Runder Tisch zu West Papua, 29.-30 november 2004, Berlin
3. Gesprächsrunde:
Menschenrechte und staatlicher Terror
TANTANGAN GEREJA DALAM MENSIKAPI
KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI PAPUA BARAT
Gambaran Umum tentang Pelanggaran HAM Selama Hampir 40 Tahun
Dan Dilema Peran Gereja Menghadapi Kondisi Sosial Politik
di Papua Barat
Oleh : Pastor Nato Gobay1)
I.TITIK PANDANG PERMASALAHAN
Pada tanggal 30 Mei - 4 ]uni 2000 lalu suatu pesta demokrasi bagi
rakyat Papua diselesaikan secara damai dan mengesankan, yaitu Kongres
Nasional Papua II. Setelah selama sekitar 40 tahun menentang
pengabaian hak asasi orang Papua untuk menentukan nasib sendiri, maka
Kongres Nasional Papua II ini patut disyukuri sebagai anugerah Tuhan.
Betapa tidak, kegiatan besar yang diikuti langsung oleh sekitar 3.000
peserta aktif dan 21.000 masyarakat Papua yang mengikuti acara itu
melalui pengeras suara di arena Kongres serta jutaan orang Papua yang
mengikuti melalui siaran radio dapat berjalan aman dan sukses dengan
pengamanan oleh masyarakat sendiri (Satgas Papua) dan mengeluarkan
Resolusi Politik yang pada intinya menggugat proses sejarah yang
telah mengakibatkan wilayah dan rakyat Papua menjadi bagian integral
Republik lndonesia.. Pada hal selama sekitar 40 tahun, aksi protes
Papua baik melalui aksi bersenjata, pengungsian ke luar negeri,
demonstrasi, aksi pengibaran bendera maupun dialog damai selalu
disertai korban jiwa manusia. Bila kita berkunjung ke pelosok-pelosok
Papua, dengan gampang kita akan bertemu sejumlah masyarakat yang
mengakui bahwa di hutan ini ayah, ibu beserta saudara-saudaranya
dibantai oleh militer. Banyak yang diperkosa, disiksa, dihilangkan,
ditangkap tanpa proses hukum serta berbagai bentuk penyiksaan di luar
batas kemanusiaan. Kuburan massal bertebaran di mana-mana. Semua
dilakukan oleh militer Indonesia berdasarkan tudingan (stigma) OPM.
Tetapi bagi rakyat Papua, OPM adalah ideology perjuangan untuk
memperoleh kebenaran.
Rakyat Papua sedang memperjuangkan keadilan dan kebenaran baginya,
namun banyak kali pemerintah mencurigai kegiatan itu sebagai kegiatan
subversif. Banyak kali pemerintah menggunakan pendekatan militer.
Gereja berada pada posisi serba salah. Hendak menghormati rakyatkah
atau pemerintah? Tulisan ini mengajak kita mendiskusikan sikap gereja-
gereja di Papua pada umumnya dalam dinamika social politik di
Indonesia yang belum stabil.
Mengapa rakyat Papua melawan pemerintah Indonesia? Study ELSHAM
(Lembaga Study dan Hak Asasi Manusia) Papua Barat menunjukkan bahwa
ada tiga permasalahan utama. Pertama, rakyat Papua menganggap bahwa
Act of Free Choice 1969 yang dirubah di Indonesia menjadi Musyawarah
Penentuan Pendapat Rakyat sebagai realisasi dari New York Agreement
1962 merupakan bentuk konkrit pengabaian dunia internasional dan
pemerintah Indonesia atas hak orang Papua untuk menentukan nasib
sendiri. Proses penyusunan New York Agreement sama sekali tidak
melibatkan orang Papua. PEPERA dijalankan di bawah proses penuh
intimidasi, larangan berkumpul dan berbicara, penghilangan orang,
pembunuhan dan berbagai bentuk tindakan militer yang menistai
demokrasi. Seluruh aktivitas yang menjauhkan orang Papua dari
realisasi haknya untuk menentukan nasib sendiri dalam pandangan orang
Papua jelas-jelas melanggar kententuan Resolusi PBB No. 1 514 dan 1
541 tentang proses dekolonisasi bagi bangsa-bangsa yang dijajah.
Kedua, atas dasar status legal yang diberikan oleh PBB melalui
Resolusi No. 2504/XXIV tahun 1969 yang mengesahkan hasil PEPERA maka
secara de jure Irian Jaya menjadi wilayah kekuasaan Indonesia.
Keberadaan Indonesia di Papua dilalui dengan penetapan Papua menjadi
Daerah Operasi Militer (DOM) untuk menunjang kebijakan pembangunan
yang bertumpu pada strategy pertumbuhan ekonomi melalui pertambangan,
HPH, transmigrasi, pariwisata dan berbagai proyek pembangunan
lainnya. Kebijakan pembangunan yang berorientasi pada strategy
pertumbuhan ekonomi itu berimplikasi pad aspek social budaya seperti
perusakan lingkungan hidup, pengambilan tanah, penebangan hutan,
pengrusakan dusun-dusun masyarakat, serta degradasi kebudayaan
masyarakat setempat.
Ketiga, gabungan kedua permasalahan di atas menciptakan krisis
identitas bagi orang Papua. Krisis identitas nampak dalam aspek
kebudayaan, ekonomi, birokrasi pemerintahan, dan sebagainya. Maka
muncul tuntutan untuk menghormati kebudayaan, pengembangan kebudayaan
Papua Melanesia, Papunisasi birokrasi, penguasaan sumber daya
ekonomi, maupun tuntutan agar pemerintah mengakui keberadaan lembaga
adat.
II. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN: Bukan Sekedar Salah Urus
Kesalahan sejarah (distorsi historis) yang terjadi melibatkan PBB
dalam proses tranfer kewenangan dari Belanda ke Indonesia telah
menjustifikasi negara Republik Indonesia untuk melakukan berbagai
bentuk pelanggaran HAM berat di Papua Barat. Pemerintahan Indonesia,
terutama di bawah kepemimpinan Soeharto menggunakan pendekatan