Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik
He he he rame juga ya? Tapi ... ngomong-ngomong, acara hiburan di televisi kita yang bergizi ada nggak sih? Rasanya koq penuh dengan sinetron [yang alur ceritanya nggak masuk akal], gosip-gosip yang dibungkus judul yang keren etc. Prestasi dalam kamus ruang publik kita adalah selebritis, panggung, ... lain tidak. Ya, nggak sih??? On 4/30/07, Iswanto, Rudi [EMAIL PROTECTED] wrote: Terlepas dari masalah persaingan atau Iri hati .. atau gaya bahasa yang bernuansa kurang bersahabat - bahkan cenderung hiperbola dan sebagainya, saya yakin setiap tulisan ada makna positive nya, terutama jika kita membacanya dengan pikiran yang jernih (saya juga - suka nonton Empat Mata (untuk sementara... sampai saat ini...) - sy menyukai sebagai acara lawakan biasa (seperti yg lain) bukan Talkshow ... jadi sebenarnya acara itu jauh dari serius - just for fun just for laugh).. mungkin penulis lupa hal ini... , Ooops sampai saat ini saya menulis e-mail ini pun... terdengar dari kejauhan ruangan Head accounting kami ...sedang menutup pembicaraan telponnya dengan client ... dengan kata kata Kembali ke LapTop ... he he he he he From: idakrisnashow@yahoogroups.com idakrisnashow%40yahoogroups.com [mailto:idakrisnashow@yahoogroups.com idakrisnashow%40yahoogroups.com] On Behalf Of Jamsir Sabara Sent: Saturday, April 28, 2007 9:27 AM To: idakrisnashow@yahoogroups.com idakrisnashow%40yahoogroups.com Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik Memang, dalam kehidupan ini, selalu saja ada orang yang pingin beda. Kan..Thukul banyak penggemarnya, jadi perlu ada orang yang cari hal yang membuat orang tersebut beda. Motivasinya macam-macam. Ada yang iri hari sampai dengan yang penting tidak suka. Jadi biarkanlah. Memang dunia membutuhkan orang-orang seperti itu. Jamsir - Original Message From: aciel isman [EMAIL PROTECTED] kucing_ngupil%40yahoo.com mailto:kucing_ngupil%40yahoo.com To: idakrisnashow@yahoogroups.com idakrisnashow%40yahoogroups.com mailto:idakrisnashow%40yahoogroups.com Sent: Friday, April 27, 2007 7:40:13 PM Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik hanya orang bodoh yg menganggap serius acara empat mata.. Yandri Djahar [EMAIL PROTECTED] com wrote: Dalam tulisannya, Pendidikan Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari 2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow yang hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara olok-olokan , lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi fisik a la Tukul Arwana. Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama, ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya kekerasan psikologis terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut. Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi psikologi, Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan tertawaan tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan temen-temen di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai pada obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut. Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat sebagai ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru dalam dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali oleh para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah Srimulat. Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan melestarikan tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda. Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara cerdas mengemas acara lawakan dalam bentuk talkshow hancur-hancuran , sehingga begitu populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah inovasi dari beragam tanyangan hiburan tak berbobot yang menjejali ruang publik kita. Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses pendangkalan cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka program yang reflektif dan edukatif
Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik
Iya hidup ini kan penuh pilihan.. Yang senangnya dengan hal-hal yang serius..talkshow yang katanya berbobot dan sejumlah stigma intelektualitas lainnya bisa pilih channel TV yang lain.. Yang senang becanda.. tapi nggak di masukin ke hati..yaa nonton empatmata.. Gitu aja koq reepooo Jamsir Sabara [EMAIL PROTECTED] wrote: Memang, dalam kehidupan ini, selalu saja ada orang yang pingin beda. Kan..Thukul banyak penggemarnya, jadi perlu ada orang yang cari hal yang membuat orang tersebut beda. Motivasinya macam-macam. Ada yang iri hari sampai dengan yang penting tidak suka. Jadi biarkanlah. Memang dunia membutuhkan orang-orang seperti itu. Jamsir - Original Message From: aciel isman [EMAIL PROTECTED] To: idakrisnashow@yahoogroups.com Sent: Friday, April 27, 2007 7:40:13 PM Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik hanya orang bodoh yg menganggap serius acara empat mata.. Yandri Djahar [EMAIL PROTECTED] com wrote: Dalam tulisannya, Pendidikan Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari 2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow yang hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara olok-olokan , lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi fisik a la Tukul Arwana. Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama, ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya kekerasan psikologis terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut. Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi psikologi, Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan tertawaan tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan temen-temen di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai pada obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut. Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat sebagai ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru dalam dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali oleh para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah Srimulat. Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan melestarikan tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda. Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara cerdas mengemas acara lawakan dalam bentuk talkshow hancur-hancuran , sehingga begitu populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah inovasi dari beragam tanyangan hiburan tak berbobot yang menjejali ruang publik kita. Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses pendangkalan cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan. *** Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada kerangka spatial di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face to face. Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas sosial; individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia bisa dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud secara abstrak seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata kota, ruang-ruang diskusi, dan seterusnya. Konsepsi ruang publik (public sphere) kali pertama digagas oleh Habermas (1989). Konsep ini merujuk pada pentas atau arena di mana warganegara mampu melempar opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas dari tekanan siapapun. Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana dan kehendak bersama secara diskursif. Jika ruang publik dimaknai sebagai bejana yang di dalamnya aneka kelompok sosial mampu mengomunikasikan dan mewujudkan ragam kepentingannya, maka dalam rentang waktu tertentu akan mengkristal satu budaya, dalam pengertian seluas-luasnya. Selanjutnya, akan ada kontestasi budaya di dalam tubuh ruang publik. Tugas ruang publik adalah menampung dan memberi tempat secara fair pada semua kebudayaan tersebut.Persoalann ya adalah, pada masyarakat yang kompleks sekarang ini
RE: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik
Terlepas dari masalah persaingan atau Iri hati .. atau gaya bahasa yang bernuansa kurang bersahabat - bahkan cenderung hiperbola dan sebagainya, saya yakin setiap tulisan ada makna positive nya, terutama jika kita membacanya dengan pikiran yang jernih (saya juga - suka nonton Empat Mata (untuk sementara... sampai saat ini...) - sy menyukai sebagai acara lawakan biasa (seperti yg lain) bukan Talkshow ... jadi sebenarnya acara itu jauh dari serius - just for fun just for laugh).. mungkin penulis lupa hal ini... , Ooops sampai saat ini saya menulis e-mail ini pun... terdengar dari kejauhan ruangan Head accounting kami ...sedang menutup pembicaraan telponnya dengan client ... dengan kata kata Kembali ke LapTop ... he he he he he From: idakrisnashow@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Jamsir Sabara Sent: Saturday, April 28, 2007 9:27 AM To: idakrisnashow@yahoogroups.com Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik Memang, dalam kehidupan ini, selalu saja ada orang yang pingin beda. Kan..Thukul banyak penggemarnya, jadi perlu ada orang yang cari hal yang membuat orang tersebut beda. Motivasinya macam-macam. Ada yang iri hari sampai dengan yang penting tidak suka. Jadi biarkanlah. Memang dunia membutuhkan orang-orang seperti itu. Jamsir - Original Message From: aciel isman [EMAIL PROTECTED] mailto:kucing_ngupil%40yahoo.com To: idakrisnashow@yahoogroups.com mailto:idakrisnashow%40yahoogroups.com Sent: Friday, April 27, 2007 7:40:13 PM Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik hanya orang bodoh yg menganggap serius acara empat mata.. Yandri Djahar [EMAIL PROTECTED] com wrote: Dalam tulisannya, Pendidikan Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari 2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow yang hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara olok-olokan , lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi fisik a la Tukul Arwana. Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama, ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya kekerasan psikologis terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut. Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi psikologi, Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan tertawaan tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan temen-temen di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai pada obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut. Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat sebagai ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru dalam dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali oleh para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah Srimulat. Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan melestarikan tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda. Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara cerdas mengemas acara lawakan dalam bentuk talkshow hancur-hancuran , sehingga begitu populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah inovasi dari beragam tanyangan hiburan tak berbobot yang menjejali ruang publik kita. Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses pendangkalan cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan. *** Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada kerangka spatial di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face to face. Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas sosial; individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia bisa dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud secara abstrak seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata kota, ruang-ruang diskusi, dan seterusnya. Konsepsi ruang publik (public sphere) kali pertama digagas oleh Habermas (1989). Konsep ini merujuk pada pentas atau arena di mana
Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik
Memang, dalam kehidupan ini, selalu saja ada orang yang pingin beda. Kan..Thukul banyak penggemarnya, jadi perlu ada orang yang cari hal yang membuat orang tersebut beda. Motivasinya macam-macam. Ada yang iri hari sampai dengan yang penting tidak suka. Jadi biarkanlah. Memang dunia membutuhkan orang-orang seperti itu. Jamsir - Original Message From: aciel isman [EMAIL PROTECTED] To: idakrisnashow@yahoogroups.com Sent: Friday, April 27, 2007 7:40:13 PM Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik hanya orang bodoh yg menganggap serius acara empat mata.. Yandri Djahar [EMAIL PROTECTED] com wrote: Dalam tulisannya, Pendidikan Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari 2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow yang hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara olok-olokan , lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi fisik a la Tukul Arwana. Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama, ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya kekerasan psikologis terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut. Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi psikologi, Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan tertawaan tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan temen-temen di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai pada obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut. Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat sebagai ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru dalam dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali oleh para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah Srimulat. Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan melestarikan tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda. Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara cerdas mengemas acara lawakan dalam bentuk talkshow hancur-hancuran , sehingga begitu populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah inovasi dari beragam tanyangan hiburan tak berbobot yang menjejali ruang publik kita. Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses pendangkalan cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan. *** Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada kerangka spatial di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face to face. Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas sosial; individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia bisa dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud secara abstrak seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata kota, ruang-ruang diskusi, dan seterusnya. Konsepsi ruang publik (public sphere) kali pertama digagas oleh Habermas (1989). Konsep ini merujuk pada pentas atau arena di mana warganegara mampu melempar opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas dari tekanan siapapun. Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana dan kehendak bersama secara diskursif. Jika ruang publik dimaknai sebagai bejana yang di dalamnya aneka kelompok sosial mampu mengomunikasikan dan mewujudkan ragam kepentingannya, maka dalam rentang waktu tertentu akan mengkristal satu budaya, dalam pengertian seluas-luasnya. Selanjutnya, akan ada kontestasi budaya di dalam tubuh ruang publik. Tugas ruang publik adalah menampung dan memberi tempat secara fair pada semua kebudayaan tersebut.Persoalann ya adalah, pada masyarakat yang kompleks sekarang ini di mana masyarakat di susun oleh tiga pilar utama; negara, pasar dan masyarakat, apakah ada ruang publik yang benar-benar otonom dari kepentingan politik atau pebisnis? Budaya yang meruyak ke tengah masyarakat pun adalah budaya yang telah ditentukan oleh, baik kekutan negara ataupun pasar. Kalaupun ada yang otonom, ruang akan sangat payah untuk
Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik
hanya orang bodoh yg menganggap serius acara empat mata.. Yandri Djahar [EMAIL PROTECTED] wrote: Dalam tulisannya, Pendidikan Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari 2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow yang hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada kekeliruan dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari acara olok-olokan, lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang mengeksploitasi fisik a la Tukul Arwana. Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama, ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya kekerasan psikologis terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut. Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi psikologi, Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan tertawaan tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan temen-temen di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai pada obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut. Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat sebagai ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru dalam dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali oleh para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah Srimulat. Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan melestarikan tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda. Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara cerdas mengemas acara lawakan dalam bentuk talkshow hancur-hancuran, sehingga begitu populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah inovasi dari beragam tanyangan hiburan tak berbobot yang menjejali ruang publik kita. Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses pendangkalan cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan. *** Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada kerangka spatial di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face to face. Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas sosial; individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia bisa dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud secara abstrak seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata kota, ruang-ruang diskusi, dan seterusnya. Konsepsi ruang publik (public sphere) kali pertama digagas oleh Habermas (1989). Konsep ini merujuk pada pentas atau arena di mana warganegara mampu melempar opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas dari tekanan siapapun. Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana dan kehendak bersama secara diskursif. Jika ruang publik dimaknai sebagai bejana yang di dalamnya aneka kelompok sosial mampu mengomunikasikan dan mewujudkan ragam kepentingannya, maka dalam rentang waktu tertentu akan mengkristal satu budaya, dalam pengertian seluas-luasnya. Selanjutnya, akan ada kontestasi budaya di dalam tubuh ruang publik. Tugas ruang publik adalah menampung dan memberi tempat secara fair pada semua kebudayaan tersebut.Persoalannya adalah, pada masyarakat yang kompleks sekarang ini di mana masyarakat di susun oleh tiga pilar utama; negara, pasar dan masyarakat, apakah ada ruang publik yang benar-benar otonom dari kepentingan politik atau pebisnis? Budaya yang meruyak ke tengah masyarakat pun adalah budaya yang telah ditentukan oleh, baik kekutan negara ataupun pasar. Kalaupun ada yang otonom, ruang akan sangat payah untuk diciptakan atau dikelola oleh warganegara. Kerapkali kita menyaksikan aneka kegiatan publik, seperti debat publik, seminar, dan demonstrasi yang diformat dan ditumpangi oleh kepentingan elit politik atau kaum pemodal. Bahkan, jika ruang publik itu berupa media massa yang berskala masif, baik berupa TV, koran, atau radio, tak pelak akan mengacu pada arus kapital yang bekerja di belakangnya. Masing-masing industri media memiliki logika