Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK
Main ke Papua? Tentu saja mau.. tapi siapa yang mensponsori saya? biaya hidup disana mahal bukan? Transportasi antar daerah menjadi kendala. SMU adek itu saya lupa? Sekolah gratis yang berada di atas bukit dan kalau sedang bersekolah dia bisa melihat perbedaan warna air laut dibawahnya (sangking indahnya). Terima kasih atas diskusi ini. Akhirnya dari diskusi mas Yohannis, saya memahami kesulitan teman-teman IPB saat mau membantu kerawanan pangan di Yakohimo. Saya dulu tak habis berpikir, kenapa hanya berhenti pada skala kebun percontohan saja. Menurut sebuah diskusi, IPB telah berbuat sesuatu tapi saya berkata dalam hati malu juga sih, Apa yang dilakukan IPB? ko nggak berhasil atau tak ada imbasnya. Padahal katanya IPB telah pernah membantu dengan cara budidaya berbagai jenis ubi dan teknologi pembuatan produk pangan (cake, bolu, brownies, sereal dll) dari ubi, jauh bahkan sebelum kasus Yakohimo. Oh ya, kini departemen Teknologi pangan sedang mengembangkan formula tepung ubi jalar. Dulu waktu bantu teman penelitian buatnya sulit, 100 kg ubi hanya jadi 20 kg pati dan terjadi browning (pencoklatan), jelek mutunya. Kini ada metode lain, namun masih belum sempurna. Bogasari flour kayaknya sedari dulu menunggu hasilnya .. Cara efektif menangani krisis di Papua sekarang memang memberi bahan baku langsung. Tapi kan tak bisa terus-terusan begitu. Rekan-rekan papua harus mandiri untuk melakukan budidaya biar survive. Mengandalkan hasil alam pun juga sulit, makin hari, jumlah pangan di alam berkurang apalagi kalau kemarau.CMIIW Instansi kita pernah disalahkan, ko tidak segera membantu. Begitu pula kata media masa, pemerintah lambat membantu. Kuncinya putra daerah sendiri yang melakukan edukasi dan perubahan. Yang lain bekerja dibelakang layar, mendukung dan mendorong. Denger2 dari Mentan ada proyek swasembada gula di sana? semoga saja berhasil. salam, aris Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] wrote: On 9/19/06, aris solikhah wrote: Iya terima kasih-terima kasih atas pencerahan matoa-nya. Kenapa saya harus pergi jauh-jauh. Pada akhirnya, seorang mahasiswi baru asal Jayapura menunjukkan di depan fakultas kehutanan IPB ada pohon matoa (ada 2 pohon yang baru bisa diidentifikasikan). Sedang berbuah lagi, tapi masih hijau. Ada yang mau membantu metik nanti sebelum diserobot codot (kelelewar buah)? ^_^ yk: Sudah kukatakan bukan kalau di lingkungan IPB ada pohon matoa? Lbh banyak lagi di sekitar CIFOR. Tapi tidak tahu jenis kelapa atau pepela (bener nggak), yang jenis kelapa katanya sangat manis dan tak bisa dikatakan dengan kata-kata. Satu kilo Rp 40 ribu, kenapa tak coba budidaya ya dan mengekspor, ini ide yang cerdas. yk: 'Investment - investasi', untuk orang Papua kebanyakan yg hidup dimanja alam kata ini kurang bermakna. Dulu pernah ada proyek percontohan pertanian di daerah Wamena yg dimotori oleh BPPT dan LIPI yg dikomandoi oleh bu Astrid Soesanto dr BAPPENAS. Proyek ini bisa dibilang 'sukses'. Lelah dng berbagai usaha meningkatkan ketrampilan masyarakat sekitar karena rendahnya animo, akhirnya peneliti LIPI dan BPPT memutuskan untuk memfokuskan diri ke kebun percobaannya tanpa repotrepot melibatkan masyarakat. Tanaman tumbuh subur dan nampak banyak hasilnya. Tapi hasil panen ternyata sangat sedikit, terlalu sedikit untuk volume yg terlihat sebelumnya. Apa yg terjadi? Selang sebulanan peneliti gabungan itu menemukan banyak ladangladang baru yg tampak tumbuh subur dng tanaman dr varietas unggulan spt yg awalnya ditanam di kebun percobaan. Rupanya hasil panen kebun percobaan itu tlh dijarah terlebih dulu oleh masyarakat sekitar, menjadikannya sbg bibit dan menanamnya... heheheh... baik-buruk memang relatif. Sampai di titik ini ternyata semua oke saja. Sayangnya semangat tanam itu tdk bertahan lama karena kehabisan bibit utk tanam berikutnya. Menyimpan panen untuk dijadikan bibit, apalagi untuk tanaman asing rupanya belum membudaya. Dia juga menceritakan di rumah asalnya ada buah matoa, tapi jauh nian ya. Dan dia juga cerita masalah perang antar suku, iyah masalah kehormatan dan anggaplah ego nya tinggi. Tapi kalau sudah disentuh hidayah dan dibina baik, penduduk papua itu cerdas-cerdas dan berkarakter kuat. Yah mendengarnya, saya membayangkan suku Khajraj dan Aus yang tinggal di Madinah, bawaannya perang suku melulu. Bahkan hanya karena sapi yang terbunuh saja mereka bunuh-bunuhan, tapi kebanyakan karena provokasi Yahudi di Madinah. yk: Sesuai fithrah manusia dibekali kecerdasan. Tapi proses learning, spt halnya pembangunan, sangatlah path dependent untuk bisa mencapai dampak. Bbrp perkecualian tentu ada, spt bbrp genius Papua yg bergabung dalam 'Papua Frontiers' tapi itu saja tdk cukup. Ttg 'software' mbak Aris, pribadi saya lbh suka melihat orang Papua kembali ke system of belief asli mrk betapapun naifnya system itu di mata Anda. Paling tidak agama tradisional ini tidak melahirkan dichotomy di kepala manusiamanusia
Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK
Mengenai pendidikan di Papua ada masalah, yaitu misalnya banyak sekolah dasar dan memengah yang diasuh oleh gereja di pedalaman dataran tinggi Papua ditutup, karena tidak ada biaya sekolah untuk membayar gaji-gaji para guru dan berbagai ongkos. Biasanya sebahagian besar biaya disumbangkan dari negeri Belanda, tetap karena pemerintah Indonesia telah melarang gereja untuk menerima bantuan keuangan dari sana. - Original Message - From: aris solikhah [EMAIL PROTECTED] To: ppiindia@yahoogroups.com Sent: Tuesday, September 19, 2006 9:44 AM Subject: Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK Main ke Papua? Tentu saja mau.. tapi siapa yang mensponsori saya? biaya hidup disana mahal bukan? Transportasi antar daerah menjadi kendala. SMU adek itu saya lupa? Sekolah gratis yang berada di atas bukit dan kalau sedang bersekolah dia bisa melihat perbedaan warna air laut dibawahnya (sangking indahnya). Terima kasih atas diskusi ini. Akhirnya dari diskusi mas Yohannis, saya memahami kesulitan teman-teman IPB saat mau membantu kerawanan pangan di Yakohimo. Saya dulu tak habis berpikir, kenapa hanya berhenti pada skala kebun percontohan saja. Menurut sebuah diskusi, IPB telah berbuat sesuatu tapi saya berkata dalam hati malu juga sih, Apa yang dilakukan IPB? ko nggak berhasil atau tak ada imbasnya. Padahal katanya IPB telah pernah membantu dengan cara budidaya berbagai jenis ubi dan teknologi pembuatan produk pangan (cake, bolu, brownies, sereal dll) dari ubi, jauh bahkan sebelum kasus Yakohimo. Oh ya, kini departemen Teknologi pangan sedang mengembangkan formula tepung ubi jalar. Dulu waktu bantu teman penelitian buatnya sulit, 100 kg ubi hanya jadi 20 kg pati dan terjadi browning (pencoklatan), jelek mutunya. Kini ada metode lain, namun masih belum sempurna. Bogasari flour kayaknya sedari dulu menunggu hasilnya .. Cara efektif menangani krisis di Papua sekarang memang memberi bahan baku langsung. Tapi kan tak bisa terus-terusan begitu. Rekan-rekan papua harus mandiri untuk melakukan budidaya biar survive. Mengandalkan hasil alam pun juga sulit, makin hari, jumlah pangan di alam berkurang apalagi kalau kemarau.CMIIW Instansi kita pernah disalahkan, ko tidak segera membantu. Begitu pula kata media masa, pemerintah lambat membantu. Kuncinya putra daerah sendiri yang melakukan edukasi dan perubahan. Yang lain bekerja dibelakang layar, mendukung dan mendorong. Denger2 dari Mentan ada proyek swasembada gula di sana? semoga saja berhasil. salam, aris Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] wrote: On 9/19/06, aris solikhah wrote: Iya terima kasih-terima kasih atas pencerahan matoa-nya. Kenapa saya harus pergi jauh-jauh. Pada akhirnya, seorang mahasiswi baru asal Jayapura menunjukkan di depan fakultas kehutanan IPB ada pohon matoa (ada 2 pohon yang baru bisa diidentifikasikan). Sedang berbuah lagi, tapi masih hijau. Ada yang mau membantu metik nanti sebelum diserobot codot (kelelewar buah)? ^_^ yk: Sudah kukatakan bukan kalau di lingkungan IPB ada pohon matoa? Lbh banyak lagi di sekitar CIFOR. Tapi tidak tahu jenis kelapa atau pepela (bener nggak), yang jenis kelapa katanya sangat manis dan tak bisa dikatakan dengan kata-kata. Satu kilo Rp 40 ribu, kenapa tak coba budidaya ya dan mengekspor, ini ide yang cerdas. yk: 'Investment - investasi', untuk orang Papua kebanyakan yg hidup dimanja alam kata ini kurang bermakna. Dulu pernah ada proyek percontohan pertanian di daerah Wamena yg dimotori oleh BPPT dan LIPI yg dikomandoi oleh bu Astrid Soesanto dr BAPPENAS. Proyek ini bisa dibilang 'sukses'. Lelah dng berbagai usaha meningkatkan ketrampilan masyarakat sekitar karena rendahnya animo, akhirnya peneliti LIPI dan BPPT memutuskan untuk memfokuskan diri ke kebun percobaannya tanpa repotrepot melibatkan masyarakat. Tanaman tumbuh subur dan nampak banyak hasilnya. Tapi hasil panen ternyata sangat sedikit, terlalu sedikit untuk volume yg terlihat sebelumnya. Apa yg terjadi? Selang sebulanan peneliti gabungan itu menemukan banyak ladangladang baru yg tampak tumbuh subur dng tanaman dr varietas unggulan spt yg awalnya ditanam di kebun percobaan. Rupanya hasil panen kebun percobaan itu tlh dijarah terlebih dulu oleh masyarakat sekitar, menjadikannya sbg bibit dan menanamnya... heheheh... baik-buruk memang relatif. Sampai di titik ini ternyata semua oke saja. Sayangnya semangat tanam itu tdk bertahan lama karena kehabisan bibit utk tanam berikutnya. Menyimpan panen untuk dijadikan bibit, apalagi untuk tanaman asing rupanya belum membudaya. Dia juga menceritakan di rumah asalnya ada buah matoa, tapi jauh nian ya. Dan dia juga cerita masalah perang antar suku, iyah masalah kehormatan dan anggaplah ego nya tinggi. Tapi kalau sudah disentuh hidayah dan dibina baik, penduduk papua itu cerdas-cerdas dan berkarakter kuat. Yah mendengarnya, saya membayangkan suku Khajraj dan Aus yang tinggal di Madinah
Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK
pakaian adat, koteka sebagai identitas. bukannya ini sama dengan jilbab sebagai identitas ... :D On 9/19/06, aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote: Main ke Papua? Tentu saja mau.. tapi siapa yang mensponsori saya? biaya hidup disana mahal bukan? Transportasi antar daerah menjadi kendala. SMU adek itu saya lupa? Sekolah gratis yang berada di atas bukit dan kalau sedang bersekolah dia bisa melihat perbedaan warna air laut dibawahnya (sangking indahnya). Terima kasih atas diskusi ini. Akhirnya dari diskusi mas Yohannis, saya memahami kesulitan teman-teman IPB saat mau membantu kerawanan pangan di Yakohimo. Saya dulu tak habis berpikir, kenapa hanya berhenti pada skala kebun percontohan saja. Menurut sebuah diskusi, IPB telah berbuat sesuatu tapi saya berkata dalam hati malu juga sih, Apa yang dilakukan IPB? ko nggak berhasil atau tak ada imbasnya. Padahal katanya IPB telah pernah membantu dengan cara budidaya berbagai jenis ubi dan teknologi pembuatan produk pangan (cake, bolu, brownies, sereal dll) dari ubi, jauh bahkan sebelum kasus Yakohimo. Oh ya, kini departemen Teknologi pangan sedang mengembangkan formula tepung ubi jalar. Dulu waktu bantu teman penelitian buatnya sulit, 100 kg ubi hanya jadi 20 kg pati dan terjadi browning (pencoklatan), jelek mutunya. Kini ada metode lain, namun masih belum sempurna. Bogasari flour kayaknya sedari dulu menunggu hasilnya .. Cara efektif menangani krisis di Papua sekarang memang memberi bahan baku langsung. Tapi kan tak bisa terus-terusan begitu. Rekan-rekan papua harus mandiri untuk melakukan budidaya biar survive. Mengandalkan hasil alam pun juga sulit, makin hari, jumlah pangan di alam berkurang apalagi kalau kemarau.CMIIW Instansi kita pernah disalahkan, ko tidak segera membantu. Begitu pula kata media masa, pemerintah lambat membantu. Kuncinya putra daerah sendiri yang melakukan edukasi dan perubahan. Yang lain bekerja dibelakang layar, mendukung dan mendorong. Denger2 dari Mentan ada proyek swasembada gula di sana? semoga saja berhasil. salam, aris Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] ykomboi%40gmail.com wrote: On 9/19/06, aris solikhah wrote: Iya terima kasih-terima kasih atas pencerahan matoa-nya. Kenapa saya harus pergi jauh-jauh. Pada akhirnya, seorang mahasiswi baru asal Jayapura menunjukkan di depan fakultas kehutanan IPB ada pohon matoa (ada 2 pohon yang baru bisa diidentifikasikan). Sedang berbuah lagi, tapi masih hijau. Ada yang mau membantu metik nanti sebelum diserobot codot (kelelewar buah)? ^_^ yk: Sudah kukatakan bukan kalau di lingkungan IPB ada pohon matoa? Lbh banyak lagi di sekitar CIFOR. Tapi tidak tahu jenis kelapa atau pepela (bener nggak), yang jenis kelapa katanya sangat manis dan tak bisa dikatakan dengan kata-kata. Satu kilo Rp 40 ribu, kenapa tak coba budidaya ya dan mengekspor, ini ide yang cerdas. yk: 'Investment - investasi', untuk orang Papua kebanyakan yg hidup dimanja alam kata ini kurang bermakna. Dulu pernah ada proyek percontohan pertanian di daerah Wamena yg dimotori oleh BPPT dan LIPI yg dikomandoi oleh bu Astrid Soesanto dr BAPPENAS. Proyek ini bisa dibilang 'sukses'. Lelah dng berbagai usaha meningkatkan ketrampilan masyarakat sekitar karena rendahnya animo, akhirnya peneliti LIPI dan BPPT memutuskan untuk memfokuskan diri ke kebun percobaannya tanpa repotrepot melibatkan masyarakat. Tanaman tumbuh subur dan nampak banyak hasilnya. Tapi hasil panen ternyata sangat sedikit, terlalu sedikit untuk volume yg terlihat sebelumnya. Apa yg terjadi? Selang sebulanan peneliti gabungan itu menemukan banyak ladangladang baru yg tampak tumbuh subur dng tanaman dr varietas unggulan spt yg awalnya ditanam di kebun percobaan. Rupanya hasil panen kebun percobaan itu tlh dijarah terlebih dulu oleh masyarakat sekitar, menjadikannya sbg bibit dan menanamnya... heheheh... baik-buruk memang relatif. Sampai di titik ini ternyata semua oke saja. Sayangnya semangat tanam itu tdk bertahan lama karena kehabisan bibit utk tanam berikutnya. Menyimpan panen untuk dijadikan bibit, apalagi untuk tanaman asing rupanya belum membudaya. Dia juga menceritakan di rumah asalnya ada buah matoa, tapi jauh nian ya. Dan dia juga cerita masalah perang antar suku, iyah masalah kehormatan dan anggaplah ego nya tinggi. Tapi kalau sudah disentuh hidayah dan dibina baik, penduduk papua itu cerdas-cerdas dan berkarakter kuat. Yah mendengarnya, saya membayangkan suku Khajraj dan Aus yang tinggal di Madinah, bawaannya perang suku melulu. Bahkan hanya karena sapi yang terbunuh saja mereka bunuh-bunuhan, tapi kebanyakan karena provokasi Yahudi di Madinah. yk: Sesuai fithrah manusia dibekali kecerdasan. Tapi proses learning, spt halnya pembangunan, sangatlah path dependent untuk bisa mencapai dampak. Bbrp perkecualian tentu ada, spt bbrp genius Papua yg bergabung dalam 'Papua Frontiers' tapi itu saja tdk cukup. Ttg 'software' mbak Aris, pribadi saya lbh suka melihat orang
Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK
Broer Ambon (Alles kits?), Anda benar sebagian. Lupa persisnya kapan, telah terjadi transisi pengelolaan yayasan persekolahan yg semula dikelola oleh misi, zending dan muhammadiyah menjadi pengelolaan bersama pemerintah. Komposisi pendanaan pemerintah pro-rata sesuai jmlh murid. Pendanaan tdk hanya berbentuk uang tp juga penyediaan guru PNS. Sharing pendanaan ini bisa saja dilihat sbg mekanisme kontrol, tp dari segi kepraktisan sebetulnya sangat membantu. Broer Ambon tentu tahu bahwa utk mempertahankan kualitas, sekolah swasta sering hrs men-charge mahal muridnya... hal ini tentu tdk bisa dilakukan oleh sekolah yg dikelola oleh kelompok relijius, di daerah marginal pula. Shg kolaborasi dng pemerintah semestinya menawarkan win-win solution. Apakah di lapangan (yg sering benarbenar di lapangan terbuka) terjadi spt itu? Nyaris tidak. Guru 'dropdropan' pemerintah, walau berdedikasi tapi umumnya hasil recruitment yg sarat dng misi sosial... shg kurang berkualitas. Ini ditambah dng fasilitas yg tdk terrealisasikan krn terlanjur habis dananya berakibat pada hancurnya system pendidikan pra-dasar dan dasar. Relasi dng Belanda itu menarik. 3 tahun lalu di Jayapura saya tdk sengaja menemukan satu tim gabungan berisikan orangorang dari Ministerie van Ontwikkeling Samenwerking (kementrian kerjasama luarnegri), Ministerie van Onderwijs Wetenschaap (kementrian pendidikan dan ilmu pengetahuan), dan gereja yg sedang mendata ulang kegiatan mrk dulu di sana. Pendataan ulang itu dilandasi semangat revitalisasi relasi yg ternyata terbukti terrealisasikan tahun ini. Seberapa jauh realisasi itu saya blm tahu. Semoga saja mrk bisa menjawab sebagian risau bung Ambon. Kalau pendidikan yg baik bisa membentuk seedling yg baik, masih tersisa gap lebar untuk membentuk environment yg baik untuk hidup di Papua. yk On 9/20/06, Ambon [EMAIL PROTECTED] wrote: Mengenai pendidikan di Papua ada masalah, yaitu misalnya banyak sekolah dasar dan memengah yang diasuh oleh gereja di pedalaman dataran tinggi Papua ditutup, karena tidak ada biaya sekolah untuk membayar gaji-gaji para guru dan berbagai ongkos. Biasanya sebahagian besar biaya disumbangkan dari negeri Belanda, tetap karena pemerintah Indonesia telah melarang gereja untuk menerima bantuan keuangan dari sana. - Original Message - From: aris solikhah [EMAIL PROTECTED] fm_solihah%40yahoo.com To: ppiindia@yahoogroups.com ppiindia%40yahoogroups.com Sent: Tuesday, September 19, 2006 9:44 AM Subject: Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK Main ke Papua? Tentu saja mau.. tapi siapa yang mensponsori saya? biaya hidup disana mahal bukan? Transportasi antar daerah menjadi kendala. SMU adek itu saya lupa? Sekolah gratis yang berada di atas bukit dan kalau sedang bersekolah dia bisa melihat perbedaan warna air laut dibawahnya (sangking indahnya). Terima kasih atas diskusi ini. Akhirnya dari diskusi mas Yohannis, saya memahami kesulitan teman-teman IPB saat mau membantu kerawanan pangan di Yakohimo. Saya dulu tak habis berpikir, kenapa hanya berhenti pada skala kebun percontohan saja. Menurut sebuah diskusi, IPB telah berbuat sesuatu tapi saya berkata dalam hati malu juga sih, Apa yang dilakukan IPB? ko nggak berhasil atau tak ada imbasnya. Padahal katanya IPB telah pernah membantu dengan cara budidaya berbagai jenis ubi dan teknologi pembuatan produk pangan (cake, bolu, brownies, sereal dll) dari ubi, jauh bahkan sebelum kasus Yakohimo. Oh ya, kini departemen Teknologi pangan sedang mengembangkan formula tepung ubi jalar. Dulu waktu bantu teman penelitian buatnya sulit, 100 kg ubi hanya jadi 20 kg pati dan terjadi browning (pencoklatan), jelek mutunya. Kini ada metode lain, namun masih belum sempurna. Bogasari flour kayaknya sedari dulu menunggu hasilnya .. Cara efektif menangani krisis di Papua sekarang memang memberi bahan baku langsung. Tapi kan tak bisa terus-terusan begitu. Rekan-rekan papua harus mandiri untuk melakukan budidaya biar survive. Mengandalkan hasil alam pun juga sulit, makin hari, jumlah pangan di alam berkurang apalagi kalau kemarau.CMIIW Instansi kita pernah disalahkan, ko tidak segera membantu. Begitu pula kata media masa, pemerintah lambat membantu. Kuncinya putra daerah sendiri yang melakukan edukasi dan perubahan. Yang lain bekerja dibelakang layar, mendukung dan mendorong. Denger2 dari Mentan ada proyek swasembada gula di sana? semoga saja berhasil. salam, aris Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] ykomboi%40gmail.com wrote: On 9/19/06, aris solikhah wrote: Iya terima kasih-terima kasih atas pencerahan matoa-nya. Kenapa saya harus pergi jauh-jauh. Pada akhirnya, seorang mahasiswi baru asal Jayapura menunjukkan di depan fakultas kehutanan IPB ada pohon matoa (ada 2 pohon yang baru bisa diidentifikasikan). Sedang berbuah lagi, tapi masih hijau. Ada yang mau membantu metik nanti sebelum diserobot codot (kelelewar buah)? ^_^ yk
Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK
Diajeng Aris, Main ke Papua? Tentu saja mau.. tapi siapa yang mensponsori saya? biaya hidup disana mahal bukan? Transportasi antar daerah menjadi kendala. SMU adek itu saya lupa? yk: Banyak cara untuk bisa ke Papua, salahsatunya melalui kerjasama riset. Banyak sekali yg perlu diteliti disana. Sekolah gratis yang berada di atas bukit dan kalau sedang bersekolah dia bisa melihat perbedaan warna air laut dibawahnya (sangking indahnya). yk: Ada bbrp sekolah yg spt itu. Ok-lah, itu tdk pentingpenting amir. Nitip saja adik dari Jayapura itu. Saya tahu kalau prosentasi kegagalan mhs asal Papua di IPB termasuk sangat tinggi, yg tidak semuanya disebabkan oleh kekurangan kepandaian. Terima kasih atas diskusi ini. Akhirnya dari diskusi mas Yohannis, saya memahami kesulitan teman-teman IPB saat mau membantu kerawanan pangan di Yakohimo. Saya dulu tak habis berpikir, kenapa hanya berhenti pada skala kebun percontohan saja. Menurut sebuah diskusi, IPB telah berbuat sesuatu tapi saya berkata dalam hati malu juga sih, Apa yang dilakukan IPB? ko nggak berhasil atau tak ada imbasnya. Padahal katanya IPB telah pernah membantu dengan cara budidaya berbagai jenis ubi dan teknologi pembuatan produk pangan (cake, bolu, brownies, sereal dll) dari ubi, jauh bahkan sebelum kasus Yakohimo. yk: It is Yahukimo - atau Yahokimo. Tidak terlalu jauh dari Yahukimo ('tidak terlalu jauh' ini bukan ukuran normal spt sepengisapan rokok - sapangudutan. Lebih tepatnya spt ala betawi... noh di balik gunung sono noh) ada proyek penelitian umbiumbian (kentang, ubi jalar, dll) yg dilakukan peneliti UNIPA di bawah pimpinan pak Narto (Dr. Sunarto), jg di dalamnya ada ahli tanah pak Soemono. Mrk berdua ini pasti mudah mbak Aris kenali. Mrk saya kira sdh banyak berusaha... dlm bidang riset tentunya tapi msh sangat kurang dlm hal sosialisasi hasil riset. Dengan Yahukimo (dan banyak wilayah lain lagi) dan permasalahannya di depan mata, kerjasama sosialisasi hasil riset mungkin hanya perlu initiator saja. Oh ya, kini departemen Teknologi pangan sedang mengembangkan formula tepung ubi jalar. Dulu waktu bantu teman penelitian buatnya sulit, 100 kg ubi hanya jadi 20 kg pati dan terjadi browning (pencoklatan), jelek mutunya. Kini ada metode lain, namun masih belum sempurna. Bogasari flour kayaknya sedari dulu menunggu hasilnya .. yk: Teknologi per-pati-an mestinya nggak mahal/sulit shg dlm hemat saya bisa 'langsung diambil' dari negara yg sdh advance, Jepang misalnya. Cobalah nge-link dng JICA. Knp hrs Bogasari? Apa nggak ada start-ups yg prospective? Ayolah, sekalian bikin bisnis inkubasi. Kalau nyantolnya ke yg gedhegedhe, dampak sosialnya akan minimum. Ubi jalar sebetulnya pilihan terbaik dari yg buruk. Dia rakus hara. Dia dipilih krn 'pas' dng mentalitas 'tongkat kayu dan batu jadi tanaman', tanaman yg hanya minimum memerlukan nurturing. Sejalan dng berkembangnya daya kreasi, semestinya ada upaya memperkenalkan sumber makanan utama lain, spt gandum misalnya yg tdk memerlukan banyak air. Cara efektif menangani krisis di Papua sekarang memang memberi bahan baku langsung. Tapi kan tak bisa terus-terusan begitu. Rekan-rekan papua harus mandiri untuk melakukan budidaya biar survive. Mengandalkan hasil alam pun juga sulit, makin hari, jumlah pangan di alam berkurang apalagi kalau kemarau.CMIIW Begitu pula kata media masa, pemerintah lambat membantu. Kuncinya putra daerah sendiri yang melakukan edukasi dan perubahan. Yang lain bekerja dibelakang layar, mendukung dan mendorong. Denger2 dari Mentan ada proyek swasembada gula di sana? semoga saja berhasil. yk: Milieu (lingkungan fisik dan non fisik) Papua tlh banyak berubah menjadi tdk sehat. Ini akan segera teramati begitu menginjak tanah itu. Sebabnya banyak, salahsatunya adalah masalah 'wong' dalam hal 'ngewongake'. Orang Papua scr umum tidak merasa telah disetarakan. Ini salahsatu alasan penggalian kembali sumbersumber identitas lokal. Kalau proces ini dibiarkan dilakukan oleh local agent of change, suatu saat nanti kita akan menemukan sebuah komunitas yg kental dng nilai tradisional lengkap dng segala baikburuknya - fundamentalism in different sense. Kuncinya, bukan soal siapa di depan siapa di belakang tapi lebih ke synergy dan orientasi kegiatannya. Apakah memanusiakan manusia Papua atau tidak. Dari setengah uwong, yk On 9/19/06, aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote: salam, aris Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] ykomboi%40gmail.com wrote: On 9/19/06, aris solikhah wrote: Iya terima kasih-terima kasih atas pencerahan matoa-nya. Kenapa saya harus pergi jauh-jauh. Pada akhirnya, seorang mahasiswi baru asal Jayapura menunjukkan di depan fakultas kehutanan IPB ada pohon matoa (ada 2 pohon yang baru bisa diidentifikasikan). Sedang berbuah lagi, tapi masih hijau. Ada yang mau membantu metik nanti sebelum diserobot codot (kelelewar buah)? ^_^ yk: Sudah kukatakan bukan kalau di lingkungan IPB ada pohon matoa? Lbh banyak lagi di sekitar CIFOR. Tapi tidak tahu jenis kelapa atau
Re: [ppiindia] Kesulitan Papua, pak YK
Diajeng Aris, Mengukur adalah mencerabut sekeping informasi dari realitanya dng dasar subyektifitas guna menuju ke obyektivitas. Artinya, upaya menuju ke objektivitas adalah proses tanpa akhir yg selalu tidak bersih dari faktor KITA. Seperti Anda lihat, Anda dan banyak orang lain mengukur manusia Papua sematamata dengan ukuran Anda, walau dengan excuse demi manfaat mereka. Pertanyaannya kemudian: Dimanakah tata nilai lokal Papua Anda tempatkan? Apakah orang Papua bukan manusia utuh yg juga berhak memiliki tata nilai sendiri? Masih kurangkah bukti bahwa eksperiment pembangunan dng pendekatan yg menggilas tatanilai lokal itu telah samasekali gagal? Tanpa berniat mewakili siapapun, dalam halnya saya, saya akan memilih hidup tenang dalam tatanilai sendiri, bebas dari tuntutan melakukan ini itu. yk On 9/20/06, aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Yohannis, Kita perlu memilah sesuatu yang sifatnya prinsip dan sarana atau teknologi. KAlau orang papua bukan muslim, saya kira hal itu bisa diserahkan atau disesuaikan agamanya. Sifatnya suatu prinsip, misalnya seorang muslimah diranah publik dimanapun, suku apapun, bahasa apapun, ras manapun identitasnya adalah busana kemuslimahannya. Untuk sifatnya sarana misalnya, seorang muslimah sangat diperbolehkan memakai busana muslimah dengan memakai corak kedaerahan, misalnya, busana muslimah batik parang, ulos, songket, sutra, kotak2 hitam putih khas Bali dll ^_^, saya katakan kalau rumbia bisa, ya boleh pakai rumbia. Untuk non muslim di Papua, memakai koteka silakan saja. But, hanya bisa dipakai diruang khusus misalnya di wilayah komunitasnya, rumahnya dan bukan ranah publik. Di wilayah publik kita tak bisa melepaskan diri dari unggah ungguh masyarakat sekitar. Ketika kita berhubungan dengan masyarakat umum, mereka punya aturan sendiri.Kecuali kalau dia akan merasakan yang disebut terisolasi dan dikhawatirkan kelak punah. Yah sebuah konsekuensi, manusia adalah makhluk sosial, suka atau tidak manusia yang hidup di kanan, kiri, belakang, depan mempengaruhi hidupnya. CMIIW. salam, aris Yohanis Komboi [EMAIL PROTECTED] ykomboi%40gmail.com wrote: Tepat mas Acon. Dalam suasana perubahan ke modernitas yg diliputi ketidakpastian, orang Papua (dan siapapun) akan kembali menengok ke tatanilai yg paling dia akrabi... walaupun juga bila sebelumnya dia telah berpaling dari tatanilai tsb. Ini sangat manusiawi saya kira. Memperkenalkan tatanilai baru tentu saja boleh tetapi memperkenalkan tatanilai baru tanpa mengindahkan konteks socio-cultural-societal setempat sama saja dengan merusak. Hal ini sangat kurang disadari dalam pendekatan pembangunan Papua. On 9/20/06, Ari Condro wrote: pakaian adat, koteka sebagai identitas. bukannya ini sama dengan jilbab sebagai identitas ... :D [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ * Your email settings: Individual Email | Traditional * To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) * To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/