[ppiindia] Re: Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan

2004-10-17 Terurut Topik Sang


Kunci utama bangkitnya sebuah bangsa hanya tiga

1. Penguasaan filsafat berfikir dgn jalan rasional empirik dan metode 
objektif ilmiah

2. Pendidikan yg baik bagi penempaan kreatifitas innovation

3. Perkembangan inovasi tekhnologi dan kemunculan penemuan kreatif.


selebihnya hanya akan mengikuti yg tiga ini


Sang



--- In [EMAIL PROTECTED], Faisal M. Issom 
[EMAIL PROTECTED] wrote:
 Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan
 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/16/humaniora/1328091.htm
 
 
 ILMU pengetahuan dan teknologi merupakan tulang punggung pembangunan
 ekonomi. Dengan berpegang pada keyakinan itu, sejumlah negara 
industri
 baru, yaitu Korea Selatan, Taiwan, China, Thailand, Singapura, dan
 Malaysia, secara konsisten mengalokasikan sejumlah besar dana untuk
 memajukan iptek di negaranya. Hasilnya, mereka berhasil menciptakan
 invensi dan inovasi secara signifikan, kemudian diterapkan di
 industri.
 
 Kegiatan berinovasi secara mandiri memang merupakan tuntutan masa 
kini
 dan masa mendatang. Negara dengan kemampuan berinovasi rendah akan
 semakin bergantung pada negara yang memiliki inovasi tinggi, sejalan
 dengan semakin meningkatnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual
 (HKI).
 
 Hasil inovasi ilu pengetahuan dan teknologi (iptek) itu kemudian
 diterapkan di industri untuk meningkatkan nilai tambah, mulai dari
 material, mesin produksi, hingga produk. Semakin efisien dan 
produktif
 proses tersebut, akan semakin mempertinggi kualitas produk yang
 dihasilkan. Kegiatan ini terbukti telah menaikkan daya saing dan
 pendapatan negara itu sehingga pada ujungnya mengangkat kualitas 
hidup
 dan kesejahteraan bangsa yang bersangkutan.
 
 Atas dasar itu United Nations Development Programme (UNDP), World
 Economics Forum (WEF), dan Institute for International Management
 Development (IMD) menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor
 penentu daya saing.
 
 Iptek memang terbukti telah mengungkit produktivitas ekonomi. 
Seperti
 diungkapkan pakar ekonomi AS, Michael E Porter, bahwa selama lebih
 dari tiga abad sejak Revolusi Industri, iptek meningkatkan
 produktivitas industri 50 kali lipat.
 
 MEMASUKI era globalisasi hingga satu abad ke depan, negara maju 
masih
 tetap berkeyakinan bahwa kemajuan iptek merupakan kunci kemajuan dan
 kekuatan daya saing bangsa. Hal ini antara lain telah memacu 
Australia
 untuk melakukan tinjauan ulang terhadap berbagai kebijakan iptek
 hingga mengeluarkan Revamping Australia. Dalam kebijakan itu
 ditetapkan visi bagi perkembangan bangsa itu sampai tahun 2025.
 
 Hal yang sama dilakukan China, India, Korea, dan Malaysia. Jika 
tahun
 2025 mereka tidak bisa mempersiapkan bangsanya untuk mempunyai basis
 iptek yang kuat, negara atau bangsa ini akan ditelan oleh gegap
 gempita kemajuan negara lain.
 
 Dengan tujuan meningkatkan daya saing iptek, Perdana Menteri Inggris
 Tony Blair bulan lalu mendesak agar majelis negara kerajaan ini
 menyepakati alokasi anggaran litbang iptek mendatang sebesar 1 
miliar
 pounds. Alasannya, karena ia melihat daya saing produk iptek Inggris
 saat ini kalah dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara Eropa
 lain, terutama Jerman dan Jepang.
 
 Kegiatan riset iptek itu memang bukan sesuatu yang cepat 
menghasilkan.
 Diperlukan waktu 15 hingga 25 tahun berinvestasi secara 
berkelanjutan
 sebelum teknologi yang dikembangkan dapat memberikan manfaat bagi
 industri dan masyarakat. Namun, hasilnya akan meningkatkan produk
 domestik bruto (PDB) hingga berlipat kali. Negara-negara industri 
baru
 telah membuktikannya.
 
 MENGAMATI perkembangan yang terjadi di dunia, menurut Sekretaris
 Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Ashwin Sasongko, Indonesia
 perlu menetapkan visi iptek untuk kurun waktu 20 tahun ke depan agar
 tidak semakin tertinggal dengan bangsa lain. Saat ini saja beberapa
 indikator telah menunjukkan ketertinggalan Indonesia di berbagai
 sektor.
 
 Tengoklah Indeks Pencapaian Teknologi yang dikeluarkan UNDP tahun 
2001
 menempatkan Indonesia di urutan ke-61 dari 64 negara. Indonesia 
berada
 di urutan terbawah negara yang masuk kategori dynamic adopter, hanya
 terpaut satu tingkat di atas kelompok negara yang termarjinalkan 
dalam
 pencapaian teknologi.
 
 Lalu, dalam Indeks Pembangunan Manusia, posisi Indonesia terus 
menurun
 dari 49 pada tahun 1996 menjadi 112 pada tahun 2002, di antara 173
 negara. Studi yang dilakukan badan internasional tersebut dan juga
 Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) menunjukkan bahwa keterkaitan
 kegiatan iptek di Indonesia dengan sektor riil ini sangat lemah. Di
 negara industri baru kondisinya sebaliknya.
 
 Rendahnya kinerja pencapaian iptek itu antara lain karena kemampuan
 iptek dan ekonomi nasional belum berkembang serasi. Pertumbuhan
 keunggulan kompetitif juga belum optimal. Bila keadaan ini berjalan
 terus, dalam jangka panjang posisi tawar Indonesia dalam perdagangan
 global akan melemah dan hilang secara gradual, urainya.
 
 KRT, diakui Andi Eka Sakya, Asisten Deputi Program 

Re: [ppiindia] Re: Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan

2004-10-17 Terurut Topik Pradana Widdhi Raksita

Bung Sang,
 
Lalu dimana posisi masyarakat? Mereka jadi objek penderita mengelilingi elite selaku 
subjek perubahan?
 
-
Pradana WR

Sang [EMAIL PROTECTED] wrote:

Kunci utama bangkitnya sebuah bangsa hanya tiga

1. Penguasaan filsafat berfikir dgn jalan rasional empirik dan metode 
objektif ilmiah

2. Pendidikan yg baik bagi penempaan kreatifitas innovation

3. Perkembangan inovasi tekhnologi dan kemunculan penemuan kreatif.


selebihnya hanya akan mengikuti yg tiga ini


Sang



--- In [EMAIL PROTECTED], Faisal M. Issom 
[EMAIL PROTECTED] wrote:
 Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan
 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/16/humaniora/1328091.htm
 
 
 ILMU pengetahuan dan teknologi merupakan tulang punggung pembangunan
 ekonomi. Dengan berpegang pada keyakinan itu, sejumlah negara 
industri
 baru, yaitu Korea Selatan, Taiwan, China, Thailand, Singapura, dan
 Malaysia, secara konsisten mengalokasikan sejumlah besar dana untuk
 memajukan iptek di negaranya. Hasilnya, mereka berhasil menciptakan
 invensi dan inovasi secara signifikan, kemudian diterapkan di
 industri.
 
 Kegiatan berinovasi secara mandiri memang merupakan tuntutan masa 
kini
 dan masa mendatang. Negara dengan kemampuan berinovasi rendah akan
 semakin bergantung pada negara yang memiliki inovasi tinggi, sejalan
 dengan semakin meningkatnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual
 (HKI).
 
 Hasil inovasi ilu pengetahuan dan teknologi (iptek) itu kemudian
 diterapkan di industri untuk meningkatkan nilai tambah, mulai dari
 material, mesin produksi, hingga produk. Semakin efisien dan 
produktif
 proses tersebut, akan semakin mempertinggi kualitas produk yang
 dihasilkan. Kegiatan ini terbukti telah menaikkan daya saing dan
 pendapatan negara itu sehingga pada ujungnya mengangkat kualitas 
hidup
 dan kesejahteraan bangsa yang bersangkutan.
 
 Atas dasar itu United Nations Development Programme (UNDP), World
 Economics Forum (WEF), dan Institute for International Management
 Development (IMD) menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor
 penentu daya saing.
 
 Iptek memang terbukti telah mengungkit produktivitas ekonomi. 
Seperti
 diungkapkan pakar ekonomi AS, Michael E Porter, bahwa selama lebih
 dari tiga abad sejak Revolusi Industri, iptek meningkatkan
 produktivitas industri 50 kali lipat.
 
 MEMASUKI era globalisasi hingga satu abad ke depan, negara maju 
masih
 tetap berkeyakinan bahwa kemajuan iptek merupakan kunci kemajuan dan
 kekuatan daya saing bangsa. Hal ini antara lain telah memacu 
Australia
 untuk melakukan tinjauan ulang terhadap berbagai kebijakan iptek
 hingga mengeluarkan Revamping Australia. Dalam kebijakan itu
 ditetapkan visi bagi perkembangan bangsa itu sampai tahun 2025.
 
 Hal yang sama dilakukan China, India, Korea, dan Malaysia. Jika 
tahun
 2025 mereka tidak bisa mempersiapkan bangsanya untuk mempunyai basis
 iptek yang kuat, negara atau bangsa ini akan ditelan oleh gegap
 gempita kemajuan negara lain.
 
 Dengan tujuan meningkatkan daya saing iptek, Perdana Menteri Inggris
 Tony Blair bulan lalu mendesak agar majelis negara kerajaan ini
 menyepakati alokasi anggaran litbang iptek mendatang sebesar 1 
miliar
 pounds. Alasannya, karena ia melihat daya saing produk iptek Inggris
 saat ini kalah dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara Eropa
 lain, terutama Jerman dan Jepang.
 
 Kegiatan riset iptek itu memang bukan sesuatu yang cepat 
menghasilkan.
 Diperlukan waktu 15 hingga 25 tahun berinvestasi secara 
berkelanjutan
 sebelum teknologi yang dikembangkan dapat memberikan manfaat bagi
 industri dan masyarakat. Namun, hasilnya akan meningkatkan produk
 domestik bruto (PDB) hingga berlipat kali. Negara-negara industri 
baru
 telah membuktikannya.
 
 MENGAMATI perkembangan yang terjadi di dunia, menurut Sekretaris
 Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Ashwin Sasongko, Indonesia
 perlu menetapkan visi iptek untuk kurun waktu 20 tahun ke depan agar
 tidak semakin tertinggal dengan bangsa lain. Saat ini saja beberapa
 indikator telah menunjukkan ketertinggalan Indonesia di berbagai
 sektor.
 
 Tengoklah Indeks Pencapaian Teknologi yang dikeluarkan UNDP tahun 
2001
 menempatkan Indonesia di urutan ke-61 dari 64 negara. Indonesia 
berada
 di urutan terbawah negara yang masuk kategori dynamic adopter, hanya
 terpaut satu tingkat di atas kelompok negara yang termarjinalkan 
dalam
 pencapaian teknologi.
 
 Lalu, dalam Indeks Pembangunan Manusia, posisi Indonesia terus 
menurun
 dari 49 pada tahun 1996 menjadi 112 pada tahun 2002, di antara 173
 negara. Studi yang dilakukan badan internasional tersebut dan juga
 Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) menunjukkan bahwa keterkaitan
 kegiatan iptek di Indonesia dengan sektor riil ini sangat lemah. Di
 negara industri baru kondisinya sebaliknya.
 
 Rendahnya kinerja pencapaian iptek itu antara lain karena kemampuan
 iptek dan ekonomi nasional belum berkembang serasi. Pertumbuhan
 keunggulan kompetitif juga belum optimal. Bila keadaan ini berjalan
 terus, dalam 

[ppiindia] Re: Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan

2004-10-17 Terurut Topik Sang


Pak Pradana,

Yang laksanakan Program yg tiga itu adalah Masyarakat..stakeholder. 
bukan hantu tidak juga roh halus.

Masyarakat dlm hal ini adalah Pendidik, guru, peneliti( scientist), 
pengusaha, dan juga filosof ... yg lalu diimplementasikan ke 
masyarakat luas dgn jalan program padat karya dan padat modal..

diperlukan para penerobos yg dapat menjadi penumbuh semangat kreatif 
dan itu saya belum melihat hingga kini...barangkali Pak Pradana 
kali ... kita tunggu kiprah anda.

Sang





--- In [EMAIL PROTECTED], Pradana Widdhi Raksita 
[EMAIL PROTECTED] wrote:
 Bung Sang,
  
 Lalu dimana posisi masyarakat? Mereka jadi objek penderita 
mengelilingi elite selaku subjek perubahan?
  
 -
 Pradana WR
 
 Sang [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
 Kunci utama bangkitnya sebuah bangsa hanya tiga
 
 1. Penguasaan filsafat berfikir dgn jalan rasional empirik dan 
metode 
 objektif ilmiah
 
 2. Pendidikan yg baik bagi penempaan kreatifitas innovation
 
 3. Perkembangan inovasi tekhnologi dan kemunculan penemuan kreatif.
 
 
 selebihnya hanya akan mengikuti yg tiga ini
 
 
 Sang
 
 
 
 --- In [EMAIL PROTECTED], Faisal M. Issom 
 [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan
  http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/16/humaniora/1328091.htm
  
  
  ILMU pengetahuan dan teknologi merupakan tulang punggung 
pembangunan
  ekonomi. Dengan berpegang pada keyakinan itu, sejumlah negara 
 industri
  baru, yaitu Korea Selatan, Taiwan, China, Thailand, Singapura, dan
  Malaysia, secara konsisten mengalokasikan sejumlah besar dana 
untuk
  memajukan iptek di negaranya. Hasilnya, mereka berhasil 
menciptakan
  invensi dan inovasi secara signifikan, kemudian diterapkan di
  industri.
  
  Kegiatan berinovasi secara mandiri memang merupakan tuntutan masa 
 kini
  dan masa mendatang. Negara dengan kemampuan berinovasi rendah akan
  semakin bergantung pada negara yang memiliki inovasi tinggi, 
sejalan
  dengan semakin meningkatnya kesadaran akan hak kekayaan 
intelektual
  (HKI).
  
  Hasil inovasi ilu pengetahuan dan teknologi (iptek) itu kemudian
  diterapkan di industri untuk meningkatkan nilai tambah, mulai dari
  material, mesin produksi, hingga produk. Semakin efisien dan 
 produktif
  proses tersebut, akan semakin mempertinggi kualitas produk yang
  dihasilkan. Kegiatan ini terbukti telah menaikkan daya saing dan
  pendapatan negara itu sehingga pada ujungnya mengangkat kualitas 
 hidup
  dan kesejahteraan bangsa yang bersangkutan.
  
  Atas dasar itu United Nations Development Programme (UNDP), World
  Economics Forum (WEF), dan Institute for International Management
  Development (IMD) menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor
  penentu daya saing.
  
  Iptek memang terbukti telah mengungkit produktivitas ekonomi. 
 Seperti
  diungkapkan pakar ekonomi AS, Michael E Porter, bahwa selama lebih
  dari tiga abad sejak Revolusi Industri, iptek meningkatkan
  produktivitas industri 50 kali lipat.
  
  MEMASUKI era globalisasi hingga satu abad ke depan, negara maju 
 masih
  tetap berkeyakinan bahwa kemajuan iptek merupakan kunci kemajuan 
dan
  kekuatan daya saing bangsa. Hal ini antara lain telah memacu 
 Australia
  untuk melakukan tinjauan ulang terhadap berbagai kebijakan iptek
  hingga mengeluarkan Revamping Australia. Dalam kebijakan itu
  ditetapkan visi bagi perkembangan bangsa itu sampai tahun 2025.
  
  Hal yang sama dilakukan China, India, Korea, dan Malaysia. Jika 
 tahun
  2025 mereka tidak bisa mempersiapkan bangsanya untuk mempunyai 
basis
  iptek yang kuat, negara atau bangsa ini akan ditelan oleh gegap
  gempita kemajuan negara lain.
  
  Dengan tujuan meningkatkan daya saing iptek, Perdana Menteri 
Inggris
  Tony Blair bulan lalu mendesak agar majelis negara kerajaan ini
  menyepakati alokasi anggaran litbang iptek mendatang sebesar 1 
 miliar
  pounds. Alasannya, karena ia melihat daya saing produk iptek 
Inggris
  saat ini kalah dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara 
Eropa
  lain, terutama Jerman dan Jepang.
  
  Kegiatan riset iptek itu memang bukan sesuatu yang cepat 
 menghasilkan.
  Diperlukan waktu 15 hingga 25 tahun berinvestasi secara 
 berkelanjutan
  sebelum teknologi yang dikembangkan dapat memberikan manfaat bagi
  industri dan masyarakat. Namun, hasilnya akan meningkatkan produk
  domestik bruto (PDB) hingga berlipat kali. Negara-negara industri 
 baru
  telah membuktikannya.
  
  MENGAMATI perkembangan yang terjadi di dunia, menurut Sekretaris
  Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Ashwin Sasongko, Indonesia
  perlu menetapkan visi iptek untuk kurun waktu 20 tahun ke depan 
agar
  tidak semakin tertinggal dengan bangsa lain. Saat ini saja 
beberapa
  indikator telah menunjukkan ketertinggalan Indonesia di berbagai
  sektor.
  
  Tengoklah Indeks Pencapaian Teknologi yang dikeluarkan UNDP tahun 
 2001
  menempatkan Indonesia di urutan ke-61 dari 64 negara. Indonesia 
 berada
  di urutan terbawah negara yang masuk kategori dynamic adopter, 
hanya
  terpaut