Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?

2006-10-09 Terurut Topik A Nizami
Perusahaan yang full business saja seperti BCA,
Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika para
dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk
menghidupi diri sendiri.

Paling gampang ya menaikan SPP.

Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran 20%
buat pendidiksan.

Tidak perlu ada Public Service. Semuanya dibisniskan.

Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada Indonesia.

--- aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak
 rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan
 justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB
 adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di
 Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan Indonesia
 agak rendah.
 
 Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang
 BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya
 sangat indah dibandingkan kenyataannya.  IKalau PT
 mikirin juga mencari sumber penghasilan lain
 misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah
 pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari
 objekkan, dll.
 
 Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik meski
 dibumbui dengan kata-kata yang cantik.
 
 Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah
 tanggungjawab negara. Kalau sekolah dikomersialkan,
 lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India yang
 memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita
 mendidik kita untuk jadi buruh professional ahli
 yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk
 mandiri. 
 
 Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate
 kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham kemana
 tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan?
 
 Saya mohon, bisakah kebijakan RUU BHP ini dievaluasi
 kembali sebelum semuanya terlambat? Saya tak bisa
 membayangkan mahalnya pendidikan kita,  siapa yang
 bisa kuliah nantinya, orang miskin makin miskin dan
 bodoh, makin terpuruknya Indonesia, serta makin
 terbudakkan SDM kita, plis. 
 
 
 
 salam,
 aris
 
 
 
 
 
 ndah maldiniwati [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Kemunculan BHMN tidak lepas dr escape strategy
 pemerintah yg ingin 
 mengurangi beban APBN.  Seharusnya PT sebagai sebuah
 perusahaan 
 bukannya memebebankan biaya oprasionalnya kapada
 konsumennya 
 (mahasiswa) seharusnya dengan BHMN justru menjadi
 ajang kompetisi 
 berebut riset dgn bekerjasama dengan institusi luar
 shg menggenjot 
 pemasukan.  Kalo PT mensolusikan peningkatan
 pemasukan dengan 
 gencar2nya menaikkan tarif kuliah  mendirikan mall
 saya melihatnya 
 sebagai kebodohan kaum intelektual yg berjiwa
 kapitalis.
 
 untuk penentuan ranking: wah denger gosip darimana
 mba?? saat saya 
 ikut tim untuk merumuskan indikator penilaian
 kompetensi PT di 
 Indonesia (bukan untuk meranking PT) yang akn
 digunakan sekjend DIKTI 
  DPPKPM DIKTI kami mengambil acuan antara lain
 asiaweek dan guardian 
 uk.  kualitas PT dinilai dr proses input (kualitas
 mahasiswa yg 
 diterima)-proses-output(kualitas lulusan), dan dalam
 proses ada banyak 
 komponen penunjang proses (proses belajar, kualitas
 dosen, performa 
 keuangan, fasilitas kuliah, performa research).  BAN
 PT juga melakukan 
 penilaian untuk akreditasi dengan indikator2 yg
 kurang lebih sama.
 
 Silahkan browsing sendiri kriteria2 yg digunakan
 untuk meranking PT di 
 diknasnya canada, amerika or ausy:
 BAN PT: http://dikti.go.id/ (masuk ke Badan
 Akreditasi Nasional)
 sekjend dikti:
 http://si.dikti.go.id/kinerja_rincipt/dirpt.php
 guardian:

http://education.guardian.co.uk/universityguide2005/0,,
 1455246,00.html
 asiaweek:

http://www.asiaweek.com/asiaweek/features/universities2000/
 schools/multi.overall.html
 (lihat kriterianya dibawah list PT) 
 
 Semoga bermanfaat
 
 --- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah 
 wrote:
 
Dear All,
   HAri ini saya membaca sekilas Humaniora Kompas,
 mendebarkan rasanya 
 membayangkan nasib masa depan Perguruan Tinggi (PT)
 Indonesia. Akankah 
 pendidikan tinggi makin sulit diraih oleh
 putra-putri  kita?  
   
   
   Dalih internasionalisasi atau dalih mutu
 perguruan tinggi Indonesia 
 yang tidak masuk dalam 100 besar terbaik dunia, kita
 perlu 
 memprivatisasi? ataukah saya salah menyimpulkan apa
 yang dimaksud 
 dengan privatisasi PT?  CMIIW
   
   Saya pernah mendengar, salah satu kriteria
 penilaian 100 PT terbaik 
 dunia diantaranya adalah jumlah mahasiswa luar
 negeri yang kuliah di 
 sebuah PT minimal 30 persen dan kriteria lain adalah
 nominal SPP 
 (biaya kuliah) yang sangat mahal. Bila ini benar
 maka, kapan pun sulit 
 PT Indonesia masuk dalam 100 terbaik dunia. Bukan
 karena kualitasnya 
 kurang bermutu, tapi kriterianya yang mungkin sulit
 terjangkau. Apakah 
 ini disengaja atau tidak?
   
   Adakah kaitannya BHP dengan proyek World Bank-
 IMHERE-DIKTI?
   
   
   Salam prihatin Masa depan Pendidikan Indonesia,
   
   Dari orang yang Sayang Ama almamaternya.
   
   
   http://www.kompas.com/
   
   Baca: 
   
   BHP Identik Kapitalisme 
 Privatisasi Pendidikan   Cenderung Abaikan
 Keadilan Sosial
 Jakarta, Kompas - Sama 

Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?

2006-10-09 Terurut Topik aris solikhah
Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar Rektor, 2 tahun silam sebenarnya 
para rektor berusaha mengkritisi tentang privatisasi public sevice kesepakatan 
WTO yang di dalamnya salah satunya adalah bidang pendidikan.

 Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para Rektor berusaha menolaknya, 
sayangnya gaya indah dan polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini terlewati. 
Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW

Seperti kita sering mendengungkan menolak liberalisasi perdagangan. Ucapan tak 
seiring tingkah laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi perdagangan 
dengan menerima privatisasi Air, Migas, berlomba-lomba memantenkan hasil 
penelitian, mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll.

Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita menolak produk-produk Amerika 
tapi kita habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya (demokrasi, 
liberalisme, kapitalisme, materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). 

Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah mengutip kata pengantar Jane 
paul Sartre dalam buku 'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino, 
menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan kaum terpelajar (tepatnya 
pseudo-eropa) yang dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia mengatakan

 Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia untuk kita kirim beberapa 
bulan lamanya ke Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang tambah AS dan 
Ausi ya). Sesudah beberapa waktu mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita 
suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti mereka dari peradaban mereka.

 Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek dan kerbau-kerbau, dan 
itulah saatnya bagi mereka untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka 
akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan segala sesuatu yang kita 
ucapkan tanpa mereka sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita kerjakan 
akan mereka ikuti, dan mereka bangga mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat 
seuatu demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita sebut dengan assimiles 
(orang-orang yang menyesuaikan diri/ pseudo Eropa).

Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan mengambil teknologinya 
(tentu yang halal) atau mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang 
sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler, teknik nuklir dll, dan harus 
ektra hati-hati menerima beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti teologi, 
filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis beasiswa kedua sebaiknya dihindari.

salam prihatin,
aris






A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Perusahaan yang full business saja seperti 
BCA,
Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika para
dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk
menghidupi diri sendiri.

Paling gampang ya menaikan SPP.

Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran 20%
buat pendidiksan.

Tidak perlu ada Public Service. Semuanya dibisniskan.

Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada Indonesia.

--- aris solikhah  wrote:

 Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak
 rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan
 justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB
 adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di
 Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan Indonesia
 agak rendah.
 
 Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang
 BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya
 sangat indah dibandingkan kenyataannya.  IKalau PT
 mikirin juga mencari sumber penghasilan lain
 misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah
 pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari
 objekkan, dll.
 
 Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik meski
 dibumbui dengan kata-kata yang cantik.
 
 Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah
 tanggungjawab negara. Kalau sekolah dikomersialkan,
 lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India yang
 memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita
 mendidik kita untuk jadi buruh professional ahli
 yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk
 mandiri. 
 
 Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate
 kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham kemana
 tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan?
 
 Saya mohon, bisakah kebijakan RUU BHP ini dievaluasi
 kembali sebelum semuanya terlambat? Saya tak bisa
 membayangkan mahalnya pendidikan kita,  siapa yang
 bisa kuliah nantinya, orang miskin makin miskin dan
 bodoh, makin terpuruknya Indonesia, serta makin
 terbudakkan SDM kita, plis. 
 
 
 
 salam,
 aris
 
 
 
 
 
 ndah maldiniwati  wrote:
 Kemunculan BHMN tidak lepas dr escape strategy
 pemerintah yg ingin 
 mengurangi beban APBN.  Seharusnya PT sebagai sebuah
 perusahaan 
 bukannya memebebankan biaya oprasionalnya kapada
 konsumennya 
 (mahasiswa) seharusnya dengan BHMN justru menjadi
 ajang kompetisi 
 berebut riset dgn bekerjasama dengan institusi luar
 shg menggenjot 
 pemasukan.  Kalo PT mensolusikan peningkatan
 pemasukan dengan 
 gencar2nya menaikkan tarif kuliah  mendirikan mall
 saya melihatnya 
 sebagai kebodohan kaum intelektual yg berjiwa
 kapitalis.
 
 untuk penentuan ranking: wah denger gosip 

[ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?

2006-10-09 Terurut Topik ndah maldiniwati
koreksi:
Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate kualifikasi itu, 
saya jamin mbak sangat paham kemana tujuan akhir dari UU BHP ini, 
bukan?
==qt nyusun kualifikasi untuk self evaluation PT, tujuannya membantu 
end user (calon mahasiswa) untuk mendapatkan informasi ttg kualitas PT 
di Indonesia dan membangun database PT berbasis SIM.  Jd ga ada hubg 
dg akan keluarnya UU BHP

Gosip dr pk matjikk harusnya di clear-kan sekalian mba, kenapa Jepang 
bisa lebih murah (ada datanya ga? hehe ga brani nanya ya).  Dalam 
membandingkan biaya kuliah bukan murni ngliat nominalnya saja, karena 
itu bukanlah indikator yg bisa menilai performa PT, tp biaya kuliah 
biasanya qt bandingkan dengan IPK.  Mungkin Jepank bisa lebih murah 
SPP-nya karena dana yg diperoleh dari research grant, public research 
funding, industry funding 4 research, penerbitan buku  jurnal sudah 
besar.  Jadi SPP bukan menjadi tumpuan pendapatan, bahkan Australian 
National University yg menjadi ranking 1 dlm asiaweek dlm indikator 
finance resource, SPPnya hanya menyetor 6%an dr total pemasukan.  
Kalopun IPB belum bisa masuk 100 top ranking di asiaweek silahkan ber-
self evaluation indikator mana aja yg nilainya memprihatinkan hehehe 
(jgn2 gara2 laporn keuangannya yg ga transparan:))

Karena ketidakmampuan  kemalasan PT di Indonesia dalam menggalang 
income dr research, industri, dll (non SPP) inilah yg menjadi dugaan 
saya menjadi biang kerok mahalnya SPP.  Dosen cari obyekan menurut 
saya sih tidak masalah asal masih bisa bertanggungjawab thd kegiatan 
akademiknya, kalo researchnya banyak tentunya dosennya ga perlu nyari 
obyekan diluar kan?? 

informasi RUU BHP yg saya trima masih simpang siur, tp kalo melihat 
tujuannya dimana BHP sbg badan hukum satuan pendidikan yang 
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat yang 
mempunyai fungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba 
dan dapat mengelola dana untuk memajukan satuan pendidikan sepertinya 
tim penyusunnya punya redaksional yg bagus:) tp implementasinya pasti 
bakal menyipang jauh dr tujuan itu kalo ga didukung aturan pelaksanaan 
yg jelas.  Monggo mba aris ngubungin tim penyusunnya mungkin ada org 
IPB yg ikut tim ini  

--- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak rektor sendiri 
mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan justifikasi. Pa Rektor bahkan 
mengatakan di IPB adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di 
Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan Indonesia agak rendah.
 
 Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang BHMN tepat sekali 
demikian adanya. Teori keluarnya sangat indah dibandingkan 
kenyataannya.  IKalau PT mikirin juga mencari sumber penghasilan lain 
misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah pendidikan kita akan 
tersibukkan. Dosen cari objekkan, dll.
 
 Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik meski dibumbui dengan 
kata-kata yang cantik.
 
 Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah tanggungjawab negara. Kalau 
sekolah dikomersialkan, lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India 
yang memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita mendidik kita untuk 
jadi buruh professional ahli yang murah dibandingkan diajak berpikir 
untuk mandiri. 
 
 Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate kualifikasi itu, 
saya jamin mbak sangat paham kemana tujuan akhir dari UU BHP ini, 
bukan?
 
 Saya mohon, bisakah kebijakan RUU BHP ini dievaluasi kembali sebelum 
semuanya terlambat? Saya tak bisa membayangkan mahalnya pendidikan 
kita,  siapa yang bisa kuliah nantinya, orang miskin makin miskin dan 
bodoh, makin terpuruknya Indonesia, serta makin terbudakkan SDM kita, 
plis. 
 
 
 
 salam,
 aris
 
 
 
 
 
 ndah maldiniwati [EMAIL PROTECTED] wrote: Kemunculan BHMN tidak lepas 
dr escape strategy pemerintah yg ingin 
 mengurangi beban APBN.  Seharusnya PT sebagai sebuah perusahaan 
 bukannya memebebankan biaya oprasionalnya kapada konsumennya 
 (mahasiswa) seharusnya dengan BHMN justru menjadi ajang kompetisi 
 berebut riset dgn bekerjasama dengan institusi luar shg menggenjot 
 pemasukan.  Kalo PT mensolusikan peningkatan pemasukan dengan 
 gencar2nya menaikkan tarif kuliah  mendirikan mall saya melihatnya 
 sebagai kebodohan kaum intelektual yg berjiwa kapitalis.
 
 untuk penentuan ranking: wah denger gosip darimana mba?? saat saya 
 ikut tim untuk merumuskan indikator penilaian kompetensi PT di 
 Indonesia (bukan untuk meranking PT) yang akn digunakan sekjend 
DIKTI 
  DPPKPM DIKTI kami mengambil acuan antara lain asiaweek dan 
guardian 
 uk.  kualitas PT dinilai dr proses input (kualitas mahasiswa yg 
 diterima)-proses-output(kualitas lulusan), dan dalam proses ada 
banyak 
 komponen penunjang proses (proses belajar, kualitas dosen, performa 
 keuangan, fasilitas kuliah, performa research).  BAN PT juga 
melakukan 
 penilaian untuk akreditasi dengan indikator2 yg kurang lebih sama.
 
 Silahkan browsing sendiri kriteria2 yg digunakan untuk 

Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?

2006-10-09 Terurut Topik A Nizami
Jangan samakan yang menolak dgn yang mendukung.
Zaman Belanda dulu juga yg namanya antek Belanda sudah
ada.
Sekarang jadi antek AS/WTO/Kapitalis.

Kalau saya insya Allah akan menolak pendidikan
dibisniskan sehingga orang miskin sulit mendapat
pendidikan.

--- aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar
 Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor
 berusaha mengkritisi tentang privatisasi public
 sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah
 satunya adalah bidang pendidikan.
 
  Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para Rektor
 berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan
 polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini terlewati.
 Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW
 
 Seperti kita sering mendengungkan menolak
 liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring tingkah
 laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi
 perdagangan dengan menerima privatisasi Air, Migas,
 berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian,
 mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll.
 
 Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita
 menolak produk-produk Amerika tapi kita
 habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya
 (demokrasi, liberalisme, kapitalisme,
 materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). 
 
 Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah
 mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam buku
 'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino,
 menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan
 kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang
 dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia
 mengatakan
 
  Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia
 untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke
 Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang
 tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu
 mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita
 suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti
 mereka dari peradaban mereka.
 
  Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek
 dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka
 untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka
 akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan
 segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka
 sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita
 kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga
 mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu
 demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita sebut
 dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan
 diri/ pseudo Eropa).
 
 Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan
 mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau
 mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang
 sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler, teknik
 nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima
 beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti
 teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis
 beasiswa kedua sebaiknya dihindari.
 
 salam prihatin,
 aris
 
 
 
 
 
 
 A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Perusahaan yang
 full business saja seperti BCA,
 Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika
 para
 dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk
 menghidupi diri sendiri.
 
 Paling gampang ya menaikan SPP.
 
 Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran
 20%
 buat pendidiksan.
 
 Tidak perlu ada Public Service. Semuanya
 dibisniskan.
 
 Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada
 Indonesia.
 
 --- aris solikhah  wrote:
 
  Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak
  rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan
  justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB
  adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di
  Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan
 Indonesia
  agak rendah.
  
  Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang
  BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya
  sangat indah dibandingkan kenyataannya.  IKalau PT
  mikirin juga mencari sumber penghasilan lain
  misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah
  pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari
  objekkan, dll.
  
  Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik
 meski
  dibumbui dengan kata-kata yang cantik.
  
  Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah
  tanggungjawab negara. Kalau sekolah
 dikomersialkan,
  lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India
 yang
  memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita
  mendidik kita untuk jadi buruh professional ahli
  yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk
  mandiri. 
  
  Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate
  kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham
 kemana
  tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan?
  
  Saya mohon, bisakah kebijakan RUU BHP ini
 dievaluasi
  kembali sebelum semuanya terlambat? Saya tak bisa
  membayangkan mahalnya pendidikan kita,  siapa yang
  bisa kuliah nantinya, orang miskin makin miskin
 dan
  bodoh, makin terpuruknya Indonesia, serta makin
  terbudakkan SDM kita, plis. 
  
  
  
  salam,
  aris
  
  
  
  
  
  ndah maldiniwati  wrote:
  Kemunculan BHMN tidak lepas dr escape strategy
  pemerintah yg ingin 
  mengurangi beban APBN.  Seharusnya PT sebagai
 sebuah
  perusahaan 
  bukannya 

Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?

2006-10-09 Terurut Topik aris solikhah
Mas maaf lho ya, jangan kembali dong pakai bahasa itu lagi plis. Saya lebih 
suka mengatakan korban, termasuk saya, bukan antek. :(( Karena ketidaktahuan 
saja, kalau tidak tahu janganlah dijustifikasi, saya kalau digitukan juga ndak 
mau. Kasih tahu aja kebenarannya kalau misalnya saya salah. Dimana letak 
salahnya, be objektif.

Percaya atau tidak, Kita adalah korban, karena ndak tahu, kalau korban 
tolonglah jangan dijustifikasi atau dikoyo-koyo lagi :((. Cerahi saja pikiran 
kami. Agar pulih.

salam,
aris

A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Jangan samakan yang menolak dgn yang 
mendukung.
Zaman Belanda dulu juga yg namanya antek Belanda sudah
ada.
Sekarang jadi antek AS/WTO/Kapitalis.

Kalau saya insya Allah akan menolak pendidikan
dibisniskan sehingga orang miskin sulit mendapat
pendidikan.

--- aris solikhah  wrote:

 Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar
 Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor
 berusaha mengkritisi tentang privatisasi public
 sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah
 satunya adalah bidang pendidikan.
 
  Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para Rektor
 berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan
 polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini terlewati.
 Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW
 
 Seperti kita sering mendengungkan menolak
 liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring tingkah
 laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi
 perdagangan dengan menerima privatisasi Air, Migas,
 berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian,
 mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll.
 
 Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita
 menolak produk-produk Amerika tapi kita
 habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya
 (demokrasi, liberalisme, kapitalisme,
 materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). 
 
 Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah
 mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam buku
 'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino,
 menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan
 kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang
 dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia
 mengatakan
 
  Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia
 untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke
 Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang
 tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu
 mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita
 suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti
 mereka dari peradaban mereka.
 
  Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek
 dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka
 untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka
 akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan
 segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka
 sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita
 kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga
 mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu
 demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita sebut
 dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan
 diri/ pseudo Eropa).
 
 Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan
 mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau
 mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang
 sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler, teknik
 nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima
 beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti
 teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis
 beasiswa kedua sebaiknya dihindari.
 
 salam prihatin,
 aris
 
 
 
 
 
 
 A Nizami  wrote: Perusahaan yang
 full business saja seperti BCA,
 Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika
 para
 dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk
 menghidupi diri sendiri.
 
 Paling gampang ya menaikan SPP.
 
 Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran
 20%
 buat pendidiksan.
 
 Tidak perlu ada Public Service. Semuanya
 dibisniskan.
 
 Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada
 Indonesia.
 
 --- aris solikhah  wrote:
 
  Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak
  rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan
  justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB
  adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di
  Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan
 Indonesia
  agak rendah.
  
  Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang
  BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya
  sangat indah dibandingkan kenyataannya.  IKalau PT
  mikirin juga mencari sumber penghasilan lain
  misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah
  pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari
  objekkan, dll.
  
  Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik
 meski
  dibumbui dengan kata-kata yang cantik.
  
  Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah
  tanggungjawab negara. Kalau sekolah
 dikomersialkan,
  lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India
 yang
  memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita
  mendidik kita untuk jadi buruh professional ahli
  yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk
  mandiri. 
  
  Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate
  kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham
 kemana
  tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan?
  
  Saya 

Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?

2006-10-09 Terurut Topik A Nizami
Begini.
Ada yang menolak, ada yang mendukung. Itu fakta.
Yang mendukung itu ada yang karena tidak tahu (nah ini
bisa disebut korban), ada juga dia tahu tapi sengaja
melakukan itu karena dibayar atau apa.

Zaman Belanda kan begitu? Ada pejuang, ada yang nrimo
nurut, ada pula yang memang sengaja menjadi antek
penjajah.

Kita tidak perlu berhalus2 terhadap orang seperti itu.
Nabi saja mampu menyebut Abu Hakam sebagai Abu Jahal
karena kedegilannya. Atau Musailamah sebagai Al Kadzab
(Pembohong besar) karena mengaku Nabi palsu. Atau
Ubaydillah bin Ubay sebagi munafik.

Terhadap orang yang merusak kita tidak perlu
berhalus-halus. Ini agar orang awam tahu bahwa mereka
itu rusak/antek sehingga tidak tertipu oleh mereka.
Dan mereka tidak punya ruang gerak untuk menipu bangsa
kita.

Itulah Sunnatullah dan Sunnah Nabi.

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. [Al
Fath:29]
 
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan
dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah
telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan
usaha mereka sendiri ? Apakah kamu bermaksud memberi
petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan
Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali
kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk)
kepadanya. [An Nisaa':88]
  


--- aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Mas maaf lho ya, jangan kembali dong pakai bahasa
 itu lagi plis. Saya lebih suka mengatakan korban,
 termasuk saya, bukan antek. :(( Karena ketidaktahuan
 saja, kalau tidak tahu janganlah dijustifikasi, saya
 kalau digitukan juga ndak mau. Kasih tahu aja
 kebenarannya kalau misalnya saya salah. Dimana letak
 salahnya, be objektif.
 
 Percaya atau tidak, Kita adalah korban, karena
 ndak tahu, kalau korban tolonglah jangan
 dijustifikasi atau dikoyo-koyo lagi :((. Cerahi saja
 pikiran kami. Agar pulih.
 
 salam,
 aris
 
 A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Jangan samakan
 yang menolak dgn yang mendukung.
 Zaman Belanda dulu juga yg namanya antek Belanda
 sudah
 ada.
 Sekarang jadi antek AS/WTO/Kapitalis.
 
 Kalau saya insya Allah akan menolak pendidikan
 dibisniskan sehingga orang miskin sulit mendapat
 pendidikan.
 
 --- aris solikhah  wrote:
 
  Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar
  Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor
  berusaha mengkritisi tentang privatisasi public
  sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah
  satunya adalah bidang pendidikan.
  
   Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para
 Rektor
  berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan
  polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini
 terlewati.
  Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW
  
  Seperti kita sering mendengungkan menolak
  liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring
 tingkah
  laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi
  perdagangan dengan menerima privatisasi Air,
 Migas,
  berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian,
  mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll.
  
  Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita
  menolak produk-produk Amerika tapi kita
  habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya
  (demokrasi, liberalisme, kapitalisme,
  materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). 
  
  Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah
  mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam
 buku
  'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino,
  menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan
  kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang
  dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia
  mengatakan
  
   Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia
  untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke
  Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang
  tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu
  mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita
  suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti
  mereka dari peradaban mereka.
  
   Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek
  dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka
  untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka
  akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan
  segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka
  sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita
  kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga
  mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu
  demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita
 sebut
  dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan
  diri/ pseudo Eropa).
  
  Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan
  mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau
  mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang
  sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler,
 teknik
  nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima
  beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti
  teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis
  beasiswa kedua sebaiknya dihindari.
  
  salam prihatin,
  aris
  
  
  
  
  
  
  A Nizami  wrote: Perusahaan yang
  full business saja seperti BCA,
  Danamon, Salim Group, dsb bisa 

[ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?

2006-10-09 Terurut Topik ndah maldiniwati
apa anda punya solusi untuk tidak menjadikan org yg bekerja 
dipendidikan itu antek AS/WTO?Kapitalis.  Cukup berikan solusinya!! 
Dan jika anda menolak tunjukkan sikap anda dalam mengkritisi RUU BHP 
agar tidak menjadi UU.  jangan hanya menstempel jidat org seenaknya.

Pendidikan memang mahal, dosen, guru  staf pendidikan perlu digaji, 
lstrik, komputer, alat lab, buku, semuanya harus beli.  Seharusnya 
pendidikan memang tanggungjawab pemerintah, tp jika pemerintah MERASA 
MISKIN untuk membantu yg miskin, harus sperti apa institusi pendidikan 
berjuang menyelenggarakan pendidikan?? jawaban singkat yg banyak 
diambil: Naikkan SPP, bebankan biaya pendidikan semuanya ke mahasiswa/
plajar!!  dan sekali lg saya bilng: inilah kebodohan kaum intelektual.

--- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Jangan samakan yang menolak dgn yang mendukung.
 Zaman Belanda dulu juga yg namanya antek Belanda sudah
 ada.
 Sekarang jadi antek AS/WTO/Kapitalis.
 
 Kalau saya insya Allah akan menolak pendidikan
 dibisniskan sehingga orang miskin sulit mendapat
 pendidikan.
 
 --- aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
  Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar
  Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor
  berusaha mengkritisi tentang privatisasi public
  sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah
  satunya adalah bidang pendidikan.
  
   Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para Rektor
  berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan
  polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini terlewati.
  Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW
  
  Seperti kita sering mendengungkan menolak
  liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring tingkah
  laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi
  perdagangan dengan menerima privatisasi Air, Migas,
  berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian,
  mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll.
  
  Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita
  menolak produk-produk Amerika tapi kita
  habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya
  (demokrasi, liberalisme, kapitalisme,
  materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). 
  
  Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah
  mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam buku
  'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino,
  menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan
  kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang
  dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia
  mengatakan
  
   Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia
  untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke
  Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang
  tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu
  mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita
  suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti
  mereka dari peradaban mereka.
  
   Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek
  dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka
  untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka
  akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan
  segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka
  sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita
  kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga
  mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu
  demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita sebut
  dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan
  diri/ pseudo Eropa).
  
  Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan
  mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau
  mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang
  sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler, teknik
  nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima
  beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti
  teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis
  beasiswa kedua sebaiknya dihindari.
  
  salam prihatin,
  aris
  
  
  
  
  
  
  A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Perusahaan yang
  full business saja seperti BCA,
  Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika
  para
  dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk
  menghidupi diri sendiri.
  
  Paling gampang ya menaikan SPP.
  
  Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran
  20%
  buat pendidiksan.
  
  Tidak perlu ada Public Service. Semuanya
  dibisniskan.
  
  Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada
  Indonesia.
  
  --- aris solikhah  wrote:
  
   Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak
   rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan
   justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB
   adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di
   Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan
  Indonesia
   agak rendah.
   
   Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang
   BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya
   sangat indah dibandingkan kenyataannya.  IKalau PT
   mikirin juga mencari sumber penghasilan lain
   misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah
   pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari
   objekkan, dll.
   
   Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik
  meski
   dibumbui dengan kata-kata yang cantik.
   
   Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah
  

Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?

2006-10-09 Terurut Topik tr�l�s
ternyata kaum intelektual itu bodoh² yah, ga nyangka saya :))

ndah maldiniwati [EMAIL PROTECTED] wrote:  apa anda punya solusi 
untuk tidak menjadikan org yg bekerja 
dipendidikan itu antek AS/WTO?Kapitalis. Cukup berikan solusinya!! 
Dan jika anda menolak tunjukkan sikap anda dalam mengkritisi RUU BHP 
agar tidak menjadi UU. jangan hanya menstempel jidat org seenaknya.

Pendidikan memang mahal, dosen, guru  staf pendidikan perlu digaji, 
lstrik, komputer, alat lab, buku, semuanya harus beli. Seharusnya 
pendidikan memang tanggungjawab pemerintah, tp jika pemerintah MERASA 
MISKIN untuk membantu yg miskin, harus sperti apa institusi pendidikan 
berjuang menyelenggarakan pendidikan?? jawaban singkat yg banyak 
diambil: Naikkan SPP, bebankan biaya pendidikan semuanya ke mahasiswa/
plajar!! dan sekali lg saya bilng: inilah kebodohan kaum intelektual.

--- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Jangan samakan yang menolak dgn yang mendukung.
 Zaman Belanda dulu juga yg namanya antek Belanda sudah
 ada.
 Sekarang jadi antek AS/WTO/Kapitalis.
 
 Kalau saya insya Allah akan menolak pendidikan
 dibisniskan sehingga orang miskin sulit mendapat
 pendidikan.
 
 --- aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
  Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar
  Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor
  berusaha mengkritisi tentang privatisasi public
  sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah
  satunya adalah bidang pendidikan.
  
  Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para Rektor
  berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan
  polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini terlewati.
  Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW
  
  Seperti kita sering mendengungkan menolak
  liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring tingkah
  laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi
  perdagangan dengan menerima privatisasi Air, Migas,
  berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian,
  mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll.
  
  Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita
  menolak produk-produk Amerika tapi kita
  habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya
  (demokrasi, liberalisme, kapitalisme,
  materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). 
  
  Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah
  mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam buku
  'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino,
  menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan
  kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang
  dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia
  mengatakan
  
   Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia
  untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke
  Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang
  tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu
  mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita
  suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti
  mereka dari peradaban mereka.
  
  Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek
  dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka
  untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka
  akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan
  segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka
  sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita
  kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga
  mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu
  demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita sebut
  dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan
  diri/ pseudo Eropa).
  
  Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan
  mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau
  mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang
  sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler, teknik
  nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima
  beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti
  teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis
  beasiswa kedua sebaiknya dihindari.
  
  salam prihatin,
  aris
  
  
  
  
  
  
  A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Perusahaan yang
  full business saja seperti BCA,
  Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika
  para
  dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk
  menghidupi diri sendiri.
  
  Paling gampang ya menaikan SPP.
  
  Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran
  20%
  buat pendidiksan.
  
  Tidak perlu ada Public Service. Semuanya
  dibisniskan.
  
  Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada
  Indonesia.
  
  --- aris solikhah wrote:
  
   Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak
   rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan
   justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB
   adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di
   Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan
  Indonesia
   agak rendah.
   
   Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang
   BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya
   sangat indah dibandingkan kenyataannya. IKalau PT
   mikirin juga mencari sumber penghasilan lain
   misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah
   pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari
   objekkan, dll.
   
   Kenyataan lain mau tidak mau, SPP 

[ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?

2006-10-08 Terurut Topik ndah maldiniwati
Kemunculan BHMN tidak lepas dr escape strategy pemerintah yg ingin 
mengurangi beban APBN.  Seharusnya PT sebagai sebuah perusahaan 
bukannya memebebankan biaya oprasionalnya kapada konsumennya 
(mahasiswa) seharusnya dengan BHMN justru menjadi ajang kompetisi 
berebut riset dgn bekerjasama dengan institusi luar shg menggenjot 
pemasukan.  Kalo PT mensolusikan peningkatan pemasukan dengan 
gencar2nya menaikkan tarif kuliah  mendirikan mall saya melihatnya 
sebagai kebodohan kaum intelektual yg berjiwa kapitalis.

untuk penentuan ranking: wah denger gosip darimana mba?? saat saya 
ikut tim untuk merumuskan indikator penilaian kompetensi PT di 
Indonesia (bukan untuk meranking PT) yang akn digunakan sekjend DIKTI 
 DPPKPM DIKTI kami mengambil acuan antara lain asiaweek dan guardian 
uk.  kualitas PT dinilai dr proses input (kualitas mahasiswa yg 
diterima)-proses-output(kualitas lulusan), dan dalam proses ada banyak 
komponen penunjang proses (proses belajar, kualitas dosen, performa 
keuangan, fasilitas kuliah, performa research).  BAN PT juga melakukan 
penilaian untuk akreditasi dengan indikator2 yg kurang lebih sama.

Silahkan browsing sendiri kriteria2 yg digunakan untuk meranking PT di 
diknasnya canada, amerika or ausy:
BAN PT: http://dikti.go.id/ (masuk ke Badan Akreditasi Nasional)
sekjend dikti: http://si.dikti.go.id/kinerja_rincipt/dirpt.php
guardian: http://education.guardian.co.uk/universityguide2005/0,,
1455246,00.html
asiaweek: http://www.asiaweek.com/asiaweek/features/universities2000/
schools/multi.overall.html
(lihat kriterianya dibawah list PT) 

Semoga bermanfaat

--- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote:

   Dear All,
  HAri ini saya membaca sekilas Humaniora Kompas, mendebarkan rasanya 
membayangkan nasib masa depan Perguruan Tinggi (PT) Indonesia. Akankah 
pendidikan tinggi makin sulit diraih oleh putra-putri  kita?  
  
  
  Dalih internasionalisasi atau dalih mutu perguruan tinggi Indonesia 
yang tidak masuk dalam 100 besar terbaik dunia, kita perlu 
memprivatisasi? ataukah saya salah menyimpulkan apa yang dimaksud 
dengan privatisasi PT?  CMIIW
  
  Saya pernah mendengar, salah satu kriteria penilaian 100 PT terbaik 
dunia diantaranya adalah jumlah mahasiswa luar negeri yang kuliah di 
sebuah PT minimal 30 persen dan kriteria lain adalah nominal SPP 
(biaya kuliah) yang sangat mahal. Bila ini benar maka, kapan pun sulit 
PT Indonesia masuk dalam 100 terbaik dunia. Bukan karena kualitasnya 
kurang bermutu, tapi kriterianya yang mungkin sulit terjangkau. Apakah 
ini disengaja atau tidak?
  
  Adakah kaitannya BHP dengan proyek World Bank- IMHERE-DIKTI?
  
  
  Salam prihatin Masa depan Pendidikan Indonesia,
  
  Dari orang yang Sayang Ama almamaternya.
  
  
  http://www.kompas.com/
  
  Baca: 
  
  BHP Identik Kapitalisme 
Privatisasi Pendidikan   Cenderung Abaikan Keadilan Sosial
Jakarta, Kompas - Sama halnya dengan   layanan kesehatan, sektor 
pendidikan pun hendaknya dianggap sebagai hak dasar   bagi setiap 
warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika model   
pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, 
taruhannya   adalah pada generasi penerus bangsa. 
Privatisasi itu   memang berangkat dari konsep liberalisme dan 
kapitalisme, di mana model   pelayanan sudah membidik segmen tertentu 
demi perputaran modal, kata   Eko Prasojo, guru besar administrasi 
publik dari Universitas Indonesia,   Kamis (5/10) di Jakarta. 
Oleh karena itu, dia   menyarankan agar model pelayanan publik 
untuk hak-hak dasar warga negara   lebih pantas dibenahi dengan 
modernisasi ketimbang privatisasi. Ini   dimungkinkan karena 
modernisasi lebih mementingkan layanan yang efisien tanpa   
mengabaikan kondisi sosial ekonomi sebagian besar masyarakat. Adapun   
privatisasi lebih berorientasi pada penghasilan tanpa mempertimbangkan 
  kondisi sosial ekonomi masyarakat. 
Ia mengingatkan, jika   pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-
Jusuf Kalla serius menargetkan   perbaikan indeks pembangunan manusia 
(human development index/HDI), Rancangan   Undang-Undang Badan Hukum 
Pendidikan (RUU BHP) hendaknya jangan sampai   terjerumus ke 
liberalisasi dan kapitalisasi. 
Sebagai alternatif untuk   model BHP, Eko menawarkan konsep badan 
layanan umum (BLU), seperti tertera   dalam Undang-Undang Nomor 1 
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pasal   67 UU tersebut 
menyebutkan bahwa BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan   dalam 
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 
Secara terpisah, Direktur   Lembaga Swadaya Masyarakat untuk 
Peningkatan Pendidikan Indonesia Ading   Sutisna berpendapat, untuk 
menumbuhkan partisipasi masyarakat yang transparan   dan akuntabel di 
tingkat satuan pendidikan, yang lebih dibutuhkan adalah BHP   berpola 
public private partnership (PPP/kemitraan antara pemerintah dan   
masyarakat), bukan privatisasi 

Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?

2006-10-08 Terurut Topik aris solikhah
Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak rektor sendiri mbakyu. ^_^ 
mungkin untuk tambahan justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB adalah 
seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di Jepang. Sehingga wajar kualitas 
pendidikan Indonesia agak rendah.

Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang BHMN tepat sekali demikian 
adanya. Teori keluarnya sangat indah dibandingkan kenyataannya.  IKalau PT 
mikirin juga mencari sumber penghasilan lain misalnya dengan pembuatan mall dll 
bukankah pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari objekkan, dll.

Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik meski dibumbui dengan kata-kata 
yang cantik.

Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah tanggungjawab negara. Kalau sekolah 
dikomersialkan, lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India yang memurahkan 
pendidikan. Dunia pendidikan kita mendidik kita untuk jadi buruh professional 
ahli yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk mandiri. 

Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate kualifikasi itu, saya jamin 
mbak sangat paham kemana tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan?

Saya mohon, bisakah kebijakan RUU BHP ini dievaluasi kembali sebelum semuanya 
terlambat? Saya tak bisa membayangkan mahalnya pendidikan kita,  siapa yang 
bisa kuliah nantinya, orang miskin makin miskin dan bodoh, makin terpuruknya 
Indonesia, serta makin terbudakkan SDM kita, plis. 



salam,
aris





ndah maldiniwati [EMAIL PROTECTED] wrote: Kemunculan BHMN tidak lepas dr 
escape strategy pemerintah yg ingin 
mengurangi beban APBN.  Seharusnya PT sebagai sebuah perusahaan 
bukannya memebebankan biaya oprasionalnya kapada konsumennya 
(mahasiswa) seharusnya dengan BHMN justru menjadi ajang kompetisi 
berebut riset dgn bekerjasama dengan institusi luar shg menggenjot 
pemasukan.  Kalo PT mensolusikan peningkatan pemasukan dengan 
gencar2nya menaikkan tarif kuliah  mendirikan mall saya melihatnya 
sebagai kebodohan kaum intelektual yg berjiwa kapitalis.

untuk penentuan ranking: wah denger gosip darimana mba?? saat saya 
ikut tim untuk merumuskan indikator penilaian kompetensi PT di 
Indonesia (bukan untuk meranking PT) yang akn digunakan sekjend DIKTI 
 DPPKPM DIKTI kami mengambil acuan antara lain asiaweek dan guardian 
uk.  kualitas PT dinilai dr proses input (kualitas mahasiswa yg 
diterima)-proses-output(kualitas lulusan), dan dalam proses ada banyak 
komponen penunjang proses (proses belajar, kualitas dosen, performa 
keuangan, fasilitas kuliah, performa research).  BAN PT juga melakukan 
penilaian untuk akreditasi dengan indikator2 yg kurang lebih sama.

Silahkan browsing sendiri kriteria2 yg digunakan untuk meranking PT di 
diknasnya canada, amerika or ausy:
BAN PT: http://dikti.go.id/ (masuk ke Badan Akreditasi Nasional)
sekjend dikti: http://si.dikti.go.id/kinerja_rincipt/dirpt.php
guardian: http://education.guardian.co.uk/universityguide2005/0,,
1455246,00.html
asiaweek: http://www.asiaweek.com/asiaweek/features/universities2000/
schools/multi.overall.html
(lihat kriterianya dibawah list PT) 

Semoga bermanfaat

--- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah  wrote:

   Dear All,
  HAri ini saya membaca sekilas Humaniora Kompas, mendebarkan rasanya 
membayangkan nasib masa depan Perguruan Tinggi (PT) Indonesia. Akankah 
pendidikan tinggi makin sulit diraih oleh putra-putri  kita?  
  
  
  Dalih internasionalisasi atau dalih mutu perguruan tinggi Indonesia 
yang tidak masuk dalam 100 besar terbaik dunia, kita perlu 
memprivatisasi? ataukah saya salah menyimpulkan apa yang dimaksud 
dengan privatisasi PT?  CMIIW
  
  Saya pernah mendengar, salah satu kriteria penilaian 100 PT terbaik 
dunia diantaranya adalah jumlah mahasiswa luar negeri yang kuliah di 
sebuah PT minimal 30 persen dan kriteria lain adalah nominal SPP 
(biaya kuliah) yang sangat mahal. Bila ini benar maka, kapan pun sulit 
PT Indonesia masuk dalam 100 terbaik dunia. Bukan karena kualitasnya 
kurang bermutu, tapi kriterianya yang mungkin sulit terjangkau. Apakah 
ini disengaja atau tidak?
  
  Adakah kaitannya BHP dengan proyek World Bank- IMHERE-DIKTI?
  
  
  Salam prihatin Masa depan Pendidikan Indonesia,
  
  Dari orang yang Sayang Ama almamaternya.
  
  
  http://www.kompas.com/
  
  Baca: 
  
  BHP Identik Kapitalisme 
Privatisasi Pendidikan   Cenderung Abaikan Keadilan Sosial
Jakarta, Kompas - Sama halnya dengan   layanan kesehatan, sektor 
pendidikan pun hendaknya dianggap sebagai hak dasar   bagi setiap 
warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika model   
pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, 
taruhannya   adalah pada generasi penerus bangsa. 
Privatisasi itu   memang berangkat dari konsep liberalisme dan 
kapitalisme, di mana model   pelayanan sudah membidik segmen tertentu 
demi perputaran modal, kata   Eko Prasojo, guru besar administrasi 
publik dari Universitas Indonesia,   Kamis (5/10) di Jakarta. 
Oleh karena itu,