Re: [mediacare] UI Bookfest 2007 Book and Lifestyle

2007-07-24 Terurut Topik Buku Baru
Kontak personnya siapa?
Buat panitia, silakan japri ke saya. Insya Allah saya akan ikut berpartisipasi.

BB

Pada tanggal 24/07/07, kartika paramita [EMAIL PROTECTED] menulis:
 just want to remember..

   Ikatan Mahasiswa Program Studi Ilmu
 Perpustakaan (IMASIP) Universitas
 Indonesia dengan bangga kembali
 menghadirkan UI BookFest 2007, sebuah
 event tahunan yang mengedepankan
 konsep edutainment di dalam setiap
 kemasan acaranya. Konsep tersebut
 diusung dalam rangka memasyarakatkan
 minat baca dan membangun reading
 society, yaitu masyarakat dimana para
 anggotanya memiliki minat yang tinggi
 untuk membaca buku dan menghargai
 dunia perbukuan dan informasi di
 Indonesia. UI Bookfest ada untuk
 mempertahankan dan mengangkat jendela
 dunia dan jendela hati yang tertuang
 dalam buku.

 Tema Acara:
 Book  Lifestyle

 Waktu  Tempat Acara:
 Kamis-Minggu (15-18 November 2007)
 Pusat Studi Jepang Universitas
 Indonesia




 -
 Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who
 knows.
 Yahoo! Answers - Check it out.


Re: [mediacare] [SELISIK] Simpatik tapi Tidak Kritis

2007-07-23 Terurut Topik Buku Baru

Artikel ini, sebagaimana pengantar Kang Jalal yang diceritakannya, mengajak
kita untuk kritis. Tapi kenapa artikel ini tidak membaca Kang Jalal dengan
kritis pula, dan seolah memercayainya begitu saja?
Cobalah penulis artikel ini baca buku Nasr Hamid Abu Zaid berjudul Mafhum
an-Nash (sudah diterjemahkan LKIS dengan judul Tekstualitas ALquran). Nasr
Hamid dikenal sangat kritis, bahkan pada Imam Syafi'i sekalipun, salah satu
imam Sunni, yang memicu dia dituduh murtad oleh al-Azhar dan halal darahnya.
Tentang penerimaan wahyu, Nasr Hamid setuju dengan cerita yang selama ini
kita dengar: Nabi menggigil menerimanya. Kalau tidak salah cerita itu juga
berasal dari riwayat Bukhori-Muslim (nanti saya cek lagi; intinya riwayat
cukup kuat dan otoritatif). Mengapa menggigil? Kata Nasr Hamid, relasi wahyu
antara Allah (di luar batas) dengan Nabi cukup berbeda. Sangat jauh. Bisakah
dua yang berbeda berkomunikasi? Perangkat komunikasi apa yang dipakai? Dalam
khazanah Arab bisa, misalnya penyair yang mencari inspirasi dari Jin (juga
mengalami hal-hal yang 'menakjubkan' seperti menggigil). Dua realitas yang
berbeda ini yang membuat terjadi hal-hal dahsyat. Dan peristiwa yang dialami
Nabi juga begitu. Mengapa? Karena peristiwa itu di Mekah dan saat itu,
artinya tak keluar dari konteks Arab kala itu.
Dengan begitu, masyarakat Arab akan percaya bahwa Nabi telah memeroleh
sesuatu yang luar biasa, dari Yang Di Luar Manusia. Dalam Alquran juga
dikatakan bahwa wahyu turun seperti suara dengung lebah, bising, di balik
tabir. Artinya, semula wahyu tidak dikenali (proses decoding utnuk
mengenalinya mungkin bisa dibahas dalam semiotika).
Tentu kalau Nabi biasa-biasa saja, orang Arab tak percaya. Juga Nabi tak
perlu ke Pendeta yang mengatakan bahwa yang terjadi pada Nabi dulu pernah
terjadi pada Musa dan Isa.
Menghadapi teks kritis, tidak berarti larut bersamanya, tapi juga tetap
kritis
Salam,

BB


Pada tanggal 24/07/07, Anwar Holid [EMAIL PROTECTED] menulis:


  [SELISIK]

Simpatik tapi Tidak Kritis
--
---Anwar Holid

JALALUDDIN RAKHMAT (Kang Jalal) memberi kata pengantar amat menyengat di
buku Muhammad: Prophet
For Our Time karya Karen Armstrong (Mizan, 2007), judulnya: 'Karen
Armstrong, Simpatik tapi Tidak
Kritis.' Kata pengantar tersebut merupakan 'hadiah' sangat berarti untuk
menemani pembaca selama
menikmati buku biografi Nabi Muhammad dari sudut pandang seorang
komentator agama. Bagi sebagian
Muslim pun, pendapat Kang Jalal tentang sirah nabawiyah itu boleh jadi
tetap bakal mengguncang,
apalagi bagi Muslim yang kurang terbiasa dengan khazanah non-Sunni.
Muhammad: Prophet For Our Time
sendiri disiapkan nyaris sempurna, mulai dari penerjemahan dan editing,
didesain amat cantik,
hingga menambah bobot buku lebih dari sekadar benda cetak atau sumber
pengetahuan. Karen Armstrong
menulis dengan sangat luwes, lincah, jernih, dan menyajikan wacana seperti
bila kita meluncur di
permukaan licin, tanpa kesukaran pemahaman sama sekali.

Saya sudah menamatkan beberapa buku Karen Armstrong, membaca-baca berbagai
file profil dia,
wawancara, artikel mengenai dirinya, pikiran dia dari berbagai sumber,
termasuk menulis profil dia
di Matabaca, tapi tak terlintas sedikit pun kesimpulan bahwa dia tidak
kritis. Bahwa Armstrong
simpatik tentu semua pembaca buku-buku dia sepakat. Tapi disebut tidak
kritis? Baru Kang Jalal
berani berpendapat demikian. Walhasil, kata pengantar dia sangat berguna
mengimbangii isi buku.
Sebuah kata pengantar yang sangat tajam dan menunjukkan betapa keyakinan
(iman) lain dengan
penelusuran sejarah atau interpretasi terhadap teks dan riset dari
berbagai sumber rujukan. Berkat
pengabdian Armstrong dalam membangun jembatan memajukan pemahaman
antaragama pada 1998 Islamic
Center California Selatan menganugerahi dia penghargaan. Pada 1999 dia
menerima anugerah dari
Muslim Public Affairs Council Media.

Bagaimana Karen Armstrong jadi tidak kritis di mata Kang Jalal?

Salah satu yang paling mencolok, Armstrong ternyata lolos memperhatikan
dan tak merujuk sejumlah
biografi Nabi Muhammad karya penulis Muslim terkemuka, misalnya Sejarah
Hidup Muhammad (Muhammad
Husain Haekal). Padahal buku Haekal tersebut sangat bermanfaat dalam
menjelaskan soal kisah
gharaniq (ayat-ayat setan). Kelemahan Armstrong itu terutama disebabkan
karena dia mengutip buku
'tarikh dalam terjemahan Inggris. Itu pun terbatas pada sumber Ahli
Sunnah, yang diterimanya tanpa
kritik.' Kang Jalal mengambil satu kisah peristiwa vital yang dia jadikan
bukti bahwa Armstrong
tidak kritis, yaitu ketika Muhammad menerima wahyu pertama, dan setelah
itu beliau menggigil
ketakutan, disertai kecemasan, kebingungan, dan kesedihan. Begitu pulang
beliau berkata kepada
Khadijah, Selimuti aku! Selimuti aku! sampai hilang rasa takut itu.

Tulis Kang Jalal: Tidak pernah wahyu datang dengan cara yang 'mengerikan'
seperti ketika ia datang
kepadaa Nabi Saw. Bukankah beliau adalah kekasih Rabbul `Alamin, yang
tanpa Dia, seluruh alam
semesta tidak akan 

[mediacare] Membaca Manusia Sebagai Kisah

2007-07-04 Terurut Topik Buku Baru
Buku bagus tentang cerita. Semoga berguna.

Bukubaruku

Minggu, 01 Juli 2007,
*Lebih Hidup dengan Cerita
*

Judul Buku : Psikologi Naratif: Membaca Manusia Sebagai Kisah
Penulis : Bagus Takwin
Penerbit : Jalasutra, Jogjakarta
Cetakan : 1, April 2007
Tebal : viii + 163 Halaman (indeks)

Cerita secara budaya mengakar sebagai habitus lokal. Dalam berbagai konteks
budaya lokal, cerita mempunyai fungsi-fungsi sosial etis dan medium
pengajaran untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan dengan cara menyenangkan,
menghibur, juga penuh lelucon. Ada cerita Malin Kundang yang melegenda,
cerita tentang Kancil Nyolong Timun di Jawa yang sangat populer, cerita
Ande-ande Lumut yang menggambarkan keikhlasan dan kejujuran seorang
perempuan dan ke-waskitha-nan laki-laki dalam mengambil keputusan mengambil
istri.

Cerita mempresentasikan kearifan dan pusat pengajaran langsung dalam
membentuk imaji kehidupan sosial yang dihayati melalui momentum kebersamaan.
Cerita tidak bisa difungsikan tanpa ada kohesi sosial yang berjejaring.
Cerita dituturkan bukan untuk maksud memberi kepuasan diri, tetapi ia
berjejaring membentuk diskursus sosial agar makna-makna kehidupan sanggup
direproduksi dan tertata secara egaliter untuk mencapai keteraturan sosial
dengan cara bijaksana.

Begitulah, cerita adalah habitus lokal bagaimana imajinasi manusia
menghidupi tatanan sosial dan sebagai cermin buah keakraban. Kemauan membuat
cerita adalah upaya sadar kita bagaimana menjalin hubungan dengan orang lain
lebih dekat. Melalui cerita, antarsesama bisa saling mengakrabi, dari tidak
kenal, dengan sedikit kemampuan diri bercerita maka kedalaman batin
menyentuh dan mendorong andrenalin seseorang untuk mencoba menjadi simpati,
empati atau bahkan tumbuh benih cinta. Nyata atau tidak sebuah cerita, ia
tetap mengambil ruang relaksasi dan menumbuhkan ekstase hubungan di antara
dua orang sekaligus mendapati manfaat menurunkan ketegangan-ketegangan
pikiran seseorang.

Orang menjadi sedih, diliputi stressor yang bertubi dan beragam, stres
karena putus cinta, atau kegagalan adaptasi dari suatu hidup dalam dunia
hiperrealitas yang memenjarakan orang untuk mencari mode-mode hidup lantas
kemudian tidak tercakup kepuasan dirinya atas objek-objek pengharapan
material itu sehingga menjadi tertekan (depresi) dan bunuh diri, padahal ia
sendiri berlimpah materi maka dapatlah orang-orang demikian memiskinkan diri
untuk enggan membuat cerita sebagai imajinasi kreatif memecah kebisuan.
Cerita dapat dikemas sebagai humor untuk meregangkan kepenatan hidup dan
menambah kematangan pribadi sekaligus mendewasakan diri dalam menyikapi
kehidupan.

Tidak sebatas cerita berdampak positif terhadap seseorang. Cerita juga bisa
hadir secara paradoksal dan antagonis dalam relung penghayatan yang
mempribadi. Bahkan sebuah cerita dalam buku akan menjadi sumber obsesi bagi
para pembunuh. Takwin mencoba menghadirkan situasi semacam ini dengan
melihat bagaimana pengaruh buku The Catcher in the Rye yang ditulis
J.DSalinger terhadap dunia batin para pembunuh. Konon buku inilah yang
memberikan penjelasan signifikan terhadap perilaku agresif para pembunuh.

Terbunuhnya musisi John Lennon oleh Mark David Chapman atau percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Ronald Reagan oleh John Warnock Hincklye Jr,
tidak terlepas karena buku Salinger. Mungkin cerita ini menjadi pengalaman
konyol, namun begitulah cerita telah mengambil bagian bagaimana dunia batin
penikmat cerita bermetamorfosis. Apakah dia begitu terinduksi untuk
tenggelam dalam alur ceritanya atau ia mengambil jarak dan memaknai ulang
sebuah cerita. Yang jelas, cerita merupakan diskursus yang membentuk
identitas diri posisional, di mana konteks kehadirannya dan siapa yang
menghadirkan. Takwin mengumpamakan, seperti sebuah pisau yang baik,
ketajaman buku bisa dimaknai sebagai alat bantu untuk menopang makanan dalam
proses memasak oleh seorang koki atau menjadi alat membunuh oleh seorang
pembunuh (hlm. 101).

Cerita sebagai narasi diri merupakan mode menjadi (becoming) yang
terus-menerus berproses dan tidak ada ujung pangkalnya sehingga diperlukan
sebuah logika yang bisa menjelaskan proses itu, karena manusia tidak cukup
dimengerti oleh keberadaannya (being) saja. Melalui cerita logika itu
menjadi masuk akal. Memahami otentisitas manusia sebagai identitas diri
naratif yang berubah terus-menerus memerlukan kajian hermeneutika
sebagaimana usaha kita untuk melakukan pemahaman terhadap narasi
historisnya.

Bagus Takwin menjelaskan dengan merujuk pada konsepsi hermeneutika Ricoeur
bahwa hermeneutika berguna untuk memahami identitas diri manusia dalam
konteks dinamika identitas naratif diri. Melalui konsepsi identitas naratif
kita dapat memahami manusia sebagai pembentuk kisahnya sendiri dalam
interaksinya dengan manusia lain dalam aliran waktu (hlm. 8).

Identitas naratif mendasari keberadaan diri yang selalu tercakup dan
terintegrasi bersama dengan orang lain. Ia memahamkan kita pada dunia yang
saling terkait sehingga diri seseorang perlu dipahami 

Re: [mediacare] Penjajahan Islam

2007-06-26 Terurut Topik Buku Baru
Terlepas pernah tidaknya Islam menjajah, sejarah mestinya jadi ruang
refleksi. Taruhlah pernah, tapi tidak bisa dijadikan justifikasi agama itu
penjajah. Sebagaimana, dalam konteks lain, negara Aceh Darussalam dulu sudah
ada sebelum Indonesia merdeka, juga tidak bisa jadi alasan memisahkan diri.
Apakah kita mau kembali jadi Majapahit, Sriwijaya, Tidore, dll?
Agama pada akhirnya seperti pisau bermata dua: bisa digunakan untuk membunuh, 
bisa juga untuk menyebar rahmat.

BUBAR

MOD:
Jauh sebelum berdirinya Aceh Darussalam, berserakan kerajaan Hindu di Aceh dan 
Sumatra. Namun mereka sirna karena gempuran pasukan Islam. Bekas kerajaan lalu 
dijadikan istana dan bekas pura dijadikan masjid. Lalu kemana 
peninggalan-peninggalan pra-Islam di Aceh? Musnah sirna karena termasuk berhala.


Pada tanggal 27/06/07, insudira [EMAIL PROTECTED] menulis:

   Saya tambahkan info penjajahan oleh orang islam agar wawasan
 sejarah mas santo bertambah. India juga pernah dijajah islam lebih
 dari 700 tahun kemudian dilanjutkan oleh inggris sampai terpecah
 menjadi 3 negara: india, pakistan dan bangladesh.

 Anjuran saya cobalah mas santo dalam belajar sejarah melepas kacamata
 kudanya agar bisa lihat apa yang ada di kiri-kanan bahkan di belakang supaya
 bisa menjadi orang yang betul-betul jujur dan objektif seperti salamnya

 semoga damai,

 insudira


 MOD:
 Bagaimana dengan Majapahit yang runtuh karena diperangi oleh pasukan Islam
 dari Demak? Sebagian dari mereka lari terbirit-birit ke hutan dan ada yang
 menyeberang ke Bali. Bukankah itu termasuk penjajahan juga? Penjajahan juga
 bisa berbentuk penjajahan pikiran yang terus kita pelihara hingga kini.

 --- In mediacare@yahoogroups.com mediacare%40yahoogroups.com, RM
 Danardono HADINOTO
 [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
  --- In mediacare@yahoogroups.com mediacare%40yahoogroups.com, edi
 santoso santosodi@ wrote:
  
   Tampaknya seperti menuduh bahwa islam mengajarkan kekerasan dan
  kejahatan. Tak apalah, forum ini bebas berpendapat, tak dilarang
 mau
  tulis apa saja, asal bertanggungjawab. Paling tidak, sejarah dunia
  mencatat bahwa yg menjajah dan menindas tidak ada yg berasal dari
  kerajaan atau negara yg beragamakan Islam.
  
   salam jujur
   santo
  
 
  H? Tak ada penindasan dari kerajaan Islam? Lha penjajahan
  kesultanan Turki yang puluhan tahun itu apa? Gak pernah belajar
  sejarah ya? SD lulus? 5 x kesultanan Turki mencoba mengepung
 Vienna
  selalu gagal, akhirnya pasukan Turki dienyahkan dari bumi Eropa!
 
  Spanyol selatan, dan nagera negara Balkan lama sekali dduduki dan
  dijarah kerajaan Islam Turki!
 
  JI sayap militer tidak melandaskan tindakan mereka pada ajaran
 agama?
  DI/TII orang apa dong? Konghucu?
 
  Bung, bangun bung