RE: [media-dakwah] STATUS ANAK ZINA

2006-08-01 Thread Tampubolon, Mohammad-Riyadi
HUKUM MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA' KETIKA TERJADI PERSELISIHAN

Oleh: Syaikh Abu Abdirrahman Ibrahim bin Abdillah Al-Mazru'i

Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [2/3]

SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA

Syubhat Pertama.

Mereka -para pencari rukhsah- berhujjah dengan kalimat yang haq tetapi 
dimaksudkan untuk hal yang bathil. Mereka berkata bahwasanya agama ini mudah 
dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman. "Artinya : Allah menghendaki 
bagi kalian kemudahan dan tidak menghendaki bagi kalian kerusakan" [Al-Baqarah 
: 185] Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : 
Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit" [Dari Hadits Anas Radhiyallahu 
'anhu, Riwayat Bukhari 1/163 dan Muslim 3/1359]

Mereka berkata :"Jika kami memilih pendapat yang paling ringan (paling enak, 
-pent) maka tindakan kami ini adalah memudahkan dan menghilangkan kesulitan".

Maka jawaban kita kepada mereka :"Sesungguhnya penerapan syari'at dalam seluruh 
sisi kehidupan itulah yang disebut memudahkan dan menghilangkan kesulitan, 
bukan menghalalkan hal-hal yang haram dan meninggalkan kewajiban-kewajiban".

Ibnu Hazm berkata (dalam Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam. hal. (69) :"Sesungguhnya 
kita telah mengetahui bahwa seluruh yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa 
Ta'ala adalah kemudahan, sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. 
"Artinya : Dan dia (Allah Subhanahu wa Ta'ala) sekali-kali tidak menjadikan 
bagi kalian dalam agama suatu kesempitan" [Al-Haj : 78]

Imam Asy-Syatibi telah membantah orang-orang yang berhujjah dengan model ini 
dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Aku telah diutus 
dengan (agama yang) lurus yang penuh kelapangan" [Hadits Hasan]

Seraya (Imam Asy-Syatibi) berkata : "Dan engkau mengetahui apa yang terkandung 
dalam perkataan (dalam hadits) ini. Karena sesungguhnya (agama) "lurus yang 
penuh kelapangan" itu. hanyalah timbul kelapangan padanya dalam keadaan terkait 
dengan kaidah-kaidah pokok yang telah berlaku dalam agama, bukan mencari-cari 
rukhsah dan bukan pula memilih pendapat-pendapat dengan seenaknya". Maksud 
beliau yaitu bahwasanya kemudahan syari'at itu terkait dengan kaidah-kaidah 
pokok yang telah diatur dan bukan mencari-cari rukhsah yang ada dalam syari'at. 
Imam Syatibi juga berkata :"Kemudian kita katakan bahwasanya mencari-cari 
rukhsah adalah mengikuti hawa nafsu, padahal syari'at melarang mengikuti hawa 
nafsu. Oleh karena itu mencari-cari rukhshah bertentangan dengan kaidah pokok 
yang telah disepakati (yaitu dilarangnya mengikuti hawa nafsu). Selain itu hal 
ini juga bertentangan dengan firman Allah Subahanahu wa Ta'ala. "Artinya : Dan 
jika kalian berselisih tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah 
dan Rasul" [An-Nisa : 59] Maka, khilaf (perselisihan) yang ada di antara para 
ulama tidak boleh kita kembalikan kepada hawa nafsu (dengan memilih pendapat 
yang paling enak, -pent), tetapi kita kembalikan kepada syari'at" [Al-Muwafaqat 
4/145]

Syubhat Kedua

Mereka berkata :"Kami hanyalah mengikuti orang yang berpendapat dengan rukhshah 
tersebut" Maka dijawab : "Sesungguhnya orang lain yang kalian taqlidi tersebut 
telah berijtihad dan dia telah salah, maka dia mendapatkan (satu)

pahala atas ijtihadnya tersebut. Adapun kalian, apa hujjah kalian mengikuti 
kesalahannya .? kenapa kalian tidak mengikuti ulama yang

lain yang memfatwakan pendapat (yang benar) yang berbeda dengan pendapat si 
alim yang salah itu ?". Demikian juga dapat dijawab -dengan perkataan- :"Kenapa 
kalian bertaqlid kepada si Faqih ini dalam perkara rukhsah (yang enak menurut 
kalian, -pent) namun kalian tidak taqlid kepada pendapatnya yang lain yang 
tidak ada rukhsah (yaitu yang tidak enak pada kalian), lalu kalian mencari dari 
ahli fiqih selain dia yang berpendapat rukhsah ??

Ini menunjukkan bahwa kalian menjadikan taqlid sebagai benteng (alasan saja 
untuk membela) hawa nafsu kalian !!!" Dan para salaf telah memperingatkan 
terhadap kesalahan-kesalahan para ulama dan berijtihad kepada 
kesalahan-kesalahan mereka tersebut.

Umar Radhiyallahu anhu berkata : "Artinya : Tiga perkara yang merobohkan agama 
: "Kesalahan seorang alim, debatnya orang munafiq dengan Al-Qur'an, dan para 
imam yang menyesatkan" [Riwayat Ad-Darimi 1/71 dengan sanad yang shahih, dan 
Ibnu Abdil Barr dalam Jami' Bayanil Ilmi 2/110]

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : "Artinya : Celakalah orang-orang yang 
mengikuti kesalahan seorang alim. Si alim berpendapat dengan ra'yinya 
(akalanya), lalu dia bertemu dengan orang yang lebih alim darinya tentang 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian orang tersebut 
memberitahukannya (pendapat yang benar) maka si alim tersebut mengikuti 
pendapat yang benar dan meninggalkan pendapatnya yang salah. Sedangkan para 
pengikutnya (tetap) berhukum dengan pendapat si alim yang salah tersebut"

[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal dan Ibnu Abdil Barr

(2/122) dengan sanad yang hasan]

 

HUKUM MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA' 

RE: [media-dakwah] STATUS ANAK ZINA

2006-08-01 Thread Tampubolon, Mohammad-Riyadi
HUKUM MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA' KETIKA TERJADI PERSELISIHAN

Oleh: Syaikh Abu Abdirrahman Ibrahim bin Abdillah Al-Mazru'i

Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]

Sesungguhnya syaithan senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dan 
menyesatkan mereka dari jalan kebenaran dengan wasilah yang beraneka ragam. Di 
antara pintu-pintu kejelekan yang telah dibuka oleh syaithan untuk menusia 
adalah :"Mencari rukhsah (pendapat paling ringan) dari para fuqaha' dan 
mengikuti kesalahan-kesalahan mereka". Dengan cara ini syaithan menipu banyak 
kaum muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar, dan hal-hal 
yang wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsah yang 
palsu. Maka jadilah orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka 
sebagai hakim dalam masah-masalah khilafiyah (perselisihan). Mereka memilih 
pendapat yang paling mudah dan yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tanpa 
bersandar kepada dalil syar'i. Bahkan karena taqlid kepada kesalahan seorang 
alim, yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan 
meninggalkan pendapatnya (yang salah tersebut) tanpa ragu-ragu.

Ketika tidak ada seorangpun yang mengingkari orang-orang bodoh tersebut maka 
mereka akan beralasan bahwa mereka tidaklah melakukan hal tersebut berdasarkan 
pendapat mereka semata, tetapi ada ulama yang memfatwakan bolehnya apa yang 
telah mereka lakukan. Dan bahwa mereka bukanlah yang dimintai pertanggung 
jawaban adalah pada ulama yang memfatwakannya, jika benar atau salah. Bahkan 
mereka mengambil rukhsah dari para fuqaha' pada suatu permasalahan dan 
meninggalkan pendapat-pendapat para fuqaha itu pada permasalahan yang lain. 
Mereka menyesuaikan antara madzhab-madzhab dan menggabungkan pendapat-pendapat 
(menurut hawa nafsu mereka -pent). Mereka menyangka telah melakukan amalan yang 
sebaik-baiknya (padahal malah sebaliknya, -pent)

Syaithan telah menyebarkan pada orang-orang bodoh tersebut perkataan 
:"Letakkanlah dia di leher orang alim, dan keluarlah darinya dalam keadaan 
selamat". (Maksudnya yaitu serahkan tanggung jawab akibat perbuatan kalian 
kepada orang alim yang memfatwakan hal itu, maka kalian akan keluar dengan 
selamat tanpa beban -pent). Ketika timbul suatu masalah pada salah seorang di 
antara orang-orang bodoh tersebut, maka dia akan pergi kepada sebagian ulama 
yang tasahul (mudah memberikan jawaban yang ringan dan enak, -pent) dalam 
berfatwa, lalu mereka (sebagian ulama yang tasahul, -pent) mencarikan untuknya 
rukhsah yang telah difatwakan oleh seseorang, lalu mereka berfatwa dengan 
rukhsah tersebut padahal rukhsah itu menyelesihi dalil dan kebenaran yang telah 
mereka yakini..

Kebanyak orang-orang bodoh itu terdiri dari dua golongan, yaitu (pertama) orang 
awam yang pergi ke ulama yang tasahul dalam berfatwa. Dan (yang kedua) mufti 
yang mencari keridhaan manusia yang tidak berfatwa dengan dalil.

Apakah mafsadah (kerusakan) dan mudharat (bahaya) yang ditimbulkan oleh cara 
seperti ini .? manakah dalil-dalil syar'i yang menunjukkan kebatilan hal ini ? 
bagaimanakan pendapat-pendapat para ulama tentang hal ini ? beserta penjelasan 
tentang bagaimanakan sikap yang benar dalam menghadapi masalah khilafiyah 
(perselisihan) ?, dan apakah kewajiban seorang mufti ?, dan apa kewajiban 
seorang yang meminta fatwa ? (inilah yang akan diterangkan, -red).

APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN RUKHSAH DI SINI ?

Yang dimaksud dengan rukhsah di sini adalah pendapat para ulama dalam masalah 
khilafiyah yang paling ringan (paling enak, -pent) yang tidak bersandar kepada 
dalil yang shahih. Atau kesalahan seorang alim mujtahid yang kesalahannya 
tersebut diselisihi oleh para mujtahid yang lain. Dan inilah makna rukhsah 
menurut bahasa. Adapun makna syar'i yaitu istilah terhadap sesuatu yang berubah 
dari perkara yang asal karena adanya halangan, atau untuk kemudahan dan 
keringanan. Seperti diqasharnya shalat ketika safar dan kesalahan-kesalahan 
padanya yang rukhsah-rukhsah syar'i yang lainnya.

Contoh-contoh rukhsah para ahli fiqih :

[1] Pendapat bolehnya mencukur jenggot

[2] Pendapat bolehnya membayar zakat fitrah dengan uang.

[3] Pendapat bolehnya meminum semua yang memabukkan kecuali yang dari anggur.

[4] Pendapat bahwasanya tidak ada shalat Jum'at kecuali pada tujuh wilayah.

[5] Pendapat tentang diakhirkannya shalat asar hingga (panjang) bayangan setiap 
benda adalah empat kalinya.

[6] Pendapat bolehnya lari pada saat bertemu dengan musuh (ketika jihad, -pent).

[7] Pendapat bolehnya mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik.

[8] Pendapat bolehnya nikah mut'ah.

[9] Pendapat bolehnya menukar satu dirham dengan dua dirham secara kontan/tunai.

[10] Pendapat bolehnya menjima'i istri dari duburnya.

[11] Pendapat sahnya nikah tanpa wali dan tanpa mahar.

[12] Pendapat tidak disyariatkannya dua saksi dalam nikah.

MAFSADAH (KERUSAKAN) YANG TIMBUL KARENA MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA'

Mengikuti rukhsah para fuqaha' menimbulkan mafsadah yang banyak. Di a

Re: [media-dakwah] STATUS ANAK ZINA

2006-08-09 Thread yudith intanwidya
Assalamu'alaikum wr wb
  
  Aduh, afwan baru bangun neh lom gitu ngeh apa maksudnya.
  Emang ada ya yg namanya "anak haram". Kok bisa sih disebut "anak  haram"? 
Yang haram itu yg mananya? Kenapa anak yg baru lahir itu yg  nanggung sebutan 
"haram"? Bukankah yg haram itu kelakuan emak dan bapak  si jabang bayi itu??
  
  Setau saya, anak yg lahir walaupun tanpa nasab itu adalah masih  menyandang 
nasab ibunya. Contohnya : nabi Isa a.s , nasabnya kan Isa  bin Maryam (klo gk 
salah inget neh)
  Afwan klo rada tulalit. Mohon penjelasan lbh lajut.
  Jazakumullah
  
  Wassalamu'alaikum wr wb

Henny <[EMAIL PROTECTED]> wrote:  
Saat ini, barangkali sudah tidak begitu asing dengan adanya perempuan yang
hamil di luar nikah (meski jelas ini adalah perbuatan zina). Dan sebagai
tindak lanjut dari keadaan yang sudah terlanjur tersebut orang biasanya
melakukan aborsi (saya sudah tahu bahwa yang semacam ini adalah termasuk
pembunuhan) atau melakukan pernikahan. 


Pertanyaannya, apakah pernikahannya ini sah? 


Ada ustadz yang bilang bahwa pernikahannya ini tidak sah sebab harus
menunggu bayi itu lahir dan baru menikah. tapi, yang seperti ini sepertinya
tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan masyarakat kita. 


Ada ustadz berpendapat atau (barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW)
menganggap bahwa pernikahan tetangga saya tersebut tidak sah. katanya,
ketika anaknya sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi. 


lho, berarti pernikahaan kemarin hanya main-main dong, apakah boleh
main-main dengan agama? berarti hubungan yang dijalin selama belum nikah
ulang berarti zina dong (karena belum sah) 


Pencarian tentang ayat-ayat, hadis dan pendapat ulama mengenai permasalahan
ini Saya rangkum sbb :


Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina
baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu
merupakan dosa besar. 


QS 17 : 32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.


QS 24 : 2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.


QS 3 : 135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri[*], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui. 


[*]. Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana
mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti
zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana
mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil. 


Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak
memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa
mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu,
ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan
dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum
Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat. 


Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak
menghamilinya, ada dua pendapat yaitu : pertama, harus menunggu sampai
kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status anak yang
dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini
wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, siapapun pria
yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita
tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa
menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik
dibanding dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram.
Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran
bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum
yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak
kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang pada
kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis. 


Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama berdasar
pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya
Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:"Awalnya zina akhirnya
nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal."Sahabat yang
mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang
disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50).