Indonesian Teenager Angelique Widjaja Beats Cho Yoon-jeong to Win Volvo Women's Tennis Open

2002-11-10 Terurut Topik Ahmad Syamil
PS: Sudah lama tidak mendengar berita bagus tentang Indonesia ..:-)

http://channels.attbusiness.net/index.cfm?fuseAction=viewNewsArticlenav_id=
33category_name=Sportsarticle_id=3a2494fed593e4774892f71b78b86fb3

  Indonesian Teenager Angelique Widjaja Beats Cho
Yoon-jeong to
  Win Volvo Women's Tennis Open
  11/10/02 3:19PM

  PATTAYA, Thailand (AP) - Indonesian teenager Angelique
Widjaja beat
  South Korea's Cho Yoon-jeong 6-2, 6-4 Sunday to win
the Volvo
  Women's Open.

  The 17-year-old Widjaja, the 2001 Wimbledon junior
champion, earned
  her second career title.

  I'm happy to win this tournament. I expected to reach
only the
  quarterfinal, said Widjaja, ranked No. 91.

  Cho, the first female South Korean to reach a WTA
final, was slowed by
  a knee injury sustained at the beginning of the match.

  I couldn't move well and the condition got even worse
in the second
  set. I could have played better if I was OK, Cho
said.

  After breaking serve twice in the first set, Widjaja
overcame a 3-2 deficit
  in the second set and clinched the win with her first
match point.



Hibah Empat Juta Komputer Niat Mulia yang Kandas

2002-11-10 Terurut Topik Ahmad Syamil
Salam Permias,

Barangkali ada yang bisa meng update nasib komputer yang diceritakan di
bawah?

Jabat erat,

Ahmad Syamil


Republika, Jumat 25 Oktober 2002
http://www.republika.co.id/cetak_detail.asp?id=101023kat_id=3
Republika, Sabtu 26 Oktober 2002
http://www.republika.co.id/cetak_detail.asp?id=101268kat_id=3

Hibah Empat Juta Komputer Niat Mulia yang Kandas

Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1999, saat itu di
Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat, 374
pelajar dan mahasiswa Indonesia berkumpul. Niat mulia
pun lahir: mencari jalan keluar konkret terhadap
berbagai masalah di tanah air.

Mereka, anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI),
sepakat membentuk empat komisi kerja, salah satunya
Komisi Pendidikan. Komisi ini antara lain mengumpulkan
178 ribu textbook dari AS untuk dikirimkan ke beberapa
perguruan tinggi di tanah air.

Firdaus Ali, pengurus Perhimpunan Mahasiswa Indonesia
di Amerika Serikat (Permias), saat itu pun mendapat
ide untuk mengumpulkan komputer bekas dan
mengirimkannya ke Indonesia sebagai hibah. Mantan
aktivis mahasiswa ITB angkatan 1982 ini terinspirasi
bantuan serupa pada 1993 kepada rakyat Kuba. Pada
1999, hasil bantuan itu tampak. Pengiriman komputer
membuat kualitas tenaga kerja di Kuba meningkat.

Maka, PPI pun mulai melobi perusahaan-perusahaan,
antara lain Freeport dan Mobil Oil. Namun, dari
seluruh dunia, lobi PPI Jepang adalah yang paling
mendekati impian Firdaus. Saat digelar ''Indonesia
Night'', yang juga dihadiri Asosiasi Pemerintah
Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), PPI berhasil
melobi KRD Japan Inc untuk menghibahkan empat juta
unit komputer bekas Pentium I-III ke Indonesia.
''Setiap tahun akan dikirimkan satu juta unit,'' tutur
alumnus University of Wisconsin Madison itu.

Kendati merupakan hibah, KRD menetapkan ongkos 50
dolar per unit. Uang itu untuk mengecek komputer yang
layak kirim, mengepak, mengirimkannya ke Indonesia,
dan mengganti sistem komputer dari bahasa Jepang ke
bahasa Inggris. Apkasi setuju menanggulangi dana itu.

Setelah melalui proses surat-menyurat antara dirjen
pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen) dan dirjen
industri logam, mesin, elekronika, dan aneka (LMEA)
Depperindag, akhirnya impor disetujui. Surat
perjanjian pun dilakukan KRD dengan sejumlah
pemerintah daerah. Namun, belakangan dirjen dikdasmen
dan dirjen LMEA membatalkan kesepakatan itu.

Empat kontainer yang memuat sekitar 3.000 unit
komputer tiba di Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya,
mulai akhir Juli hingga pertengahan Agustus. Tetapi,
barang itu akhirnya mangkrak di gudang dan tidak bisa
didistribusikan.

''Ternyata dirjen dikdasmen menolak mengeluarkan izin.
Saya tidak tahu mengapa. Padahal, pihak bea dan cukai
sudah bersedia mengeluarkan bila ada jaminan dari
dirjen dikdasmen,'' kata Firdaus. Muncul dugaan bahwa
''mafia'' pedagang komputer bermain dalam persoalan
ini.

Dirjen Dikdasmen, Indra Djati Sidi, membantah
sinyalemen itu. Dia mempersoalkan dua kekeliruan dalam
kasus hibah itu. Pertama, KRD membuat MoU dengan
sejumlah pemerintah daerah tanpa sepengetahuan
Depdiknas. Kedua, ada pembayaran 50 dolar per unit
yang dikirim ke Jepang.

''Pengiriman uang ke luar negeri itu menggugurkan
hibah. Komputer itu jadi barang hibah,'' tuturnya.
Nah, sebagai barang impor, tentu bakal kena pajak.
''Sulit memenuhi jika pajak dibebankan kepada Ditjen
Dikdasmen. Apalagi dalam jumlah yang besar, satu juta
unit,'' katanya.

Kehadiran ribuan komputer hibah di Pelabuhan
Tanjungperak, Surabaya, langsung tercium ''mafia''.
Mereka berusaha menggagalkan pengiriman empat juta
unit komputer besar laik pakai itu dengan menjebak bos
KRD Japan Inc di Indonesia, Kanda Kotaro.

Betapa kasar mereka ''bermain''. Soal ini sebenarnya
sudah tampak saat mereka pertama kali menghubungi
orang-orang Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).
Mereka menelepon, lalu mengintimidasi dengan cara
membeberkan ciri-ciri anggota PPI yang sedang menerima
telepon, termasuk pakaian yang sedang dipakainya.

Kisah penjebakan Kotaro berlangsung Jumat, 13
September lalu. Saat itu, Kotaro didatangi sejumlah
orang yang mengaku kepercayaan petinggi negara ini.
''Waktu mereka datang, saya bersama Kanda Kotaro.
Mereka minta bagian 3 dolar AS per unit komputer.
Bayangkan kalau jumlah komputernya empat juta unit,''
kata Firdaus Ali, aktivis Perhimpunan Mahasiswa
Indonesia di AS (Permias) yang menggagas hibah
tersebut.

Salah seorang di antara mereka mengaku bernama Jo.
Tanpa ditanya, dia dua kali mengatakan tidak punya
hubungan dengan asosiasi pengimpor komputer. Dia juga
mengaku akan membantu mengeluarkan komputer hibah yang
tertahan di Pelabuhan Tanjungperak. ''Demi kepentingan
pendidikan bangsa,'' kata Jo.

Jo mengajak Kotaro ke Surabaya untuk mengeluarkan
barang itu pada hari Sabtu, 14 September. Firdaus
kemudian mengatakan bahwa dia tidak mau komputer itu
dikeluarkan dengan cara gelap karena semua proses
perizinannya resmi dari pejabat pemerintah. ''Saya
katakan niat baik itu harus dilakukan dengan cara