[proletar] Re: Franz Magnis-Suseno: 45 Tahun Supersemar

2011-03-12 Terurut Topik Jusfiq
Beda ajaran Islam dan ajaran Nasrani..

Orang Nasrani Franz Magnis-Suseno itu manusiawi dan bersedia melakukan koreksi 
terhadap kesalahannnya.

Tawang sekali biadab, tetap biadab.
 

--- In proletar@yahoogroups.com, Tawangalun tawangalun@... wrote:

 Untuk keamanan dan keadilan pemerintah itu kalau toh membunuh rapopo.Opo 
 Amerika protes kpd densus 88 ketika membunuh?
 Allah itu punya 99 sifat ,jadi bukan hanya Rahman dan Rahim tok.Ada sifat 
 lain sebagai polisi.
 
 Shalom,
 Tawangalun.
 
 --- In proletar@yahoogroups.com, Jusfiq kesayangan.allah@ wrote:
 
  
  Jangan lupa: Tawang ikut dilatih buat membunuh ketika itu dan hingga  
  sekarang tidak merasa bersalah.
  
  --- In proletar@yahoogroups.com, Wahyu Suluh wahyusuluh@ wrote:
  
   45 Tahun Supersemar
   
   
   
   Oleh Franz Magnis-Suseno SJ
   
   
   
   Pada 11 Maret 1966 lima setengah bulan paling menegangkan dalam sejarah 
   Indonesia merdeka mulai berakhir. Pada tanggal itu Presiden Soekarno 
   menandatangani sebuah surat. Di situ ia menyuruh Jenderal Soeharto 
   mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengembalikan keamanan.
   
   
   
   Dalam kenyataan, meski pasti bukan maksud Soekarno, Supersemar menjadi 
   legitimasi pengambilalihan kekuasaan oleh Soe- harto. Dan, Soeharto tak 
   ragu-ragu. Ia langsung melarang Partai Komunis Indonesia dan 
   segeraâ€tanpa menghiraukan protes Presiden Soekarnoâ€menangkap sekitar 
   12 
   menteri Kabinet 100 Menteri, lalu membentuk kabinet baru. Sejak tanggal 
   itu kekuasaan efektif di negara RI terletak di tangan Soeharto, yang 
   baru melepaskannya pada 21 Mei 1998.
   
   
   
   Empat puluh lima tahun kemudian peristiwa historis itu tetap 
   kontroversial. Tak bisa tidak. Terlalu kompleks situasi dan kondisinya, 
   terlalu raksasa dampaknya bagi bangsa Indonesia, dan terlalu mengerikan 
   jumlah korbannya. Saya ingin menceritakan bagaimana saya waktu itu 
   mengalaminya meski cerita itu barangkali shocking.
   
   
   
   45 tahun lalu
   
   
   
   Saat itu saya mahasiswa teologi di Yogyakarta. Saya hidup bersama 
   rekan-rekan mahasiswa muda tarekat rohaniwan Yesuit. Percayakah Anda 
   bahwa kami menyambut berita di radio tentang peristiwa Supersemar dengan
bersorak gembira? Bahwa kami merasa seakan-akan sebuah beban 
   kekhawatiran gelap terangkat. Reaksi kami itu sendiri ada sejarahnya.
   
   
   
   Sejak mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, 29 Januari 1961, saya 
   cemas dengan ancaman komunis. Bagi saya, komunismeâ€sesudah 
   nasional-sosialisme Naziâ€adalah ideologi paling jahat dan berbahaya: 
   antara 1917 dan 1991 kaum komunis membunuh lebih dari 100 juta orang, 
   sedangkan Nazi antara 1933 dan 1945 membunuh 12 juta orang, tanpa 
   menghitung korban perang.
   
   
   
   Saya dapat kesan bahwa PKI maju di semua front. Di mana-mana papan merah
PKI dan BTI terpasang. Sesudah Nasakomâ€persatuan ”revolusioner” 
   Nasionalisme, Agama, dan Komunismeâ€dipermaklumkan Presiden Soekarno, 
   segenap ungkapan kritis terhadap komunisme dihantam sebagai 
   komunisto-fobi.
   
   
   
   Akhir 1964, sebanyak 20 koran pembawa tulisan antikomunis Sayuti Melik 
   ”Badan Penjebar Sukarnoisme” ditutup dan Partai Murba dinonaktifkan. 
   Januari 1965, Soekarno membawa Indonesia keluar dari PBB. Secara 
   internasional Indonesia terisolasi. Sejak akhir 1964 teman saya, para 
   mahasiswa rohaniwan muda Indonesia, yang sebelumnya semua pengikut 
   antusias Soekarno, berkesan mulai meragukan Soekarno.
   
   
   
   Pada Agustus 1965 kami dengar kabar burung bahwa Soekarno jatuh sakit 
   dan 10 doktor RRC yang katanya dibawa Ketua PKI Aidit dari Beijing dalam
sebuah memo rahasia hanya memberikan tiga bulan lagi kepada Presiden. 
   Suasana tegang meliputi negara. Kami merasa sesuatu akan terjadi.
   
   
   
   Sesuatu itu terjadi pada 1 Oktober. Kami di Yogyakarta terus 
   mendengarkan RRI. Sekitar siang hari kami mulai menyangka bahwa ”Gerakan
30 September”, nama yang dipakai oleh gerakan itu sendiri, berhaluan 
   kiri. Malam hari suara Jenderal Soeharto mengumandang lewat RRI bahwa 
   gerakan itu sudah dihancurkan. Kami menyambutnya dengan agak lega.
   
   
   
   Namun, Yogyakarta sepertinya diliputi ketakutan. Jalan-jalan dan 
   pasar-pasar sepi. Se- akan-akan orang sudah tahu bahwa darah telah 
   mengalir dan darah akan mengalir lagi (di Yogyakarta pun yang dikuasai 
   selama 16 hari oleh ”Dewan Revolusi”, Komandan Korem 72, Kolonel 
   Katamso, dan stafnya, Letkol Sugiono, dibunuh oleh pasukan mereka 
   sendiri). Orang masih ingat Peristiwa Madiun: kedua belah pihak membunuh
jauh lebih banyak orang daripada yang ”perlu secara operasional”.
   
   
   
   Kami merasa tegang. Segera menjadi jelas, Presiden Soekarno tak bersedia
menonaktifkan PKI sebagaimana dituntut oleh semakin banyak kekuatan 
   antikomunis. Apakah beliau akan berhasil menyelamatkan PKI?
   
   
   
   Pada 16 Oktober pasukan yang ”terlibat” 

[proletar] Re: Franz Magnis-Suseno: 45 Tahun Supersemar

2011-03-11 Terurut Topik Jusfiq

Jangan lupa: Tawang ikut dilatih buat membunuh ketika itu dan hingga  sekarang 
tidak merasa bersalah.

--- In proletar@yahoogroups.com, Wahyu Suluh wahyusuluh@... wrote:

 45 Tahun Supersemar
 
 
 
 Oleh Franz Magnis-Suseno SJ
 
 
 
 Pada 11 Maret 1966 lima setengah bulan paling menegangkan dalam sejarah 
 Indonesia merdeka mulai berakhir. Pada tanggal itu Presiden Soekarno 
 menandatangani sebuah surat. Di situ ia menyuruh Jenderal Soeharto 
 mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengembalikan keamanan.
 
 
 
 Dalam kenyataan, meski pasti bukan maksud Soekarno, Supersemar menjadi 
 legitimasi pengambilalihan kekuasaan oleh Soe- harto. Dan, Soeharto tak 
 ragu-ragu. Ia langsung melarang Partai Komunis Indonesia dan 
 segeraâ€tanpa menghiraukan protes Presiden Soekarnoâ€menangkap sekitar 12 
 menteri Kabinet 100 Menteri, lalu membentuk kabinet baru. Sejak tanggal 
 itu kekuasaan efektif di negara RI terletak di tangan Soeharto, yang 
 baru melepaskannya pada 21 Mei 1998.
 
 
 
 Empat puluh lima tahun kemudian peristiwa historis itu tetap 
 kontroversial. Tak bisa tidak. Terlalu kompleks situasi dan kondisinya, 
 terlalu raksasa dampaknya bagi bangsa Indonesia, dan terlalu mengerikan 
 jumlah korbannya. Saya ingin menceritakan bagaimana saya waktu itu 
 mengalaminya meski cerita itu barangkali shocking.
 
 
 
 45 tahun lalu
 
 
 
 Saat itu saya mahasiswa teologi di Yogyakarta. Saya hidup bersama 
 rekan-rekan mahasiswa muda tarekat rohaniwan Yesuit. Percayakah Anda 
 bahwa kami menyambut berita di radio tentang peristiwa Supersemar dengan
  bersorak gembira? Bahwa kami merasa seakan-akan sebuah beban 
 kekhawatiran gelap terangkat. Reaksi kami itu sendiri ada sejarahnya.
 
 
 
 Sejak mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, 29 Januari 1961, saya 
 cemas dengan ancaman komunis. Bagi saya, komunismeâ€sesudah 
 nasional-sosialisme Naziâ€adalah ideologi paling jahat dan berbahaya: 
 antara 1917 dan 1991 kaum komunis membunuh lebih dari 100 juta orang, 
 sedangkan Nazi antara 1933 dan 1945 membunuh 12 juta orang, tanpa 
 menghitung korban perang.
 
 
 
 Saya dapat kesan bahwa PKI maju di semua front. Di mana-mana papan merah
  PKI dan BTI terpasang. Sesudah Nasakomâ€persatuan ”revolusioner” 
 Nasionalisme, Agama, dan Komunismeâ€dipermaklumkan Presiden Soekarno, 
 segenap ungkapan kritis terhadap komunisme dihantam sebagai 
 komunisto-fobi.
 
 
 
 Akhir 1964, sebanyak 20 koran pembawa tulisan antikomunis Sayuti Melik 
 ”Badan Penjebar Sukarnoisme” ditutup dan Partai Murba dinonaktifkan. 
 Januari 1965, Soekarno membawa Indonesia keluar dari PBB. Secara 
 internasional Indonesia terisolasi. Sejak akhir 1964 teman saya, para 
 mahasiswa rohaniwan muda Indonesia, yang sebelumnya semua pengikut 
 antusias Soekarno, berkesan mulai meragukan Soekarno.
 
 
 
 Pada Agustus 1965 kami dengar kabar burung bahwa Soekarno jatuh sakit 
 dan 10 doktor RRC yang katanya dibawa Ketua PKI Aidit dari Beijing dalam
  sebuah memo rahasia hanya memberikan tiga bulan lagi kepada Presiden. 
 Suasana tegang meliputi negara. Kami merasa sesuatu akan terjadi.
 
 
 
 Sesuatu itu terjadi pada 1 Oktober. Kami di Yogyakarta terus 
 mendengarkan RRI. Sekitar siang hari kami mulai menyangka bahwa ”Gerakan
  30 September”, nama yang dipakai oleh gerakan itu sendiri, berhaluan 
 kiri. Malam hari suara Jenderal Soeharto mengumandang lewat RRI bahwa 
 gerakan itu sudah dihancurkan. Kami menyambutnya dengan agak lega.
 
 
 
 Namun, Yogyakarta sepertinya diliputi ketakutan. Jalan-jalan dan 
 pasar-pasar sepi. Se- akan-akan orang sudah tahu bahwa darah telah 
 mengalir dan darah akan mengalir lagi (di Yogyakarta pun yang dikuasai 
 selama 16 hari oleh ”Dewan Revolusi”, Komandan Korem 72, Kolonel 
 Katamso, dan stafnya, Letkol Sugiono, dibunuh oleh pasukan mereka 
 sendiri). Orang masih ingat Peristiwa Madiun: kedua belah pihak membunuh
  jauh lebih banyak orang daripada yang ”perlu secara operasional”.
 
 
 
 Kami merasa tegang. Segera menjadi jelas, Presiden Soekarno tak bersedia
  menonaktifkan PKI sebagaimana dituntut oleh semakin banyak kekuatan 
 antikomunis. Apakah beliau akan berhasil menyelamatkan PKI?
 
 
 
 Pada 16 Oktober pasukan yang ”terlibat” meninggalkan Yogyakarta. Kami 
 dengar adanya bentrok di kawasan Klaten-Jatinom. RPKAD mulai 
 ”membersihkan” kampung demi kampung dengan kader-kader tertinggi sering 
 langsung dieksekusi. Pada bulan-bulan berikut kami juga mendapat berita 
 tentang pembunuhan besar-besaran terhadap komunis di Jawa Timur dan 
 Bali. Gelap dan mengerikan.
 
 
 
 Di Jakarta, demonstrasi antikomunis kian menjadi. Namun, kesannya 
 Presiden Soekarno lama-kelamaan berhasil merebut kembali inisiatif. Pada
  Februari dibentuk Kabinet 100 Menteri. Jenderal AH Nasution harapan 
 kami tak lagi termasuk. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) malah 
 dilarang. Semua itu berakhir pada 11 Maret 1966 itu.
 
 
 
 Tiga tahap
 
 
 
 Melihat kembali, sebaiknya kita membedakan tiga tahap. Yang pertama 

[proletar] Re: Franz Magnis-Suseno: 45 Tahun Supersemar

2011-03-11 Terurut Topik Tawangalun
Untuk keamanan dan keadilan pemerintah itu kalau toh membunuh rapopo.Opo 
Amerika protes kpd densus 88 ketika membunuh?
Allah itu punya 99 sifat ,jadi bukan hanya Rahman dan Rahim tok.Ada sifat lain 
sebagai polisi.

Shalom,
Tawangalun.

--- In proletar@yahoogroups.com, Jusfiq kesayangan.allah@... wrote:

 
 Jangan lupa: Tawang ikut dilatih buat membunuh ketika itu dan hingga  
 sekarang tidak merasa bersalah.
 
 --- In proletar@yahoogroups.com, Wahyu Suluh wahyusuluh@ wrote:
 
  45 Tahun Supersemar
  
  
  
  Oleh Franz Magnis-Suseno SJ
  
  
  
  Pada 11 Maret 1966 lima setengah bulan paling menegangkan dalam sejarah 
  Indonesia merdeka mulai berakhir. Pada tanggal itu Presiden Soekarno 
  menandatangani sebuah surat. Di situ ia menyuruh Jenderal Soeharto 
  mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengembalikan keamanan.
  
  
  
  Dalam kenyataan, meski pasti bukan maksud Soekarno, Supersemar menjadi 
  legitimasi pengambilalihan kekuasaan oleh Soe- harto. Dan, Soeharto tak 
  ragu-ragu. Ia langsung melarang Partai Komunis Indonesia dan 
  segeraâ€tanpa menghiraukan protes Presiden Soekarnoâ€menangkap sekitar 12 
  menteri Kabinet 100 Menteri, lalu membentuk kabinet baru. Sejak tanggal 
  itu kekuasaan efektif di negara RI terletak di tangan Soeharto, yang 
  baru melepaskannya pada 21 Mei 1998.
  
  
  
  Empat puluh lima tahun kemudian peristiwa historis itu tetap 
  kontroversial. Tak bisa tidak. Terlalu kompleks situasi dan kondisinya, 
  terlalu raksasa dampaknya bagi bangsa Indonesia, dan terlalu mengerikan 
  jumlah korbannya. Saya ingin menceritakan bagaimana saya waktu itu 
  mengalaminya meski cerita itu barangkali shocking.
  
  
  
  45 tahun lalu
  
  
  
  Saat itu saya mahasiswa teologi di Yogyakarta. Saya hidup bersama 
  rekan-rekan mahasiswa muda tarekat rohaniwan Yesuit. Percayakah Anda 
  bahwa kami menyambut berita di radio tentang peristiwa Supersemar dengan
   bersorak gembira? Bahwa kami merasa seakan-akan sebuah beban 
  kekhawatiran gelap terangkat. Reaksi kami itu sendiri ada sejarahnya.
  
  
  
  Sejak mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, 29 Januari 1961, saya 
  cemas dengan ancaman komunis. Bagi saya, komunismeâ€sesudah 
  nasional-sosialisme Naziâ€adalah ideologi paling jahat dan berbahaya: 
  antara 1917 dan 1991 kaum komunis membunuh lebih dari 100 juta orang, 
  sedangkan Nazi antara 1933 dan 1945 membunuh 12 juta orang, tanpa 
  menghitung korban perang.
  
  
  
  Saya dapat kesan bahwa PKI maju di semua front. Di mana-mana papan merah
   PKI dan BTI terpasang. Sesudah Nasakomâ€persatuan ”revolusioner” 
  Nasionalisme, Agama, dan Komunismeâ€dipermaklumkan Presiden Soekarno, 
  segenap ungkapan kritis terhadap komunisme dihantam sebagai 
  komunisto-fobi.
  
  
  
  Akhir 1964, sebanyak 20 koran pembawa tulisan antikomunis Sayuti Melik 
  ”Badan Penjebar Sukarnoisme” ditutup dan Partai Murba dinonaktifkan. 
  Januari 1965, Soekarno membawa Indonesia keluar dari PBB. Secara 
  internasional Indonesia terisolasi. Sejak akhir 1964 teman saya, para 
  mahasiswa rohaniwan muda Indonesia, yang sebelumnya semua pengikut 
  antusias Soekarno, berkesan mulai meragukan Soekarno.
  
  
  
  Pada Agustus 1965 kami dengar kabar burung bahwa Soekarno jatuh sakit 
  dan 10 doktor RRC yang katanya dibawa Ketua PKI Aidit dari Beijing dalam
   sebuah memo rahasia hanya memberikan tiga bulan lagi kepada Presiden. 
  Suasana tegang meliputi negara. Kami merasa sesuatu akan terjadi.
  
  
  
  Sesuatu itu terjadi pada 1 Oktober. Kami di Yogyakarta terus 
  mendengarkan RRI. Sekitar siang hari kami mulai menyangka bahwa ”Gerakan
   30 September”, nama yang dipakai oleh gerakan itu sendiri, berhaluan 
  kiri. Malam hari suara Jenderal Soeharto mengumandang lewat RRI bahwa 
  gerakan itu sudah dihancurkan. Kami menyambutnya dengan agak lega.
  
  
  
  Namun, Yogyakarta sepertinya diliputi ketakutan. Jalan-jalan dan 
  pasar-pasar sepi. Se- akan-akan orang sudah tahu bahwa darah telah 
  mengalir dan darah akan mengalir lagi (di Yogyakarta pun yang dikuasai 
  selama 16 hari oleh ”Dewan Revolusi”, Komandan Korem 72, Kolonel 
  Katamso, dan stafnya, Letkol Sugiono, dibunuh oleh pasukan mereka 
  sendiri). Orang masih ingat Peristiwa Madiun: kedua belah pihak membunuh
   jauh lebih banyak orang daripada yang ”perlu secara operasional”.
  
  
  
  Kami merasa tegang. Segera menjadi jelas, Presiden Soekarno tak bersedia
   menonaktifkan PKI sebagaimana dituntut oleh semakin banyak kekuatan 
  antikomunis. Apakah beliau akan berhasil menyelamatkan PKI?
  
  
  
  Pada 16 Oktober pasukan yang ”terlibat” meninggalkan Yogyakarta. Kami 
  dengar adanya bentrok di kawasan Klaten-Jatinom. RPKAD mulai 
  ”membersihkan” kampung demi kampung dengan kader-kader tertinggi sering 
  langsung dieksekusi. Pada bulan-bulan berikut kami juga mendapat berita 
  tentang pembunuhan besar-besaran terhadap komunis di Jawa Timur dan 
  Bali. Gelap dan mengerikan.
  
  
  
  Di