Re: [ppiindia] Pemetaan, Menentukan Kiblat di Era Kejayaan Islam

2009-04-27 Terurut Topik si pitung
andalusia pernah mencapai masa keemasan di jaman islam. Sayang skali byk orang 
bodoh hanya bs terpesona  terbengong2 
dg kemajuan bangsa barat saat ini, dan menganggap barat hebat segalanya :p

bedanya kemajuan yg dicapai muslim dg kemajuan barat skrng adalah, muslim akan 
MAJU, MODERN apabila menjalankan Alquran  asSunnah
dg sebaik2nya, SEBALIKNYA barat akan maju apabila meninggalkan agamanya. Udh 
terbukti khan?!

lha..klo ada muslim mencontoh 100% barat, maka hasilnya akan menjadi manusia 
sekuler, mrasa modern, maju, pintar dsbnya
pdhl sejatinya mereka adalah kaum yg sesat  bodoh.

orang2 cerdik pandai (beneran! bukan asal cap kaya' orang liberal) sdh 
menyadari koq, bahwa islam berhasil membuat
arab yg gersang nan primitp menjadi bangsa yg maju  berperadaban tinggi, 
melepaskan diri dari belenggu penyembahan kpd berhala manusia, patung dll,
dan hanya menyembah 1TUHAN yg benar yakni ALLAH SWT.

hanya orang bodoh lagi pembual saja yg mengagung2kan barat stinggi langit, pdhl 
dirinya sama skali bukan sapa2 di mata orang barat
kasihan skali manusia macam itu..:)





From: Sandy Dwiyono sdwiy...@yahoo.com
To: nasional-l...@yahoogroups.com; ppiindia@yahoogroups.com
Sent: Sunday, April 26, 2009 4:15:55 PM
Subject: [ppiindia] Pemetaan, Menentukan Kiblat di Era Kejayaan Islam





http://www.republik a.co.id/berita/ 45621/Pemetaan_ Menentukan_ Kiblat_di_ 
Era_Kejayaan_ Islam

Pemetaan, Menentukan Kiblat di Era Kejayaan Islam

Para ilmuwan Muslim di era keemasan peradaban Islam telah mengembangkan metode 
pemetaan. Dengan menguasai pemetaan, para astronom mampu menentukan posisi 
lintang dan bujur tempat-tempat di permukaan bumi. Hasilnya bisa digunakan 
untuk beragam kepentingan. Salah satunya  untuk menghitung hasil pengamatan 
posisi benda-benda yang ada di langit.

Menurut Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam karyanya bertajuk Islamic 
Technology: An Illustrated History mengungkapkan, para astronom Muslim memiliki 
beberapa cara untuk menemukan koordinat suatu benda di langit. Salah satunya 
dengan menentukan garis meridian, yakni garis yang melintang dari arah selatan 
suatu tempat kemudian ditarik hingga ke kutub utara langit dan titik zenith.

''Untuk menentukan arah meridian, cara paling sederhana yang digunakan para 
astronom saat itu adalah dengan mengukur lintang bintang circumpolar, yakni 
bintang yang cukup dekat dengan kutub langit sehingga selalu muncul horison,'' 
ungkap al-Hassan dan Hill. Pada saat yang sama,  diukur pula sudut 
horisontalnya terhadap sebuah titik pada garis horison.

Menurut al-Hassan, pengukuran itu dilakukan dua kali, ketika bintang berada di 
timur pengamatan dan ketika  berada di sebelah barat. Menurut al-Hassan dan 
Hill, garis meridian diperoleh dengan membagi dua sudut horisontal. Selanjutnya 
penentuan bujur dapat dilakukan dengn mudah, yakni dengan mengamati tinggi 
matahari dan bintang ketika melewati meridian.

Selain itu, para astronom Muslim juga sudah mampu menentukan garis lintang. 
Sayangnya, kata al-Hassan, metode yang digunakan untuk menentukan lintang itu 
tak seakurat metode penentuan garis bujur.  Guna menentukan lintang yang sangat 
akurat, papat dia, dibutuhkan alat ukur waktu yang andal bernama Kronometer. 
Kronometer yang demikian baru ada setelah pertengahan abad ke-18 M, sehingga 
para astronom Muslim harus menggunakan metode pengukuran lain yang tentu saja 
tidak bergantung pada keakuratan pengukuran waktu, ungkap al-Hassan dan Hill.

Untuk menentukan lintang,  para astronom Muslim di era kekhalifahan 
mengembangkan dua teknik. Pertama, mereka melakukan pengamatan gerhana bulan 
dari dua tempat berbeda dengan objek pengamatan atau peristiwa yang sama. 
Misalnya ketika bulan bergerak menuju bayangan Bumi dan kemudian membandingkan 
hasilnya,  tutur al-Hassan dan Hill. Menurut al-Hassan, perbedaan waktu 
kejadian dari suatu peristiwa serupa di kedua tempat itu merupakan besar 
perbedaan lintangnya. Sedangkan pada metode kedua, para astronom mengukur jarak 
ke arah timur-barat suatu tempat dari tempat lain yang diketahui (atau 
diasumsikan) lintangnya.

Setelah lintang dan bujur dua tempat diketahui, maka dapat ditentukan arah satu 
tempat ke tempat lain. Dan besaran yang dihasilkan adalah azimuthnya, yakn 
besar sudut jurusan yang diukur dari arah utara ke rah timur (searah jarum jam) 
hingga garis arah kedua titik. Salah satu aplikasi perhitungan ini, yaitu 
penentuan arah Makkah dari tempat tertentu (kiblat), kata al-Hassan dan Hill.

Penentuan arah Makkah atau kiblat ini merupakan sesuatu yang penting bagi 
ilmuwan Muslim era kekhalifahan. Para ilmuwan Muslim akhirnya bisa memecahkan 
penentuan arah kiblat pada abad ke-3 H/9 M sampai ke-8 H/14 M. Ini membuktikan 
kecanggihan trigonometri yang digunakan para astronom Muslim serta kecanggihan 
teknik perhitungan yang telah mereka capai.

Karena azimuth suatu tempat bersifat relatif terhadap tempat lain dapat 
ditentukan, secara teoritis akan mungkin untuk

[ppiindia] Pemetaan, Menentukan Kiblat di Era Kejayaan Islam

2009-04-26 Terurut Topik Sandy Dwiyono
http://www.republika.co.id/berita/45621/Pemetaan_Menentukan_Kiblat_di_Era_Kejayaan_Islam


Pemetaan, Menentukan Kiblat di Era Kejayaan Islam

Para ilmuwan Muslim di era keemasan peradaban Islam telah mengembangkan metode 
pemetaan. Dengan menguasai pemetaan, para astronom mampu menentukan posisi 
lintang dan bujur tempat-tempat di permukaan bumi. Hasilnya bisa digunakan 
untuk beragam kepentingan. Salah satunya  untuk menghitung hasil pengamatan 
posisi benda-benda yang ada di langit.

Menurut Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam karyanya bertajuk Islamic 
Technology: An Illustrated History mengungkapkan, para astronom Muslim memiliki 
beberapa cara untuk menemukan koordinat suatu benda di langit. Salah satunya 
dengan menentukan garis meridian, yakni garis yang melintang dari arah selatan 
suatu tempat kemudian ditarik hingga ke kutub utara langit dan titik zenith.

''Untuk menentukan arah meridian, cara paling sederhana yang digunakan para 
astronom saat itu adalah dengan mengukur lintang bintang circumpolar, yakni 
bintang yang cukup dekat dengan kutub langit sehingga selalu muncul horison,'' 
ungkap al-Hassan dan Hill. Pada saat yang sama,  diukur pula sudut 
horisontalnya terhadap sebuah titik pada garis horison.

Menurut al-Hassan, pengukuran itu dilakukan dua kali, ketika bintang berada di 
timur pengamatan dan ketika  berada di sebelah barat. Menurut al-Hassan dan 
Hill, garis meridian diperoleh dengan membagi dua sudut horisontal. Selanjutnya 
penentuan bujur dapat dilakukan dengn mudah, yakni dengan mengamati tinggi 
matahari dan bintang ketika melewati meridian.

Selain itu, para astronom Muslim juga sudah mampu menentukan garis lintang. 
Sayangnya, kata al-Hassan, metode yang digunakan untuk menentukan lintang itu 
tak seakurat metode penentuan garis bujur.  Guna menentukan lintang yang sangat 
akurat, papat dia, dibutuhkan alat ukur waktu yang andal bernama Kronometer. 
Kronometer yang demikian baru ada setelah pertengahan abad ke-18 M, sehingga 
para astronom Muslim harus menggunakan metode pengukuran lain yang tentu saja 
tidak bergantung pada keakuratan pengukuran waktu, ungkap al-Hassan dan Hill.

Untuk menentukan lintang,  para astronom Muslim di era kekhalifahan 
mengembangkan dua teknik. Pertama, mereka melakukan pengamatan gerhana bulan 
dari dua tempat berbeda dengan objek pengamatan atau peristiwa yang sama. 
Misalnya ketika bulan bergerak menuju bayangan Bumi dan kemudian membandingkan 
hasilnya,  tutur al-Hassan dan Hill. Menurut al-Hassan, perbedaan waktu 
kejadian dari suatu peristiwa serupa di kedua tempat itu merupakan besar 
perbedaan lintangnya. Sedangkan pada metode kedua, para astronom mengukur jarak 
ke arah timur-barat suatu tempat dari tempat lain yang diketahui (atau 
diasumsikan) lintangnya.

Setelah lintang dan bujur dua tempat diketahui, maka dapat ditentukan arah satu 
tempat ke tempat lain. Dan besaran yang dihasilkan adalah azimuthnya, yakn 
besar sudut jurusan yang diukur dari arah utara ke rah timur (searah jarum jam) 
hingga garis arah kedua titik. Salah satu aplikasi perhitungan ini, yaitu 
penentuan arah Makkah dari tempat tertentu (kiblat), kata al-Hassan dan Hill.

Penentuan arah Makkah atau kiblat ini merupakan sesuatu yang penting bagi 
ilmuwan Muslim era kekhalifahan. Para ilmuwan Muslim akhirnya bisa memecahkan 
penentuan arah kiblat pada abad ke-3 H/9 M sampai ke-8 H/14 M. Ini membuktikan 
kecanggihan trigonometri yang digunakan para astronom Muslim serta kecanggihan 
teknik perhitungan yang telah mereka capai.

Karena azimuth suatu tempat bersifat relatif terhadap tempat lain dapat 
ditentukan, secara teoritis akan mungkin untuk membuat jalan atau kanal lurus 
antara dua kota, jelas al-Hassan dan Hill. Namun, imbuh al-Hassan dan Hill, 
dalam praktiknya,  hal itu tidak dapat direalisasikan. Pasalnya, rute-rute 
ditentukan keadaan daerah dan masalah pemilikan lahan. Sementara kanal-kanal 
itu harus sedekat mungkin dengan daerah pertanian yang akan dialirinya. Oleh 
karena itu, rute-rute ditentukan dengan mengingat pertimbangan-pertimbangan 
praktis ini, kata al-Hassan dan Hill.

Sebelum penggalian kanal, selain menentukan rute, perlu juga diperhitungkan 
pendataran tanah sepanjang rute tersebut dari awal hingga akhir. Proses 
pendataran tanah itu membutuhkan garis pandang horisontal yang pada instrumen 
modern diperoleh dari benang silang dalam teropong dan sifat datar.Para 
surveyor Muslim menggunakan beberapa instrumen yang didasarkan pada prinsip 
yang sama, meski tak satupun yang mempunyai teleskop, mereka memakai 
penglihatan langsung, ungkap al-Hassan dan Hill.

Menurut al-Hassan dan Hill, salah satu instrumen yang yang digunakan adalah 
segitiga logam dengan pengait logam dipatrikan di kedua ujung salah satu 
sisinya. Unting-unting dengan pemberat seperti bandul di ujungnya dipasang pada 
tengah-tengah sisi tadi. Dua rambu tegak yang dibagi-bagi dalam graduasi 12 
sentimeter dan kemudian dibagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil