He he he .... rame juga ya?
Tapi ... ngomong-ngomong, acara hiburan di televisi kita yang "bergizi" ada
nggak sih?
Rasanya koq penuh dengan sinetron [yang alur ceritanya nggak masuk akal],
gosip-gosip yang dibungkus judul yang keren .... etc.
"Prestasi" dalam kamus ruang publik kita adalah selebritis, panggung, ...
lain tidak.
Ya, nggak sih???




On 4/30/07, Iswanto, Rudi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>   Terlepas dari masalah persaingan atau Iri hati .. atau gaya bahasa yang
> bernuansa kurang bersahabat - bahkan cenderung hiperbola dan sebagainya,
> saya yakin setiap tulisan ada makna positive nya, terutama jika kita
> membacanya dengan pikiran yang jernih
> (saya juga - suka nonton Empat Mata (untuk sementara... sampai saat
> ini...) - sy menyukai sebagai acara lawakan biasa (seperti yg lain)
> bukan Talkshow ... jadi sebenarnya acara itu jauh dari serius - just for
> fun just for laugh).. mungkin penulis lupa hal ini... , Ooops sampai
> saat ini saya menulis e-mail ini pun... terdengar dari kejauhan ruangan
> Head accounting kami ...sedang menutup pembicaraan telponnya dengan
> client ... dengan kata kata "Kembali ke LapTop!!!!" ... he he he he he
>
> ________________________________
>
> From: idakrisnashow@yahoogroups.com <idakrisnashow%40yahoogroups.com>
> [mailto:idakrisnashow@yahoogroups.com <idakrisnashow%40yahoogroups.com>]
> On Behalf Of Jamsir Sabara
> Sent: Saturday, April 28, 2007 9:27 AM
> To: idakrisnashow@yahoogroups.com <idakrisnashow%40yahoogroups.com>
> Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik
>
> Memang, dalam kehidupan ini, selalu saja ada orang yang pingin beda.
> Kan..Thukul banyak penggemarnya, jadi perlu ada orang yang cari hal yang
> membuat orang tersebut beda. Motivasinya macam-macam. Ada yang iri hari
> sampai dengan yang penting tidak suka.
>
> Jadi biarkanlah. Memang dunia membutuhkan orang-orang seperti itu.
>
> Jamsir
>
> ----- Original Message ----
> From: aciel isman <[EMAIL PROTECTED] <kucing_ngupil%40yahoo.com>
> <mailto:kucing_ngupil%40yahoo.com> >
> To: idakrisnashow@yahoogroups.com <idakrisnashow%40yahoogroups.com>
> <mailto:idakrisnashow%40yahoogroups.com>
> Sent: Friday, April 27, 2007 7:40:13 PM
> Subject: Re: Ida Arimurti Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik
>
> hanya orang bodoh yg menganggap serius acara empat mata..
>
> Yandri Djahar <[EMAIL PROTECTED] com> wrote: Dalam tulisannya, Pendidikan
> Anti-Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari
> 2007), Paulus Mujiran mengajak kita merefleksikan satu jenis talkshow
> yang
> hari-hari ini menyedot perhatian khalayak: Empat Mata. Melalui kacamata
> pendidikan, tulisan Mujiran berhenti pada kesimpulan bahwa ada
> kekeliruan
> dalam pendidikan di negeri ini sehingga masyarakat begitu menggemari
> acara
> "olok-olokan" , lontaran penuh seronok, dan tertawaan yang
> mengeksploitasi
> fisik a la Tukul Arwana.
> Mujiran menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh
> Tukul
> tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran
> sebagai
> cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan
> penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup
> dan
> sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita
> dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis,
> agama,
> ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu
> kupret dan sederet sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya
> "kekerasan
> psikologis" terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut.
> Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi
> psikologi,
> Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas
> kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan
> tertawaan
> tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural
> produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan
> temen-temen
> di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, yang sering berkomunikasi dengan
> saya juga turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Hal sama saya jumpai
> pada
> obrolan anak-anak remaja yang begitu suka pada kosakata tersebut.
>
> Perayaan inilah yang saya kira baru mewabah di seputar masyarakat
> sebagai
> ekspresi penerimaan pada satu tren komedi yang sebetulnya tidak baru
> dalam
> dunia hiburan kita. Tren olok-olok-an dalam dunia lawakan telah diawali
> oleh
> para komedian seniornya Tukul, misalnya yang paling populer adalah
> Srimulat.
> Banyak pula komedian mutakhir yang menyontek gaya Srimulat dengan
> "melestarikan" tradisi olok-olokan melalui gaya dan bahasa berbeda.
>
> Begitu pula dengan Tukul (dan segenap kru). Mereka secara "cerdas"
> mengemas
> acara lawakan dalam bentuk talkshow "hancur-hancuran" , sehingga begitu
> populer. Dari sisi industri entertainmen, acara ini tak lain hanyalah
> inovasi dari beragam tanyangan hiburan "tak berbobot" yang menjejali
> ruang
> publik kita.
> Untuk melengkapi pemaparan Mujiran, amatan akan hadirnya proses
> pendangkalan
> cita rasa masyarakat akibat ruang publik yang tak lagi menyajikan aneka
> program yang reflektif dan edukatif, patut diketengahkan.
>
> ***
> Pemaknaan ruang publik sendiri tidak selalu dirujukkan pada kerangka
> spatial
> di mana masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara face to
> face.
> Arena dan ruang sosial, sejauh ia mampu menampung beragam entitas
> sosial;
> individu, komunitas atau perkumpulan, dengan keragaman interes, ia bisa
> dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik bisa mewujud secara
> abstrak
> seperti media massa dan internet, bisa juga material seperti tata kota,
> ruang-ruang diskusi, dan seterusnya.
> Konsepsi "ruang publik" (public sphere) kali pertama digagas oleh
> Habermas
> (1989). Konsep ini merujuk pada "pentas atau arena di mana warganegara
> mampu
> melempar opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif dan
> bebas
> dari tekanan siapapun". Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud
> komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana dan kehendak
> bersama secara diskursif.
>
> Jika ruang publik dimaknai sebagai bejana yang di dalamnya aneka
> kelompok
> sosial mampu mengomunikasikan dan mewujudkan ragam kepentingannya, maka
> dalam rentang waktu tertentu akan mengkristal satu budaya, dalam
> pengertian
> seluas-luasnya. Selanjutnya, akan ada kontestasi budaya di dalam tubuh
> ruang
> publik. Tugas ruang publik adalah menampung dan memberi tempat secara
> fair
> pada semua kebudayaan tersebut.Persoalann ya adalah, pada masyarakat
> yang
> kompleks sekarang ini di mana masyarakat di susun oleh tiga pilar utama;
> negara, pasar dan masyarakat, apakah ada ruang publik yang benar-benar
> otonom dari kepentingan politik atau pebisnis? Budaya yang meruyak ke
> tengah
> masyarakat pun adalah budaya yang telah ditentukan oleh, baik kekutan
> negara
> ataupun pasar. Kalaupun ada yang otonom, ruang akan sangat payah untuk
> diciptakan atau dikelola oleh warganegara.
> Kerapkali kita menyaksikan aneka kegiatan publik, seperti debat publik,
> seminar, dan demonstrasi yang diformat dan ditumpangi oleh kepentingan
> elit
> politik atau kaum pemodal. Bahkan, jika ruang publik itu berupa media
> massa
> yang berskala masif, baik berupa TV, koran, atau radio, tak pelak akan
> mengacu pada arus kapital yang bekerja di belakangnya. Masing-masing
> industri media memiliki logika kapitalnya sendiri. Tak jarang kompetisi
> mewarnai aneka media tersebut dalam rangka berebut pengaruh dan berlomba
> meraup keuntungan.
> Seperti industri TV. Dengan sebelas stasiun TV swasta nasional, maka
> kompetisi yang berlangsung adalah perebutan kue belanja iklan.
> Celakanya,
> kompetisi ini berujung pada perebutan skor rating tertinggi, yakni yang
> paling banyak ditonton publik, karenanya belanja iklan akan tinggi.
> Wajar
> kiranya kini, banyak media yang dituduh "menghamba pada rating", karena
> kebanyakan program yang disiarkan oleh TV swasta hanya mengejar rating
> semata. Tak peduli jika program itu berperan besar dalam pembodohan
> massal,
> memopulerkan mistisisme, atau meritualkan "budaya" olok-olokan kepada
> masyarakat, maka program semacam itu akan diperpanjang menjadi 250
> episode,
> misalnya.
>
> Mewabahnya secara cepat dan massif "budaya" Tukulisme terhadap kehidupan
> masyarakat kita, jelas merefleksikan betapa hebatnya dampak dari
> bekerjanya
> salah satu ruang publik berupa media TV. Merujuk pada paparan McChesney
> (1997) media, di tangan rezim pasar bebas, bahkan mampu mendikte aneka
> preferensi publik, mulai dari gaya hidup, pola konsumsi, kebutuhan
> barang
> dan jasa, sampai dengan yang bercorak politis, seperti figur pemimpin.
> Dengan demikian, apa yang kita tonton, selera yang kita tentukan, dan
> pilihan-pilihan kita, sebetulnya telah diformat dan didikte oleh
> kehendak
> pasar, termasuk saat menertawai polah Tukul ketika sedang mengolok-olok
> diri, tamu, dan penontonnya di acara Empat Mata.
> Kapitalisasi terhadap segala macam program yang tak cerdas hampir-hampir
> menggelinding tanpa kendali. Ia akan mengeksploitasi dan menjual apapun
> asalkan pengiklan berjubel datang dan antri untuk memasang iklannya,
> mengiringi penayangan program itu. Mulai dari acara "mengobrak-abrik"
> rumah
> tangga selebritis, mendramatisir secara mistis jasad-jasad manusia, dan
> terakhir "hancurnya" si Tukul. Saya rasa, sepak terjang kapitalisme
> sudah
> terlampau jauh, bahkan terkesan keterlaluan.
> Media televisi, sebagai ruang publik, justru andil besar dalam
> penjerumusan
> masyarakat pada "pendangkalan ruang publik (the swallowness of public
> sphere) (Piliang, 2005). Ini terjadi ketika ruang publik cenderung
> dibangun
> oleh representasi atau tindakan yang menafikan pengetahuan luas,
> landasan
> filosofis, dan moral yang kokoh. Kondisi ini juga disebabkan oleh
> kepentingan penguasaan ruang publik oleh strategi populer, meski
> popularitas
> tersebut menafikan pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan
> sesungguhnya.
> Lebih parah lagi, jika hal tersebut dilengkapi dengan hiburan yang
> "eksploitatif" .
> Perayaan "kebodohan", "kekampungan" , dan "gaptek" secara massif, akan
> serta
> merta mengikis kualitas kehidupan yang ber"selera" dan berpijak pada
> rasa.
> Sedangkan pemassalan dan pembiasaan "serapah" secara terbuka dan penuh
> bangga, pelan-pelan akan menggerus estetika dan juga etika di kalangan
> warga, lebih-lebih bagi mereka yang baru menginjak remaja.
> Sudah saatnya menghentikan pencemaran pada ruang publik kita, dengan
> mengabaikan sama sekali aneka tayangan yang tak masuk akal, dangkal, tak
> edukatif, dan mendegradasi selera humor kita.
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
> ------------ --------- --------- ---
> Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?
> Check outnew cars at Yahoo! Autos.
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
> __________________________________________________
> Do You Yahoo!?
> Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
> http://mail.yahoo.com <http://mail.yahoo.com>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
> 
>


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke