsir   


- Original Message 
From: Pandu Ganesa [EMAIL PROTECTED]
To: idakrisnashow@yahoogroups.com
Sent: Thursday, March 29, 2007 8:36:43 AM
Subject: Ida Arimurti OOT: Intel (Buku Pilihan Saya Untuk Bulan Maret 2007 )


Intel--Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia
Ken Conboy
Penerbit Pustaka Primatama, Jakarta 2007
ISBN: 978-9-793-93015- 2
XIV + 294 halaman

Akhir-akhir ini media massa Indonesia--terutama televisi--mempunyai 
tradisi baru. Setiap kali terjadi peristiwa besar--terutama teror 
bom--maka sebagai bagian dari kemasan pemberitaannya, stasiun 
televisi gemar menghadirkan pengamat intelijen untuk melakukan 
analisa. 

Manullang, Suripto dan Almarhum Juanda adalah beberapa pengamat 
intelijen yang sering mengoceh di layar televisi kita. Tapi karena 
dilakukan dalam durasi yang sangat singkat maka tentu saja ocehan 
para pengamat intelijen tersebut menjadi terkesan sumir, menjemukan
dan acapkali bodoh. 

Ketika asap ledakan Bom Bali I atau II belum lagi pupus, maka 
para pengamat intelijen itu sudah mengoceh tentang teori small 
nuclear bomb. Dan cilakanya sebagai pemirsa kita tak pernah mendapat
kesempatan untuk mendengar pertanggung- jawaban mereka, ketika 
ternyata hasil penyelidikan polisi menunjukkan bahwa bom tersebut 
adalah bom biasa yang berdaya ledak tinggi. 

Para pengamat intelijen tersebut juga gemar mengaitkan sebuah 
peristiwa--yang belum lagi diselidiki secara tuntas oleh polisi--
sebagai sebuah konspirasi negara asing untuk memecah-belah Indonesia.
Dan cilakanya mereka tak pernah mampu untuk menerangkan 
secara masuk akal bagaimana cara kerja dan ditil konspirasi 
tersebut dijalankan.

Memang kalau diocehkan hanya secara garis besar, kisah-kisah 
intelijen akan mejemukan. Kisah-kisah intelijen baru akan menarik 
kalau dituliskan secara panjang lebar dan dirangkai dalam gaya 
fiksi. 

Dan pada kenyataannya kisah-kisah intelijen memang boleh dikatakan 
sebagai fiksi. Karena sifat operasi intelijen yang serba samar-
samar, maka tidak akan pernah ada alat yang bisa mengukur atau 
memverifikasi apakah kisah-kisah tersebut memang benar demikian.

Kita tidak pernah tahu sejauh mana sebenarnya kebenaran yang ada 
dalam kisah tentang CIA, KGB atau Mossad, yang ditulis oleh mereka 
yang mengaku dekat atau pernah menjadi bagian dari institusi 
tersebut. Sebaliknya kita juga cenderung untuk percaya bahwa
fiksi The Hunt for The Red October juga mengandung kebenaran. Tapi 
karena si penulis mampu menghidupkan kisah-kisah tersebut maka tak 
terlalu perduli lagi terhadap fakta dan kebenaran. Kita hanya 
menikmati kisah-kisah tersebut. Dan memang demikianlah hakekatnya 
membaca kisah-kisah intelijen.

Berbeda dengan pengamat intelijen seperti Manullang, Suripto atau 
Juanda, Ken Conboy tidak mengoceh secara sumir di televisi. Ia 
menuliskan berbagai kasus dan peristiwa yang pernah terjadi dalam 
dunia intelijen Indonesia dalam uraian-uraian yang rinci, masuk 
akal dan enak.

Buku ini berisi berbagai kasus dan peristiwa yang terjadi dalam 
dunia Intelijen Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga tahun 2000-
an. Walau pun Ken Conboy hanya bercerita tentang intel melayu, 
tapi ia mampu membuat kita terpukau seperti ketika membaca
kisah-kisah tentang Mossad dalam The Way of Deception.

Dalam kisah Durna--misalnya- -Ken Conboy bercerita tentang 
pertarungan perebutan kekuasaan dalam memanfaatkan intelijen. 
(Karena ruang geraknya yang serba tertutup maka intelijen selalu 
memiliki kecenderungan untuk merambah kemana-mana dan gampang
dimanfaatkan oleh fihak-fihak yang berkepentingan. Kisah-kisah 
tentang intrik politik dengan memanfaatkan intelijen, kisah-kisah 
tentang bagaimana seorang kepala negara harus menjinakkan 
intelijen agar selalu berfihak pada kepentingannya, kisah-kisah
deception dsb adalah kisah-kisah intelijen yang menarik untuk 
dibaca).

Dalam Kerajaan Pertapa Ken Conboy bercerita tentang intelijen 
Indonesia yang tak putus-putusnya menguping dan mengintip gerak-
gerik para diplomat Kore Utara. (Sebagaimana diketahui, pada masa 
Orde Baru isyu tentang komunis adalah sesuatu yang