RE: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?
saya rasa analoginya tidak sesederhana itu Pak Leo.. saya percaya bahwa IPDN sudah cukup diberi waktu.. dari sejak masih bernama STPDN, bukankah lembaga ini sudah berkali-kali MEMBIARKAN terjadinya kasus serupa? dan ini tidak pula sekadar masalah perploncoan.. jika perploncoan di ITB berkali-kali memakan korban, maka mungkin kita cukup teriak: stop perploncoan! tapi di STPDN atau IPDN, sangat berbeda.. kalau anda pernah kesana, anda akan mengerti mengapa kasus seperti Cliff Muntu bisa terjadi.. saya adalah alumnus Universitas Padjadjaran.. selama 4 tahun kos di daerah jatinangor, sedikit banyak saya berinteraksi juga dengan teman-teman STPDN.. (walaupun sgt jarang, mengingat mereka sangat eksklusif, tak bebas keluar areal kampus maupun bergaul dengan non STPDN).. menurut penglihatan saya, nyaris 99% siswa STPDN merasa amat bangga akan ke STPDN-nya, termasuk di dalamnya kultur dan sistem yang mengatur keseluruhan hidup mereka.. mereka tidak mengerti bahwa sesungguhnya tingkah pola mereka itu membuat muak banyak orang yang melihatnya.. contoh sangat sederhana, mereka selalu (diwajibkan, red) memberi hormat pada seniornya, tak pandang waktu maupun tempat.. setiap kali makan bakso disebuah kedai bakso sederhana (kapasitas 30 orang) di pinggir jalan raya jatinangor, saya harus berulang kali menyaksikan pemandangan lucu dari proses memberi hormat tersebut.. seorang junior yang sedang asyik mengunyah bakso sambil bersenda gurau dengan temannya, mendadak berdiri dan memberi hormat pada senior yang baru muncul di pintu.. alhasil bakso di dalam mangkok pun tumpah berceceran karena tersenggol si junior yang memaksa berdiri tegak di antara celah sempit meja dan bangku panjang.. lain waktu, ada lho, junior yang sampai keselek bakso.. sumpah! ini semua hanya karena mereka takut dianggap lamban atau tak hormat pada senior.. wajar sih, mereka takut.. (sebab) pernah (lagi-lagi di warung bakso yang sama) ada junior yang lupa nama seniornya.. si senior tak segan-segan membentak, kemudian menyuruh juniornya push up di tengah-tengah keramaian.. tak hanya itu, dijamin saat pulang ke kampus/asrama, hukuman lain yang lebih sadis sudah menanti si junior.. saya sungguh kasihan pada mereka.. hidup di sebuah kompleks kampus yang amat luas, lengkap, serta mewah.. dilengkapi dengan prasarana yang serba lebih, baik untuk kamar (mereka menyebutnya barak), sarana rekreasi dan olahraga, bahkan tempat ibadah (tersedia 5 rumah ibadah untuk 5 agama).. tapi tak bisa menikmati itu semua secara normal.. lucunya, yang terparah bukanlah menjadi manusia tak merdeka, atau tak punya otoritas atas diri sendiri.. (mereka bahkan tak boleh membuka topi di manapun mereka berada, kecuali saat tidur, mandi, maupun olahraga di dalam lingkungan kampus STPDN..) tapi bahwa mereka diam-diam menikmati eksklusifitas tersebut, tanpa pernah mengerti bahwa sistem yang selama ini dipaksakan kepada mereka adalah salah, dan tanpa pernah menyadari mereka sudah tercuci otak & berubah menjadi manusia sadis -Original Message- From: "Leo TOBING" <[EMAIL PROTECTED]> To: Date: Fri, 6 Apr 2007 01:28:17 +0700 Subject: RE: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS? apakah kita membutuhkan IPDN atau lain-lainnya? bagaimana kalau pertanyaannya begini, "apakah kita memerlukan pendidikan?" ... kok pendidikan ditolak? kalau ada korban, akankah kita langsung menyatakan bahwa kita tidak memerlukan pendidikan? soal penggunaan APBN untuk IPDN sebesar 150milyar dirasa berat, ... ya ... dikurangi saja ... tetapi ... ketika negerin ini memerlukan pendidikan ... kok pendidikan dilarang? mbo yg dirubah itu mungkin cara-cara perploncoannya ... tetapi, kalau IPDN ditutup ... bagaimana cara negara ini mencerdaskan bangsa? Regards, LEO TOBING --- NO PEACE WITHOUT JUSTICE! From: mediacare@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of angga gardantara Sent: Thursday, April 05, 2007 10:55 PM To: mediacare@yahoogroups.com Subject: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS? aku mau sumbang saran. apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini? belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah disentakkan oleh kematian praja berikutnya. dan penyelesaiannya tidaklah tuntas. saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaiknyalah sekolah ini ditutup saja. tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn atau apa gitu. apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya..saya rasa bisa dicukupi oleh rakyat biasa. tokh gelar itu tidaklah menjadi jaminan bahwa negara kita akan dipimpin dengan baik. banyak contoh pemimpin dengan gelar yang berderet seperti gerbong kereta api, tokh tidak dapat memimpin dengan baik. jadi sebaiknya tidak dibutuhkan sekolah2 khusus seperti itu.apalagi hanya akan membentuk kelompok eksklusif saja. lebih baik uang yang diguna
Re: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?
IPDN = Intitute Pembunuh Mahasiswa Dalam Negeri Hallo Mentri Pendidikan, apa kerjamu. sampai kapan anda akan tertidur pulas?? Apakah anda tidak melihat atau tidak mendengar atau pura2 buta tuli bahwa ada institue yang mengajarkan bagaimana caranya membunuh mahasiswanya dengan cara yang 'dihalalkan' dan 'dilindungi' oleh deparemane yang anda bawahi??? Sebaiknya IPDN =Institute Pembunuh Mahasiswa Dalam Negeri ini dibubarkan dan mahasiswanya di terapi oleh ahli jiwa dulu dan diisi keimanannya sesuai agama mereka masing2, sebelum digabungkan/dimasyarakatkan ke jajaran pendidikan yang sejalan. Kalau langsung di masyarakatkan ke universitas lain ditakutkan mahasiswa ex IPDN akan melakukankan lagi pembunuhan2 berantai di tempat yg baru karena mental ex mahasiswa IPDN semuanya sakit. Termasuk jajaran rektor juga para dosen harus dipecat dengan tidak hormat kemudian dikirim ke lembaga rehabilitasi mental dan kerohanian. Mengingat Rektor dan dosen IPDN masih bertahan dengan argumentasinya bahwa selama ini tidak ada penyiksaan yang terjadi didalam IPDN. Apakah itu bukan pernyataan orang gila yang menghalalkan dan melindungi penyiksaan yang akhirnya jadi pembunuhan. Dimana semua orang tahu INSTITUTE nya telah mencetak pembunuh2 berdarah dingin. Untuk Universitas lain yang menerima buangan mahasiswa ex IPDN harap para ex mahasiswa2 ini di amati secara khusus jangan sampai para ex mahasiswa IPDN ini merusak nama baik Universitas yang ketiban sialnya menerima mahasiswa ex pembunuh ini bergabung Saya mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya mahasiswa2 IPDN yang sejak tahun 1990 sampai 2007 ini. Semoga Tuhan segera membuka tabir kebusukan umatnya di jajaran IPDN. Semoga arwah kalian diteriman di sisi NYA ditempatkan ditempat yang mulia. Diampuni semua dosa2 kalian dan diterima semua amal dan ibadah kalian. Amin Untuk Media TV yang ada di Indonesia mohon jangan pernah berhenti menyorot kebobrokan IPDN. Begitu anda berhenti meliput 'pembunuhan' masih jadi salah satu kurikulum di IPDN, pemerintah Indonesiapun akan berhenti bertindak dan rentetan pembunuhanpun akan terjadi lagi. yang prihatin, AniDj thomz ng <[EMAIL PROTECTED]> wrote: IPDN sekarang ini artinya Institut Preman Dalam Negeri. jadi harus dibutuhkan. karena di pemerintahan semua preman. calon dan pendidikannya aja preman berarti kita punya orang-orang di pemerintahan preman semua enggak aneh kalo indonesia terpuruk. - Original Message From: yudie matta <[EMAIL PROTECTED]> To: mediacare@yahoogroups.com Sent: Monday, April 9, 2007 9:11:50 AM Subject: Re: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS? Menanggapi pak Leo Tobing, Saya rasa, masalahnya bukan menolak pendidikan atau mengurangi biaya pendidikan, akan tetapi poin terpenting ada pada sisi mencerdaskan bangsa, seperti yang Bapak utarakan juga. Bila kesempatan kedua (sebelumnya STPDN, kemudian menjadi IPDN) ternyata tidak membuahkan hasil yang maksimal, maka apakah tidak lebih cerdas untuk menggantikannya saja? Atau seperti yang Bapak Edi Santosa katakan, sebenarnya kebutuhan yang diisi oleh lulusan IPDN sudah bisa dicover oleh lulusan FISIP dari Perguruan Tinggu Umum. Jika memang seperti ini, siapa yang lebih dahulu dicerdaskan? regards, yudie On 4/6/07, Leo TOBING <[EMAIL PROTECTED] co.id> wrote: apakah kita membutuhkan IPDN atau lain-lainnya? bagaimana kalau pertanyaannya begini, "apakah kita memerlukan pendidikan?" ... kok pendidikan ditolak? kalau ada korban, akankah kita langsung menyatakan bahwa kita tidak memerlukan pendidikan? soal penggunaan APBN untuk IPDN sebesar 150milyar dirasa berat, ... ya ... dikurangi saja ... tetapi ... ketika negerin ini memerlukan pendidikan ... kok pendidikan dilarang? mbo yg dirubah itu mungkin cara-cara perploncoannya ... tetapi, kalau IPDN ditutup ... bagaimana cara negara ini mencerdaskan bangsa? Regards, LEO TOBING --- NO PEACE WITHOUT JUSTICE! From: mediacare@yahoogroups.com [mailto: [EMAIL PROTECTED] com] On Behalf Of angga gardantara Sent: Thursday, April 05, 2007 10:55 PM To: [EMAIL PROTECTED] ps.com Subject: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS? aku mau sumbang saran. apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini? belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah disentakkan oleh kematian praja berikutnya. dan penyelesaiannya tidaklah tuntas. saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaikny alah sekolah ini ditutup saja. tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn atau apa gitu. apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya.. saya rasa bisa dicukupi oleh rakyat biasa. tokh
Re: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?
IPDN sekarang ini artinya Institut Preman Dalam Negeri. jadi harus dibutuhkan. karena di pemerintahan semua preman. calon dan pendidikannya aja preman berarti kita punya orang-orang di pemerintahan preman semua enggak aneh kalo indonesia terpuruk. - Original Message From: yudie matta <[EMAIL PROTECTED]> To: mediacare@yahoogroups.com Sent: Monday, April 9, 2007 9:11:50 AM Subject: Re: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS? Menanggapi pak Leo Tobing, Saya rasa, masalahnya bukan menolak pendidikan atau mengurangi biaya pendidikan, akan tetapi poin terpenting ada pada sisi mencerdaskan bangsa, seperti yang Bapak utarakan juga. Bila kesempatan kedua (sebelumnya STPDN, kemudian menjadi IPDN) ternyata tidak membuahkan hasil yang maksimal, maka apakah tidak lebih cerdas untuk menggantikannya saja? Atau seperti yang Bapak Edi Santosa katakan, sebenarnya kebutuhan yang diisi oleh lulusan IPDN sudah bisa dicover oleh lulusan FISIP dari Perguruan Tinggu Umum. Jika memang seperti ini, siapa yang lebih dahulu dicerdaskan? regards, yudie On 4/6/07, Leo TOBING <[EMAIL PROTECTED] co.id> wrote: apakah kita membutuhkan IPDN atau lain-lainnya? bagaimana kalau pertanyaannya begini, "apakah kita memerlukan pendidikan?" ... kok pendidikan ditolak? kalau ada korban, akankah kita langsung menyatakan bahwa kita tidak memerlukan pendidikan? soal penggunaan APBN untuk IPDN sebesar 150milyar dirasa berat, ... ya ... dikurangi saja ... tetapi ... ketika negerin ini memerlukan pendidikan ... kok pendidikan dilarang? mbo yg dirubah itu mungkin cara-cara perploncoannya ... tetapi, kalau IPDN ditutup ... bagaimana cara negara ini mencerdaskan bangsa? Regards, LEO TOBING --- NO PEACE WITHOUT JUSTICE! From: mediacare@yahoogroups.com [mailto: [EMAIL PROTECTED] com] On Behalf Of angga gardantara Sent: Thursday, April 05, 2007 10:55 PM To: [EMAIL PROTECTED] ps.com Subject: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS? aku mau sumbang saran. apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini? belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah disentakkan oleh kematian praja berikutnya. dan penyelesaiannya tidaklah tuntas. saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaikny alah sekolah ini ditutup saja. tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn atau apa gitu. apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya.. saya rasa bisa dicukupi oleh rakyat biasa. tokh gelar itu tidaklah menjadi jaminan bahwa negara kita akan dipimpin dengan baik. banyak contoh pemimpin dengan gelar yang berderet seperti gerbong kereta api, tokh tidak dapat memimpin dengan baik. jadi sebaiknya tidak dibutuhkan sekolah2 khusus seperti itu.apalagi hanya akan membentuk kelompok eksklusif saja. lebih baik uang yang digunakan disalurkan untuk kebutuhan lainnya. katanya sih untuk itu, negara membutuhkan dana untuk dapat mensejahterakan masyarakat.. . semoga ini menjadi korban terakhir dari calon pemimpin yang belum2 sudah gila kekuasaan... . Kadarsah <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bung Ade, bagus nih tulisannya Sdr.Edi Santosa, jadi siapa saja nih yang memiliki posisi berikut: sgarrista @ calon praja caporegima =praja tingkat I capodecina =praja tingkat II sotto capo =praja tingkat III capofamiglia =.? Capo di Tutti Capi=Rektor IPDN Setuju kah? -kadarsah-- --- Ade < [EMAIL PROTECTED] com> wrote: > 05/04/2007 11:44 WIB > Kolom > Capofamiglia IPDN > Eddi Santosa - detikcom > Den Haag - Dalam kultur mereka, menyiksa diiringi caci-maki itu identik dengan > disiplin. Jika berujung pada kematian, maka semua memberlakukan omerta. IPDN > sudah > mirip keluarga mafia. > > Cliff pasti menderita sekali. Nyawanya harus lepas karena tidak kuat lagi > memikul > beban sakit nan tak terperi. Nyawa Cliff juga pasti sangat bersedih. Ia harus > mati > membawa sisa cacian, bentakan atau bahkan mungkin kata-kata penghinaan yang > masih > terngiang-ngiang. .. Sebuah proses keji yang dilegalkan dengan bungkus > "tindakan > disiplin." > > Dan tubuh gagah Cliff tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Ia bukan berduel > menghadapi ksatria jantan, pria sejati, melainkan gerombolan lelaki pengecut > yang cuma > berani keroyokan. > > Para pengecut yang tak punya harga diri ini berlindung di balik atribut praja > senior. > Masih ada satu lagi belenggu yang membuat Cliff semakin tidak berdaya: > sebagai bawahan, > praja junior, dia harus patuh secara absolut kepada praja senior. > > Cliff bukan korban pertama dan bukan akan menjadi korban yang terakhir, > selama rakyat > pembayar pajak dan parpol-parpol di DPR tumpul merespons tradisi be
Re: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?
Menanggapi pak Leo Tobing, Saya rasa, masalahnya bukan menolak pendidikan atau mengurangi biaya pendidikan, akan tetapi poin terpenting ada pada sisi mencerdaskan bangsa, seperti yang Bapak utarakan juga. Bila kesempatan kedua (sebelumnya STPDN, kemudian menjadi IPDN) ternyata tidak membuahkan hasil yang maksimal, maka apakah tidak lebih cerdas untuk menggantikannya saja? Atau seperti yang Bapak Edi Santosa katakan, sebenarnya kebutuhan yang diisi oleh lulusan IPDN sudah bisa dicover oleh lulusan FISIP dari Perguruan Tinggu Umum. Jika memang seperti ini, siapa yang lebih dahulu dicerdaskan? regards, yudie On 4/6/07, Leo TOBING <[EMAIL PROTECTED]> wrote: apakah kita membutuhkan IPDN atau lain-lainnya? bagaimana kalau pertanyaannya begini, "apakah kita memerlukan pendidikan?" ... kok pendidikan ditolak? kalau ada korban, akankah kita langsung menyatakan bahwa kita tidak memerlukan pendidikan? soal penggunaan APBN untuk IPDN sebesar 150milyar dirasa berat, ... ya ... dikurangi saja ... tetapi ... ketika negerin ini memerlukan pendidikan ... kok pendidikan dilarang? mbo yg dirubah itu mungkin cara-cara perploncoannya ... tetapi, kalau IPDN ditutup ... bagaimana cara negara ini mencerdaskan bangsa? Regards, *LEO TOBING* --- NO PEACE WITHOUT JUSTICE! -- *From:* mediacare@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] *On Behalf Of *angga gardantara *Sent:* Thursday, April 05, 2007 10:55 PM *To:* mediacare@yahoogroups.com *Subject:* [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS? aku mau sumbang saran. apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini? belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah disentakkan oleh kematian praja berikutnya. dan penyelesaiannya tidaklah tuntas. saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaiknyalah sekolah ini ditutup saja. tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn atau apa gitu. apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya..saya rasa bisa dicukupi oleh rakyat biasa. tokh gelar itu tidaklah menjadi jaminan bahwa negara kita akan dipimpin dengan baik. banyak contoh pemimpin dengan gelar yang berderet seperti gerbong kereta api, tokh tidak dapat memimpin dengan baik. jadi sebaiknya tidak dibutuhkan sekolah2 khusus seperti itu.apalagi hanya akan membentuk kelompok eksklusif saja. lebih baik uang yang digunakan disalurkan untuk kebutuhan lainnya. katanya sih untuk itu, negara membutuhkan dana untuk dapat mensejahterakan masyarakat... semoga ini menjadi korban terakhir dari calon pemimpin yang belum2 sudah gila kekuasaan *Kadarsah <[EMAIL PROTECTED]>* wrote: Bung Ade, bagus nih tulisannya Sdr.Edi Santosa, jadi siapa saja nih yang memiliki posisi berikut: [EMAIL PROTECTED] praja caporegima =praja tingkat I capodecina =praja tingkat II sotto capo =praja tingkat III capofamiglia =.? Capo di Tutti Capi=Rektor IPDN Setuju kah? -kadarsah-- --- Ade <[EMAIL PROTECTED] > wrote: > 05/04/2007 11:44 WIB > Kolom > Capofamiglia IPDN > Eddi Santosa - detikcom > Den Haag - Dalam kultur mereka, menyiksa diiringi caci-maki itu identik dengan > disiplin. Jika berujung pada kematian, maka semua memberlakukan omerta. IPDN sudah > mirip keluarga mafia. > > Cliff pasti menderita sekali. Nyawanya harus lepas karena tidak kuat lagi memikul > beban sakit nan tak terperi. Nyawa Cliff juga pasti sangat bersedih. Ia harus mati > membawa sisa cacian, bentakan atau bahkan mungkin kata-kata penghinaan yang masih > terngiang-ngiang... Sebuah proses keji yang dilegalkan dengan bungkus "tindakan > disiplin." > > Dan tubuh gagah Cliff tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Ia bukan berduel > menghadapi ksatria jantan, pria sejati, melainkan gerombolan lelaki pengecut yang cuma > berani keroyokan. > > Para pengecut yang tak punya harga diri ini berlindung di balik atribut praja senior. > Masih ada satu lagi belenggu yang membuat Cliff semakin tidak berdaya: sebagai bawahan, > praja junior, dia harus patuh secara absolut kepada praja senior. > > Cliff bukan korban pertama dan bukan akan menjadi korban yang terakhir, selama rakyat > pembayar pajak dan parpol-parpol di DPR tumpul merespons tradisi bengis, tidak > memanusiakan manusia, dalam sistem pendidikan untuk mencetak Camat ini. > > Kultur dan sistem dalam IPDN sudah rusak dan tidak sesuai dengan kebutuhan dan norma > zaman. Dalam kurun 16 tahun, sejak 1990-an, sudah 35 praja tewas mengenaskan. Itu > artinya rata-rata lebih dari 2 nyawa tewas per tahun. > > Hanya bangsa kita saja yang masih memelihara serta membanggakan kultur dan sistem > mirip mafia itu. Memukul, menendang, menyiksa, membentak-bentak, dan memaki-maki, dalam > kultur ini menjadi instrumen untuk menegakkan disiplin. > > Pelajar baru masuk sudah dibentuk dan dikategorikan sebagai level ren
RE: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?
apakah kita membutuhkan IPDN atau lain-lainnya? bagaimana kalau pertanyaannya begini, "apakah kita memerlukan pendidikan?" ... kok pendidikan ditolak? kalau ada korban, akankah kita langsung menyatakan bahwa kita tidak memerlukan pendidikan? soal penggunaan APBN untuk IPDN sebesar 150milyar dirasa berat, ... ya ... dikurangi saja ... tetapi ... ketika negerin ini memerlukan pendidikan ... kok pendidikan dilarang? mbo yg dirubah itu mungkin cara-cara perploncoannya ... tetapi, kalau IPDN ditutup ... bagaimana cara negara ini mencerdaskan bangsa? Regards, LEO TOBING --- NO PEACE WITHOUT JUSTICE! _ From: mediacare@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of angga gardantara Sent: Thursday, April 05, 2007 10:55 PM To: mediacare@yahoogroups.com Subject: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS? aku mau sumbang saran. apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini? belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah disentakkan oleh kematian praja berikutnya. dan penyelesaiannya tidaklah tuntas. saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaiknyalah sekolah ini ditutup saja. tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn atau apa gitu. apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya..saya rasa bisa dicukupi oleh rakyat biasa. tokh gelar itu tidaklah menjadi jaminan bahwa negara kita akan dipimpin dengan baik. banyak contoh pemimpin dengan gelar yang berderet seperti gerbong kereta api, tokh tidak dapat memimpin dengan baik. jadi sebaiknya tidak dibutuhkan sekolah2 khusus seperti itu.apalagi hanya akan membentuk kelompok eksklusif saja. lebih baik uang yang digunakan disalurkan untuk kebutuhan lainnya. katanya sih untuk itu, negara membutuhkan dana untuk dapat mensejahterakan masyarakat... semoga ini menjadi korban terakhir dari calon pemimpin yang belum2 sudah gila kekuasaan Kadarsah <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bung Ade, bagus nih tulisannya Sdr.Edi Santosa, jadi siapa saja nih yang memiliki posisi berikut: [EMAIL PROTECTED] praja caporegima =praja tingkat I capodecina =praja tingkat II sotto capo =praja tingkat III capofamiglia =.? Capo di Tutti Capi=Rektor IPDN Setuju kah? -kadarsah-- --- Ade <[EMAIL PROTECTED] <mailto:inonu2000%40yahoo.com> com> wrote: > 05/04/2007 11:44 WIB > Kolom > Capofamiglia IPDN > Eddi Santosa - detikcom > Den Haag - Dalam kultur mereka, menyiksa diiringi caci-maki itu identik dengan > disiplin. Jika berujung pada kematian, maka semua memberlakukan omerta. IPDN sudah > mirip keluarga mafia. > > Cliff pasti menderita sekali. Nyawanya harus lepas karena tidak kuat lagi memikul > beban sakit nan tak terperi. Nyawa Cliff juga pasti sangat bersedih. Ia harus mati > membawa sisa cacian, bentakan atau bahkan mungkin kata-kata penghinaan yang masih > terngiang-ngiang... Sebuah proses keji yang dilegalkan dengan bungkus "tindakan > disiplin." > > Dan tubuh gagah Cliff tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Ia bukan berduel > menghadapi ksatria jantan, pria sejati, melainkan gerombolan lelaki pengecut yang cuma > berani keroyokan. > > Para pengecut yang tak punya harga diri ini berlindung di balik atribut praja senior. > Masih ada satu lagi belenggu yang membuat Cliff semakin tidak berdaya: sebagai bawahan, > praja junior, dia harus patuh secara absolut kepada praja senior. > > Cliff bukan korban pertama dan bukan akan menjadi korban yang terakhir, selama rakyat > pembayar pajak dan parpol-parpol di DPR tumpul merespons tradisi bengis, tidak > memanusiakan manusia, dalam sistem pendidikan untuk mencetak Camat ini. > > Kultur dan sistem dalam IPDN sudah rusak dan tidak sesuai dengan kebutuhan dan norma > zaman. Dalam kurun 16 tahun, sejak 1990-an, sudah 35 praja tewas mengenaskan. Itu > artinya rata-rata lebih dari 2 nyawa tewas per tahun. > > Hanya bangsa kita saja yang masih memelihara serta membanggakan kultur dan sistem > mirip mafia itu. Memukul, menendang, menyiksa, membentak-bentak, dan memaki-maki, dalam > kultur ini menjadi instrumen untuk menegakkan disiplin. > > Pelajar baru masuk sudah dibentuk dan dikategorikan sebagai level rendahan yang harus > patuh pada level di atasnya. Praja baru ini mirip sgarrista, anggota dalam mafia yang > disejajarkan dengan prajurit. Mereka ini punya atasan langsung, yakni caporegima, > komandan yang membawahi kumpulan sgarrista. > > Di atas mereka ada capodecina, atasan grup dari level sgarrista, yang mempunyai > kewenangan dan previlese lebih luas di atas para kroco sgarrista. Level ini punya > atasan lagi yakni sotto capo, semacam bos kecil. Kemudian di atasnya lagi ada level > capofamiglia yang punya kekuasaaan besar dan harus dipatuhi mutlak oleh level-level di > bawahnya. > > Di ujung puncak hirar
[mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?
aku mau sumbang saran. apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini? belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah disentakkan oleh kematian praja berikutnya. dan penyelesaiannya tidaklah tuntas. saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaiknyalah sekolah ini ditutup saja. tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn atau apa gitu. apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya..saya rasa bisa dicukupi oleh rakyat biasa. tokh gelar itu tidaklah menjadi jaminan bahwa negara kita akan dipimpin dengan baik. banyak contoh pemimpin dengan gelar yang berderet seperti gerbong kereta api, tokh tidak dapat memimpin dengan baik. jadi sebaiknya tidak dibutuhkan sekolah2 khusus seperti itu.apalagi hanya akan membentuk kelompok eksklusif saja. lebih baik uang yang digunakan disalurkan untuk kebutuhan lainnya. katanya sih untuk itu, negara membutuhkan dana untuk dapat mensejahterakan masyarakat... semoga ini menjadi korban terakhir dari calon pemimpin yang belum2 sudah gila kekuasaan Kadarsah <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bung Ade, bagus nih tulisannya Sdr.Edi Santosa, jadi siapa saja nih yang memiliki posisi berikut: [EMAIL PROTECTED] praja caporegima =praja tingkat I capodecina =praja tingkat II sotto capo =praja tingkat III capofamiglia =.? Capo di Tutti Capi=Rektor IPDN Setuju kah? -kadarsah-- --- Ade <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > 05/04/2007 11:44 WIB > Kolom > Capofamiglia IPDN > Eddi Santosa - detikcom > Den Haag - Dalam kultur mereka, menyiksa diiringi caci-maki itu identik dengan > disiplin. Jika berujung pada kematian, maka semua memberlakukan omerta. IPDN > sudah > mirip keluarga mafia. > > Cliff pasti menderita sekali. Nyawanya harus lepas karena tidak kuat lagi > memikul > beban sakit nan tak terperi. Nyawa Cliff juga pasti sangat bersedih. Ia harus > mati > membawa sisa cacian, bentakan atau bahkan mungkin kata-kata penghinaan yang > masih > terngiang-ngiang... Sebuah proses keji yang dilegalkan dengan bungkus > "tindakan > disiplin." > > Dan tubuh gagah Cliff tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Ia bukan berduel > menghadapi ksatria jantan, pria sejati, melainkan gerombolan lelaki pengecut > yang cuma > berani keroyokan. > > Para pengecut yang tak punya harga diri ini berlindung di balik atribut praja > senior. > Masih ada satu lagi belenggu yang membuat Cliff semakin tidak berdaya: > sebagai bawahan, > praja junior, dia harus patuh secara absolut kepada praja senior. > > Cliff bukan korban pertama dan bukan akan menjadi korban yang terakhir, > selama rakyat > pembayar pajak dan parpol-parpol di DPR tumpul merespons tradisi bengis, tidak > memanusiakan manusia, dalam sistem pendidikan untuk mencetak Camat ini. > > Kultur dan sistem dalam IPDN sudah rusak dan tidak sesuai dengan kebutuhan > dan norma > zaman. Dalam kurun 16 tahun, sejak 1990-an, sudah 35 praja tewas mengenaskan. > Itu > artinya rata-rata lebih dari 2 nyawa tewas per tahun. > > Hanya bangsa kita saja yang masih memelihara serta membanggakan kultur dan > sistem > mirip mafia itu. Memukul, menendang, menyiksa, membentak-bentak, dan > memaki-maki, dalam > kultur ini menjadi instrumen untuk menegakkan disiplin. > > Pelajar baru masuk sudah dibentuk dan dikategorikan sebagai level rendahan > yang harus > patuh pada level di atasnya. Praja baru ini mirip sgarrista, anggota dalam > mafia yang > disejajarkan dengan prajurit. Mereka ini punya atasan langsung, yakni > caporegima, > komandan yang membawahi kumpulan sgarrista. > > Di atas mereka ada capodecina, atasan grup dari level sgarrista, yang > mempunyai > kewenangan dan previlese lebih luas di atas para kroco sgarrista. Level ini > punya > atasan lagi yakni sotto capo, semacam bos kecil. Kemudian di atasnya lagi ada > level > capofamiglia yang punya kekuasaaan besar dan harus dipatuhi mutlak oleh > level-level di > bawahnya. > > Di ujung puncak hirarki masih ada Capo di Tutti Capi, sang mahaketua, bos di > atas > segala bos dari segala hirarki itu. Siapa dia? > > Jika ada kasus besar yang mereka lakukan, misalnya pembunuhan, dan itu gagal > mereka > tutupi sehingga tercium polisi, maka mereka kompak menjunjung tinggi omerta, > yakni > semacam code of silence: tutup mulut rapat-rapat, tidak kooperatif dengan > polisi atau > menghalang-halangi kepentingan penyelidikan. > > Sikap mirip omerta dalam mafia itu ditunjukkan oleh seorang pengajar > berinisial Prof > Dr LG yang berusaha menghalang-halangi upaya polisi saat akan mengotopsi > jenazah > korban. Dia bahkan berbohong dengan mengatasnamakan pihak keluarga demi > menolak > permintaan polisi untuk otopsi jenazah. Bukankah kebobrokan lembaga yang > dibiayai pajak > ini sudah sempurna? > > Rakyat sudah cukup memberi kesempatan IPDN untuk memperbaiki diri, kini > saatnya > bersikap untuk mendesak supaya ditutup. Tutup saja sekaligus mengurangi beban > angga