TIMTIM : Mari melihat dari sisi lain.

1999-09-16 Thread Muhammad Fitri Yannahar

Saya punya pandangan berbeda dengan "kebanyakan" orang Indonesia dalam melihat masalah 
Timtim. Mungkin saya tidak sendiri, namun saya yakin jumlahnya pastilah sangat sedikit.

Saya melihat orang Indonesia terlalu emasional dalam melihat kasus Timtim ini, dan 
mungkin rasa nasionalisme kitalah yang menyebabkan kita "terpaksa" berpandangan 
seperti ini?

Kita menolak dengan "membabi buta" kedatangan pasukan asing (baca: pasukan PBB), 
terutama dari Aussie. Mengapa? Karena kedatangan mereka telah menyebabkan harga diri 
kita terasa terinjak. Tentera asing yang masuk ke Indonesia selalu kita anggap ingin 
memerangi kita dan ingin melanggar kedaulatan kita di tanah air kita sendiri. Tujuan 
apapun yang mereka katakan, keberadaan mereka tidak akan pernah kita tolerir, termasuk 
tujuan "kemanusiaan".

Saya tidak melihat hal ini jelek. Tatapi, cobalah tengok dengan hati nurani kita. 
Apakah kemarahan dan penolakan kita atas kedatangan pasukan PBB (siapapun dia) membuat 
kita telah bersikap adil terhadap warga Timtim? Tertutupkah hati nurani kita atas 
pelanggaran HAM di Timtim?

Selama ini terbukti bahwa "Indonesia"lah yang menyebabkan mereka datang, karena kita 
dengan "sukarela" telah membiarkan orang-orang kita (Militia dan TNI) membantai, 
membakar, memperkosa, membunuh, mengusir, menyiksa, dan berbagai pelanggaran HAM 
lainnya terhadap orang-orang Timtim yang menyatakan "keinginan" mereka.

Anak-anak kehilangan ayah-ayahnya, istri-istri kehilangan suami-suami mereka, 
perempuan diperkosa sebelum akhirnya dibunuh, harta penduduk dirampas sebelum akhirnya 
rumah mereka dibakar dan mereka diusir ke hutan-hutan. Sekali lagi, yang melakukan itu 
semua adalah kita, tentera "kebanggaan" kita. Tentera yang dulu kita banggakan karena 
mempertahankan harkat dan martabat kita dari penjajahan asing.

Sekarang, ketika semua itu sudah tidak ditolerir oleh dunia, dan dunia ingin 
mengembalikan harkat dan martabat warga Timtim, kita lantas menjadi marah kepada 
mereka. Padahal sebelumnya kita tidak pernah melarang dan tidak pernah merasa malu 
atas kelakuan mereka seperti itu. Kita bahkan tidak pernah peduli sama sekali atas apa 
yang telah terjadi.

Apakah kedaulatan kita lebih tinggi nilainya dari nilai-nilai HAM? Terus terang saya 
tidak ingin menjadi warga dari negara yang suka melanggar HAM. Kedaulatan bukan untuk 
tujuan itu. Sebaliknya, kedaulatan adalah untuk memeliharanya.

Menurut saya, kalaupun ada yang patut disalahkan atas kedatangan pasukan PBB tersebut 
ke Indonesia, maka mereka itu adalah Wiranto,  Habibie, para elit politik Idonesia, 
dan kita sendiri. Saya membiarkan anda semua yang menilai mereka semua.



On Thu, 16 Sep 1999 10:55:52   Jeffrey Anjasmara wrote:
>Desersi TNI warga Timtim akan perangi PBB. Mari kita lihat bagaimana
>kesigapan Aussie yang (sengaja) sangat merendahkan kemampuan RI dalam
>menangani masalah di sana.
>
>Keputusan pemerintah untuk memutuskan hubungan militer dengan Aussie (di
>mana mereka sudah membekukannya/suspend sebelumnya) ternyata disambut oleh
>kalangan politisi sipil dan kalangan militer dengan baik. Rasanya memang
>sangat tidak adil kalau kita hanya bersikap 'pasrah' setelah ditempelengi
>pulang-pergi oleh baik pemerintah Aussie maupun oleh kalangan bisnis. Yang
>sangat kurang ajar adalah sikap Howard Coward yang menyepelekan sinyal
>politis dari RI ini, dengan menyatakan tidak ada masalah karena toh
>peninggalan Keating (baca Kompas). Mereka tidak merasa kalau kita sedang
>menabok kepala mereka. ABCNews (yg raw material ya!) menyebutkan bahwa
>pemutusan hubungan militer membawa hubungan bilateral ke titik terbawah saat
>ini. Herannya mereka tidak merasa perlu untuk memandang penting masalah ini.
>Mereka menggampangkan bahwa nanti dapat diperbaiki, dengan
>pengertian-pengertian baru.
>
>Ada dua hal yg perlu kita lihat yaitu:
>(1) Pemerintah Aussie
>Howard memperlakukan Timtim sebagai subjek kampanye jangka pendek saja. Ini
>sangat menyedihkan. Hubungan antar negara dianggap sebagai hubungan antar
>anak singkong yang dapat berbaikan setelah 2 jam sebelumnya berkelahi
>memperebutkan sebuah kelereng. Dengan demikian, mungkin perlu dipikirkan
>untuk memberikan tabokan yg lain, agar mereka sadar bahwa hubungan dengan RI
>tidak dapat dijadikan konsumsi politik domestik sesaat saja. Ternyata si
>Coward ini telah menjadikan issue Timtim untuk melangkah ke pemilu yad.
>Sungguh kasihan warga Timtim yg dijadikan 'pihak ketiga' saja. Sebagai mana
>saya tulis kemarin, bukan tidak mungkin setelah proses pemilu selesai, maka
>warga Timtim hanya berakhir sebagai 'pelengkap penderita'. Bila tidak
>diperlukan ya silakan menderita saja, atau dihapus dari susunan kalimat. Ada
>kemungkinan lain yaitu berusaha memasukan Timtim ke dalam wilayah Australia
>sebagai mana telah mereka lakukan terhadap Christmast Island, dengan
>memasukkan option ke dalam referendum.
>
>Hal lain yg perlu disimak adalah pernyataan Howard bahwa bila TNI kurang
>kooperatif di dalam suatu urusan, maka tentara raseksa 

Re: TIMTIM : Mari melihat dari sisi lain.

1999-09-16 Thread Efron Dwi Poyo (Amoseas Indonesia)

Wah...yang berpendapat kayak gini bukannya sedikit...tapi buaanyyaakk
sekali. Bahkan lebih banyak ketimbang yang berlainan dengan Anda.

Anda mengajak melihat dari sisi lain. Sisi lain yang mana? Sisi lain artinya
dari orang pro-cerai. Kalau dari situ pertanyaannya apakah mereka itu selalu
benar? Yach sama saja kelakuannya dengan milisi dan TNI.

Kekerasan di manapun patut dikutuki. Kalau disuruh milih saya tetap memilih
nasib 200 juta orang Indonesia ketimbang orang Timtim. Yang jelas 200 juta
orang itu lebih menderita ketimbang Timtim. Kok nggak ada yang koar-koar
yach?

Efron

-Original Message-
From:   Muhammad Fitri Yannahar [SMTP:[EMAIL PROTECTED]]
Sent:   Friday, 17 September, 1999 9:45 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject:TIMTIM : Mari melihat dari sisi lain.

Saya punya pandangan berbeda dengan "kebanyakan" orang Indonesia dalam
melihat masalah Timtim. Mungkin saya tidak sendiri, namun saya yakin
jumlahnya pastilah sangat sedikit.

Saya melihat orang Indonesia terlalu emasional dalam melihat kasus Timtim
ini, dan mungkin rasa nasionalisme kitalah yang menyebabkan kita "terpaksa"
berpandangan seperti ini?

Kita menolak dengan "membabi buta" kedatangan pasukan asing (baca: pasukan
PBB), terutama dari Aussie. Mengapa? Karena kedatangan mereka telah
menyebabkan harga diri kita terasa terinjak. Tentera asing yang masuk ke
Indonesia selalu kita anggap ingin memerangi kita dan ingin melanggar
kedaulatan kita di tanah air kita sendiri. Tujuan apapun yang mereka
katakan, keberadaan mereka tidak akan pernah kita tolerir, termasuk tujuan
"kemanusiaan".

Saya tidak melihat hal ini jelek. Tatapi, cobalah tengok dengan hati nurani
kita. Apakah kemarahan dan penolakan kita atas kedatangan pasukan PBB
(siapapun dia) membuat kita telah bersikap adil terhadap warga Timtim?
Tertutupkah hati nurani kita atas pelanggaran HAM di Timtim?

Selama ini terbukti bahwa "Indonesia"lah yang menyebabkan mereka datang,
karena kita dengan "sukarela" telah membiarkan orang-orang kita (Militia dan
TNI) membantai, membakar, memperkosa, membunuh, mengusir, menyiksa, dan
berbagai pelanggaran HAM lainnya terhadap orang-orang Timtim yang menyatakan
"keinginan" mereka.

Anak-anak kehilangan ayah-ayahnya, istri-istri kehilangan suami-suami
mereka, perempuan diperkosa sebelum akhirnya dibunuh, harta penduduk
dirampas sebelum akhirnya rumah mereka dibakar dan mereka diusir ke
hutan-hutan. Sekali lagi, yang melakukan itu semua adalah kita, tentera
"kebanggaan" kita. Tentera yang dulu kita banggakan karena mempertahankan
harkat dan martabat kita dari penjajahan asing.

Sekarang, ketika semua itu sudah tidak ditolerir oleh dunia, dan dunia ingin
mengembalikan harkat dan martabat warga Timtim, kita lantas menjadi marah
kepada mereka. Padahal sebelumnya kita tidak pernah melarang dan tidak
pernah merasa malu atas kelakuan mereka seperti itu. Kita bahkan tidak
pernah peduli sama sekali atas apa yang telah terjadi.

Apakah kedaulatan kita lebih tinggi nilainya dari nilai-nilai HAM? Terus
terang saya tidak ingin menjadi warga dari negara yang suka melanggar HAM.
Kedaulatan bukan untuk tujuan itu. Sebaliknya, kedaulatan adalah untuk
memeliharanya.

Menurut saya, kalaupun ada yang patut disalahkan atas kedatangan pasukan PBB
tersebut ke Indonesia, maka mereka itu adalah Wiranto,  Habibie, para elit
politik Idonesia, dan kita sendiri. Saya membiarkan anda semua yang menilai
mereka semua.



On Thu, 16 Sep 1999 10:55:52   Jeffrey Anjasmara wrote:
>Desersi TNI warga Timtim akan perangi PBB. Mari kita lihat bagaimana
>kesigapan Aussie yang (sengaja) sangat merendahkan kemampuan RI dalam
>menangani masalah di sana.
>
>Keputusan pemerintah untuk memutuskan hubungan militer dengan Aussie (di
>mana mereka sudah membekukannya/suspend sebelumnya) ternyata disambut oleh
>kalangan politisi sipil dan kalangan militer dengan baik. Rasanya memang
>sangat tidak adil kalau kita hanya bersikap 'pasrah' setelah ditempelengi
>pulang-pergi oleh baik pemerintah Aussie maupun oleh kalangan bisnis. Yang
>sangat kurang ajar adalah sikap Howard Coward yang menyepelekan sinyal
>politis dari RI ini, dengan menyatakan tidak ada masalah karena toh
>peninggalan Keating (baca Kompas). Mereka tidak merasa kalau kita sedang
>menabok kepala mereka. ABCNews (yg raw material ya!) menyebutkan bahwa
>pemutusan hubungan militer membawa hubungan bilateral ke titik terbawah
saat
>ini. Herannya mereka tidak merasa perlu untuk memandang penting masalah
ini.
>Mereka menggampangkan bahwa nanti dapat diperbaiki, dengan
>pengertian-pengertian baru.
>
>Ada dua hal yg perlu kita lihat yaitu:
>(1) Pemerintah Aussie
>Howard memperlakukan Timtim sebagai subjek kampanye jangka pendek saja. Ini
>sangat menyedihkan. Hubungan antar negara dianggap sebagai hubungan antar
>anak singkong yang dapat berbaikan setelah 2 jam sebelumnya be