Re: [obrolan-bandar] Terbelenggu Mitos Bahan Bakar Minyak

2008-05-17 Terurut Topik freez z
Kalau harga minyak naik ke 150 dolar jangan hanya lihat sisi negatifnya, kan 
asik juga bisa buka kebun singkong , terus dari singkong ubah ke bioetanol . 
titik impasnya sekitar 70 dolar kalau di jual 150 dolar bisa untung 100% lebih 
. Bisnis bioetanol bisa menyerap banyak tenaga kerja. Kalau harga minyak stabil 
di 150 dolar untuk jangka panjang bisa makmur negara kita. Negara kita kan 
lahannya luas. 

Bisnis bioetanol dengan biodisel beda, kalau biodisel bahan baku nyang paling 
bagus dari kelapa sawit tapi kalau minyak naik harga kelapa sawit juga naik 
jadi percuma, nah bioetanol bahan bakunya bisa dari jangung, tebu, lumut dll 
umumnya pake singkong, jadi kalau harga singkong naik karena banyak permintaan 
,ga perlu pusing2 tanam aja sendiri. nanam singkong beda dengan nanam kelapa 
sawit. nanam singgkong ga perlu keahlian khusus ,di tempat gersang pun singkong 
bisa tumbuh ,hehehe.

Dodik <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Terbelenggu Mitos 
Bahan Bakar Minyak
 Jumat, 16 Mei 2008 | 00:28 WIB 
 Oleh Faisal Basri
 
 Akhir pekan lalu, harga minyak mentah di pasar
 berjangka New York untuk penyerahan Juni sudah
 mencapai 126 dollar AS. Itu adalah harga nominal.
 Hasil kajian yang dimuat majalah Economist, 17 April
 2008, memaparkan bahwa dengan menggunakan ukuran lain,
 tampaknya harga minyak saat ini belum tergolong mahal.
 
 Dengan menggunakan acuan perkembangan pendapatan
 konsumen tahunan negara-negara kaya yang tergabung di
 dalam G-7 sejak 1981, harga minyak seharusnya naik
 menjadi 134 dollar AS. Apabila dipadankan dengan
 perkembangan pendapatan siap belanja (disposable
 income) penduduk AS, harga minyak bisa bertengger
 setinggi 145 dollar AS. Dan seandainya diselaraskan
 dengan pangsa belanja minyak terhadap output global,
 harga minyak berpotensi mencapai 150 dollar AS. Jadi,
 harga minyak dewasa ini belum tergolong tinggi. Harga
 pada masa lalu itu, sebetulnya, yang relatif terlalu
 murah.
 
 Pada awal Mei, Goldman Sachs mengeluarkan prediksi
 terbaru bahwa harga minyak dapat mencapai 200 dollar
 AS sebelum akhir tahun ini. Sebetulnya, Goldman Sachs
 bukan yang pertama keluar dengan angka itu. Jauh hari
 sebelumnya, Stephen Leeb dan Glen Strathy lebih dulu
 mengingatkan kemungkinan ini di dalam bukunya yang
 diterbitkan tahun 2006: The Coming Economic Collapse:
 How You Can Thrive when Oil Costs $$200 a Barrel.
 
 Asumsi harga minyak yang tercantum di dalam Anggaran
 Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan yang
 baru saja ditetapkan April lalu adalah 95 dollar AS.
 Dengan harga sekarang, acuan tersebut sudah meleset
 lebih dari 30 dollar AS. Tanpa kenaikan harga BBM,
 subsidi energi melonjak dari Rp 187 triliun menjadi
 hampir Rp 250 triliun. Kalau harga merangkak naik
 hingga 150 dollar AS, subsidi bisa menggelembung ke
 sekitar Rp 300 triliun.
 
 Sampai kapan harga BBM bersubsidi dibiarkan ”anteng”
 pada tingkat sekarang ini? Tentu ada batasnya.
 Sejatinya, persoalan utama bukanlah subsidi yang
 menggelembung. Karena, ada 1.001 cara untuk menekan
 subsidi: penjadwalan hingga kemplang utang luar negeri
 maupun dalam negeri, penghematan departemen dan
 lembaga negara, penerapan pajak progresif atas
 komoditas yang sedang booming, jual BUMN, pemotongan
 gaji, peningkatan produksi minyak, dan lain-lain.
 
 Problem disparitas harga
 
 Katakanlah langkah-langkah spektakuler tersebut
 berhasil secara maksimal. Apakah lantas inti masalah
 terpecahkan? Tidak sama sekali. Karena, persoalan akan
 azali sepanjang terjadi disparitas harga, yakni antara
 harga yang ditetapkan pemerintah dan harga
 keekonomian.
 
 Tak seorang pun bisa melawan hukum pasar. Piuh
 (distortions) akan kian merajalela kalau harga yang
 ditetapkan pemerintah semakin jauh (lebih rendah) dari
 harga keekonomian. Pertama, peningkatan konsumsi akan
 tak terkendali karena harga relatif BBM di mata
 konsumen sangat rendah. Peningkatan konsumsi ini sudah
 terjadi. Konsumen Indonesia tak peduli sekalipun harga
 minyak dunia meroket karena harga yang mereka bayar di
 Indonesia bergeming. Maka, jadilah Indonesia sebagai
 negara yang tergolong paling boros di dunia dalam hal
 penggunaan energi. Begitukah cara kita mengelola
 sumber daya alam yang langka dan tak terbarukan?
 
 Cadangan minyak akan makin cepat susut sehingga
 generasi mendatang tak bisa lagi mencicipi rezeki emas
 hitam. Selain itu, kita pun secara sadar menambah
 intensitas produksi racun ke udara sehingga
 memperburuk pemanasan global dan menurunkan kualitas
 hidup.
 
 Bagaimana dengan mitos bahwa kita merupakan negara
 produsen dan pengekspor minyak? Ternyata, dalam satu
 dasawarsa terakhir produksi minyak kita melorot terus,
 dari sekitar 1,5 juta barrel per hari pada tahun 1997
 menjadi hanya 910.000 barrel per hari pada tahun 2007.
 Karena tingkat konsumsi selalu naik, kita mengalami
 defisit yang bertambah besar.
 
 Keadaan semakin memprihatinkan karena kapasitas
 pengilangan minyak tak kunjung bertambah sehingga
 defisit perdagangan BBM 

[obrolan-bandar] Terbelenggu Mitos Bahan Bakar Minyak

2008-05-17 Terurut Topik Dodik
Terbelenggu Mitos Bahan Bakar Minyak
Jumat, 16 Mei 2008 | 00:28 WIB 
Oleh Faisal Basri

Akhir pekan lalu, harga minyak mentah di pasar
berjangka New York untuk penyerahan Juni sudah
mencapai 126 dollar AS. Itu adalah harga nominal.
Hasil kajian yang dimuat majalah Economist, 17 April
2008, memaparkan bahwa dengan menggunakan ukuran lain,
tampaknya harga minyak saat ini belum tergolong mahal.

Dengan menggunakan acuan perkembangan pendapatan
konsumen tahunan negara-negara kaya yang tergabung di
dalam G-7 sejak 1981, harga minyak seharusnya naik
menjadi 134 dollar AS. Apabila dipadankan dengan
perkembangan pendapatan siap belanja (disposable
income) penduduk AS, harga minyak bisa bertengger
setinggi 145 dollar AS. Dan seandainya diselaraskan
dengan pangsa belanja minyak terhadap output global,
harga minyak berpotensi mencapai 150 dollar AS. Jadi,
harga minyak dewasa ini belum tergolong tinggi. Harga
pada masa lalu itu, sebetulnya, yang relatif terlalu
murah.

Pada awal Mei, Goldman Sachs mengeluarkan prediksi
terbaru bahwa harga minyak dapat mencapai 200 dollar
AS sebelum akhir tahun ini. Sebetulnya, Goldman Sachs
bukan yang pertama keluar dengan angka itu. Jauh hari
sebelumnya, Stephen Leeb dan Glen Strathy lebih dulu
mengingatkan kemungkinan ini di dalam bukunya yang
diterbitkan tahun 2006: The Coming Economic Collapse:
How You Can Thrive when Oil Costs $$200 a Barrel.

Asumsi harga minyak yang tercantum di dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan yang
baru saja ditetapkan April lalu adalah 95 dollar AS.
Dengan harga sekarang, acuan tersebut sudah meleset
lebih dari 30 dollar AS. Tanpa kenaikan harga BBM,
subsidi energi melonjak dari Rp 187 triliun menjadi
hampir Rp 250 triliun. Kalau harga merangkak naik
hingga 150 dollar AS, subsidi bisa menggelembung ke
sekitar Rp 300 triliun.

Sampai kapan harga BBM bersubsidi dibiarkan ”anteng”
pada tingkat sekarang ini? Tentu ada batasnya.
Sejatinya, persoalan utama bukanlah subsidi yang
menggelembung. Karena, ada 1.001 cara untuk menekan
subsidi: penjadwalan hingga kemplang utang luar negeri
maupun dalam negeri, penghematan departemen dan
lembaga negara, penerapan pajak progresif atas
komoditas yang sedang booming, jual BUMN, pemotongan
gaji, peningkatan produksi minyak, dan lain-lain.

Problem disparitas harga

Katakanlah langkah-langkah spektakuler tersebut
berhasil secara maksimal. Apakah lantas inti masalah
terpecahkan? Tidak sama sekali. Karena, persoalan akan
azali sepanjang terjadi disparitas harga, yakni antara
harga yang ditetapkan pemerintah dan harga
keekonomian.

Tak seorang pun bisa melawan hukum pasar. Piuh
(distortions) akan kian merajalela kalau harga yang
ditetapkan pemerintah semakin jauh (lebih rendah) dari
harga keekonomian. Pertama, peningkatan konsumsi akan
tak terkendali karena harga relatif BBM di mata
konsumen sangat rendah. Peningkatan konsumsi ini sudah
terjadi. Konsumen Indonesia tak peduli sekalipun harga
minyak dunia meroket karena harga yang mereka bayar di
Indonesia bergeming. Maka, jadilah Indonesia sebagai
negara yang tergolong paling boros di dunia dalam hal
penggunaan energi. Begitukah cara kita mengelola
sumber daya alam yang langka dan tak terbarukan?

Cadangan minyak akan makin cepat susut sehingga
generasi mendatang tak bisa lagi mencicipi rezeki emas
hitam. Selain itu, kita pun secara sadar menambah
intensitas produksi racun ke udara sehingga
memperburuk pemanasan global dan menurunkan kualitas
hidup.

Bagaimana dengan mitos bahwa kita merupakan negara
produsen dan pengekspor minyak? Ternyata, dalam satu
dasawarsa terakhir produksi minyak kita melorot terus,
dari sekitar 1,5 juta barrel per hari pada tahun 1997
menjadi hanya 910.000 barrel per hari pada tahun 2007.
Karena tingkat konsumsi selalu naik, kita mengalami
defisit yang bertambah besar.

Keadaan semakin memprihatinkan karena kapasitas
pengilangan minyak tak kunjung bertambah sehingga
defisit perdagangan BBM membubung. Pada tahun 2002,
defisit perdagangan BBM baru 2 miliar dollar AS, lalu
naik lebih dua kali lipat menjadi 4,2 miliar dollar
AS, dan melonjak lebih tajam lagi menjadi 9,8 miliar
dollar AS pada tahun 2007.

Sekadar gambaran, ekspor dan impor BBM tahun 2007
masing-masing 2,9 miliar dollar AS dan 12,7 miliar
dollar AS. Maka, sebetulnya BBM yang kita
”hambur-hamburkan” itu makin banyak yang kita beli
dari luar negeri.

Apakah pola konsumsi yang boros itu bisa
ditoleransikan apabila kita dapat mukjizat mampu
meningkatkan produksi, katakanlah, menjadi dua kali
lipat, sehingga kembali menikmati surplus produksi dan
menjadi mengekspor neto? Tentu saja, tidak. Karena,
lebih baik sebagian besar peningkatan produksi kita
jual pada harga internasional atau harga keekonomian,
lantas dana yang kita peroleh puluhan triliun rupiah
dialokasikan bagi pengentasan penduduk miskin dan
belanja modal sehingga kita juga bisa mewariskannya
kepada anak dan cucu.

Pengalokasian dana untuk kegiatan-kegiatan produktif
dan peningkatan akumulasi modal jauh lebih be