Re: [ppiindia] Absurditas Khilafah Islamiyah

2005-04-15 Terurut Topik Samsul Bachri


Khilafah udalah salah satu bentuk pemerintahan yang sentralistik, yang
dicontohkan oleh umat Islam terdahulu. daulah Islamiyah pernah berjaya
selama berabad-abad, tentu saja dengan pasang surut, sampai dengan
kekhalifahan usmaniyah di Turki, dijatuhkan oleh kaum sekuler barat lewat
Mustafa Kamal Attaturk.

Selama kekhalifahan Islam, terbukti umat yang lain sangat dilindungi,
termasuk kaum Yahudi dan Nasrani. banyak catatan sejarah membuktikan hal
tersebut.

Orang nasrani sendiri memiliki kekhalifahan Vatikan sampai saat ini, dan
tdak dipermasalahkan..jadi apanya yang salah dengan kekhalifahan Islam?

salam

- Original Message -
From: Ambon [EMAIL PROTECTED]
To: Undisclosed-Recipient:;
Sent: Thursday, April 14, 2005 2:05 AM
Subject: [ppiindia] Absurditas Khilafah Islamiyah



 Editorial
 Absurditas Khilafah Islamiyah
 Oleh Abd Moqsith Ghazali
 04/04/2005
 Bagi mereka, khilafah adalah panacea bagi penyelesaian problem-problem
kemanusiaan. Paparan mereka mengenai urgensi mendirikan khilafah, pada hemat
saya, tidak cukup meyakinkan bahkan gampang dipatahkan justru dengan
argumen-argumen yang sederhana. Saya katakan bahwa khilafah islamiyah bukan
hanya sekedar tidak realistis, melainkan sangat absurd untuk
diselenggarakan.

  Beberapa waktu yang lalu, saya diundang sebagai pembicara dalam seminar
nasional yang bertajuk, Khilafah Islamiyah, Masih Relevankah? kerja bareng
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)  BEM Fak. Adab UIN Jakarta. Seperti sudah
diduga, para pembicara yang datang dari HTI (diwakili oleh Abu Zaid dan
Hafidz Abdurrahman) tampil menggebu untuk meyakinkan audiens bahwa
mendirikan khilafah islamiyah sungguh amat mendesak. Bagi mereka, khilafah
adalah panacea bagi penyelesaian problem-problem kemanusiaan. Abu Zaid,
seorang insinyur yang jebolan IPB itu terus merapalkan sejumlah ayat Alquran
dan hadis untuk melegitimasi pandangan dan ideologinya tersebut. Para jemaah
HTI yang (di)hadir(kan) dalam forum seminar kerap menganggukkan kepala
sebagai pertanda setuju atas pokok-pokok pikiran Ustadz Abu Zaid dan Hafidz
tersebut.
 Paparan mereka mengenai urgensi mendirikan khilafah, pada hemat saya,
tidak cukup meyakinkan bahkan gampang dipatahkan justru dengan
argumen-argumen yang sederhana. Saya katakan bahwa khilafah islamiyah bukan
hanya sekedar tidak realistis, melainkan sangat absurd untuk
diselenggarakan. Pertama, amat tidak mudah mencari rumusan khilafah yang
disepakati oleh seluruh umat Islam yang menyebar di sejumlah kawasan dunia.
Konsep khilafah yang diusung oleh teman-teman HTI adalah hanya salah satu
rumusan dari Taqiyuddin al-Nabhani, yang belum tentu diamini oleh para ulama
yang lain. Dalam konteks Indonesia, agak sulit dibayangkan bagaimana umat
Islam bisa satu kata untuk menerima satu konsep mengenai khilafah.
Eksperimentasi khilafah model siapa? Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, atau yang
lainnya? Cukup pelik memang menghadirkan konsep khilafah dalam konteks
sekarang, sehingga jauh hari NU dan Muhammadiyah telah bersuara bahwa
Indonesia dengan Pancasilanya adalah bentuk negara bangsa yang final.
Khilafah tidak pernah dipertimbangkan oleh kedua ormas Islam terbesar itu.

 Kedua, jika khilafah merupakan lanskap atau wadah untuk memformalisasikan
syariat Islam, maka pertanyaan sederhananya adalah syariat Islam yang mana?
Syariat dalam tafsir siapa? Sebagaimana dikatakan Ibn 'Aqil, bukankah
syariat itu amat beragam, sekalipun agama tetap satu? Al-din wahid wa
al-syari'atu mukhtalifah. Memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan
menghancurkan syariat Islam yang lain. Alasan ini kiranya yang menyadarkan
seorang tokoh sekelas Imam Malik ketika menolak tawaran khalifah saat itu
untuk menjadikan al-Muwaththa`, salah satu karyanya, menjadi konstitusi
negara (daulah).

 Ketiga, khilafah tidak memiliki kisah sukses yang memadai. Sejarah telah
banyak menunjukkan perihal kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan
khilafah. Betapa dari empat khulafa` rasyidun, tiga di antaranya (Umar ibn
Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib) mati terbunuh justru ketika
konsep khilafah itu diterapkan. Peperangan onta (waq'ah al-jamal) yang
melibatkan Ali ibn Abi Thalib (menantu sekaligus sepupu Nabi) dan Siti
Aisyah (istri Muhammad SAW) telah menelan korban nyawa yang tidak sedikit.
Inkuisisi (mihnah) dengan menghukum para intelektual muslim brilian juga
terjadi dalam dunia khilafah. Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah bukanlah
konsep yang ideal. Ia telah gagal justru pada saat uji cobanya yang pertama.

 Dengan hujah-hujah ini, maka di akhir sesi saya katakan agar teman-teman
HTI belajar realistis untuk menerima Indonesia sebagai konsep negara bangsa
yang final. Berjuanglah melalui lembaga negara ini, dan tidak usah bermimpi
untuk menghadirkan khilafah yang terbukti telah gagal. Khilafah bukan rukun
iman yang harus dipercaya dan bukan pula rukun Islam yang mesti
dilaksanakan. Tidaklah kafir, seorang muslim yang tidak mempercayai dan
tidak melaksanakan khilafah. Maka, jangan pernah ragu untuk

[ppiindia] Absurditas Khilafah Islamiyah

2005-04-13 Terurut Topik Ambon

Editorial
Absurditas Khilafah Islamiyah
Oleh Abd Moqsith Ghazali
04/04/2005
Bagi mereka, khilafah adalah panacea bagi penyelesaian problem-problem 
kemanusiaan. Paparan mereka mengenai urgensi mendirikan khilafah, pada hemat 
saya, tidak cukup meyakinkan bahkan gampang dipatahkan justru dengan 
argumen-argumen yang sederhana. Saya katakan bahwa khilafah islamiyah bukan 
hanya sekedar tidak realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan. 

 Beberapa waktu yang lalu, saya diundang sebagai pembicara dalam seminar 
nasional yang bertajuk, Khilafah Islamiyah, Masih Relevankah? kerja bareng 
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)  BEM Fak. Adab UIN Jakarta. Seperti sudah 
diduga, para pembicara yang datang dari HTI (diwakili oleh Abu Zaid dan Hafidz 
Abdurrahman) tampil menggebu untuk meyakinkan audiens bahwa mendirikan khilafah 
islamiyah sungguh amat mendesak. Bagi mereka, khilafah adalah panacea bagi 
penyelesaian problem-problem kemanusiaan. Abu Zaid, seorang insinyur yang 
jebolan IPB itu terus merapalkan sejumlah ayat Alquran dan hadis untuk 
melegitimasi pandangan dan ideologinya tersebut. Para jemaah HTI yang 
(di)hadir(kan) dalam forum seminar kerap menganggukkan kepala sebagai pertanda 
setuju atas pokok-pokok pikiran Ustadz Abu Zaid dan Hafidz tersebut.
Paparan mereka mengenai urgensi mendirikan khilafah, pada hemat saya, tidak 
cukup meyakinkan bahkan gampang dipatahkan justru dengan argumen-argumen yang 
sederhana. Saya katakan bahwa khilafah islamiyah bukan hanya sekedar tidak 
realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan. Pertama, amat tidak 
mudah mencari rumusan khilafah yang disepakati oleh seluruh umat Islam yang 
menyebar di sejumlah kawasan dunia. Konsep khilafah yang diusung oleh 
teman-teman HTI adalah hanya salah satu rumusan dari Taqiyuddin al-Nabhani, 
yang belum tentu diamini oleh para ulama yang lain. Dalam konteks Indonesia, 
agak sulit dibayangkan bagaimana umat Islam bisa satu kata untuk menerima satu 
konsep mengenai khilafah. Eksperimentasi khilafah model siapa? Abu bakar, Umar, 
Utsman, Ali, atau yang lainnya? Cukup pelik memang menghadirkan konsep khilafah 
dalam konteks sekarang, sehingga jauh hari NU dan Muhammadiyah telah bersuara 
bahwa Indonesia dengan Pancasilanya adalah bentuk negara bangsa yang final. 
Khilafah tidak pernah dipertimbangkan oleh kedua ormas Islam terbesar itu. 

Kedua, jika khilafah merupakan lanskap atau wadah untuk memformalisasikan 
syariat Islam, maka pertanyaan sederhananya adalah syariat Islam yang mana? 
Syariat dalam tafsir siapa? Sebagaimana dikatakan Ibn 'Aqil, bukankah syariat 
itu amat beragam, sekalipun agama tetap satu? Al-din wahid wa al-syari'atu 
mukhtalifah. Memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan 
syariat Islam yang lain. Alasan ini kiranya yang menyadarkan seorang tokoh 
sekelas Imam Malik ketika menolak tawaran khalifah saat itu untuk menjadikan 
al-Muwaththa`, salah satu karyanya, menjadi konstitusi negara (daulah). 

Ketiga, khilafah tidak memiliki kisah sukses yang memadai. Sejarah telah banyak 
menunjukkan perihal kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan khilafah. Betapa 
dari empat khulafa` rasyidun, tiga di antaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn 
Affan, Ali ibn Abi Thalib) mati terbunuh justru ketika konsep khilafah itu 
diterapkan. Peperangan onta (waq'ah al-jamal) yang melibatkan Ali ibn Abi 
Thalib (menantu sekaligus sepupu Nabi) dan Siti Aisyah (istri Muhammad SAW) 
telah menelan korban nyawa yang tidak sedikit. Inkuisisi (mihnah) dengan 
menghukum para intelektual muslim brilian juga terjadi dalam dunia khilafah. 
Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah bukanlah konsep yang ideal. Ia telah gagal 
justru pada saat uji cobanya yang pertama. 

Dengan hujah-hujah ini, maka di akhir sesi saya katakan agar teman-teman HTI 
belajar realistis untuk menerima Indonesia sebagai konsep negara bangsa yang 
final. Berjuanglah melalui lembaga negara ini, dan tidak usah bermimpi untuk 
menghadirkan khilafah yang terbukti telah gagal. Khilafah bukan rukun iman yang 
harus dipercaya dan bukan pula rukun Islam yang mesti dilaksanakan. Tidaklah 
kafir, seorang muslim yang tidak mempercayai dan tidak melaksanakan khilafah. 
Maka, jangan pernah ragu untuk meninggalkannya. [Abd Moqsith Ghazali]

^ Kembali ke atas 
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=articleid=795


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks  Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org

Re: [ppiindia] Absurditas Khilafah Islamiyah

2005-04-05 Terurut Topik faris ahmad

Saya sangat awam soal khilafah Islamiyah dan pola penerapannya. Mungkin ada 
teman-teman yang bisa memberikan pencerahan soal ini, selain pendapat bung 
Muqsith dari JIL?

Ambon [EMAIL PROTECTED] wrote:Absurditas Khilafah Islamiyah
Oleh Abd Moqsith Ghazali
04/04/2005
Bagi mereka, khilafah adalah panacea bagi penyelesaian problem-problem 
kemanusiaan. Paparan mereka mengenai urgensi mendirikan khilafah, pada hemat 
saya, tidak cukup meyakinkan bahkan gampang dipatahkan justru dengan 
argumen-argumen yang sederhana. Saya katakan bahwa khilafah islamiyah bukan 
hanya sekedar tidak realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan. 

Beberapa waktu yang lalu, saya diundang sebagai pembicara dalam seminar 
nasional yang bertajuk, Khilafah Islamiyah, Masih Relevankah? kerja bareng 
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)  BEM Fak. Adab UIN Jakarta. Seperti sudah 
diduga, para pembicara yang datang dari HTI (diwakili oleh Abu Zaid dan Hafidz 
Abdurrahman) tampil menggebu untuk meyakinkan audiens bahwa mendirikan khilafah 
islamiyah sungguh amat mendesak. Bagi mereka, khilafah adalah panacea bagi 
penyelesaian problem-problem kemanusiaan. Abu Zaid, seorang insinyur yang 
jebolan IPB itu terus merapalkan sejumlah ayat Alquran dan hadis untuk 
melegitimasi pandangan dan ideologinya tersebut. Para jemaah HTI yang 
(di)hadir(kan) dalam forum seminar kerap menganggukkan kepala sebagai pertanda 
setuju atas pokok-pokok pikiran Ustadz Abu Zaid dan Hafidz tersebut.
Paparan mereka mengenai urgensi mendirikan khilafah, pada hemat saya, tidak 
cukup meyakinkan bahkan gampang dipatahkan justru dengan argumen-argumen yang 
sederhana. Saya katakan bahwa khilafah islamiyah bukan hanya sekedar tidak 
realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan. Pertama, amat tidak 
mudah mencari rumusan khilafah yang disepakati oleh seluruh umat Islam yang 
menyebar di sejumlah kawasan dunia. Konsep khilafah yang diusung oleh 
teman-teman HTI adalah hanya salah satu rumusan dari Taqiyuddin al-Nabhani, 
yang belum tentu diamini oleh para ulama yang lain. Dalam konteks Indonesia, 
agak sulit dibayangkan bagaimana umat Islam bisa satu kata untuk menerima satu 
konsep mengenai khilafah. Eksperimentasi khilafah model siapa? Abu bakar, Umar, 
Utsman, Ali, atau yang lainnya? Cukup pelik memang menghadirkan konsep khilafah 
dalam konteks sekarang, sehingga jauh hari NU dan Muhammadiyah telah bersuara 
bahwa Indonesia dengan Pancasilanya adalah bentuk negara bangsa yang final.
 Khilafah tidak pernah dipertimbangkan oleh kedua ormas Islam terbesar itu. 

Kedua, jika khilafah merupakan lanskap atau wadah untuk memformalisasikan 
syariat Islam, maka pertanyaan sederhananya adalah syariat Islam yang mana? 
Syariat dalam tafsir siapa? Sebagaimana dikatakan Ibn 'Aqil, bukankah syariat 
itu amat beragam, sekalipun agama tetap satu? Al-din wahid wa al-syari'atu 
mukhtalifah. Memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan 
syariat Islam yang lain. Alasan ini kiranya yang menyadarkan seorang tokoh 
sekelas Imam Malik ketika menolak tawaran khalifah saat itu untuk menjadikan 
al-Muwaththa`, salah satu karyanya, menjadi konstitusi negara (daulah). 

Ketiga, khilafah tidak memiliki kisah sukses yang memadai. Sejarah telah banyak 
menunjukkan perihal kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan khilafah. Betapa 
dari empat khulafa` rasyidun, tiga di antaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn 
Affan, Ali ibn Abi Thalib) mati terbunuh justru ketika konsep khilafah itu 
diterapkan. Peperangan onta (waq'ah al-jamal) yang melibatkan Ali ibn Abi 
Thalib (menantu sekaligus sepupu Nabi) dan Siti Aisyah (istri Muhammad SAW) 
telah menelan korban nyawa yang tidak sedikit. Inkuisisi (mihnah) dengan 
menghukum para intelektual muslim brilian juga terjadi dalam dunia khilafah. 
Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah bukanlah konsep yang ideal. Ia telah gagal 
justru pada saat uji cobanya yang pertama. 

Dengan hujah-hujah ini, maka di akhir sesi saya katakan agar teman-teman HTI 
belajar realistis untuk menerima Indonesia sebagai konsep negara bangsa yang 
final. Berjuanglah melalui lembaga negara ini, dan tidak usah bermimpi untuk 
menghadirkan khilafah yang terbukti telah gagal. Khilafah bukan rukun iman yang 
harus dipercaya dan bukan pula rukun Islam yang mesti dilaksanakan. Tidaklah 
kafir, seorang muslim yang tidak mempercayai dan tidak melaksanakan khilafah. 
Maka, jangan pernah ragu untuk meninggalkannya. [Abd Moqsith Ghazali]

^ Kembali ke atas 
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=articleid=795


[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. 

[ppiindia] Absurditas Khilafah Islamiyah

2005-04-04 Terurut Topik Ambon

Absurditas Khilafah Islamiyah
Oleh Abd Moqsith Ghazali
04/04/2005
Bagi mereka, khilafah adalah panacea bagi penyelesaian problem-problem 
kemanusiaan. Paparan mereka mengenai urgensi mendirikan khilafah, pada hemat 
saya, tidak cukup meyakinkan bahkan gampang dipatahkan justru dengan 
argumen-argumen yang sederhana. Saya katakan bahwa khilafah islamiyah bukan 
hanya sekedar tidak realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan. 

Beberapa waktu yang lalu, saya diundang sebagai pembicara dalam seminar 
nasional yang bertajuk, Khilafah Islamiyah, Masih Relevankah? kerja bareng 
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)  BEM Fak. Adab UIN Jakarta. Seperti sudah 
diduga, para pembicara yang datang dari HTI (diwakili oleh Abu Zaid dan Hafidz 
Abdurrahman) tampil menggebu untuk meyakinkan audiens bahwa mendirikan khilafah 
islamiyah sungguh amat mendesak. Bagi mereka, khilafah adalah panacea bagi 
penyelesaian problem-problem kemanusiaan. Abu Zaid, seorang insinyur yang 
jebolan IPB itu terus merapalkan sejumlah ayat Alquran dan hadis untuk 
melegitimasi pandangan dan ideologinya tersebut. Para jemaah HTI yang 
(di)hadir(kan) dalam forum seminar kerap menganggukkan kepala sebagai pertanda 
setuju atas pokok-pokok pikiran Ustadz Abu Zaid dan Hafidz tersebut.
Paparan mereka mengenai urgensi mendirikan khilafah, pada hemat saya, tidak 
cukup meyakinkan bahkan gampang dipatahkan justru dengan argumen-argumen yang 
sederhana. Saya katakan bahwa khilafah islamiyah bukan hanya sekedar tidak 
realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan. Pertama, amat tidak 
mudah mencari rumusan khilafah yang disepakati oleh seluruh umat Islam yang 
menyebar di sejumlah kawasan dunia. Konsep khilafah yang diusung oleh 
teman-teman HTI adalah hanya salah satu rumusan dari Taqiyuddin al-Nabhani, 
yang belum tentu diamini oleh para ulama yang lain. Dalam konteks Indonesia, 
agak sulit dibayangkan bagaimana umat Islam bisa satu kata untuk menerima satu 
konsep mengenai khilafah. Eksperimentasi khilafah model siapa? Abu bakar, Umar, 
Utsman, Ali, atau yang lainnya? Cukup pelik memang menghadirkan konsep khilafah 
dalam konteks sekarang, sehingga jauh hari NU dan Muhammadiyah telah bersuara 
bahwa Indonesia dengan Pancasilanya adalah bentuk negara bangsa yang final. 
Khilafah tidak pernah dipertimbangkan oleh kedua ormas Islam terbesar itu. 

Kedua, jika khilafah merupakan lanskap atau wadah untuk memformalisasikan 
syariat Islam, maka pertanyaan sederhananya adalah syariat Islam yang mana? 
Syariat dalam tafsir siapa? Sebagaimana dikatakan Ibn 'Aqil, bukankah syariat 
itu amat beragam, sekalipun agama tetap satu? Al-din wahid wa al-syari'atu 
mukhtalifah. Memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan 
syariat Islam yang lain. Alasan ini kiranya yang menyadarkan seorang tokoh 
sekelas Imam Malik ketika menolak tawaran khalifah saat itu untuk menjadikan 
al-Muwaththa`, salah satu karyanya, menjadi konstitusi negara (daulah). 

Ketiga, khilafah tidak memiliki kisah sukses yang memadai. Sejarah telah banyak 
menunjukkan perihal kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan khilafah. Betapa 
dari empat khulafa` rasyidun, tiga di antaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn 
Affan, Ali ibn Abi Thalib) mati terbunuh justru ketika konsep khilafah itu 
diterapkan. Peperangan onta (waq'ah al-jamal) yang melibatkan Ali ibn Abi 
Thalib (menantu sekaligus sepupu Nabi) dan Siti Aisyah (istri Muhammad SAW) 
telah menelan korban nyawa yang tidak sedikit. Inkuisisi (mihnah) dengan 
menghukum para intelektual muslim brilian juga terjadi dalam dunia khilafah. 
Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah bukanlah konsep yang ideal. Ia telah gagal 
justru pada saat uji cobanya yang pertama. 

Dengan hujah-hujah ini, maka di akhir sesi saya katakan agar teman-teman HTI 
belajar realistis untuk menerima Indonesia sebagai konsep negara bangsa yang 
final. Berjuanglah melalui lembaga negara ini, dan tidak usah bermimpi untuk 
menghadirkan khilafah yang terbukti telah gagal. Khilafah bukan rukun iman yang 
harus dipercaya dan bukan pula rukun Islam yang mesti dilaksanakan. Tidaklah 
kafir, seorang muslim yang tidak mempercayai dan tidak melaksanakan khilafah. 
Maka, jangan pernah ragu untuk meninggalkannya. [Abd Moqsith Ghazali]

^ Kembali ke atas 
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=articleid=795


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks  Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi-india.org
***