Harrasment oleh Inggris Australia, RATIH, dan WAMIL

1999-09-27 Terurut Topik Jeffrey Anjasmara

(1) Bukti Kepongahan Inggris dan Australia di Tahun 1964

Dalam laporan rahasia CIA per 19 Oktober 1964 yg akhirnya di-relase Juni 25,
1997, menyebutkan bagaimana Inggris dan Australia sudah pernah meng-harras
kedaulatan Indonesia. Penghinaan dilakukan dengan mengirim beberapa kapal
untuk memprovokasi dengan membuat manuver di Selat Sunda dan Selat Lombok,
dan beberapa kapal lain berjaga siap untuk menyerang kapal-kapal Indonesia
bila berani mengusik kapal Inggris dan Australia yg berlenggang kangkung
mengangkangi dan menghina kedaulatan RI. Kejadian ini berlangsung dari 28
Agustus sampai 29 September 1964.

Pada saat itu RI yg tidak mempunyai teman melirik Sovyet dan hendak memasang
balistik nuklir di berbagai tempat di Indonesia untuk bertahan terhadap
tekanan Inggris. Posisi Indonesia saat itu hampir seperti Cuba yg dimusuhi
negara-negara tetangganya.

Disebutkan lagi Inggris tidak dapat mengharapkan bantuan dari PRRI dan
DI/TII yg sudah di-neutralized oleh TNI. Namun para jendral RI sudah
memprediksi bahwa kota Medan tidak dapat dipertahankan bila Inggris
menyerang, sehingga semua dokumen negara diselamatkan ke pedalaman.

Laporan CIA ini disebarkan ke unit intelejen CIA di Jakarta, Surabaya,
Kualalumpur, Singapura, Honolulu, Melbourne, dan London, selain ke intern
mereka sendiri. Untuk lebih jelasnya, silakan kunjungi homepage CIA
(www.cia.gov lalu search 'indonesia').

(2) Kepengecutan Australia Dalam Menerima Tanggung Jawab Keamanan.

Di tengah miskinnya pemberitaan LN tentang performance pasukan
Aussie/Interfet, wartawan Indonesia berhasil membuat keseimbangan berita.
Yang makin repot adalah nasib para wartawan RI di kemudian hari, di mana
keselamatan mereka (hanya wartawan RI) tidak dijamin oleh tentara raseksa
Aussie. Suatu ironi karena mereka mengkritik keras ketidakmampuan TNI
menjaga keselamatan SETIAP wartawan (LN  DN).

Dengan resminya hand-over keamanan ke tangan Interfet, maka nasib wartawan
RI di ujung tanduk. Pasukan Aussie jelas tidak ingin performance buruk
mereka tersiarkan di koran-koran. Kekejaman pasukan Interfet yg memukuli
para TERSANGKA milisi dan membakar seorang di antaranya disambut sebagai
fitnah oleh harian Sidney Morning Herald, sekaligus untuk mengalihkan
perhatian dari kekacauan di Jakarta. Untung saja kekacauan di Jakarta sudah
mereda sehingga mereka tidak mempunyai alasan yg sama di kemudian hari.

Mayjen Peter Cockroach menolak klaim hand-over keamanan secara resmi di
Bandara Komoro (dengan defile pasukan), dengan harapan tidak tersiar secara
luas bahwa tanggung jawab keamanan sekarang di pihak mereka. Si Mayjen
Cockroach ini masih berusaha berdalih bahwa RI masih bertanggung jawab atas
keamanan di Timtim. Suatu klaim yg absurb karena pasukan merekalah yg
sekarang mondar-mandir seperti rambo di Timtim. Rupanya si Cockroach sama
dengan atasannya si John Howard Coward yg benar-benar coward itu. Mestinya
dia secara jantan menerima tanggung jawab keamanan bilapun terjadi
kerusuhan-kerusuhan. Bukan berlenggang lenggok di depan kamera TV/koran bila
situasi aman, dan menimpakan ketidakamanan ke tangan TNI. Sungguh
menyedihkan tingkah polah mereka yg menghadapi kebakaran gedung dengan
posisi siap tempur dengan senapan di arahkan ke gedung. Anak kecil yg tidak
makan sekolahanpun tahu kalau habis membakar gedung ya harus kabur dari
gedung kalau tidak mau terbakar hidup-hidup. Rupanya tentara Crocodile
Dundee belum tahu hal ini.

Mengenai si Howard Coward itu,  sudah 4 hari ini tidak membuka moncongnya
lagi setelah secara tidak sengaja membuka agenda tersembunyi Australia untuk
mendominasi Asteng lewat propaganda Timtim ini, dan sekarang menikmati
cercaan dari dalam negeri sendiri. Koran SMH sekarang mulai mengungkit
kerusuhan Ambon dan Irian sebagai tahap kedua sasaran mereka.

(3) Kepongahan (atau ketakutan) tentara Aussie dan NZ.

Harian Jawapos menurunkan artikel pengalaman wartawannya yg meliput
penarikan TNI dari Dili, dan mengalami sendiri bagaimana helikopter mereka
memprovokasi pasukan unyil TNI. Cuplikan berita ada di dalam kedua garis di
bawah ini:

'
Meski yang ditarik dari Dili itu 600 personel AL, di atas KRI Teluk Banten
itu terdapat 800 personel. Sebab, saat bertolak dari Dili kemarin, dari
Kupang kapal itu mengangkut 200 personel sebagai tindakan antisipasi.

Dua ratus personel bawaan dari Kupang itulah yang tadi malam harus
ekstrasiaga. Begitu KRI Teluk Banten merapat di Dili, sebagian di antara
mereka langsung turun untuk pengamanan situasi serta sebagian lagi dalam
posisi siaga dan siap tembak di atas kapal. Tindakan ini ditempuh karena TNI
tidak ingin mengulang insiden tiga hari sebelumnya.

Tiga hari lalu, saat KRI Teluk Mandar mengevakuasi personel dari Batalyon
406 dari Kodam Diponegoro, mereka ditembaki. Hampir saja terjadi baku tembak
terbuka meski akhirnya ketegangan bisa diredakan dan KRI Teluk Mandar bisa
meninggalkan perairan Dili secara aman.

Tetapi, teror dan penuh curiga itu kemarin masih sempat dilancarkan

Re: Harrasment oleh Inggris Australia, RATIH, dan WAMIL

1999-09-27 Terurut Topik Yusuf-Wibisono

...

Yw: Soal kepongahan, kayaknya udah well said, jadi saya
nggak mengomentari lagi.

(4) Perlunya penambahan pasukan TNI untuk menghadapi bahaya Selatan.

Setelah pasukan 'super putih' Australia mencoba meng-intrusi kedaulatan
negara-negara berkulit coklat, sudah seharusnya RI merespon dengan dengan
baik. Jumlah 250,000 pasukan di negara yg punya cakupan seluas AS ini jelas
tidak cukup (luas daratan cuma 1.9 juta km2 dibanding 9.5 juta km2 di AS).
Kemalangan RI yg berpulau-pulau tidak didukung oleh AL dan AU yg tangguh
untuk meng-kover semua wilayah.

Yw: Kalo dibilang demikian, sih, tentara Asutrali, New Zilen, Inggris,
dan seluruh negara kamenwelt yg pro mereka, digabung seluruhnya,
juga nggak bisa mengkover wilayah seluas itu (silakan dijumlahkan
seluruhnya). Duitnya juga tidak bisa mengkover operasi seluas itu
(kalopun duitnya ada, rakyatnya nggak akan rela duitnya dipake
buat operasi gituan). Kalo membinasakan mungkin bisa,... itu pun
juga mirip bunuh diri (bagi para decision makers yg terlibat).

Tantangan geografi Indonesia itu kan kita tahu bikin pusing tujuh
keliling (dan bener-bener haus logistik)... Jadi ya, ini blessing in
disguise juga in some sense. Boleh coba tinggal di NTT barang
dua-tiga bulan kalo nggak percaya (atau Timika, wherever).

Australia (baca SMH hari kemarin, hari ini masih bisa dibaca) merencanakan
untuk menambah anggaran AB dari 1.8% GNP menjadi 2.8% GNP. Padahal GNP
mereka mencapai $18,500. Coba dibandingkan dengan RI yg punya spending 1.2%
GNP dengan GNP hanya $550. Dengan fakta ini, jelas kecanggihan teknologi
harus ditutup oleh jumlah!

Yw: Biaya operasi mereka jauh lebih tinggi dari TNI. Biaya maintenance
peralatan, juga jauh lebih tinggi. Sementara, kemampuan tempur
teritorial, kalah jauh. Dan keberanimatiannya juga kalah jauh.

Ini sudah menjadi rahasia umum. Contoh kecil saja: setelah ngirim
4500 orang ke Timtim, HQ mereka kelimpungan mengkonsolidasi sisa
pasukan. TNI menempatkan 26 ribu lebih di Timtim, kemaren itu,
tapi mereka tenang-tenang aja. Padahal, TNI punya hot spots yg
bener-bener
hot di banyak tempat (contohnya: Aceh, kurang hot apa; terus Jakarta,
terus Ambon/Maluku, terus Irian,... dan secara nasional juga dimana-mana
lebih memerlukan kesiagaan). Coba bayangin kalo Asutrali itu harus
mengirim 26 ribu tentara ke Indonesia,... negaranya apa nggak
kalang kabut... ;-) Dan kalo mereka nggak sanggup ngirim 26 ribu,
terus mikir-mikir utk bisa mengkover Asia Tenggara... apa itu nggak
jadi situasi blekok merindukan bul-bul? Padahal 26 ribu itu, jangankan
dipake mengkover Asia Tenggara, mengkover Jabotabek saja di saat geger,
kurang. Kan kita sama-sama tahu, buat mengamankan SU MPR sekarang ini
yg dikerahkan jumlahnya 65 ribu lebih; dan itu pas-pasan saja.

Persenjataan seperti assault riffle milik Indonesia terlalu tergantung
kepada AS (yaitu M16).

Yw: Wah, jangan gitu, ah. Ini akurasinya diragukan. Senjata ringan
itu di Indonesia bisa dibikin sendiri (lisensinya memang dari M16
antara lain). Amunisinya, juga dibikin sendiri. Not the best in the
world, lah kualitasnya, tapi cukupanlah. Memang bikinnya dikit-dikit
(nggak punya duit kali, ya), tapi ya itu malah blessing in disguise
lagi, lah. Lha wong bikinnya relatif dikit aja, rakyat sipil bisa
(sering) ditembakin begitu... kalo bikin banyak, makin gawat dong.

Tadi malam saya membuka homepage Kalashnikov,
ternyata senapan AK sebagian besar komponen tidak dipatentkan sampai hari
ini. Tak kurang dari 15 negara telah mencontek dan memodifikasi senapan AK
dari berbagai seri. Seperti India mencontek habis seri AKM. AS memproduksi
dua seri AK di Tucson untuk tujuan ekspor. China membuat 4 seri dengan
tujuan ekspor. Demikian juga dengan Yugo, Italia, Netherland, Bulgaria, dll.
Mengapa Indonesia tidak mampu memodifikasi dan membuat sendiri senapan tipe
AK ini dalam jumlah besar? Mengapa pula mesti tergantung kepada AS dengan
membeli senapan M16. Mana senapannya 'kualitas ekspor' lagi. Yang kualitas
untuk pasukan mereka sendiri kelasnya masih di bawah AK-47 atau AK-74,
AK-105, dlsb? Bahkan AS-pun mengakui keunggulan senapan AK ini.

Yw: Wah unggul itu situasional, Mas. Emang sih, AK itu lebih dahsyat...
Tapi kalo anda infanteryman, tiap bulan long march jalan 40-50 km
naik turun gunung (entah itu latihan atau operasi), anda akan lebih
mengharapkan memanggul sehelai bulu dari pada AK47 di pundak anda.
Kalo anda sedang terbirit-birit diuber orang, anda akan jauh
lebih cepat ngos-ngosan kalo sambil nenteng AK.

Kalo lagi duel, nah ini lain lagi... Tapi situasi duel itu lebih
jarang drpd yg hilir mudik ke sana kemari itu. Anda kan tahu
sendiri, pada dasarnya 90% waktu TNI itu dipake utk hilir mudik.

Lagi pula, fatalitas AK (yg kalibernya lebih gede) lebih tinggi
dari SS (senapan serbu, M16 versi Pindad) standarnya TNI. Lha, kalo
dipake utk