Re: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?

2007-04-09 Terurut Topik AniDj
IPDN = Intitute Pembunuh Mahasiswa Dalam Negeri
   
  Hallo Mentri Pendidikan,
   
  apa kerjamu. sampai kapan anda akan tertidur pulas??
  Apakah anda tidak melihat atau tidak mendengar atau pura2 buta tuli bahwa ada 
institue yang mengajarkan bagaimana caranya membunuh mahasiswanya dengan cara 
yang 'dihalalkan' dan 'dilindungi' oleh deparemane yang anda bawahi??? 
   
  Sebaiknya IPDN =Institute Pembunuh Mahasiswa Dalam Negeri ini dibubarkan 
  dan mahasiswanya di terapi oleh ahli jiwa dulu dan diisi keimanannya sesuai 
agama mereka masing2, sebelum digabungkan/dimasyarakatkan ke jajaran pendidikan 
yang sejalan. Kalau langsung di masyarakatkan ke universitas lain ditakutkan 
mahasiswa ex IPDN akan melakukankan lagi pembunuhan2 berantai di tempat yg baru 
karena mental ex mahasiswa IPDN semuanya sakit.
   
  Termasuk jajaran rektor juga para dosen harus dipecat dengan tidak hormat 
kemudian dikirim ke lembaga rehabilitasi mental dan kerohanian. Mengingat 
Rektor dan dosen IPDN masih bertahan dengan argumentasinya bahwa selama ini 
tidak ada penyiksaan yang terjadi didalam IPDN. Apakah itu bukan pernyataan 
orang gila yang menghalalkan dan melindungi penyiksaan yang akhirnya jadi 
pembunuhan. Dimana semua orang tahu INSTITUTE nya telah mencetak pembunuh2 
berdarah dingin.
   
  Untuk Universitas lain yang menerima buangan mahasiswa ex IPDN harap para ex 
mahasiswa2 ini di amati secara khusus jangan sampai para ex mahasiswa IPDN ini 
merusak nama baik Universitas yang ketiban sialnya menerima mahasiswa ex 
pembunuh ini bergabung
   
  Saya mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya mahasiswa2 IPDN yang 
sejak tahun 1990 sampai 2007 ini. Semoga Tuhan segera membuka tabir kebusukan 
umatnya di jajaran IPDN. Semoga arwah kalian diteriman di sisi NYA ditempatkan 
ditempat yang mulia. Diampuni semua dosa2 kalian dan diterima semua amal dan 
ibadah kalian. Amin
   
  Untuk Media TV yang ada di Indonesia mohon jangan pernah berhenti menyorot 
kebobrokan IPDN. Begitu anda berhenti meliput 'pembunuhan' masih jadi salah 
satu kurikulum di IPDN, pemerintah Indonesiapun akan berhenti bertindak dan 
rentetan pembunuhanpun akan terjadi lagi.
   
  yang prihatin,
   
  AniDj
  

thomz ng [EMAIL PROTECTED] wrote:
  
IPDN sekarang ini artinya Institut Preman Dalam Negeri.
jadi harus dibutuhkan.
karena di pemerintahan semua preman.
calon dan pendidikannya aja preman 
berarti kita punya orang-orang di pemerintahan preman semua
enggak aneh kalo indonesia terpuruk.


  - Original Message 
From: yudie matta [EMAIL PROTECTED]
To: mediacare@yahoogroups.com
Sent: Monday, April 9, 2007 9:11:50 AM
Subject: Re: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 
SEJENIS?


  Menanggapi pak Leo Tobing,
   
  Saya rasa, masalahnya bukan menolak pendidikan atau mengurangi biaya 
pendidikan, akan tetapi poin terpenting ada pada sisi mencerdaskan bangsa, 
seperti yang Bapak utarakan juga.
   
  Bila kesempatan kedua (sebelumnya STPDN, kemudian menjadi IPDN) ternyata 
tidak membuahkan hasil yang maksimal, maka apakah tidak lebih cerdas untuk 
menggantikannya saja? Atau seperti yang Bapak Edi Santosa katakan, sebenarnya 
kebutuhan yang diisi oleh lulusan IPDN sudah bisa dicover oleh lulusan FISIP 
dari Perguruan Tinggu Umum. Jika memang seperti ini, siapa yang lebih dahulu 
dicerdaskan? 
   
  regards,
  yudie
   
  

 
  On 4/6/07, Leo TOBING [EMAIL PROTECTED] co.id wrote: 
  apakah kita membutuhkan IPDN atau lain-lainnya?
  bagaimana kalau pertanyaannya begini, apakah kita memerlukan pendidikan? ...
  kok pendidikan ditolak?
   
  kalau ada korban, akankah kita langsung menyatakan bahwa kita tidak 
memerlukan pendidikan?
   
  soal penggunaan APBN untuk IPDN sebesar 150milyar dirasa berat, ... ya ... 
dikurangi saja ...
   
  tetapi ...
  ketika negerin ini memerlukan pendidikan ... kok pendidikan dilarang? 
  mbo yg dirubah itu mungkin cara-cara perploncoannya ... tetapi, kalau IPDN 
ditutup ... bagaimana cara negara ini mencerdaskan bangsa? 
   
   
  Regards,
  LEO TOBING
   
   
   ---
  NO PEACE WITHOUT JUSTICE!
   

From: mediacare@yahoogroups.com [mailto: [EMAIL PROTECTED] com] On Behalf 
Of angga gardantara
Sent: Thursday, April 05, 2007 10:55 PM
To: [EMAIL PROTECTED] ps.com
Subject: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?

 

   
  aku mau sumbang saran.
  apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini?
  belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah disentakkan 
oleh kematian praja berikutnya.
  dan penyelesaiannya tidaklah tuntas.
  saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaikny alah sekolah ini 
ditutup saja.
  tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn atau 
apa gitu.
  apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya.. saya rasa bisa 
dicukupi oleh rakyat biasa.
  tokh gelar itu tidaklah menjadi jaminan bahwa negara kita akan dipimpin

RE: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?

2007-04-09 Terurut Topik anastasia
saya rasa analoginya tidak sesederhana itu Pak Leo..
saya percaya bahwa IPDN sudah cukup diberi waktu..
dari sejak masih bernama STPDN, bukankah lembaga ini sudah berkali-kali 
MEMBIARKAN terjadinya kasus serupa?
dan ini tidak pula sekadar masalah perploncoan..
jika perploncoan di ITB berkali-kali memakan korban, maka mungkin kita cukup 
teriak: stop perploncoan!
tapi di STPDN atau IPDN, sangat berbeda.. kalau anda pernah kesana, anda 
akan mengerti mengapa kasus seperti Cliff Muntu bisa terjadi..
 
saya adalah alumnus Universitas Padjadjaran.. selama 4 tahun kos di daerah 
jatinangor, sedikit banyak saya berinteraksi juga dengan teman-teman STPDN.. 
(walaupun sgt jarang, mengingat mereka sangat eksklusif, tak bebas keluar 
areal kampus maupun bergaul dengan non STPDN)..
menurut penglihatan saya, 
nyaris 99% siswa STPDN merasa amat bangga akan ke STPDN-nya, termasuk di 
dalamnya kultur dan sistem yang mengatur keseluruhan hidup mereka..
mereka tidak mengerti bahwa sesungguhnya tingkah pola mereka itu membuat 
muak banyak orang yang melihatnya..
 
contoh sangat sederhana, mereka selalu (diwajibkan, red) memberi hormat pada 
seniornya, tak pandang waktu maupun tempat..
setiap kali makan bakso disebuah kedai bakso sederhana (kapasitas 30 orang) 
di pinggir jalan raya jatinangor, saya harus berulang kali menyaksikan 
pemandangan lucu dari proses memberi hormat tersebut.. seorang junior yang 
sedang asyik mengunyah bakso sambil bersenda gurau dengan temannya, mendadak 
berdiri dan memberi hormat pada senior yang baru muncul di pintu.. alhasil 
bakso di dalam mangkok pun tumpah berceceran karena tersenggol si junior 
yang memaksa berdiri tegak di antara celah sempit meja dan bangku panjang..
lain waktu, ada lho, junior yang sampai keselek bakso.. sumpah!
ini semua hanya karena mereka takut dianggap lamban atau tak hormat pada 
senior..
wajar sih, mereka takut..
(sebab) pernah (lagi-lagi di warung bakso yang sama) ada junior yang lupa 
nama seniornya.. si senior tak segan-segan membentak, kemudian menyuruh 
juniornya push up di tengah-tengah keramaian.. tak hanya itu, dijamin saat 
pulang ke kampus/asrama, hukuman lain yang lebih sadis sudah menanti si 
junior.. 
 
saya sungguh kasihan pada mereka..
hidup di sebuah kompleks kampus yang amat luas, lengkap, serta mewah.. 
dilengkapi dengan prasarana yang serba lebih, baik untuk kamar (mereka 
menyebutnya barak), sarana rekreasi dan olahraga, bahkan tempat ibadah 
(tersedia 5 rumah ibadah untuk 5 agama)..
tapi tak bisa menikmati itu semua secara normal..
lucunya,
yang terparah bukanlah menjadi manusia tak merdeka, atau tak punya otoritas 
atas diri sendiri.. (mereka bahkan tak boleh membuka topi di manapun mereka 
berada, kecuali saat tidur, mandi, maupun olahraga di dalam lingkungan 
kampus STPDN..)
tapi bahwa mereka diam-diam menikmati eksklusifitas tersebut, 
tanpa pernah mengerti bahwa sistem yang selama ini dipaksakan kepada mereka 
adalah salah,
dan tanpa pernah menyadari mereka sudah tercuci otak  berubah menjadi 
manusia sadis
 
 
-Original Message-
From: Leo TOBING [EMAIL PROTECTED]
To: mediacare@yahoogroups.com
Date: Fri, 6 Apr 2007 01:28:17 +0700
Subject: RE: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 
SEJENIS?

apakah kita membutuhkan IPDN atau lain-lainnya? 
bagaimana kalau pertanyaannya begini, apakah kita memerlukan pendidikan? 
...
kok pendidikan ditolak?
 
kalau ada korban, akankah kita langsung menyatakan bahwa kita tidak 
memerlukan pendidikan?
 
soal penggunaan APBN untuk IPDN sebesar 150milyar dirasa berat, ... ya ... 
dikurangi saja ...
 
tetapi ...
ketika negerin ini memerlukan pendidikan ... kok pendidikan dilarang? 
mbo yg dirubah itu mungkin cara-cara perploncoannya ... tetapi, kalau IPDN 
ditutup ... bagaimana cara negara ini mencerdaskan bangsa?
 
 
Regards,
LEO TOBING
 
 
 ---
NO PEACE WITHOUT JUSTICE!
 




From: mediacare@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf 
Of angga gardantara
Sent: Thursday, April 05, 2007 10:55 PM
To: mediacare@yahoogroups.com
Subject: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 
SEJENIS?


 
aku mau sumbang saran.
apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini?
belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah disentakkan 
oleh kematian praja berikutnya.
dan penyelesaiannya tidaklah tuntas.
saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaiknyalah sekolah ini 
ditutup saja.
tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn atau 
apa gitu.
apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya..saya rasa bisa 
dicukupi oleh rakyat biasa.
tokh gelar itu tidaklah menjadi jaminan bahwa negara kita akan dipimpin 
dengan baik.
 
banyak contoh pemimpin dengan gelar yang berderet seperti gerbong kereta 
api, tokh tidak dapat memimpin dengan baik.
jadi sebaiknya tidak dibutuhkan sekolah2 khusus seperti itu.apalagi hanya 
akan membentuk kelompok eksklusif saja.
lebih baik uang yang digunakan disalurkan

Re: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?

2007-04-08 Terurut Topik yudie matta

Menanggapi pak Leo Tobing,

Saya rasa, masalahnya bukan menolak pendidikan atau mengurangi biaya
pendidikan, akan tetapi poin terpenting ada pada sisi mencerdaskan bangsa,
seperti yang Bapak utarakan juga.

Bila kesempatan kedua (sebelumnya STPDN, kemudian menjadi IPDN) ternyata
tidak membuahkan hasil yang maksimal, maka apakah tidak lebih cerdas untuk
menggantikannya saja? Atau seperti yang Bapak Edi Santosa katakan,
sebenarnya kebutuhan yang diisi oleh lulusan IPDN sudah bisa dicover oleh
lulusan FISIP dari Perguruan Tinggu Umum. Jika memang seperti ini, siapa
yang lebih dahulu dicerdaskan?

regards,
yudie




On 4/6/07, Leo TOBING [EMAIL PROTECTED] wrote:


   apakah kita membutuhkan IPDN atau lain-lainnya?
bagaimana kalau pertanyaannya begini, apakah kita memerlukan pendidikan?
...
kok pendidikan ditolak?

kalau ada korban, akankah kita langsung menyatakan bahwa kita tidak
memerlukan pendidikan?

soal penggunaan APBN untuk IPDN sebesar 150milyar dirasa berat, ... ya ...
dikurangi saja ...

tetapi ...
ketika negerin ini memerlukan pendidikan ... kok pendidikan dilarang?
mbo yg dirubah itu mungkin cara-cara perploncoannya ... tetapi, kalau IPDN
ditutup ... bagaimana cara negara ini mencerdaskan bangsa?


Regards,
*LEO TOBING*


---
NO PEACE WITHOUT JUSTICE!


 --
*From:* mediacare@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] *On
Behalf Of *angga gardantara
*Sent:* Thursday, April 05, 2007 10:55 PM
*To:* mediacare@yahoogroups.com
*Subject:* [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2
SEJENIS?



aku mau sumbang saran.
apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini?
belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah
disentakkan oleh kematian praja berikutnya.
dan penyelesaiannya tidaklah tuntas.
saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaiknyalah sekolah ini
ditutup saja.
tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn
atau apa gitu.
apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya..saya rasa bisa
dicukupi oleh rakyat biasa.
tokh gelar itu tidaklah menjadi jaminan bahwa negara kita akan dipimpin
dengan baik.

banyak contoh pemimpin dengan gelar yang berderet seperti gerbong kereta
api, tokh tidak dapat memimpin dengan baik.
jadi sebaiknya tidak dibutuhkan sekolah2 khusus seperti itu.apalagi hanya
akan membentuk kelompok eksklusif saja.
lebih baik uang yang digunakan disalurkan untuk kebutuhan lainnya.

katanya sih untuk itu, negara membutuhkan dana untuk dapat mensejahterakan
masyarakat...

semoga ini menjadi korban terakhir dari calon pemimpin yang belum2 sudah
gila kekuasaan



*Kadarsah [EMAIL PROTECTED]* wrote:

 Bung Ade, bagus nih tulisannya Sdr.Edi Santosa,
jadi
siapa saja nih yang memiliki posisi berikut:

[EMAIL PROTECTED] praja
caporegima =praja tingkat I
capodecina =praja tingkat II
sotto capo =praja tingkat III
capofamiglia =.?
Capo di Tutti Capi=Rektor IPDN

Setuju kah?

-kadarsah--

--- Ade [EMAIL PROTECTED] inonu2000%40yahoo.com wrote:

 05/04/2007 11:44 WIB
 Kolom
 Capofamiglia IPDN
 Eddi Santosa - detikcom
 Den Haag - Dalam kultur mereka, menyiksa diiringi caci-maki itu identik
dengan
 disiplin. Jika berujung pada kematian, maka semua memberlakukan omerta.
IPDN sudah
 mirip keluarga mafia.

 Cliff pasti menderita sekali. Nyawanya harus lepas karena tidak kuat
lagi memikul
 beban sakit nan tak terperi. Nyawa Cliff juga pasti sangat bersedih. Ia
harus mati
 membawa sisa cacian, bentakan atau bahkan mungkin kata-kata penghinaan
yang masih
 terngiang-ngiang... Sebuah proses keji yang dilegalkan dengan bungkus
tindakan
 disiplin.

 Dan tubuh gagah Cliff tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Ia bukan
berduel
 menghadapi ksatria jantan, pria sejati, melainkan gerombolan lelaki
pengecut yang cuma
 berani keroyokan.

 Para pengecut yang tak punya harga diri ini berlindung di balik atribut
praja senior.
 Masih ada satu lagi belenggu yang membuat Cliff semakin tidak berdaya:
sebagai bawahan,
 praja junior, dia harus patuh secara absolut kepada praja senior.

 Cliff bukan korban pertama dan bukan akan menjadi korban yang terakhir,
selama rakyat
 pembayar pajak dan parpol-parpol di DPR tumpul merespons tradisi bengis,
tidak
 memanusiakan manusia, dalam sistem pendidikan untuk mencetak Camat ini.

 Kultur dan sistem dalam IPDN sudah rusak dan tidak sesuai dengan
kebutuhan dan norma
 zaman. Dalam kurun 16 tahun, sejak 1990-an, sudah 35 praja tewas
mengenaskan. Itu
 artinya rata-rata lebih dari 2 nyawa tewas per tahun.

 Hanya bangsa kita saja yang masih memelihara serta membanggakan kultur
dan sistem
 mirip mafia itu. Memukul, menendang, menyiksa, membentak-bentak, dan
memaki-maki, dalam
 kultur ini menjadi instrumen untuk menegakkan disiplin.

 Pelajar baru masuk sudah dibentuk dan dikategorikan sebagai level
rendahan yang harus
 patuh pada level di atasnya. Praja baru ini mirip sgarrista, anggota
dalam mafia yang
 disejajarkan dengan prajurit. Mereka ini punya atasan langsung, 

Re: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?

2007-04-08 Terurut Topik thomz ng

IPDN sekarang ini artinya Institut Preman Dalam Negeri.
jadi harus dibutuhkan.
karena di pemerintahan semua preman.
calon dan pendidikannya aja preman 
berarti kita punya orang-orang di pemerintahan preman semua
enggak aneh kalo indonesia terpuruk.


- Original Message 
From: yudie matta [EMAIL PROTECTED]
To: mediacare@yahoogroups.com
Sent: Monday, April 9, 2007 9:11:50 AM
Subject: Re: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 
SEJENIS?









  




Menanggapi pak Leo Tobing,

 

Saya rasa, masalahnya bukan menolak pendidikan atau mengurangi biaya 
pendidikan, akan tetapi poin terpenting ada pada sisi mencerdaskan bangsa, 
seperti yang Bapak utarakan juga.

 

Bila kesempatan kedua (sebelumnya STPDN, kemudian menjadi IPDN) ternyata tidak 
membuahkan hasil yang maksimal, maka apakah tidak lebih cerdas untuk 
menggantikannya saja? Atau seperti yang Bapak Edi Santosa katakan, sebenarnya 
kebutuhan yang diisi oleh lulusan IPDN sudah bisa dicover oleh lulusan FISIP 
dari Perguruan Tinggu Umum. Jika memang seperti ini, siapa yang lebih dahulu 
dicerdaskan?


 

regards,

yudie

 



 

On 4/6/07, Leo TOBING [EMAIL PROTECTED] co.id wrote:







apakah kita membutuhkan IPDN atau lain-lainnya?

bagaimana kalau pertanyaannya begini, apakah kita memerlukan pendidikan? ...

kok pendidikan ditolak?

 

kalau ada korban, akankah kita langsung menyatakan bahwa kita tidak memerlukan 
pendidikan?

 

soal penggunaan APBN untuk IPDN sebesar 150milyar dirasa berat, ... ya ... 
dikurangi saja ...

 

tetapi ...

ketika negerin ini memerlukan pendidikan ... kok pendidikan dilarang? 

mbo yg dirubah itu mungkin cara-cara perploncoannya ... tetapi, kalau IPDN 
ditutup ... bagaimana cara negara ini mencerdaskan bangsa?


 

 

Regards,

LEO TOBING

 

 

 ---

NO PEACE WITHOUT JUSTICE!

 





From: mediacare@yahoogroups.com [mailto:
[EMAIL PROTECTED] com] On Behalf Of angga gardantara
Sent: Thursday, April 05, 2007 10:55 PM
To: [EMAIL PROTECTED]
ps.com
Subject: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?

 




 

aku mau sumbang saran.

apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini?

belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah disentakkan 
oleh kematian praja berikutnya.

dan penyelesaiannya tidaklah tuntas.

saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaikny alah sekolah ini ditutup 
saja.

tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn atau 
apa gitu.

apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya.. saya rasa bisa 
dicukupi oleh rakyat biasa.

tokh gelar itu tidaklah menjadi jaminan bahwa negara kita akan dipimpin dengan 
baik.

 

banyak contoh pemimpin dengan gelar yang berderet seperti gerbong kereta api, 
tokh tidak dapat memimpin dengan baik.

jadi sebaiknya tidak dibutuhkan sekolah2 khusus seperti itu.apalagi hanya akan 
membentuk kelompok eksklusif saja.

lebih baik uang yang digunakan disalurkan untuk kebutuhan lainnya.

 

katanya sih untuk itu, negara membutuhkan dana untuk dapat mensejahterakan 
masyarakat.. .

 

semoga ini menjadi korban terakhir dari calon pemimpin yang belum2 sudah gila 
kekuasaan... .

 



Kadarsah [EMAIL PROTECTED] wrote:



Bung Ade, bagus nih tulisannya Sdr.Edi Santosa,
jadi
siapa saja nih yang memiliki posisi berikut:

sgarrista @  calon praja
caporegima =praja tingkat I
capodecina =praja tingkat II
sotto capo =praja tingkat III

capofamiglia =.?
Capo di Tutti Capi=Rektor IPDN

Setuju kah?

-kadarsah--

--- Ade 
[EMAIL PROTECTED] com wrote:

 05/04/2007 11:44 WIB
 Kolom 
 Capofamiglia IPDN
 Eddi Santosa - detikcom
 Den Haag - Dalam kultur mereka, menyiksa diiringi caci-maki itu identik dengan

 disiplin. Jika berujung pada kematian, maka semua memberlakukan omerta. IPDN 
 sudah
 mirip keluarga mafia.
 
 Cliff pasti menderita sekali. Nyawanya harus lepas karena tidak kuat lagi 
 memikul

 beban sakit nan tak terperi. Nyawa Cliff juga pasti sangat bersedih. Ia harus 
 mati
 membawa sisa cacian, bentakan atau bahkan mungkin kata-kata penghinaan yang 
 masih
 terngiang-ngiang. .. Sebuah proses keji yang dilegalkan dengan bungkus 
 tindakan

 disiplin. 
 
 Dan tubuh gagah Cliff tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Ia bukan berduel
 menghadapi ksatria jantan, pria sejati, melainkan gerombolan lelaki pengecut 
 yang cuma
 berani keroyokan. 

 
 Para pengecut yang tak punya harga diri ini berlindung di balik atribut praja 
 senior.
 Masih ada satu lagi belenggu yang membuat Cliff semakin tidak berdaya: 
 sebagai bawahan,
 praja junior, dia harus patuh secara absolut kepada praja senior.

 
 Cliff bukan korban pertama dan bukan akan menjadi korban yang terakhir, 
 selama rakyat
 pembayar pajak dan parpol-parpol di DPR tumpul merespons tradisi bengis, tidak
 memanusiakan manusia, dalam sistem pendidikan untuk mencetak Camat ini. 

 
 Kultur dan sistem dalam IPDN sudah rusak dan tidak sesuai dengan kebutuhan 
 dan norma
 zaman. Dalam

RE: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2 SEJENIS?

2007-04-05 Terurut Topik Leo TOBING
apakah kita membutuhkan IPDN atau lain-lainnya?
bagaimana kalau pertanyaannya begini, apakah kita memerlukan pendidikan?
...
kok pendidikan ditolak?
 
kalau ada korban, akankah kita langsung menyatakan bahwa kita tidak
memerlukan pendidikan?
 
soal penggunaan APBN untuk IPDN sebesar 150milyar dirasa berat, ... ya ...
dikurangi saja ...
 
tetapi ...
ketika negerin ini memerlukan pendidikan ... kok pendidikan dilarang? 
mbo yg dirubah itu mungkin cara-cara perploncoannya ... tetapi, kalau IPDN
ditutup ... bagaimana cara negara ini mencerdaskan bangsa?
 
 
Regards,
LEO TOBING
 
 
---
NO PEACE WITHOUT JUSTICE!
 


  _  

From: mediacare@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf
Of angga gardantara
Sent: Thursday, April 05, 2007 10:55 PM
To: mediacare@yahoogroups.com
Subject: [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2
SEJENIS?


 
aku mau sumbang saran.
apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini?
belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah disentakkan
oleh kematian praja berikutnya.
dan penyelesaiannya tidaklah tuntas.
saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaiknyalah sekolah ini
ditutup saja.
tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn atau
apa gitu.
apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya..saya rasa bisa
dicukupi oleh rakyat biasa.
tokh gelar itu tidaklah menjadi jaminan bahwa negara kita akan dipimpin
dengan baik.
 
banyak contoh pemimpin dengan gelar yang berderet seperti gerbong kereta
api, tokh tidak dapat memimpin dengan baik.
jadi sebaiknya tidak dibutuhkan sekolah2 khusus seperti itu.apalagi hanya
akan membentuk kelompok eksklusif saja.
lebih baik uang yang digunakan disalurkan untuk kebutuhan lainnya.
 
katanya sih untuk itu, negara membutuhkan dana untuk dapat mensejahterakan
masyarakat...
 
semoga ini menjadi korban terakhir dari calon pemimpin yang belum2 sudah
gila kekuasaan
 


Kadarsah [EMAIL PROTECTED] wrote:

Bung Ade, bagus nih tulisannya Sdr.Edi Santosa,
jadi
siapa saja nih yang memiliki posisi berikut:

[EMAIL PROTECTED] praja
caporegima =praja tingkat I
capodecina =praja tingkat II
sotto capo =praja tingkat III
capofamiglia =.?
Capo di Tutti Capi=Rektor IPDN

Setuju kah?

-kadarsah--

--- Ade [EMAIL PROTECTED] mailto:inonu2000%40yahoo.com com wrote:

 05/04/2007 11:44 WIB
 Kolom 
 Capofamiglia IPDN
 Eddi Santosa - detikcom
 Den Haag - Dalam kultur mereka, menyiksa diiringi caci-maki itu identik
dengan
 disiplin. Jika berujung pada kematian, maka semua memberlakukan omerta.
IPDN sudah
 mirip keluarga mafia.
 
 Cliff pasti menderita sekali. Nyawanya harus lepas karena tidak kuat lagi
memikul
 beban sakit nan tak terperi. Nyawa Cliff juga pasti sangat bersedih. Ia
harus mati
 membawa sisa cacian, bentakan atau bahkan mungkin kata-kata penghinaan
yang masih
 terngiang-ngiang... Sebuah proses keji yang dilegalkan dengan bungkus
tindakan
 disiplin. 
 
 Dan tubuh gagah Cliff tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Ia bukan
berduel
 menghadapi ksatria jantan, pria sejati, melainkan gerombolan lelaki
pengecut yang cuma
 berani keroyokan. 
 
 Para pengecut yang tak punya harga diri ini berlindung di balik atribut
praja senior.
 Masih ada satu lagi belenggu yang membuat Cliff semakin tidak berdaya:
sebagai bawahan,
 praja junior, dia harus patuh secara absolut kepada praja senior.
 
 Cliff bukan korban pertama dan bukan akan menjadi korban yang terakhir,
selama rakyat
 pembayar pajak dan parpol-parpol di DPR tumpul merespons tradisi bengis,
tidak
 memanusiakan manusia, dalam sistem pendidikan untuk mencetak Camat ini. 
 
 Kultur dan sistem dalam IPDN sudah rusak dan tidak sesuai dengan kebutuhan
dan norma
 zaman. Dalam kurun 16 tahun, sejak 1990-an, sudah 35 praja tewas
mengenaskan. Itu
 artinya rata-rata lebih dari 2 nyawa tewas per tahun. 
 
 Hanya bangsa kita saja yang masih memelihara serta membanggakan kultur dan
sistem
 mirip mafia itu. Memukul, menendang, menyiksa, membentak-bentak, dan
memaki-maki, dalam
 kultur ini menjadi instrumen untuk menegakkan disiplin. 
 
 Pelajar baru masuk sudah dibentuk dan dikategorikan sebagai level rendahan
yang harus
 patuh pada level di atasnya. Praja baru ini mirip sgarrista, anggota dalam
mafia yang
 disejajarkan dengan prajurit. Mereka ini punya atasan langsung, yakni
caporegima,
 komandan yang membawahi kumpulan sgarrista.
 
 Di atas mereka ada capodecina, atasan grup dari level sgarrista, yang
mempunyai
 kewenangan dan previlese lebih luas di atas para kroco sgarrista. Level
ini punya
 atasan lagi yakni sotto capo, semacam bos kecil. Kemudian di atasnya lagi
ada level
 capofamiglia yang punya kekuasaaan besar dan harus dipatuhi mutlak oleh
level-level di
 bawahnya.
 
 Di ujung puncak hirarki masih ada Capo di Tutti Capi, sang mahaketua, bos
di atas
 segala bos dari segala hirarki itu. Siapa dia?
 
 Jika ada kasus besar yang mereka lakukan, misalnya pembunuhan, dan itu
gagal mereka
 tutupi sehingga tercium polisi,