[ppiindia] Roy Suryo: Supersemar yang Beredar Palsu
Roy Suryo: Supersemar yang Beredar Palsu http://www.gatra.com/artikel.php?id=111334 Jakarta, 17 Januari 2008 11:20 Pengamat multimedia dan pakar telematika, Roy Suryo berkeyakinan bahwa naskah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang beredar selama ini adalah palsu. Saya mengatakan, naskah yang beredar itu palsu, kata Roy, Jakarta, Rabu malam (16/1). Dalam kesempatan itu, Roy bahkan membagikan selebaran yang berisi empat buah versi Supersemar yang diberi tanda huruf A,B,C,dan D. Roy kemudian menunjuk perbedaan Supersemar yang menurut dia palsu dan asli. Dari selebaran tersebut, memang ada perbedaan terutama pada bentuk tanda tangan Presiden Soekarno, tata cara atau justifikasi penulisan spasi, rata kanan-kiri, jarak penulisan antar-huruf pada kata Jakarta di akhir surat, serta adanya logo pada kepala surat. Naskah supersemar A,B,dan C sumbernya tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan naskah yang D, ada dalam film selluloid asli yang dimiliki oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), papar Roy. Film selluoid asli milik ANRI juga merekam kejadian bersejarah saat ketiga pejabat militer pembawa Supersemar yaitu Brigjen Amir Machmud, Mayjen Basuki Rachmat, dan Brigjen M Yusuf, pulang dari Istana Bogor dengan membawa sebuah naskah kepada Presiden Soekarno. Awalnya dari sini, entah bagaimana kemudian bisa beredar beberapa naskah, katanya. Oleh karena itu, Roy menegaskan, tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa yang asli surat yang ada filmnya yang ada pada ketiga jenderal dan itu ada adalah naskah yang D. Saat pidato kenegaraan terakhir Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1966, tambah Roy, juga jelas disebutkan bahwa supersemar sebenarnya bukan pengalihan kekuasaan, melainkan pengalihan pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan, dan perintah pengamanan keselamatan Presiden Soekarno. Saya berani menyimpulkan, karena yang lain-lain tidak pernah jelas sumbernya. Tapi, kalau yang D jelas saat surat itu terbit, katanya. Roy menambahkan, dirinya bukan orang yang pertama meragukan kebenaran supersemar yang beredar. Karena itu, menurutnya, perlu dimulai dari sekarang untuk meneliti dan melakukan verifikasi lebih lanjut oleh sejarawan dan para pakar lainnya. [EL, Ant] -- Kind regards, Sulistiono Kertawacana
[ppiindia] Artikel: Memetik Hikmah Kasus Karaha Bodas
Memetik Hikmah Kasus Karaha Bodas http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/08/opi01.html Oleh Sulistiono Kertawacana Pertengahan Maret 2007, Pengadilan Cayman Islands memutus Pertamina bersalah dalam kasus gugatan pelanggaran Joint Operation Contract (JOC) terhadap Karaha Bodas Company (KBC), kontraktor Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha. Maka sebagai implementasi putusan arbitrase internasional Geneva, Swiss, 18 Desember 2000, Pertamina harus membayar ganti rugi kepada KBC. Abitrase menyatakan Pertamina dan PLN melanggar Energy Sales Contract (ESC) dan JOC. Keduanya secara bersama dan masing-masing dihukum membayar ganti rugi KBC sejumlah US$ 261,100,000 (US$ 111,100,000 untuk biaya yang diderita KBC dan US$150 juta untuk laba yang seharusnya diperoleh KBC ), termasuk bunga 4% per tahun, terhitung sejak 1 Januari 2001. Pada 28 November 1994 telah disepakati dua kontrak untuk proyek PLTP Karaha, yaitu JOC dan ESC. JOC (Pertamina dan KBC) menetapkan Pertamina bertanggung jawab mengelola pengoperasian geothermal dan KBC sebagai kontraktor. KBC wajib mengembangkan energi geothermal dan membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit tenaga listrik. Sedangkan dalam ESC (KBC, Pertamina, dan PLN), KBC (sebagai Kontraktor Pertamina dan berdasarkan JOC) akan memasok dan menjual tenaga listrik kepada PLN. Baik JOC maupun ESC memilih hukum Indonesia. Meskipun demikian, ada klausul janggal yang luput dari pengamatan Pertamina dan PLN. Pasal 15.2 (e) JOC (isi senada termaktub Pasal 9.2 (e) ESC) bahwa events of Force Majeure shall include, but not limited to:.(e) with respect Contractor only, any Government Related event (kejadian-kejadian yang disebabkan oleh Keadaan Kahar termasuk tetapi tidak terbatas pada: .(e) hanya berlaku bagi Kontraktor (KBC-pen), setiap tindakan yang berhubungan dengan Pemerintah). Semestinya, para pihak yang terlibat dalam JOC dan ESC (Pertamina, PLN, dan KBC) dilarang melakukan tindakan yang melanggar hukum Indonesia, termasuk tindakan pemerintah menerbitkan ketentuan terkait dengan proyek yang mengikat semua pihak. Di KUHPerdata kita terdapat pasal yang mengatur syarat sahnya perjanjian, sebab yang halal dan yang terlarang. Menurut hukum Indonesia, Pasal 15.2(e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC yang merugikan Pertamina dan PLN tidak sah. Tiga Hikmah Setidaknya, ada tiga hikmah yang dipetik dari peristiwa ini. Pertama, perlu dipertimbangkan kajian hukum yang mendalam sebelum pemerintah menangguhkan atau membatalkan proyek-proyek BUMN. Berbagai putusan arbitrase telah merugikan Indonesia akibat pembatalannya, seperti kasus PLTP Patuha dan PLTP Dieng. Karenanya, jika inti klausul force majeure sama dengan JOC dan ESC, pembatalan sebaiknya diajukan oleh BUMN tersebut melalui pengadilan, meski sudah diterbitkan keputusan presiden atas penangguhan proyek tersebut. Ini sekaligus menguji keberlakuan klausul force majeure model ini menurut hukum Indonesia.. Cara ini lebih aman. Alasan yang lebih kuat bagi BUMN jika dibatalkannya kontrak, diperkarakan investor asing. Dari kaca mata hukum, pembatalan kontrak melalui putusan pengadilan lebih netral ketimbang kepres. Kedua, Menteri BUMN perlu menerbitkan surat edaran (dengan disertai ulasan hukum) kepada semua BUMN bahwa BUMN wajib menolak usulan klausul force majeure dengan konstruksi hukum seperti JOC dan ESC. Tujuannya, mempermudah BUMN dalam bernegosiasi dengan rekanannya agar terhindar dari pembayaran ganti rugi di kemudian hari. Ketiga, tidak cukup hanya menangguhkan/membatalkan proyek yang terindikasi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tapi sebaiknya, didahului dengan pengusutan perbuatan korupsinya. Proyek terindikasi biaya tinggi sehingga membebani keuangan negara. Jika di tengah pengusutan KKN, proyek ditangguhkan, persepsi positif internasional bahwa Indonesia membatalkannya dalam rangka pemberantasan korupsi. Presiden Habibie pernah membentuk Tim 7 Menteri (terdiri dari Menko Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (ketua), Menkeu, Menperindag, Mentamnben, Menneg Riset dan Teknologi/Kepala BPPT, Meneg/Kepala Bapenas, dan Menneg Pendayagunaan BUMN. Tim diberi tugas meninjau berbagai kontrak listrik swasta (sekitar 27 kasus) yang dianggap merugikan Indonesia. Di Bawah Tekanan Dengan menunjuk advokat Adnan Buyung Nasution (mendapat kuasa dari Pertamina dan PLN), pemerintah berniat membatalkan berbagai kontrak listrik swasta melalui pengadilan di Indonesia. Alasannya, eksistensi kelahiran dan pembuatannya tidak halal karena terlaksana melalui KKN. Strateginya, sebelum dibatalkan melalui pengadilan, kasus KKN dan permainan kotornya dibongkar dulu. Namun, upaya ini gagal karena Jaksa Agung (Andi M Ghalib) tidak kooperatif untuk mewujudkan upaya ini. Banyak kontrak listrik swasta dibuat di bawah tekanan. Sesuai hukum Indonesia, pihak yang merasa ditekan dapat membatalkan perjanjian. Kasus Paiton dijadikan contoh awal untuk ini. Gugatan diajukan
[ppiindia] Artikel: Perlu Dekriminalisasi di Perbankan
Ada sedikit revisi (warna biru) karena pengeditan Sinar Harapan ada yang kurang tepat dan dapat salah tafsir. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0703/21/opi01.html Perlu Dekriminalisasi di Perbankan Oleh Sulistiono Kertawacana * Imbas pemberantasan korupsi di sektor perbankan bak buah simalakama. Tidak diberantas akan menyebabkan perbankan kotor yang dapat mengganggu ekonomi nasional. Namun, dengan model pemberantasan yang diskriminatif menyebabkan bank BUMN/BUMD ketakutan dalam menyalurkan kredit karena ancaman dijadikan tersangka jika kreditnya kelak macet. Kita bergembira jika akibat perang melawan korupsi membuat ciut nyali para direksi perbankan yang punya niatan jahat. Namun, jika yang timbul ketakutan direksi bank BUMN/BUMD yang berniat menyalurkan kredit, tentu tidak dikehendaki. Jika tugas perbankan sebagai mediasi antara dana nasabah yang disimpan dan debitor yang berniat menjalankan usaha/membiayai proyek tersendat-sendat, perkembangan sektor riil juga akan terganggu. Kekhawatiran yang dialami direksi BUMN/BUMD dalam menyalurkan kedit, tampaknya tidak dialami direksi bank swasta. Sebabnya, hanya kredit macet di bank BUMN/BUMD yang dapat menyeret direksi/komisarisnya menjadi tersangka korupsi, tidak demikian untuk direksi/komisaris bank swasta. Bisa jadi kesulitan pembayaran kredit bank BUMN/BUMD terjadi karena risiko bisnis yang ditanggung debitornya. Untuk ini, bisanya ada jaminan yang bisa disita oleh bank. Diksriminasi ini bersumber dari penjelasan umum paragraf ke-4 huruf b UU No.31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang mendefinsikan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena (di antaranya-pen) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung-jawaban BUMN/BUMD. Dulu Ditindak karena BLBI UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara mengategorikan (Pasal 2 huruf g) keuangan negara termasuk juga (di antaranya-pen) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahan negara/perusahaan daerah. Berdasarkan data laporan keuangan publikasi Bank Indonesia, komposisi non performing loan (NPL, kredit bermasalah) per September 2005, persentase terbesar di bank BUMN yakni senilai Rp 39,1 triliun. Bank non-BUMN sebesar 26,9 persen atau senilai Rp 15,2 triliun. Dari 73,1 persen NPL yang terjadi di bank BUMN, tercatat Bank Mandiri memberi kontribusi 64,2 persen, Bank Negara Indonesia sebesar 23,67 persen, Bank Rakyat Indonesia 9,7 persen dan Bank Tabungan Negara 2,03 persen. Bisa jadi ada kalangan yang berpendapat, dengan ancaman pidana yang berat saja, pengelola bank BUMN masih buruk, apalagi jika dihilangkan. Namun hakikatnya tidak sepenuhnya tepat. Pemerintah menghendaki semua bank (swasta dan BUMN/BUMD) sehat. Pengalaman 1997 membuktikan, krisis yang dialami bank swasta getahnya toh kena ke pemerintah juga. Pertimbangannya adalah menjaga kepercayaan terhadap lembaga perbankan umumnya. Jika tidak cepat tanggap pemerintah menalanginya, sangat mungkin keresahan nasabah bank akan menimbulkan kerusuhan massal. Dengan pertimbangan demikian, sesungguhnya tidak relevan jika perumusan deliknya diskriminatif. Terseretnya direksi/komisaris/pemegang saham bank swasta dalam tindak pidana korupsi dalam krisis perbankan 1997 bukan merupakan bukti tidak diskriminatifnya ancaman pidana. Mereka dijadikan tersangka korupsi karena dugaan penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan/atau obligasi negara sebagai talangan pemerintah untuk mengatasi krisis perbankan. Pemerintah dan masyarakat sangat berkepentingan menjaga agar sektor perbankan (BUMN/BUMD dan swasta) dapat tumbuh sehat. Oleh karenanya, ganjaran terhadap siapa pun yang merusak sektor perbankan harus sama beratnya. Sebaiknya dihapuskannya ancaman terhadap perbuatan korupsi bagi bank BUMN/BUMD disertai pula revisi UU Perbankan. Sanksi bagi pelanggarnya harus lebih berat dan kriterianya tindak pidana perbankan lebih detail dan jelas. Jangan lagi ada diskriminasi bank BUMN/BUMD dan swasta dalam hal sanksi atas pelanggaran hukumnya. Demi menghilangkan ketakutan yang tidak pada tempatnya para direksi bank BUMN/BUMD, perlu dilakukan dekriminalisasi (penghapusan tindak pidana) di bank BUMN/BUMD. Logikanya ketika institusi negara menjalankan usaha yang masuk dalam wilayah korporasi, maka hukum yang berlaku pun sama. Dekriminalisasi Bagaimana pun kita tidak menghendaki penyalahgunaan dana perbankan BUMN/BUMD. Karenanya, untuk melindungi dana masyarakat dan kepercayaan publik, diperlukan perubahan UU No.7/1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan (UU Perbankan
[ppiindia] Artikel: Logika Tukang Ojek Gelora Bung Karno
Best regards, Sulistiono Kertawacana -- Rabu, 07 Desember 2005 O P I N I No. 5169 Halaman Utama Tajuk Rencana Nasional Ekonomi Uang Efek Jabotabek Nusantara Luar Negeri Olah Raga Iptek Hiburan Feature Mandiri Ritel Hobi Wisata Eureka Kesehatan Cafe Resto Hotel Resor Asuransi Otomotif Properti Promarketing Budaya CEO Opini Foto Karikatur Komentar Anda Tentang SH Logika Tukang Ojek Gelora Bung Karno Oleh Sulistiono Kertawacana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit aset Gelora Bung Karno (GBK). Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun sedang menyelidiki dugaan korupsi terhadap pengalihan fungsi aset GBK kepada swasta. Perang urat saraf pun terjadi antara Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dengan Ketua BPK Anwar Nasution. Yusril mencela sinyalemen Anwar tentang salah urus aset GBK yang berada di bawah Sekretariat Negara (Setneg), memakai logika tukang ojek. GBK memang aset menggiurkan. Kompleks itu pernah jadi rebutan Gubernur Jakarta Sutiyoso dan Mendagri Hari Sabarno saat era baru otonomi daerah. Jakarta sebagai ibu kota negara berniat mengambilalih kepemilikan GBK dari pemerintah pusat. Aset yang terdiri dari tanah dan bangunan, baik yang berada di dalam maupun di luar komplek, dapat menghasilkan uang yang tidak sedikit. Jika ditilik dari sejarahnya, GBK diperuntukkan bagi penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962. Aset GBK Dasar pengelolaan GBK adalah Keppres No 4/1984 yang diubah terakhir dengan Keppres No 72/1999 tentang Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Senayan. Melalui Keppres No 7/2001 Gelanggang Olah Raga Senayan diubah menjadi Gelora Bung Karno (GBK). GBK milik Negara Republik Indonesia. Penguasaan, pengelolaan, dan administrasi GBK dilakukan pemerintah (Setneg). Segala biaya yang dikeluarkan oleh Badan Pengelola ditanggung Sekretariat Negara. Badan Pengelola dibentuk untuk mengelola dan mengusahakan GBK. Badan ini terdiri dari unsur pemerintah dan Pemda (Gubernur DKI Jakarta). Dan bertanggung jawab serta berkewajiban melaporkannya secara berkala atau sewaktu-waktu sesuai kebutuhannya kepada presiden. Badan pengelola bertugas mengurus GBK dengan sebaik-baiknya sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dan selama-lamanya bagi kepentingan negara dan masyarakat atas kemampuannya sendiri. Mengelola dan mengusahakan pemanfaatan semua tanah dan bangunan untuk menunjang kegiatan olah raga nasional dan mendukung upaya untuk memajukannya. GBK dikelola oleh Direksi Pelaksana Pengelolaan, terdiri dari seorang Ketua Direksi dan beberapa anggota Direksi. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Mensesneg selaku ketua Badan Pengelola. Mereka bertanggung jawab dan berkewajiban melaporkan pelaksanaan tugasnya secara berkala atau sewaktu-waktu sesuai kebutuhan kepada Badan Pengelola GBK. Direksi Pelaksana dengan persetujuan Badan Pengelola GBK dapat mengadakan kerja sama dan/atau perikatan dengan pihak lain sesuai ketentuan. Segala biaya yang diperlukan untuk melaksanakan tugas Badan Pengelola GBK ditanggung Setneg. Terkait status kelembagaan, Presiden menerbitkan Keppres No 23/2001 tanggal 19 Februari 2001 tentang Tim Pengkajian Kelembagaan Pengelolaan GBK yang bertugas mengkaji status dan bentuk kelembagaan pengelolaan GBK. Tim tersebut diberi waktu paling lama 6 bulan sejak Keppres ditetapkan. Namun, hingga jangka waktunya terlewati, ketika itu belum ada keputusan untuk menentukan status kelembagaan hukum GBK. Baru kemudian pada 18 Oktober 2004 melalui Keppres No 94/2004 tentang Pengelolaan Komplek GBK menetapkan GBK sebagai Peninggalan Nasional. Keppres No 94/2004 juga mencabut Keppres No 4/1984 yang terakhir diubah dengan Keppres No 72/1999 yang mengatur pengelolaan GBK. Jadikan Badan Usaha Dengan status sebagai peninggalan nasional, maka segala biaya pengelolaannya menjadi otonom, yang berasal dari pengelolaan komplek GBK. Sedangkan struktur organisasi tidak mengalami perubahan signifikan, dikelola Badan Pengelola yang menetapkan kebijakan umum. Ketua Badan Pengelola tetap Mensesneg dengan anggota Menkeu, Mendiknas, Menkimpraswil, Gubernur Jakarta, dan Ketua KONI pusat. Dengan anatomi GBK tersebut, apakah masih pantas ia dikelola dengan melibatkan para menteri (birokrat)? Rasanya kurang tepat lagi GBK
[ppiindia] Artikel: Bila Pemkab Berbisnis Minyak
Bila Pemkab Berbisnis Minyak -- Senin, 12 September 2005 O P I N I No. 5098 Halaman Utama Tajuk Rencana Nasional Ekonomi Uang Efek Jabotabek Nusantara Luar Negeri Olah Raga Iptek Hiburan Feature Mandiri Ritel Hobi Wisata Eureka Kesehatan Cafe Resto Hotel Resor Asuransi Otomotif Properti Promarketing Budaya CEO Opini Foto Karikatur Komentar Anda Tentang SH Bila Pemkab Berbisnis Minyak Oleh Sulistiono Kertawacana Setelah berlarut-larut, nota kesepahaman (MoU) perpanjangan kontrak pengelolaan Migas di Blok Cepu akhirnya 25 Juni 2005 ditandatangani Exxon Mobil dan tim negosisasi bentukan pemerintah. Kesepakatan ini akan mengakhiri kontrak bantuan teknis (Technical Assistance Contract TAC) antara Exxon dan Pertamina, berubah menjadi Kontrak Bagi Hasil (KBH). Untuk 30 tahun ke depan, Blok Cepu akan dikelola perusahaan patu-ngan yang akan bertindak sebagai kontraktor bagi hasil. Perusahaan patungan ini sahamnya akan dimiliki Pertamina 45%, Exxon 45%, dan pemerintah kabupaten (Pemkab) Bojonegoro 10%. Total investasi untuk mendulang minyak di daerah Cepu yang telah mulai dieksplorasi 1901 diperlukan kurang lebih US$ 2,6 miliar. Pemkab Bojonegoro harus menyediakan dana sekitar US$ 260 juta. Padahal, Bojonegoro cuma memiliki Pendapatan Asli Daerah sekitar Rp 34 miliar dan APBD sekitar Rp 400 miliar. Bupati Bojonegoro M Santoso sangat optimistis akan mendapatkan uang penyertaan modal tersebut. Sumbernya dari BUMD, masyarakat, dan investor lokal, tegasnya. Ternyata memang mudah mencari investor lokal untuk berkongsi di Blok Cepu. Negosiasi dengan berbagai perusahaan sebagai mitra (pemegang sa-ham) PT Asri Dharma Sejahtera (ADS) telah dilakukan. ADS adalah BUMD yang sengaja dibentuk Pemkab Bojonegoro mengelola Blok Cepu. Didukung kemitraan dengan PT Surya Energi Raya (SER) milik boss Media Group, Surya Paloh, DPRD (dalam pleno 5 Juli lalu) menyetujui penyertaan mereka.. Saham Bodong Sayangnya, skema kerja sama antara SER dalam ADS tak lazim, bahkan bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan pengakuan Sugeng Suparwoto - Humas SER - seluruh kewajiban penyetoran modal Pemkab Bojonegoro (melalui ADS pen) dalam mengeksploitasi Blok Cepu sejumlah sekitar US$ 260 juta semuanya ditanggung SER. Imbalannya, SER akan menjadi pemegang saham 75% perusahaan patungan ADS antara SER dan Pemkab Bojonegoro. Otomatis, SER akan memperoleh interest 75% dari total 10% interest Pemkab dalam di Blok Cepu itu. Sayangnya pula, Pemkab selaku pemegang saham ADS adalah pemegang saham bodongî (saham yang dimiliki tanpa menyetor modal). Otomatis, participating interest Pemkab Bojonegoro dalam pengelolaan Blok Cepu juga participating interest bodong (tanpa menyetor dana). Praktik saham bodongî memang sesuatu yang lazim di masa lalu. Hasilnya, proyek-proyek bisnis tersebut banyak merugikan kepentingan masyarakat. Karenanya, skema saham bodongî harus batal demi hukum, sebab bertentangan dengan PP No 35/2004. Kecuali kita bermaksud melestarikan kebiasaan tak senonoh. Pasal 34 juncto Pasal 35 PP No 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menetapkan sejak disetujuinya rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dari satu wilayah kerja, kontraktor wajib menawarkan (selama 60 hari) participating interest 10% kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Syaratnya, BUMD harus memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk berpartisipasi. Ketentuan ini jelas tidak memperkenankan participating interest daerah dibeli oleh swasta dengan kompensasi tertentu. Participating ineterst bodong juga terlarang, dan dengan demikian batal demi hukum. Hampir dipastikan, banyak kreditor yang berminat. Sebab, Blok Cepu sangat menggiurkan yang diperkirakan dapat menghasilkan 600 juta barel. Setiap harinya diperkirakan menghasilkan minimal 180.000 barel/hari atau sekitar Rp 16,2 triliun/tahun. Bahkan bisa jadi hasilnya lebih besar dari hitungan kasar tersebut. Jadi risiko gagalnya sangat kecil. Apalagi harga minyak yang cenderung meninggi. Menambah PAD Keikutsertaan BUMD untuk mengambil participating interest dalam Blok Cepu bukanlah prasyarat mutlak agar Blok Cepu dapat digarap. Jika secara finansial BUMD tidak memenuhi syarat sebagaimana
[ppiindia] Artikel: Penghapusan Utang Indonesia
Ada bagian yg diedit oleh redaktur suara karya (mungkin karena persoalan teknis)..berikut ini saya sertakan informasi tambahan Menurut catatan Komisi Hukum Internasional (1977), doktrin utang najis pertama dikenal ketika tahun 1898 AS menolak membayar utang-utang Cuba dalam perundingan Perang Amerika-Spanyol. AS mengklaim baik AS maupun Cuba tidak bertanggung jawab atas utang Cuba dengan alasan -diantaranya- utang dihimpun semasa Cuba dalam kolonial dan tidak memberi benefit bagi orang Cuba. Soviet juga tidak mengakui utang yang telah dihimpun Tsar pada tahun 1921 dengan alasan yang serupa. Tahun 1923 Costa Rica menganggap utang yang dihimpun rezim Frederico Tinoco kepada the Royal Bank of Canada adalah utang najis. Kasus ini akhirnya masuk dalam arbitrase Inggris Raya vs Costa Rica. Hakim ketua dari AS, Taft menetapkannya sebagai utang yang tidak sah (memenangkan Costa Rica). Alasannya, Bank telah mengetahui utang digunakan mantan presiden F. Tinoco untuk kepentingan pribadi ketika berada dalam pengasingan di luar negeri (Annual Digest of Public International Law Cases, 1923). Alasan penghapusan utang dengan alasan ekonomi pertama dilakukan Jerman setelah Perang Dunia II. Kewajiban Jerman terhadap kreditor ketika itu DM 1,5 milyar per tahun. Jumlah ini memberatkan. Dikhawatirkan ekonominya akan kacau (jika tetap dibayar) yang berakibat chaos yang memicu munculnya pemimpin model Hitler dengan Nazi-nya. Juru runding Jerman -Josef Abs- berhasil meyakinkan para kreditor sehingga Jerman membayar utangnya dalam rasio yang sehat terhadap neraca perdagangan luar negerinya. Perundingan yang diselenggarakan di London pada 27 Februari 1952 tersebut sepakat menghapus utang luar negeri nomial Jerman sebanyak 51,5% (Ivan A Hadar, 2004). Kedua, saat global debt problem, tahun 1982 Mexico menyatakan diri pailit dan tidak mampu melunasi kewajiban membayar utang pokok dan bunga utang swasta yang diterimanya. Langkah ini kemudian banyak ditiru negara Amerika Latin lainnya. Kalangan internasional pun urun rembug membantunya. Best regards, Sulistiono Kertawacana Terimakasih pak Sulistio untuk artikelnya. Seharusnya memang elite yang melakukan pinjaman serta yang menikmati bagian terbesar dari hutang tersebutlah yang seharusnya membayar hutang tersebut (termasuk oknum Bank Dunia yang bekerjasama). Insya Allah artikel ini dapat memberikan pencerahan serta bermanfaat bagi rakyat banyak. --- Sulistiono Kertawacana [EMAIL PROTECTED] wrote: Suara Karya Online Senin, 25 Juli 2005 Penghapusan Utang Indonesia Oleh Sulistiono Kertawacana Senin, 25 Juli 2005 Menjelang pertengahan Juni lalu, Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan Presiden AS George W Bush menyepakati untuk menghapus 100 persen utang negara-negara miskin di Benua Afrika. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia berpeluang mendapatkan penghapusan utang atau perlukah Indonesia mengajukan permohonan penghapusan utang? Dalam sejarah utang luar negeri, penghapusan utang (sebagaian atau seluruhnya) terjadi karena alasan hukum atau ekonomi. Alasan ekonomi terkait dengan keberlanjutan ekonomi negara debitor. Sedangkan alasan hukum terkait dengan legitimasi suatu rezim atau penyalahgunaan dana pinjaman Alasan hukum memandang utang sebagai odious debt (utang najis) atau criminal debt (utang kriminal). Leonce Ndikumana dan James K Boyce (1998) membedakan definisi keduanya. Utang najis adalah pinjaman yang dilakukan oleh rezim yang tidak sah dalam perspektif demokrasi, yakni tidak representatif, otoriter, diktator, dan opresif yang digunakan untuk menindas rakyatnya. Sedangkan utang kriminal adalah bagian dari dana pinjaman kepada negara yang telah dikorup oleh pejabat pemerintah dan/atau kroninya. Karenanya, tidaklah adil jika seluruh utang tersebut harus dibayar oleh rakyat negara debitor. Tujuannya, kreditor tidak mengucurkan pinjaman sekadar memandang risiko ekonomi (kemampuan mengembalikan utang). Sebab, jika utang terkategori utang najis atau utang kriminal, maka ada risiko tidak dibayar (seluruhnya). Dalam sejarahnya, Bank Dunia memiliki beberapa model untuk bisa mengurangi utang negara debitor. Yaitu, Brady Plan, Toronto Term, Naples Term, dan High Indebted Poor Countries Initiatives. (Pakarsa HIPC). Semuanya mensyaratkan negara debitor menjalankan Structural Adjustment Program oleh IMF. Brady Plan digagas Menkeu AS Nicholas Brady ketika berusaha menanggulangi kemelut utang luar negeri (ULN) Meksiko. Syarat
[ppiindia] Artikel: Penghapusan Utang Indonesia
Suara Karya Online Senin, 25 Juli 2005 Opini Paradoks Utang Luar Negeri Oleh Gunoto Saparie Penghapusan Utang Indonesia Oleh Sulistiono Kertawacana Ruhut P Sitompul: Jangan Sakiti Hati Rakyat! Menggalakkan Pendidikan Anak Usia Dini Oleh Sukirno Memahami Mekanisme Kerja DPR Oleh H Rustam E Tamburaka Strategi Cina terhadap Taiwan Oleh A Kardiyat Wiharyanto Ahmadi-Nezhad Vs George W Bush Oleh Riza Sihbudi Asingisasi Perbankan Nasional Oleh Susidarto Mencermati Kriteria Bank Jangkar Oleh Sabaruddin Siagian Kontroversi Partai Lokal di Aceh Oleh Faruuq Tri Fauzi Surat kepada Para Hakim Indonesia (2) Oleh H. Benyamin Mangkoedilaga Menyoal Ulang Kasus Pelanggaran HAM Oleh Abdul Latifi arsip Pemberian Akses Bagi Pembaca Meter Air Hati-hati Berada Di Pusat Keramaian Memerlukan Buku Pengajaran Bahasa Inggris untuk SD Jalur Hukum Redam Kontroversi Perpres 36/2005 Mulailah Gerakan Penghematan dari DPR Klarifikasi Nama Penulis Artikel Opini Di HU Suara Karya arsip Rumors Rumors Rumors Rumors Rumors Rumors arsip Memancing di Air Keruh Menyikapi Bencana Nasional Flu Burung Membersihkan Sapu Kotor Flu Burung Sudah Menjadi Teror Demi Rakyat, Tidak Perlu Bersitegang Perang Terhadap Mafia Peradilan arsip Penghapusan Utang Indonesia Oleh Sulistiono Kertawacana Senin, 25 Juli 2005 Menjelang pertengahan Juni lalu, Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan Presiden AS George W Bush menyepakati untuk menghapus 100 persen utang negara-negara miskin di Benua Afrika. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia berpeluang mendapatkan penghapusan utang atau perlukah Indonesia mengajukan permohonan penghapusan utang? Dalam sejarah utang luar negeri, penghapusan utang (sebagaian atau seluruhnya) terjadi karena alasan hukum atau ekonomi. Alasan ekonomi terkait dengan keberlanjutan ekonomi negara debitor. Sedangkan alasan hukum terkait dengan legitimasi suatu rezim atau penyalahgunaan dana pinjaman Alasan hukum memandang utang sebagai odious debt (utang najis) atau criminal debt (utang kriminal). Leonce Ndikumana dan James K Boyce (1998) membedakan definisi keduanya. Utang najis adalah pinjaman yang dilakukan oleh rezim yang tidak sah dalam perspektif demokrasi, yakni tidak representatif, otoriter, diktator, dan opresif yang digunakan untuk menindas rakyatnya. Sedangkan utang kriminal adalah bagian dari dana pinjaman kepada negara yang telah dikorup oleh pejabat pemerintah dan/atau kroninya. Karenanya, tidaklah adil jika seluruh utang tersebut harus dibayar oleh rakyat negara debitor. Tujuannya, kreditor tidak mengucurkan pinjaman sekadar memandang risiko ekonomi (kemampuan mengembalikan utang). Sebab, jika utang terkategori utang najis atau utang kriminal, maka ada risiko tidak dibayar (seluruhnya). Dalam sejarahnya, Bank Dunia memiliki beberapa model untuk bisa mengurangi utang negara debitor. Yaitu, Brady Plan, Toronto Term, Naples Term, dan High Indebted Poor Countries Initiatives. (Pakarsa HIPC). Semuanya mensyaratkan negara debitor menjalankan Structural Adjustment Program oleh IMF. Brady Plan digagas Menkeu AS Nicholas Brady ketika berusaha menanggulangi kemelut utang luar negeri (ULN) Meksiko. Syarat negara memperoleh penghapusan utang, jika 3 dari 4 kondisi dipenuhi. Yakni, (i) rasio ULN terhadap Gross National Product (GNP) lebih dari 50%, (ii) rasio ULN terhadap ekspor lebih dari 275%, (iii) rasio peningkatan utang terhadap ekspor lebih dari 30%, dan/atau (iv) rasio peningkatan suku bunga terhadap ekspor lebih dari 25%. Toronto terms diberikan kepada negara debitor dengan kriteria GNP per kapita kurang dari 610 dolar AS (pada tahun 1990) atau yang mengalami problem
[ppiindia] Artikel: Penghapusan Utang Indonesia
Suara Karya Online Senin, 25 Juli 2005 Opini Paradoks Utang Luar Negeri Oleh Gunoto Saparie Penghapusan Utang Indonesia Oleh Sulistiono Kertawacana Ruhut P Sitompul: Jangan Sakiti Hati Rakyat! Menggalakkan Pendidikan Anak Usia Dini Oleh Sukirno Memahami Mekanisme Kerja DPR Oleh H Rustam E Tamburaka Strategi Cina terhadap Taiwan Oleh A Kardiyat Wiharyanto Ahmadi-Nezhad Vs George W Bush Oleh Riza Sihbudi Asingisasi Perbankan Nasional Oleh Susidarto Mencermati Kriteria Bank Jangkar Oleh Sabaruddin Siagian Kontroversi Partai Lokal di Aceh Oleh Faruuq Tri Fauzi Surat kepada Para Hakim Indonesia (2) Oleh H. Benyamin Mangkoedilaga Menyoal Ulang Kasus Pelanggaran HAM Oleh Abdul Latifi arsip Pemberian Akses Bagi Pembaca Meter Air Hati-hati Berada Di Pusat Keramaian Memerlukan Buku Pengajaran Bahasa Inggris untuk SD Jalur Hukum Redam Kontroversi Perpres 36/2005 Mulailah Gerakan Penghematan dari DPR Klarifikasi Nama Penulis Artikel Opini Di HU Suara Karya arsip Rumors Rumors Rumors Rumors Rumors Rumors arsip Memancing di Air Keruh Menyikapi Bencana Nasional Flu Burung Membersihkan Sapu Kotor Flu Burung Sudah Menjadi Teror Demi Rakyat, Tidak Perlu Bersitegang Perang Terhadap Mafia Peradilan arsip Penghapusan Utang Indonesia Oleh Sulistiono Kertawacana Senin, 25 Juli 2005 Menjelang pertengahan Juni lalu, Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan Presiden AS George W Bush menyepakati untuk menghapus 100 persen utang negara-negara miskin di Benua Afrika. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia berpeluang mendapatkan penghapusan utang atau perlukah Indonesia mengajukan permohonan penghapusan utang? Dalam sejarah utang luar negeri, penghapusan utang (sebagaian atau seluruhnya) terjadi karena alasan hukum atau ekonomi. Alasan ekonomi terkait dengan keberlanjutan ekonomi negara debitor. Sedangkan alasan hukum terkait dengan legitimasi suatu rezim atau penyalahgunaan dana pinjaman Alasan hukum memandang utang sebagai odious debt (utang najis) atau criminal debt (utang kriminal). Leonce Ndikumana dan James K Boyce (1998) membedakan definisi keduanya. Utang najis adalah pinjaman yang dilakukan oleh rezim yang tidak sah dalam perspektif demokrasi, yakni tidak representatif, otoriter, diktator, dan opresif yang digunakan untuk menindas rakyatnya. Sedangkan utang kriminal adalah bagian dari dana pinjaman kepada negara yang telah dikorup oleh pejabat pemerintah dan/atau kroninya. Karenanya, tidaklah adil jika seluruh utang tersebut harus dibayar oleh rakyat negara debitor. Tujuannya, kreditor tidak mengucurkan pinjaman sekadar memandang risiko ekonomi (kemampuan mengembalikan utang). Sebab, jika utang terkategori utang najis atau utang kriminal, maka ada risiko tidak dibayar (seluruhnya). Dalam sejarahnya, Bank Dunia memiliki beberapa model untuk bisa mengurangi utang negara debitor. Yaitu, Brady Plan, Toronto Term, Naples Term, dan High Indebted Poor Countries Initiatives. (Pakarsa HIPC). Semuanya mensyaratkan negara debitor menjalankan Structural Adjustment Program oleh IMF. Brady Plan digagas Menkeu AS Nicholas Brady ketika berusaha menanggulangi kemelut utang luar negeri (ULN) Meksiko. Syarat negara memperoleh penghapusan utang, jika 3 dari 4 kondisi dipenuhi. Yakni, (i) rasio ULN terhadap Gross National Product (GNP) lebih dari 50%, (ii) rasio ULN terhadap ekspor lebih dari 275%, (iii) rasio peningkatan utang terhadap ekspor lebih dari 30%, dan/atau (iv) rasio peningkatan suku bunga terhadap ekspor lebih dari 25%. Toronto terms diberikan kepada negara debitor dengan kriteria GNP per kapita kurang dari 610 dolar AS (pada tahun 1990) atau yang mengalami
[ppiindia] UU APBN di Judicial Review
FYI Alhamdulilah, akhirnya pada 20 April 2005 , UU APBN 2005 di-judicial review karena tidak mengalokasikan 20% dari APBN 2005 dialokasikan untuk sektor pendidikan sebagaimana diamanatkan pasal 31 ayat (4) UUD 1945 beitanya ada di majalah Trust Edisi 30 Tahun III 25 April - 1 Mei 2005 halaman 84-85 kolom hukum. Best regards, Sulistiono Kertawacana Law Offices of WIRIADINATA WIDYAWAN Graha Niaga 25-26th Floors, Jl. Jendral Sudirman Kav. 58, Jakarta 12190, INDONESIA Phone:+62-21-250 5175 (hunting) Facsimile: +62-21-250 5185 Email: [EMAIL PROTECTED] or [EMAIL PROTECTED] THE CONTENT OF THIS EMAIL IS CONFIDENTIAL=== If you are not the intended recipient(s), you must not disclose or use the information contained in it (including any attachments hereto). If you received this email in error, please contact us immediately by return email and delete it and all attachments immediately from your system. Please do not copy it or use it for any purposes, or disclose its contents to any other person. Please be cautioned that we cannot be responsible for any viruses or other interfering or damaging elements which may be contained in this e-mail (including any attachments hereto). [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~-- Has someone you know been affected by illness or disease? Network for Good is THE place to support health awareness efforts! http://us.click.yahoo.com/OCfFmA/UOnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~- *** Berdikusi dg Santun Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] artikel: Menanti Judicial Review APBN
Menanti Judicial Review APBN -- Senin, 04 April 2005 O P I N I No. 4965 Halaman Utama Tajuk Rencana Nasional Ekonomi Uang Efek Jabotabek Nusantara Luar Negeri Olah Raga Iptek Hiburan Feature Mandiri Ritel Hobi Wisata Eureka Kesehatan Cafe Resto Hotel Resor Asuransi Otomotif Properti Promarketing Budaya CEO Opini Foto Karikatur Komentar Anda Tentang SH Menanti Judicial Review APBN Oleh Sulistiono Kertawacana Banyak kalangan kecewa atas sikap pemerintah yang tidak menyambut baik tawaran debt moratorium (penundaan pembayaran utang) pascabencana tsunami di Aceh. Padahal gagasan itu diluncurkan Kanselir Jerman Gerhard Schroeder selaku salah satu negara kreditor dan didukung Inggris, Italia, Jepang, Kanada, dan Prancis. Kita mungkin gusar atas sikap pemerintah RI yang tak melakukan upaya sama sekali terhadap peluang emas senilai minimal Rp 20 triliun sampai Rp 25 triliun pada tahun 2005 itu. Awalnya pemerintah ragu meminta debt moratorium pada negara kreditor dengan alasan khawatir akan menurunkan peringkat utang Indonesia sebagaimana dinyatakan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani. Pendapat ini disangkal lembaga pemeringkat utang internasional yang menyatakan permohonan debt moratorium RI tidak akan menurunkan peringkat utangnya. Komentar yang semakin mengukuhkan Indonesia tidak memerlukan moratorium lebih tegas dikemukakan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie. Menurutnya, Indonesia tidak butuh moratorium utang karena kondisi anggaran cukup aman dengan adanya komitmen pinjaman dan hibah dari CGI senilai US$ 5,1 miliar. Dan ternyata dampak ekonomi dari tsunami bisa diantisipasi (Bisnis Indonesia 7/2/05). Benarkah demikian? Mari kita teliti alokasi APBN 2005. Dalam APBN tahun 2005 dialokasikan untuk pembayaran utang berjumlah Rp 110,8 triliun (25,% dari belanja negara yang jumlahnya Rp 441,61 triliun) atau 29,33% dari pendapatan negara. Pendidikan dan Kesehatan Pembayaran utang terdiri dari (i) bunga utang dalam negeri Rp 38,84 triliun, (ii) bunga utang luar negeri Rp 25,14 triliun, dan (iii) cicilan pokok utang luar negeri Rp 46,84 triliun. Pembayaran utang merupakan komponen terbesar dari defisit anggaran 2005 yang berjumlah Rp 63,73 triliun. Utang luar negeri (ULN) baru yang akan diterima pemerintah Rp 26,64 triliun, sedangkan pembayaran ULN Rp 71,98 triliun. Untuk itu, selama ini pemerintah terus mengurangi alokasi pos belanja negara untuk berbagai sektor penting seperti pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum. Artinya, APBN lebih mengutamakan pembayaran utang dengan mengabaikan peme-nuhan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi. Lantas apa yang bisa dilakukan masyarakat jika tekanan politik tidak bisa mengubah kebijakan pemerintah yang tak kuasa menolak tekanan internasional? Dengan melihat produk hukum APBN dalam bentuk UU, maka upaya hukum yang tepat adalah mengajukan Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap APBN yang dinilai tidak berpihak pada hak-hak konstitusi rakyat. Berdasarkan Pasal 24C (amendemen) UUD 1945 diatur bahwa MK berwenang, di antaranya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU (termasuk APBN) terhadap UUD. MK sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) akan menilai apakah APBN dengan potret sebagaimana di atas mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap hak-hak konstitusi rakyat Indonesia. Apakah alokasi APBN yang jauh lebih besar untuk pembayaran utang ketimbang untuk alokasi pendidikan dan kesehatan tidak bertentangan dengan UUD 1945? Apalagi upaya pemerintah meminta debt moratorium kepada kreditor sangat tak memadai. Tidak Didikte Setidaknya ada beberapa hak konstitusi rakyat yang dijadikan dasar untuk me-review APBN. Satu, berkaitan dengan anggaran di sektor pendidikan. Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menetapkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dua, berkaitan dengan anggaran sektor kesehatan dan pelayanan umum. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menetapkan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas