Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?
Perusahaan yang full business saja seperti BCA, Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika para dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk menghidupi diri sendiri. Paling gampang ya menaikan SPP. Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran 20% buat pendidiksan. Tidak perlu ada Public Service. Semuanya dibisniskan. Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada Indonesia. --- aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote: Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan Indonesia agak rendah. Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya sangat indah dibandingkan kenyataannya. IKalau PT mikirin juga mencari sumber penghasilan lain misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari objekkan, dll. Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik meski dibumbui dengan kata-kata yang cantik. Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah tanggungjawab negara. Kalau sekolah dikomersialkan, lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India yang memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita mendidik kita untuk jadi buruh professional ahli yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk mandiri. Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham kemana tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan? Saya mohon, bisakah kebijakan RUU BHP ini dievaluasi kembali sebelum semuanya terlambat? Saya tak bisa membayangkan mahalnya pendidikan kita, siapa yang bisa kuliah nantinya, orang miskin makin miskin dan bodoh, makin terpuruknya Indonesia, serta makin terbudakkan SDM kita, plis. salam, aris ndah maldiniwati [EMAIL PROTECTED] wrote: Kemunculan BHMN tidak lepas dr escape strategy pemerintah yg ingin mengurangi beban APBN. Seharusnya PT sebagai sebuah perusahaan bukannya memebebankan biaya oprasionalnya kapada konsumennya (mahasiswa) seharusnya dengan BHMN justru menjadi ajang kompetisi berebut riset dgn bekerjasama dengan institusi luar shg menggenjot pemasukan. Kalo PT mensolusikan peningkatan pemasukan dengan gencar2nya menaikkan tarif kuliah mendirikan mall saya melihatnya sebagai kebodohan kaum intelektual yg berjiwa kapitalis. untuk penentuan ranking: wah denger gosip darimana mba?? saat saya ikut tim untuk merumuskan indikator penilaian kompetensi PT di Indonesia (bukan untuk meranking PT) yang akn digunakan sekjend DIKTI DPPKPM DIKTI kami mengambil acuan antara lain asiaweek dan guardian uk. kualitas PT dinilai dr proses input (kualitas mahasiswa yg diterima)-proses-output(kualitas lulusan), dan dalam proses ada banyak komponen penunjang proses (proses belajar, kualitas dosen, performa keuangan, fasilitas kuliah, performa research). BAN PT juga melakukan penilaian untuk akreditasi dengan indikator2 yg kurang lebih sama. Silahkan browsing sendiri kriteria2 yg digunakan untuk meranking PT di diknasnya canada, amerika or ausy: BAN PT: http://dikti.go.id/ (masuk ke Badan Akreditasi Nasional) sekjend dikti: http://si.dikti.go.id/kinerja_rincipt/dirpt.php guardian: http://education.guardian.co.uk/universityguide2005/0,, 1455246,00.html asiaweek: http://www.asiaweek.com/asiaweek/features/universities2000/ schools/multi.overall.html (lihat kriterianya dibawah list PT) Semoga bermanfaat --- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah wrote: Dear All, HAri ini saya membaca sekilas Humaniora Kompas, mendebarkan rasanya membayangkan nasib masa depan Perguruan Tinggi (PT) Indonesia. Akankah pendidikan tinggi makin sulit diraih oleh putra-putri kita? Dalih internasionalisasi atau dalih mutu perguruan tinggi Indonesia yang tidak masuk dalam 100 besar terbaik dunia, kita perlu memprivatisasi? ataukah saya salah menyimpulkan apa yang dimaksud dengan privatisasi PT? CMIIW Saya pernah mendengar, salah satu kriteria penilaian 100 PT terbaik dunia diantaranya adalah jumlah mahasiswa luar negeri yang kuliah di sebuah PT minimal 30 persen dan kriteria lain adalah nominal SPP (biaya kuliah) yang sangat mahal. Bila ini benar maka, kapan pun sulit PT Indonesia masuk dalam 100 terbaik dunia. Bukan karena kualitasnya kurang bermutu, tapi kriterianya yang mungkin sulit terjangkau. Apakah ini disengaja atau tidak? Adakah kaitannya BHP dengan proyek World Bank- IMHERE-DIKTI? Salam prihatin Masa depan Pendidikan Indonesia, Dari orang yang Sayang Ama almamaternya. http://www.kompas.com/ Baca: BHP Identik Kapitalisme Privatisasi Pendidikan Cenderung Abaikan Keadilan Sosial Jakarta, Kompas - Sama
Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?
Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor berusaha mengkritisi tentang privatisasi public sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah satunya adalah bidang pendidikan. Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para Rektor berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini terlewati. Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW Seperti kita sering mendengungkan menolak liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring tingkah laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi perdagangan dengan menerima privatisasi Air, Migas, berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian, mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll. Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita menolak produk-produk Amerika tapi kita habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya (demokrasi, liberalisme, kapitalisme, materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam buku 'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino, menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia mengatakan Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti mereka dari peradaban mereka. Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita sebut dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan diri/ pseudo Eropa). Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler, teknik nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis beasiswa kedua sebaiknya dihindari. salam prihatin, aris A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Perusahaan yang full business saja seperti BCA, Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika para dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk menghidupi diri sendiri. Paling gampang ya menaikan SPP. Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran 20% buat pendidiksan. Tidak perlu ada Public Service. Semuanya dibisniskan. Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada Indonesia. --- aris solikhah wrote: Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan Indonesia agak rendah. Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya sangat indah dibandingkan kenyataannya. IKalau PT mikirin juga mencari sumber penghasilan lain misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari objekkan, dll. Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik meski dibumbui dengan kata-kata yang cantik. Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah tanggungjawab negara. Kalau sekolah dikomersialkan, lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India yang memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita mendidik kita untuk jadi buruh professional ahli yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk mandiri. Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham kemana tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan? Saya mohon, bisakah kebijakan RUU BHP ini dievaluasi kembali sebelum semuanya terlambat? Saya tak bisa membayangkan mahalnya pendidikan kita, siapa yang bisa kuliah nantinya, orang miskin makin miskin dan bodoh, makin terpuruknya Indonesia, serta makin terbudakkan SDM kita, plis. salam, aris ndah maldiniwati wrote: Kemunculan BHMN tidak lepas dr escape strategy pemerintah yg ingin mengurangi beban APBN. Seharusnya PT sebagai sebuah perusahaan bukannya memebebankan biaya oprasionalnya kapada konsumennya (mahasiswa) seharusnya dengan BHMN justru menjadi ajang kompetisi berebut riset dgn bekerjasama dengan institusi luar shg menggenjot pemasukan. Kalo PT mensolusikan peningkatan pemasukan dengan gencar2nya menaikkan tarif kuliah mendirikan mall saya melihatnya sebagai kebodohan kaum intelektual yg berjiwa kapitalis. untuk penentuan ranking: wah denger gosip
[ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?
koreksi: Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham kemana tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan? ==qt nyusun kualifikasi untuk self evaluation PT, tujuannya membantu end user (calon mahasiswa) untuk mendapatkan informasi ttg kualitas PT di Indonesia dan membangun database PT berbasis SIM. Jd ga ada hubg dg akan keluarnya UU BHP Gosip dr pk matjikk harusnya di clear-kan sekalian mba, kenapa Jepang bisa lebih murah (ada datanya ga? hehe ga brani nanya ya). Dalam membandingkan biaya kuliah bukan murni ngliat nominalnya saja, karena itu bukanlah indikator yg bisa menilai performa PT, tp biaya kuliah biasanya qt bandingkan dengan IPK. Mungkin Jepank bisa lebih murah SPP-nya karena dana yg diperoleh dari research grant, public research funding, industry funding 4 research, penerbitan buku jurnal sudah besar. Jadi SPP bukan menjadi tumpuan pendapatan, bahkan Australian National University yg menjadi ranking 1 dlm asiaweek dlm indikator finance resource, SPPnya hanya menyetor 6%an dr total pemasukan. Kalopun IPB belum bisa masuk 100 top ranking di asiaweek silahkan ber- self evaluation indikator mana aja yg nilainya memprihatinkan hehehe (jgn2 gara2 laporn keuangannya yg ga transparan:)) Karena ketidakmampuan kemalasan PT di Indonesia dalam menggalang income dr research, industri, dll (non SPP) inilah yg menjadi dugaan saya menjadi biang kerok mahalnya SPP. Dosen cari obyekan menurut saya sih tidak masalah asal masih bisa bertanggungjawab thd kegiatan akademiknya, kalo researchnya banyak tentunya dosennya ga perlu nyari obyekan diluar kan?? informasi RUU BHP yg saya trima masih simpang siur, tp kalo melihat tujuannya dimana BHP sbg badan hukum satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat yang mempunyai fungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana untuk memajukan satuan pendidikan sepertinya tim penyusunnya punya redaksional yg bagus:) tp implementasinya pasti bakal menyipang jauh dr tujuan itu kalo ga didukung aturan pelaksanaan yg jelas. Monggo mba aris ngubungin tim penyusunnya mungkin ada org IPB yg ikut tim ini --- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote: Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan Indonesia agak rendah. Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya sangat indah dibandingkan kenyataannya. IKalau PT mikirin juga mencari sumber penghasilan lain misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari objekkan, dll. Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik meski dibumbui dengan kata-kata yang cantik. Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah tanggungjawab negara. Kalau sekolah dikomersialkan, lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India yang memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita mendidik kita untuk jadi buruh professional ahli yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk mandiri. Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham kemana tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan? Saya mohon, bisakah kebijakan RUU BHP ini dievaluasi kembali sebelum semuanya terlambat? Saya tak bisa membayangkan mahalnya pendidikan kita, siapa yang bisa kuliah nantinya, orang miskin makin miskin dan bodoh, makin terpuruknya Indonesia, serta makin terbudakkan SDM kita, plis. salam, aris ndah maldiniwati [EMAIL PROTECTED] wrote: Kemunculan BHMN tidak lepas dr escape strategy pemerintah yg ingin mengurangi beban APBN. Seharusnya PT sebagai sebuah perusahaan bukannya memebebankan biaya oprasionalnya kapada konsumennya (mahasiswa) seharusnya dengan BHMN justru menjadi ajang kompetisi berebut riset dgn bekerjasama dengan institusi luar shg menggenjot pemasukan. Kalo PT mensolusikan peningkatan pemasukan dengan gencar2nya menaikkan tarif kuliah mendirikan mall saya melihatnya sebagai kebodohan kaum intelektual yg berjiwa kapitalis. untuk penentuan ranking: wah denger gosip darimana mba?? saat saya ikut tim untuk merumuskan indikator penilaian kompetensi PT di Indonesia (bukan untuk meranking PT) yang akn digunakan sekjend DIKTI DPPKPM DIKTI kami mengambil acuan antara lain asiaweek dan guardian uk. kualitas PT dinilai dr proses input (kualitas mahasiswa yg diterima)-proses-output(kualitas lulusan), dan dalam proses ada banyak komponen penunjang proses (proses belajar, kualitas dosen, performa keuangan, fasilitas kuliah, performa research). BAN PT juga melakukan penilaian untuk akreditasi dengan indikator2 yg kurang lebih sama. Silahkan browsing sendiri kriteria2 yg digunakan untuk
Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?
Jangan samakan yang menolak dgn yang mendukung. Zaman Belanda dulu juga yg namanya antek Belanda sudah ada. Sekarang jadi antek AS/WTO/Kapitalis. Kalau saya insya Allah akan menolak pendidikan dibisniskan sehingga orang miskin sulit mendapat pendidikan. --- aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote: Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor berusaha mengkritisi tentang privatisasi public sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah satunya adalah bidang pendidikan. Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para Rektor berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini terlewati. Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW Seperti kita sering mendengungkan menolak liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring tingkah laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi perdagangan dengan menerima privatisasi Air, Migas, berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian, mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll. Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita menolak produk-produk Amerika tapi kita habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya (demokrasi, liberalisme, kapitalisme, materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam buku 'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino, menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia mengatakan Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti mereka dari peradaban mereka. Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita sebut dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan diri/ pseudo Eropa). Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler, teknik nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis beasiswa kedua sebaiknya dihindari. salam prihatin, aris A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Perusahaan yang full business saja seperti BCA, Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika para dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk menghidupi diri sendiri. Paling gampang ya menaikan SPP. Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran 20% buat pendidiksan. Tidak perlu ada Public Service. Semuanya dibisniskan. Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada Indonesia. --- aris solikhah wrote: Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan Indonesia agak rendah. Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya sangat indah dibandingkan kenyataannya. IKalau PT mikirin juga mencari sumber penghasilan lain misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari objekkan, dll. Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik meski dibumbui dengan kata-kata yang cantik. Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah tanggungjawab negara. Kalau sekolah dikomersialkan, lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India yang memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita mendidik kita untuk jadi buruh professional ahli yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk mandiri. Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham kemana tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan? Saya mohon, bisakah kebijakan RUU BHP ini dievaluasi kembali sebelum semuanya terlambat? Saya tak bisa membayangkan mahalnya pendidikan kita, siapa yang bisa kuliah nantinya, orang miskin makin miskin dan bodoh, makin terpuruknya Indonesia, serta makin terbudakkan SDM kita, plis. salam, aris ndah maldiniwati wrote: Kemunculan BHMN tidak lepas dr escape strategy pemerintah yg ingin mengurangi beban APBN. Seharusnya PT sebagai sebuah perusahaan bukannya
Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?
Mas maaf lho ya, jangan kembali dong pakai bahasa itu lagi plis. Saya lebih suka mengatakan korban, termasuk saya, bukan antek. :(( Karena ketidaktahuan saja, kalau tidak tahu janganlah dijustifikasi, saya kalau digitukan juga ndak mau. Kasih tahu aja kebenarannya kalau misalnya saya salah. Dimana letak salahnya, be objektif. Percaya atau tidak, Kita adalah korban, karena ndak tahu, kalau korban tolonglah jangan dijustifikasi atau dikoyo-koyo lagi :((. Cerahi saja pikiran kami. Agar pulih. salam, aris A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Jangan samakan yang menolak dgn yang mendukung. Zaman Belanda dulu juga yg namanya antek Belanda sudah ada. Sekarang jadi antek AS/WTO/Kapitalis. Kalau saya insya Allah akan menolak pendidikan dibisniskan sehingga orang miskin sulit mendapat pendidikan. --- aris solikhah wrote: Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor berusaha mengkritisi tentang privatisasi public sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah satunya adalah bidang pendidikan. Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para Rektor berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini terlewati. Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW Seperti kita sering mendengungkan menolak liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring tingkah laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi perdagangan dengan menerima privatisasi Air, Migas, berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian, mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll. Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita menolak produk-produk Amerika tapi kita habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya (demokrasi, liberalisme, kapitalisme, materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam buku 'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino, menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia mengatakan Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti mereka dari peradaban mereka. Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita sebut dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan diri/ pseudo Eropa). Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler, teknik nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis beasiswa kedua sebaiknya dihindari. salam prihatin, aris A Nizami wrote: Perusahaan yang full business saja seperti BCA, Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika para dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk menghidupi diri sendiri. Paling gampang ya menaikan SPP. Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran 20% buat pendidiksan. Tidak perlu ada Public Service. Semuanya dibisniskan. Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada Indonesia. --- aris solikhah wrote: Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan Indonesia agak rendah. Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya sangat indah dibandingkan kenyataannya. IKalau PT mikirin juga mencari sumber penghasilan lain misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari objekkan, dll. Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik meski dibumbui dengan kata-kata yang cantik. Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah tanggungjawab negara. Kalau sekolah dikomersialkan, lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India yang memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita mendidik kita untuk jadi buruh professional ahli yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk mandiri. Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham kemana tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan? Saya
Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?
Begini. Ada yang menolak, ada yang mendukung. Itu fakta. Yang mendukung itu ada yang karena tidak tahu (nah ini bisa disebut korban), ada juga dia tahu tapi sengaja melakukan itu karena dibayar atau apa. Zaman Belanda kan begitu? Ada pejuang, ada yang nrimo nurut, ada pula yang memang sengaja menjadi antek penjajah. Kita tidak perlu berhalus2 terhadap orang seperti itu. Nabi saja mampu menyebut Abu Hakam sebagai Abu Jahal karena kedegilannya. Atau Musailamah sebagai Al Kadzab (Pembohong besar) karena mengaku Nabi palsu. Atau Ubaydillah bin Ubay sebagi munafik. Terhadap orang yang merusak kita tidak perlu berhalus-halus. Ini agar orang awam tahu bahwa mereka itu rusak/antek sehingga tidak tertipu oleh mereka. Dan mereka tidak punya ruang gerak untuk menipu bangsa kita. Itulah Sunnatullah dan Sunnah Nabi. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. [Al Fath:29] Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. [An Nisaa':88] --- aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas maaf lho ya, jangan kembali dong pakai bahasa itu lagi plis. Saya lebih suka mengatakan korban, termasuk saya, bukan antek. :(( Karena ketidaktahuan saja, kalau tidak tahu janganlah dijustifikasi, saya kalau digitukan juga ndak mau. Kasih tahu aja kebenarannya kalau misalnya saya salah. Dimana letak salahnya, be objektif. Percaya atau tidak, Kita adalah korban, karena ndak tahu, kalau korban tolonglah jangan dijustifikasi atau dikoyo-koyo lagi :((. Cerahi saja pikiran kami. Agar pulih. salam, aris A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Jangan samakan yang menolak dgn yang mendukung. Zaman Belanda dulu juga yg namanya antek Belanda sudah ada. Sekarang jadi antek AS/WTO/Kapitalis. Kalau saya insya Allah akan menolak pendidikan dibisniskan sehingga orang miskin sulit mendapat pendidikan. --- aris solikhah wrote: Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor berusaha mengkritisi tentang privatisasi public sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah satunya adalah bidang pendidikan. Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para Rektor berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini terlewati. Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW Seperti kita sering mendengungkan menolak liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring tingkah laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi perdagangan dengan menerima privatisasi Air, Migas, berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian, mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll. Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita menolak produk-produk Amerika tapi kita habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya (demokrasi, liberalisme, kapitalisme, materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam buku 'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino, menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia mengatakan Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti mereka dari peradaban mereka. Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita sebut dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan diri/ pseudo Eropa). Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler, teknik nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis beasiswa kedua sebaiknya dihindari. salam prihatin, aris A Nizami wrote: Perusahaan yang full business saja seperti BCA, Danamon, Salim Group, dsb bisa
[ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?
apa anda punya solusi untuk tidak menjadikan org yg bekerja dipendidikan itu antek AS/WTO?Kapitalis. Cukup berikan solusinya!! Dan jika anda menolak tunjukkan sikap anda dalam mengkritisi RUU BHP agar tidak menjadi UU. jangan hanya menstempel jidat org seenaknya. Pendidikan memang mahal, dosen, guru staf pendidikan perlu digaji, lstrik, komputer, alat lab, buku, semuanya harus beli. Seharusnya pendidikan memang tanggungjawab pemerintah, tp jika pemerintah MERASA MISKIN untuk membantu yg miskin, harus sperti apa institusi pendidikan berjuang menyelenggarakan pendidikan?? jawaban singkat yg banyak diambil: Naikkan SPP, bebankan biaya pendidikan semuanya ke mahasiswa/ plajar!! dan sekali lg saya bilng: inilah kebodohan kaum intelektual. --- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Jangan samakan yang menolak dgn yang mendukung. Zaman Belanda dulu juga yg namanya antek Belanda sudah ada. Sekarang jadi antek AS/WTO/Kapitalis. Kalau saya insya Allah akan menolak pendidikan dibisniskan sehingga orang miskin sulit mendapat pendidikan. --- aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote: Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor berusaha mengkritisi tentang privatisasi public sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah satunya adalah bidang pendidikan. Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para Rektor berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini terlewati. Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW Seperti kita sering mendengungkan menolak liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring tingkah laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi perdagangan dengan menerima privatisasi Air, Migas, berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian, mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll. Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita menolak produk-produk Amerika tapi kita habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya (demokrasi, liberalisme, kapitalisme, materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam buku 'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino, menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia mengatakan Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti mereka dari peradaban mereka. Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita sebut dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan diri/ pseudo Eropa). Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler, teknik nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis beasiswa kedua sebaiknya dihindari. salam prihatin, aris A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Perusahaan yang full business saja seperti BCA, Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika para dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk menghidupi diri sendiri. Paling gampang ya menaikan SPP. Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran 20% buat pendidiksan. Tidak perlu ada Public Service. Semuanya dibisniskan. Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada Indonesia. --- aris solikhah wrote: Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan Indonesia agak rendah. Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya sangat indah dibandingkan kenyataannya. IKalau PT mikirin juga mencari sumber penghasilan lain misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari objekkan, dll. Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik meski dibumbui dengan kata-kata yang cantik. Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah
Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?
ternyata kaum intelektual itu bodoh² yah, ga nyangka saya :)) ndah maldiniwati [EMAIL PROTECTED] wrote: apa anda punya solusi untuk tidak menjadikan org yg bekerja dipendidikan itu antek AS/WTO?Kapitalis. Cukup berikan solusinya!! Dan jika anda menolak tunjukkan sikap anda dalam mengkritisi RUU BHP agar tidak menjadi UU. jangan hanya menstempel jidat org seenaknya. Pendidikan memang mahal, dosen, guru staf pendidikan perlu digaji, lstrik, komputer, alat lab, buku, semuanya harus beli. Seharusnya pendidikan memang tanggungjawab pemerintah, tp jika pemerintah MERASA MISKIN untuk membantu yg miskin, harus sperti apa institusi pendidikan berjuang menyelenggarakan pendidikan?? jawaban singkat yg banyak diambil: Naikkan SPP, bebankan biaya pendidikan semuanya ke mahasiswa/ plajar!! dan sekali lg saya bilng: inilah kebodohan kaum intelektual. --- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Jangan samakan yang menolak dgn yang mendukung. Zaman Belanda dulu juga yg namanya antek Belanda sudah ada. Sekarang jadi antek AS/WTO/Kapitalis. Kalau saya insya Allah akan menolak pendidikan dibisniskan sehingga orang miskin sulit mendapat pendidikan. --- aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote: Tepat sekali mas. Dalam pertemuan forum antar Rektor, 2 tahun silam sebenarnya para rektor berusaha mengkritisi tentang privatisasi public sevice kesepakatan WTO yang di dalamnya salah satunya adalah bidang pendidikan. Selanjutnya bisa jadi rumah sakit dll. Para Rektor berusaha menolaknya, sayangnya gaya indah dan polesan BHMN, BHP membuat kekritisan ini terlewati. Memang harus jeli mengamatinya. CMIIW Seperti kita sering mendengungkan menolak liberalisasi perdagangan. Ucapan tak seiring tingkah laku. Perilaku kita malah menuju liberalisasi perdagangan dengan menerima privatisasi Air, Migas, berlomba-lomba memantenkan hasil penelitian, mencabut subsidi (pendidikan, pertanian, BBM) dll. Atau seperti yang pernah ditulis mas Irwan, kita menolak produk-produk Amerika tapi kita habis-habisan menerima dan memasarkan pemikirannya (demokrasi, liberalisme, kapitalisme, materialinialisme, sekularisme, polesan HAMnya). Ali Syari'aiti dalam bukunya Ummah dan Imammah mengutip kata pengantar Jane paul Sartre dalam buku 'Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino, menuturkan pada kita tentang sistem dan penyiapan kaum terpelajar (tepatnya pseudo-eropa) yang dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia mengatakan Kita pilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang tambah AS dan Ausi ya). Sesudah beberapa waktu mereka kita ebri baju dengan model Eropa, kita suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti mereka dari peradaban mereka. Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu demi dirinya sendiri. mereka itulah yang kita sebut dengan assimiles (orang-orang yang menyesuaikan diri/ pseudo Eropa). Bagi saya tak masalah bahkan memakai produk AS dan mengambil teknologinya (tentu yang halal) atau mengambil beasiswa ke sana terutama beasiswa yang sifatnya Teknologi seperti mikrobiomolekuler, teknik nuklir dll, dan harus ektra hati-hati menerima beasiswa yang berisi muatan pemikiran seperti teologi, filsafat, politik, hukum dll. Kalau jenis beasiswa kedua sebaiknya dihindari. salam prihatin, aris A Nizami [EMAIL PROTECTED] wrote: Perusahaan yang full business saja seperti BCA, Danamon, Salim Group, dsb bisa rugi. Apalagi jika para dosen dan profesor di PT disuruh cari bisnis untuk menghidupi diri sendiri. Paling gampang ya menaikan SPP. Kalau sudah begitu tidak perlu lagi kita anggaran 20% buat pendidiksan. Tidak perlu ada Public Service. Semuanya dibisniskan. Inilah kebijakan yang dipaksakan WTO kepada Indonesia. --- aris solikhah wrote: Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan Indonesia agak rendah. Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya sangat indah dibandingkan kenyataannya. IKalau PT mikirin juga mencari sumber penghasilan lain misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari objekkan, dll. Kenyataan lain mau tidak mau, SPP
[ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?
Kemunculan BHMN tidak lepas dr escape strategy pemerintah yg ingin mengurangi beban APBN. Seharusnya PT sebagai sebuah perusahaan bukannya memebebankan biaya oprasionalnya kapada konsumennya (mahasiswa) seharusnya dengan BHMN justru menjadi ajang kompetisi berebut riset dgn bekerjasama dengan institusi luar shg menggenjot pemasukan. Kalo PT mensolusikan peningkatan pemasukan dengan gencar2nya menaikkan tarif kuliah mendirikan mall saya melihatnya sebagai kebodohan kaum intelektual yg berjiwa kapitalis. untuk penentuan ranking: wah denger gosip darimana mba?? saat saya ikut tim untuk merumuskan indikator penilaian kompetensi PT di Indonesia (bukan untuk meranking PT) yang akn digunakan sekjend DIKTI DPPKPM DIKTI kami mengambil acuan antara lain asiaweek dan guardian uk. kualitas PT dinilai dr proses input (kualitas mahasiswa yg diterima)-proses-output(kualitas lulusan), dan dalam proses ada banyak komponen penunjang proses (proses belajar, kualitas dosen, performa keuangan, fasilitas kuliah, performa research). BAN PT juga melakukan penilaian untuk akreditasi dengan indikator2 yg kurang lebih sama. Silahkan browsing sendiri kriteria2 yg digunakan untuk meranking PT di diknasnya canada, amerika or ausy: BAN PT: http://dikti.go.id/ (masuk ke Badan Akreditasi Nasional) sekjend dikti: http://si.dikti.go.id/kinerja_rincipt/dirpt.php guardian: http://education.guardian.co.uk/universityguide2005/0,, 1455246,00.html asiaweek: http://www.asiaweek.com/asiaweek/features/universities2000/ schools/multi.overall.html (lihat kriterianya dibawah list PT) Semoga bermanfaat --- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah [EMAIL PROTECTED] wrote: Dear All, HAri ini saya membaca sekilas Humaniora Kompas, mendebarkan rasanya membayangkan nasib masa depan Perguruan Tinggi (PT) Indonesia. Akankah pendidikan tinggi makin sulit diraih oleh putra-putri kita? Dalih internasionalisasi atau dalih mutu perguruan tinggi Indonesia yang tidak masuk dalam 100 besar terbaik dunia, kita perlu memprivatisasi? ataukah saya salah menyimpulkan apa yang dimaksud dengan privatisasi PT? CMIIW Saya pernah mendengar, salah satu kriteria penilaian 100 PT terbaik dunia diantaranya adalah jumlah mahasiswa luar negeri yang kuliah di sebuah PT minimal 30 persen dan kriteria lain adalah nominal SPP (biaya kuliah) yang sangat mahal. Bila ini benar maka, kapan pun sulit PT Indonesia masuk dalam 100 terbaik dunia. Bukan karena kualitasnya kurang bermutu, tapi kriterianya yang mungkin sulit terjangkau. Apakah ini disengaja atau tidak? Adakah kaitannya BHP dengan proyek World Bank- IMHERE-DIKTI? Salam prihatin Masa depan Pendidikan Indonesia, Dari orang yang Sayang Ama almamaternya. http://www.kompas.com/ Baca: BHP Identik Kapitalisme Privatisasi Pendidikan Cenderung Abaikan Keadilan Sosial Jakarta, Kompas - Sama halnya dengan layanan kesehatan, sektor pendidikan pun hendaknya dianggap sebagai hak dasar bagi setiap warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika model pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, taruhannya adalah pada generasi penerus bangsa. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal, kata Eko Prasojo, guru besar administrasi publik dari Universitas Indonesia, Kamis (5/10) di Jakarta. Oleh karena itu, dia menyarankan agar model pelayanan publik untuk hak-hak dasar warga negara lebih pantas dibenahi dengan modernisasi ketimbang privatisasi. Ini dimungkinkan karena modernisasi lebih mementingkan layanan yang efisien tanpa mengabaikan kondisi sosial ekonomi sebagian besar masyarakat. Adapun privatisasi lebih berorientasi pada penghasilan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ia mengingatkan, jika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla serius menargetkan perbaikan indeks pembangunan manusia (human development index/HDI), Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) hendaknya jangan sampai terjerumus ke liberalisasi dan kapitalisasi. Sebagai alternatif untuk model BHP, Eko menawarkan konsep badan layanan umum (BLU), seperti tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 67 UU tersebut menyebutkan bahwa BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara terpisah, Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Peningkatan Pendidikan Indonesia Ading Sutisna berpendapat, untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat yang transparan dan akuntabel di tingkat satuan pendidikan, yang lebih dibutuhkan adalah BHP berpola public private partnership (PPP/kemitraan antara pemerintah dan masyarakat), bukan privatisasi
Re: [ppiindia] Re: Kompas : BHP Identik Kapitalisme Kampus?
Terima kasih mbak. Saya dapet gosipannya dari pak rektor sendiri mbakyu. ^_^ mungkin untuk tambahan justifikasi. Pa Rektor bahkan mengatakan di IPB adalah seperseratus biaya pendidikan mahasiswa di Jepang. Sehingga wajar kualitas pendidikan Indonesia agak rendah. Beberapa kualifikasi yang mbakyu cantumkan tentang BHMN tepat sekali demikian adanya. Teori keluarnya sangat indah dibandingkan kenyataannya. IKalau PT mikirin juga mencari sumber penghasilan lain misalnya dengan pembuatan mall dll bukankah pendidikan kita akan tersibukkan. Dosen cari objekkan, dll. Kenyataan lain mau tidak mau, SPP memang naik meski dibumbui dengan kata-kata yang cantik. Sejak dimanapun biaya pendidikan adalah tanggungjawab negara. Kalau sekolah dikomersialkan, lalu apa gunanya negara? saya iri dengan India yang memurahkan pendidikan. Dunia pendidikan kita mendidik kita untuk jadi buruh professional ahli yang murah dibandingkan diajak berpikir untuk mandiri. Kalau mbak adalah salah satu orang yang mengcreate kualifikasi itu, saya jamin mbak sangat paham kemana tujuan akhir dari UU BHP ini, bukan? Saya mohon, bisakah kebijakan RUU BHP ini dievaluasi kembali sebelum semuanya terlambat? Saya tak bisa membayangkan mahalnya pendidikan kita, siapa yang bisa kuliah nantinya, orang miskin makin miskin dan bodoh, makin terpuruknya Indonesia, serta makin terbudakkan SDM kita, plis. salam, aris ndah maldiniwati [EMAIL PROTECTED] wrote: Kemunculan BHMN tidak lepas dr escape strategy pemerintah yg ingin mengurangi beban APBN. Seharusnya PT sebagai sebuah perusahaan bukannya memebebankan biaya oprasionalnya kapada konsumennya (mahasiswa) seharusnya dengan BHMN justru menjadi ajang kompetisi berebut riset dgn bekerjasama dengan institusi luar shg menggenjot pemasukan. Kalo PT mensolusikan peningkatan pemasukan dengan gencar2nya menaikkan tarif kuliah mendirikan mall saya melihatnya sebagai kebodohan kaum intelektual yg berjiwa kapitalis. untuk penentuan ranking: wah denger gosip darimana mba?? saat saya ikut tim untuk merumuskan indikator penilaian kompetensi PT di Indonesia (bukan untuk meranking PT) yang akn digunakan sekjend DIKTI DPPKPM DIKTI kami mengambil acuan antara lain asiaweek dan guardian uk. kualitas PT dinilai dr proses input (kualitas mahasiswa yg diterima)-proses-output(kualitas lulusan), dan dalam proses ada banyak komponen penunjang proses (proses belajar, kualitas dosen, performa keuangan, fasilitas kuliah, performa research). BAN PT juga melakukan penilaian untuk akreditasi dengan indikator2 yg kurang lebih sama. Silahkan browsing sendiri kriteria2 yg digunakan untuk meranking PT di diknasnya canada, amerika or ausy: BAN PT: http://dikti.go.id/ (masuk ke Badan Akreditasi Nasional) sekjend dikti: http://si.dikti.go.id/kinerja_rincipt/dirpt.php guardian: http://education.guardian.co.uk/universityguide2005/0,, 1455246,00.html asiaweek: http://www.asiaweek.com/asiaweek/features/universities2000/ schools/multi.overall.html (lihat kriterianya dibawah list PT) Semoga bermanfaat --- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah wrote: Dear All, HAri ini saya membaca sekilas Humaniora Kompas, mendebarkan rasanya membayangkan nasib masa depan Perguruan Tinggi (PT) Indonesia. Akankah pendidikan tinggi makin sulit diraih oleh putra-putri kita? Dalih internasionalisasi atau dalih mutu perguruan tinggi Indonesia yang tidak masuk dalam 100 besar terbaik dunia, kita perlu memprivatisasi? ataukah saya salah menyimpulkan apa yang dimaksud dengan privatisasi PT? CMIIW Saya pernah mendengar, salah satu kriteria penilaian 100 PT terbaik dunia diantaranya adalah jumlah mahasiswa luar negeri yang kuliah di sebuah PT minimal 30 persen dan kriteria lain adalah nominal SPP (biaya kuliah) yang sangat mahal. Bila ini benar maka, kapan pun sulit PT Indonesia masuk dalam 100 terbaik dunia. Bukan karena kualitasnya kurang bermutu, tapi kriterianya yang mungkin sulit terjangkau. Apakah ini disengaja atau tidak? Adakah kaitannya BHP dengan proyek World Bank- IMHERE-DIKTI? Salam prihatin Masa depan Pendidikan Indonesia, Dari orang yang Sayang Ama almamaternya. http://www.kompas.com/ Baca: BHP Identik Kapitalisme Privatisasi Pendidikan Cenderung Abaikan Keadilan Sosial Jakarta, Kompas - Sama halnya dengan layanan kesehatan, sektor pendidikan pun hendaknya dianggap sebagai hak dasar bagi setiap warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika model pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, taruhannya adalah pada generasi penerus bangsa. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal, kata Eko Prasojo, guru besar administrasi publik dari Universitas Indonesia, Kamis (5/10) di Jakarta. Oleh karena itu,