[ppiindia] Re: Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan
Kunci utama bangkitnya sebuah bangsa hanya tiga 1. Penguasaan filsafat berfikir dgn jalan rasional empirik dan metode objektif ilmiah 2. Pendidikan yg baik bagi penempaan kreatifitas innovation 3. Perkembangan inovasi tekhnologi dan kemunculan penemuan kreatif. selebihnya hanya akan mengikuti yg tiga ini Sang --- In [EMAIL PROTECTED], Faisal M. Issom [EMAIL PROTECTED] wrote: Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/16/humaniora/1328091.htm ILMU pengetahuan dan teknologi merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi. Dengan berpegang pada keyakinan itu, sejumlah negara industri baru, yaitu Korea Selatan, Taiwan, China, Thailand, Singapura, dan Malaysia, secara konsisten mengalokasikan sejumlah besar dana untuk memajukan iptek di negaranya. Hasilnya, mereka berhasil menciptakan invensi dan inovasi secara signifikan, kemudian diterapkan di industri. Kegiatan berinovasi secara mandiri memang merupakan tuntutan masa kini dan masa mendatang. Negara dengan kemampuan berinovasi rendah akan semakin bergantung pada negara yang memiliki inovasi tinggi, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual (HKI). Hasil inovasi ilu pengetahuan dan teknologi (iptek) itu kemudian diterapkan di industri untuk meningkatkan nilai tambah, mulai dari material, mesin produksi, hingga produk. Semakin efisien dan produktif proses tersebut, akan semakin mempertinggi kualitas produk yang dihasilkan. Kegiatan ini terbukti telah menaikkan daya saing dan pendapatan negara itu sehingga pada ujungnya mengangkat kualitas hidup dan kesejahteraan bangsa yang bersangkutan. Atas dasar itu United Nations Development Programme (UNDP), World Economics Forum (WEF), dan Institute for International Management Development (IMD) menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor penentu daya saing. Iptek memang terbukti telah mengungkit produktivitas ekonomi. Seperti diungkapkan pakar ekonomi AS, Michael E Porter, bahwa selama lebih dari tiga abad sejak Revolusi Industri, iptek meningkatkan produktivitas industri 50 kali lipat. MEMASUKI era globalisasi hingga satu abad ke depan, negara maju masih tetap berkeyakinan bahwa kemajuan iptek merupakan kunci kemajuan dan kekuatan daya saing bangsa. Hal ini antara lain telah memacu Australia untuk melakukan tinjauan ulang terhadap berbagai kebijakan iptek hingga mengeluarkan Revamping Australia. Dalam kebijakan itu ditetapkan visi bagi perkembangan bangsa itu sampai tahun 2025. Hal yang sama dilakukan China, India, Korea, dan Malaysia. Jika tahun 2025 mereka tidak bisa mempersiapkan bangsanya untuk mempunyai basis iptek yang kuat, negara atau bangsa ini akan ditelan oleh gegap gempita kemajuan negara lain. Dengan tujuan meningkatkan daya saing iptek, Perdana Menteri Inggris Tony Blair bulan lalu mendesak agar majelis negara kerajaan ini menyepakati alokasi anggaran litbang iptek mendatang sebesar 1 miliar pounds. Alasannya, karena ia melihat daya saing produk iptek Inggris saat ini kalah dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara Eropa lain, terutama Jerman dan Jepang. Kegiatan riset iptek itu memang bukan sesuatu yang cepat menghasilkan. Diperlukan waktu 15 hingga 25 tahun berinvestasi secara berkelanjutan sebelum teknologi yang dikembangkan dapat memberikan manfaat bagi industri dan masyarakat. Namun, hasilnya akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) hingga berlipat kali. Negara-negara industri baru telah membuktikannya. MENGAMATI perkembangan yang terjadi di dunia, menurut Sekretaris Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Ashwin Sasongko, Indonesia perlu menetapkan visi iptek untuk kurun waktu 20 tahun ke depan agar tidak semakin tertinggal dengan bangsa lain. Saat ini saja beberapa indikator telah menunjukkan ketertinggalan Indonesia di berbagai sektor. Tengoklah Indeks Pencapaian Teknologi yang dikeluarkan UNDP tahun 2001 menempatkan Indonesia di urutan ke-61 dari 64 negara. Indonesia berada di urutan terbawah negara yang masuk kategori dynamic adopter, hanya terpaut satu tingkat di atas kelompok negara yang termarjinalkan dalam pencapaian teknologi. Lalu, dalam Indeks Pembangunan Manusia, posisi Indonesia terus menurun dari 49 pada tahun 1996 menjadi 112 pada tahun 2002, di antara 173 negara. Studi yang dilakukan badan internasional tersebut dan juga Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) menunjukkan bahwa keterkaitan kegiatan iptek di Indonesia dengan sektor riil ini sangat lemah. Di negara industri baru kondisinya sebaliknya. Rendahnya kinerja pencapaian iptek itu antara lain karena kemampuan iptek dan ekonomi nasional belum berkembang serasi. Pertumbuhan keunggulan kompetitif juga belum optimal. Bila keadaan ini berjalan terus, dalam jangka panjang posisi tawar Indonesia dalam perdagangan global akan melemah dan hilang secara gradual, urainya. KRT, diakui Andi Eka Sakya, Asisten Deputi Program
Re: [ppiindia] Re: Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan
Bung Sang, Lalu dimana posisi masyarakat? Mereka jadi objek penderita mengelilingi elite selaku subjek perubahan? - Pradana WR Sang [EMAIL PROTECTED] wrote: Kunci utama bangkitnya sebuah bangsa hanya tiga 1. Penguasaan filsafat berfikir dgn jalan rasional empirik dan metode objektif ilmiah 2. Pendidikan yg baik bagi penempaan kreatifitas innovation 3. Perkembangan inovasi tekhnologi dan kemunculan penemuan kreatif. selebihnya hanya akan mengikuti yg tiga ini Sang --- In [EMAIL PROTECTED], Faisal M. Issom [EMAIL PROTECTED] wrote: Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/16/humaniora/1328091.htm ILMU pengetahuan dan teknologi merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi. Dengan berpegang pada keyakinan itu, sejumlah negara industri baru, yaitu Korea Selatan, Taiwan, China, Thailand, Singapura, dan Malaysia, secara konsisten mengalokasikan sejumlah besar dana untuk memajukan iptek di negaranya. Hasilnya, mereka berhasil menciptakan invensi dan inovasi secara signifikan, kemudian diterapkan di industri. Kegiatan berinovasi secara mandiri memang merupakan tuntutan masa kini dan masa mendatang. Negara dengan kemampuan berinovasi rendah akan semakin bergantung pada negara yang memiliki inovasi tinggi, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual (HKI). Hasil inovasi ilu pengetahuan dan teknologi (iptek) itu kemudian diterapkan di industri untuk meningkatkan nilai tambah, mulai dari material, mesin produksi, hingga produk. Semakin efisien dan produktif proses tersebut, akan semakin mempertinggi kualitas produk yang dihasilkan. Kegiatan ini terbukti telah menaikkan daya saing dan pendapatan negara itu sehingga pada ujungnya mengangkat kualitas hidup dan kesejahteraan bangsa yang bersangkutan. Atas dasar itu United Nations Development Programme (UNDP), World Economics Forum (WEF), dan Institute for International Management Development (IMD) menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor penentu daya saing. Iptek memang terbukti telah mengungkit produktivitas ekonomi. Seperti diungkapkan pakar ekonomi AS, Michael E Porter, bahwa selama lebih dari tiga abad sejak Revolusi Industri, iptek meningkatkan produktivitas industri 50 kali lipat. MEMASUKI era globalisasi hingga satu abad ke depan, negara maju masih tetap berkeyakinan bahwa kemajuan iptek merupakan kunci kemajuan dan kekuatan daya saing bangsa. Hal ini antara lain telah memacu Australia untuk melakukan tinjauan ulang terhadap berbagai kebijakan iptek hingga mengeluarkan Revamping Australia. Dalam kebijakan itu ditetapkan visi bagi perkembangan bangsa itu sampai tahun 2025. Hal yang sama dilakukan China, India, Korea, dan Malaysia. Jika tahun 2025 mereka tidak bisa mempersiapkan bangsanya untuk mempunyai basis iptek yang kuat, negara atau bangsa ini akan ditelan oleh gegap gempita kemajuan negara lain. Dengan tujuan meningkatkan daya saing iptek, Perdana Menteri Inggris Tony Blair bulan lalu mendesak agar majelis negara kerajaan ini menyepakati alokasi anggaran litbang iptek mendatang sebesar 1 miliar pounds. Alasannya, karena ia melihat daya saing produk iptek Inggris saat ini kalah dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara Eropa lain, terutama Jerman dan Jepang. Kegiatan riset iptek itu memang bukan sesuatu yang cepat menghasilkan. Diperlukan waktu 15 hingga 25 tahun berinvestasi secara berkelanjutan sebelum teknologi yang dikembangkan dapat memberikan manfaat bagi industri dan masyarakat. Namun, hasilnya akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) hingga berlipat kali. Negara-negara industri baru telah membuktikannya. MENGAMATI perkembangan yang terjadi di dunia, menurut Sekretaris Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Ashwin Sasongko, Indonesia perlu menetapkan visi iptek untuk kurun waktu 20 tahun ke depan agar tidak semakin tertinggal dengan bangsa lain. Saat ini saja beberapa indikator telah menunjukkan ketertinggalan Indonesia di berbagai sektor. Tengoklah Indeks Pencapaian Teknologi yang dikeluarkan UNDP tahun 2001 menempatkan Indonesia di urutan ke-61 dari 64 negara. Indonesia berada di urutan terbawah negara yang masuk kategori dynamic adopter, hanya terpaut satu tingkat di atas kelompok negara yang termarjinalkan dalam pencapaian teknologi. Lalu, dalam Indeks Pembangunan Manusia, posisi Indonesia terus menurun dari 49 pada tahun 1996 menjadi 112 pada tahun 2002, di antara 173 negara. Studi yang dilakukan badan internasional tersebut dan juga Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) menunjukkan bahwa keterkaitan kegiatan iptek di Indonesia dengan sektor riil ini sangat lemah. Di negara industri baru kondisinya sebaliknya. Rendahnya kinerja pencapaian iptek itu antara lain karena kemampuan iptek dan ekonomi nasional belum berkembang serasi. Pertumbuhan keunggulan kompetitif juga belum optimal. Bila keadaan ini berjalan terus, dalam
[ppiindia] Re: Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan
Pak Pradana, Yang laksanakan Program yg tiga itu adalah Masyarakat..stakeholder. bukan hantu tidak juga roh halus. Masyarakat dlm hal ini adalah Pendidik, guru, peneliti( scientist), pengusaha, dan juga filosof ... yg lalu diimplementasikan ke masyarakat luas dgn jalan program padat karya dan padat modal.. diperlukan para penerobos yg dapat menjadi penumbuh semangat kreatif dan itu saya belum melihat hingga kini...barangkali Pak Pradana kali ... kita tunggu kiprah anda. Sang --- In [EMAIL PROTECTED], Pradana Widdhi Raksita [EMAIL PROTECTED] wrote: Bung Sang, Lalu dimana posisi masyarakat? Mereka jadi objek penderita mengelilingi elite selaku subjek perubahan? - Pradana WR Sang [EMAIL PROTECTED] wrote: Kunci utama bangkitnya sebuah bangsa hanya tiga 1. Penguasaan filsafat berfikir dgn jalan rasional empirik dan metode objektif ilmiah 2. Pendidikan yg baik bagi penempaan kreatifitas innovation 3. Perkembangan inovasi tekhnologi dan kemunculan penemuan kreatif. selebihnya hanya akan mengikuti yg tiga ini Sang --- In [EMAIL PROTECTED], Faisal M. Issom [EMAIL PROTECTED] wrote: Visi Iptek 2025, Fondasi Ekonomi Masa Depan http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/16/humaniora/1328091.htm ILMU pengetahuan dan teknologi merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi. Dengan berpegang pada keyakinan itu, sejumlah negara industri baru, yaitu Korea Selatan, Taiwan, China, Thailand, Singapura, dan Malaysia, secara konsisten mengalokasikan sejumlah besar dana untuk memajukan iptek di negaranya. Hasilnya, mereka berhasil menciptakan invensi dan inovasi secara signifikan, kemudian diterapkan di industri. Kegiatan berinovasi secara mandiri memang merupakan tuntutan masa kini dan masa mendatang. Negara dengan kemampuan berinovasi rendah akan semakin bergantung pada negara yang memiliki inovasi tinggi, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual (HKI). Hasil inovasi ilu pengetahuan dan teknologi (iptek) itu kemudian diterapkan di industri untuk meningkatkan nilai tambah, mulai dari material, mesin produksi, hingga produk. Semakin efisien dan produktif proses tersebut, akan semakin mempertinggi kualitas produk yang dihasilkan. Kegiatan ini terbukti telah menaikkan daya saing dan pendapatan negara itu sehingga pada ujungnya mengangkat kualitas hidup dan kesejahteraan bangsa yang bersangkutan. Atas dasar itu United Nations Development Programme (UNDP), World Economics Forum (WEF), dan Institute for International Management Development (IMD) menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor penentu daya saing. Iptek memang terbukti telah mengungkit produktivitas ekonomi. Seperti diungkapkan pakar ekonomi AS, Michael E Porter, bahwa selama lebih dari tiga abad sejak Revolusi Industri, iptek meningkatkan produktivitas industri 50 kali lipat. MEMASUKI era globalisasi hingga satu abad ke depan, negara maju masih tetap berkeyakinan bahwa kemajuan iptek merupakan kunci kemajuan dan kekuatan daya saing bangsa. Hal ini antara lain telah memacu Australia untuk melakukan tinjauan ulang terhadap berbagai kebijakan iptek hingga mengeluarkan Revamping Australia. Dalam kebijakan itu ditetapkan visi bagi perkembangan bangsa itu sampai tahun 2025. Hal yang sama dilakukan China, India, Korea, dan Malaysia. Jika tahun 2025 mereka tidak bisa mempersiapkan bangsanya untuk mempunyai basis iptek yang kuat, negara atau bangsa ini akan ditelan oleh gegap gempita kemajuan negara lain. Dengan tujuan meningkatkan daya saing iptek, Perdana Menteri Inggris Tony Blair bulan lalu mendesak agar majelis negara kerajaan ini menyepakati alokasi anggaran litbang iptek mendatang sebesar 1 miliar pounds. Alasannya, karena ia melihat daya saing produk iptek Inggris saat ini kalah dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara Eropa lain, terutama Jerman dan Jepang. Kegiatan riset iptek itu memang bukan sesuatu yang cepat menghasilkan. Diperlukan waktu 15 hingga 25 tahun berinvestasi secara berkelanjutan sebelum teknologi yang dikembangkan dapat memberikan manfaat bagi industri dan masyarakat. Namun, hasilnya akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) hingga berlipat kali. Negara-negara industri baru telah membuktikannya. MENGAMATI perkembangan yang terjadi di dunia, menurut Sekretaris Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Ashwin Sasongko, Indonesia perlu menetapkan visi iptek untuk kurun waktu 20 tahun ke depan agar tidak semakin tertinggal dengan bangsa lain. Saat ini saja beberapa indikator telah menunjukkan ketertinggalan Indonesia di berbagai sektor. Tengoklah Indeks Pencapaian Teknologi yang dikeluarkan UNDP tahun 2001 menempatkan Indonesia di urutan ke-61 dari 64 negara. Indonesia berada di urutan terbawah negara yang masuk kategori dynamic adopter, hanya terpaut