[ppiindia] Sekularisme Ada dalam Sejarah, Tak Ada dalam Kitab

2004-09-22 Terurut Topik djunaedi sahrawi

http://www.islamlib.com/id/page.php?page=articleid=687 
Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd:
Sekularisme Ada dalam Sejarah, Tak Ada dalam Kitab
Tanggal dimuat: 14/9/2004


Beberapa waktu lalu, JIL mengadakan workshop dua hari seputar “Kritik Wacana Agama” 
yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi lintas agama di Hotel Millenimum, 
Jakarta (28-29/8/2004). Berikut petikan wawancara ekslusif JIL dengan Nasr Hamid di 
sela-sela perhelatan workshop soal wacana agama, proses demokrasi di dunia muslim, 
sampai perasaannya harus berada jauh dari kampung halamannya, Mesir.
 
Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang kini bermukim di Belanda, 
menghabiskan waktu dua pekan (sejak akhir Agustus-pertengahan September) di Indonesia. 
Sepanjang dua pekan itu, sosok intelektual bersahaja ini menyempatkan diri bertukar 
gagasan dan berdialog dengan pelbagai kalangan. Selain mengisi seminar di UIN Jakarta 
dan universitas lainnya, pakar ilmu Alqur’an berbadan gempal ini juga mengisi 
“pengajian” ilmu Alqur’an di Pondok Pesantren Salafiyah Assyafiiyyah Asembagus 
Situbondo. Jaringan Islam Liberal (JIL) kebagian jatah mengadakan workshop dua hari 
seputar “Kritik Wacana Agama” yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi lintas 
agama di Hotel Millenimum, Jakarta (28-29/8/2004). Di sela-sela perhelatan workshop 
itulah, Novriantoni (salah seorang redaktur JIL) sempat berbincang-bincang dengan Nasr 
Hamid tentang pelbagai persoalan, mulai dari teori ilmu Alqur’an, soal wacana agama, 
proses demokrasi di dunia muslim, sampai perasaannya harus berada jauh dari kampung
 halamannya, Mesir. Berikut Petikannya. 

NOVRIANTONI: Prof. Nasr, selama dua hari workshop, kita menangkap perkembangan 
pemikiran Anda dari gagasan tentang “Alqur’an sebagai teks” (al-Qur’ân kan nash) yang 
dapat dianalisis dengan perangkat analisis teks yang lazim, menuju gagasan tentang 
“Alqur’an sebagai wacana” (al-Qur’ân kal khithâb). Apa bedanya?

NASR HAMID ABU ZAYD: Bedanya seperti perbedaan antara posisi Mushaf dan Alqur’an itu 
sendiri. Alqur’an adalah hidup dan merupakan fenomena yang dinamis dan efektif dalam 
kehidupan keseharian kita. Posisi itulah yang tidak mampu dijangkau oleh Mushaf 
sebagai sekumpulan teks yang mati. Jadi, kita memiliki dua fenomena tentang Alqur’an: 
Alqur’an sebagai fenomena yang dinamis; dan Mushaf sebagai fenomena teks. Dalam 
Mushaf, yang penting adalah teks itu sendiri. Sementara yang menjadi titik perhatian 
dalam fenomena Alqur’an sebagai wacana adalah soal kenyataan (al-wâqi`). Dalam fakta 
sejarah, selama 23 tahun Alqur’an merupakan fenomena yang dinamis, dialogis, 
debat-sanggah, dan mengikut mekanisme take and give.
 
NOVRIANTONI: Apakah selama 23 tahun pertamanya itu dia tetap dianggap sakral?

NASR: Sakral dalam artian apa? Kalau sakral diartikan “tetap dan tidak dinamis”, 
kenyataannya orang-orang muslim pertama zaman itu mengajukan pelbagai pertanyaan dan 
menuntut jawaban Alqur’an. Manusia zaman itu berinteraksi dengan sesuatu yang sakral 
dengan cara yang hidup. Artinya, mereka bertanya, Alqur’an menjawab; mereka membantah, 
Alqur’an menyanggah. Titik sentral perdebatan itu ada pada sosok Nabi Muhammad. 
Ambillah contoh dari ayat Alqur’an, “yas’alûnaka `anis syahril harâm qitâlun fîh” 
(mereka bertanya tentang status perang pada bulan-bulan yang terlarang). Kalau Anda 
menganalisis ayat itu sebagai sebuah teks, Anda akan mengatakan bahwa ayat itu 
menghalalkan perang sekalipun di bulan-bulan terlarang. Tapi ketika dia dianalisis 
sebagai sebuah wacana, kita akan menemukan bahwa kaum muslim ketika itu sangat gentar 
ketika harus berperang di bulan-bulan terlarang. Sebab, itu merupakan pelanggaran atas 
aturan yang standar berlaku dalam mayarakat tribal Arab ketika itu. Di sini
 Alqur’an mengajak dan memotivasi kaum muslim untuk berperang walaupun “qitâlun fîh 
syadîd” (sangat berat bagi mereka). 

Urusan perang bagi mereka yang hijrah dari Mekkah ke Madinah itu tentu sangat berat. 
Bagaimana mungkin mereka berani berperang melawan kekafiran, toh yang mereka perangi 
tak lain adalah sanak saudara mereka sendiri dari kaum Quraisy. Dari sinilah kita 
dapat memahami mengapa redaksi Alqur’an di situ begitu keras. Jadi ayat yang 
menganjurkan untuk berperang melawan kaum musyrik (yang notabene masih sanak saudara 
kaum muslim sendiri ketika itu), merupakan pelecut semangat bagi kaum muslim yang 
peragu. Tidak mungkin kita menganggap ayat itu berlaku umum sebagai anjuran perang 
tanpa tedeng aling-aling. 

Makanya, ketika menjumpai redaksi Alqur’an yang berbunyi “uqtulûhum haits 
tsaqiftumûhum” (perangilah mereka dimanapun engkau jumpai!), kita tidak bisa 
menganggapnya sebagi perintah yang langsung dan mutlak. Ayat ini dapat diletakkan 
sebagai bagian dari pelecut semangat, khusushya bagi mereka yang ragu dan takut untuk 
berperang. Artinya, redaksi yang ada di sini bersifat dialogis. Kaum Muslim ketika itu 
mungkin tidak punya beban untuk berperang melawan orang Parsi dan Romawi. Tapi melawan 
sanak 

[ppiindia] Sekularisme Ada dalam Sejarah, Tak Ada dalam Kitab

2004-09-19 Terurut Topik Ambon
http://islamlib.com/id/page.php?page=articleid=687

Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd:
Sekularisme Ada dalam Sejarah, Tak Ada dalam Kitab
Tanggal dimuat: 14/9/2004


Beberapa waktu lalu, JIL mengadakan workshop dua hari seputar Kritik Wacana
Agama yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi lintas agama di
Hotel Millenimum, Jakarta (28-29/8/2004). Berikut petikan wawancara ekslusif
JIL dengan Nasr Hamid di sela-sela perhelatan workshop soal wacana agama,
proses demokrasi di dunia muslim, sampai perasaannya harus berada jauh dari
kampung halamannya, Mesir.

Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang kini bermukim di Belanda,
menghabiskan waktu dua pekan (sejak akhir Agustus-pertengahan September) di
Indonesia. Sepanjang dua pekan itu, sosok intelektual bersahaja ini
menyempatkan diri bertukar gagasan dan berdialog dengan pelbagai kalangan.
Selain mengisi seminar di UIN Jakarta dan universitas lainnya, pakar ilmu
Alqur'an berbadan gempal ini juga mengisi pengajian ilmu Alqur'an di
Pondok Pesantren Salafiyah Assyafiiyyah Asembagus Situbondo. Jaringan Islam
Liberal (JIL) kebagian jatah mengadakan workshop dua hari seputar Kritik
Wacana Agama yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi lintas agama
di Hotel Millenimum, Jakarta (28-29/8/2004). Di sela-sela perhelatan
workshop itulah, Novriantoni (salah seorang redaktur JIL) sempat
berbincang-bincang dengan Nasr Hamid tentang pelbagai persoalan, mulai dari
teori ilmu Alqur'an, soal wacana agama, proses demokrasi di dunia muslim,
sampai perasaannya harus berada jauh dari kampung halamannya, Mesir. Berikut
Petikannya.

NOVRIANTONI: Prof. Nasr, selama dua hari workshop, kita menangkap
perkembangan pemikiran Anda dari gagasan tentang Alqur'an sebagai teks
(al-Qur'ân kan nash) yang dapat dianalisis dengan perangkat analisis teks
yang lazim, menuju gagasan tentang Alqur'an sebagai wacana (al-Qur'ân kal
khithâb). Apa bedanya?

NASR HAMID ABU ZAYD: Bedanya seperti perbedaan antara posisi Mushaf dan
Alqur'an itu sendiri. Alqur'an adalah hidup dan merupakan fenomena yang
dinamis dan efektif dalam kehidupan keseharian kita. Posisi itulah yang
tidak mampu dijangkau oleh Mushaf sebagai sekumpulan teks yang mati. Jadi,
kita memiliki dua fenomena tentang Alqur'an: Alqur'an sebagai fenomena yang
dinamis; dan Mushaf sebagai fenomena teks. Dalam Mushaf, yang penting adalah
teks itu sendiri. Sementara yang menjadi titik perhatian dalam fenomena
Alqur'an sebagai wacana adalah soal kenyataan (al-wâqi`). Dalam fakta
sejarah, selama 23 tahun Alqur'an merupakan fenomena yang dinamis, dialogis,
debat-sanggah, dan mengikut mekanisme take and give.



NOVRIANTONI: Apakah selama 23 tahun pertamanya itu dia tetap dianggap
sakral?

NASR: Sakral dalam artian apa? Kalau sakral diartikan tetap dan tidak
dinamis, kenyataannya orang-orang muslim pertama zaman itu mengajukan
pelbagai pertanyaan dan menuntut jawaban Alqur'an. Manusia zaman itu
berinteraksi dengan sesuatu yang sakral dengan cara yang hidup. Artinya,
mereka bertanya, Alqur'an menjawab; mereka membantah, Alqur'an menyanggah.
Titik sentral perdebatan itu ada pada sosok Nabi Muhammad. Ambillah contoh
dari ayat Alqur'an, yas'alûnaka `anis syahril harâm qitâlun fîh (mereka
bertanya tentang status perang pada bulan-bulan yang terlarang). Kalau Anda
menganalisis ayat itu sebagai sebuah teks, Anda akan mengatakan bahwa ayat
itu menghalalkan perang sekalipun di bulan-bulan terlarang. Tapi ketika dia
dianalisis sebagai sebuah wacana, kita akan menemukan bahwa kaum muslim
ketika itu sangat gentar ketika harus berperang di bulan-bulan terlarang.
Sebab, itu merupakan pelanggaran atas aturan yang standar berlaku dalam
mayarakat tribal Arab ketika itu. Di sini Alqur'an mengajak dan memotivasi
kaum muslim untuk berperang walaupun qitâlun fîh syadîd (sangat berat bagi
mereka).

Urusan perang bagi mereka yang hijrah dari Mekkah ke Madinah itu tentu
sangat berat. Bagaimana mungkin mereka berani berperang melawan kekafiran,
toh yang mereka perangi tak lain adalah sanak saudara mereka sendiri dari
kaum Quraisy. Dari sinilah kita dapat memahami mengapa redaksi Alqur'an di
situ begitu keras. Jadi ayat yang menganjurkan untuk berperang melawan kaum
musyrik (yang notabene masih sanak saudara kaum muslim sendiri ketika itu),
merupakan pelecut semangat bagi kaum muslim yang peragu. Tidak mungkin kita
menganggap ayat itu berlaku umum sebagai anjuran perang tanpa tedeng
aling-aling.

Makanya, ketika menjumpai redaksi Alqur'an yang berbunyi uqtulûhum haits
tsaqiftumûhum (perangilah mereka dimanapun engkau jumpai!), kita tidak bisa
menganggapnya sebagi perintah yang langsung dan mutlak. Ayat ini dapat
diletakkan sebagai bagian dari pelecut semangat, khusushya bagi mereka yang
ragu dan takut untuk berperang. Artinya, redaksi yang ada di sini bersifat
dialogis. Kaum Muslim ketika itu mungkin tidak punya beban untuk berperang
melawan orang Parsi dan Romawi. Tapi melawan sanak saudara mereka sendiri,
orang Arab seperti mereka (sekalipun musyrik), tentu