Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK

2006-09-19 Terurut Topik aris solikhah
Main ke Papua? Tentu saja mau.. tapi siapa yang mensponsori saya? biaya hidup 
disana mahal bukan? Transportasi antar daerah menjadi kendala. SMU adek itu 
saya lupa?
   
  Sekolah gratis yang berada di atas bukit dan kalau sedang bersekolah dia bisa 
melihat perbedaan warna air laut dibawahnya (sangking indahnya).
   
   
  Terima kasih atas diskusi ini. Akhirnya dari diskusi mas Yohannis, saya 
memahami kesulitan teman-teman IPB saat mau membantu kerawanan pangan di 
Yakohimo. Saya dulu tak habis berpikir, kenapa hanya berhenti pada skala kebun 
percontohan saja. 
   
  Menurut sebuah diskusi, IPB telah berbuat sesuatu tapi saya berkata dalam 
hati malu juga sih, Apa yang dilakukan IPB? ko nggak berhasil atau tak ada 
imbasnya. Padahal katanya IPB telah pernah membantu dengan cara budidaya 
berbagai jenis ubi dan teknologi pembuatan produk pangan (cake, bolu, brownies, 
sereal dll) dari ubi, jauh bahkan sebelum kasus Yakohimo. 
   
  Oh ya, kini departemen Teknologi pangan sedang mengembangkan formula tepung 
ubi jalar. Dulu waktu bantu teman penelitian buatnya sulit, 100 kg ubi hanya 
jadi 20 kg pati dan terjadi browning (pencoklatan), jelek mutunya. Kini ada 
metode lain, namun masih belum sempurna. Bogasari flour kayaknya sedari dulu 
menunggu hasilnya ..
   
  Cara efektif menangani krisis di Papua sekarang memang memberi bahan baku 
langsung. Tapi kan tak bisa terus-terusan begitu. Rekan-rekan papua harus 
mandiri untuk melakukan budidaya biar survive. Mengandalkan hasil alam pun juga 
sulit, makin hari, jumlah pangan di alam berkurang apalagi kalau kemarau.CMIIW
   
   Instansi kita pernah disalahkan, ko tidak segera membantu.
   
   Begitu pula kata media masa, pemerintah lambat membantu.  Kuncinya putra 
daerah sendiri yang melakukan edukasi dan perubahan. Yang lain bekerja 
dibelakang layar, mendukung dan mendorong. Denger2 dari Mentan ada proyek 
swasembada gula di sana? semoga saja berhasil. 
   
  salam,
  aris
   
   
  Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] wrote:
  On 9/19/06, aris solikhah wrote:

Iya terima kasih-terima kasih atas pencerahan matoa-nya. Kenapa saya harus
pergi jauh-jauh. Pada akhirnya, seorang mahasiswi baru asal Jayapura
menunjukkan di depan fakultas kehutanan IPB ada pohon matoa (ada 2 pohon
yang baru bisa diidentifikasikan). Sedang berbuah lagi, tapi masih hijau.
Ada yang mau membantu metik nanti sebelum diserobot codot (kelelewar buah)?
^_^

yk: Sudah kukatakan bukan kalau di lingkungan IPB ada pohon matoa? Lbh
banyak lagi di sekitar CIFOR.

Tapi tidak tahu jenis kelapa atau pepela (bener nggak), yang jenis kelapa
katanya sangat manis dan tak bisa dikatakan dengan kata-kata. Satu kilo Rp
40 ribu, kenapa tak coba budidaya ya dan mengekspor, ini ide yang cerdas.

yk: 'Investment - investasi', untuk orang Papua kebanyakan yg hidup dimanja
alam kata ini kurang bermakna. Dulu pernah ada proyek percontohan pertanian
di daerah Wamena yg dimotori oleh BPPT dan LIPI yg dikomandoi oleh bu Astrid
Soesanto dr BAPPENAS. Proyek ini bisa dibilang 'sukses'. Lelah dng berbagai
usaha meningkatkan ketrampilan masyarakat sekitar karena rendahnya animo,
akhirnya peneliti LIPI dan BPPT memutuskan untuk memfokuskan diri ke kebun
percobaannya tanpa repotrepot melibatkan masyarakat. Tanaman tumbuh subur
dan nampak banyak hasilnya. Tapi hasil panen ternyata sangat sedikit,
terlalu sedikit untuk volume yg terlihat sebelumnya. Apa yg terjadi?

Selang sebulanan peneliti gabungan itu menemukan banyak ladangladang baru yg
tampak tumbuh subur dng tanaman dr varietas unggulan spt yg awalnya ditanam
di kebun percobaan. Rupanya hasil panen kebun percobaan itu tlh dijarah
terlebih dulu oleh masyarakat sekitar, menjadikannya sbg bibit dan
menanamnya... heheheh... baik-buruk memang relatif. Sampai di titik ini
ternyata semua oke saja. Sayangnya semangat tanam itu tdk bertahan lama
karena kehabisan bibit utk tanam berikutnya. Menyimpan panen untuk dijadikan
bibit, apalagi untuk tanaman asing rupanya belum membudaya.

Dia juga menceritakan di rumah asalnya ada buah matoa, tapi jauh nian ya.
Dan dia juga cerita masalah perang antar suku, iyah masalah kehormatan dan
anggaplah ego nya tinggi. Tapi kalau sudah disentuh hidayah dan dibina baik,
penduduk papua itu cerdas-cerdas dan berkarakter kuat. Yah mendengarnya,
saya membayangkan suku Khajraj dan Aus yang tinggal di Madinah, bawaannya
perang suku melulu. Bahkan hanya karena sapi yang terbunuh saja mereka
bunuh-bunuhan, tapi kebanyakan karena provokasi Yahudi di Madinah.

yk: Sesuai fithrah manusia dibekali kecerdasan. Tapi proses learning,
spt halnya pembangunan, sangatlah path dependent untuk bisa mencapai dampak.
Bbrp perkecualian tentu ada, spt bbrp genius Papua yg bergabung dalam 'Papua
Frontiers' tapi itu saja tdk cukup. Ttg 'software' mbak Aris, pribadi saya
lbh suka melihat orang Papua kembali ke system of belief asli mrk
betapapun naifnya system itu di mata Anda. Paling tidak agama tradisional
ini tidak melahirkan dichotomy di kepala manusiamanusia 

Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK

2006-09-19 Terurut Topik Ambon
Mengenai pendidikan di Papua ada masalah, yaitu misalnya  banyak sekolah 
dasar dan memengah  yang diasuh oleh gereja di pedalaman dataran tinggi 
Papua  ditutup, karena tidak ada  biaya sekolah untuk membayar gaji-gaji 
para guru dan berbagai ongkos.  Biasanya sebahagian besar biaya disumbangkan 
dari negeri Belanda, tetap karena  pemerintah Indonesia telah melarang 
gereja untuk menerima bantuan keuangan dari sana.



- Original Message - 
From: aris solikhah [EMAIL PROTECTED]
To: ppiindia@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, September 19, 2006 9:44 AM
Subject: Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK


 Main ke Papua? Tentu saja mau.. tapi siapa yang mensponsori saya? biaya 
 hidup disana mahal bukan? Transportasi antar daerah menjadi kendala. SMU 
 adek itu saya lupa?

  Sekolah gratis yang berada di atas bukit dan kalau sedang bersekolah dia 
 bisa melihat perbedaan warna air laut dibawahnya (sangking indahnya).


  Terima kasih atas diskusi ini. Akhirnya dari diskusi mas Yohannis, saya 
 memahami kesulitan teman-teman IPB saat mau membantu kerawanan pangan di 
 Yakohimo. Saya dulu tak habis berpikir, kenapa hanya berhenti pada skala 
 kebun percontohan saja.

  Menurut sebuah diskusi, IPB telah berbuat sesuatu tapi saya berkata dalam 
 hati malu juga sih, Apa yang dilakukan IPB? ko nggak berhasil atau tak ada 
 imbasnya. Padahal katanya IPB telah pernah membantu dengan cara budidaya 
 berbagai jenis ubi dan teknologi pembuatan produk pangan (cake, bolu, 
 brownies, sereal dll) dari ubi, jauh bahkan sebelum kasus Yakohimo.

  Oh ya, kini departemen Teknologi pangan sedang mengembangkan formula 
 tepung ubi jalar. Dulu waktu bantu teman penelitian buatnya sulit, 100 kg 
 ubi hanya jadi 20 kg pati dan terjadi browning (pencoklatan), jelek 
 mutunya. Kini ada metode lain, namun masih belum sempurna. Bogasari flour 
 kayaknya sedari dulu menunggu hasilnya ..

  Cara efektif menangani krisis di Papua sekarang memang memberi bahan baku 
 langsung. Tapi kan tak bisa terus-terusan begitu. Rekan-rekan papua harus 
 mandiri untuk melakukan budidaya biar survive. Mengandalkan hasil alam pun 
 juga sulit, makin hari, jumlah pangan di alam berkurang apalagi kalau 
 kemarau.CMIIW

   Instansi kita pernah disalahkan, ko tidak segera membantu.

   Begitu pula kata media masa, pemerintah lambat membantu.  Kuncinya putra 
 daerah sendiri yang melakukan edukasi dan perubahan. Yang lain bekerja 
 dibelakang layar, mendukung dan mendorong. Denger2 dari Mentan ada proyek 
 swasembada gula di sana? semoga saja berhasil.

  salam,
  aris


  Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] wrote:
  On 9/19/06, aris solikhah wrote:

 Iya terima kasih-terima kasih atas pencerahan matoa-nya. Kenapa saya harus
 pergi jauh-jauh. Pada akhirnya, seorang mahasiswi baru asal Jayapura
 menunjukkan di depan fakultas kehutanan IPB ada pohon matoa (ada 2 pohon
 yang baru bisa diidentifikasikan). Sedang berbuah lagi, tapi masih hijau.
 Ada yang mau membantu metik nanti sebelum diserobot codot (kelelewar 
 buah)?
 ^_^

 yk: Sudah kukatakan bukan kalau di lingkungan IPB ada pohon matoa? Lbh
 banyak lagi di sekitar CIFOR.

 Tapi tidak tahu jenis kelapa atau pepela (bener nggak), yang jenis kelapa
 katanya sangat manis dan tak bisa dikatakan dengan kata-kata. Satu kilo Rp
 40 ribu, kenapa tak coba budidaya ya dan mengekspor, ini ide yang cerdas.

 yk: 'Investment - investasi', untuk orang Papua kebanyakan yg hidup 
 dimanja
 alam kata ini kurang bermakna. Dulu pernah ada proyek percontohan 
 pertanian
 di daerah Wamena yg dimotori oleh BPPT dan LIPI yg dikomandoi oleh bu 
 Astrid
 Soesanto dr BAPPENAS. Proyek ini bisa dibilang 'sukses'. Lelah dng 
 berbagai
 usaha meningkatkan ketrampilan masyarakat sekitar karena rendahnya animo,
 akhirnya peneliti LIPI dan BPPT memutuskan untuk memfokuskan diri ke kebun
 percobaannya tanpa repotrepot melibatkan masyarakat. Tanaman tumbuh subur
 dan nampak banyak hasilnya. Tapi hasil panen ternyata sangat sedikit,
 terlalu sedikit untuk volume yg terlihat sebelumnya. Apa yg terjadi?

 Selang sebulanan peneliti gabungan itu menemukan banyak ladangladang baru 
 yg
 tampak tumbuh subur dng tanaman dr varietas unggulan spt yg awalnya 
 ditanam
 di kebun percobaan. Rupanya hasil panen kebun percobaan itu tlh dijarah
 terlebih dulu oleh masyarakat sekitar, menjadikannya sbg bibit dan
 menanamnya... heheheh... baik-buruk memang relatif. Sampai di titik ini
 ternyata semua oke saja. Sayangnya semangat tanam itu tdk bertahan lama
 karena kehabisan bibit utk tanam berikutnya. Menyimpan panen untuk 
 dijadikan
 bibit, apalagi untuk tanaman asing rupanya belum membudaya.

 Dia juga menceritakan di rumah asalnya ada buah matoa, tapi jauh nian ya.
 Dan dia juga cerita masalah perang antar suku, iyah masalah kehormatan dan
 anggaplah ego nya tinggi. Tapi kalau sudah disentuh hidayah dan dibina 
 baik,
 penduduk papua itu cerdas-cerdas dan berkarakter kuat. Yah mendengarnya,
 saya membayangkan suku Khajraj dan Aus yang tinggal di Madinah

Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK

2006-09-19 Terurut Topik Ari Condro
pakaian adat, koteka sebagai identitas.

bukannya ini sama dengan jilbab sebagai identitas ... :D


On 9/19/06, aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote:

   Main ke Papua? Tentu saja mau.. tapi siapa yang mensponsori saya? biaya
 hidup disana mahal bukan? Transportasi antar daerah menjadi kendala. SMU
 adek itu saya lupa?

 Sekolah gratis yang berada di atas bukit dan kalau sedang bersekolah dia
 bisa melihat perbedaan warna air laut dibawahnya (sangking indahnya).


 Terima kasih atas diskusi ini. Akhirnya dari diskusi mas Yohannis, saya
 memahami kesulitan teman-teman IPB saat mau membantu kerawanan pangan di
 Yakohimo. Saya dulu tak habis berpikir, kenapa hanya berhenti pada skala
 kebun percontohan saja.

 Menurut sebuah diskusi, IPB telah berbuat sesuatu tapi saya berkata dalam
 hati malu juga sih, Apa yang dilakukan IPB? ko nggak berhasil atau tak ada
 imbasnya. Padahal katanya IPB telah pernah membantu dengan cara budidaya
 berbagai jenis ubi dan teknologi pembuatan produk pangan (cake, bolu,
 brownies, sereal dll) dari ubi, jauh bahkan sebelum kasus Yakohimo.

 Oh ya, kini departemen Teknologi pangan sedang mengembangkan formula
 tepung ubi jalar. Dulu waktu bantu teman penelitian buatnya sulit, 100 kg
 ubi hanya jadi 20 kg pati dan terjadi browning (pencoklatan), jelek mutunya.
 Kini ada metode lain, namun masih belum sempurna. Bogasari flour kayaknya
 sedari dulu menunggu hasilnya ..

 Cara efektif menangani krisis di Papua sekarang memang memberi bahan baku
 langsung. Tapi kan tak bisa terus-terusan begitu. Rekan-rekan papua harus
 mandiri untuk melakukan budidaya biar survive. Mengandalkan hasil alam pun
 juga sulit, makin hari, jumlah pangan di alam berkurang apalagi kalau
 kemarau.CMIIW

 Instansi kita pernah disalahkan, ko tidak segera membantu.

 Begitu pula kata media masa, pemerintah lambat membantu. Kuncinya putra
 daerah sendiri yang melakukan edukasi dan perubahan. Yang lain bekerja
 dibelakang layar, mendukung dan mendorong. Denger2 dari Mentan ada proyek
 swasembada gula di sana? semoga saja berhasil.

 salam,
 aris


 Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] ykomboi%40gmail.com wrote:
 On 9/19/06, aris solikhah wrote:

 Iya terima kasih-terima kasih atas pencerahan matoa-nya. Kenapa saya harus
 pergi jauh-jauh. Pada akhirnya, seorang mahasiswi baru asal Jayapura
 menunjukkan di depan fakultas kehutanan IPB ada pohon matoa (ada 2 pohon
 yang baru bisa diidentifikasikan). Sedang berbuah lagi, tapi masih hijau.
 Ada yang mau membantu metik nanti sebelum diserobot codot (kelelewar
 buah)?
 ^_^

 yk: Sudah kukatakan bukan kalau di lingkungan IPB ada pohon matoa? Lbh
 banyak lagi di sekitar CIFOR.

 Tapi tidak tahu jenis kelapa atau pepela (bener nggak), yang jenis kelapa
 katanya sangat manis dan tak bisa dikatakan dengan kata-kata. Satu kilo Rp
 40 ribu, kenapa tak coba budidaya ya dan mengekspor, ini ide yang cerdas.

 yk: 'Investment - investasi', untuk orang Papua kebanyakan yg hidup
 dimanja
 alam kata ini kurang bermakna. Dulu pernah ada proyek percontohan
 pertanian
 di daerah Wamena yg dimotori oleh BPPT dan LIPI yg dikomandoi oleh bu
 Astrid
 Soesanto dr BAPPENAS. Proyek ini bisa dibilang 'sukses'. Lelah dng
 berbagai
 usaha meningkatkan ketrampilan masyarakat sekitar karena rendahnya animo,
 akhirnya peneliti LIPI dan BPPT memutuskan untuk memfokuskan diri ke kebun
 percobaannya tanpa repotrepot melibatkan masyarakat. Tanaman tumbuh subur
 dan nampak banyak hasilnya. Tapi hasil panen ternyata sangat sedikit,
 terlalu sedikit untuk volume yg terlihat sebelumnya. Apa yg terjadi?

 Selang sebulanan peneliti gabungan itu menemukan banyak ladangladang baru
 yg
 tampak tumbuh subur dng tanaman dr varietas unggulan spt yg awalnya
 ditanam
 di kebun percobaan. Rupanya hasil panen kebun percobaan itu tlh dijarah
 terlebih dulu oleh masyarakat sekitar, menjadikannya sbg bibit dan
 menanamnya... heheheh... baik-buruk memang relatif. Sampai di titik ini
 ternyata semua oke saja. Sayangnya semangat tanam itu tdk bertahan lama
 karena kehabisan bibit utk tanam berikutnya. Menyimpan panen untuk
 dijadikan
 bibit, apalagi untuk tanaman asing rupanya belum membudaya.

 Dia juga menceritakan di rumah asalnya ada buah matoa, tapi jauh nian ya.
 Dan dia juga cerita masalah perang antar suku, iyah masalah kehormatan dan
 anggaplah ego nya tinggi. Tapi kalau sudah disentuh hidayah dan dibina
 baik,
 penduduk papua itu cerdas-cerdas dan berkarakter kuat. Yah mendengarnya,
 saya membayangkan suku Khajraj dan Aus yang tinggal di Madinah, bawaannya
 perang suku melulu. Bahkan hanya karena sapi yang terbunuh saja mereka
 bunuh-bunuhan, tapi kebanyakan karena provokasi Yahudi di Madinah.

 yk: Sesuai fithrah manusia dibekali kecerdasan. Tapi proses learning,
 spt halnya pembangunan, sangatlah path dependent untuk bisa mencapai
 dampak.
 Bbrp perkecualian tentu ada, spt bbrp genius Papua yg bergabung dalam
 'Papua
 Frontiers' tapi itu saja tdk cukup. Ttg 'software' mbak Aris, pribadi saya
 lbh suka melihat orang 

Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK

2006-09-19 Terurut Topik Yohanis Komboi
Broer Ambon (Alles kits?),

Anda benar sebagian. Lupa persisnya kapan, telah terjadi transisi
pengelolaan yayasan persekolahan yg semula dikelola oleh misi, zending dan
muhammadiyah menjadi pengelolaan bersama pemerintah. Komposisi pendanaan
pemerintah pro-rata sesuai jmlh murid. Pendanaan tdk hanya berbentuk uang tp
juga penyediaan guru PNS. Sharing pendanaan ini bisa saja dilihat sbg
mekanisme kontrol, tp dari segi kepraktisan sebetulnya sangat membantu.
Broer Ambon tentu tahu bahwa utk mempertahankan kualitas, sekolah swasta
sering hrs men-charge mahal muridnya... hal ini tentu tdk bisa dilakukan
oleh sekolah yg dikelola oleh kelompok relijius, di daerah marginal pula.
Shg kolaborasi dng pemerintah semestinya menawarkan win-win solution.

Apakah di lapangan (yg sering benarbenar di lapangan terbuka) terjadi spt
itu? Nyaris tidak. Guru 'dropdropan' pemerintah, walau berdedikasi
tapi umumnya hasil recruitment yg sarat dng misi sosial... shg kurang
berkualitas. Ini ditambah dng fasilitas yg tdk terrealisasikan krn terlanjur
habis dananya berakibat pada hancurnya system pendidikan pra-dasar dan
dasar.

Relasi dng Belanda itu menarik. 3 tahun lalu di Jayapura saya tdk sengaja
menemukan satu tim gabungan berisikan orangorang dari Ministerie van
Ontwikkeling Samenwerking (kementrian kerjasama luarnegri), Ministerie van
Onderwijs  Wetenschaap (kementrian pendidikan dan ilmu pengetahuan), dan
gereja yg sedang mendata ulang kegiatan mrk dulu di sana. Pendataan ulang
itu dilandasi semangat revitalisasi relasi yg ternyata terbukti
terrealisasikan tahun ini. Seberapa jauh realisasi itu saya blm tahu. Semoga
saja mrk bisa menjawab sebagian risau bung Ambon.

Kalau pendidikan yg baik bisa membentuk seedling yg baik, masih tersisa gap
lebar untuk membentuk environment yg baik untuk hidup di Papua.

yk


On 9/20/06, Ambon [EMAIL PROTECTED] wrote:

Mengenai pendidikan di Papua ada masalah, yaitu misalnya banyak sekolah

 dasar dan memengah yang diasuh oleh gereja di pedalaman dataran tinggi
 Papua ditutup, karena tidak ada biaya sekolah untuk membayar gaji-gaji
 para guru dan berbagai ongkos. Biasanya sebahagian besar biaya
 disumbangkan
 dari negeri Belanda, tetap karena pemerintah Indonesia telah melarang
 gereja untuk menerima bantuan keuangan dari sana.
 - Original Message -
 From: aris solikhah [EMAIL PROTECTED] fm_solihah%40yahoo.com
 To: ppiindia@yahoogroups.com ppiindia%40yahoogroups.com
 Sent: Tuesday, September 19, 2006 9:44 AM
 Subject: Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK

  Main ke Papua? Tentu saja mau.. tapi siapa yang mensponsori saya? biaya
  hidup disana mahal bukan? Transportasi antar daerah menjadi kendala. SMU

  adek itu saya lupa?
 
  Sekolah gratis yang berada di atas bukit dan kalau sedang bersekolah dia

  bisa melihat perbedaan warna air laut dibawahnya (sangking indahnya).
 
 
  Terima kasih atas diskusi ini. Akhirnya dari diskusi mas Yohannis, saya
  memahami kesulitan teman-teman IPB saat mau membantu kerawanan pangan di

  Yakohimo. Saya dulu tak habis berpikir, kenapa hanya berhenti pada skala

  kebun percontohan saja.
 
  Menurut sebuah diskusi, IPB telah berbuat sesuatu tapi saya berkata
 dalam
  hati malu juga sih, Apa yang dilakukan IPB? ko nggak berhasil atau tak
 ada
  imbasnya. Padahal katanya IPB telah pernah membantu dengan cara budidaya

  berbagai jenis ubi dan teknologi pembuatan produk pangan (cake, bolu,
  brownies, sereal dll) dari ubi, jauh bahkan sebelum kasus Yakohimo.
 
  Oh ya, kini departemen Teknologi pangan sedang mengembangkan formula
  tepung ubi jalar. Dulu waktu bantu teman penelitian buatnya sulit, 100
 kg
  ubi hanya jadi 20 kg pati dan terjadi browning (pencoklatan), jelek
  mutunya. Kini ada metode lain, namun masih belum sempurna. Bogasari
 flour
  kayaknya sedari dulu menunggu hasilnya ..
 
  Cara efektif menangani krisis di Papua sekarang memang memberi bahan
 baku
  langsung. Tapi kan tak bisa terus-terusan begitu. Rekan-rekan papua
 harus
  mandiri untuk melakukan budidaya biar survive. Mengandalkan hasil alam
 pun
  juga sulit, makin hari, jumlah pangan di alam berkurang apalagi kalau
  kemarau.CMIIW
 
  Instansi kita pernah disalahkan, ko tidak segera membantu.
 
  Begitu pula kata media masa, pemerintah lambat membantu. Kuncinya putra
  daerah sendiri yang melakukan edukasi dan perubahan. Yang lain bekerja
  dibelakang layar, mendukung dan mendorong. Denger2 dari Mentan ada
 proyek
  swasembada gula di sana? semoga saja berhasil.
 
  salam,
  aris
 
 
  Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] ykomboi%40gmail.com wrote:
  On 9/19/06, aris solikhah wrote:
 
  Iya terima kasih-terima kasih atas pencerahan matoa-nya. Kenapa saya
 harus
  pergi jauh-jauh. Pada akhirnya, seorang mahasiswi baru asal Jayapura
  menunjukkan di depan fakultas kehutanan IPB ada pohon matoa (ada 2 pohon
  yang baru bisa diidentifikasikan). Sedang berbuah lagi, tapi masih
 hijau.
  Ada yang mau membantu metik nanti sebelum diserobot codot (kelelewar
  buah)?
  ^_^
 
  yk

Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK

2006-09-19 Terurut Topik Yohanis Komboi
Diajeng Aris,

Main ke Papua? Tentu saja mau.. tapi siapa yang mensponsori saya? biaya
hidup disana mahal bukan? Transportasi antar daerah menjadi kendala. SMU
adek itu saya lupa?

yk: Banyak cara untuk bisa ke Papua, salahsatunya melalui kerjasama riset.
Banyak sekali yg perlu diteliti disana.

Sekolah gratis yang berada di atas bukit dan kalau sedang bersekolah dia
bisa melihat perbedaan warna air laut dibawahnya (sangking indahnya).

yk: Ada bbrp sekolah yg spt itu. Ok-lah, itu tdk pentingpenting amir.
Nitip saja adik dari Jayapura itu. Saya tahu kalau prosentasi kegagalan mhs
asal Papua di IPB termasuk sangat tinggi, yg tidak semuanya disebabkan oleh
kekurangan kepandaian.

Terima kasih atas diskusi ini. Akhirnya dari diskusi mas Yohannis, saya
memahami kesulitan teman-teman IPB saat mau membantu kerawanan pangan di
Yakohimo. Saya dulu tak habis berpikir, kenapa hanya berhenti pada skala
kebun percontohan saja.

Menurut sebuah diskusi, IPB telah berbuat sesuatu tapi saya berkata dalam
hati malu juga sih, Apa yang dilakukan IPB? ko nggak berhasil atau tak ada
imbasnya. Padahal katanya IPB telah pernah membantu dengan cara budidaya
berbagai jenis ubi dan teknologi pembuatan produk pangan (cake, bolu,
brownies, sereal dll) dari ubi, jauh bahkan sebelum kasus Yakohimo.

yk: It is Yahukimo - atau Yahokimo. Tidak terlalu jauh dari Yahukimo ('tidak
terlalu jauh' ini bukan ukuran normal spt sepengisapan rokok - sapangudutan.
Lebih tepatnya spt ala betawi... noh di balik gunung sono noh) ada proyek
penelitian umbiumbian (kentang, ubi jalar, dll) yg dilakukan peneliti UNIPA
di bawah pimpinan pak Narto (Dr. Sunarto), jg di dalamnya ada ahli tanah pak
Soemono. Mrk berdua ini pasti mudah mbak Aris kenali. Mrk saya kira sdh
banyak berusaha... dlm bidang riset tentunya tapi msh sangat kurang dlm hal
sosialisasi hasil riset. Dengan Yahukimo (dan banyak wilayah lain lagi) dan
permasalahannya di depan mata, kerjasama sosialisasi hasil riset mungkin
hanya perlu initiator saja.

Oh ya, kini departemen Teknologi pangan sedang mengembangkan formula tepung
ubi jalar. Dulu waktu bantu teman penelitian buatnya sulit, 100 kg ubi hanya
jadi 20 kg pati dan terjadi browning (pencoklatan), jelek mutunya. Kini ada
metode lain, namun masih belum sempurna. Bogasari flour kayaknya sedari dulu
menunggu hasilnya ..

yk: Teknologi per-pati-an mestinya nggak mahal/sulit shg dlm hemat saya bisa
'langsung diambil' dari negara yg sdh advance, Jepang misalnya. Cobalah
nge-link dng JICA. Knp hrs Bogasari? Apa nggak ada start-ups yg prospective?
Ayolah, sekalian bikin bisnis inkubasi. Kalau nyantolnya ke yg gedhegedhe,
dampak sosialnya akan minimum.

Ubi jalar sebetulnya pilihan terbaik dari yg buruk. Dia rakus hara. Dia
dipilih krn 'pas' dng mentalitas 'tongkat kayu dan batu jadi tanaman',
tanaman yg hanya minimum memerlukan nurturing. Sejalan dng berkembangnya
daya kreasi, semestinya ada upaya memperkenalkan sumber makanan utama lain,
spt gandum misalnya yg tdk memerlukan banyak air.

Cara efektif menangani krisis di Papua sekarang memang memberi bahan baku
langsung. Tapi kan tak bisa terus-terusan begitu. Rekan-rekan papua harus
mandiri untuk melakukan budidaya biar survive. Mengandalkan hasil alam pun
juga sulit, makin hari, jumlah pangan di alam berkurang apalagi kalau
kemarau.CMIIW

Begitu pula kata media masa, pemerintah lambat membantu. Kuncinya putra
daerah sendiri yang melakukan edukasi dan perubahan. Yang lain bekerja
dibelakang layar, mendukung dan mendorong. Denger2 dari Mentan ada proyek
swasembada gula di sana? semoga saja berhasil.

yk: Milieu (lingkungan fisik dan non fisik) Papua tlh banyak berubah menjadi
tdk sehat. Ini akan segera teramati begitu menginjak tanah itu. Sebabnya
banyak, salahsatunya adalah masalah 'wong' dalam hal 'ngewongake'. Orang
Papua scr umum tidak merasa telah disetarakan. Ini salahsatu alasan
penggalian kembali sumbersumber identitas lokal. Kalau proces ini dibiarkan
dilakukan oleh local agent of change, suatu saat nanti kita akan menemukan
sebuah komunitas yg kental dng nilai tradisional lengkap dng segala
baikburuknya - fundamentalism in different sense.

Kuncinya, bukan soal siapa di depan siapa di belakang tapi lebih ke synergy
dan orientasi kegiatannya. Apakah memanusiakan manusia Papua atau tidak.

Dari setengah uwong,

yk

On 9/19/06, aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote:


 salam,
 aris


 Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] ykomboi%40gmail.com wrote:
 On 9/19/06, aris solikhah wrote:

 Iya terima kasih-terima kasih atas pencerahan matoa-nya. Kenapa saya harus
 pergi jauh-jauh. Pada akhirnya, seorang mahasiswi baru asal Jayapura
 menunjukkan di depan fakultas kehutanan IPB ada pohon matoa (ada 2 pohon
 yang baru bisa diidentifikasikan). Sedang berbuah lagi, tapi masih hijau.
 Ada yang mau membantu metik nanti sebelum diserobot codot (kelelewar
 buah)?
 ^_^

 yk: Sudah kukatakan bukan kalau di lingkungan IPB ada pohon matoa? Lbh
 banyak lagi di sekitar CIFOR.

 Tapi tidak tahu jenis kelapa atau 

Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK

2006-09-19 Terurut Topik Yohanis Komboi
Diajeng Aris,

Mengukur adalah mencerabut sekeping informasi dari realitanya dng dasar
subyektifitas guna menuju ke obyektivitas. Artinya, upaya menuju ke
objektivitas adalah proses tanpa akhir yg selalu tidak bersih dari faktor
KITA. Seperti Anda lihat, Anda dan banyak orang lain mengukur manusia Papua
sematamata dengan ukuran Anda, walau dengan excuse demi manfaat
mereka. Pertanyaannya kemudian:
Dimanakah tata nilai lokal Papua Anda tempatkan?
Apakah orang Papua bukan manusia utuh yg juga berhak memiliki tata nilai
sendiri?
Masih kurangkah bukti bahwa eksperiment pembangunan dng pendekatan yg
menggilas tatanilai lokal itu telah samasekali gagal?

Tanpa berniat mewakili siapapun, dalam halnya saya, saya akan memilih hidup
tenang dalam tatanilai sendiri, bebas dari tuntutan melakukan ini itu.

yk

On 9/20/06, aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote:

Mas Yohannis,
 Kita perlu memilah sesuatu yang sifatnya prinsip dan sarana atau
 teknologi. KAlau orang papua bukan muslim, saya kira hal itu bisa diserahkan
 atau disesuaikan agamanya. Sifatnya suatu prinsip, misalnya seorang muslimah
 diranah publik dimanapun, suku apapun, bahasa apapun, ras manapun
 identitasnya adalah busana kemuslimahannya. Untuk sifatnya sarana misalnya,
 seorang muslimah sangat diperbolehkan memakai busana muslimah dengan memakai
 corak kedaerahan, misalnya, busana muslimah batik parang, ulos, songket,
 sutra, kotak2 hitam putih khas Bali dll ^_^, saya katakan kalau rumbia bisa,
 ya boleh pakai rumbia.

 Untuk non muslim di Papua, memakai koteka silakan saja. But, hanya bisa
 dipakai diruang khusus misalnya di wilayah komunitasnya, rumahnya dan bukan
 ranah publik.

 Di wilayah publik kita tak bisa melepaskan diri dari unggah ungguh
 masyarakat sekitar. Ketika kita berhubungan dengan masyarakat umum, mereka
 punya aturan sendiri.Kecuali kalau dia akan merasakan yang disebut
 terisolasi dan dikhawatirkan kelak punah. Yah sebuah konsekuensi, manusia
 adalah makhluk sosial, suka atau tidak manusia yang hidup di kanan, kiri,
 belakang, depan mempengaruhi hidupnya. CMIIW.
 salam,
 aris

 Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] ykomboi%40gmail.com wrote:
 Tepat mas Acon. Dalam suasana perubahan ke modernitas yg diliputi
 ketidakpastian, orang Papua (dan siapapun) akan kembali menengok ke
 tatanilai yg paling dia akrabi... walaupun juga bila sebelumnya dia telah
 berpaling dari tatanilai tsb. Ini sangat manusiawi saya kira.
 Memperkenalkan
 tatanilai baru tentu saja boleh tetapi memperkenalkan tatanilai baru tanpa
 mengindahkan konteks socio-cultural-societal setempat sama saja dengan
 merusak. Hal ini sangat kurang disadari dalam pendekatan pembangunan
 Papua.

 On 9/20/06, Ari Condro wrote:
 
  pakaian adat, koteka sebagai identitas.
 
  bukannya ini sama dengan jilbab sebagai identitas ... :D


 



[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* Your email settings:
Individual Email | Traditional

* To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
(Yahoo! ID required)

* To change settings via email:
mailto:[EMAIL PROTECTED] 
mailto:[EMAIL PROTECTED]

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/