Beda rel dan keterbatasan bahasa - Re: BA (Before Adam)
Mas Harlan yth,
Menurutku, antara sains dan agama biarkan berjalan di relnya masing-masing. Tak
perlu dipadu padankan atau diselaraskan. Juga tak perlu dinanti kapan bisa
sejalan. Berbagai penemuan dan teori ilmiah diciptakan bertujuan utama untuk
kemaslahatan umat manusia. Begitu pula sebaliknya, ajaran agama mustinya
memberikan ajaran moral semata, tak perlu dikemas sedemikian rupa agar
berbau-bau ilmiah karena malah menyesatkan. Hal ini terkait dengan adanya
berbagai keterbatasan. Salah satunya adalah keterbatasan bahasa.
Menurut Wittgenstein: etika, estetika religi adalah bidang-bidang yang tidak
terkatakan oleh bahasa, semata karena mereka melampaui batas-batas bahasa. The
correct method in philosophy would really be the following: to say nothing
except what can be said..
Hal-hal yang bersifat mistis dan melampaui batas-batas bahasa adalah sebagai
berikut:
1. Subjek
Jika bahasa adalah proyeksi dari sebuah dunia si penutur, maka subyek
si penutur bukanlah gambaran dari dunia itu sendirithe subject
does not belong to the world, rather, it's a limit of the world.
2. Kematian
Kematian tidak mungkin membicarakan dirinya sendiri.
3. Tuhan
Menurutnya, Tuhan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang ada
di dalam dunia ini (mungkin di alam lain).
4. Bahasa
Bahasa tidak dapat berbicara terhadap dirinya sendiri. Melalui bahasa,
pembaca diantar ke suatu titik pengertian tertentu. Dia seolah-olah
membuang tangga setelah memanjatnya.
Bahasa itu menjebak
Pemikiran-pemikiran Wittgenstein sangat fenomenal sehingga dikatakan sanggup
membelokkan pemikiran-pemikiran di Eropa yang sedang dikuasai paham idealisme.
Ia menulis dua buku tentang analitika gramatikal dimana buku kedua justru
mengkritik buku perdananya. Namun kritikan tersebut baru bermakna jika kita
sudah mengenal apa yang disajikan di buku pertama. Pada buku kedua ia
berbicara antara lain 'meaning in use'. Bahwa banyak pemakaian bahasa
memiliki kebenaran dan logikanya sendiri. Sebuah gagasan yang berimplikasi
terhadap pemahaman agama dan keyakinan keagamaan. Pada cara pandang ini,
mengemas sains dan agama dalam satu wadah adalah tindakan mencampuradukkan
pengertian dari dua dunia logika yang berbeda.
Metode sains tidak akan pernah sampai pada kesimpulan: Disini ada
Tuhan dengan tubuh bersuhu 37 derajat Celcius, tekanan darah sekian bar dan
humidity sekian. Tuhan berada diluar batas-batas perangkap bahasa.
Seperti kita mengatakan baju saya putih, dimana ungkapan itu benar
dalam konteks dan situasi yang membentuknya: ada cahaya yang memantulkan,
ada retina mata yang sehat, dan medium dengan indeks bias tertentu.
Tuhan baik; Tuhan besar; Tuhan maha kuasa adalah ungkapan-ungkapan
yang tak lepas dari perangkap bahasa yaitu baik, besar, maha kuasa.
Itu cuma sebatas pemahaman subyek penutur. Bahasa itu menjebak. Bahasa itu
memperangkap. Bahkan makna sebuah kata pun berevolusi.
Begitu juga mencari dukungan sains untuk pembenaran agama adalah
dalih yang berbahaya, justru untuk iman kita sendiri. Wittgenstein
mengajak kita untuk menyadari bahwa bahasa memiliki dunia, logika dan
terutama keterbatasannya sendiri.
Mengatakan malaikat bersemayam di sebuah tempat dengan jarak
tempuh 24 jam x kecepatan cahaya adalah ungkapan bunuh diri
terhadap iman yang diyakini. Ungkapan ini secara gamblang menyebutkan
bahwa malaikat adalah mahkluk fisis yang tunduk pada hukum alam.
Jika ini diterima, maka konsekuensi simbolik seperti langit atau
sorga tingkat tujuh musti dicari dan ditemukan oleh sains.
Konsekuensinya, surga yang transenden adalah bagian dari dunia ini.
Maka dimana batas-batas itu sekarang?
Kenyataan yang sulit dibantah, tradisi Sumeria memberikan sumbangsih
berharga untuk satuan Minggu yang dipakai hampir semua peradaban dunia. Angka
tujuh
berangkat dari temuan saat itu untuk benda-benda langit: matahari, bulan
dan ke-5 planetnya. Istilah Sabtu-pun yang berasal dari bahasa Arab,
dicomot dari kata Sabbat yang adalah istilah Ibrani. Sedemikian besar
pengaruh tersebut, sehingga dari Zigurat di Mesopotamia sampai Candi
Borobudur menyimpan angka sakral 7 dalam level-level ke atas yang
merupakan proyeksi dari pemahaman celestial warisan peradaban masa lalu.
Mencampuradukkan sains dan agama, no way
Berikut saya berikan gambaran bagaimana kita mustinya tak mencampuradukkan
sains dan agama. Sayangnya, komentar ini bukannya dari ilmuwan Indonesia,
tapi kiriman dari seorang teman di Malaysia (maaf, tertutur dalam bahasa
ala Siti Nurhaliza):
Aku na' bri comment mengena-i kepercayaan ramai urang Moslem bahawa
Al Koran yalah selain kitab suci nyang datang daripada Allah SWT juga
kitab nyang scientific. Wak sandiri sebut bebrapa misal daripadanya.
Semustinya ramai umat Moslem cukop lah hargakan Al Koran sebage kitab
suci. Kalo ramai urang campor adok ugama dengen sains, akibatnya yalah
terok amat. Kenapa? Kerana sains bolih dengan mudah di-analyze dan