[mediacare] Di Kaki Langit Cinta

2006-11-16 Thread Danny Lim
Radio Nederland Siaran Indonesia - Ranesi.
http://www.ranesi.nl/tema/budaya/kumpulan_cerpen_ranesi/kaki_langit_cinta_cerpen061106
Di Kaki Langit Cinta
Sri Wulandari 

06-11-2006


Bandara Schiphol. Langit masih basah ketika aku mendarat di sana. Inilah 
gerbang utama memasuki negara Belanda. Sebuah negera kecil yang 350 tahun 
lampau menguasai negeriku, Indonesia.

Bertahun-tahun yang lewat, aku pernah menyimpan mimpi, kelak akan menginjak 
kaki di negeri ini, menghirup udaranya, menikmati aroma kehidupannya, 
bersanding dengan seseorang pria tinggi kurus, berkulit putih, berambut pirang, 
dan bermata coklat. Bertahun-tahun aku menyimpan harapan padanya. Aku memupuk 
mimpi melahirkan anak-anaknya dan membesarkannya di negeri ini, negeri nenek 
moyangnya. Tapi mimpi itu tinggal sekelebat, runtuh dalam hitungan waktu yang 
tak jelas. Aku kehilangan mimpi. Terkubur di dasar sanubariku, tanpa hendak 
kuinginkan lagi.

Lelaki itu bernama Ronald, dia berasal dari Vlaardingen. Aku mengenalnya dari 
sebuah ruang percakapan di dunia maya, delapan tahun yang silam. Dia menyapaku 
terlebih dahulu. Bertanya siapa  diriku dan asal usulku. Meski dunia maya 
menawarkan kebohongan dan kepalsuan, aku jujur kepadanya, mengungkapkan jati 
diriku kepadanya. Dan, kurasa dia pun demikian.

"Kamu benar dari Indonesia?" dia bertanya lagi separuh tak percaya. Kujawab 
benar bahwa aku berasal dari Indonesia, sebuah negeri kepulauan yang luas, yang 
kaya pemandangan  alam, yang kaya akan hasil bumi, sehingga nenek moyangnya 
tertarik untuk menguasai negeriku. "Bagaimana keadaan di sana sekarang?" 
tulisnya.

Aku tahu arah pertanyaannya, saat itu baru saja terjadi perubahan suhu politik 
di negeriku. Keadaan begitu panas dan sangat mencekam. Mei 1998, kejayaan Orde 
Baru tumbang dalam sekejap. Puluhan ribu mahasiswa didukung para pegiat politik 
dan masyarakat bergabung menduduki gedung DPR/MPR. Sebelumnya rentetan 
unjukrasa mahasiswa selalu terjadi, kerap kali diakhiri ricuh dengan aparat 
keamanan.

Puncaknya, saat Universitas Trisakti melakukan unjukrasa, kericuhan dengan 
aparat tak terhindari. Entah, sniper siapa yang bertindak, empat mahasiswa 
tewas tertembus peluru. Aku berada di sana, menjadi saksi atas peristiwa akbar 
itu.

Detik demi detik begitu mencekam. Kematian empat mahasiswa itu menjadi tumbal 
perlawanan rakyat yang tak terelakkan. Rusuh massal tak terhindarkan, amuk 
massa terjadi di mana-mana, bahkan diwarnai perjarahan dan pembakaran. Kepulan 
asap hitam mewarnai langit Jakarta. Serombongan orang berlari menjunjung 
barang-barang, entah milik siapa. Hari itu, nilai-nilai kemanusiaan tak lagi 
memiliki arti. Harkat dan martabat manusia melorot hingga titik nadir. Di 
gedung DPR/MPR, tokoh yang dulu mencalonkan Soeharto sebagai presiden justru 
mengeluarkan pernyataan meminta Soeharto mundur, karena terbukti rakyat tak 
menghendakinya lagi. Sementara penjabat lainnya, terpaksa mengijinkan mahasiswa 
memasuki gedung DPR/MPR. Sejak itu mereka menduduki gedung DPR/MPR dan 
menyatakan  bersedia mundur apabila tuntutan mereka dipenuhi.

Peristiwa itu kurekam dengan baik, kusajikan dalam laporan utama di tabloid, 
tempatku bekerja. Peristiwa itu telah menyedot energiku, nyaris sepanjang malam 
aku tak tidur. Detik demi detik, menunggu perubahan. Klimaksnya, Soeharto 
menyatakan mundur sebagai presiden dan BJ Habibie menggantikan dirinya. Aku 
juga mengalami klimaks, disergap keletihan yang luar biasa. Aku pun memutuskan 
untuk cuti selama satu minggu, berdiam diri di rumah dan menutup diri terhadap 
beragam arus informasi. Kuhibur diri dengan mengunjungi komunitas chat room di 
dunia maya. Hingga aku bertemu dengan Ronald.

Ronald banyak bertanya tentang situasi dan kondisi politik di negeriku serta 
dampaknya terhadap rakyat. Dia juga bertanya apa betul ada kasus pemerkosaan 
massal yang menimpa etnis minoritas. Aku tidak tahu, begitu kujawab. Itu karena 
memang aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertemu dengan salah satu korban 
pemerkosaan itu. Yang kutahu, adanya korban pemerkosaan diungkapkan oleh LSM, 
crisis center, dan para pegiat politik. Sebagai reporter, aku kesulitan 
menemukan jati diri sang korban pemerkosaan. Kalaupun ada testimoni di Komnas 
HAM atau di kantor sebuah LSM, itu bukan keluar dari mulut korban secara 
langsung, melainkan saksi kedua, saksi ketiga, dan orang-orang yang mengaku 
mendengar cerita tentang saudaranya yang diperkosa.

"Kenapa sih kamu tanya-tanya soal itu," ujarku.
"Aku hanya ingin tahu saja," dia menjawab. "Aku ingin berlibur ke Indonesia, 
tapi kalau keadaannya tak aman, aku takut juga," sambung dia.
"Jangan bernyali kecil dong, lihat dan buktikan sendiri, negaraku cukup aman 
untuk pelancong  meski terjadi gejolak politik."
"Kamu bisa menjamin itu?" dia bertanya ragu.
"Ya, kalau perlu aku yang jadi pemandu  kamu," tegasku.

Pertemuan pertama di dunia maya itu diakhiri dengan saling memberikan nomer 
telepon. Sejak itulah, aku dan Ronald saling bertukar sapa, tak hanya melalui 
t

Re: [mediacare] Di Kaki Langit Cinta

2006-11-16 Thread Wulan Manis
Dear Danny Lim...
Ini cerpen saya makasih mau mengapresiasikannya. separuh kisah nyata, 
separuh kisah duka, hehehhehe.
Oiya, gara-gara kecantol kompeni asal vlaardingen ini, aku jadi suka baca 
tulisan kamu, baik di kincir angin, milis, maupun di majalah intisari.. 
tapi sayang mimpiku ke belanda... kayaknya masih jauh dari kenyataanbut i 
still have hope
mau bantu gak? hehehehhehhehhe

salam
wulan


Danny Lim <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
Radio Nederland Siaran Indonesia -  Ranesi.
 
http://www.ranesi.nl/tema/budaya/kumpulan_cerpen_ranesi/kaki_langit_cinta_cerpen061106
  Di Kaki Langit Cinta   Sri Wulandari 
 06-11-2006

   
Bandara  Schiphol. Langit masih basah ketika aku mendarat di sana. Inilah 
gerbang utama  memasuki negara Belanda. Sebuah negera kecil yang 350 tahun 
lampau menguasai  negeriku, Indonesia.
 Bertahun-tahun yang lewat, aku pernah menyimpan mimpi, kelak akan menginjak  
kaki di negeri ini, menghirup udaranya, menikmati aroma kehidupannya, 
bersanding  dengan seseorang pria tinggi kurus, berkulit putih, berambut 
pirang, dan bermata  coklat. Bertahun-tahun aku menyimpan harapan padanya. Aku 
memupuk mimpi  melahirkan anak-anaknya dan membesarkannya di negeri ini, negeri 
nenek  moyangnya. Tapi mimpi itu tinggal sekelebat, runtuh dalam hitungan waktu 
yang  tak jelas. Aku kehilangan mimpi. Terkubur di dasar sanubariku, tanpa 
hendak  kuinginkan lagi.
 Lelaki itu bernama Ronald, dia berasal dari Vlaardingen. Aku mengenalnya dari  
sebuah ruang percakapan di dunia maya, delapan tahun yang silam. Dia menyapaku  
terlebih dahulu. Bertanya siapa  diriku dan asal usulku. Meski dunia maya  
menawarkan kebohongan dan kepalsuan, aku jujur kepadanya, mengungkapkan jati  
diriku kepadanya. Dan, kurasa dia pun demikian.
 “Kamu benar dari Indonesia?” dia bertanya lagi separuh tak percaya. Kujawab  
benar bahwa aku berasal dari Indonesia, sebuah negeri kepulauan yang luas, yang 
 kaya pemandangan  alam, yang kaya akan hasil bumi, sehingga nenek moyangnya  
tertarik untuk menguasai negeriku. “Bagaimana keadaan di sana sekarang?”  
tulisnya.
 Aku tahu arah pertanyaannya, saat itu baru saja terjadi perubahan suhu  
politik di negeriku. Keadaan begitu panas dan sangat mencekam. Mei 1998,  
kejayaan Orde Baru tumbang dalam sekejap. Puluhan ribu mahasiswa didukung para  
pegiat politik dan masyarakat bergabung menduduki gedung DPR/MPR. Sebelumnya  
rentetan unjukrasa mahasiswa selalu terjadi, kerap kali diakhiri ricuh  dengan 
aparat keamanan.
 Puncaknya, saat Universitas Trisakti melakukan unjukrasa,  kericuhan dengan 
aparat tak terhindari. Entah, sniper siapa yang bertindak,  empat mahasiswa 
tewas tertembus peluru. Aku berada di sana, menjadi saksi atas  peristiwa akbar 
itu.
 Detik demi detik begitu mencekam. Kematian empat mahasiswa itu menjadi tumbal  
perlawanan rakyat yang tak terelakkan. Rusuh massal tak terhindarkan, amuk 
massa  terjadi di mana-mana, bahkan diwarnai perjarahan dan pembakaran. Kepulan 
asap  hitam mewarnai langit Jakarta. Serombongan orang berlari menjunjung  
barang-barang, entah milik siapa. Hari itu, nilai-nilai kemanusiaan tak lagi  
memiliki arti. Harkat dan martabat manusia melorot hingga titik nadir. Di 
gedung  DPR/MPR, tokoh yang dulu mencalonkan Soeharto sebagai presiden justru  
mengeluarkan pernyataan meminta Soeharto mundur, karena terbukti rakyat tak  
menghendakinya lagi. Sementara penjabat lainnya, terpaksa mengijinkan mahasiswa 
 memasuki gedung DPR/MPR. Sejak itu mereka menduduki gedung DPR/MPR dan  
menyatakan  bersedia mundur apabila tuntutan mereka dipenuhi.
 Peristiwa itu kurekam dengan baik, kusajikan dalam laporan utama di tabloid,  
tempatku bekerja. Peristiwa itu telah menyedot energiku, nyaris sepanjang malam 
 aku tak tidur. Detik demi detik, menunggu perubahan. Klimaksnya, Soeharto  
menyatakan mundur sebagai presiden dan BJ Habibie menggantikan dirinya. Aku 
juga  mengalami klimaks, disergap keletihan yang luar biasa. Aku pun memutuskan 
untuk  cuti selama satu minggu, berdiam diri di rumah dan menutup diri terhadap 
beragam  arus informasi. Kuhibur diri dengan mengunjungi komunitas chat room di 
dunia  maya. Hingga aku bertemu dengan Ronald.
 Ronald banyak bertanya tentang situasi dan kondisi politik di negeriku serta  
dampaknya terhadap rakyat. Dia juga bertanya apa betul ada kasus pemerkosaan  
massal yang menimpa etnis minoritas. Aku tidak tahu, begitu kujawab. Itu karena 
 memang aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertemu dengan salah satu korban  
pemerkosaan itu. Yang kutahu, adanya korban pemerkosaan diungkapkan oleh LSM,  
crisis center, dan para pegiat politik. Sebagai reporter, aku kesulitan  
menemukan jati diri sang korban pemerkosaan. Kalaupun ada testimoni di Komnas  
HAM atau di kantor sebuah LSM, itu bukan keluar dari mulut korban secara  
langsung, melainkan saksi kedua, saksi ketiga, dan orang-orang yang mengaku  
mendengar cerita tentang saudaranya yang diperkosa.
 ”Kenapa s