[wanita-muslimah] Tak Kenal BUNG KARNO, Maka – – – – -Tak Kenal INDONESIA

2010-08-17 Terurut Topik ibrahim Isa
IBRAHIM ISA
-
Selasa, 17 Agustus 2010

Tak Kenal BUNG KARNO,
Maka – – – – -Tak Kenal INDONESIA
*


Menulis sebuah `p r o f i l` tentang Bung Karno — Seorang negarawan, 
`statesman' dan `nation builder', pembangun bangsa terbesar, — dalam dua-tiga 
halaman saja, adalah sangat-sangat tidak mudah. Hasilnya pasti tidak seperti 
apa yang diharapkan. Keterbatasan ruangan dalam penerbitan "Informasi", sebuah 
berkala terbitan "Perhimpunan Persaudaraan", untuk menuliskan sebuah profil 
yang agak lengkap, merupakan realitas yang wajar dan bisa difahami. Kalaulah 
kita buka computer, menjenguk sebentar ke website `Google.com', — ketik nama 
SOEKARNO, di situ bisa dibaca, sedikitnya terdapat – 1.750.000  bahan tertulis, termasuk beberapa audio, youtube, 
Facebook, dan video, yang bersangkutan dengan nama SUKARNO. Demikianlah 
terkenalnya nama Sukarno di dunia informatika mancanegara.
Dalam rangka, menyambut dan memperingati Ultah Ke-65 Hari Kemerdekaan Nasional 
Indonesia, 17 Agustus 1945, memang dimaksudkan di sini, hendak menulis `PROFIL' 
tentang Bung Kanro. Betapapun sulitnya. Karena begitu banyak segi dan ragam 
sosok dan tokoh yang bernama S u k a r n o .

Kata `Profil' – – – – Menurut Kamus Oxford adalah sebuah gambaran, `silhoutte', 
`potret yang diilihat dari sisi'. Jadi profil itu adalah suatu gambar seseorang 
yang dilihat dari s a t u sisi saja. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan 
`profil' itu sebagai `s k e t s a biografis`. SUKARNO adalah seorang manusia 
biasa. Dengan segala keunggulan dan kekurangannya. Benar! Sukarno adalah 
manusia biasa. Tetapi, sekaligus, — SUKARNO, adalah manusia LUAR BIASA.

Beliau orang besar. Sosok seperti beliau itu langka sekali dalam sejarah 
Indonesia.
Yang menjadikan Bung Karno langka a.l — adalah, bahwa sejak masa mudanya beliau 
telah memilih jalan hidup perjuangan demi kemerdekaan bangsa dan tanah air. 
Pemuda Sukarno tidak memilih hidup tenang dan énak sebagai insinyur bangunan 
dengan penghasilan lumayan. Malah akan bisa hidup sebagai `lapisan atas' di 
zaman kolonial Hindia Belanda. Tetapi Sukarno memilih jalan yang sulit dan 
menderita. Masuk-keluar penjara. Kemudian jadi orang buangan. Ya, itulah 
Sukarno yang sejak muda telah memilih jalan hidup sebagai pejuang kemerdekaan 
Indonesia. Demi cita-cita mulya yang diyakininya. Jalan hidup ini 
dipertahanknnya dengan konsisten, sampai akhir hidup beliau dalam tahanan rezim 
Orba di bawah Jendral Suharto.
Bung Karno lain dari Jendral Suharto. Yang jauh sebelum meninggalkan dunia yang 
fana ini, Suharto, selain mengumpulkan kekayaan bagi diri dan keluarganya 
melalui korupsi besar-besaran, ia telah menyiapkan `kuburan keluarga'. Sebuah 
lokasi menyolok, di sebuah gunung dengan bangunan mewah lengkap dengan 
pengawalan. Kuburan semegah ini tak ada bandingnya di Indonesia.

Namun, Bung Karno, setelah meniggal dunia dalam tahanan militer, atas keputusan 
Jendral Suharto, jenazahnya diangkut jauh dari pusat kehidupn politik negara, 
yaitu ke Blitar untuk dimakamkan di situ. Semua tahu hal ini diluar keingian 
dan wasiat Bung Karno. Secara terbuka Bung Karno telah menyampaikan, bahwa 
beliau ingin dikubur di sebuah lokasi sederhana di Bogor dengan tulisan di batu 
nisan: — BUNG KARNO, PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT. Memang Suharto tidak tanggung 
tanggung dalam tindakannya mengucilkan, mengasingkan dan menghancurkan nama 
Sukarno.
Tetapi lihat, apa yang terjadi! Adalah massa rakyat sendiri yang bersikap. 
Dewasa ini kota Blitar tempat peristirahatan terakhir Bung Karno, telah menjadi 
salah satu `tugu nasional' penting. Massa pengunjung memperlakukan kuburan Bung 
Karno, seperti kuburan wali-wali. Bahkan lebih dari itu. Hingga detik ini, 
sudah ratusan ribu, bahkan mungkin sudah jutaan pencinta Bung Karno yang 
berdatangan dari pelbagai penjuru tanah air, pergi ber-ZIARAH ke MAKAM BUNG 
KARNO. Untuk menyatakan kecintaan, penghormatan dan kesetiaan mereka pada Bung 
Karno. Dan hal ini akan berlangsung terus.
Lebih-lebih dalam situasi bangsa dan tanah air dewasa ini mendambakan dan 
membutuhkan seorang pemimpin dan penyuluh bangsa sekaliber BUNG KARNO.
Bagi setiap orang Indonesia yang mengenal sejarah perjuangan bangsa, nama 
penulis kenamaan Belanda, Multatuli, alias Douwes Dekker, tidaklah asing lagi. 
Melalui bukunya `MAX HAVELAAR', sudah pada abad ke-19. Multatuli dengan 
terang-terangan, tegas dan tajam menggugat kolonialisme Belanda dan feodalisme 
di Banten, yang menjadi sekutu dan pijakan kekuasaan kolonialisme di Hindia 
Belanda. Kita juga mengenal nama-nama Belanda lainnya, yang simpati dengan 
bangsa Indonesia. Seperti antara lain Prof Dr W.F. Wertheim, Dr Bob Hering, 
Piet van Staveren, Poncke Princen, dan banyak lainnya yang memiliki hati 
nurani. Mereka-mereka itu tak sudi melihatberlangsungnya pemerasan dan 
penindasan oleh kolonialisme Belanda atas bangsa Indonesia. 

Mereka menyatakan protes ter

[wanita-muslimah] Wong “JOWO-Surinam” Ing Negoro Londo

2010-08-14 Terurut Topik ibrahim Isa
IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita 
Sabtu, 14 Agustus 2010 
-- 

Wong "JOWO-Surinam" Ing Negoro Londo 
< Dalam Rangka Peringatan 120 Tahun Kedatangan Orang Jawa di Suriname> 

Cerita-cerita, -- s e j a r a h , tentang 'Wong Jowo ing Negoro Londo' (mereka 
berimigrasi dari Suriname), --  
-- , menarik sekali. Mengharukan dan menggugah. Dan hatiku ikut bangga, sebagai 
suami seorang putri dari Jawa. Begitulah, hari Minggu, pekan lalu, kami kumpul 
bersama di suatu ruang peringatan dengan kira-kira 300 orang-orang Jawa lainnya 
yang berdatangan dari pelbagai penjuru Belanda. 

Cukup banyak data dan ulasan yang bisa diakses di internet mengenai para 
kompatriot itu. Jangan héran, bagi kebanyakan orang-orang Jawa-Indonesia, 
keberadaan dan latar belakang 'Wong-Jowo-Surinam' ing Holan iku, sedikit sekali 
yang tahu. Ya, sesekali secara kebetulan, kita papasan dengan orang (yang 
dianggap orang Indonesia), di jalan atau di pertokoan. Ternyata mereka itu 
adalah 'wong Jowo-Surinam'. Orang Jawa yang menetap di Belanda, asal Surinam. 
Mereka bertanya pula: "Sampean soko Surinam"? 

Aku baru-baru ini saja, agak mengenal latar belakang 'Wong Jowo Ing Negoro 
Londo". Yaitu selagi dan sesudah pada tanggal 08 Agustus 2010 lalu,  menghadiri 
Peringatan "120 JAAR JAVAANSE IMMIGRATIE – Een Andere Kijk op Geschiedenis – De 
Javaanse migratie door de ogen van gewone mensen". < Artinya kira-ki begini: 
"120 tahun migrasi Orang-Orang Jawa – Suatu Pandangan Lain Atas Sejarah – 
Migrasi Orang-orang Jawa Melalui Mata Orang-orang Biasa.">. Penyelenggara 
peringatan dilakukan bersama oleh Stichting Herdenking Javaanse Immigratie 
(STICHHJI), Stichting Budi Utama dan KITLV Leiden. 

Di ruangan pertemuan di pamerkan untuk dijual buku-buku sehubungan dengan 
orang-orang Jawa Surinam. Juga bisa dipesan kamus Jawa-Nederlands.  Di situ aku 
membeli sebuah buku berjudul STILLE PASSANTEN, Levensverhalen van 
Javaans-Surinaamse ouderen in Nederland. Cerita-cerita pengalaman orang-orang 
Jawa Surinam di Nederland. Penulis: Yvette Kopijn dan Harriette Mingoen, Ketua 
STICHHJI. Aku baru membaca kata pengantarnya dan melihat-lihat foto-foto 
sekitar orang-orang Jawa yang mula datang ke Suriname. Kaum migran Jawa  yang 
berjumlah 32.956 migran itu diangkut berangsusr-angsur selama periode 1890 s/d 
1939 dengan 53 kapal ke  Paramaribo, Suriname.  Setelah menyelesaikan kontrak 
kerja selama 5 tahun, mereka boleh mengakhiri kontrak dan kembali ke kampung 
halaman di Jawa. Sebagian besar memilih menetap di Suriname, menjadikan negeri 
itu tanah airnya kedua. 

* * * 

Perayaan Peringatan tsb berlangsung di ruang pertemuan Haagse Hogeschool, Den 
Haag. Hanya beberapa puluh meter jaraknya pas dimuka Stasiun KA - Den Haag HS 
letaknya. Perayaan Peringatan mengambil bentuk Manifestasi Budaya. Dimeriahkan 
dengan acara seni:  gamelan Jawa, tari-tarian, pentjak silat, nyanyi solo dan 
paduan suara, musik Jawa, juga musik pop. Tak ketinggalan dipanggungkan pula 
tari serimpi yang indah lemah lunglai itu. Hadirin menikmati seluruh acara yang 
berlangsung dari jam 12 siang sampai jam 07 malam. Dengan sendirinya tersedia 
di situ makanan Indonesia  dan Suriname (seperti tahu lontong dan saoto), serta 
 cendol dan minuman lainnya dengan harga yang layak. 

Sarmaji yang duduk disampingku, tak habis heran dan kagum menyaksikan acara  
seni itu.  Bagaimana orang-orang Jawa Suriname kok bisa tetap memelihara budaya 
Jawa meskipun lebih seratus tahun terpisah dari kampung halaman asal, 
berlanglang-buwana sampai ke Suriname dan Belanda. Itu menunjukkan bahwa 
meskipun tinggal di negeri lain, mereka tetap mempertahankan budaya dan 
identitas mereka. Hebat kan, kataku!

Tapi yang lebih mengharukan  lagi serta terheran-heran kami, adalah ketika 
perayaan dibuka dengan tampilnya barisan bendera teridiri dari putri-putri, 
yang masing-masing membawa bendera Merah Putih Biru (Belanda), Merah Putih 
(Indonesia), dan Bendera Suriname. Tak terkira reaksi kami ketika itu. Serasa 
terdengar debaran jantung masing-masing, ketika seiring dengan barisan bendera 
tampil di panggung, diperdengarkan masing-masing --  lagu WILHELMUS,  lalu 
INDONESIA RAYA kemudian lagu KEBANGSAAN SURINAME. Sungguh tak tak terduga  bisa 
melihat bendera Merah Merah Putih dikibarkan diatas panggung  di Haagse 
Hogeschool Den Haag, dengan diiringi musik INDONESIA RAYA. Dan itu dalam suatu  
perayaan peringatan yang dilangsungkan oleh  WONG JOWO ING NEGORO LONDO.

Kutanyakan  bagaimana kesan Sarmaji disampingku. Bagaimana perasaannya melihat 
Sang MERAH PUTIH yang disertai musik INDONESIA RAYA di atas panggung? Wah, wah, 
bukan main bangganya aku!, kata Sarmaji.

* * * 

Bagiku pribadi,  belum lama mengetahui adanya orang-orang Jawa-Surinam di 
Holland. Kurang lebih 15 tahun y.l. seorang sahabat dekat kami (yang asal etnis 
Jawa) ternyata melakukan kerja-sukarela di s

[wanita-muslimah] ORANG-ORANG BELANDA SAHABAT INDONSIA

2010-08-08 Terurut Topik ibrahim Isa
IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Minggu, 08 Agustus 2010
--

ORANG-ORANG BELANDA SAHABAT INDONSIA


***

Kemarin dulu, kuterima dari sahabatku Bari Muchtar, Ranesi, Hilversum,  e-mail 
berikut ini:
, 
diterbitkan 06 Agustus,  2010, oleh BARI MUCHTAR, Ranesi, Hilversum.
Dalam pesannya kepadaku mengomentari tulisanku tentang Peringatan 65th 
Hiroshima, Bari Muchtar menulis sbb:

Pak Ibrahim,

Mudah-mudahan senjata nuklir benar-benar disingkirkan di muka bumi. Pak 
Ibrahim, ini link rangkuman wawancara dengan bapak ttg orang-orang Belanda yang 
bersahabat dengan Indonesia.

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/orang-orang-belanda-sahabat-indonesia

Salam hormat,
Bari Muchtar

*  * *

Kupikir, Ranesi telah menyiarkannya untuk pendengar Radio Hilversum, baik 
kiranya dipublikasikan agar pembaca dapat mengikutinya
ORANG-ORANG BELANDA SAHABAT INDONSIA
Dalam buku sejarah Indonesia ditulis, Belanda pernah menjajah Indonesia selama 
tiga setengah abad. Makanya wajar kalau orang masih tidak bisa melepaskan 
pikiran yang mengganggap orang Belanda itu penjajah.
Tapi dalam sejarah selama lebih kurang tiga abad itu ternyata banyak orang 
Belanda yang berani menentang penguasa penjajah. Mereka memprotes, memberontak 
dan membelot menjadi pro Indonesia dan malah menjadi warga negara Indonesia.
Ibrahim Isa, seorang eksil yang tinggal di Amsterdam, menyebut mereka itu 
orang-orang yang menjadi jembatan antara Belanda dan Indonsia atau sahabat 
Indonesia. Siapa saja antara lain mereka itu?
Multatuli
Pertama adalah Multatuli, seorang asisten residen di Lebak, Banten. Tokoh 
Belanda yang bernama asli Eduard Douwes Dekker ini mengundurkan diri jabatannya 
karena ia tidak setuju dengan sistem feodal saat itu. Ini dilakukannya setelah 
tuntutannya untuk memecat bupati tidak dikabulkan oleh pemerintah kolonial 
Belanda saat itu. Maklum pemerintah Belanda justru memanfaatkan sistem feodal 
itu untuk kepentingan penjajahan.
Kemudian pada sekitar abad keduapuluhan nama Douwes Dekker muncul tapi orangnya 
berbeda. Pria yang masih berhubungan darah dengan Dekker yang dijuluki 
Multatuli ini adalah seorang jurnalis. Bersama dengan Ki Hadjar Dewantara dan 
dr Mangunsutjipto,  ia membentuk Indische Partij pada tahun 1911.
"Indische partij itu partai politik pertama yang mengajukan tuntutan agar 
bangsa-bangsa di Nederlands Indie (nama Indonesia waktu itu,red) memilik haknya 
untuk menentukan nasibnya sendiri,  " tandas Ibrahim Isa.
Pembelot
Setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 
Agustus 1945 terjadi perang antara pejuang kemerdekaan Republik Indonesia 
melawan tentara Belanda. Menurut versi Belanda serdadu yang dikirm itu bertugas 
untuk memulihkan keamanan apa yang disebut aksi polisionil atau politionele 
actie. Tapi menurut kacamata Indonesia tentara Belanda itu jelas dikirim ke RI 
untuk merebut kembali negaranya yang baru merdeka.
Di Belanda saat itu banyak pemuda Belanda yang menolak ditugaskan ke Indonesia 
yang bagi Belanda masih saat itu masih bernama Nederlands Indie atau Hindia 
Belanda. Hati nurani mereka tidak mengizinkan untuk menjadi bagian dari  
tentara yang mau menjajah lagi.Menurut Ibrahim Isa, jumlahnya sekitar 500 
orang. "Mereka akhirnya diadili dan dipenjarakan, " katanya.
Namun ada pula yang toh berangkat ke Indonesia, tapi akhirnya membelot ke pihak 
Indonesia. Contohnya Poncke Princen. Karena menyeberang menjadi Tentara 
Indonesia, maka ia dianggap penghkhianat oleh Belanda. "Tapi untuk kita, untuk 
bangsa Indonesia ia dianggap sebagai sahabat yang sangat dekat, "tandas Ibrahim 
Isa.
Princen, tambah Ibrahim Isa, menunjukkan kepeduliannya dan dedikasi kepada 
Indonesia dengan menjadi pejuang Hak Asasi Manusia atau HAM dan demokrasi pada 
jaman Orba. Akibatnya ia sempat dipenjarakan oleh rejim di bawah pimpinan 
Soeharto ini. "Princen diakui sebagai pejuang demokrasi dan HAM, " simpul 
Ibrahim Isa.
Selanjutnya Ibrahim Isa menambahkan bahwa di perpustakaan-perpustakaan Belanda 
banyak sekali ditemukan buku-buku tulisan bekasTentara Kerajaan Belanda. Banyak 
di antara mereka sebenarnya tidak tahu bahwa mereka ke Indonesia dulu 
ditugaskan untuk menjajah kembali. Karena yang dikatakan kepada mereka, tugas 
mereka adalah memulihkan kembali keamanan di Hindia Belanda.  Jadi, mereka 
merasa ditipu.
Lalu ada seorang ilmuwan Belanda yang terang-terangan mengusulkan kepada 
pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia. Ia adalah guru 
besar sosiologi bernama  Werthheim. Bukunya yang berjudul "The Society in 
transtion" menjadi bahan bacaan wajib bagi yang mau studi antropologi dan 
sospol Indonesia. "Di jaman Orba di Belanda ia mendirikan Komite Indonesia, 
untuk memperjuangkan hak-hak demokrasi bagi Indonesia " kata Ibrahim Isa.
Teman keluarga Bung Karno
Terakhir tokoh sepuh Ibrahim Isa yang masih sangat aktif membaca buku ini 
menyebut nama Wolf Schumach

[wanita-muslimah] MENGENANGKAN ULTAH-65 PEMBOMAN ATOM ATAS HIROSHIMA DAN NAGASAKI

2010-08-06 Terurut Topik ibrahim Isa
Kolom IBRAHIM ISA 
Jum'at, 06 Agustus 2010
---


HIROSHIMA – NAGASAKI Di Bom Atom
Bukankah Itu 'PEMBUNUHAN MASAL'?
AS Dituntut Minta Maaf Kpd Rakyat Jepang



Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman, merasa perlu mengorbankan lebih dari 
240.000 penduduk sipil Hiroshima dan  Nagasaki, memusnahkan dua kota tsb demi,  
m e m p e r c e p a t   berakh irnya Perang Duni II. Demi  'm e n g u r a n g i 
'  korban Perang Pasifik. Begitu pembelaan AS atas penggunaan senjata pemusnah 
masal terhadap penduduk sipil Jepang.

Bom atom yang diledakkan di atas Hirshima yang ironis  –  dijuluki "Little Boy" 
 dan yang di atas kota Nagasaki – dijuluki "Fatman", telah  minta korban kurang 
lebih seperempat juta penduduk sipil (sumber "Wikipedia"). Padat tanggal 15 
Agustus, 1945 pemerintah Kerajaan Jepang menyatakan menyerah pada Sekutu. 

***

Perkembangan ini menyebabkan  pelbagai analisis dan pandangan. Antara lain 
dikemukakan bahwa Amerika Serikat 'mengejar waktu' dengan menggunakan Bom Atom, 
senjata pemusnah maasl yang dahsyat itu terhadap Jepang, --  supaya  Jepang 
segera menyerah. Karena tentara Sovyet yang sudah menaklukkan kekuatan pokok 
Jepang di daratan Timur Asia,  sedang siap-siap untuk menyerbu dan menaklukkan 
Jepang. AS dan sekutunya bagaimanapun tidak membolehkan Sovyet lebih dahulu 
mengalahkan dan menduduki Jepang.

Degan pelbagai dalih untuk memenangkan strategi pokoknya di Asia dalam 
persaingan  dengan Uni Sovyet, AS tidak segan-segan mengorbankan menjadi mangsa 
sendjata bom atom, sebanyak kurang lebih 240.000 penduduk sipil yang mati. 
Belum lagi sejumlah besar yang masih hidup tetapi menderita seumur hidup 
disebabkan radiasi fatal yang berasal dari peledakan bom atom di Hiroshima dan 
Nagasaki.

Analisis dan komentar lainnya menyimpulkan bahwa kebijakan AS meledakkan bom 
Atom di atas kota Hirohsima dan Nagasaki,  adalah demi memenangkan strategi 
perangnya. Oleh karena itu,  tidak lain tak bukan, tindakan AS itu  adalah 
suatu PEMBUNUHAN MASAL TERHADAP PENDUDUK SIPIL. Dan merupakan kejahatan perang 
yang teramat biadab! Menggunakan cara teror militer terhadap penduduk sipil 
untuk memaksakan lawan bertekuk lutut.

***

Hari ini, 06 Agustus, 2010,  dengan suatu upacara khusus di  Peace Memorial 
Park di kota Hiroshima,  ribuan rakyat Jepang mengenangkan ulangtahun ke-65 
diledakkannya bom atom  di atas kota Hiroshima. Untuk pertama kalinya 
pemerintah AS mengirimkan utusan resmi untuk ambil bagian dalam peringatan 
korban bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Juga wakil-wakil resmi Inggris dan 
Perancis, dua-duanya pemilih senjata nuklir, ikut hadir dalam pertemuan.

Kehadiran utusan resmi AS untuk pertama kalinya dalam peringatan korban bom 
atom Hiroshima dan  Negasaki yang diadakan setiap tahun itu, dikatakan 
merupakan sutu sikap baru AS. Bersamaan dengan itu Menlu AS Hillary Clinton 
menyatakan di Washington bahwa AS berniat untuk  menyingkirkan senjata nuklir 
dari dunia.

Apakah ini benar suatu pertanda akan adanya perubahan pada politik luarnegeri 
dan global AS. Sejak Perang Dunia berakhir AS  menggunakan arsenal senjata 
nuklirnya  sebagai buah catur terpenting dalam dalam strategi Perang Dingin 
versus Blok Timur ketika itu. Sekaligus senjata nuklirnya digunakan untuk 
mengintimidasi negeri-negeri yang tidak tunduk  serta yang berani  menentang 
dominasi AS? 

Hanyalah perkembangan selanjutnya yang bisa membuktikannya.

Sekjen PBB Ban Ki-Moon yang hadir bersama utusan dari 75 negeri lainnya dalam 
upacara peringatan Hiroshima itu, menyatakan bahwa: "Satu-satunya jaminan tidak 
digunakannya  lagi senjata semacam itu adalah dengan megnhapuskannya 
samasekali."

Gerakan Perdamaian Dunia yang sejak berakhirnya |Perang Dunia II muncul dan 
sangat aktif serta betambah besar pengaruhnya di Jepang, sejalan dengan 
pandangan umum di Jepang menuntut agar PEMERINTAH AMERIKA MINTA MAAF KEPADA 
RAKYAT JEPANG, atas peledakan bom atom atas kota Hirshima dan Nagasaki, yang 
telah menimbulkan korban begitu besar pada rakyat sipil.

Setiap pencinta damai dan yang berfikiran sehat, dengan sendirinya menganggap 
tuntutan dihapuskannya samasekali semua senjata nuklir dan senjata pemusnah 
masal lainnya, serta tuntutan masyarakat Jepang, agar AS minta maaf,  adalah  
tuntutan yang pada tempatnya dan adil!


***

 





[wanita-muslimah] Invitation to connect on LinkedIn

2010-04-07 Terurut Topik IBRAHIM ISA
LinkedIn


   
I'd like to add you to my professional network on LinkedIn.

- IBRAHIM

IBRAHIM ISA
Independent Publishing Professional
Amsterdam Area, Netherlands

Confirm that you know IBRAHIM ISA
https://www.linkedin.com/e/isd/1208910388/mJAJY06i/


 
--
(c) 2010, LinkedIn Corporation

[Non-text portions of this message have been removed]



[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- PELANGGARAN HAM & AMNESTY INTERNATIONAL

2007-06-18 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom  IBRAHIM ISA
--
Senin, 18 Juni 2007

=
PELANGGARAN  H.A.M   - - - -  DAN GERAKAN'AMNESTY INTERNATIONAL'
=
Salah seorang kenalanku dalam proses berkomunikasi  di media internet,
IKRANEGARA namanya,
memberikan perhatian terhadap masalah saling hubungan antara gerakan
AMNESTY INTERNATIONAL, Sekretariat Internasional  di London, -- 
dengan masalah pelanggaran HAM di pelbagai negeri pada masa lampau dan
 sekarang.  

Sebagai catatan, pada tanggal 15 Juni, 2007 yang lalu telah dimuat
tulisan Kolom Ibrahim Isa, mengenai  Rapat Umum Anggota AMNESTY 
INTERNATIONAL  NEDERLAND. .

Pendapat Bung Ikranegara,  dipublikasikan di bawah sebagai lampiran.
Lepas dari masalah, apakah seseorang setuju atau tidak terhadap
pendapatnya itu, patut disampaikan  kepadanya terima kasih atas
perhatian dan kepeduliannya.

***

Hari-hari ini aku sedang menulis tentang mengapa AI ( gerakan Amnesty
International>  harus secara tetap meng-agenda-kan  kasus pelanggaran
HAM terbesar di Indonesia sekitar Peristiwa 1965 dan pembelaan
terhadap para korban. Di situ akan disampaikan sekadar uraian singkat
mengenai kehadiranku pada Rapat Umum Anggota AI Nederland, pada
tanggal 16 Juni di Amersfoort, apa yang kusampaikan dalam rapat tsb,
dan bagaimana tanggapan hadirin dan pengurus AI. Nederland.

Mengapa masalah pelanggaran HAM 1965 di Indonesia,  kasus para korban,
keluarganya  serta handai-taulannya yang berjumlah sekitar 20 juta
orang masih gawat. Hal itu, terutama disebabkan oleh stigmatisasi dan
diskriminasi politik, sosial dan ekonomi terhadap para korban tsb.
Mereka  difitnah sebagai 'orang bermasalah',  menjadi semacam kasta
'pariah' dalam masyarakat Indonesia. Tidak boleh ini atau tidak boleh
itu. Kartu tanda penduduknya, tidak sama dengan warganegara lainnya,
karena pernah  jadi 'tapol', pernah ada indikasi atau diduga terlibat
dengan Peristiwa  G30S.  Tuduhan penguasa (militer)  Orba tsb
dilakukan  tanpa bukti dan tanpa proses pengadilan samasekali. Jadi, 
tuduhan tsb adalah ilegal, di luar hukum, melanggar HAM, merupakan
suatu fitnah keji yang diikuti oleh persekusi bertahun-tahun lamanya
sejak 1965 sampai dewasa ini.

Masalah mendesak bagi para korban adalah PEMULIHAN NAMA BAIK  mereka.
Tuduhan dan fitnahan yang mencap  mereka sebagai  'orang bermasalah',
 praktis menempatkan  mereka  berada di luar hukum, situasi ini harus
segera diakhiri, kalau negara ini mengaku sebagai Negara Hukum yang
menghormati HAM. 

Oleh karena itu, masalah MEREHABLITASI  hak-hak politik dan hak-hak
kewarganegaraan mereka,  adalah masalah yang teramat mendesak! Selama
masalah tsb belum dipertanggungjawabkan, diurus dan diselesaikan
tuntas oleh yang berwewenang, selama itu pula masalah pelanggaran HAM
1965,  harus menjadi agenda tetap gerakan Amnesty International.

***

Dalam Amnesty Internatioanl Yearbook, yang dikeluarkan setiap tahun, 
baik oleh Sekretariat International di London, maupun yang diterbitkan
oleh AI Nederland, di situ bisa ditelusuri mengenai misi dan cara
kerja AI sedunia, rencana strategisnya dan kegiatan-kegiatan
kongkritnya. Juga tercantum  di situ mengenai situsi HAM di
mancanegara, mulai dari di megeri-negeri  Barat sampai ke Timur dari
Utara sampai Selatan. Termasuk mengenai pelanggaran HAM oleh militer
Indonesia di Timor Timur, Aceh dan Papua dll, dan  juga masalah
pembunuhan terhadap  MUNIR, aktivis HAM  Indonesia yang terkenal. Juga
 diungkap di situ, mengenai pelanggaran HAM di Uni Sovyet dulu dan di
Rusia sekarang. Juga di Tiongkok, Korea Utara, Kuba dan Vietnam.
Pokoknya mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di negeri-negeri yang
disebut negeri komunis maupun negeri-negeri yang anti-komunis. Hal itu
bisa dibaca juga di website AI Nederland, 

Menurut kemaun-baik Amnesty International,  AI  harus bebas dari
keberfihakan, tidak menganut aliran kepercayaan atau faham politik
tertentu. 

Namun,  di dalam praktek kegiatannya yang nyata,  beleid AI banyak
tergantung dari komposisi pengurus dan pendukungnya. Tidak jarang  AI
lebih banyak mengungkap dan mengutuk pelanggaran HAM yang terjadi di
Blok Timur. Dan bersikap 'banci'  atau 'setengah-setengah',
'acuh-tak-acuh',  'kurang gairah' membela HAM,  bila yang jadi korban
adalah orang-orang komunis atau Kiri lainnya. Tetapi bila yang korban
itu adalah yang anti komunis dan pelakunya adalah  komunis, maka
kampanye yang dilancarkan biasanya lebih besar. 

Dulu,  baik blok Timur maupun blok Barat masing-masing melontarkan
kritik  terhadap,  dikatakan AI adala  gerakan yang disusupi  dan
ditunggangi oleh CIA atau oleh KGB. Pemerintah Orba pernah mengghujat
AI sebagai pro agen-agen G30S di luarnegeri. Karena AI pernah  a.l.
mempersoalkan pelanggaran HAM penguasa Orba, dalam masalah pembunuhan
sekitar

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- AI-Ned Jangan lupakan 'PELANGGARAN HAM 1965 !

2007-06-15 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA

Jum'at, 15 Juni 2007

Rapat Umum Anggota AMNESTY  INTERNATIONAL  NEDERLAND


Besok, Sabtu, 16 Juni 2007, mulai jam 10.00 pagi, Amnesty
International Afdeling Nederland, akan melangsungkan RAPAT UMUM
ANGGOTA  TAHUN 2007. Rapat yang akan berlangsung sehari itu, mengambil
tempat di Amersfoort. Sebagai anggota  Amnesty Inernational Nederland,
aku akan hadir dalam rapat umum anggota besok itu. 

Amnesty Nederland, adalah organisasi HAM di Belanda dan juga di
Eropah, yang termasuk besar, banyak anggotanya, dan kuat kasnya. AI-
Nederland a.l. didukung oleh Postcode Loterij, yang memberikan
sumbangan dana tidak mengikat dalam jumlah yang cukup besar. Berkat
dukungan para anggota dan banyak donor, termasuk yang besar seperti
Postcode Loterij, maka  AI Nederland bisa dengan leluasa melakukan
kegiatannya, selain itu  bisa memberikan iuran dana  barangkali,
termasuk yang terbesar, kepada  Sekretariat International Amnesty di
London. 

Untuk rapat umum anggota tahunan kali ini, semua anggpta AI,  dikirimi
ticket (cuma-cuma) kereta api Amsterdam - Amersfoort p.p. Baru kali
ini anggota dikirimi ticket kereta api cuma-cuma untuk menghadiri
rapat AI. Tetapi ini hanya untuk anggota saja, dan, barangkali, bagi 
mereka yang mendapat undangan khusus.

Sehubungan dengan dana yang diterima ini,  harus selalu diingatkan
kepada gerakan AI di Nederland, agar benar-benar menjaga
'kebebasannya' dalam kegiatan demi pembelaan HAM di manapun di dunia
ini. Agar konsisten berpijak pada prinsip-prinsip HAM, yang tidak
membeda-bedakan,  kepercayaan religi, aliran politik dan keyakinan
para korban pelanggaran HAM. Tidak jarang sumbangan dana dari
fihak-fihak tertenu, meskipun resminya tidak diserta syarat apapun,
namun, dalam prakteknya, dengan berbagai cara  mereka berusaha
mempengaruhi kebijakan gerakan Amnesty International dalam pelbagai
kegiatannya.

***

Sudah beberapa kali aku menulis kepada dan mengenai Amnesty
International Nederland. Maksudnya tidak lain, agar gerakan Amnesty
Inernational, sebagai salah satu gerakan dan organisasi HAM besar di
dunia ini, JANGAN LUPA PARA KORBAN  PELANGGRAN HAM TERBESAR SEKITAR
PERISTIWA 1965, di Indonesia.

Sampai detik ini, para korban pelanggaran HAM  sekitar Peristiwa 1965,
di Indonesia,  bersama keluarga dan sanak-saudara mereka, yang
berjumlah kurang lebih 20 juta orang, masih mengalami diskriminasi
yang kejam sekali. Para korban itu masih tetap dikucilkan dalam
pelbagai kegiatan masyarakat apalagi dalam kegiatan politik. Mereka
masih saja belum dibersihkan dari tuduhan 'subversi' ,  dari tuduhan
terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) yang dikatakan merupakan
suatu perebutan kekuasaan oleh PKI.  Padahal mereka samasekali tidak
tahu-menahu tentang G30S.  Mereka adalah warganegara patuh hukum yang
setia pada Republik Indonesia dan pemerintah Presiden Sukarno yang 
ketika itu adalah pemerintah yang sah.

Para korban Peristiwa Pelangaran HAM terbesar di Indonesia sekitar
1965, dimana lebih dari sejuta warga (menurut Jendral Sarwo Edhi yang
ambil bagian dalam penghancuran PKI dan pengikut atau yang dianggap
simpati dengan PKI, jumlah korban yang terbunuh mencapai angka 3
juta), sampai saat ini tak boleh menduduki jabatan-jabatan seperti 
guru, lurah, bupati, apalagi menteri. Mereka juga tidak boleh jadi
anggota legeslatif tingkat manapun. 

Diskriminasi politik, budaya dan pengucilan dari masyarakat oleh
penguasa masih berlangsung terus.

Nasib buruk para korban pelanggran HAM terbesar di Indonesia ini,
JANGAN SEKALI-KALI DILUPAKAN oleh setiap organisasi masyarakat yang
bergerak di bidang HAM, termasuk organisasi AMNESTY INTERNATIONAL. 

***

Pada tanggal 18 Februari 2006, aku pernah menulis surat  terbuka
kepada Amnesty International, di London. Dalam surat terbuka itu,  aku
mendesak kepada AI untuk melakukan investigasi terhadap pembunuhan
masal 1965-1966 di Indonesia, yang merupakan suatu kejahatan terhadap
kemanusiaan. Agar para pelanggar HAM tsb jangan sampai dibiarkan bebas
hukum, agar segala macam peraturan dan tindakan diskriminasi terhadap
para keluarga korban segera dihentikan, dan agar orgnisasi-organisai
pembelaan korban pelanggaran HAM 1965, di Indonesia, seperti Pakorba,
LPKP, LPKROB, YPKP, Tim Kordinator Forum Advokasi dan Rehabilitasi,
IKOHI dll, memperoleh lindungan hukum dari penguasa dalam melakukan
kegiatan-kegiatan HAM.

Kepada AI Nederland,  lebih dari sekali diajukan tuntutan serupa.
Tetapi sampai sekarang, baik Sekretaruat Internatinal di London maupun
AI Afd Nederland, tidak  memberikan jawaban formal terhadap
tuntutan-tuntutan tsb diatas.

***

Menyongsong Rapat Umum Tahunan Anggota AI Nederland besok, diajukan
lagi  tuntutan, agar organisasi HAM seperti Amnesty International,
jangan melupakan  para korban pelanggaran HAM terbesar di Indonesia di
sekitar 1965, dan para korban HAM lainnya, seperti dalam pelanggaran
HAM  Peristiwa Tanjung Periok,  pelanggaran HAM  yang ter

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - TAN MALAKA Oleh DR. HARRY POEZE (2)

2007-06-10 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 10 Juni 2007

*   *   *

TAN MALAKA Oleh  DR. HARRY POEZE (2)
Aku harus berterus terang: Tak terduga samaekalil bahwa ruangan
LAK-theater (140 kursi), Universitas Leiden,  pada hari Jumát, tanggal
08 Juni, 2007,  penuh dengan  hadirin pada peluncuran buku DR Harry
Poeze, dalam bahasa Belanda, berjudul: (dalam bahasa Indonesianya):  -
" TAN MALAKA DIHUJAT DAN DILUPAKAN" -- , Gerakan Kiri dan Revolusi
Indonesia, 1945-1949. 

Selain Pengurus dan anggota  KITLV, yang pada hari yang sama
mengadakan rapat tahunan KITLV,  para sahabat (termasuk orang-orang
Indonesia) dan rekan-rekan Harry Poeze,  -- tampak pula banyak 
mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh (umumnya) post-graduate
studies mereka, atau sedang mempersiapkan desertasi untuk PhD mereka
masiang-masing. 

Aku sengaja menanyakan kesan sahabat-sahabat baik yang Belanda maupun
yang orang Indonesia, bagaimana kesan mereka mengenai peluncuran buku
Harry Poeze itu. Umumnya punya kesan baik. Yang kutanyakan itu semua
menganggap bahwa baik pengantar yang diberikan oleh Harry Poeze maupun
suasana keseluruhannya adalah baik. Bukan saja karena pada
pertunjukkan foto-foto di layar yang dipasang diruangan, dimulai
dengan ditayangkannya teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang
ditandatangi oleh Sukarno dan Hatta,  tetapi, ini yang paling
mengesankan bagiku, adalah diperdengarkannya suara Bung Karno
membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Suasana Indonesia jadinya
menguasai seluruh pertemuan siang dan sore itu. 
Dengan diterbitkannya buku Harry Poeze,  tidak mungkin orang akan
berpendapat lain: Harry Poeze menunjukkan kesungguhan, ketekunan serta
dedikasinya yang telah menghabiskan waktu total jendral 30 tahun,
termasuk tinggal di Indonesia selama 3 bulan terus menerus (1980), 
dan beberapa kali mengunjungi Indonesia, untuk meriset dan meneliti
tentang tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia Tan Malaka, serta Gerakan
Kiri dan Revolusi Indonesia. Poeze menjelaskan bahwa ia juga meneliti
arsip-arsip Komintern di Moskow, yang telah memberikan kepadanya
pandangan-pandangan baru.

***

Hasil riset dan studi sejarah dan biografi Tan Malaka,  Gerakan Kiri
dan Revolusi Indonesia, ditulis dalam  3 jilid, semuanya setebal 2200
halaman. Disertai pula dengan foto-foto mengenai Bung Karno, Hatta,
Syahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka dll tokoh pejuang kemerdekaan
yang baru pertama kali ini aku melihatnya. 
Sayang, ada  satu salah muat. Yaitu mengenai sebuah foto Ir Setiadi,
mantan Menteri Listrik Negara Kabinet 100 Menteri Presiden Sukarno. Ir
Setiadi, ditangkap oleh Jendral Suharto (1966) dengan alasan
'diamankan'. Di salahnya: Di bawah foto Ir Setiadi, ditulis nama  S e
t i a d j i t . Jelas teks dan foto tidak cocok. Maksud Poeze adalah 
memasang foto Setiadjit, tapi yang dipasang foto Ir Setiadi.

* * *

Betapa tidak senang hati menyaksikan begitu banyak perhatian hadirin
terhadap masalah sejarah Indonesia, khusususnya sejarah gerakan Kiri
Indonesia dan salah satu tokoh utamanya, Tan Malaka.  Terlepas
apakahorang setuju atau tidak setuju dengan hasil penelitian dan studi
Dr Poeze itu, tiga jilid karya Poeze itu merupakan sumbangan terhadap
khazanah literatur mengenai sejarah Indonesia.

Perhatian terhadap masalah sejarah Indonesia, seperti yang terlihat
dari kehadiran orang-orang Indonesia dan para mahasiswa Indonesia yang
sedang belajar di  belanda, melegakan hati dan menggembirakan.

Setelah kutulis mengenai akan diluncurkannya buku Harry Poeze, kontan
ada reaksi dari Indonesia. Mereka menyambut terbitnya buku studi
biografi dan sejarah seperti yang ditulis oleh Harry Poeze. Seorang
kawan dekat bahkan sudah tidak sabar lagi menunggu,  ingin cepat
membacanya. Buku  itu begitu tebal, tiga jilid dan kalau dibawa dengan
tangan terasa sekali beratnya yang 3,5 kg itu. Entah kapan buku Harry
Poeze itu akan sampai ketangan pembaca Indonesia di Indonesia, belum
ada yang tahu. Belum lagi harganya yang tidak murah. 

Ketika kusampaikan kepada Poeze pada  peluncuran itu, bahwa ada
teman-teman di Indonesia yang sudah menyatakan kesediaannya untuk ikut
membantu dalam penerbitan edisi bahasa Indonesia, dengan riang dan
cerah Poeze menyatakan: 'Itu sudah pasti, itu sudah pasti'. Poeze
menjelaskan bahwa dana untuk itu sudah tersedia. Dikatakannya
selanjutnya bahwa menurut fikirannya, sebaiknya edisi bahasa Indonesia
dari bukunya itu, tidak terbit sekaligus tiga jilid. Berangsur-angsur,
dari jilid pertama, kemudian sesudah beberapa saat lamanya, jilid
kedua. Baru beberapa saat kemudian lagi diterbitkan jilid ke-3.

Tidak diragukan penerbitan edisi bahasa Indonesia akan disambut oleh
masyarkat, teristimwa masyrakat pencinta sejarah dan para pakar dan
siswa yang menggeluti masalah sejarah Indonesia.  
*   *   *
Tulisan ini pasti bukan suatu resensi tentang buku Harry Poeze tsb. 
Sekadar sedikit memperkenalkan tentang adanya buku yang dengan teliti
telah disusun oleh seorang pakar Belanda.  Meskipun fokus utam

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - TAN MALAKA Oleh HARRY A. POEZE

2007-06-01 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
01 JUNI 2007


TAN MALAKA Oleh HARRY A.POEZE 
   <08 Juni 2007>

Beberapa hari yang lalu aku ditilpun oleh sahabatku Sucipto Munandar,
ia mengingatkan bahwa pada tanggal 08 Juni yad, pada kesempatan Rapat
Tahunan KITLV, di Leiden,  akan diluncurkan karya (luar biasa) Dr
Harry A. Poeze, kenalan baikku, berjudul: 

   < VERGUISD EN VERGETEN>
TAN MALAKA, De Linkse Beweging En De Indonesische Revolutie, 1945-
1949 -- Drie delen in cassette, XVII+VI+VI+2194 HLM

 
 TAN MALAKA, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949

Sucipto Munandar tertarik dengan acara peluncuran buku Harry A. Poeze
itu dan berniat akan datang. Ia mengajak aku bersama-sama hadir pada
hari peluncuran buku tsb di LAKtheater, Leiden. Kebetulan Sucipto dan
aku, dua-dua kami anggota KITLV. Kami akan datang.

Tidak lama kemudian datang e-mail dari sahabatku Dr. Harry A. Poeze.
Ia menyampaikan berita yang sama seperti yang kuterima dari Sucipto.
Harry Poeze berfikir bahwa di kalangan pembaca-pembacaku akan banyak
perhatian mengenai buku tentang TAN MALAKA itu.

Pendapat Poeze itu tak meleset. Perhatian terhadap tokoh Tan Malaka
cukup besar di kalangan orang-orang Indonesia, apalagi para pencinta
sejarah dan sejarawannya. Buku Harry Poeze itu pasti akan disambut
dengan rasa syukur, karena besarnya perhatian dan kepedulian pakar
Belanda seperti Harry A. Poeze terhadap masalah sejarah bangsa Indonesia.

Dr. Harry A. Poeze, direktur KITLV PRESS, dengan hangat menyambut
kedatangan para sahabat Indonesia di LAKtheater, Leiden pada
peluncuran buku tentang Tan Malaka pada tanggal 08 Juni nanti itu. 

Pada presentasi buku nanti, juga akan dipamerkan foto-foto, 
dipertunjukkan film dan diperdengarkan suara. Dikatakan bahwa juga
akan diperdengarkan beberapa lagu revolusioner Indonesia, yang pada
masa Orba dilarang diperdengarkan di Indonesia. 

***

KITLV PRESS memperkenalkan Tan Malaka, antara lain sbb:

Tan Malaka yang misterius dan legendaris itu muncul lagi, segera
sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agusutus
1945, sesudah 20 tahun dibuang dan melakukan kegiatan di bawah tanah.
Tan Malaka  mengajukan suatu alternatif radikal terbanding arah
moderat Soekarno dn Hatta, para pemimpin Republik Indonesia. Tetapi ia
kalah dan dalam bulan Maret 1946 ia ditangkap. Baru dalam bulan
September 1948 ia bebas. 

Kemudian ia mendirikan Partai Murba, yang dimaksudkan  mengambil
tempat PKI yang dikalahkan dalam peristiwa Madiun. Setelah agresi II
Belanda, Desember 1948, Tan Malaka melancarkan perlawanan gerilya;
dalam bulan Februari 1949 Tan Malaka ditembak mati pada suatu
perhitungan intern. 

Ditulis KITLV PRESS selanjutnya: Jalan hidup Tan Malaka sering
terselubung misteri --- dalam buku Harry A Poeze misteri ini sebagian
besar diungkap-uraikan, umpamanya, dimana dan siapa yang membunuh Tan
Malaka. 

Peranan terkemuka selama Revolusi Indonesia -- aktif dan sebagai
lambang - membuatnya menjadi perlu untuk menulis secara luas 
perkembangan politik di Republik dan di dalam gerakan kiri yang
tercerai-berai. Dalam banyak hal mengenai peristiwa yang menentukan di
dalam Revolusi (Indonesia) diberikan data-data dan visi yang baru.

Dalam epilog yang luas diikuti peristiwa-peristiwa petualangan buah
karya Tan Malaka, Partai Murba dan mengenai  kehidupan Tan Malaka
sendiri, yang baru sesudah dimulainya pemilahan pada gambaran buku
'DIHUJAT DAN DILUPAKAN'. 

*   *   *

Harry A. Poeze (1947) adalah Direktur KITLV PRESS. Ia meraih gelar PhD
di Universitas Amsterdam (1976) dengan tema desertasi penulisan
Biografi Tan Malaka sampai dengan 1945. Tulisan Harry Poeze yang
terkenal di kalangan para pakar Indonesia antara lain, adalah
SUKARNO'S POLITICAL TESTAMENT, dan serentetan kertas-kerja maupun
artikel mengenai Indonesia. 

Tiga jilid yang sekarang ini didasarkan atas penelitian yang
berlangsung dengan banyak penundaan sampai pada saat ia tinggal di
Indonesia untuk studi tsb dalam tahun 1980. Demikian Penerbit KITLV.

*   *   *

Pekerjaan riset dan kemudian penulisan oleh Harry A Poeze tsb, 
hematku adalah suatu prestasi yang  terpuji. Dengan bukunya itu, Dr.
Harry A. Poeze telah memberikan sumbangan penting pada khazanah
literatur asing mengenai Indonesia, khususnya mengenai Tan Malaka,
gerakan kiri Indonesia dan Revolusi Indonesia.

Aku belum berani berkomentar lain, karena belum memiliki dan belum
membaca buku tsb. 

Satu hal jels, kuanjurkan pada teman-teman,  pada pembaca, untuk
meluangkan waktu untuk menghadiri peluncuran buku Dr. Harry A. Poeze tsb: 

Pada tanggal 08 Juni 2007, jam 15.30 s/d jam 17.00  di 
LAKtheater, Cleveringaplaats 1, Leiden.  

Syukur-syukur pembaca juga bisa memilikinya. 

Suatu berkah untuk memiliki buku penting seperti itu.(meskipun
harganya tak murah -- Euro 99,90).


*   *   *






[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - BANGKITNYA Suatu NASION INDONESIA

2007-05-30 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 30 Mei 2007

BANGKITNYA Suatu NASION INDONESIA

SEKEDAR  PENJELASAN:
Menjelang musim semi yang lalu,  Ny. Johanna Lederer, Ketua
Perkumpulan  Persahabatan Perancis-Indonesia, Paris, minta aku menulis
sebuah artikel yang bersangkutan dengan  (bangkitnya) BANGSA
INDONESIA, bangsa kita. Tulisan itu akan diterbitkan dalam majalah
khusus mereka  bernama 'LE  BANIAN'; pada kesempatan penerbitan khusus
JUBILIUM.  'Le Banian', menurut  keterangan dalam bahasa Perancisnya
adalah: 'Publication de l'association franco-indonésienne Pasar Malam.
Selanjutnya dijelaskan bahwa: L'association franco-indonésienne publie
tous les 6 mois un journal Le Banian qui traite de l'Indonésie :
analyses littéraires, faits de société, poèmes, nouvelles,
monographies, etc. 

Dengan sendirinya,  terasa   mendapat kehormatan,  suatu Perkumpulan
Persahabatan Perancis-Indonesia, minta aku  menulis tentang BANGSA
INDONESIA, dalam sebuah majalah Perancis, 'LE BANIAN',  yang
menerbitkan NOMOR JUBELIUM-nya. Permintaan Mrs Johanna Lederer,
kuterima dengan senang hati. Ini suatu kesempatan baik, fikirku, 
untuk sedikit menjelaskan kepada pembaca 'Le Banian', yang adalah
orang-orang Perancis, mengenai bangkitnya bangsa kita, BANGSA INDONESIA.

Artikel yang kutulis itu, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Perancis. Dan akan disiarkan dalam bulan Juni 2007 ini, khususnya
tertuju kepada  orang-orang Perancis dan pembaca  lainnya yang
berbahasa Perancis. Ketika membaca tulisan ini, harap pembaca 
memaklumi, bahwa tulisan ini  pertama-tama dimaksudkan untuk
masyarakat Perancis, dalam rangka memperkenalkan secara singkat dan
pokok-pokok tentang bangsa kita. Dan tanggapan penulisnya, tentu.
Mudah-mudahan berguna juga bagi pembaca Indonesia, khususnya kaum
mudanya.  
Sengaja teks bahasa Perancis penjelasan oleh Le Banian dalam paragraf
berikut ini, tidak kuterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Maksudnya
 agar pembaca berusaha memahaminya sendiri (tak sulit, kok). Atau
tanya-tanyalah pada kenalan yang mengerti bahasa Perancis. Bisa kan?

'Le Banian est une publication de l'association franco-indonésienne
Pasar Malam, à la fois consacrée à la vie intellectuelle en Indonésie
ou en lien avec l'archipel et « généraliste », dans la mesure où
chaque numéro propose des poèmes, monographies, études sociologiques,
articles de fond sur la vie culturelle, nouvelles ou extraits de
romans, etc. le tout en français. 

Si cette revue cherche à distraire agréablement, son objectif ultime
est de faire connaître la littérature indonésienne en France et de
donner envie aux éditeurs de publier davantage d'oeuvres indonésiennes
en français. C'est pour cela que chaque numéro comporte une nouvelle
ou un extrait de roman d'un auteur indonésien, traduit par nos soins
en français. 
*   *   *

BANGKITNYA Suatu NASION INDONESIA

Oleh: IBRAHIM ISA, 
Sekretaris Wertheim Foundation - Leiden-Amsterdam.

Seorang kawan pernah bertanya: Kapan pada Anda  timbul kesadaran 
kebangsaaan Indonesia?
Masih samar-samar teringat,  pada umur 11 th ,  ketika bersama kakak 
iparku, kami menghadiri rapat umum GERINDO, di Gg Kenari, Salemba.
Suasananya siap-siap menghadapi kemungkinan meletusnya Perang Pasifik,
dan Jepang menyerbu Hindia Belanda.  Masih terbayang betapa   penuh
sesaknya ruang rapat umum. Para hadirin banyak yang memakai kopiah,
seperti kopiah Bung Karno. Menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang
berbangsa Indonesia.  Kesan kuat yang tinggal  adalah suasana 
KEBERSAMAAN sebagai orang-orang Indonesia. 

Kuingat-ingat  lagi,  betullah bahwa  kesadaran kebangsaan itu, tak
terlepaskan dari  hubungan kekeluargaan dengan kakak-iparku itu.
Ternyata kemudian memang kakak-iparku itu adalah anggota PNI (Bung Karno).

Semangat kebangsaan  yang ditanamkan pada rapat GERINDO itu, dipupuk
lebih lanjut pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Ketika  itu
secara teratur  anak-anak muda seperti aku,  beramai-ramai mengikuti
rapat-rapat raksasa yang diadakan untuk mendengarkan pidato-pidato
politik Bung Karno. Masih teringat betul  bagaimana Bung Karno dengan
gaya pidatonya yang amat menarik dan mencengkam,   memberikan
pendidikan  politik kepada hadirin, mengenai kesadaran berbangsa 
serta menanamkan  cita-cita  mencapai kemerdekaan bagi Indonesia.

Pendidikan  kesadaran berbangsa, patriotisme, cinta tanah air,
membenci kolonialisme,  paling mendalan terjadi semasa Revolusi
Kemerdekaan Indonesia. Ambil bagian langsung dalam revolusi
kemerdekaan telah   menanamkan dan memperkuat  semangat cinta pada
tanah air dan bangsa. Dibarengi dengan semangat  benci serta  berlawan
terhadap kekuasaan asing (Jepang, Inggris dan Belanda) yang ingin
mengembalikan Indonesia sebagai koloni Belanda seperti pada zaman
Hindia Belanda, pada masa  pra-Perang Pasifik.

Kiranya,  sebagian besar pemuda-pemuda Indonesia yang sebaya  dengan
aku ketika itu, memperoleh pendidikan semang

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - WOLFOWITZ . . . . . YANG 'PANDAI JATUH' .

2007-05-28 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Senin,28 Mei 2007
-

WOLFOWITZ  . . . . .  YANG 'PANDAI JATUH' . . Dan Politik  'Cari Muka'
 Wakil Indonesia 

Pagi ini BBC menyiarkan wawancara presiden Bank Dunia Paul Wolfowitch,
yang sebentar lagi akan léngsér. Wolfowitz merasa perlu untuk membela
diri.  Lewat BBC,  ia  mengaku bahwa selama dua tahun menjabat 
sebagai direktur World Bank, ia telah melakukan fungsinya dengan
'baik' dan 'etis . Dan bahwa selama periode jabatannya itu, ia telah
melakukan tugasnya  dengan 'itikad baik'. Yah lah, itu 'kan kata
Wolfowitz sendiri. Inilah  apa yang yang dikatakan orang,  Wolfowitz 
 adalah  manusia yang  'PANDAI  JATUH'.

Sudah bisa diduga sebelumnya bahwa Wolfowitz  tidak akan menjelaskan 
pendapat-pendapat yang mengecam kebijakasanaannya, yang dikatakannya 
sebagai situasi 'emosi yang memanas'. Kritk-kritik itu tidak saja
datang dari jurusan media dan sementara kalangan diluar Bank Dunia,
tetapi juga dari  'kalangan dalam'  Bank Dunia sendiri. Tapi itu
menurut Wolfowitz semata-mata 'suasana'  yang dibikin-bikin.

Seperti banyak dikemukakan oleh media AS sendiri maupun mancanegara,
lebih-lebih Eropah, pendapat dan kecaman  terhadap  Wolfowitch tidak
terbatas sekadar pada  kasus  menyangkut paket promosi  dan kenaikan
gaji meroket yang ia atur untuk pacarnya Shaha Riza, seorang karyawati
bank.

*   *   *
 
Untuk memulai:  --. Banyak kalangan sudah  lama merasa tidak 'sreg'. 
Merasa sudah bukan zamannya lagi keadaan berikut ini:  Dengan 
pertimbangan bahwa  kucuran 'iuran' dana untuk Bank Dunia, menurut
perbandingan jumlah terbesar berasal dari AS, maka, sudah  otomatis
bahwa jabatan direktur Bank Dunia,  tersedia bagi (atau dimonopoli
oleh) orang Amerika. Orang yang ditunjuk oleh pemerintah AS. Banyak
kalangan sudah terang-terangan mengajukan fikiran, seyogianya tidak
mesti direktur Bank Dunia harus selalu  dijabat oleh orang Amerika.
Bisa juga dari negeri lain. Lihat-lihat kemampuan dan kredibilitasnya.
Suara  santer demikian itu,  datang terutama dari jurusan Uni Eropah.
Dikatakan sbb: Sekjen PBB saja,  bisa dijabat  oleh orang-orang dari 
pelbagai bangsa, mengapa pula untuk jabatan Bank Dunia yang  juga
merupakan lembaga dunia , tidak bisa  dipegang oleh bangsa lain.

'VISI'  DAN  'MISI'  BANK DUNIA
Ada pendapat  yang mengatakan, bahwa Bank Dunia, menurut misi dan
visinya, diukur menurut  kecenderungan fikiran di dunia, bisa dibilang
termasuk  visi yang  'Kiri'. Karena ia ditujukan terutama untuk
mengatasi, mencari jalan keluar, dari kemiskinan dunia dewasa ini. 
Sampai dimana Bank Dunia dikatakan  punya misi 'Kiri', tentu terbuka
bagi diskusi yang luas.  Bank Dunia mengaku bahwa orientasinya adalah
pada  negeri dan rakyat  miskin. 

Mari kita lihat  sekilas,  penjelasan yang umum diberikan mengenai
Bank Dunia sbb:

Bank Dunia,  didirikan  beberapa bulan seusai Perang Dunia II, 
resminya pada  27 Desember  1945,  mencakup badan-badan 
'International Bank for Reconstruction and Development' (IBRD), dan
'Inernational Development Association'  (IDA), sedangkan  yang
dimaksudkan dengan 'Grup Bank Dunia', adalah  kolektif lembaga-lembaga
internasional tsb.  WBG -  'World Bank Group' ,  merupakan  kolektif
organisasi yang meliputi 5  organisasi internasional,  dua organisasi
tsb terdahulu dan 3 lembaga finans international lainnya. Mereka itu
bertanggung jawab untuk memberikan dana dan saran kepada pelbagai
negeri mancanegara dengan tujuan perkembangan ekonomi dan  untuk
MENGHAPUSKAN KEMISKINAN.  

Meskipun lembaga-lembaga keuangan internasional tsb sudah berdiri
lebih dari setengah abad, namun,  MISINYA UNTUK MENGHAPUSKAN
KEMISKINAN MASIH MERUPAKAN CITA-CITA DI ATAS KERTAS.   Tokh, di lihat
dari segi misinya, memang bisa jugalah dikatakan itu pandangan yang 
dianggap sesautu yang 'KIRI',  atau yang populis.

*   *   *

Tapi,  dengar apa kata  mantan Presiden Nyerere dari Tanzania, sebuah
negeri berkembang di Afrika Timur. Nyerere  lebih dari sekali
melancarkan kritik terhadap kebijaksanaan  Bank Dunia dan IMF,.
Dikatakan bahw tujuan Bank Dunia adalah untuk MENGHAPUSKAN KEMISKINAN,
tetapi beleid-beleid kongkrit Bank Dunia membikin negeri-negeri yang
'dibantu itu'  nyatanya semakin banyak utangya. Semakin miskin.
Demikian Nyeree. Bank Dunia juga dikritik, karena selalu dengan
gampang-gampangan  mengajukan syarat (klasik) kepada negeri-negeri
berkembang yang memerlukan 'bantuan' dana Bank Dunia. Sebelum menerima
'bantuan dana'  Bank Dunia negeri-negeri tsb  harus membuka pasar
dalam negeri mereka  lebar-lebar bagi masuknya modal dan barang impor
dari luar. Negeri-negeri tsb diharuskan menghapuskan subsidi negara 
pada misalnya komiditi beras, gandum, bahan bakar, dll kebutuhan pokok
rakyat. Padahal subsidi tsb dimaksudkan untuk menopang daya b

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA -- MUNIR DAN AUNG SAN SUU KYI

2007-05-24 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA
Jum'at, 25 mei 2007.
-
KASUS MUNIR DAN AUNG SAN SUU KYI
DI MEDIA MANCANEGARA

Beberapa wartawan/penulis karyawan RADIO HILVERSUM, atau resminya
RADIO NEDERLAND, SEKSI BAHASA INDONESIA (RANESI), seperti Tossi, Mung
Murbandono,Eka Tanjung dan Bari Muchtar, kukenal baik. Mereka berusaha
menulis dengan 'obyektif'. Menurut penjelasan mereka sendiri, Radio
Hilversum, bukan 'His Master's Voice' . Maksudnya bukan suara
pemerintah, seperti VOA. RANESI, mengaku, mengambil sikap bebas dalam
pemberitaannya. Kira-kira lebih mirip dengan BBC, begitu. 

Namun, sebaiknya biarlah pendengar Radio Hilversum sendiri memberikan
penilaiannya, apakah Radio Hilversum itu benar obyektif. Apakah benar
mereka tidak meletakkan kepentingan Belanda diatas kebenaran dan
obyektifitas.

Ulasan-ulasan pers Radio Hilversum kali ini, mengenai Aung San Suu
Kyi, yang mengutip  dua s.k. Amerika, 'The International Herald
Tribune',  maupun mengenai Munir, yang mengutip harian 'The Los
Engeles Times', kufikir  berusaha ditulis dengan obyektif. 

*   *   *

Dalam dua kasus tsb baik mengenai Munir maupun mengenai Aung San Suu
Kyi, siapapun yang bermata jeli, akan melihat, bahwa pembawa bencana,
 jelas sekali adalah penguasa. Mengenai pembunuhan terhadap Munir,
memang harus ditunjukkan bukti-bukti (meskipun penguasa berusaha untuk
menyembunyikannya), bahwa benarlah adanya, adalah penguasa itu
sendiri, melalui badan rahasianya, adalah dalang sesungguhnya
pembunuhan terhadap aktivis dan pejuang HAM Indonesia Munir. 

Sedangkan mengenai kasus Aung San Su Kyi, apakah masih diperlukan
penjelasan lagi bahwa rezim militer Myanmar, junta militernya,  adalah
suatu rezim yang tidak peduli pada hak-hak azasi manusia, dan hak-hak
demokrasi. Dalam pemilu beberapa tahun yang lalu, rakyat Myanmar sudah
menjatuhkan pilihannya pada Aung San Suu Kyi, untuk memimpin negara
dan bangsa. Tetapi para jendral dari junta militer Myanmar itu,
kasarnya,  telah meludahi suara rakyatnya sendiri. Aung San Suu Kyi
malah dipenjarakan dan kemudian dikenakan 'tahanan rumah',
kebebasannya direnggutkan dengan cara lain. Kita ingat selalu betapa
Presiden Sukarno dikenakan 'tahanan rumah sampai mati' oleh Jendral
Suharto. 

Anéhnya, dan juga memalukan sekali,  adalah sikap negeri-negeri ASEAN.
Mereka kumpul-kumpul itu, terbukti, hanya untuk pamer saja. Dengan
dalih 'tidak mencampuri urusan dalam negeri' masing-masing, mereka
secara hakiki tidak berbuat apa-apa untuk membela demokrasi di
Myanmar.  Yang mereka utamakan adalah cari-cari peluang bagi
masing-masing penguasa dan dunia bisnisnya, melalui asosiasi ASEAN tsb
sebanyak mungkin menarik keuntungan ekonomi, yang tokh akirnya
keuntungan utamanya tidak untuk kepentingan rakyat banyak.

Bagi penguasa Indonesia lebih parah lagi, lebih memalukan lagi. Karena
bukankah, kalau tidak salah, Indonesia jadi anggota Komisi HAM PBB?
Lalu, apa peranannya dalam meembela HAM, hak-hak manusia dari manusia
pejuang HAM Munir dan hak manusia Aung San Suu Kyi? Kebalikannya yang
terjadi. Dari sumber yang boleh dipercaya, terbetik informasi mengenai
sikap Indonesia di World Bank. Yang juga memalukan. Menurut info tsb,
wakil Indonesia di World Bank, bersama wakil Pakistan, telah
memberikan suara simpati dan dukungan Indonesia  kepada Direktur World
Bank Wolfowitch untuk bertahan terus sebagai direktur Bank Dunia.
Padahal direktur World Bank Wolfowich tsb telah digugat dari segala
penjuru dan dituntut supaya mundur, karena ulahnya, yang orang Belanda
bilang terlibat dalam 'vriendjes politiek', atau 'nepotisme',
'meng-anakmaskan pacarnya sendiri'. 

Dalam hal ini kita lihat betapa  dua surat kabar Amerika seperti juga,
 Radio Hilversum, media mancangera, memberikan suara yang boleh
dibilang ada simpati pada pejuang-pejuang kebenaran dan keadilan, 
Munir dan Aung San Suu Kyi.

*   *   *

Maka kusarankan pembaca yang kebetulan tidak mengikuti siaran Radio
Hilversum, membaca kutipan di bawah ini.

Inilah ulasan Radio Hilversum yang dimaksud itu:

PENINDASAN TERHADAP HAK SUCIWATI JADI KENDALA 
TEMUKAN KEBENARAN
Kita beralih ke laporan tentang ancaman-ancaman terhadap istri Munir,
yang muncul di harian The Los Angeles Times. Laporan itu berjudul
Mencari Keadilan di Indonesia untuk Munir. Istri Munir dikenai banyak
ancaman dalam mencari jawaban. Penyidikan yang diperbarui adalah ujian
bagi presiden. Ancaman-ancaman berupa surat kaleng ataupun melalui
telepon, isinya tetap sama: "Hentikan menyalahkan militer Indonesia atas
pembunuhan suamimu, atau kau menjadi korban berikutnya." Ancaman
pengecut itu selalu muncul sebelum Suciwati pergi keluar negeri, untuk
mencari dukungan pemerintah-pemerintah manca negara atas perjuangannya
mencari keadilan.

The Los Angeles Times mengutip Suci yang mengungkapkan para pengancam
yang tidak berani tampil itu mencapnya sebagai pengkhianat bangsa dan
merusak kesatuan 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -SAHABAT KAMI - JOMO KWAME SUNDARAM

2007-05-23 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA  --  BERBAGI CERITA  
Rabu, 23 Mei 2007
--
SAHABAT KAMI - JOMO KWAME SUNDARAM
Dengan diberkahi cuaca indah musim semi,  kehangatan sinar sang surya
disela tiupan angin sepoi-sepoi basa, Senin kemarin dulu itu, 
berempat   kami, ---  Anggota-anggota Bestuur Wertheim Foundation:
Coen Holtzappel, (Ketua);  Jaap Erkelens, Farida Ishaya dan aku,
menyempatkan diri bertemu di   'Hotel Residence Le Coin', Doelenstraat
5,  Amsterdam.  Wakil Ketua Wertheim Foundation Go Gien Tjwan tak
hadir karena kesehatan. Sedangkan  anggota  pengurus Frans Hüsken dan
Batara Simatupang, karena terhalang datang disebabkan oleh pekerjaan.
Acara kami: Menemui dan bercakap-cakap dengan sahabat kami, Prof. Dr
Jomo Kwame Sundaram (55 th). Selanjutnya kita pakai nama yang biasa
digunakannya sendiri: JOMO KS.

Kukatakan sahabat kami, karena,  dalam tahun 2005,  kami dari Wertheim
Foundation, pernah minta kesediaan beliau untuk duduk dalam Komisi
Seleksi Internasional, dikepalai oleh Prof. Dr Jan Breman,  yang
tugasnya ialah,  menseleksi dan mengusulkan nama-nama tokoh-tokoh
Indonesia yang  patut dianugerahi 'Wertheim Award' oleh Wertheim
Foundation, karena keterlibatan dan dedikasi demi urusan IMANSIPASI
BANGSA INDONESIA.  Komisi berjalan lancar. Atas usul Komisi
Internsional tsb Wertheim Foundation telah menganugerahkan'Wertheim
Award 2005' kepada dua orang tokoh  jurnalis dan penerbit: Jusuf Isak,
 jurnalis pemimpin HASTA MITRA, serta Goenawan Muhamad, budayawan
mantan pemimpin Redaksi Mingguan Tempo, untuk  partisipasi dan
sumbangan mereka dalam perjuangan demi hak dengan bebas menyatakan
pendapat  dan menerbitkan serta untuk hak-hak demokrasi di Indonesia.

Jomo KS,  datang dari tempat kerjanya di Kantor Sekretariat Jendral
PBB, di New York, untuk memenuhi undangan  'The  Amsterdam School for
Social Science Research'(ASSR) bersama dengan 'International Institute
for Asian Studies' (IIAS),  dalam rangka ceramah yang akan diberikan
pada 'The 17th Wertheim Lecture', tanggal 21 Mei 2007 di lokasi Waalse
Kerk, Walenpleintje, Amsterdam, tidak jauh dari hotel dimana Jomo KS
bermalam bersama istrinya.

'Wertheim Lecture'  tahunan, dimulai pada  2006, diselenggarakan
bersama oleh ASSR dan ASiA/IIAS. 'The Amsterdam School for Social
Science Research' (ASSR) adalah suatu 'national research school' dan
merupakan  lembaga riset dari Universitas Amsterdam. Sedangkan Asian
Studies di Amsterdam merupakan inisiatif Dewan Universitas Amsterdam
dan IIAS (Leiden). Penjelasan tsb diatas kiranya perlu juga untuk
memperoleh gambaran badan apa yang mengundang sahabat kita Jomo KS. 

*   *   *

Yang menjadi alasan utama  'Wertheim Foundation' mengatur pertemuan
dengan Jomo KS, ialah karena ada soal penting  yang perlu kami
rundingkan dengan beliau.  Ini sehubungn  dengan rencana 'Wertheim
Foundation' pada tahun 2008 yad   menyelenggarakan  PERINGATAN 100
TAHUN LAHIRNYA WERTHEIM, serta Ultah ke-10  meninggalnya Prof. Dr W.F.
Wertheim. Masalah itulah yang kami bicarakan dengan Jomo KS.

Dari percakapan kami, Wertheim Foundation,  dengan Jomo KS kemarin
itu, kami telah memperoleh input berharga dalam rangka memberikan isi
yang lebih baik lagi pada  Peringatan 100 tahun Wertheim tahun depan.

*   *   *

Ini sebagai  inetrmezo saja:    Yang bertukar fikiran di
ruang-baca Hotel Residence Le Coin itu, terdiri dari:  Jomo KS, orang
Malaysia; dua Belanda  anggota Pengurus Wertheim Foundation, yang
bulé,  Coen dan Jaap. Lalu dua lagi, Farida dan aku. Farida Ishaya dan
aku,  jelas berwarganegara Belanda. Dengan catatan penting, bahwa, 
kewarganegaraan Belanda kami itu, samasekali tak sedikitpun mengurangi
kepedulian  dan keterlibatan kami pada Indonesia, kini dan masa
depannya. Kedudukan orang-orang seperti kami, sesungguhnya memberikan
peluang bagus,  untuk ambil bagian dalam usaha membina saling mengerti
yang lebih baik lagi, serta persahabatan antara bangsa Indonesia
dengan bangsa Belanda.

Tanpa disadari diskusi yang berlangsung dengan lancar dan interesan,
pada siang itu, pada pokoknya dilakukan dalam bahasa Indonesia.
Sesekali disela-sela bahasa Inggris. Soalnya,  Jomo KS yang berbangsa
Malaysia itu,  disebabkan  bahasa Melayu adalah  'saudaranya'  bahasa
Indonesia, maka ia fasih berbahasa Indonesia. Jomo amat perduli dengan
negeri kita, dan berkali-kali ke Indonesia. Ia  tahu situasi
Indonesia, kenal baik dengan Gus Dur, Jusuf Isak dan banyak lagi
teman-temannya orang Indonesia. Indonesia sudah seperti tanah air yang
kedua bagi Jomo KS. Ketika kami tiba  di Hotel, ternyata ia sudah ada
di ruang penerimaan tamu. Sambil berjabatan tangan dinyatakannya
dengan  sapaan : 'Apakabar Pak Isa'. Tahun sembilan-puluhan, kita kan
pernah bertemu di Utrecht, katanya. Nah, itu kan bahasa Indonesia? 

Kami terus berbincang-bincang dalam bahasa Indonesia. Coen dan Jaap 
yang adalah orang-orang

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - SUMBANGAN BERMUTU BAGI Literatur Sosialisme(2)

2007-05-18 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 18 Mei 2007
---

SUMBANGAN BERMUTU BAGI Literatur  Sosialisme(2)


Seperti diberitakan di Jakarta, pada tanggal 03 Mei 2007 y.l. telah
diluncurkan karya ilmiah Karl Marx dan F. Engels, DAS KAPITAL III.
Karya  besar dan klasik  tsb diterbitkan oleh Penerbit 'HASTA MITRA',
dengan dukungan 'THE GLOBAL JUSTICE'. Penterjemah ke dalam bahasa
Indonesia Das Kapital Jilid III, sebagaimana halnya untuk Das Kapital
Jilid I dan II, adalah OEI HAI DJOEN.

Yang memberikan sambutan/pengantar pada peluncuran Das Kapital Jilid
III tsb a.l. adalah Sucipto Munandar, Ketua Harian Yayasan Azië
Studies, Onderzoek en Informatie, Amsterdam.
Berikut ini adalah bagian kedua dan terakhir dari Pengantar Sucipto
Menandar, pada Peluncuran Das Kapital III, yang berlansung pada
tanggal 03 Mei 2007 yl di Jakarta.

Silakan lanjutkan baca ulasan SUCIPTO MUNANDAR. Pengantar tsb meskipun
singkat, tetapi BERBOBOT dan analitis, diproyeksikan pada situasi
internasional dan Indonesia dulu dan sekarang. 

*   **

KATA PENGANTAR SUCIPTO MUNANDAR Pada PELUNCURAN DAS KAPITAL JILID III
(BAGIAN II)
-
(Bg-I  Kata Pengantar tsb diatas, telah disiarkan dalam Kolom Ibrahim
Isa, kemarin tg 17 Mei 2007)
*   *   *
Memang lebih dari satu abad memisahkan kita dari terbitnya karya besar
Karl Marx itu. Tapi sumbangan Marx dalam membahas, menganalisis serta
mengungkap hukum-hukum umum dalam sistem ekonomi kapitalisme tidak
surut dengan beralihnya waktu. Tak terbantahkan bahwa bagi siapapun
yang ingin memahami sistem ekonomi kapitalisme, karya Kapital Marx
menjadi acuan pokok sampai saat ini, baik bagi yang mendukungnya
maupun bagi yan mau membantahnya. Almarhum Prof. W.F. Wertheim,
seorang warganegara Belanda, seorang ilmuwan dan pakar Indonesia
terkemuka, pernah mengkiaskan `dengan berdiri di atas bahu Karl Marx
memungkinkan aku menatap lebih jauh ke depan'. Sampai saat ini hasil
pemikiran Karl Marx berdampak pada kehidupan bermasyarakat kita.

Abad ke-20 menyaksikan meletusnya dua Perang Dunia Besar 1914-1918 dan
1939-1945 yang makan korban jutaan manusia dan menyengsarakan ratusan
juta manusia di seluruh dunia. Sumber dan penyebab kedua perang dunia
itu adalah imperialisme. Akar imperialisme ada pada sistem kapitalisme
yang telah dianalisis dan dipaparkan oleh Karl Marx dalam karya
utamanya. Sementara itu, sejak akhir Perang Dunia I dan khususnya
sesudah Perang Dunia II, bangkit pergerakan rakyat semakin luas
melawan kapitalisme/imperialisme demi menggantikannya dengan sistem
masyarakat lebih adil dan manusiawi, masyarakat sosialis. Pergerakan
ini langsung dijiwai oleh gagasan Marx yang dipaparkan dalam karya Das
Kapital dan karya-karya lainnya. Lahirlah negeri sosialis USSR dan
sejumlah negeri sosialis di Eropah Timur. Di Asia berdiri Republik
Rakyat Tiongkok, Republik Rakyat Demokratik Korea, Republik Sosialis
Vietnam. Di benua Amerika tetap tegak Republik Kuba yang terus
berjuang mewujudkan masyarakat sosialis. 

Pada akhir tahun 1980-an kita saksikan lagi perubahan dan pergolakan
besar di  skala internasional. Uni Soviet runtuh dan berbagai republik
yang tadinya tergabung dalam negeri itu menjadi republik-republik
berdiri sendiri. Republik Federasi Sosialis Yugoslavia (Socialist
Federal Republic of Yugoslavia juga buyar tercerai-berai melalui empat
macam perang berdarah, menjadi republik-republik sendiri. Jerman Timur
telah lebur dalam Republik Federasi Jerman. Negeri-negeri Eropah Timur
lainnya semua sudah beralih ke sistem kapitalisme. Kapitalisme menjadi
sistem global meliputi seluruh dunia, seakan tiada lagi tempat untuk
sistem masyarakat yang lain selain kapitalisme. Fukuyama
mengexpresikannya sebagai `the end of history'(`berakhirnya sejarah').
Apakah ini realitasnya? 

Untuk mayoritas rakyat di kebanyakan negeri di dunia ini kapitalisme,
lebih-lebih dalam wujud neo-liberalisme, berarti kesengsaraan dan
kemiskinan, bukan kesejahteraan rakyat banyak. Tak putus-putus rakyat
mencari jalan keluar dari kesengsaraan ini mengusahakan sistem
masyarakat yang akan melenyapkan ketimpangan ekonomi, sosial dan
politik, suatu masyarakat yang dapat membawa kesejahteraan untuk
rakyat banyak. Di berbagai negeri di Amerika Latin rakyat tidak
menikmati kebaikan-kebaikan kapitalisme. Malah kapitalisme
neoliberalisme lebih memperberat penindasan atas rakyat. Berkembanglah
gerakan-gerakan  sosial rakyat yang melawan penindasan dan ketimpangan
itu. Melalui pemilihan umum terpilih pemimpin-pemimpin beraliran kiri
seperti di Brasil, Venezuela, Cili, Bolivia dan Ekuador, membantah
`blessings' dari globalisasi kapitalisme. 

Di Indonesia pergerakan dan perjuangan untuk kemerdekaan nasional
berhadapan langsung  dengan kolonialisme Belanda -- perwujudan
imperialisme dari expansi kapitalis Belanda. Wajarlah bahwa ideologi
pergerakan kemerdekaan nasional ini dipengaruhi gagasan-gagasan Karl
Marx. Tokoh-tokohnya, mulai dari 

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- SUMBANGAN BERMUTU PRO LITERATUR SOSIALISME

2007-05-17 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
-
Kemis, 17 Mei 2007

SUMBANGAN BERMUTU PRO LITERATUR SOSIALISME di INDONESIA 

( Bagian-1 )
*   *   *
Memang agak anéh kedengarannya, tetapi benar! 
Generasi muda kita sekarang banyak yang tidak tau, bahwa Indonesia
pernah mengalami kehidupan di bawah sistim demokrasi parlementer  pada
periode Presiden Sukarno. Ini berlangsung sampai 5 Juli 1959, ketika
Presiden Sukarno dengan keterlibatan dan dukungan TNI, memaklumkan
DEKRIT PRESIDEN Kembali Ke UUD 1945.  

Sampai ketika itu di negri kita terdapat kebebasan berbicara,
kebebasan pers, berorganisasi, berparpol, ada hak berdemo dan mogok.
Ada pemilu yang 'lubér'. Ada parlemen yang pada pokoknya berfungsi
sebagai badan legeslatif, pembuat uu serta mengontrol pekerjaan
pemerintah, punya wewenang untuk menjatuhkan pemerintah.  Parlemen
ketika itu mencerminkan kekuatan politik di dalam masyarakat. 
Generasi muda kita banyak yang tidak menyadari hal ini. Karena semasa
rezim Orba, yang diajarkan kepada mereka, adalah cerita rekayasa
mengenai pemerintahan pra Orba, yang secara sinis dijuluki sebagai
'orde lama',  yang serba bréngsék. Maka 'Orla' di-kup oleh tentara dan
ditegakkanlah rezim Orba.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959, selain dimaksudkan untuk mencegah bahaya
perpecahan bangsa antara pendukung sekularisme dan kehendak mendirikan
negara Islam, serta mempersatukan kekuatan nasional untuk membebaskan
Irian Barat, menghadapi ancaman dan subversi imperialisme; -- juga
punya dampak negatif. Dekrit Presiden mengakibatkan dikuranginya 
hak-hak demokrasi parlementer yang berlaku selama itu. Selain itu,
pemberlakuan Undang-undang Darurat Perang, (SOB), sistim pemerintahan
menurut konsep Dekrit tsb memberi kesempatan kepada tentara
memperbesar keterlibatan dan campur tangan dalam sistim kekuasaan
politik negara. Konsep 'Dwifungsi Abri' menjadikan tentara yang
sesungguhnya merupakan aparat kekuasaan negara di tangan pemerintah,
menjadi kekuatan politik yang berdiri sendiri. Bebas dari kontrol 
parlemen dan kepala negara serta pemerintah. Perkembangan politik
Indonesia menunjukkan bahwa periode Dekrit Presiden telah memberikan
syarat bagi tentara untuk lebih banyak dan lebih mendalam BERPOLITIK.
Hingga akhirnya menjadikan tentara penguasa tunggal. 

*   *   *
 
Mungkin generasi muda kita juga tidak menyadari bahwa semasa Indonesia
masih dikuasai Belanda, ketika bangsa kita sedang terlibat dalam
perjuangan kemerdekaan, pemerintah kolonial masih memberikan
kesempatan kepada Bung  Karno untuk membela diri . Sebagai tertuduh Bung Karno masih bisa  menggugat
kolonialisme Belanda di muka pengadilan Bandung (1930).  Yang menarik
dan penting diketahui ialah bahwa,  ketika itu Bung Karno sudah pandai
menggunakan pisau analisa Marxis untuk  menjelaskan apa itu
kolonialisme, apa itu imperialisme. Bung Karno menerangkan bagaimana
kapitalisme dan imperialisme beroperasi di Indonesia mengeksploitasi
rakyat kita. Bung Karno menjelaskan bahwa imperialisme adalah  produk
dari kapitalisme,  yang menguasai, menindas dan mengeksploitasi
kekayaan bumi dan air dan rakyat Indonesia.  Gugatan Bung Karno
terhadap kolonialisme Belanda itu, telah menjadi literatur bahan
pendidikan politik penting bagi kader-kader pejuang kemerdekaan.
Kemudian, pembelaan Bung Karno itu, setelah disiarkan  menjadi
terkenal dengan nama 'INDONESIA MENGGUGAT'. Suatu karya politik klasik
yang unik, patrotik dan progresif, dalam literatur perjuangan
kemerdekaan negeri kita. Yang memainkan peranan sebagai penggugah
semangat dan kesadaran berbangsa.

Dalam periode pasca perang kemerdekaan, setelah kedaulatan Republik
Indonesia diakui dunia internasional, Indonesia mengalami periode
demokrasi parlementer. Partai-partai politik menikmati kehidupannya
yang wajar, dan rakyat mengenal lebih lanjut apa itu faham demokrasi,
melalui literatur dan praktek kongkrit kehidupan politik. Buku-buku
politik termasuk buku-buku Sosialis, Marxis dan Sosial demokrat banyak
diimpor, diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. 

Meski syarat-syaratnya ada,  seperti kebebasan menerbitkan, dsb,
namun, karya klasik Marx dan Engels yang terbesar yaitu Das Kapital,
juga karya falsafah klasik F. Engels 'Anti-Dühring', tidak pernah
terbit dalam bahasa Indonesia. Entah mengapa?  Mungkin saja
karya-karya klasik Marx dan Engels tsb dianggap terlalu 'njelimet'.
Memang karya-karya tsb adalah literatur ilmu dan tak mudah dicernakan.
Bisa juga dianggap orang bahwa tokh sudah ada bahasa asingnya.
Mungkinkah ketika itu belum ada yang sanggup atau mampu
menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia yang baik? 'A good question!'.

Pada periode berikutnya, ketika di Indonesia berkuasa suatu rezim
otoriter di bawah Presiden Jendral  Suharto, Marxisme dan semua
literatur Kiri 100 persen dilarang. Segera  larangan ini
'dilegalisasi' melalui TAP MPRS No XXV Th 1966. Semua buku Marxis
dibeslah, dibakar dan penerbitan bar

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - INI SOAL BESAR, SERIUS dan GAWAT !

2007-05-15 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom  IBRAHIM ISA
Selasa, 15 Mei 2007

INI SOAL BESAR, SERIUS dan GAWAT !


Ini soal besar!  Ini betul-betul soal serius dan gawat! 
Karena  ia menyangkut masalah fundamental negeri dan bangsa.  Apakah
negara ini benar-benar  HENDAK DITEGAKKAN SEBAGAI NEGARA HUKUM? 
Sesuai dengan cita-cita perjuangan melawan kolonialisme untuk
kemerdekaan nasional? Soalnya  menyangkut  kepedulian kita: --  Apakah
benar-benar  kita berkehendak  menghakiri keadaan negara di mana masih
berlangsung 'Impunity', ketiadaan hukum.  Yang lebih gawat lagi,
yaitu,  mau dan mampukah negeri dan bangsa ini MENYETOP  KULTUR
KEKERASAN  yang ditegakkan dan dikembangkan oleh Orba? 

Marilah ingat-ingat lagi,  pada masa-masa  ketika menjadi populernya
kata  'GEBUK'. Kata 'Gebuk' tsb sering dan suka sekali digunakan oleh
para  petinggi aparat Orba ketika itu. Kata 'gebuk' itu sering
digunakan  sebagai 'jimat'  atau 'mentera', sebagai 'pentung politik'
 untuk menakut-nakuti setiap orang yang berani menentang politik dan
kebijakan Orba.  Kata 'gebuk' tsb  mulai digunakan  dan
disosialisasikan oleh Menko Hankam 1998-1999 ketika itu, Jendral
Faisal Tanjung (yang mengutip kata-kata yang diucapkan oleh Pak
Harto).  Orang pasti tidak lupa. Masih jelas dalam ingatan jawaban
yang diberikan oleh  Presiden Suharto, ketika ditanyakan oleh salah
seorang menteri yang oleh Rosihan Anwar dititipi, untuk ditanyakan
kepada Presiden Suharto ketika itu, kapan s.k. 'Pedoman'.  yang
dibereidel Orba ketika itu, boleh terbit lagi. Jawaban tegas dan
dingin Jendral Suharto, ialah:  'PATÉNI WAE'!  Artinya, 'kok tanya
sampai kapan dibereidel?',  solusinya ialah,  tutup saja s.k. 
'Pedoman' . 

Tapi yang membikin orang tak habis géléng-géléng  kepala, ialah, 
digunakannya perkataan:  'Paténi waé!'. Notabene oleh seorang pejabat
negara yang tertinggi, Presiden Republik Indonesia ketika itu.  Satu
kasus lagi. Ketika  Kol. TNI, Yazir Hadisubroto,  yang bertugas
menangkap Ketua PKI,  DN Aidit, menanyakan selanjutnya mau 'diapakan'
 DN Aidit yanag sudah ditangkap. Jendral Suharto menjawab dengan
dingin: BÉRÉSKAN! Artinya DN Aidit harus ditembak mati tanpa proses
pengadilan apapun. Memang, Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan
apapun. 

Kata-kata  yang digunakan Jendral Suharto  dan Jendral Faisal Tanjung
itu tidaklah kebetulan. Ia mencerminkan watak dan kecenderungan
beliau-beliau itu dalam mengambil kebijakan untuk solusi sesuatu soal,
yaitu: GEBUK!  atau PATÉNI WAÉ, atau BÉRÉSKAN! Ini adalah ciri KHAS
watak pengemban kekuasaaan ketika itu. Ciri dari rezim Orba.  Yang
jadi problim, sekarang ini, meskipun Orba resminya sudah tiada,  para
pengemban rezim Orba,  secara perorangan sudah tidak lagi berkuasa
atas nama Orba, tetapi kultur dan cara menyelesaikan soal yang
diberlakukan pada periode Orba, MASIH BERLANGSUNG TERUS. Dan
orang-orangnya masih saja duduk di lembaga-lebaga kekuasaan negara!

*   *   *

Lalu kasus kampanye  'PETRUS', 'pembunuhan misterius', terhadap setiap
orang yang 'tercatat' sebagai  kriminil dalam buku dosir di kantor 
polisi atau kodam, tanpa proses peradilan apapun yang bersangkutan
begitu saja disérét dari tempat tidurnya pada tengah malam buta, dan 
 kontan 'di-dor'. Mayatnya sengaja dijejer dipinggit jalan, atau di
tepi sungai,  dengan maskud bisa segera dilihat orang.  Lagi caranya
ialah 'menakut-nakuti'. Menggunakan cara TEROR. Memang kriminil harus
dikenakan tindakan hukum, tetapi itu semua harus melewati proses
peradilan yang benar. 

Belum lagi kasus 'orang hilang', diantaranya 'hilangnya' penyair
populer di kalangan rakyat 'WIJI THUKUL". Yang sampai kini belum
diketahui dimana rimbanya. Ataupun bila sudah tewas, dimana kuburannya.

Sehingga masyarakat didorong untuk mendirikan  LSM - IKOHI, Ikatan
Orang Hilang. Selain kasus kekeraan/pembantaian  masal pada  Peristiwa
1965, dalam ingatan kita masih segar kasus kekerasan dan penggerebegan
Kantor PDI-Mega, 1996,  dimana jatuh puluhan korban, tewas dan atau
hilang. Kasus kekerasan yang besar setelah Peristiwa Pembantaian Masal
1965, ialah Pristiwa Mei 1998, sekitar jatuhnya Presiden Suiharto.
Kekerasan, kekerasan dan sekali lagi kekerasan! Dalam kasus-kasus tsb
selalu terlibat elemen-elemen, sering disbut 'oknum', dari kalangan
aparat negara. 

Peristiwa-peristiwa dan kasus-kasus yang disebut diatas, menunjukkan
ciri khas kekuasaan dan kultur yang berlangsung dizaman Orba,  selain
kultur KKN,  menonjol sekali adalah KULTUR KEKERASAN. Kekerasan itulah
ciri kekuasaan Orba.

*   *   *
   
Bersangkutan dengan cara-cara kekerasan, cara preman, cara teror yang
digunakan untuk mencapai tujuan politik tertentu, kemarin, menyolok
sekali  pemberitaan/ulasan yang dibuat oleh 'Suara Pembaruan Daily'.
Baik ikuti pemberitaan 'Suara Pembaruan Daily', a.l. sbb

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA -- SEBAGAI ORANG INDONESIA HATIKU MONGKOK!

2007-05-12 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA
Sabtu, 12 Mei 2007
--
SEBAGAI ORANG INDONESIA HATIKU MONGKOK!

Siapa FARID FIRMANSYAH? Dan siapa pula MUHAMMAD FIRMANSYAH KASIM. Lalu
RUDI HANDOKO? Tiga-tiga anak-muda itu, yang bisa dikatakan masih
'anak-anak', adalah anak-anak muda belia Indonesia. Belakangan ini
nama-nama mereka mencuat di media dalam negeri maupun luarnegeri.

Dua minggu yang lalu, tak ada, --- kalau tokh ada ---, sedikit sekali,
yang kenal akan nama-nama Farid Firmansyah, Rudi Handoko ataupun  Muh.
Firmansyah Kasim.

*  *  *

FARID FIRMANSYAH, -- siapa pelajar asal Bekasi (Jabar) ini? Farid
Firmansyah sebenarnya sudah dikenal juga sebagai Juara Catur Siswa
(Nasional). Sekarang dunia mengetahui bahwa yang tampil sebagai JUARA
CATUR SISWA SEDUNIA, adalah FARID FIRMANSYAH. Kejuaraaan dunia ini
direbutnya  setelah mengalahkan pecatur Junani, Kazantsis Ilias,
dengan nilai total 8,5 untuk 'Kelompok Umur Di bawah 15th' (KU-15).
'KEJUARAAN DUNIA PELAJAR 2007', berlangsung di Halkidiki, Yunani pada
tanggal 5 Mei y.l. Disitulah Farid Firmansyah pemenangnya. Dengan
demikian telah membawa taraf permainan catur Indonesia ke taraf
internasional. 

*   *   *

Lalu disusul lagi dengan peristiwa menggembirakan sekitar  Olimpiade
Fisika Asia ke-8 y.l.
Dalam Olimpiade Fisika Asia Ke-8, yang berlangsung di Shanghai,
Tiongkok, 22 - 28 April y.l., MUHAMMAD FIRMANSYAH KASIM, siswa kelas I
SMAN Athirah Makasar, dan RUDI HANDOKO, siswa kelas I SMA Sutomo 1,
Medan, MERAIH MEDALI EMAS. 
Mengenai Muhammad Firmansyah Kasim, 'Pontianak Pos' Sabtu ini, menulis
antara lain: 
'Muhammad Firmansyah Kasim menjadi buah bibir di negeri ini. Prestasi
dia yang luar biasa dengan merebut medali emas Asian Physics Olympiad
(APhO), Shanghai, China, serta sederet medali lain di even Olimpiade
Fisika Internasional, membuat sosok ini begitu dikenal. 

MEMBANGGAKAN. Kata itu begitu lekat di bibir . . . Kata membanggakan
itu bukan untuk siapa-siapa, melainkan ditujukan khusus buat Muhammad
Firmansyah Kasim. 

Bagaimana tidak, . .Muhammad Firmansyah untuk kesekian kalinya
mengharumkan nama bangsa di pentas Olimpiade Internasional. Usai
merebut emas International Junior Science Olympiad (IJSO), Jogyakarta
(2005), medali perunggu Asian Physics Olympiad (APhO), Kazakhstan
(2006), perak di International Physics Olympiad (IPhO), Singapura,
(2006), Firman lagi-lagi menyabet emas pada Asian Physics Olympiad
(APhO), Shanghai, (2007), baru-baru ini. 

'Sebenarnya, ia sudah ditawari beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya
nanti di luar negeri. Hanya saja Firman menolaknya. Firman mengaku
ingin tetap di Indonesia dan mau kuliah SI di ITB. Untuk pasca
sarjananya, memang Firman ingin di luar negeri'.Demikian a.l
'Pontianak Pos', 12 Mei 2007. 

*   *   *

Tak  perlu kusembunyikan . . . HATIKU MONGKOK. Belum lama wartawan
senior H. Rosihan Anwar berucap, bahwa ia 'tidak malu sebagai orang
Indonesia'. Maka sekarang ini, tak salah ucapanku, setelah prestasi
yang dicapai siswa-siswa Indonesia pada pertandingan catur maupun
Olimpiad Fisika, bahwa: -- 'Bolehlah kita berbangga, berbesar hati, 
menjadi orang Indonesia'. 'Hatiku mongkok', lahir di dunia ini sebagai
orang Indonesia.  

Kebanggaan nasional mencuat sejadi-jadinya, dengan tak disadari
berbicara hati kecilku: Siapa bilang orang Indonesia bodoh? Sebentar
.. sebentar dulu! Apakah perasaan, emosiku itu suatu permunculan yang
tak disadari dari suatu semangat  n a s i o n a l i s m e  s e m p i t
?  Bahkan chauvinisme-nasional? Atau  semacam NAZI-nya
(Nationalsozialist-nya) Hitler, yang  seratus persen adalah
chauvinisme nasional sempit, rasis dan fasis.  Atau sama dengan
politik Orba dan pendukung-pendukungnya yang membenarkan agresi,
okupasi dan peng-'anschluss'-an Timor Timur menjadi bagian dari
propinsi Indonesia.

Tentu tidak, rasa bangga sebagai orang Indonesia itu, seratus persen 
bukan 'chauvinisme nasional' samasekali. Perasaan dan emosi itu wajar,
lumrah dan juga sehat! Ini dapat dipastikan, demikian pula perasaan
dan semangat bangsa kita umumnya.
Benar sekali, 'chauvinisme-nasional' itu bertentangan dengan semangat
'internasionalisme'. Selama ini aku merasa, bangsa kita, kaum demokrat
dan penganut faham nasionalisme-patriotik, melakukan kegiatan  dan
berbuat, betapapun kecilnya, yang bersangkutan  dengan negeri-negeri
tsb,  dilakukan demi semangat solidaritas internasional terhadap
perjuangan kemerdekaan dan demokrasi  di Afrika, Asia dan Amerika Latin.  

Berlangsungnya  di negeri kita, Konferensi Asia-AFrika di Bandung pada
tahun 1955, yang melahirkan SEMANGAT BANDUNG, semangat solidaritas
dalam perjuangan bangsa-bangsa untuk kemerdekaan dan keadilan, adalah
 manifestasi semangat internasionalisme yang bertentangan dengan
semangat chauvinisme-nasional. Aku sendiri, sebagaimana halnya kaum
demokrat yang patriotik dan progresif, merasa bahwa

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA-TERTUJU PADA MENHUM & HAM YG BARU ANDI MATALATA

2007-05-08 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Selasa,08 MEI 2007
---
TERTUJU PADA MENHUM & HAM YG BARU ANDI MATALATA


* * *

Andi Matalata, menurut berita pers  Jakarta, kemarin,  telah diangkat
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi MENKUM Dan HAM
Republik Indonesia, menggantikan Hamid Awaluddin. Sesuai tata-krama
pergaulan di dalam masyarakat, tidak salah kiranya kita mengucapkan
selamat bekerja kepada Andi Matalata, sebagai Menkum Dan HAM. Sebelum
fungsinya yang baru ini, Andi Matalata adalah pimpinan parpol yang
ikut berkuasa sekarang, GOLKAR, dan sekaligus juga Ketua Fraksi Golkar
di DPR. 

Namun, kiranya patut pula diutarakan dengan terus terang dan
tegas-tegas di sini, sbb: 

Kejadian bersejarah telah berlangsung pada tanggal 21 Mei 1998.
Presiden Suharto 'dilengserkan', oleh gelombang dahsyat gerakan
Reformasi dan Demokratisasi massa rakyat yang luas, yang menggelora di
seluruh negeri ketika itu. Pemerintah Presiden Habibie yang
menjanjikan reformasi dan demokrasi, naik panggung. Namun,  baik
Presiden Habibie maupun menteri yang punya tanggungjawb langsung
menegakkan hukum dan HAM, tak ada yang menunjukkan kepedulian yang
sungguh-sungguh serta mengambil langkah untuk menangani kasus
pelanggaran HAM terbesar di bawah tanggungjawab Orba dan Presiden
Suharto, yaitu kasus pembantaian masal terhadap lebih sejuta (mungkin
lebih) warganegara yang tak bersalah, pada periode pasca G30S. 

*   *   *

Mantan Menteri Menkumdang dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid, Yusril Ihza Mahendra, pernah dapat tugas dari Presiden, untuk
mengurus 'orang-orang Indonesia yang terhalang pulang', yang terdampar
di pelbagai negeri di Eropah. Maksudnya agar mereka bisa kembali
pulang ke tanah air. Pada awal tahun 2000, Menteri Yusril datang ke
Den Haag, Nederland, membawa Instruksi Presiden No 1, Th 2000. Langkah
Presiden Wahid,  menginstruksikan Menteri Yusril ke Den Haag untuk
'mengurus pulang' para warganegara Indonesia, yang oleh Orba secara
sewenang-wenang dicabut paspornya atas tuduhan terlibat atau
berindikasi terlibat dengan peristiwa G30S, --- hakikatnya, adalah
suatu kebijaksanaan REHABILITASI. Untuk merehabilitasi nama baik,
hak-hak politik dan hak-hak kewarganegaraan mereka itu.

Di KBRI Den Haag, Yusril tatap muka dengan ratusan 'orang yang
terhalang pulang'. Beliau dengan antusias memberikan janji-janji akan
'secepat mungkin' mengurus 'orang-orang Indonesia yang terhalang
pulang', agar bisa kembali ke tanah air dengan lancar. Yusril
menandaskan bahwa pemerintah Abdurrahman Wahid punya 'political will'
untuk mengurus kasus ini. Tetapi janji-janji tinggal janji belaka. Tak
ada kelanjutannya samasekali. Yusril telah memasukkan janji-janjinya
terhadap para korban pelanggaran HAM, di dalam laji meja kantornya.
Pemerintah silih berganti, tetapi masalah 'para korban Peristiwa 1965'
samasekali tidak dijamah. Pemerintah memang punya kementerian yang
katanya urusannya adalah urusan perundang-undangan dan Hak-Hak Azasi
Manusia. Tetapi itu hanya nama saja.  Sedangkan 'gawénya' yang
menyangkut kasus pelanggaran HAM terbesar yang dilakukan penguasa pada
periode Peristiwa 1965, adalah nol besar.

Sampai dewasa ini kurang lebih 20 juta keluarga korban Peristiwa 1965,
masih menderita diskriminasi dan stigmatisasi. Hak-hak kewarganegaraan
dan hak-hak politik mereka yang telah dirampas Orba, samasekali belum
dipulihkan. Keadaan ini berlangsung sejak gerakan Reformasi dan
Demokratisasi yang telah menumbangkan pemerintahan Orbanya Presiden
Suharto.

*   *   *

Pada tahun 2007 ada perkembangan dalam politik pemerintah SBY terhadap
kaum pemberontak GAM. Pemerintah  mengadakan perundingan dengan GAM di
Helsinki, Finlandia. Hasil perundingan: Para pemimpin dan
anggota-anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) --- yang jelas-jelas
melakukan pemberontakan bersenjata terhadap Republik Indonesia dengan
tujuan mendirikan Aceh Merdeka, halmana berarti mencabik-cabik
kesatuan dan persatuan Republik Indonesia --- DIBERI AMNESTI. Para
pemberontak boleh pulang, diberi hak untuk ambil bagian dalam
kehidupan politik serta dapat dana untuk memulai hidup baru di Indonesia.

*   *   *

Di LAIN FIHAK,  status para korban Peristiwa 1965, para keluarga tapol
Orba, --- para warganegara tak bersalah yang dipersekui penguasa,
namun  dituduh dan difitnah, terlibat atau berindikasi terlibat dengan
G30S, tetap tidak berubah adanya. 

Para korban tsb adalah warganegara yang patuh hukum yang samasekali
tidak bersalah. Oleh karena itu pemerintah Orba tidak punya alasan
untuk mengadili dan menghukum mereka. Tetapi mereka tokh mengalami
persekusi, dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan dibantai. Sampai
kini, beberapa hari lagi, sudah sembilan tahun setelah jatuhnya rezim
Orba, namun, mereka masih tetap mengalami  perlakuan diskriminasi
politik dan sosial. Masalahnya sudah begitu jelas, mereka tidak
melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum apapun. Namun, tak ada

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS & VIEWS

2007-05-07 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS & VIEWS
MONDAY, 07 May 2007
-
YOUNG FARID FIRMANSYAH WORLD CHESS CHAMPION
INDONESIA IS ON THE RIGHT TRACK
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH SEBATAS SLOGAN
SBY'S RESHUFFLE -- YUSRIL I MAHENDRA & HAMID AWALUDDIN -- EXIT
TURKEY,  --  INDONESIA'S UNEASY TIES WITH SECULARISM
---
YOUNG FARID FIRMANSYAH WORLD CHESS CHAMPION
JAKARTA: National Master Farid Firmansyah has claimed the Under-15
world champion title at the 2007 third World Student Chess
Championships in Halkidiki, Greece.
Last year, Indonesia's Aston Taminsyah won the world champion title
for the Under-9 division. 
Farid (elo rating 2011) dashed the hopes of the host country's
Kazantzidis Ilias (2098) in the ninth round. Earlier on Friday, the
Indonesian also defeated Greek Galopoulos N. (2069). 
Farid collected a total of 8.5 points, followed by Plavidis Antonios
(2174) with 7 points. 
Meanwhile, Indonesia's Chelsie Monica Sihite and Masruri Rahman were
forced to bow out by their opponents. Playing at the Under-13 class,
Chelsie lost to Daciu Dana of Moldova while Masruri was defeated by
Yukses Atila Koksal of Turkey. -- JP

INDONESIA IS ON THE RIGHT TRACK

Urip Hudiono, The Jakarta Post, Jakarta
Indonesia is on the right track to once again becoming one of Asia's
fastest growing economies, but still has a lot to do if it wants to
rival China and India, say analysts from UBS AG.
According to UBS, Indonesia should promote exports and investment
based on its comparative advantages in natural resources,
complementing the needs of Chinese and Indian industry, while at the
same time gradually building up its own industrial base. 
UBS senior economist for Southeast Asia Philip Wyatt said Indonesia
had lately been experiencing more favorable macroeconomic conditions,
particularly as regards inflation, and the savings and investment ratios. 
"But Indonesia must remember it is trying to catch up with fast-moving
giants, so it must do more," Wyatt said during an investor forum
organized by the Swiss-based investment bank Wednesday. 
While Indonesia had managed to reduce inflation and its key interest
rate recently, Wyatt pointed out that inflation in China and India was
running at 5 percent at the most. In Indonesia, however, the
government was predicting inflation of around 6 percent and a central
bank key rate of 8.5 percent for this year. 
In fact, Indonesia has just emerged from a recent inflationary spike.
By comparison, both China and India have more stable inflation
records. This is significant bearing in mind that inflation
expectations affect the personal savings and investment ratios --
respectively, the proportion of income being saved, and that being
used for more growth-spurring investment and consumption. 
China and India have personal savings ratios of between 0.5 and 0.4,
and investment ratios of between 0.4 and 0.3, while Indonesia is stuck
at 0.3 and 0.25, respectively. 
Despite the bad news, Wyatt said Indonesia did have a number of trump
cards up its sleeve. 
With vast supplies of commodities, such as natural gas, coal, metals,
rubber and crude palm oil, Indonesia has been enjoying growing exports
on healthy global demand and prices, and is already a main raw
materials supplier to both Chinese and Indian industry. 
Indonesia is the second largest coal supplier to China after Vietnam,
while India's Tata Group recently invested in a local coal mining firm
to secure supplies for its steel mills. 
Compared with China and India, Indonesia also has a higher external
trade ratio -- the comparison between the volume of exported goods and
that supplied to the domestic market. But UBS noted that structural
rigidities, such as those in the labor, fiscal and investment fields,
were hampering export growth and needed to be addressed. 
UBS chief economist for Asia Jonathan Anderson said almost all
countries in the region would feel the heat from China as an exporter
of low-end manufactured goods. Accordingly, Indonesia needed to focus
more on its agricultural sector, and develop added-value exports. 
He said 7 or 8 percent growth would be feasible if Indonesia took such
a path, which would enable the country to develop resources-based,
labor intensive industries. However, in order to do so, proper
supporting policies would first need to be put in place. 
-
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH SEBATAS SLOGAN
REPUBLIKA ONLINE,
 07 MEI 2007
Jakarta-RoL--  Sejumlah politisi dan ekonom menilai pelaksanaan
otonomi daerah dalam enam atau tujuh tahun terakhir ini masih sebatas
slogan dan bahkan ada kecenderungan untuk kembali ke sistem yang
sentralistis seperti sebelumnya. 

Hal itu dikemukakan anggota DPR dari F-PAN Drajat Wibowo, Wakil Ketua
DPD Irman Gusman dan ekonom Faisal Basri saat berbicara dalam
peluncuran empat buku panduan "Pembangunan Ekonomi Lokal di Era
Desentralisasi" di Jakarta, Senin.

Menurut D

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- BACA WAWANCARA SEJARAWAN ANHAR GONGONG

2007-05-04 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
-
Sabtu, 05 MEI 2007

BACA WAWANCARA SEJARAWAN ANHAR GONGONG


Anhar Gongong dikenal sebagai sejarawan generasi pasca Sukarno. Pernah
kudengar ceramahnya di KBRI Den Haag beberapa tahun yang lalu. Kesanku
sesudah mendengar Anhar Gongong, sebagai sejarawan, mungkin ia ketika
itu 'terlalu berhati-hati'. Sehingga terkesan seperti kurang berani
mengungkap . Sehingga menjadi 'bureng'  dimana ia berdiri sebagai
sejarawan. Tetapi segala sesuatu ada perkembangan.

Kali ini sejarawan Anhar Gongong yang saya pernah dengar uraiannya di
KBRI Den Haag ketika itu, lebih 'berani' mengungkap. Silakan baca
sendiri wawancaranya. Di situ Anhar Gonggong menyinggung beberapa
masalah penting dalam sejarah kita, khususnya sejarah pasca Sukarno.
Kesanku sekarang ia lebih tegas dalam mengungkap mana yang fakta, dan
mana yang 'diplintir' oleh Orba. Anhar Gongong bicara SOAL PENAMAAN
'G30S' YANG OLEH ORBA DITAMBAHKAN 'PKI', menjadi 'G30S/PKI'. Kemudian
dihapuskan nama PKI itu, lalu muncul lagi, disebabkan a.l. oleh
ulahnya Taufik Ismail, dan Kementerian Pendidikan yang lebih banyak
mendengar Taufik ketimbang para sejarawan lainnya.

Lainnya yang disinggung Anhar Gongong, adalah:

Pertama, SOAL PANCASILA. Bagaimana Orbanya Jendral Suharto, dengan
dukungan sementara sejarawan dan lain-lain,  berusaha (tapi gagal)
untuk 'membersihkan' Pancasila dari nama penggali Pancasila itu
sendiri, yaitu PRESIDEN SUKARNO.

Kedua,, SOAL SERANGAN TERHADAP JOGYAKARTA YG DIDUDUKI BELANDA.
Bagaimana Orba dan sejarawannya menyulap mengenai inisiatif serangan
tsb yang sumbernya adalah Sri Sultan Jogya ketika itu, menjadi Letkol
Soeharto, sebagai pengambil inisiatif serangan tsb.

Ketiga, Sekitar Peristiwa G30S. Kata Anhar: Orang dipaksa untuk
mengatakan itu PKI, padahal pada kenyataannya ketika gerakan itu
dicetuskan tidak ada PKI-nya

Keempat: SOAL 'SUPERSEMAR', apakah itu ada atau tidak. Anhar:memang
ada. . . . isinya itu kan unuk mengamankan Soekarno. Tapi justru
digunakan untuk menjatuhkan Soekarno.

Kelima, 'KETERLIBATAN PKI' dan Peritiwa PEMBANTAIAN PASCA PKI, dLL.

*   *   *

Berikut  di bawah ini adalah WAWANCARA SEJARAWAN ANHAR GONGGONG:
< [EMAIL PROTECTED], "h_tanzil" <[EMAIL PROTECTED]>:

Anhar Gonggong: "Faktanya, Pemerintah Lebih Mendengarkan Taufik Ismail
Ketimbang Sejarawan"
Oleh Fadila Fikriani Armadita, Rhoma Aria Dwi Yuliantri
I: Kontroversi peristiwa sejarah untuk SMA itu apa saja?

AG: Ada beberapa, sepanjang yang saya ingat waktu saya pernah
mengumpulkan 75 guru SMP-SMA seluruh Jakarta-Bogor. Tiga tahun
berturut-turut dengan guru yang berbeda dengan harapan saya bisa
mendapat informasi apa kesulitan mereka di dalam mengajarkan sejarah.
Dikarenakan hal-hal yang dianggap oleh pemerintah tidak boleh
diberikan. Pertama Pancasila. Pancasila tidak boleh dikatakan bahwa
lahirnya Pancasila 1 Juni. Bahwa lahirnya Pancasila adalah ketika
Jamin yang katanya berpidato pada tgl 29 Mei yang sudah membuat
rumusan yang sama dengan Pancasila atau tanggal 18 Agustus. Guru
sangat sulit mengajarkan itu. Karena itu memang tujuannya
desoekarnoisasi. Karena kalau tanggal 1 Juni itu berarti identik
Soekarno. Ada dosa besar dari pemerintah Orde Baru dalam kaitan dengan
itu. Dalam arti kata bahwa melakukan deSoekarnoisasi. Bahwa bukan Bung
Karno yang merumuskan Pancasila pertama kali itu faktual salah sebagai
perumus awal, tetapi sebagai hari lahir Pancasila sebagai dasar negara
ya memang tidak, sebab 1 Juni atau 22 Juni belum ada negara. Kita
merdeka tanggal 17 Agustus. Pancasila dirumuskan Bung Karno untuk
digunakan sebagai dasar negara kalau kelak kita merdeka. Jadi istilah
Pak Notonegoro itu tanggal 1 Juni dan 22 Juni itu adalah hari dari
lahirnya atau dirumuskannya calon-calon dasar negara yang nantinya
setelah dirumuskan akan dimasukkan dalam alinea keempat pembukaan UUD
45 yang ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus. Tapi
jangan salah sebenarnya istilah Pancasila hanya sekali digunakan oleh
Bung Karno tanggal 1 Juni. Dan selanjutnya rumusan Pancasila yang kita
kembangkan-kalau benar yang kita terima adalah pembukaan UUD tanggal
18 Agustus di alinea keempat-itu tak ada istilah Pancasila. Silakan
cari, istilah pancasila tidak ada. 

I: Jamin punya istilah apa?

AG: Tidak ada, hanya merumuskan dasar saja. Kalau Soekarno jelas ada
istilah Pancasila. Dulu dia usulkan pertama Pancasila, kalau tidak
senang bisa diperas menjadi tri sila, kalau tidak senang bisa dirubah
menjadi ekasila. Itu yang saya maksud dosa besar pemerintah Orde Baru
tatkala mengatakan bahwa bukan Bung Karno yang merumuskan dan memberi
nama rumusannya dengan Pancasila. Kata Pancasila itu adalah monopoli
Bung Karno. Dalam arti kata, dialah orang pertama yang merumuskannya.
Hanya saja oleh karena kompromi politik, maka begitu selesai bicara
tanggal 1 Juni kekuatan BPUPKI terbelah menjadi kekuatan nasionalis

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA - MASALAHNYA BELUM TERLAKSANANYA THE RIGHT MAN/WOMA

2007-05-03 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA
Kemis, 03 Mei 2007


MASALAHNYA: - - -   BELUM  TERLAKSANANYA 
'THE RIGHT MAN/WOMAN IN THE RIGHT PLACE'

*   *   *

Dalam tulisanku  yang lalu (29 April 07), 'Kolom Ibrahim Isa,
berjudul: 'INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH (2) -- , dijanjikan bahwa tulisan tsb BERSAMBUNG. Paling tidak
akan ada bagian-3-nya. Bagian ketiga itu pasti akan datang. 

Dua  tulisan tsb  memancing tanggapan negatif maupun positif. Lumrah.
Aku senang tuilisanku dibaca dan dihargai maupun dikritik. Ada yang
bertanya marah ( mengenai bagian ke-2 dari tulisan tsb), apakah
tulisan tsb  propaganda MOSAD (Jawatan Rahasia Israel)?  Dipertanyakan
mengapa kok memuji orang-rang Yahudi, padahal Israel dewasa ini
menduduki dan menindas rakyat Palestina. Soalnya,  menyangkut tulisan
RM Djayeng Pratomo (mantan mahasiwa Indonesia di Belanda ketika itu) 
yang kusiarkan ulang  Di situ  Jayeng Pratomo juga menyebut tentang
orang-orang Yahudi Belanda yang dipersekusi oleh Jerman Hitler.
Diantaranya  ada orang-orang Yahudi tsb yang  diselamatkan oleh
mahasiswa Indonesia yang menceburkan diri dalam perjuangan anti-fasis
perlawanan  bawah-tanah di Belanda melawan Jerman Hitler. 

Ada juga tanggapan dari  sahabatku orang Belanda, mantan Brigjen
Artileri Tentara Kerajaan Belanda, B. Bouman (yang menulis buku
sekitar logistik kekuatan bersenjata Republik Indonesia pada periode
Perang Kemerdekaan Indonesia melawan Belanda).  B. Bouman menilai
tulisanku itu positif. Menganggapnya sebagai sumbangsih dalam
pengkisahan sejarah orang-orang Indonesia di Belanda ketika itu. 

Dalam pada itu, aku baru saja menerima  dari sahabatku  wartawan
kawakan Joop Morrien (aku berjumpa dengan Joop pada peringatan Hari
Kartini di Dieman, 28 April y.l.), sejumlah bahan lagi mengenai
keadaan dan perjuangan para mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam
Perhimpunan Indonesia di Belanda.  Termasuk tentang tokoh yang tak
asing lagi, bernama SUNITO. Joop Morrien juga menghadiahkan sebagai
kenang-kenangan padaku buku yang ditulisnya (1995), berjudul 
'INDONESIË LIET ME NOOIT MEER LOS'. Terjemahan bebas: 'INDONESIA TAK 
MUNGKIN LAGI AKAN MELEPASKAN DAKU'. Mencerminkan rasa cinta dan
rindunya terhadap negeri dan bangsa Indonesia.

Dengan demikian pasti masih akan ada yang bisa ditulis lagi sekitar
'INDONESIA- BELANDA' yang TERJALIN DARAH. Tapi kali ini aku hendak
BERBAGI CERITA dulu.

*   *   *
THE RGIHT MAN/WOMAN IN THE RIGHT PLACE BELUM TERJADI
Beberapa hari belakangan ini kehidupan keluarga kami di Haag en Veld
76,  Amsterdam, menjadi lebih sibuk dan meriah. Kami kedatangan
tamu-tamu keluarga sendiri dari Jakarta. Mula-mula datang putra
kemenakan istriku Murti. Hanya semalam saja. Ia amat sibuk. Dari
Jakarta  ke Paris dulu ke  kantor induk perusahaan  dimana ia
berkerja.  Ia menghadiri rapat  bisnis di Paris.   Kemenakan kami itu
hadir di situ sebagai  salah seorang menager  cabang perusahaan
Perancsi tsb di Jakarta.

Kemenakan kami itu a.l. membawa oleh-oleh tiga buah buku karangan
Sindhunata,  seri MANUSIA &  KESEHARIAN.; MANUSIA & KEADILAN  dan
MANUSIA & PERJALANAN. Aku belum tahu banyak tentang Sindhunata.
Kemenakan kami itu menjelaskan bahwa , Sindhunata adalah seorang
pendeta yang senang menulis.  Kata Jakob Utama dari Kompas, Sindhunata
dikenal berhasil mengangkat kejadian dan persoalan hidup ke panggung
reportase dalam sosoknya yang nyata, hidup, berdesak, berkeringat,
berair mata, bersenyum dan berpengharapan. Nama lengkapnya adalah (Dr)
Gabriel Possenti Sindhunata, SJ. (55th). Disamping menulis buku
Sindhunata adalah editor beberapa buku ilmiah dan feature. Ia sekarang
pimpinan di Majalah Basis, Jogyakarta.

Aku tertarik untuk membaca buku-bukunya,  yang ditulis  sesudah 
(diajak penguasa Orba yang ketika itu terpaksa sedikit membuka pulau
tahanan politik P. Buru, karena tekanan-tekanan internasional) --- 
berkunjung ke Pulau tahanan politik Orba di Pulau Buru. Ia 
menyempatkan diri,  juga punya nyali untuk menulis buku itu 'DARI
PULAU BURU ke VENEZIA'.  Penulisnya  tidak terjerumus dalam jaringan
perangkap  propaganda Orba. Tulisannya a.l  meliputi  'Permukiman dan
Inrehab - Apa bedanya?'  dll.  Dengan caranya sendiri ia mengisahkan
'kesulitan hidup' (kalau sedikit herani  lagi akan merumuskannya terus
terang, bahwa  kehidupan  di pulau tahanan Buru itu adalah suatu
PENDERITAAN  yang tak tahu kapan akan berakhir) --  para penghuni
Inrehab Orba untuk para tahanan Pulau Buru. Seperti diketahui yang
ditahan di situ adalah warganegara tak bersalah ,  bertahun-tahun
lamanya tanpa proses pengadilan apapun. 
Mereka dianggap sebagai musuh-musuh politik Orba. Kemenakan kami
menilai tulisan-tulisan Sindhudinata hidup dan enak dibacanya. Santai!

Dalam percakapan dengan kemenakan kami itu, aku mengajukan pertanyaan
sbb: Coba tolong dijawab:
Bagaimana perasaan dan fikiran kaum muda kita, yang intelektuil dan
berbu

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH (2)

2007-04-28 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA 
29 April 2007

INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH  (2)  


*   *   *   
Tulisan ini, (Bg ke-2),  sesungguhnya bukan sekadar untuk
mengenangkankan bahwa di kalangan para pejuang perlawanan bawah-tanah
Belanda melawan pendudukan Jerman,  pada periode Perang Dunia II, juga
terdapat ORANG-ORANG INDONESIA, TERUTAMA DARI KALANGAN  perkumpulan
poitik PERHIMPUNAN INDONESIA, PI Belanda.  Kolom ini diitulis, 
menjelang  'BEVRIJDINGSDAG',  hari 'PEMBEBASAN' negeri Belanda, yang
akan berlangsung pada tanggal 05 Mei yang akan datang.  Dengan
demikian, maksud  khusus  tulisn ini ialah untuk mengenangkan
mahasiswa-mahasiwa dan orang-orang Indonesi yang ada di Belanda ketika
itu, yang telah gugur dalam perjuangan anti-fasis demi pembebasan
negeri Belanda dari pendudukan Jerman Hitler.

Dalam tulisan Bagian 1, telah diperkenalkan beberapa  nama dari
kalangan orang-orang Indonesia di Belanda yang langsung ambil bagian
dalam perjuangan bawah-tanah melawan pendudukan Jerman Hitler atas
negeri Belanda. Kita kenal kembali nama-nama IRAWAN SOEJONO, MOEN
SOENDAROE dan SIDARTAWAN. Ketiga-tiganya telah gugur dengan mulya
sebagai pejuang anti-fasis. Mereka  mengumandangkan  semangat 
solidaritas-internasional para mahasiwa dan orang-orang Indonesia di
Belanda, (kebanyakan anggota PI, maupun yang tidak). Pada bagian
berikut dari kolom ini, akan diperkenalkan beberapa orang Indonesia
lagi yang berjuang untuk pembebasan Belanda. 

Di bawah ini, dengan persetujuannya,  dimuat lengkap tulisan  DJAYENG
PRATOMO . Djayeng Pratomo, adalah seorang
Indonesia yang  dalam thaun 1936, berangkat   ke Belanda untuk
belajar. Ketika Perang Dunia II meletus dan  negeri Belanda diduduki
Jerman Hitler, Djayeng Pratomo, anggota PI,  sedang menempuh 
studinya. Namun,  dengan hati dan fikiran yang dipenuhi  oleh masalah
perjuangan demi kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda, tokh, 
- - -  tanpa  keraguan sedikitpun,  bersama-sama kawan-kawan Indonesia
lainnya,  ia bergabung dan ambil bagian dalam perjuangan bawah-tanah
kaum patriot Belanda melawan pendudukan Jerman Hitler. Dalam proses
perjuagan Djayeng Pratomo ditangkap polisi Jerman.  Akhirnya  disekap
Jerman Hitler di kamp konsentasi  di Dachau bersama pejuang-pejuang
anti-fasis Indonesia dan Belanda lainnya.

***

R.M. DJAJENG PRATOMO:


'ORANG-ORANG  INDONESIA  DALAM GERAKAN
PERLAWANAN  DI NEDERLAND'

Pada bulan Juni 1941,  Sicherhetisdienst (SD)dari kaum nazi mengadakan
penggeledahan di berbagai tempat tinggal mahasiswa Indonesia di
Leiden. Mereka mencari empat anggota pimpinan dari grup perlawanan
Indonesia --- 'Perhimpunan Indonesia'. Dua di antara mereka
tertangkap, yaitu R.M. Sidartawan dan P. Lubis, sedang yang lain dapat
meloloskan diri. 

Pagi-pagi hari tanggal 18 Januari 1943 SD mengadakan penggeledahan
kembali di tempat tinggal orang-orang Indonesia di Den Haag. Mereka
menangkap dua orang mahasiswa dan dua orang buruh. R.M. Sundaru, R.M.
Djajeng Pratomo, Kajat, dan Hamid. Empat orang tawanan ini diseret
dari kamp konsentrasi yang satu ke kamp yang lain: Schoorl,
Amersfoort, Vught, Neuengamme, Buchenwald, Granienburg-Saxenhausen,
Dachau. Dua orang dari mereka tewas karena siksasn dan penderitaan di
kamp-kamp tsb. Sidartawan di Dachau dan Mun Sundaru di Neuengamme.

Pada tanggal 13 Januari  1945, mahasiswa muda Indonesia R.M. Irawan
Sujono di Leiden mengangkut perlengkapan stensil yang baru saja
direparasi untuk mencetak penerbitan-penerbitan ilegal. Ia bertemu
dengan pasukan SS yang sedang melakukan razzia. Irawan berusaha
melarikan diri, tapi dengan tak semena-mena ia ditembak mati. Yang
menjadi korban ini adalah putra Raden Ario Adipati Sujono, menteri
Indonesia pertama dalam pemerintah Belanda di London. Irawan adalah
anggota grup perlawanan bersenjata dari Perhimpunan Indonesia.

Beberapa orang korban tersebut diatas adalah dari grup kecil
orang-orang Indonesia di Belanda, k.l. 100 orang. Mereka sebagai
anggota  Perhimpunan Indonesia, organisasi politik yang terlarang dan
bekerja di bawah tanah, berjuang bahu-membahu dengan pejuang-pejuang
perlawanan Belanda. Mengenai grup perlawanan Indonesia ini tidak
banyak ditulis. Orang-orang Belanda generasi muda samasekali tidak
mengetahui akan hal ini. Sebabnya tidak sulit dikaji. Pertama-tama,
kebanyakan dari orang-orang Indonesia yang pernah ambil bagian dalam
perlawanan ini telah pulang ke Indonesia segera sesudah perang
selesai. Kedua, sesudah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945, terjadilah persengketaan yang sengit antara
Belanda dan Indonesia. 

Hal ini menyebabkan perang antara Belanda dan Republik Indonesia yang
masih muda ini. 

Pada tahun 1952  R.M. Sunito, salah seorang pimpinan pejuang-pejuang
perlawanan Indonesia masa  pendudukan Jerman,  d

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH

2007-04-25 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
-
Kemis, 26 April 2007

INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH  

 (1)
*   *   *   
Enampuluh dua tahun yang lalu, 04 Mei 1945,  Marsekal Bernard 
Montgomery,  Panglima Tentara Ke-21, bagian dari   tentara Sekutu yang
melakukan penyerbuan penaklukkan Jerman Hitler di Eropah Barat,
menerima di Markas Besarnya di Lüneburger Heide,  Jerman, penyerahan
tanpa syarat  Tentara Jerman di bagian Barat Daya Eropah. Kapitulasi
resmi berlangsung pada tanggal 05 Mei 1945. Pada tanggal 05 Mei itu
juga, Panglima tentara Jerman Jendral Blaskowitz, dipanggil oleh
Letjen Foulkes (Canada), dari tentara gabungan Sekutu, untuk
'berunding' di Hotel 'De Wereld' di Wageningen, Holland, untuk
menandatangani dokumen kapitulasi tentara pendudukan Jerman di
Nederland. Ini terjadi karena semula komandan tentara Jerman itu 
beranggapan bahwa penyerahan Jerman kepada Marsekal Montgomery itu,
tidak termasuk tentara pendudukan Jerman di sebelah Barat Holland.

Demikianlah, Belanda menetapkan hari pembebasan Belanda dari
pendudukan Jerman itu jatuh pada tanggal 05 Mei 1945. Maka sejak itu
setiap tahun tanggal 05 Mei diperingati di Belanda sebagai 'HARI
PEMBEBASAN', 'BEVRIJDINGSDAG

Pembebasan Belanda dari pendudukan Jerman, terutama dilakukan oleh
tentara Sekutu, yang masuk Belanda ketika itu, sebagian besar terdiri
dari tentara Canada. Tetapi, tidak kurang pula peranan penting
perjuangan perlawanan bawah tanah kaum patriot Belanda dalam 
perjuangan untuk membebaskan Belanda. Di Belanda para pejuang
perlawanan bawah tanah ini dikenal dengan nama 'VERZETSTRIJDERS'. 



Tulisan ini, sekadar untuk mengingatkan bahwa di kalangan para pejuang
perlawanan bawah tanah Belanda melawan pendudukan Jerman,  juga
terdapat ORANG-ORANG INDONESIA, TERUTAMA DARI KALANGAN  perkumpulan
poitik PERHIMPUNAN INDONESIA, Belanda..

Dua penulis Belanda  yang kukenal menulis tentang partisipasi
orang-orang Indonesia dalam perjuangan perlawanan Belanda melawan
Jerman, a.l.  adalah wartawan senior JOOP MORRIEN (78), dan
politikolog  HARY A POEZE (60). 

Jurnalis kawakan JOOP MORRIEN,  mantan wartawan 'De Waarheid, Komite
Indonesia Nederland,   menulis banyak artikel dan buku sekitar
hubungan Belanda-Indonesia, dimana ia mengisahkan perlawanan rakyat
progresif Belanda terhadap politik kolonial Belanda terhadap
Indonesia. Serta perjuangan rakyat Indensia melawan kolonialisme dan
inmperialisme.
HARRY POEZE sekarang  Direktur KITLV Press,  Belanda.  Ia  memperoleh
PhD dengan tesisnya mengenai  Biografi Tan Malaka.  Ia banyak menulis
hasil studinya, buku-buku dan artikel/kertas kerja  mengeni
perkembangan politik, khususnya tentang perkembangan demokrasi  di
Indonesia.

*   *   *

Banyak cerita, tulisan dan buku sekitar perjuangan tentara Sekutu
dalam Perang Dunia II, yang menyerbu Eropah yang diduduki Jerman. 
Juga mengenai pertempuran-pertempuran dalam mebebaskan Nederland dari
tentara Jerman, khususnya operasi 'Arnhem'. Terdapat juga cerita,
kisah dan bahkan film mengenai perjuangan bersenjata bawah tanah kaum
VERZETSTRIJDERS Belanda melawan tentara pendudukan Jerman. Antara lain
yang ditulis oleh  Harry Mulisch, novelis terkenal Belanda, berjudul
'De Aanslag' ('Serangan'). Atas dasar buku itu dibuat salah satu film
paling terkenal Belanda,  'De Aanslag' .

Namun, literatur maupun film (Belanda) yang mengishkan 'verzetstrijd',
atau 'perjuangan perlawanan bawah tanah' Belanda melawan pendudukan
Jerman, tidak banyak, kalau tidak hendak dikatakan sedikit sekali yang
mengisahkan partisipasi orang-orang Indonesia, terutama para anggota
Perhimpunan Indonesia di Belanda, dalam perjuangan bawah tanah melawan
Jerman.

***

Belum lama kutemukan kembali sebuah tulisan atau makalah yang ditulis
oleh R.M. Djayeng Pratomo (93), berjudul ORANG-ORANG INDONESIA DALAM
GERAKAN  PERLAWANAN DI BELANDA. Dalam pembicaraan tilpun dengan
beliau, yang dalam keadaan sakit, aku minta izin untuk menyiarkan
tulisannya itu. Karena tulisan beliau itu mengisahkan peristiwa
penting di Nederland selama pendudukan Jerman Hitler. Tentang
orang-orang Indonesia di Nederland yang dengan sepenuh hati dibimbing
oleh ide-ide luhur demokrasi,  kebebasan dan perdamaian bersama-sama
dengan kaum patriot Belanda, menceburkan dirinya dalam perjuangan
bawah tanah ( termasuk yang bersenjata), berjuang, menderita bahkan
mengorbankan jiwanya,  demi pembebaan negeri Belanda. Alangkah
luhurnya cita-cita mereka. Padahal, ketika itu bangsa Indonesia masih
berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda.  

Atas persetujuan Djayeng Pratomo, akan kusiarkan dalam seri berikutnya
artikel Djayeng Pratomo tsb. Ia  akan sedikit menjelaskan  mengapa 
'mengenai  grup perlawanan Indonesia ini tidak banyak ditulis.
Orang-orang Belanda dari generasi mudanya samaekali tidak mengetahui
akan hal ini.

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - LANGKAH KECIL DLM 'LONG MARCH' . . . . .

2007-04-21 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA

Sabtu, 21 April 2007


LANGKAH KECIL DLM 'LONG MARCH' MEMBERLAKUKAN 
HAK-HAK AZASI MANUSIA (HAM) 

Bagaimana sebaiknya menyingkapi pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi
baru-baru ini? Ini suatu pertanyaan yang tidak sederhana untuk
menjawabnya. Betapapun kecil artinya, bila pernyataan itu dikeluarkan
dengan tulus dan sungguh-sungguh, hal itu penting untuk diperhatikan.
Soalnya, pernyataan itu dikeluarkan oleh seorang pejabat tinggi dari
Mahkamah Konstitusi.

Kepada pers Ketua Mahkamah Konstitusi(MK) Jimly Asshidiqie menyatakan
(Liputan T. Herlina, 'Sinar Harapan', 18/4) bahwa: 'Paham komunis di
masyarakat saat ini tidak perlu dilarang. Kepolisian maupun kejaksaan
bahkan harus menindak jika ada pihak-pihak yang melakukan anarki
karena tidak suka dengan suatu paham'. 

Dengan sedikit lagi keberanian dan ketegasan, seyogianya Asshidiqie,
seperti halnya Gus Dur, akan berseru lantang untuk dibatalkannya TAP
MPRS No. XXV/1966.

Selanjutnya Ketua Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa UUD 1945 yang
menjadi landasan hukum tertinggi bagi kehidupan bernegara menjamin
secara tegas tentang kebebasan bagi setiap warga negara untuk berpikir
dan berkeyakinan. Menurutnya, pemerintah harus  meluruskan kondisi
masyarakat yang seperti ini.

*   *   *

Perhatikan dua kalimat yang teramat penting dalam pernyataan tsb,
yaitu sbb:

1)'Kepolisian maupun kejaksaan bahkan harus menindak jika ada
pihak-pihak yang melakukan anarki karena tidak suka dengan suatu paham'.

2)UUD 1945 yang menjadi landasan hukum tertinggi bagi kehidupan
bernegara menjamin secara tegas tentang kebebasan bagi setiap warga
negara untuk berpikir dan berkeyakinan.

Kedua kalimat yang terdapat dalam pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi
tidak pernah sebelumnya  terdengar dari seorang pejabat elite setinggi
itu. Karena, jelas sekali,  dalam pernyataan tsb penguasa
diperingatkan untuk tidak bersikap masabodoh terhadap pelanggaran
hukum, apalagi suatu pelanggaran yang menyangkut salah satu prinsip
utama dari HAM. Pernyataan serupa dari kalangan elite/pimpinan
nasional, memang tidak jarang kita dengar. Yang kita sering dengar
adalah yang keluar dari mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid.

Ketika itu Gus Dur, mantan Presiden RI, adalah satu-satunya tokoh
nasional yang secara blak-blakan, di muka umum berseru agar TAP MPRS
No XXV/1966 dibatalkan. Karena TAP tsb bertentatangan dengan hak-hak
demokrasi, bertentangan dengan UUD 1945. Elite lainnya maupun pers,
mengambil sikap 'diam' atau dengan galak tegas menentang.

*   *   *

Bisalah dikatakan bahwa adalah lebih bijakasana untuk tidak bersikap
apriori, terhadap munculnya gejala 'perkembangan' dalam pemikiran dan
pandangan dari kalangan elite. Apalagi  bila 'perkembangan' itu
terjadi di suatu lembaga yang penting seperti Mahkamah Konstitusi. 
Memang dari kalangan masyarakat kita masih ada semacam harapan bahwa
lembaga Mahkamah Konstitusi seyogianya 'dikit-dikit' turutlah
memainkan  peranan, agar negara ini berangsur-angsur menuju ke suatu
negara hukum, yang mematuhi konstitusi yang demokratis,  yang
memberlakukan prinsip-prinsip HAM. 

'Perkembangan pemikiran' yang dimaksudkan ialah sehubungan dengan
pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi menyangkut soal besar seperti
HAM, seperti dikutip diatas.

HAK-AZASI MANUSIA, populer disebut HAM, adalah sesuatu yang belum lama
dikenal apalai dikhayati di kalangan bangsa kita. Dalam waktu  yang
cukup lama dalam sejarah bangsa ini,  masyarakat kita hidup dalam
sistim dan kultur feodal otokratis yang sudah usang yang dilindungi
dan bertautan dengan sistim dan kultur kolonialisme. Dimana hak
raja-raja, sultan-sultan atau tuan tanah feodal seperti aparat
kekuasaan lainnya dari kolonialisme, yang memonopoli segala hak,
sedangkan kaum tani dan rakyat umumnya hidup di bawah penindasan,
penghisapan dan kekangan penguasa yang punya wewenang. 

Baru pada  akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, ketika mulai
tumbuh dan berkembang kesadaran berbangsa serta gerakan kemerdekaan
nasional,  lapisan tertentu masyrakat kita, umummya  pada kaum
terpelajar, lahir fikiran-fikiran baru dan maju mengenai hak
bangsa-bangsa untuk berdiri sendiri sebagai suatu nasion, sama derajat
dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini. Ini berkat pengaruh
fikiran-fikiran maju yang semakin tersebar di mancanegara sejak
Revolusi Perancis dan Revolusi Kemerdekaan Amerika. Lebih-lebih lagi
menjelang, selama dan setelah Perang Dunia II.

*   *   *

Berdirinya Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno/Hatta,
pada tanggal 17 Agustus 1945, membuka peluang ditegakkannya hukum,
diciptakannya dan diberlakukannya hak-hak warganegara  yang melindungi
peri kehidupannya. Amandemen demi amandemen terhadap Undang-Undang
Dasar RI yang dilakukan berturut-turut, secara formal dan resmi
mencantumkan fasal-fasal mengenai HAM, meskipun belum sempurna. Dengan
demikian formalnya Republik Indonesia,  

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS,

2007-04-18 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA'S   --  SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS, 
Tuesday, 18.04.07
---

POLICE VOW TO RESOLVE HUMANRIGHT ACTIVIST MUNIR MURDER
IPDN STUDENT DIED OF BLOWS . . . 
GOVT ACCUSED OF BEING 'PRO-TYCOON'
POVERTY ERADICATION PROGRAM OVERSTRECHED

POLICE VOW TO RESOLVE HUMANRIGHT ACTIVIST MUNIR MURDER
M. Taufiqurrahman, The Jakarta Post, Jakarta
The National Police reaffirmed on Tuesday their commitment to solving
the murder of human rights campaigner Munir Said Thalib.National
Police Chief Gen. Sutanto said that investigators were currently
collecting evidence and questioning numerous witnesses to build a
strong case, including a man who claimed to have seen Munir drinking
with Garuda pilot Pollycarpus Budihari Priyanto at Singapore airport. 
Pollycarpus is the only person ever to have been convicted in the
murder of Munir, although the verdict was later thrown out by the
Supreme Court. "We don't want this case to just go away... so we are
trying our best to collect all the evidence," Sutanto told reporters
after attending the commemoration of the fifth anniversary of the
Financial Transaction Report and Analysis Center at the State Palace.
Sutanto said that if needed the police would question former chief of
the State Intelligence Agency (BIN) A.M. Hendropriyono. "Questioning
him, however, has to be based on solid evidence and not just
assumption, as this would be easy to rebut during a court proceeding,"
Sutanto said. 
Hendropriyono and another BIN officer, Muchdi P.R., who have long been
implicated in the murder of Munir, have said that they are ready for
the police investigation if it is conducted professionally. Current
BIN chief Syamsir Siregar said the police had the complete authority
to investigate all witnesses and suspects in the case, including
officials from the intelligence agency. 
Sutanto also said that the police were still collecting information
from former Garuda Indonesia president director Indra Setyawan and
Rohainil Aini, the secretary to the chief pilot. The two Garuda
officials were arrested late last week after being named suspects in
the case for issuing the letter that was used by primary suspect
Pollycarpus to board the Garuda aircraft that was to take Munir to
Amsterdam. 
Sutanto also said that the police would question all the witnesses,
including a mysterious person known as Raymond "Ongen" Latuihamalo,
who is believed to have seen Munir having a drink with Pollycarpus at
a cafe in Singapore's Changi Airport. 
While it was previously believed that the arsenic that Munir was
poisoned with was administered on board the flight from Jakarta to
Singapore, it is now thought that he was given it while at the
airport. Garuda defense lawyer M. Assegaf said Tuesday that his
client, Pollycarpus, did not know the new witness. "Polly does not
know Ongen, he never even met him," Assegaf was quoted by Antara as
saying. 
Assegaf said that the likelihood of Pollycarpus meeting Munir in
Changi was small given the security protocol at the international
airport. "Once he disembarked from the aircraft, he went straight to
the hotel just like the other Garuda crew. Transit passengers would
have been directed to a waiting room and to return to the aircraft he
would have needed a card," Assegaf said. 


POLICE SAY IPDN STUDENT DIED OF BLOWS  . .  
Yuli Tri Suwarni and Slamet Susanto, The Jakarta Post, Sumedang,
Yogyakarta
The investigation into the death of Institute of Public Administration
(IPDN) student Cliff Muntu has revealed that he likely died from blows
to his chest.
A reconstruction of the crime, which started at 10 p.m. on Monday at
the institute's campus in Jatinagor, Sumedang regency, and took three
and a half hours, involved the seven senior students alleged to be
responsible for the attack, which took place on April 2. Hikmat
Faisal, Frans Albert Youkou, Ahmad Ari Pendi Harahap, Muhamad
Amrullah, Fendy Notobuo, A Bustanil and Jaka Anugrah Putra, all of
whom have been dismissed from IPDN, explained the assault to police. 
The police said that there were 48 parts to the reconstruction. "We're
ready to deliver the (files of the seven) to the prosecutor's office
on Wednesday," Sumedang Police chief Adj. Sr. Comr. Syamsul Bahri said
Tuesday. Sumedang Police crime and detective unit head Adj. Sr. Comr.
Hotben Gultom said Cliff had died after being hit in the chest. 
The reconstruction showed that the seven students accompanied Cliff's
body to al-Islam Hospital. West Java Police are still investigating
the possible involvement of several lecturers and supervisors in the
assault. The investigation has found that the institute's dean of
political science, Lexie Giroth, was ordered by the institute's
management to handle Cliff's remains and inform his family in Manado,
North Sulawesi, of his death. 
Lexie said he did not order Iyend Sopandi, an official at the Bandung
Health

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA -- AKU MANTAP JADI ORANG INDONESIA

2007-04-13 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA
Jum'at, 13 April 2007
-

AKU MANTAP JADI ORANG INDONESIA


Memang bermacam orang, bermacam pula reaksinya terhadap segala
sesuatu. Fakta dan peristiwa bisa sama, tetapi tanggapan dan kesan
sering berbeda-beda. Bahkan bisa saling bertentangan. Lihat saja
bagaimana berlainan orang berreaksi terhadap situasi budaya
Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN)yang dirasakan sudah merajai mental
bangsa ini. Pada garis besarnya, tanggapan-tanggapan tsb ada yang
mengambil sikap kritis-optimis, - melihat sesuatu selalu dari berbagai
segi, tapi yakin bahwa haridepan negeri ini akan membaik; ada pula
yang pasif-pesimis, patah hati atau putus asa. Tidak sedikit pula yang
kritis-satiristis-sinis, namun, tetap percaya bahwa suatu ketika akan
terjadi perubahan ke arah membaik.

*   **

Untuk sekadar ilustrasi dari gambaran diatas: Mari kita baca puisi
wartawan senior Rosihan Anwar (Lihat lampiran). Bagaimana ia
menanggapi situasi Indonesia sekitar 2004. Pendapat dan tanggapannya
dituangkannya dalam rangkuman sajak berjudul:

AKU TIDAK MALU JADI ORANG INDONESIA.

Sajak Rosihan itu juga ada terjemahannya dalam bahasa Belanda. Pagi
kemarin, bersama istriku Murti, kami baca bersama teks bahasa Belanda.
Lho, kok, teks Belanda yang dibaca? Begini ceritanya:  istriku, yang
sejak kecil pendidikannya di sekolah Belanda, di rumah dulu juga
berbahasa Belanda. Ia biasa lebih cepat menangkap isi teks yang dalam
bahasa Belanda. Ya, jadi kami baca yang bahasa Belanda. Jangan salah
faham, bagiku sendiri, lebih mantap membaca yang bahasa Indonesianya.
Aslinya-lah!

Bagaimana kesanmu, tanyaku kepada Murti. Murti tersenjum. Akupun
tersenyum. Karena memang sajak/puisi Rosihan itu jenaka, tapi tajam.
Dengan cara yang lucu dan kritis, tetapi juga sarkastis dan sinis
Rosihan menanggapi situasi korupsi yang sudah dianggap begitu
mendarah-daging di kalangan bangsa kita. Sebenarnya itu terjadi hanya
di kalangan orang-orang yang punya kuasa dan yang bisa dan suka korup.
Aku  yakin betul,  mayoritas bangsa kita jujur, tidak korup. Kalau
tidak percaya silakan bikin angket atau riset!!! Sendiri!! 

*   *   *

Sejak dulu, aku punya rasa-bangga SEBAGAI ORANG INDONESIA. Meskipun
ketika itu Indonesia masih dibawah kekuasaan kolonial Belanda. Aku
selalu bangga melihat pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi  dari kepanduan
KBI, Kepanduan Bangsa Indonesia. Mereka bernyanyi lagu kebangsaan,
berlatih, berolah raga dan berkemah. Mereka mengenakan kacu
Merah-Putih. Aku senang dan bangga sekali menyaksikan itu semua.
Kemudian di bawah pendudukan tentara Jepang, aku sering mendengarkan
pidato-pidato Bung Karno yang berapi-api dan mencengkam kami,
pendengarnya. Belum banyak yang bisa kutangkap dari pidato Bung Karno
itu. Tapi melihat orang Indonesia pidato di atas podium, begitu
berkobar-kobar dan bersemangat, begitu menyemangati dengan jiwa
kebangsaan. Itu semua bikin aku jadi bangga, membesarkan semangat dan
perasaan kebersamaan sebagai bangsa Indonesia. Kebanggaan itu, 
mungkin juga disebabkan pendidikan keluarga (pernah ikut kakak ipar
yang ternyata anggota PNI, menghadiri rapat Gerindo di Gang Kenari,
menjelang pendudukan Jepang); dan kemudian bersekolah Muhammadiyah,
lalu  di Taman Siswa yang punya arah nasionalisme yang kuat.

Pada periode Revolusi Kemerdekaan perasaan dan semangat sebagai bangsa
Indonesia, menjiwai sebagian besar pemuda kita untuk ambil bagian
dalam perang kemerdekaan. Semangat ini juga menjiwai diriku. Ini
merupakan suatu kebanggaan yang tak mungkin bisa dihapuskan oleh
ulahnya koruptor-koruptor dan pelanggar-pelanggar HAM kelas kakap,
mereka-mereka yang bergelimang dengan dan berkubang di lumpur dan
rawa-rawa KKN.

Denan demikian apakah seseorang itu 'bangga' atau 'malu' sebagai orang
Indonesia, erat kaitannya dengan perasaan kebangsaannya, dengan
pengenalannya terhadap identitasnya dalam konteks nasional.

Bagiku sendiri ada sebab lain. Mungkin ini sebab sekunder saja. Di
kalangan anak-anak dulu, kawan-kawan sepermainan ketika itu,  sering
diomongkan: Orang Belanda itu tak bisa berkelahi. Tetapi lain dengan
kita. Kita ini bisa pencak-silat. Bisa pencak Cimandé atau Pukulan
Betawi, dsb. Sedangkan orang Belanda hanya bisa 'boksen'. Pasti
kalahnya kalau diadu dengan pencak-silat. Begitulah di kalangan
anak-anak ketika itu. Kebetulan aku juga belajar silat, sehingga bila
berhantam dengan siapapun, termasuk dengan orang Belanda yang
'boksen', merasa akan bisa menang. 

Yang tak boleh dilupakan ialah petuah guru-silat kami. Ia mengajarkan
baha belajar silat itu, adalah demi keperluan bela diri dan olah raga.
Menjaga kesehatan dan kewaspadaan. Jangan takut tetapi jangan pula
sombong, mentang-mentang bisa Ciamdé atau Pukulan Betawi. Mengenal dan
memantapkan harga diri! Percaya pada kekuatan diri sendiri. Orang
Indonesia belajar silat, bukan asal silat saja. Belajar silat dengan
dibimbing oleh suatu pedoman, katakanlah falsafah hidup. Ini bikin aku
jadi bangga

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA: -- SIAPA MENDUGA!

2007-04-10 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA:
Selasa, 10 April 2007

SIAPA MENDUGA --  SESUDAH 4 Th IRAK 'DIBEBASKAN' AS
Kok BEGINI JADINYA !!!???

Siapa nyana? Sungguh tak terduga! 

Bukan  stasiun TV Aljazeera,  jga bukan TV Damascus atau TV Teheran 
yang kebetulan kulihat sendiri menyiarkan demo anti-Amerika terbesar
dalam 2-3 bulan terakhir ini di Irak. Jangan heran! Adalah stasiun TV
Amerika CNN yang kemarin, 09 April, kulihat  menyiarkan tentang demo
puluhan ribu massa Irak di kota Feluja.  Puluhan ribu rakyat Irak,
termasuk kaum perempuan yang berjilbab,  dengan melambai-lambaikan
bendera nasional Irak,  meniup terompet, bersorak-sorai  berdemonstran
menentang Amerika dan sekutu-sekutunya yang menduduki Irak.   Mereka
bersemangat dan teramat bérang,  dengan keras sekali berseru nyaring:
Hai,  tentara AS enyahlah segera  dari Irak.  Mereka berbaris
sepanjang 5 km antara kota  suci Kufa dan Najaf, untuk memperingati 4
tahun masuknya tentara AS ke kota Bagdad.

Imam golongan Syiit radikal  Muqtada al-Sadr  yang berpengaruh,  dan
dikatakan yang ada dibelakang demo besar tsb menyerukan:  Hentikan
saling bunuh antara kita sendiri. Tujukn perlawanan pada sasaran
utama, tentara agresor Amerika dan sekutu-sekutunya yang menduduki Irak! 

*   *   *

Dan . . . . . .  puluhan ribu kaum  demonstran Irak itu mencabik-cabik
kemudian membakar  bendera Amerika, 'The Stars and Stripes'

***   
 
Wartawan CNN yang meliput situasi Irak tsb,  juga melaporkan bahwa
diantara banyak toko-toko yang ramai dikunjungi dikota Bagdad,  adalah
APOTIK. Yang laris dijual, adalah obat penenang syaraf. Pemilik apotik
 Tharik Osama, bercerita: Makin banyak orang yang membeli obat
penenang. Karena  mereka  s e t r e s .  Mereka sesungguhnya sudah
diambang sakit syaraf total. Kebanyakan orang sudah tidak punya
harapan situasi  akan membaik. Saling ngebom (bunuh-diri), antara kaum
Syiit dan  kaum Sunni,  operasi-operasi militer AS dan
sekutu-sekutunya terjadi hampir tiap hari. Tidak seorangpun tahu kapan
situasi mengenaskan ini  akan bisa berubah. Yang mereka tahu adalah
Presiden Bush mengirimkan tentara tambahan ke Irak. 

Lalu, apalagi yang laris laku di apotik Anda, tanya wartawan CNN. 
Tharik, pemilik apotik menjawab: Yang hampir sama larisnya ialah 'obat
kuat'  bernama VIAGRA. Karena  s e t r e s   itu,  kata Tharik,
akibatnya melemahkan syahwat kaum lelaki. Padahal mereka itu masih
muda-muda.  Masih memerlukan  dan ingin kehidupan suami-istri yang
wajar. Maka dibelilah tablet Viagra agar bisa normal hidup sebagai
suami-istri. Aneh kedengarannya, beli obat penenang syaraf, bersamaan
dengan itu membeli obat kuat Viagra.

Aku fikir, andaikata situasinya tidak terlalu gawat untuk AS,
barangkali wartawan CNN  yang adalah stasiun TV milik orang Amerika
itu, ---  tidak akan khusus mentayangkan berita seperti itu, pas pada
peringatan 4 tahun Amerika masuk  Bagdad. Memang bisa terjadi bahwa di
CNN orang-orang yang pro Partai Demokrat dan anti politik-Irak 
Presiden Bush cukup berpengaruh. Bukankah Kongres AS yang kini
didominasi oleh Partai Demokrat itu, mendesak  Presiden Bush untuk
bikin jadwal  kongkrit kapan tentara AS ditarik dari Irak. Kongres
menuntut kongkritnya tidak lebih lama dari Agustus 2008.  Bila
Presiden  Bush menolak keputusan Kongres tsb maka dana operasi tentara
AS di Irak akan di stop. Begitu tajam konflik di Kongres AS mengenai
beleid Presiden Bush di Irak. Tokh,  Bush ngotot mempertahankan
kebijakannya  untuk terus menduduki Irak. Memang ada dua kepentingan
kaum modal AS di Timur Tengah. Satu, mempertahankan dominasi posisi
militer AS. Kedua mendominasi sumber minyak di Irak dan Timur Tengah.

Jadi bukanlah masalah menyebarluaskan atau mensosialisasikan DEMOKRASI
 dan HAM,  bukan pula  untuk mencekal 'senjata pemusnah masal' yang
katanya dimiliki oleh Saddam Husein,   yang  jadi motif Presiden Bush
masuk Irak. Sama halnya, seperti ketika AS mendalangi penggulingan
Presiden Sukarno dan membantu Jendral Suharto berkuasa di Indonesia.
Bukan demi menyebarkan Demokrasi dan HAM, tetapi mendudukkan pemimpin
pemerintahan yang bisa diandalkan  dan dikendalikan oleh AS dalam
strategi Perang Dingin ketika itu. Artinya demi kepentingan  kaum
modal AS sendiri.

***
 
Bagi orang-orang yang bermimpi, bahwa 'demokrasi' itu, adalah semacam
 barang dagangan yang bisa diekspor, tidak pernah terfikirkan
samasekali, bahwa perubahan demokratis sesuatu negeri itu,
pertama-tama dan terutama disebabkan oleh kekuatan sosial di dalam
negeri itu sendiri. Bukanlah oleh suatu invasi militer asing,  atau 
oleh kekuatan militar dalam negeri yang dipaksakan dari atas,
betapapun keheibatan dan keunggulannya. Bagi protagonis invasi militer
AS dan sekutu-sekutunya untuk menggulingkan Sadam Hussen, tak pernah
terduga samasekali,  bahwa  sesudah Sadam Hussein digulingkan, situasi
di Irak, akan begini jadinya. Karena,  menurut mereka-mereka itu,
bukankah Amerika masuk Irak untuk mensosialisikan prinsip-pins

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - DOA BERSAMA DEMI KESELAMATAN BANGSA Utk PERKOKOH SEMANGAT

2007-04-06 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Jumat, 06 April 2007
---


DOA  BERSAMA DEMI KESELAMATAN BANGSA Utk
PERKOKOH  SEMANGAT  dan  DJIWA TOLERAN 

Sungguh melegakan dan menggembirakan, memperbesar rasa dan semangat
toleransi kita, ketika membaca rencana bahwa  Presiden SBY dan Wapres
JK, akan langsung memimpin doa bersama untuk keselamatan bangsa.
Rencana doa bersama tsb direncanakan pada hari Minggu, tanggal 8 April
2007. Lebih penting lagi ialah bahwa hal  itu dilakukan bersama, dalam
waktu yang sama, oleh umat Islam, Katolik dan Protestan di tempat
ibadah  masing-masing.

Sedangkan Presiden SBY dan Wapres JK menurut rencana, akan hadir di
Mesjid Istiqlal, Jakarta bersama 80.000 jemaah. Bagi umat Katolik
direncanakan doa dilangsungkan oleh 12.000  jemaah di Gereja Katedral,
Lapangan Banteng, Jakarta. Bagi umat Protestan akan dilakukan di
kurang lebih 200 paroki gereja-gereja seluruh Indonesia. Secara
nasional umat Protestan akan mengadakannya di Gereja Imanuel Gambir,
Jakarta.

Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo Pr
mengatakan, doa bersama akan dilakukan bersamaan dengan misa Paskah
yang dipimpin Uskup Agung Jakarta Kardinal Julius Darmaatmadja SJ. 

***

Hari ini, Jumat 06 April 2007,   di mancanegara yang umum berbahasa
Inggris, disebut sebagai   'Good Friday'. Diperingati umat Kristen
seluruh dunia SEBAGAI  Jum'at Agung.  Yaitu hari Jum'at sebelum
Paskah, memperingati hari penyaliban Nabi Isa; yang beragama Kristen
menyebutnya Jesus Kristus.  Bagi umat Kristen merupakan salah satu
hari terpenting dalam kalender mereka.  Di negeri kita,  hari ini 
seringkali disebut hari Wafat Isa Al-Masih, adalah salah satu dari 
hari libur nasional. Menunjukkan bahwa di negara Republik Indonesia,
sebagaimana  halnya terhadap pemeluk agama Islam ,  para pemeluk agama
Nasrani, punya tempat sama dengan para pemeluk agama lainnya. 

Bahwa pada hari-hari Paskah, umat Islam, Katolik dan Protestan
bersama-sama melakukan doa demi keselamatan bangsa, patut menjadi
kebanggaan kita.  Selain mencerminkan semangat dan jiwa toleransi
antar-agama,  kenyataan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia, negara
Republik Indonesia, sesuai dengan ideologi negara Pancasila dan UUD,
tetap setia pada prinsip kesatuan dan persatuan di bawah semboyan
BHINNEKA TUNGGAL IKA. Berbeda-beda tetapi satu.

Dengan demikian tak ada tempat bagi radikalisme maupun fundamentalisme
religius yang menganggap diri paling unggul, menyisihkan, menegasi 
sampai-sampai pada  tindakan hendak melikwidasi satu sama lainnya.

***

Semangat toleransi, menenggang dan saling menghormati antara pelbagai
agama dan kepercayaan, seyogianya juga termanifestasi dalam kehidupan
bernegara, dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sudah sepatutnya
dipraktekkan dalam kehidupan kultur dan politik yang nyata. Bukankah
PANCASILA, sebagai dasar falsafah negara kita tegas-tegas memberikan
hak, serta kebebasan kepada setiap warganegaranya untuk punya
keyakinan ideologi dan keyakinan politik masing-masing? Hak untuk
punya pendapat  dan keyakinan sendiri adalah salah satu prinsip dari
hak azasi manusia sebagaimana tercnatum dalam UUD RI, dan dalam
pernyataan HAM mancanegara, seperti tertera  dalam 'UNIVERSAL
DECLARATION OF HUMAN RIGHTS UNO', 10 Desember 1948.

Pada hari-hari Paskah kali ini, kita bersama-sama mendoakan
keselamatan dan kesejahteraan bangsa dengan dihadiri, bahkan 'dipandu'
oleh Presiden dan Wapres Negara. Peristiwa ini melegakan kita, karena
kita masih dihadapkan pada kenyataan keras, peristiwa saling
konfrontasi antara satu agama dengan agama lainnya, bahkan di dalam
agama yang sama yang berbeda-beda tafsirannya, dengan  menggunakan
cara kekerasan sebagai jalan menyelesaikan perbedaan yang ada.
Semangat dan jiwa yang mendorong menifestasi toleransi ini sungguh
perlu diperkokoh lebih lanjut, dikonsolidasi, dan diluaskan dalam
kehidupan politik, kehidupan bernegara.

Mengapa perlu hal ini ditekankan? Karena, belakangan ini bisa
disaksikan betapa suatu aliran politik yang punya hak hidup di
Indonesia, sesuai dengan UUD RI, yaitu aliran SOSIAL-DEMOKRASI, yang
dijadikan sebagai pedoman dan program suatu partai baru  yaitu
PAPERNAS, telah mengalami tindakan kekerasan, a la 'premanisme'. Salah
suatu kegiatan PAPERNAS yang mengadakan pertemuan untuk menyatakan
DEKLARASI PARTAI, telah diserang dan dibubarkan dengan kekerasan oleh
kelompok aliran politik yang bernaung di bawah FPI,  Front Pembela Islam.
Peristiwa ini sangat disesalkan, mempermalukan semangat dan jiwa
bangsa kita yang toleran dan saling menghormati.

Oleh karena itu, selain menggalakkan usaha-usaha konstruktif dan
positif seperti mengadakan DOA BERSAMA antara umat Islam, Katolik dan
Protestan, juga perlu digalakkan semangat dan jiwa toleran dan saling
menghormati antara pelbagai aliran dan keyakinan politik sesuai UUD RI
dan HAM.

Menghadapi tindakan

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - DOA BERSAMA DEMI KESELAMATAN BANGSA . . . .

2007-04-06 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Jumat, 06 April 2007

DOA  BERSAMA DEMI KESELAMATAN BANGSA Utk
PERKOKOH  SEMANGAT  dan  DJIWA TOLERAN 

Sungguh melegakan dan menggembirakan, memperbesar rasa dan semangat
toleransi kita, ketika membaca rencana bahwa  Presiden SBY dan Wapres
JK, akan langsung memimpin doa bersama untuk keselamatan bangsa.
Rencana doa bersama tsb direncanakan pada hari Minggu, tanggal 8 April
2007. Lebih penting lagi ialah bahwa hal  itu dilakukan bersama, dalam
waktu yang sama, oleh umat Islam, Katolik dan Protestan di tempat
ibadah  masing-masing.

Sedangkan Presiden SBY dan Wapres JK menurut rencana, akan hadir di
Mesjid Istiqlal, Jakarta bersama 80.000 jemaah. Bagi umat Katolik
direncanakan doa dilangsungkan oleh 12.000  jemaah di Gereja Katedral,
Lapangan Banteng, Jakarta. Bagi umat Protestan akan dilakukan di
kurang lebih 200 paroki gereja-gereja seluruh Indonesia. Secara
nasional umat Protestan akan mengadakannya di Gereja Imanuel Gambir,
Jakarta.

Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo Pr
mengatakan, doa bersama akan dilakukan bersamaan dengan misa Paskah
yang dipimpin Uskup Agung Jakarta Kardinal Julius Darmaatmadja SJ. 

***

Hari ini, Jumat 06 April 2007,   di mancanegara yang umum berbahasa
Ingtris, disebut sebagai   'Good Friday'. Diperingati umat Kristen
seluruh dunia SEBAGAI  Jum'at Agung.  Yaitu hari Jum'at sebelum
Paskah, memperingati hari penyaliban Nabi Isa; yang beragama Kristen
menyebutnya Jesus Kristus.  Bagi umat Kristen merupakan salah satu
hari terpenting dalam kalender mereka.  Di negeri kita,  hari ini 
seringkali disebut hari Wafat Isa Al-Masih, adalah salah satu dari 
hari libur nasional. Menunjukkan bahwa di negara Republik Indonesia,
sebagaimana  halnya terhadap pemeluk agama Islam ,  para pemeluk agama
Nasrani, punya tempat sama dengan para pemeluk agama lainnya. 

Bahwa pada hari-hari Paskah, umat Islam, Katolik dan Protestan
bersama-sama melakukan doa demi keselamatan bangsa, patut menjadi
kebanggaan kita.  Selain mencerminkan semangat dan jiwa toleransi
antar-agama,  kenyataan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia, negara
Republik Indonesia, sesuai dengan ideologi negara Pancasila dan UUD,
tetap setia pada prinsip kesatuan dan persatuan di bawah semboyan
BHINNEKA TUNGGAL IKA. Berbeda-beda tetapi satu.

Dengan demikian tak ada tempat bagi radikalisme maupun fundamentalisme
religius yang menganggap diri paling unggul, menyisihkan, menegasi 
sampai-sampai pada  tindakan hendak melikwidasi satu sama lainnya.

***





[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA MENGAJAK: - BACA ASWI Ttg Istilah 'GERAKAN 30 SEPTEMBER

2007-04-04 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA MENGAJAK: 

Rabu, 04 APRIL 2007

BACA ASWI Ttg Istilah 'GERAKAN 30 SEPTEMBER' 

Hari Minggu y.l. (01.04.07) dapat dibaca sebuah wawancara yang menarik
sekali. Itu diberikan oleh sejarawan generasi muda kita ASWI WARMAN
ADAM mengenai istilah 'GERAKAN 30 SEPTEMBER, yang menurutnya adalah
lebih obyektif terbanding istilah 'G30S/PKI', versi Orba. 

Kukatakan Aswi Adam adalah sejarawan muda 'KITA'. Karena aku percaya
akan kejujuran Aswi Adam mengenai FAKTA-FAKTA SEJARAH. Sebagaimana
juga aku mempercayai sejarawan muda yang belum lama kukenal, BONNIE
TRIYANA. Kedua-dua sejarawan muda ini, gairah dan serius sekali dalam
meneliti dan menstudi fakta-fakta sejarah yang telah dibengkokkan dan
dipalsu oleh Orba seperti yang antara lain  dilakukan oleh sejarawan
Angkatan Darat, Nugroho Notosusanto, dan sebangsanya. 

Tidak sedikit sejarawan muda dewasa ini, yang berusaha keras untuk
'meluruskan sejarah' (isilah Aswi) Indonesia. Atau seperti istilah
Bonnie 'Mengklarifikasi' fakta sejarah Indonesia. Kiranya tidaklah
berkelebihan untuk menaruh harapan terhadap sejarawan-sejarawan
generasi baru, seperti Aswi dan Bonnie, juga Bambang Purwanto, dan
lain-lainnya. Mereka gairah, maju terus meski menghadapi pelbagai
rintangan. Termasuk ancaman dan intimidasi 'preman' seperti yang
dialami oleh Aswi Adam dan keluarganya belakangan ini. Rintangan dan
intimidasi tsb dilakukan terhadap setiap usaha untuk mengungkap
kebenaran, membeberkan fakta-fakta sejarah Indonesia, khususnya yang
menyangkut masa sejak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia; lebih
khusus lagi yang menyangkut sekitar 'Peristiwa 1965'. Karena adalah
pada periode itu, selama lebih dari 30 tahun Orba telah
memutarbalikkan fakta-fakta sejarah Indonesia. Dan belakangan ini, --
memuakkan sekali, sampai-sampai Kejaksaan Agung ikut-ikutan, dengan
keputusannya melarang buku-buku sejarah kurikulum 2004, yang tidak
mencantumkan nama 'PKI' sesudah nama 'G30S'.

Harapanku bertambah besar terhadap para sejarawan muda kita yang
berani dan  mampu menangkis 'brainwashing' Orba, antara lain setelah
membaca tulisan-tulisan (Adam dan Bonnie). Lebih mengesankan lagi dari
perkenalan pribadi dengan Aswi di Leiden beberapa tahun yang lalu, dan
baru-baru ini pertemuan dan percakapanku dengan Bonnie. Ketika 
mendengarkan tuturnya mengenai pemahamannya tentang sejarah negeri dan
bagsa kita. Di sini  kiranya perlu disebut satu nama lagi dari
generasi muda kita yang berusaha keras menyajikan fakta-fakta yang
benar sekitar sejarah bangsa kita, seperti Lexi Rambadetta (dengan
cameranya), dengan siapa baru ini saja aku terlibat dalam percakapan
panjang lebar menyangkut masa kini dan haridepan Indonesia, serta
peranan kaum muda di dalamnya.

*   **

Wawancara Aswi seperti yang diberikannya kepada dua orang jurnalis
TEMPO,  Endri Kurniawati dan fotografer Bismo Agung, telah disiarkan
oleh TEMPO dan mailist WAHANA, kemudian disiarkan-ulang di bawah ini. 

*   *   *


ISTILAH 'GERAKAN 30 SEPTEMBER' LEBIH OBYEKTIF
Asvi Warman Adam, Sejarawan

(TANYA: Istilah apa yang digunakan untuk menyebut pembunuhan enam
jenderal pada 30 September 1965 ketika itu)
   
JAWAB: Pada 1 Oktober 1965, istilah yang dipakai adalah "Gerakan 30
September". Tidak disingkat menjadi G-30-S, tapi ditulis penuh. Itu
menurut dokumen yang dikeluarkan pada 1 Oktober. Dalam
perkembangannya, bahkan 40 hari setelah peristiwa itu, Jenderal
Nasution menulis buku yang diterbitkan Departemen Pertahanan berjudul
40 Hari Kegagalan "G30S". Istilah G-30-S itu dipakai sampai
pertengahan Desember 1965. Pelakunya sendiri menyatakan Gerakan 30
September. 
   
(TANYA - Siapa pelakunya?)
   
JAWAB:   Untung, Latif, memakai istilah itu. Dalam dokumennya, Untung
menggunakan istilah Gerakan 30 September. 
   
(TANYA -Dokumen apa itu?) 
   
JAWAB -  Dokumen yang mereka keluarkan pada hari pertama (setelah
pemberontakan) yang menyatakan mereka membentuk Dewan Revolusi dan
lain-lain. Tapi gerakan itu mereka sebut sebagai Gerakan 30 September. 
Setelah itu Bung Karno menggunakan istilah Gestok, Gerakan Satu
Oktober. Itu ditandingi oleh Angkatan Darat dan kelompok Islam dengan
istilah Gestapu untuk diasosiasikan dengan Gestapo (Nazi-Jerman).
Tapi, kalau dilihat dari bahasa Indonesia, itu kan kurang tepat. Sejak
awal ada "pertarungan" antara Gestok dan Gestapu. Baru setelah 1966
dipakai istilah PKI.
   
(TANYA - Sejak Orde Baru berkuasa?) 
   
JAWAB - Ya, sejak Soeharto makin kuat kedudukannya dipakai istilah
G-30-S/PKI. Alasan lainnya, ketika itu ada Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmilub). Yang diadili pertama kali adalah Nyono, Ketua CC PKI
Jakarta Raya. Sejak itu dikaitkan (dengan PKI). Tapi kita tahu yang
diadili bukan hanya pengurus PKI. Tapi juga perwira Angkatan Darat
(AD), Angkatan Udara (AU), Wakil Perdana Menteri, dan Menteri Luar
Negeri Soebandrio, yang buka

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA - NAMA BAIK SOBRON AIDIT SUDAH DIREHAB

2007-03-31 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA
--
Sabtu, 31  Maret 2007


SOBRON AIDIT SUDAH  DIREHAB MASYARAKAT   
 

Nanti akan kujelaskan mengapa aku berani mengatakan, pada sambutanku
berkenaan dengan Peringatan Hari Ke-40 Meninggalnya Sobron Aidit yang
berlangsung tadi siang, bahwa, Sobron  sesunguhnya tidak lagi
mememerlukan 'rehabilitasi' dari penguasa Indonesia sekarang. Sebab
terpokok ialah karena masyarakat Indonesia itu sendiri, para penggemar
karya-karya Sobron, S U D A H   MEREHABILITASI NAMA BAIK SOBRON.  

Belakangan nanti akan kutambahkan penjelasannya. Pokoknya REHABILITASI
NAMA BAIK SOBRON telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia itu
sendiri. Itulah yang terpenting. Hal itu bisa disaksikan antara lain
dengan penuh sesaknya ruang pertemuan dengan hadirin yang khusus
datang untuk mengenangkan Sobron yang meninggal 40 hari yang lalu.

*   *   *

Hari Sabtu 'weekend' kali ini cuaca benarbenar bagus. Terasa benar
datangnya musim semi. Sejauh mata memandang tampak pepohohonan dan
tanaman yang tadinya gundul, mulai menghijau. Rupanya yang 'Di Atas',
memberkahi pertemuan memperingati Sobron. Sehingga suasana itu
memperindah, menyemarakkan serta membikin pertemuan yang diadakan di
gedung sekolah 'Schakel' di Burg. Bickerstraat 40, Diemen, Holland,
menjadi kenangan yang sulit dilupakan. 

Acara yang disusun rapi oleh panitya peringatan, -- terdiri dari
pembacaan puisi oleh dan tentang Sobron, oleh Chalik Hamid, Mawi,
Nita, Heri Latief, Dini Setyowati, Ratih, Mriyanti, sungguh
mencengkam. Ditambah lagi dengan merdunya  suara Nita yang  membawakan
lagu kesukaan ayahnya. Sesudah mendengar suara merdu Nita yang
diiringi petikan gitar, aku bilang pada Nita: Ini Benar, bukan
baso-basi! Baru Oom tahu bahwa Nita bisa bernyanyi begitu merdu.
Terima kasih Oom, kata Nita.

Aku taksir kurang lebih sekitar 200 termasuk keluarga dan handai
taulan, serta penggemar ('fans') tulisan Sobron, yang memenuhi ruang
pertemuan. Di antaranya kulihat pakar Indonesia Dr. Nico Scholten
Nordholt dan istrinya Clara Ela yang membacakan sambutan dan syair
Sobron. Seperti tertera dalam undangan, hari itu  hadirin bersama-sama
memperingati 'Empatpuluh Hari' meninggalnya sahabat tercinta Sobron
Aidit, yang juga adalah salah seorang ketua 'Yayasan Sejarah dan
Budaya Indonesia', YSBI,  dan Ketua Redaksi majalah 'KREASI', organnya
YSBI. 

Dalam sambutanku pada hari peringatan tsb sesudah menyatakan terima
kasih kepada Bung Soelardjo, salah seorang ketua YSBI yang memberikan
kesempatan kepadaku untuk menyampaikan sepatah-dua kata berkenaan
dengan hari peringatan ini, kunyatakan mengenai Sobron sbb:

** *

Adalah suatu tradisi atau kebiasaan turun temurun bangsa kita dari
pelbagai suku dan kepercayaan, yang sampai sekarang masih diteruskan
oleh berbagai lapisan masyarakat kita, untuk memperingati empatpuluh
hari, seratus hari, atau seribu hari meninggalnya kerabat, handai atau
taulan. Maksudnya ialah untuk mengenang kembali yang telah meninggal,
bahwa kita tidak melupakannya, membacakan doa sesuai keyakinan agama
masing-masing, serta memperkuat ketabahan pada keluarga  yang
ditinggalkan. Bahwa kita  terutama mengingat sifat-sifatnya yang baik
dan positif, selain menarik pelajaran dari segi-segi yang dianggap
sebagai kekurangannya selaku penulis progresif.  

*   *   *

Memperingati yang telah meninggal itu, adalah suatu tradisi yang
dihormati masyarakat,  suatu kebiasaan bangsa kita, yang lintas etnis
dan lintas agama. 

Sobron Aidit, atau Bung Sobron, -- sapaan akrab sehari-hari  bagi
kita-kita yang sudah lama kenal dan dekat dengan Sobron, banyak orang
 mengenalnya sebagai penulis.  Terkesan Sobron seperti tak pernah
capé-capénya menulis. 

Bagi saya dan bagi banyak teman, terutama penting sekali, bahwa, 
meski Sobron bukan seorang politikus, bukan seorang aktivis aksi-aksi
masyarakat, tetapi Sobron jelas punya pandangan dan pendirian politik
yang tegas menentang rezim anti-demokratis dan represif Orba di bawah
Jendral Suharto. Kenyataan bahwa Sobron adalah anggota pinpinan YSBI
dan majalah KREASI sudah menjelaskan  pandangan  budaya, sejarah dan
politiknya,  yang patriotik dan progresif, membela demokrasi dan HAM.

Pernah seorang sahabatku mengatakan bahwa aku harus menerima Sobron
sebagaimana apa adanya. Sobron bukan orang politik, katanya. Setelah
menelusuri tulisan-tulisan dan wawancara-wawancra yang diberikannya
kepada wartawan lembaga pemberitaan asing maupun Indonesia, aku
meragukan pendapat kawan tadi.

Nyatanya pandangan politik Sobron yang patriotik dan progresif itu,
menunjukkan baha Sobron adalah seorang sastrawan yang sadar politik,
mempunyai pandangan politik yang prinsipil.

*  *  *

Beberapa tahun yang lalu ketika berkunjung ke Jakarta, aku
melihat-lihat buku di Gramedia. Di ruangan yang memamerkan buku-buku
yang 'bestseller' yang 'laris', kulihat ada dua pengarang yang bukunya
dik

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (2)

2007-03-28 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
RAbu, 28 Maret 2007
--
MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (2)
KLARIFIKASI SEJARAH  BONNIE TRIYANA


Berikut ini adalah bagian ke-dua; sambungan  dan bagian terakhir dari
makalah sejarawan muda Bonnie Triyana,  berjudul MELURUSKAN SEJARAH
BERDAMAI DENGAN MASA LALU.
Kami ulangi paragraf terakhir dari bagian pertama  (Kolom Ibrahim Isa,
27 Maret 2007), makalah Bonnie Triyana:
*   *   *
MELURUSKAN SEJARAH BERDAMAI DENGAN MASA LALU (Bagian 2))
Oleh Bonnie Triyana
Serangkaian upaya peng-amnesia-an kolektif dilakukan dalam bentuk
penyeragaman versi sejarah. Peristiwa bersejarah yang seharusnya
diperingati malah diganti dengan peringatan momen sejarah yang
urgensinya tak memiliki koherensi dengan peristiwa sejarah itu
sendiri, semisal peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dinafikan
begitu saja. Sebagai gantinya, Orde Baru memeringati 1 Oktober sebagai
Hari Kesaktian Pancasila. Berbagai pengingkaran fakta sejarah lain
juga dilakukan Orde Baru, misalnya dalam pernyataan bahwa penemu
Pancasila bukan Soekarno melainkan Mohammad Yamin atau pencetus
"Serangan Oemoem 1 Maret 1949" adalah Soeharto, bukan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX.  

Selain melakukan penyeragaman ingatan, sejarah Orde Baru juga sangat
bercorak militeristik. Sejarah versi Orde Baru banyak menuliskan
tentang keberhasilan tentara memadamkan pemberontakan di daerah-daerah
yang terjadi pada kurun tahun 1950-an – 1960-an. Sehingga sejarah yang
ditulis Orde Baru lebih tepat disebut sebagai sejarah operasi militer. 

Sejarah G.30.S. 1965: Dari Monoversi ke Multiversi 

Pada masa Orde Baru, peristiwa Gestok 1965 (Orde Baru menggunakan
istilah G.30.S/PKI) ditulis dari perspektifnya sendiri, yang
menempatkan PKI sebagai aktor utama pembunuhan para jenderal Angkatan
Darat. Monoversi tersebut kemudian direproduksi dalam berbagai bentuk
media doktriner, antara lain film "Penghianatan G.30.S/PKI" arahan
Arifin C. Noor dan materi penataran P4 yang diberikan kepada murid
sekolah hingga pejabat pemerintahan. Fungsinya hanya satu: legitimasi
kekuasaan Soeharto. 

Beberapa versi lain juga muncul, misalnya keterlibatan Soeharto (Ben
Anderson), keterlibatan klik Soekarno dan PKI (Arnold C. Brackman),
konflik internal Angkatan Darat (Harold Crouch) dan keterlibatan CIA
(Peter Dale Scott). Bung Karno memiliki versinya sendiri, yakni
kelihaian unsur Nekolim, oknum-oknum yang "tidak benar,"dan para
pimpinan PKI yang /keblinger/. Versi Bung Karno ini disampaikan dalam
pidato Pelengkap Nawaksara, kemudian kembali dikutip oleh Manai
Sopiaan dalam bukunya "Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak
Terlibat G.30.S/PKI." 

Kini telah banyak korban yang menuliskan kisahnya masing-masing.
Hersri Setiawan, mantan aktivis Lekra menulis "Memoar Pulau Buru",
Haji Ahmadi Moestahal "Dari Gontor ke Pulau Buru," Hasan Raid
"Pergulatan Muslim-Komunis," Kresno Saroso "Dari Salemba ke Pulau
Buru", dan Abdul Latief almarhum "Pledoi Latief: Soeharto Terlibat
G.30.S". Baru-baru ini Djoko Sri Moelyono, seorang korban dari Banten
telah menulis kisahnya dalam "Banten Seabad Setelah Multatuli," naskah
tersebut belum diterbitkan. Sejumlah karya ilmiah, baik skripsi maupun
makalah turut mewarnai versi sejarah peristiwa Gestok 1965. Seluruh
kisah tersebut secara otomatis menjawab sekaligus memertanyakan
kembali keabsahan sejarah Gestok 1965 versi Orde Baru. 

Sejarah G.30.S 1965: Ditulis ulang atau diluruskan? 
Ada perdebatan teoritis di kalangan sejarawan menyangkut bagaimana
memandang sejarah versi Orde Baru, khususnya sejarah G.30.S. 1965.
Istilah "pelurusan sejarah" sendiri sebenarnya masih diperdebatkan
antara Asvi Warman Adam versus Taufik Abdullah. Asvi Warman Adam
cenderung berpendapat bahwa sejarah produk Orde Baru harus
"diluruskan," karena ada beberapa hal yang diputarbalikan oleh
penguasa Orde Baru. Sementara itu Taufik Abdullah berpendapat bahwa
apa yang diyakini oleh Asvi salah adanya, karena fakta sejarah tak ada
yang perlu diluruskan. Menurut Taufik yang perlu dilakukan dalam
sejarah Indonesia adalah "penulisan ulang." 

"Penulisan ulang" sejarah dapat bermakna: /pertama/, yakni penulisan
ulang terhadap suatu peristiwa atas dasar fakta yang sama sekali baru
dan berbeda dari versi sebelumnya. /Kedua/, melakukan tafsir ulang
atas fakta yang sama untuk kemudian menuliskannya dalam versi yang
berbeda dari sebelumnya. Dalam "penulisan ulang," versi baru tidak
menggantikan versi sebelumnya, akan tetapi lebih bersifat
menyandingkannya. Argumentasi ini bersandar pada adagium bahwa setiap
individu atau kelompok, tiada peduli siapa mereka, memiliki hak yang
sama untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat berhak
memutuskan sendiri apa yang harus dibacanya. 

Sedangkan "pelurusan sejarah" adalah penulisan yang bersifat
mengoreksi versi sejarah sebelumnya. Pelurusan

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (1)

2007-03-27 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 27 Maret 2007
--
MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (1)
KLARIFIKASI SEJARAH  BONNIE TRIYANA

Semakin hari semakin dirasakan perlunya,  mendesaknya, masalah sejarah
bangsa kita dijadikan AGENDA TETAP BANGSA!  Suatu Agenda Tetap Bangsa
yang harus dicengkam dan ditangani dengan seksama, sungguh-sungguh dan
jujur, oleh para pakar sejarah dan seluruh masyarakat. Kita tahu bahwa
sejarah suatu bangsa itu menyangkut masalah identitas dan karakter
bangsa itu sendiri. 

Mengapa dikatakan bahwa masalah sejarah harus menjadi agenda tetap
bangsa? Ikutilah argumentasi sbb ini: Tidaklah sesuai dengan karakter
bangsa kita, bila lebih sejuta warganegara sendiri yang tidak
bersalah,  pada tahun-tahun 1965-66-67 telah dibantai penguasa secara
ekstra-judisial. Lalu para korban  tsb dan keluarganya hingga saat ini
masih terus didiskriminasi, dimarginalisi dan masih tetap dianggap
oleh penguasa sebagai 'orang bermasalah'.  Coreng  yang merusak nama
bangsa ini, begitu saja  dimasukkan dalam peti és. Dilupakan begitu
saja.  Seakan-akan bangsa ini sudah 'hilang memori', hilang ingatan
samasekali. Bertanya kita, bolehkan  dibiarkan terus  penguasa secara
sewenang-wenang menulis kebohongan sekitar masalah tsb? 

Itulah nyatanya sikap penguasa, lembaga pengadilannya, kaum elite
politiknya dan cendekiawannya terhadap masalah Pembantaian Masal
Sekitar Peristiwa 1965.  

Suatu kenyatan pahit ialah,  bahwa,  walaupun sudah 9 tahun gerakan
Reformasi dan Demokratisasi menjatuhkan Presiden Suharto; hampir
sepuluh tahun Orba formal  lenyap dari dunia politik, dan sementara
hak-hak demokrasi telah diberlakukan di negeri kita, -  namun
kekuatan Orba yang masih ada di mana-mana, masih punya pengaruh dan
kuasa.  

Maka akibatnya bisa dilihat dan dirasakan. Antara lain, fakta-fakta
sejarah yang direkayasa, diplintir dan dipalsukan oleh Orba. Dan itu
akan tetap jadi soal. Bahkan mengenai kurikulum 2004 yang menjadi 
keputusan pemerintah Megawati, dimentahkan kembali, dibatalkan. 
Dengan keputusan  Kejaksaan Agung, kembalilah dunia pendidikan ke 
kurikulum versi Orba. 'Kebenaran' sejarah versi Orbalah  yang berlaku. 

** *
Sahabatku Bonnie Tryana,  adalah salah seorang sejarawan generasi baru
yang berlawan terhadap  'brainwshing' Orba. Khususnya yang menyangkut
Peristiwa Pembantaian Masal 1965. Bonnie dewasa ini giat meneliti dan
menstudi bahan-bahan sejarah, dalam rangka KLARIFIKASI SEJARAH. Bonnie
tidak menggunakan istilah 'Penulisan Kembali Sejarah' seperti yang
digunakan oleh sejarawan Orba,  Taufik Abdullah.  Taufik Abdullah
beranggapan bahwa,  tidak ada fakta-fakta sejarah (Orba) yang perlu
diluruskan. 

Bonnie juga tidak menggunakan istilah yang dipakai oleh Aswi Adam,
yaitu Pelurusan Sejarah. Taufik Abdullah,  sebagai intelektual Orba
tulen ---  tidak setuju dengan istilah Aswi Adam. Karena,  istilah
Aswi Adam jelas mengungkap bahwa  fakta-fakta sejarah resmi Orba,  a d
a yang perlu diluruskan.

Sesungguhnya pendirian Taufik Abdullah tsb, asing bagi seorang pakar 
sejarah. Taufik Abdullah tak mau 'membuka matanya'  terhadap
fakta-fakta keras tentang Peristiwa 1965, yang begitu banyak dewasa
ini. Baik yang bersumber di dalam negeri, maupun dari luar negeri.
Sikap Taufik Abdullah tsb.,  tidak lain adalah sikap 'burung unta 
yang menyembunyikan kepalanya ke dalam pasir'  terhadap  'fakta-fakta'
  versi Orba,  yang  sarat dengan pemalsuan.. 

Lihat contoh berikut ini: Mengenai janazah 6 jendral dan seorang
perwira yang jadi korban pembunuhan dalam peristiwa G30S, 1965 --- 
Siapa yang tidak tahu,   Taufik Abdullah pun pasti tahu, bahwa menurut
'fakta-fakta' Orba, jenazah-jenazah itu matanya dicungkil dan
kemaluannya dipotong, oleh para pembunuhya. Menurut fakta-fakta Orba
pelaku kebiadaban tsb adalah wanita-wanita Gerwani di Lubang Buaya.
Namun, team forinsic  yang dibentuk yang berwewenang ketika itu, 
menyimpulkan,  bahwa jenazah-jenazah para jendral itu utuh, tak ada
yang dirusak.  Hasil pemeriksasn team forinsic tsbi diperkuat oleh 
hasil studi dan penelitian pakar asing  Dr. Saskia Wirengga. Wirengga
mengungkap bahwa apa yang dikatakan 'kebiadaban' wanita-wanita
Gerwani, adalah rekayasa belaka, dalam rangka Suharto mempersiapkan
pendapat umum untuk melakukan pengejaran dan pembantaian masal
terhadap PKI atau yang diduga PKI.

Contoh lainnya bagaimana Orba merekayasa  'fakta' sejarah: 
'Supersemar', yang adalah Surat Perintah Presiden Sukarno kepada
Jendral Suhato, disulap menjadi 'pelimpahan kekuasaan', atau 'transfer
of authority'. Pemberi perintah itu sendiri, Presiden Sukarno
berkali-kali menegaskan dalam pidatonya sesudah Supersemar, bahwa
Supersemar itu bukan 'transfer of authority'  kepada  Jendral Suharto.
Tetapi penjelasan pemberi Supersemar itu, dianggap angin lalu saja
oleh Orba. Tokh sej

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA -- 'KEUKENHOF', DIKAU SUNGGUH INDAH DAN CANTIK!

2007-03-25 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA
Minggu, 25 Maret 2007
-

'KEUKENHOF', DIKAU SUNGGUH 
INDAH DAN CANTIK!

Tidak berkelebihan kesan banyak orang: Sungguh cantik dan indah
'Keukenhof' itu!! 
Ia  bukan seorang gadis muda belia,  jelita, mempesonakan dan  ayu.
Yang sekali bertemu,  begitu melihat pasti ingin melihatnya lagi.
Perlukah dijelaskan lagi? Bahwa 'Keukenhof' itu adalah sebuah taman
bunga.  Tapi bukan sebarang taman bunga.  'Keukenhof" itu adalah
sebuah 'Taman Bunga Musim Semi'   yang   t e r i n d a h   di dunia
ini. Terindah! Itu 'kan  kata orang Belanda!

Tidak, tidak hanya orang Belanda yang berucap demikian. Orang-orang
asing lainnya, yang pernah mengunjunginya juga berkomentar demikian. 
Termasuk orang seperti aku ini, yang memandang Indonesia sebagai
negeri yang paling cantik dan indah di dunia ini,  namun, . . . . 
melihat Taman Bunga Musim Semi Keukenhof, terus saja jatuh  ' c i n t
a  '  padanya. Dari mata turun ke hati, kata orangtua-tua kita. Apakah
tulisan ini bukan reklame gratis untuk 'Keukenhof', untuk Nederland?
Mungkin saja. Tetapi sesuatu yang indah, pantas dinikmati bersama.
Makin banyak yang menikmatinya, makin banyak yang senang dan gembira,
bukankah itu sesuatu yang baik?

Anda bayangkanlah!  Tidak kurang dari 7.000.000  -   t u j u hj u
t a   ---  bunga Tulip, Krokus, Narsis, Hyacit, Leli dll yang
bermekaran dengan indahnya disitu. Tentu juga  ribuan lagi bunga-bunga
indah  lainnya dari seluruh dunia. Dengan  warna-warni dan bentuk yang
aneka ragam. Sulit mencari kata-kata untuk melukiskan begitu indah dan
begitu menarik serta mencengkam. Tak terbayangkan betapa indahnya.
Juga tidak heran bila tahun lalu (2006), tidak kurang dari 750.000
orang pengunjungnya, 57 000 leibh banyak dari tahun sebelumnya. Dari
pelbagai plosok dunia.

Tak percaya? Dikira tulisanku ini 'asal ngomong' saja, 'asbun'  saja?
  Beginilah! Hanya ada satu cara untuk membuktikannya: Kunjungilah
sendiri 'Taman Bunga Keukenhof'. Memang anjuran ini tampaknya  'hanya'
relevan bagi mereka-mereka yang punya syarat untuk itu. Bagi yang
tinggal di Holland, tentu tidak terlalu berat untuk mengeluarkan
sedikit ongkos (ticket-masuk Euro 13,- per orang dewasa;  umur diatas
65,  Euro 12; dan anak-anak Euro 6,-). Apalagi yang tinggal tidak jauh
dari Lisse, daerah dimana terpampang 32 hektar  lahan  Taman Bunga
Musim Semi terindah di dunia itu. Bila memang hendak mengunjunginya, 
belum terlambat. Baru dibuka tiga hari yang lalu, dan ditutup pada
tanggal 22 Mei 2007.

*   *   *

Ada yang mengatakan bahwa bertamsya melihat taman bunga, itu adalah
untuk orang berpunya, orang kaya.  Bagi orang yang pendapatannya
minim, itu sesuatu yang tidak mungkin. Sesuatu yang lux. Dikatakan
juga bahwa mengenai bunga-bungaan, itu kan bersangkutan dengan masalah
 keindahan. Maka ia adalah  selingan hanya untuk  orang-orang yang
mampu. Kiranya, pendapat yang demikian itu tak benar. 

Menikmati taman bunga yang indah,  kiranya bukan selingan bagi
orang-orang berpunya semata-mata! Benar,  keterbatasan syarat-syarat
ekonomi seseorang,  sering merupakan hunjaman patok-patok  keras
pembatasan-pembatasan kemungkinan dan keleluasaan. Antara lain untuk
bisa bersantai menikmati keindahan yang ada didalam kehidupan-natur 
bumi dan air kita ini. Namun,  juga tak dapat dipungkiri! Bahwa
selama ia masih hidup,  entah lama atau sebentar , manusia itu selain
memerlukan  sandang dan pangan, juga memerlukan dan akan berjuang
untuk memenuhi kebutuhan rokhaniahnya, keperluan jiwanya. 
Keinginannnya akan sesuatu yang indah,  yang menyejukkan hati dan
menenangkan fikiran serta menyegarkan kembali jiwa dan rokhaninya.
Apalagi pada saat-saat  situasi bergejolak tak menentu arahnya.
Lebih-lebih lagi diperlukan penyegaran jiwa!

Keperluan itu bukan saja bagi  manusia modern sekarang ini yang taraf
kebudayaannya sudah lebih tinggi dibandingkan dengan manusia-manusia
zaman nenek-moyang kita.Cobalah dijenguk, langsung atau tidak
langsung, ke dalam  khazanh budaya bangsa-bangsa kuno seperti bangsa
Mesir dan India, Tionghoa dan Persia, bangsa Maya di Amerika Latin,
dan jangan sekali-kali dilupakan juga bangsa kita sendiri, bangsa
Indonesia. Betapa pengetahuan, ilmu dan budaya serta  seni dan
keindahan   itu jalin-berjalin  menjadi suatu kesatuan yang utuh

Jangan pula salah tafsir! Ini bukan berfalsafah. Sekadar mengungkap
kenyataan hidup yang ada.

** *

Semiskin-miskinnya kaum tani di pedesaan kita, sepapa-papanya kaum
buruh di daerah kumuh; semua mengerti indahnya bunga melati. Ataupun
bunga kembang sepatu yang menghiasi banyak jalan-jalan. Bila kita
berziarah ke kuburan sanak saudara ataupun sahabat yang sudah
mendahului, dari  kejauhan sudah tampak pohon Kamboja yang sarat
dengan bunga. Dan di pintu  masuk, anak-anak sudah menawarkan
bunga-bungaan yang dibungkus rapi untuk k

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS & VIEWS

2007-03-21 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA'S  -- SELECTED NEWS & VIEWS
22 March 2007
-
Unique experience and success of EU-ASEAN cooperation
Survey sees rising tide of regiolanalism 
Former members warn against Islamic state 
--

The Nuremberg Declaration 
Opinion and Editorial - March 20, 2007 
The restoration of peace in the once rebellious Aceh, which was
crowned by the democratic election of former separatist activists
Yusuf Irawan and Muhammad Nazar as Aceh governor and vice governor,
respectively, in December, is definitely the most successful example
of cooperation between the European Union (EU) and the Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN) in the last 30 years of their relations. 
The two multilateral organizations succeeded in supervising the peace
agreement between Indonesia and the Free Aceh Movement (GAM), which
was achieved following the devastating tsunami that hit Aceh on Dec.
24, 2004. 
In their declaration after the meeting of foreign ministers of the two
regional groupings in Nuremberg, Germany, last week, they highlighted
the "unique experience and success of EU-ASEAN cooperation, such as
the Aceh Monitoring Mission (AMM), and the importance of drawing
lessons from the AMM in view of enhancing the EU's experience and
strengthening ASEAN's own capacity in crisis management". 
The Aceh success story is a milestone for ASEAN and EU, and it can be
used as a great model for resolving internal conflicts among their
members or conflicts between member states. The readiness of the
Indonesian government to soften its rigid adherence to the
non-interference principle was one of the keys to success in Aceh. 
Apart from ASEAN-EU cooperation, there is also a larger vehicle for
interregional cooperation between the two continents, the Asia-Europe
Meeting (ASEM) mechanism, which accommodates additional members drawn
from Asia, including China, South Korea and Japan. The two forums show
that Asia is not only about regional superpowers China, Japan and
India, but is also about ASEAN, one of world's oldest regional groupings. 
Established on Aug. 8, 1967, ASEAN leaders have committed themselves
to creating the ASEAN free-trade zone by 2015, five years before the
creation of the ASEAN Community in 2020. ASEAN now is discussing an
draft ASEAN charter, prepared by the regional Eminent Persons Group,
to pave the way for the establishment of a credible and sustainable
ASEAN Community. The charter is expected to serve as the community's
constitution. 
To existence of a charter is an absolute prerequisite if ASEAN is to
achieve full and effective regional integration as it would be binding
on all members. To date, ASEAN decisions have always been based on
consensus, which makes the achieving of progress often very slow. 
Several ASEAN members are still reluctant to adopt the charter because
their governments worry that they will have to adopt the universal
values of democracy and human rights. They still love to hide behind
the obsolete non-interference principles in order to maintain their
grips on power. 
For its part, the EU has agreed to share its experiences with ASEAN,
including as regards regional integration and constitutional issues
related to the drafting of the ASEAN Charter. 
ASEAN needs to intensify its cooperation with the EU regarding the
creation of the ASEAN treaty as the EU has vast experience in the
field. The most important thing, however, is the readiness of ASEAN
members to embracing universal democratic values. 
Indonesia has the moral right to champion the creation of the ASEAN
Charter. 
*
Survey sees rising tide of regionalism 
The Jakarta Post, Jakarta
Most Indonesians are willing to die to prevent separatism but at the
same time are exhibiting stronger tendencies toward regionalism, a
recent poll has revealed.
The latest survey conducted by the Indonesian Survey Institute (LSI)
confirmed Tuesday that regional autonomy, which started seven years
ago predominantly to address the problem of separatism, has not solved
the problem of regionalism. 
However, many still think that local autonomy is the best political
solution to many issues, particularly in overcoming poverty. 
Of 1,240 respondents from 33 provinces surveyed between March 5 and
March 15, 74 percent said that they were proud to be Indonesians,
while only 26 percent said they were proud of their local heritage. 
About 86 percent of respondents said they would oppose any
secessionist movement, while 14 percent said they would not object if
certain parts of the country gained independence. 
The LSI concluded that 67 percent of the respondents had a strong
feeling of loyalty toward Indonesia, compared to the 33 percent that
had a weak sense of loyalty. 
"Indonesians are not only nationalist but also patriotic," said Anis
Baswedan, a senior research

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Lawan PELANGGARAN Kejaksaan Agung Atas Hak Informasi

2007-03-18 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 18 Maret 2007

Lawan  PELANGGARAN   Kejaksaan Agung Atas Hak  Informasi Dan 
Kebebasan Ilmu !


Komunitas Sejarah Indonesia Indonesia, sungguh bertindak cepat, sigap
dan berani mengeritik dan menentang, menolak  dan menantang keputusan
sewenang-wenang dan main kuasa Kejaksaan Agung, yang pada tanggal 05
Maret 2007,  telah melarang 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat
SMP dan SMA yang diterbitkan oleh 10 penerbit. Mengenai
langkah-langkah selanjutnya yang akan diambil oleh Komunitas Sejarah
Indonesia, dijelaskan sbb: 
'Pada 17 Maret 2007, para sejarawan, aktivis, guru-guru sejarah dan
individu-individu lain bertemu untuk mendiskusikan tindakan
selanjutnya untuk menanggapi keputusan Kejaksaan Agung tersebut.
Berikut adalah tindakan yang akan dilakukan:
1. menyebarkan petisi untuk menolak keputusan pelarangan buku
pelajaran sejarah kurikulum 2004. 2. membuat press conference pada
tanggal 20 Maret 2007 pk. 12.30 di Hotel Bidakara untuk menyatakan
sikap kita. 
3. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia akan membuat gugatan
resmi terhadap Kejaksaan Agung sebagai institusi yang mengeluarkan
keputusan pelarangan buku-buku sejarah kurikulum 2004. 
Petisi penolakan keputusan pelarangan buku-buku pelajaran sejarah
dengan kurikulum 2004 kami sertakan dalam email ini. Jika anda ingin
turut mendukung petisi tersebut, silakan kirim email ke grace_leksana@
yahoo.com berisi nama lengkap dan institusi yang diwakili (jika ada)
atau profesi anda. Jangan menuliskan data tersebut dalam petisi,
biarkan panitia yang melakukannya. Kami harapkan dukungan anda. 

***

Memang  terhadap tindakan main kuasa Kejaksaan Agung tsb, yang
menangani masalah yang bukan urusannya, yaitu yang menyangkut masalah
pendidikan, kongkritnya masalah kurikulum, harus dilawan dengan tegas
dan konsisten sampai Kejaksaan Agung menarik kembali keputusan
sewenang-wenang tsb.  Tindakan Kejaksaan Agung ini, merupakan suatu
penghinaan terhadap harapan luas masyrakat yang menanti-nantikan
penanganan kongkrit dan tegas dari fihak Kejaksaan Agung  terhadap 
begitu banyak kasus pelanggaran HAM, sejak beridirinya Orba.  Dimulai
dengan Pelanggaran HAM terbesar, pembantaian terhadap rakyat yang
tidak bersalah dalam Peristiwa 1965;  kemudian kasus kekerasan,
perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan dalam  Peristiwa Mei 1998,;
hingga  yang belakangan ini kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Dan
last but least, pelanggaran   k o r u p s i   besar-besaran dan
terbesar yang dilakukan oleh keluarga Cendana dan kroni-kroninya, 
yang masih belum di-'apa-apa'-kan oleh Kejaksaan Agung. Yang
diharapkan oleh masyarakat ialah langkah Kejaksaan Agung berikutnya 
yang positif yang seyogianya akan memberikan  sumbangan terhadap
penegakkan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum. 

Tetapi, dengan tindakannya  sewenang-wenang mencampuri masalah
pendidikan dan kurikulum, yang menyangkut penyebutan atau tidak
menyebut nama PKI dalam teks buku sejarah, Kejaksaan Agung telah
melangkah ke jalan kembali ke kultur ketiadaan hukum, dimana hak-hak
azasi manusia, hak-hak demokrasi, hak memperoleh informasi seluas
mugkin, dilanggar dan diinjak-injak sejadi-jadinya.  Kejaksaan Agung
hendak kembali ke periode gelap dikala yang berkuasa  menjadi penentu,
menjadi wasit,  apa yang benar dan apa yang salah. Kultur dan budaya
serta situasi hukum dan hak azasi seperti itu, adalah kultur, politik
dan hukum rimba yang diciptakan dan dilaksanakan Orba selama lebih
dari 30 tahun. Periode anti-demokrasi,  penyebaran fakta-fakta dan
peristiwa sejarah yang diputarbalikkan, diplintir dan direkayasa
semasa Orba seyogianya telah diakhiri dengan tumbangnya rezim Presiden
Suharto akibat gelora gerakan dan gelombang Reformasi dan Demokrasi. 

Seluruh kekuatan Reformasi dan Demokrasi tidak akan mengizinkan
kekuasaan manapun pasca Reformasi, yang hendak menghancurkan
hasil-hasil gemilang gerakan serta menegakkan kembali masa muram, masa
kebodohan intelektual dan ketiadaan demokrasi zaman Orba.
Oleh karena itu, mari kita sebarluaskan, dukung dan tandatangani
sama-sama Petisi Komunitas Sejarah Indonesia. Di bawah ini adalah teks
lengkap Petisi Komunitas Sejarah Indonesia:

PETISI KOMUNITAS SEJARAH INDONESIA
Latar belakang
Pada masa Orde Baru (dan sebelumnya) telah terjadi rekayasa sejarah
untuk kepentingan penguasa. Setelah Soeharto jatuh tahun 1998, muncul
gugatan terhadap penulisan dan pendidikan sejarah yang terjadi selama
ini. Beberapa peristiwa yang kontroversial seperti lahirnya Pancasila,
Serangan Umum 1 Maret 1949, G30S, Supersemar, dan Integrasi Timor
Timur dipertanyakan kembali oleh masyarakat. Buku-buku yang dilarang
telah dicetak kembali. Biografi dan memoar para korban Orde Baru
terbit secara luas. Sejarah lisan dimanfaatkan untuk mengungkap
kesaksian dari survivor. 

Pendidikan sejarah pun mengalami perubahan. Kurikulum 1994 (direvisi
tahun 1999) yang dianggap terlalu sarat muatan telah diperbaiki dengan
Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kemudian di

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- BENARKAH - KOMNASHAM SETUJU PENGADILAN HAM ?

2007-03-16 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 16 Maret 2007
--
BENARKAH - KOMNASHAM SETUJU PENGADILAN HAM ?
< Atau Baru Janji Saja? > 
Benarkah Komnasham setuju Pengadilan HAM, khusus yang menyangkut kasus
pembantaian 1965? Sudah bisa dijawab langsung. B e l u m! Baru janji
semata!

S.k. 'Cenderawasih Pos', 15 Maret 2007, dalam nada gembira dan
optimis, memberitakan bahwa, Komnas HAM masih jadi pintu harapan
mencari keadilan dalam kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Kesan ini
diperolehnya dari pertemuan sekitar 50 orang korban dan keluarga
korban tragedi 1965 dengan Abdul Hakim Garuda Nusantara, pimpinan
Komnasham. Yang bertemu dengan Abdul Hakim Garuda Nusantara itu 
berasal dari organisasi-organisasi korban, seperti  LPKP 65, LPR KROB
65, dan YKPK 65.

*   *   *

Optimis! Benar sekali! Kita selalu harus otimis. Perjuangan demi
keadilan dan kebenaran tak akan bisa berlangsung dan bertahan lama,
bila tak ada optimisme yang didasarkan atas keyakinan adil dan
benarnya tujuan yang diperjuangkan. Namun, barangkali dewasa ini masih
belum cukup alasan untuk benar-benar optimis bahwa Komnasham akan
memusatkan fikiran pada penanganan masalah ini. Perhatikan berita
('Cenderawasih Pos', berikut ini:
HARUS DIBAWA DULU KE PLENO.'Menanggapi permintaan para korban itu,
Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin K. Susilo dan M.M Billah (komisioner
Komnas HAM) secara pribadi sepakat untuk mengagendakan penyelidikan
pro justisia dalam kasus ini. "Tapi harus dibawa dulu ke pleno supaya
jadi suara Komnas HAM," kata Zoemrotin. Mendapat janji tersebut para
korban berniat datang tiga minggu ke depan (Cenderawsih Pos, 15 Maret
2007). Selanjutnya, 'mendapat janji tsb para korban berniat datang
(lagi ke Komnasham) tiga minggu ke depan. 

** *

Sudah agak lama juga, -- tampak 'sepi-sepi' saja situasi sekitar
pengurusan (oleh yang berwajib) masalah Pelanggaran HAM Terbesar dalam
sejarah bangsa ini . Khususnya yang
bersangkutan dengan masalah:  Rehabilitasi Nama Baik, Hak-Hak
Kewarganegaraan dan Hak-Hak Politik, para korban yang secara
sewenang-wenang dituduh 'terlibat' atau 'berindikasi' dengan G30S,
beserta keluarga mereka, dalam tahun-tahun 1965-'66-'67.

Seyogianya  selalu diingat, bahwa jumlah para korban dan keluarganya 
meliputi 20 juta warganegara yang tak bersalah. Kasus ini akan tetap
merupakan noda dan cemar bagi seluruh bangsa, bila tak  kunjung
ditangani oleh yang berwajib. 

Kiranya janganlah dilupakan bahwa para korban sudah puluhan tahun
lamanya menderita terus hingga saat ini. Penderitan trauma,
penderitaan didiskriminasi, distigmatisasi, se-olah-olah mereka itu
adalah kasta paling bawah masyarakat  seperti di India layaknya: Kasta
'pariah'.

Begitulah kesan yang  kita peroleh – Pengurusan kasus pembantaian
masal pasca G30S, yang dilakukan oleh aparat negara, sudah dilupakan
samasekali. Sudah permanén dimasukkan dalam 'peti-és'. Padahal pada
setiap kesempatan para pemimpin dan elite bicara soal HAM dan
menegakkan negara hukum RI, memberlakukan supermasi hukum. 

Bisakah dikatakan negara ini negara hukum? Bila yang bertanggungjawab
dalam pembantaian masal di Purwodadi, Jawa Tengah, di Jawa Timur,
Bali, Sumatra, Sulawes dan tempat-tempat lain; yang bertanggungjawab
atas pembuangan orang-orang tak besalah ke pulau pengasingan di
P.Buru, yang bertanggungjawab terhadap 'penghilangan' begitu banyak
warganegara dalam pelbagai peristiwa, misalnya Peristiwa Mei 1998,
kasus dibunuhnya pejuang HAM, Munir,  untuk menyebut satu contoh saja,
 masih bebas berkeliaran. Sedangkan  para korban  dan keluarga
mereka, masih dalam keadaan trauma dan menderita.

*   *   *

Di lain fihak, kita juga sadar, bahwa sejarah berbagai negeri telah
memberikan pelajaran berharga kepada kita. Bahwa, setiap kejahatan
terhadap kemanusiaan, sesuatu pelanggaran hukum yang merupakan 'Crime
Against Humanity', seperti halnya pembantaian masal terhadap
warganegera yang tak bersalah, tanpa melalui proses hukum apapun,
suatu 'genosida politik' seperti yang pernah terjadi dengan
orang-orang yang ditangkap, dibuang, dibunuh, dihilangkan, dan
dibantai, pada tahun-tahun 1965 selanjutnya, --- betapa besarpun usaha
untuk menutupinya, menyembunyikannya, memeti-éskannya, ternyata tidak
berhasil. Tigapuluh dua tahun kekuasaan rezim Orba berusaha memendam
kejahatan terhadap kemanisaan tsb, akhirnya mulai terbongkar juga. Di
luarnegeri sudah pada tahun-tahun pembantaian itu, sejak 1965, masalah
tsb sudah menarik para peneliti, penstudi, pencinta HAM dan pers luar
negeri. Sejak jatunya Suharto pengungkapan kasus ini  di dalam negeri
semakin giat dilakukan oleh para pejuang HAM dan Demokrasi. 

*   *   *

Tentu, siapa yang tidak menyambut bahwa berangsur-angsur MULAI
ditangani kasus korupsi Orba, yang menyangkut mantan Presiden Suharto,
putranya Tommy, Yayasan Supersemar, dan pelbagai yayasan yang
didirikan oleh keluarga Cendana, yan

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA Berbagi Cerita -- LAGI Tentang Tokoh Langka H. PONCKE PRINCEN

2007-03-14 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA Berbagi Cerita
Rabu, 14 Maret 2007
--
LAGI Tentang Tokoh Langka H. PONCKE PRINCEN

Belum lama,  02 Maret 2007, dalam tulisanku 'Berkunjung ke Prof. Dr
Pluvier' kusebut nama Haji Poncke Princen, seorang aktivis HAM di
Indonesia, mantan anggota Tentara Kerajaan Belanda (KL) yang ambil
bagian dalam perang agresi Belanda terhadap RI. Kemudian, menuruti
rasa keadilan dan hati nuraninya, ia mengubah pendirian dan sikap yang
dianutnya selama itu sebagai anggota Tentara Kerajaan Belanda terhadap
Republik Indonesia. Ia berfihak pada kita, pada bangsa Indonesia yang
sedang memperjuangkan kemerdekaan melawan Belanda yang hendak kembali
sebagai kolonisator Indoneisa, seperti pada periode sebelum Perang
Dunia II. Nama H. Poncke Princen kusebut teristimewa dalam rangka
terungkapnya pembunuhan masal di Purwodadi yang dilakukan oleh aparat
pada periode pasca G30S (dimulai 1965).
Kemudian dalam tulisan-tulisanku berikutnya, i.e.: 'Purwodadi,
Purwodadi . . . (1) – 08 Maret; 'Purwodadi, Purwodadi . . . (2) – 09
Maret; dan tulisan 'Sudahkah Anda Berkunjung ke Musium Multatuli?' -
12 Maret; kusebut lagi nama H. Poncke Princen. Nama tokoh H. Ponce
Princen, warganegara Indonesia asal Belanda, memancing tanggapan dan
komentar pembaca. Antara lain dari Dr Aswi Adam, Pak Husein (yang
memberikan fakta-fakta baru tentang Pincen),  dan MZ dari Jakarta. 
Yang kusiarkan (ulang) kali ini, adalah tanggapan yang diberikan oleh
sahabatku WILSON. Tulisan Wilson itu disiarkan di s.k. 'Sinar
Harapan', 02 Maret 2003, untuk mengenang tokoh langka H. Poncke
Princen. Wilson terutama menyoroti H. Poncke Princen sebagai aktivis
dan pejuang konsisten Hak-hak Azasi Manusi dan demokrasi di Indonesia.
Wilson mengirimkan tulisannya kepadaku, dalam rangka  tanggapan atas
suratku yang kukirimkan juga kepada Aswi Adam, Pak Husein dan beberapa
kawan lainnya, sekitar tokoh  H. Poncke Prinsen, sbb:
13 MARET 2007 

SEKITAR HAJI PONCKE PRINCEN - AKTIVIS/PEJUANG HAM, dll 
---
Bung Aswi Adam dan Pak Husein y.b., 

Maaf baru sekarang ini saya berreaksi terhadap tanggapan mengenai H.
Poncke Princen. Princen memang adalah seorang tokoh unik dalam
hubungan Indonesia-Belanda. Bagi kita Pincen adalah peserta pejuang
kemerdekaan Indonesia, yang semula berada di posisi yang berlawanan. 

Bagi negara Belanda, Poncke Princen tetap seorang 'desertir', bahkan
'pengkhianat', karena 'menyebrang'  lalu ikut aktif dalam perang kemerdekaan Indonesia melawan
Belanda. 

Bagaimana seharusnya SEJARAH menilai dan memperlakukannya. 
Bagaimana Bung Aswi dan Pak Husein? Apakah ilmu sejarah sudah punya
patron dalam menilai tokoh-tokoh seperti itu. Dalam hubungan
Indonesia-Belanda, masih ada tokoh-tokoh lainnya, seperti Multatuli.
Pegawai BB Belanda, seorang asisten residen Lebak, yang mengeritik,
memprotes kemudian berontak terhadap kebijakan rezim kolonial Hindia
Belanda. Ia kemudian dipecat dari jabatan. Bagi Indonesia, ia seorang
pembela rakyat miskin dan hatinya ada pada penduduk Lebak yang
tertindas dan diperas habis-habisan. 

Tapi, masyarakat Belanda yang maju, juga lingkungan luas, sampai
sekarang memperlakukan, menilai Multatuli sebagai sastrawan dan
humanis besar Belanda. Musiumnya ada di Amsterdam. Kemarin saya
menulis tentang Musium Multatuli. Jadi Multatuli adalah tokoh
kebanggaan Belanda, sekarang ini. 

Ada lagi tokoh seperti mantan Brigjen Artileri Kerajaan Belanda, B.
Bouman. Ia masih tetap sebagai pensiunan Tentara Kerajaan Belanda.
Tetapi pemahamannya mengenai perang kemerdekaan Indonesia bertentangan
dengan pemahaman resmi kerajaan Belanda. 

Tokoh yang agak sama dengan H. Poncke Princen adalah Piet van
Staveren, seorang anggota KL, yang semasa perang kemerdekaan
Indonesia, nyeberang ke fihak RI. Kemudian namanya dikenal  sebagai
Pitoyo. Menurut berita ia aktif di media propaganda RI dalam perang
kemerdekaan kita. 

Tanggapan saya di atas tsb sekadar sebagai input bagi para pakar
sejarah kita, untuk difikirkan, dan diperlakukan sebagaimana
semestinya, obyektif dan adil. 

Terima kasih atas tanggapan dan pengkoreksian oleh Pak Husein mengenai
fakta-fakta sekitar Poncke Princen. 

IBRAHIM ISA 
***
Sahabatku WILSON, dekat dengan H. Ponce Princen. Ketika Wilson bebas
dari penjara Orba, orang pertama yang menilpun Wilson menyambut
pembabasannya itu adalah H.Poncke Princen. Artikel di bawah ini
ditulisnya 4 tahun yang lalu. Tulisn Wilson itu menyentuh dan
menggugah serta mengungkap hal-hal yang mungkin banyak orang belum
tahu. Maka kusiarkan ulang. Terimakasih Wilson! Juga harap maafkan,
karena siaran ini kusiarkan ulang, tanpa terlebih dahulu
memberitahukannya.
Inilah dia: 
PONCKE PRINCEN ADALAH MULTATULI, SEEVLIET, DAN DOUWES DEKKER 
Oleh : Wilson 
: 
-- Pak Poncke, juga dekat dengan banyak para aktivis gerakan demokrasi
1990-an seperti saya. Pada tahun 1994-1996, kebetulan Pusat Perjuangan
Buruh Indonesi

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA Dari BIJLMER -- SUDAHKAH KE MUSIUM MULTATULI?

2007-03-12 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA Dari BIJLMER
Senin, 12  Maret   2007

Sudahkah Anda Berkunjung 
Ke Musium   'MULTATULI' ?


Pertanyaanku itu relevan untuk orang-orang Indonesia yang tinggal,
sedang  studi di Belanda, atau pas sedang berkunjung di Belanda.
Mengingat arti penting MULTATULI dalam sejarah Belanda-Indonesia.
Multatuli  adalah suatu 'link', suatu 'penghubung' antara Belanda dan
Indonesia. Suatu 'link' yang punya arti mendalam dalam hubungan dua
negeri dan dua bangsa. Hubungan solidaritas dan  persahabatan!

Pada awal  musim semi ini,  hari Minggu tanggal 11 Maret 2007 kemarin,
  cuacanya  memang luar biasa  indah!  Kemarin itu dengan megah dan
ramahnya  sang Surya menampakkan diri, dan hampir sehari penuh
melimpahkan kehangatannya ke bumi negeri dingin ini. Sehingga terasa
kehangatan musim semi. Orang pada keluar. Jalan-jalan di taman-taman,
bersepeda, atau duduk-duduk berjemur di beranda muka cafe,  sambil
minum kopi dan teh. Atau nge--bir!  Angin sejuk sepoi-sepoi basa yang
bertiup tak dihiraukan lagi. Pada cuaca yang indahnya di musim semi
seperti ini, siapa pula yang ingin tinggal di rumah saja. 

***

Berangkatlah kami berdua saja, aku bersama isriku, Murti, ke suatu
tempat di Korsjespoortsteeg, No. 20, yang letaknya di antara Singel
dan Herengracht, Amsterdam Centraal.  Gedung nomor 20 di lorong yang
khas Amsterdam itu, adalah MUSIUM MULTATULI.

Sudah lebih dari 20 tahun kami sekaeuarga bermukim di Amsterdam. Sejak
mula jadi penduduk ibu kota ini,  ingin sekali aku, dan berrencana
berkunjung ke Musium Multatuli. Ingin tahu kayak apa sih, yang disebut
Musium Multatuli itu. Putri sulung kami Tiwi, pernah kuajak untuk
sama-sama ke Musium Multatuli. Ia  menyambut dengan gairah dan
antusias. Tetapi entah mengapa dari tunda ke tunda lagi,  sehingga 20
tahun berlalu, Musium  Multatuli itu masih saja belum dikunjungi. 

Baru kemarin siang  tadi itulah, didorong pula oleh cuaca indah, maka
 terlaksanalah idam-idaman selama ini. Seorang Meneer yang masih muda
dan punya cukup pengetahuan tentang Multatuli menyambut kami di pintu
masuk. Ketika sedang mengisi buku tamu, datang lagi sepasang muda-mudi
 Londo  Bulé. Rupanya di kalangan muda-mudi Belanda tidak kurang
perhatian terhadap Multatuli. Ternyta mereka memang sedang studi sejarah. 

Bicara soal perhatian 'masyarakat suka-baca-buku' di   Belanda, baru
saja kudengar  berita, bahwa melalui suatu angket yang diadakan dalam
rangka PEKAN BUKU 2007 , ternyata buku Multatuli  'MAX HAVELAAR', yang
ditulis oleh novelisnya, Eduard Douwes Dekker lebih 150 th yang lalu,
menduduki perangkat ketiga sebagai novel terbaik. Nomor satu ditempati
oleh novelis top  Belanda dewasa ini, Harry Mulisch,  dengan bukunya
'De Ontdekking van de Hemel' <'The Discovery of Heaven'>. Mulisch juga
adalah penulis dari roman terkenal  "De Aanslag" <'The Assault'>. Yang
mengisahkan  akibat yang diderita oleh suatu keluarga Belanda, pada
zaman pendudukan Jerman Hitler. Karena dekat rumahnya ada pengkhianat
anték Jerman yang ditembak mati oleh  kaum gerilyawanperlawanan
bawah tanah.  Buku nomor dua terbaik diraih oleh Kader Abdollah
(Penulis Belanda asal Iran), dengan bukunya 'Het Huis v.d. Moskee'
<'Rumah Mesjid'> .

***  

Gedung Musium Multatuli itu  sungguh kecil. Amat kecil dan sederhana
sekali. Hanya  terdiri dari dua tingkat dan  masih ada satu ruangan
lagi di bawah tanah. Melihat gedung  sekecil itu untuk manusia  yang 
begitu besar artinya  di dalam sejarah Belanda maupun sejarah 'mantan'
koloni Belanda,   ---  Indonesia ---  yang sekarang sudah merdeka,  
terus terang muncul perasaan sedih dan tak énak    Aku fikir,
bagaimana Belanda ini, untuk seorang manusia begitu besar seperti
Eduard Douwes Dekker yang membikin sejarah dan bersejarah, kok  cuma
sebegitu saja perhatian yang berwewenang di Belanda, khususnya
Amsterdam. Tambah  lagi ngenes hatiku, ketika mendengar dari  Meneer
yang sedang 'dinas'  di musium itu, bahwa Kotapraja Amsterdam tidak
lagi memberikan subsidi untuk Musium Multatuli. Dulu, kata Meneer, 
kami dapat subsidi. Sekarang tidak lagi. Terlalu, .  .  .  
schandalig, kataku dalam bahasa  Belanda. Ah, tak  jadi apa,  kata
Meneer. Kami berdikari, kok. Disampaikannya juga bahwa pemerintah
hermaksud membeli gedung itu, entah apa yang hendak dibangun di situ.
Yang terang, berarti Musium Multatuli itu harus pindah. Padahal itu
gedung bersejarah, TEMPAT KELAHIRAN MULTATULI <02 Maret 1820 -  19 Fe-
bruari 1887>.  Keruan saja 'Perhimpunan Multatuli', suatu perkumpulan
swasta pencinta Multatuli menolak dengan tegas. Bravo!

Betapapun,  hatiku lega dan puas. Karena telah berkunjung ke tempat
kelahiran seorang penulis Belanda, yang punya arti besar dalam sejarah
kebangkitan dan kesadaran bangsa Indonesia. Tidak kebetulan pula
bahwa,  salah seor

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -- Purwodadi, Purwodadi . . . . . (2)

2007-03-09 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM  ISA -- BERBAGI CERITA
Jum'at, 09 Maret 2007
-

Purwodadi, Purwodadi . . . . . (2)
< BONNIE TRIYANA:  'Padamnya Lentera Merah' >

Setelah cakap-cakap dengan sejarawan muda kita Bonnie Triyana di rumah
Pak Min, aku menghubunginya lagi. Kuajukan beberapa pertanyaan
sehubungan dengan pertemuan Sabtu pekan yang lalu itu. Dari komunikasi
kami tsb,  Bonnie Triyana mengrimkan makalahnya sekitar  Puwodadi. Aku
merasa mendapat 'durian runtuh'  setelah membaca makalah Bonnie tsb. 

Kukatakan 'mendapat durian runtuh', karena, yang ditulis oleh Bonnie
Triyana adalah suatu langkah serius dan terrencana dalam rangka
seperti yang ia katakan sendiri .  .  .  .   KLARIFIKASI SEJARAH. 
Bonnie memilih istilah 'Klarifikasi Sejarah',  ketimbang istilah
PENULISAN ULANG  SEJARAH,  seperti yang dirumuskan oleh
sejarawan/peneliti Taufik Abdullah .  Sebab, kata Bonnie, kalau sekadar
ditulis kembali, sedangkan fakta-faktanya tetap fakta yang disajikan
oleh Orba ---  yaitu pemelintiran fakta-fakta  - seperti dalam  kasus
'ENAM JAM DI JOGJA' , dan BUNG KARNO yang peranannya dalam menggali
dan merumuskan Pancasila,  oleh sejarawan Orba disulap menjadi 
peranan MOH YAMIN  SEBAGAI PENGGALI PANCASILA. Siapa bisa disalahkan 
 bila mengatakan bahwa apa yang disuguhkan sebagai 'fakta sejarah'
oleh Orba,  yang dimamah-biak oleh sebagian besar  sejarawan  Orba,
adalah 'fakta-fatka sejarah'  yang dipelintir, dipalsu  dan direkayasa. 
***
Menarik juga apa yang ditulis oleh 'Tokoh Indonesia.Com', 09 Maret
2007,  tentang  pandangan sejarawan/peneliti Taufik Abdullah, mengenai
 peranan kaum intelektual, masa Orde Baru. Dikatakan bahwa,  di mata
Taufik Abdullah, masa 1966-1974 merupakan periode kreatif-produktif
bagi kaum intelektual. Dalam periode itu berbagai masalah strategi
pembangunan dibicarakan. Demikian Taufik Abdullah menurut 'Tokoh
Indonesia.Com'. Pembangunan intelektual?  . . . . . .Apakah tidak
lebih tepat untuk mengatakan bahwa pada masa itu, adalah masa 
dimulainya 'pembodohan'  intelektual Indonesia. Khususnya terhadap
sejarah bangsanya sendiri. Sepenuhnya versi dan rekayasa penguasa Orba
yang dianggap sebagai kebenaran tunggal. 
Cobalah baca sendiri  apa yang ditulis oleh kaum intelektual sejarah
'kita' pada masa-masa 1966-1974, khusus mengenai fakta-fakta sejarah
sekitar G30S, pembunuhan 6 jendral dan kemudian apa yang diatur
kemudian dilaksanakan oleh penguasa, yaitu, mulai 1965 dan tahun-tahun
berikutnya,  -  pembantaian masal terhadap rakyat yang tak
bersalah atas tuduhan PKI atau simpatisan PKI. 
Kalau bukan seorang Haji Princen yang mengungkap pelanggaran HAM
besar, dengan pembunuhan masal di Purwodadi , ---
 mana ada intelektual sejarah 'kita'  yang punya selera atau nyali
untuk berani mengadakan riset , penelitian  dan pengungkapan mengenai
fakta-fakta sejarah tsb. Atau mengenai 'Supersemar' .  Oleh Jendral
Suharto disulap menjadi 'tranfer of authority'.  Oleh  mesin
propaganda' Orba disebut  'pelimpahan kekuasaan'  dari Presiden
Sukarno kepada Jendral Suharto. Meskipun dalam pidato-pidatonya dalam
periode itu Presiden Sukarno berulang kali menyatakan bahwa
'Supersemar'  bukan '  pelimpahan kekuasaan'  kepada Jendral Suharto,
tetapi,    adakah kaum 'intelektual (sejarawan) kita'  ketika itu,
 bertindak seperti dikatakan oleh Taufik Abdullah,  ada dalam periode
'kreatif-produktif?? 

Kalau hendak  berbuat seperti kata orang Inggris, 'call a spade a
spade' , artinya  'katakanlah apa adanya' , maka masa itu, adalah masa
ketika  kebanyakan kaum intelektual  (sejarah/politik) kita 'tiarap' 
terhadap fakta-fakta sejarah yang keras sekitar Peristiwa 1965. Mereka
tidak lain hanyalah   n g e g o n g i saja  apa yang dimamahkan
oleh  penguasa untuk mereka. Mereka  mengikuti saja versi dan
pemalsuan sejarah oleh penguasa.  Mereka dengan gairah ikut menabuh
genderang  yang memaklumkan kepalsuan sebagai kebenaran mutlak dan
satu-satunya.
*   *   *

Maka betullah  kesimpulan Bonnie Triyana, bahwa, sebaiknya digunakan
istilah KLARIFIKASI SEJARAH.  Dalam pengertian ini MENGKLARIFIKASI 
fakta-fakta sejarah yang direkayasa dan diplintir oleh para sejarawan
dan propagandis Orba. Artinya mengkoreksi, melempangkan yang dipalsu,
yang dibengkokkan.

Hendak mengetahui apa  konon yang menggugah Bonnie Triyana mengadakan
penelitisan sejarah? Inilah penjelasannya:

'Saya tergugah  untuk meneliti perihal ini karena sejarah tahun 1965,
khususnya pasca pembunuhan 6 jenderal dan 1 perwira pertama AD jarang
disebut/ditulis. 

'Yang selalu  dibesar-besarkan  adalah peristiwa 1Oktober  1965, 
sedangkan  pembunuhan terhadap ratusan ribu bahkan  jutaan rakyat yang
tak bersalah di berbagai daerah tak pernah ditulis. Menimpakkan
kesalahan pada oran

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -- PURWODADI, PURWODADI . . . . . (1)

2007-03-08 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA --  BERBAGI CERITA

Kemis , 08 Maret 2007

PURWODADI, PURWODADI . . . . . (1)


Ruang-tamu yang memang tidak telalu besar itu penuh. Kukira ada
sekitar 40-an yang berdesak-desak, sampai membeludak ke dapur dan
lorong-kecil dari pintu masuk menuju dapur.  Keruan saja beberapa 
mahasiswi, poostgraduate-studies yang sedang belajar di Universiteit
Leiden, terpaksa pada duduk di lantai. 

Diantara para mahasiswa itu, terdapat  sejumlah 12 orang
'post-graduates'  yang belum lama sampai di Belanda. Diantaranya ada 3
perempuan. Tiga mahasiswi perempuan itu semua ber-jilbab. Mereka  akan
mengggeluti ISLAMIC STUDIES di Universitas Leiden. Bayangkan! Belajar
Islamic Studies di negeri Belanda. Secara tak terbantahkan ini
menunjukkan bahwa generasi muda kita, tidak berpurbasangka pada negeri
Belanda. . Jauh-jauh datang dari
Indonesia, mereka dengan antusias menuntut Islamic Studies di sebuah
negeri yang mayoritas penduduknya Kristen. Harus dicatat dan
diperhatikan, karena ini adalah  suatu sikap belajar yang
berlapangdada. Bukankah Nabi Muhammad  SAW  pernah mengajarkan demi
menuntut ilmu pergilah  ke Tiongkok sekalipun? 

Begitu besar perhatian generasi muda kita dan yang sudah gaek-gaek,
sehingga  memerlukan berkunjung kerumah Mintardjo,  Korenbloemlaan 59,
Oestgeest, siang Sabtu yang lalu itu. Bukan main kegairahan generasi
muda untuk bertukar fikiran dengan wartawan dan sejarawan muda Bonnie
Triyana. < --  Ralat atas tulisanku  yang lalu. Aku salah menulis nama
sejarawan muda kita itu. Seharusnya ditulis : BONNIE TRIYANA. 
Pekerjaannya, yang benar adalah sebagai wartawan dari  s.k dan tabloid
'JURNAL NASIONAL', bukan 'Jurnal Indonesia'. Koreksi berikutnya, 
Bonnie adalah tamatan UNDIP dan bukan tamatan UNPAD. Dengan demikian
kesalahan pada tulisan  yang lalu mengenai Bonnie sudah diralat>.

Biasanya, bila ada  'kumpul-kumpul' di rumah Mintardjo, aku datang
dengan kendaraan yang sopirnya . . . . Bulé (Londo, dan ganti-ganti.
Maklumlah itu kendaraan umum, 'openbaar vervoer' kata orang Belanda).
Memang,  di Belanda,  demi mengurangi polusi atas udara,  penduduk
dianjurkan untuk menggunakan kendaraan umum. Kali ini aku 'nunut'  
Soelardjo dari YSBI, karena kebetulan ia  juga hendak ke
Korenbloemlaan 59 .Dan . . . . ini penting. Ia punya mobil dan
mengajak juga Chalik Hamid, juga dari YSBI. Dengan demikian kami
bertiga berkendaraan mobil ke tempat tujuan bersama.

*  *  *

Tema pembicaraan Sabtu kemarin di rumah Mintardjo, Korenbloemlaan 59,
Oestgeest-Leiden itu, adalah  KASUS PURWODADI !!!  Puwodadi yang  oleh
orang luar Jawa, apalagi dunia internasional, jarang sekali bahkan
tidak pernah didengar nama kota  itu sebelumnya. Suatu ketika, dalam
'sekejap' mata,  Purwodadi   menjadi 'breaking news'. Tidak bisa lain.
Karena yang diberitakan adalah masalah pembantaian  masal yang
dilakukan oleh penguasa, oleh  kesatuan-kesatuan tertentu TNI.
Korbannya adalah   penduduk Purwodadi yang patuh hukum,  setia pada
Republik Indonesia dan setia kepada Presiden Sukarno. 'Kesalahan' 
mereka satu-satunya, ialah karena mereka,   menuruti keyakinan
politiknya, kebanyakan  adalah anggota-anggota PKI atau simpatisan
PKI. Prof Pluvier, seorang Indonesianis berbangsa Belanda,  ketika
bicara soal ini, berkali-kali mengulangi bahwa diantara para korban
juga terdapat  orang-orang Kristen. 

APA YANG TERJADI DI  PURWODADI? 
Apa sebabnya  penduduk yang tak bersalah itu dibantai oleh aparat
penguasa? Siapa algojo-pelakunya, dan siapa pula korban-korbannya.
Mengapa sampai sekarang  soal itu oleh  pengadilan, pemerintah,
anggota-anggota DPR/MPR,  parpol-parpol yang mencantumkan  masalah HAM
di dalam programnya, yang berjanji dan bersumpah hendak memberlakukan
HAM di Indonesia, yang ikut mendirikan KOMNASHAM, yang memasukkan atau
menegaskan fasal-fasal HAM dalam UUD-RI yang diamandamen,    
mengapa bungkam seribu bahasa? 

Mengapa kasus Purwodadi dipeti-éskan? Apakah hati nurani mereka sudah
pada  b e k usemuanya? Inilah celakanya! Begitu masalah ini
diajukan ada saja dalih dan alasan yang diajukan untuk kembali
mempeti-eskannya. Sehingga salah seorang tokoh dari Human-Rights Watch
Asia, pernah menyatakan bahwa, masalah 'pembantaian masal' yang
terjadi di Indonesia pada tahun-tahun 1965-1966-1967  dst,  layaknya
seperti seekor mammut (gajah raksasa) yang terpendam dalam timbunan és
dan salju tebal, sehingga tak terjamah samasekali. 

Atau tjika tokh ada jawaban yang diberikan,  maka  yang sering kita
dapati adalah  tanggapan sbb: Aaakh,   masalah itu 'kan sudah lama
sekali terjadinya. Fakta-faktanya sulit untuk dicari lagi, dsb dsb. 

Atau, yang lebih gawat lagi ialah kejadian berikut ini:     Ketika
sebuah delegasi  Pakorba, terdiri dari a.l. Ir Setiadi dan dr
Ciptaning, sekembalinya dari sidang Komisi Hak-Hak Azasi Manusia PBB,
di Jenewa, Swiss,  m

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Separo Abad 'Ghana-nya Nkrumah'

2007-03-06 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 06 Maret 2007.

Separo Abad 'Ghana-nya Nkrumah'
<06  Maret 1957 – 06 Maret 2007>

Rakyat Ghana hari ini, 6 Maret 2007,   -- bahkan sejak tadi malam --,
berpesta ria,  membakar mercon, menabuh genderang, mendengungkan musik
nasional, menari-nari,  parade militer, serta mengibarkan dan
melambai-lambaikan bendera nasional kebanggaan Ghana:  Merah  -- 
Kuning -- Hijau, dengan Bintang Hitam ditengah-tengahnya. Pesta
Nasional itu masih berlangsung terus dengan riangnya. Katanya akan
berlangsung beberapa  hari.

Beralasankah bangsa Ghana merayakan Ultah Ke-50 Kemerdekaannya secara
demikian besar-besaran dan meriah? Jawabnya kiranya tidak ada lain:
SANGAT BERALASAN!  Secara umum warganegara Ghana, menganggap bahwa
perayaan nasional ini, memperkokoh persatuan bangsa, dan mengembangkan
serta memperdalam lebih lanjut kesedaraan berbangsa.  Ghana bukan saja
bisa survive dan mulai menoto kembali ekonomi negeri, dsb. Ghana juga
telah memulihkan kembali kehidupan demokratis setelah  lebih dari
duapuluh tahun lamanya hak-hak demokrasi bagi rakyat Ghana dipasung
oleh pelbagai rezim militer. Kemenangan demokrasi ini adalah hasil
perjuangan susah payah dan jangka lama.Sementara pengeritisi nyeletuk,
mengatakan bahwa ongkos 20 juta USD merupakan pengeluaran yang terlalu
besar untuk pesta itu. Tetapi suasana umum,  rakyat biasa merasa pada
tempatnya dan bolehlah sekali-sekali mengeluarkan ongkos demikian
besarnya untuk pesta nasional tsb. Tidak kurang dari enam kepala
negara dan pemerintahan Afrika yang diundang ikut menyemarakkan
suasana perayaan nasional. Juga  penyanyi Afro-Amerika yang terkenal
Stevie Wander  dan  mantan pemain bola ulung dunia dari Brazil, Pele,
 diundang datang hadir pada pesta  nasional Ghana tsb

*   *   *

Terlalu penting, dalam pengertian sejarah,  lebih-lebih lagi  penting
dalam arti pendidikan bagi generasi muda, untuk membiarkan  begitu
saja berlalu, hari  lahirnya Ghana Merdeka  limapuluh tahun yang lalu.
Limapuluh tahun yang lalu,  yaitu pada tanggal 06 Maret 1957, Kwame
Nkrumah memproklamasikan kemerdekaan Ghana di ibukota Accra. Nama yang
diberikan oleh orang asing untuk Ghana, yaitu Gold Cost, diubah
menjadi Ghana. 

Mungkin akan  ada  yang akan berkomentar: Mengapa  dikatakan
'Ghana-nya Nkrumah'? Tentu, Ghana bukan punya Nkrumah pribadi! Ghana
adalah milik rakyatnya yang pada  waktu itu (1957) berjumlah 7,1 juta
 . Kemerdekaan Ghana
limapuluhtahun yang lalu adalah berkat perjuangan panjang dan susah
payah,  dengan mencucurkan keringat dan darah dari seluruh rakyat
Ghana. Tetapi malang bagi rakyat Ghana, seperti  yang sering terjadi
dalam  lika-likunya perjuangan kemerdekaan yang rumit dan pelik, 
Ghana yang  baru merdeka itu,  suatu ketika berakhir dengan suatu bencana.
 Kaum reaksioner dalam negeri melalui suatu kup militer (1966) dengan
keterlibatan  aktif CIA, mengubah Ghana yang merdeka dan berdaulat
menjadi suatu negeri yang membuntut kekuasaan asiang, yang bergantung
pada luarnegeri untuk kelanjutan rezimnya. Suatu peristiwa yang sering
terjadi pada periode  itu,  ketika  masing-masing blok, terutama AS
dimana-mana mengusahakan agar rezim yang berkuasa memihak Barat dalam
pertarungan 'Perang Dingin' ketika itu. 
***
Kusebut  'Ghana-nya Nkrumah', tentu ada maksudnya. Selain untuk
membedakan Nkrumah dengan penguasa diktator  militer Jerry Rawlings,
yang berkuasa selama duapuluh tahun melalui suatu kup (yang kemudian
terjadi), ---  maksudnya menyebut 'Ghana-nya Nkrumah',  adalah untuk
mengenangkan jasa-jasa Nkrumah sebagai pemimpin utama perjuangan
kemerdekaan bangsa Gold Cost (nama ketika itu),  yang berhasil membawa
rakyatnya ke pintu gerbang kemerdekaan nasional. Kwame Nkrumah adalah
juga bapak bangsa Ghana. Ia dikenal oleh rakyatnya sebagai OSAGYEFO,
Bapak Bangsa.

Dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia politik: Tak ada gading
yang tak retak, juga Nkrumah punya kekurangan-kekurangannya. Salah
satu kekurangan serius Nkrumah ialah, bahwa ia menerima kedudukan
untuk menjadi 'Presiden seumur hidup'. Tambah lagi kesalahan berat
berikutnya yang dibuat Nkrumah, yaitu menjadikan Ghana   sebagai
'Negara Satu Partai' . Berarti hanya  Convention People's Party,
parpol yang berkuasa, yang boleh eksis . Artinya Nkrumah tak
membolehkan adanya partai lain selain partainya sendiri  yang
berkuasa. Untuk tindakannya yang anti-demokratis itu, diberikan
pelbagai  alasan, seperti demi persatuan nasional yang kompak dalam
perjuangan melawan kekuatan retrogresif yang disokong oleh Barat, dsb.
Dengan demikian Nkrumah mulai menggerowoti hak-hak demokrasi yang ia
sendiri dulu ikut memperjuangkannya melawan kolonialisme Inggris.

Namun,   --  kekurangan-kekurangan pada  Nkrumah itu tidak
sedikitpun mengurangi jasa-jasanya terhadap tanah air dan bangsanya.
Tidak mengurangi pengaruh dan pamornya sebagai kampiun perjuangan
melawan kolonialisme. Sebagai seorang nasionalis progresif, Nkruma

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA -- Berkunjung Ke Rumah Prof. Dr Jan PLUVIER

2007-03-02 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA
Jum'at,  02 Maret 2007

Berkunjung Ke  Rumah Prof. Dr Jan PLUVIER
  

Kalau bukan karena  kekerasan hati Boni Triyana dan  kesabaran
sahabatku Gogol dan kendaraan mobil kawanku Suwarto, memang tak akan
bisa  terjadi pertemuan dengan Prof. Dr  Jan Meinhard Pluvier, 
Indonesianis Belanda ternama., yang juga duduk di pimpinan Wertheim
Foundation. 

Sebenarnya sudah lama kesehatan Prof Dr. Pluvier,  tidak
memungkinkannya untuk menerima tamu. Namun, berkat  permintaan dan
desakan Boni yang berulang-kali diajukan kepadaku lewat Gogol,  aku  
h u b u n g i 
l a g iProf. Pluvier,  dan seolah mengiba-iba aku minta kepada
Prof Pluvier, sudilah kiranya  beliau menerima Boni Triyana.  Walaupun
hanya 10 menit sekalipun. Boni Triyana jauh-jauh dari Indonesia ingin
sekali bertemu tatap muka dengan Anda, begitu himbawanku kepada
Pluvier lewat  tilpun. Akhirnya  mau juga Pluvier menerima Boni
Triyana. Alangkah baik hatinya dan ramah sikapnya. Dalam keadaan
kesehatan yang demikian itu, ia masih menyempatkan diri untuk ditemui
dan diwancarai oleh seorang jurnalis muda dari Indonesia. Menerima
kami berempat: Boni Triyana, Suwarto, Gogol dan aku.

Aku amat menghargai sikap Pluvier ini. Pluvier menunjukkan betapa 
beliau  tidak ingin mengecewakan kita-kita orang Indonesia yang ingin
menemuinya, dan yang menganggapnya sebagai sahabat Indonesia.

Bahwa Pluvier tidak sehat, dan sudah banyak lupa (umurnya 80th), hal
itu sudah dikemukakanya kepadaku berkali- kali. Tetapi rupanya Boni
Triyana, historikus muda kita dari Indonesia, dan jurnalis 'Jurnal
Indonesia',   punya  keinginan keras sekali  untuk bertemu dengan 
ilmuwan dan gurubesar Belanda terkenal ini. Soalnya,  Prof. Pluvier
memang pernah menulis tentang  'pembunuhan masal di Purwodadi' pada
periode sesudah Jendral Suharto merebut kekuasaan.  Jadi nyambung
dengan niat Boni, yang akan membuat (film)dokumenter sekitar
'pembunuhan masal di Purwodadi'.  'Pembunuhan masal Purwodadi', adalah
tema skripsi Boni Tryiana,  ketika ia  dulu mengambil gelarnya di UNPAD.

***

Masyarakat  mancanegara mengetahui  tentang 'pembantaian Puwodadi' 
tsb, berkat antara lain penelitian, tulisan dan siaran yang dilakukan
oleh seorang romo di Jawa, dan Haji Poncke Prinsen. Menyinggung nama
Haji Poncke Prinsen, mungkin akan ada yang bertanya,  siapa  gerangan
Haji Poncke Pirnsen itu?   Banyak juga yang tahu bahwa Haji Poncke
Prinsen adalah  aktivis  HAM Indonesia yang cukup dikenal pada
zamannya. Sekaligus sangat tidak disukai Orba.  Prinsen pernah anggota
DPR   dari partai IPKI.  Partainya Ibu Jendral Hidayat, yang  pada
periode Presiden Sukarno adalah anggota DPR. Ibu Hidayat  juga adalah
Ketua Komite Perdamaian Indonesia, yang kukenal sekali. Kemana-mana
Ibu Hidayat selalu membawa kaleng tempat meludah – - - -  Ibu Hidayat,
 tak bisa lepas dari  MENYIRIH,  selalu makan daun sirih. Sehingga 
mulutnya selalu tampak  berwarna merah, bukan karena lipstick tapi
karena 'makan sirih'.

Haji Poncke Prinsen bukan sebarang aktivis HAM!  Ia adalah mantan 
anggota  Tentara Kerajaan Belanda.  Yang ikut ambil bagian dalam 
serbuan  Agresi Ke- II Belanda  terhadap Republik Indonesia.  Atas
kesadarannya sendiri,  demi  mendengar suara hati nuraninya,  ia 
memutuskan untuk berbalik. Dengan tegas  memihak kepada Republik
Indonesia. Lalu bersama TNI, berjuang, kongkrit bertempur  melawan
tentara agresor Belanda.  Haji Poncke Prinsen kemudian menjadi
warganegara Indonesia dan melakukan kegiatan untuk HAM di Indonesia. 
Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 21 Februari 2002 (76th), sebagai
warganegara Indonesia.

*   **

Kemarin itu,  kebetulan cuaca cerah. Sang Surya kali ini tidak
malu-malu menampakkan wajah ramahnya. Dalam suasana musim semi
demikian itulah,  kami, empat orang Indonesia,  berkunjung ke rumah 
seorang gurubesar dan Indonesianis simpatisan Indonesia, Prof. Dr. 
Jan Pluvier. 

Rumah beliau agak jauih dari Amsterdam. Meskipun berkendaraan mobil
(Suwarto), dengan bantuan petunjuk dan peta  yang diambil dari
internet,  dipandu oleh Gogol yang duduk di sebelah Suwarto, ternyata
tidak mudah juga menemui rumah Prof. Pluvier.  Agak nyasar-nyasar
juga.  Letaknya  di daerah perumahan indah  dan tenang di Heideweg No
5, Soest, Nederland. Sayang karena usia  dan keadaan kesehatan beliau,
 maka tidak bisa lama kami berbincang-bincang. Namun cukup berkesan.
Tokh bisa bercakap-cakap  sampai hampir 1 jam. Boni Triyana berhasil
merekam  di cameranya selama paling tidak 20 menit. Boni puas sekali.
Dan aku berkali-kali menyatakan rasa terima kasih kami, bahwa Prof
Pluvier, meski keadaan kesehatan yang sesunguhnya rapuh itu, yang
tidak bisa  berjalan tanpa menggunakan 'rollator' , tokh, ternyata
akhirnya  mau menerima  dan berbincang-bincang dengan kami, melebihi
janji beberapa menit saja seperti disetujuinya semula. Itulah Prof
Pluvier yang simpatik dan ramah. Dalam fikiranku: Sayang manusi

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA -- Berkunjung Ke Rumah Prof. Dr Jan PLUVIER

2007-03-02 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA
Jum'at,  02 Maret 2007

Berkunjung Ke  Rumah Prof. Dr Jan PLUVIER
  

Kalau bukan karena  kekerasan hati Boni Triyana dan  kesabaran
sahabatku Gogol dan kendaraan mobil kawanku Suwarto, memang tak akan
bisa  terjadi pertemuan dengan Prof. Dr  Jan Meinhard Pluvier, 
Indonesianis Belanda ternama., yang juga duduk di pimpinan Wertheim
Foundation. 

Sebenarnya sudah lama kesehatan Prof Dr. Pluvier,  tidak
memungkinkannya untuk menerima tamu. Namun, berkat  permintaan dan
desakan Boni yang berulang-kali diajukan kepadaku lewat Gogol,  aku  
h u b u n g i 
l a g iProf. Pluvier,  dan seolah mengiba-iba aku minta kepada
Prof Pluvier, sudilah kiranya  beliau menerima Boni Triyana.  Walaupun
hanya 10 menit sekalipun. Boni Triyana jauh-jauh dari Indonesia ingin
sekali bertemu tatap muka dengan Anda, begitu himbawanku kepada
Pluvier lewat  tilpun. Akhirnya  mau juga Pluvier menerima Boni
Triyana. Alangkah baik hatinya dan ramah sikapnya. Dalam keadaan
kesehatan yang demikian itu, ia masih menyempatkan diri untuk ditemui
dan diwancarai oleh seorang jurnalis muda dari Indonesia. Menerima
kami berempat: Boni Triyana, Suwarto, Gogol dan aku.

Aku amat menghargai sikap Pluvier ini. Pluvier menunjukkan betapa 
beliau  tidak ingin mengecewakan kita-kita orang Indonesia yang ingin
menemuinya, dan yang menganggapnya sebagai sahabat Indonesia.

Bahwa Pluvier tidak sehat, dan sudah banyak lupa (umurnya 80th), hal
itu sudah dikemukakanya kepadaku berkali- kali. Tetapi rupanya Boni
Triyana, historikus muda kita dari Indonesia, dan jurnalis 'Jurnal
Indonesia',   punya  keinginan keras sekali  untuk bertemu dengan 
ilmuwan dan gurubesar Belanda terkenal ini. Soalnya,  Prof. Pluvier
memang pernah menulis tentang  'pembunuhan masal di Purwodadi' pada
periode sesudah Jendral Suharto merebut kekuasaan.  Jadi nyambung
dengan niat Boni, yang akan membuat (film)dokumenter sekitar
'pembunuhan masal di Purwodadi'.  'Pembunuhan masal Purwodadi', adalah
tema skripsi Boni Tryiana,  ketika ia  dulu mengambil gelarnya di UNPAD.

***

Masyarakat  mancanegara mengetahui  tentang 'pembantaian Puwodadi' 
tsb, berkat antara lain penelitian, tulisan dan siaran yang dilakukan
oleh seorang romo di Jawa, dan Haji Poncke Prinsen. Menyinggung nama
Haji Poncke Prinsen, mungkin akan ada yang bertanya,  siapa  gerangan
Haji Poncke Pirnsen itu?   Banyak juga yang tahu bahwa Haji Poncke
Prinsen adalah  aktivis  HAM Indonesia yang cukup dikenal pada
zamannya. Sekaligus sangat tidak disukai Orba.  Prinsen pernah anggota
DPR   dari partai IPKI.  Partainya Ibu Jendral Hidayat, yang  pada
periode Presiden Sukarno adalah anggota DPR. Ibu Hidayat  juga adalah
Ketua Komite Perdamaian Indonesia, yang kukenal sekali. Kemana-mana
Ibu Hidayat selalu membawa kaleng tempat meludah – - - -  Ibu Hidayat,
 tak bisa lepas dari  MENYIRIH,  selalu makan daun sirih. Sehingga 
mulutnya selalu tampak  berwarna merah, bukan karena lipstick tapi
karena 'makan sirih'.

Haji Poncke Prinsen bukan sebarang aktivis HAM!  Ia adalah mantan 
anggota  Tentara Kerajaan Belanda.  Yang ikut ambil bagian dalam 
serbuan  Agresi Ke- II Belanda  terhadap Republik Indonesia.  Atas
kesadarannya sendiri,  demi  mendengar suara hati nuraninya,  ia 
memutuskan untuk berbalik. Dengan tegas  memihak kepada Republik
Indonesia. Lalu bersama TNI, berjuang, kongkrit bertempur  melawan
tentara agresor Belanda.  Haji Poncke Prinsen kemudian menjadi
warganegara Indonesia dan melakukan kegiatan untuk HAM di Indonesia. 
Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 21 Februari 2002 (76th), sebagai
warganegara Indonesia.

*   **

Kemarin itu,  kebetulan cuaca cerah. Sang Surya kali ini tidak
malu-malu menampakkan wajah ramahnya. Dalam suasana musim semi
demikian itulah,  kami, empat orang Indonesia,  berkunjung ke rumah 
seorang gurubesar dan Indonesianis simpatisan Indonesia, Prof. Dr. 
Jan Pluvier. 

Rumah beliau agak jauih dari Amsterdam. Meskipun berkendaraan mobil
(Suwarto), dengan bantuan petunjuk dan peta  yang diambil dari
internet,  dipandu oleh Gogol yang duduk di sebelah Suwarto, ternyata
tidak mudah juga menemui rumah Prof. Pluvier.  Agak nyasar-nyasar
juga.  Letaknya  di daerah perumahan indah  dan tenang di Heideweg No
5, Soest, Nederland. Sayang karena usia  dan keadaan kesehatan beliau,
 maka tidak bisa lama kami berbincang-bincang. Namun cukup berkesan.
Tokh bisa bercakap-cakap  sampai hampir 1 jam. Boni Triyana berhasil
merekam  di cameranya selama paling tidak 20 menit. Boni puas sekali.
Dan aku berkali-kali menyatakan rasa terima kasih kami, bahwa Prof
Pluvier, meski keadaan kesehatan yang sesunguhnya rapuh itu, yang
tidak bisa  berjalan tanpa menggunakan 'rollator' , tokh, ternyata
akhirnya  mau menerima  dan berbincang-bincang dengan kami, melebihi
janji beberapa menit saja seperti disetujuinya semula. Itulah Prof
Pluvier yang simpatik dan ramah. Dalam fikiranku: Sayang manusi

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA–BERBAGI CERITA -- MERAMPUNGKAN KAMPANYE AMNESTY INTERNATIONAL

2007-02-28 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA–BERBAGI CERITA
Rabu, 28 Februari 2007

Merampungkan Kampanye . . . CRÉK, CRÉK, CRÉK .  .  .   Untuk AMNESTY
INTERNATIONAL 

Kemarin sore, hujan gerimis! Teruuus  saja. . . . . .  Tidaak. . .
. . .  henti-hentinya sejak pagi. Lonceng didinding rumah,  sudah
menunjukkan jam 03.30 sore.  Aku sudah janji  dengan  anggota Amnesty
International, kordinator kampanye pengumpulan dana untuk Amsterdam
Zuidoost,  Mw Simone Leclerc untuk kerumahnya   di Maldenhof  No. 273.
 Angin bertiup dengan kencangnya dan . . . dingin. Sehingga diperlukan
tenaga ekstra  jika hendak bersepeda.  Apa boleh buat. Sambil memegang
payung di tangan kanan,  sedangkan satu tangan lagi dengan  erat 
mencengkam setang sepeda, begitulah  - --  aku tokh bisa bersepeda.
Dua kaki mendayung sekuat-kuatnya. Kebetulan pula jalan ke daerah 
yang kutuju  itu harus melewati suatu tanjakan (sedikit). Tapi cukup
berat untuk orang 'manula' seumur aku ini. Aku fikir,  éh,  umur sudah
 sebegini,  kok masih  melakoni bersepeda melawan hujan dan angin.  

Tapi, sampai kapan bisa berkiprah begini?  Kata orangtua-tua yang
bijak, selama bahan bakar lilin itu masih ada sisanya,  betapapun 
kecilnya,  biarkalah  ia menyala terus . . . .  Sekecil-kecil cahaya
yang muncul masih ada artinya untuk  memecah  kegelapan !

***

Di Indonesia,  ketika umurku  menjelang tigapuluh, maupun di Cairo,
apalagi ketika bekerja di Tiongkok, tak pernah,  dalam  cuaca
hujan-angin  seperti kemarin sore itu, aku  akan keluar bersepeda.
Betapapun sukanya bersepeda, sebagai cara berolah-raga. Tapi di negeri
Belanda, di Amsterdam Zuidoost, meskipun gerimis, dan tiupan angin 
pada  udara dingin,  dilakoni juga bersepeda.

Apa gerangan penyebabnya?

Kegiatan tadi itu semua,  adalah dalam rangka tahap merampungkan
kegiatan  di Amsterdam Zuidoost, dimana aku terlibat, sehubungan
dengan  kampanye seminggu lamanya  mengumpulkan dana untuk Amnesty
International Nederland. Uang yang sudah terkumpul di dalam kotak
Amnesty itu,  harus kuserahkan kepada koordinator kampanye untuk
Amsterdam Zuidoost.  Mw Simone Leclerc sudah siap menantikan para
pengumpul dana.  Yang datang kecuali aku masih ada satu lagi.  Mw
Margriet Berger namanya. Bertiga kami membuka kotak dana,  menghitung
uang yang terkumpul. Dua kotak uang itu dituangkan diatas meja.
Jumlahnya lumayan. Dari kotak yang kukumpulkan terhitung Euro 74,90


[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - Kabinet BELANDA - Pasca PEMILU

2007-02-24 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 24 Februari 2007

Kabinet  BELANDA  - Pasca PEMILU


Kemis, 22  Februari 2007  yang lalu,  Ratu Beatrix  dari Kerajaan
Belanda, meresmikan pemerintahan baru Kerajaan Belanda,  i.e. Kabinet
Balkenende IV.  Kabinet baru ini adalah  hasil pemilu November 2006
yang lalu. Menurut pendapat yang agak umum, para pemilih akhir tahun
lalu itu,  telah menyerukan  --  'stop'  terhadap politik  pemerintah
yang dianggap  Kanan, tidak 'manusiawi', khususnya terhadap kaum
migran, anti-orang asing dan a-sosial.

***

Bila kita melihat jauh ke Amerika Latin, pergeseran ke Kiri di
mancanegara dewasa ini,  terkesan menjadi kecenderungan umum. Di satu
segi kita lihat Kuba,  ba'  'Karang Laut'  yang sudah lebih dari 45
tahun berdiri teguh tidak beranjak, tidak gentar dan tidak mundur dari
posisi revolusionernya. Dengan teguh menghadapi blokade, intervensi
dan subversi AS. Segi lainnya,  bisa disaksikan munculnya fenomena
Venezuela Hugo Chavez , 'Si Cabai Rawit' yang juga tidak tunduk
meskipun digertak ataupun diancam oleh tetangganya yang 'Super Power'
 itu (AS).  

Hugo Chavez  malah  berani dan berhasil  merebut simpati internasional
dan menggalang kerjasama dengan tetangganya yang Sosialis, seperti
Kuba, atau yang sosdem seperti Bolivia, Chili,  Brazil, Mexico dan
Argentina, demi mempertahankan kebebasan dan kedaulatan nasional
negeri mereka masing-masing, demi membangun suatu ekonomi nasional
yang bebas dari kekuasaan modal asing. Tak bisa disembunyikan lagi,
bahwa  Presiden Bush benar-benar dibikin pusing: Politik Irak-nya tak
punya haridepan samasekali. Lagipula  pada pokoknya sudah tidak
dibenarkan rakyat,  termasuk oleh banyak orang-orang partainya
sendiri.  Sedangkan negeri-negeri Amerika Latin, yang sering dikatakan
sebagai 'halaman-belakang'- nya AS,  semakin  bergejolak karena
kemenangan-kemenangan  kekuatan politik Kiri dalam pemilu  yang
diperoleh di serentetetan negeri-negeri Amerika Latin.

***
 
Hendak  ditinjau dari jurusan manapun,   --  biar bagaimanapun  tidak
sukanya golongan Kanan Belanda,  -  nyatanya pemerintah
Balkendende-IV (B-IV) ini yang berkoalisi dengan Partai Buruhnya
Wouter Bos dan Christen Unie-nya Rouvoet,  mengenai hal- hal penting,
  menempuh politik yang  kebalikan dari  kebijakan  politik Kabinet
Balkenende III (Kebinet Minoritas, koalisi  CDA-VVD, Juni '06 –
Februari 2007),  Kabinet BII (Koalisi CDA-VVD-D66, 27 Mei, '03  – 30
Juni '06), dan  Kabinet BI (Koalisi CDA-LPF-VVD, Juli 2002 – Oktober
2002). Kabinet-kabinet  yang lalu itu, adalah kabinet Tengah-Kanan.
Pemerintah Balkenende IV sekarang ini, seperti dinyatakan oleh banyak
pengamat politik Belanda,  adalah pemerintahan yang bisa disebut
sebagai  Tengah-Kiri, terdiri  dari partai Krtisten Demokrat (CDA),
partai buruh PvdA, dan partai demokrat Uni Kristen (Christen Unie).

Namun, akan keliru pula bila dianggap bahwa,  pemerintah Balkenende
IV-Bos-Rouvoet ini suatu pemerintah yang  benar-benar progresif atau
pemerintah yung  benar-benar Kiri seperti pemerintahan  Perancis pada
periode pertama  pemerintah Presiden Mitterand dari Partai Sosialis.

Politik yang dikatakan cenderung ke Kanan dari pimpinan CDA dalam
kabinet-kabinet  yang lalu adalah pemerintahan yang menomorsatukan
pertumbuhan ekonomi, yang dengan sendirinya lebih mengutamakan urusan
modal, diatas perbaikan kehidupan sosial  kaum pekerja atau karyawan
secara umum.  Dikatakan  menomorsatukan penciptakan syarat agar
ekonomi Belanda mampu bersaing di dunia internasional. Menomorsatukan
privatisasi dan ditekannya kenaikan upah buruh (kasar).  

Kabinet-kabinet  Balkenende I  , B-II, dan B-III yang lalu,  - 
oleh anggota-anggota partai CDA  sendiri,  oleh 'rank and file'-nya
CDA sendiri, banyak  dikecam. Para  'rank and file' partai itu 
menuntut agar pimpinan CDA yang Kristen itu,  yang punya tanggung
jawag utama dalam pemerintahan tsb, seharusnya menampakkan wajah
Kristen yang sosial dan manusiawi serta solidaritas.   Mereka
beranggapan bahwa arah politik kabinet-kabinet lalu dibawah PM
Balkenende  itu, didominasi oleh  politik partai liberal demokrat VVD
yang Kanan, dan oleh  golongan Kanan  pimpinan CDA sendiri.

Dikatakan bahwa pemilu akhir tahun lalu telah sedikit banyak 
'mengkoreksi'  kecenderungan Kanan CDA.

*   *   * 

Partai sosdem PvdA,  yang di Belanda digolongkan sebagai partai Kiri,
(terkadang juga disebut tengah-Kiri)  sekali tempo bisa berkoalisi
dengan partai  Kristen  demokrat CDA. Ini terjadi  pada periode
kabinet-kabinet PM Lubbers. Pada tempo lain seperti pada periode
pemerintah Pelangi Perdana Menteri Kok 1 dan Kok II, PvdA menyisihkan
partai Kristen  demokrat CDA, dan berkoalisi dengan partai liberal
demokrat VVD (yang Kanan itu). Memang aneh kelihatannya, tetapi itulah
kenyataan kehidupan perpolitikan Belanda. 

Meskipun aneh, tetapi harus diakui, segala sesuatu mengenai
pembentukan pemerintahan B

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - RAYAKAN BERSAMA HARI RAYA NASIONAL IMLEK

2007-02-18 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 18 Februari 2007


RAYAKAN BERSAMA  HARI  RAYA
NASIONAL  'IMLEK' 

Bersama-sama,  -   seluruh bangsa,  seantero nasion ini, merayakan
 Hari Raya IMLEK. Memang begitulah seyogianya. Begitulah seharusnya
bangsa ini sebagai  nasion yang berbudaya, yang tidak mengidap 
'chauvinisme'  dan rasisme terhadap warga negara sendiri yang berasal
dari etnis-lain. 

Tibalah waktunya bagi bangsa kita untuk  saling menghargai dan saling
 menghormati masing-masing  adat istiadat, tradisi dan budaya setiap
etnis anggota keluarga nasion Indonesia. Sudahlah tiba masanya,
istilah 'pribumi' dan 'non-pribumi' dengan aneka-ragam
interpretasinya,  dihapuskan dari fikiran rasis dan diskriminatif yang
masih melekat pada masing-masing suku bangsa kita. Terutama pada
pejabat dan penguasa dimanapun ia berada. Sudahlah tiba saatnya
meningkatkan kesadaran berbangsa, kesadaran ber-BHINNEKA TUNGGAL IKA.
 Agar kata-kata dan semboyan indah itu, tidak sekadar tercantum
menghiasi UUD dan Lambang Negara Republik Indonesia,  tidak tinggal di
atas kertas belaka,  tetapi diberlakukan d a l a m k e h i d u p a
n n y a t a s e h a r i – h a r i, lebih-lebih lagi  dalam
kehidupan politik bernegara. Hanyalah dengan demikian  bangsa ini bisa
tumbuh dan berkembang dengan mantap serta sehat  mendewasa.

Bersama merayakan Hari Raya Imlek. Adalah sama halnya dengan Bersama
Merayakan Hari Raya Tahun Baru, Bersama Merayakan Hari Lebaran.
Bersama Berbhnineka Tunggal Ika. Dengan demikian kita tidak
ber-'icak-icak'. Berpura-pura  saja,  menipu diri sendiri!

*** 

Sejauh ingatan ke 'tempo dulu', ketika orang Belanda masih menjadi
penguasa negeri terindah  di dunia, yang sekarang kita kenal dengan
nama  IMLEK,  dulu namanya, menurut logat Betawi, disebut 'Taon baru
Ciné'. Sedangkan  yang sudah sejak lama juga kita rayakan sebagai Hari
Raya Tahun Baru, dulunya di kampung-kampung  di Jakarta dikenal
sebagai 'Taon Baru Belandé'. 

Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang  sangkakalanya bergema dari Jalan
Pengangsaan Timur 56, Jakarta, oleh proklamator Sukarno dan Hatta, 
pada tanggal 17 Agustus 1945, telah membuka  lembaran baru dalam
sejarah Indonesia. Bangsa kita telah merdeka.  Berbagai suku-bangsa
kita seperti suku bangsa Jawa, Sunda,  Melayu, Minang, Batak, Madura,
Aceh,  Makasar, Bugis, Minahasa, Maluku, Timor, Flores, Bali, Papua,
dan banyak lainnya,   kemudian  yang berasal etnis Tionghoa, etnis
asal Arab, etnis asal Belanda, etnis asal India, Pakistan, dll telah
sama-sama menyingsingkan lengan baju, berjuang bersama, mengalirkan
keringat, mengujurkan darah, berkorban  demi Indonesia Baru yang
ber-Bhinneka Tunggal Ika dan ber-Pancasila. Semua punya peranan, 
menurut kemampuan dan situasinya. Masing-masing telah memberikan
sumbangannya. 

Kita juga  mengenal nama-nama asal etnis Tionghoa seperti a.l.Siauw
Giok Tjhan, Tjoa Sek Ien, Tan Po Goan, Tan Ling Dji, Oei Tjoe Tat, Yap
Tiam Hin, John  Lie, dll   yang telah memberikan seluruh hidupnya demi
usaha  kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah pejuang-pejuang
kemerdekaan yang tidak bisa dihapuskan namanya dari sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia.

***

Sejak 1965 ,  Jendral Suharto dengan rezim Orbanya,  telah memutar
kembali jarum sejarah kemajuan bangsa kita.  Politik dan kebijakan
Orba telah sangat  merusak persatuan bangsa yang telah digalang dan
dikembangkan dengan susah payah, oleh para 'founding fathers' bangsa.

Politik anti-Tionghoa yang sudah lama dikonsep  oleh golongan Kanan AD
TNI, berkembang subur,  merajalela sejadi-jadinya, begitu ia  menjadi
 kebijakan dan politik resmi pemerintah Orba. Politik anti-Tionghoa
tsb  terus berlangsung, sampai jatuhnya Presiden Suharto.  Masih segar
di dalam ingatan masyarakat, betapa  media dan pers, nama-nama jalan
serta toko-toko tidak boleh menggunakan bahasa dan kata Tionghoa.
Masih teringat betapa semua sekolah Tionghoa ditutup, dan bahasa
Tionghoa dilarang,  - - - -   sampai-sampai nama-nama Tionghoapun, - -
- - sesuatu yang bersifat  amat pribadi dan merupakan  hak azasi
manusia yang paling elementer, itupun, dengan berbagai cara dipaksakan
supaya diganti dengan nama 'pribumi' , nama Indonesia 'asli' .  

Poltik penindasan  dan pembelengguan terhadap kebiasaan, adat istiadat
serta tradisi  budaya Tionghoa, bertujuan a.l untuk mengakhiri
pengaruh  budaya Tionghoa terhadap yang mereka namakan 'bangsa
pribumi'  Indonesia.  Anéh kedengarannya, begaimana  mungkin, bahwa, 
pada  masa ketika ide-ide  pencerahan dan demokrasi berkumandang di
mancanegara,  namun, di negeri kita bisa terjadi penindasan terhadap
adat istiadat, tradisi dan budaya etnis tertentu bangsa sendiri,
kongkritnya bangsa Indonesia asal etnis-Tionghoa.

***

Sejak jatuhnya rezim reperesif Orba,  meski masih begitu banyaknya
kekurangan dan kendala yang memperlambat bahkan berusaha  merintangi
pelaksanaan tun

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S --- SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS, 14 FEB. 2007

2007-02-14 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN

IBRAHIM ISA'S   --- SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS, 14 FEB. 2007

GOVT TURNS TO IMPORTS ONCE AGAIN TO KEEP RICE BOWLS FULL 
WORLD BANK COUNTRY DIRECTOR IN INDONESI ATO BE REPLACED
DON'T JUST BLAME IT ON THE RAIN 
LAVISH LASHES, NEGLECTED WARTS; A JAKARTA FABLE

GOVT TURNS TO IMPORTS ONCE AGAIN TO KEEP RICE BOWLS FULL
JAKARTA (JP): The government will import another 500,000 tons of rice
to help keep prices from rising further after monsoonal flooding
across the country disrupted the production and distribution of the
nation's staple foodstuff.
The rice will be imported in March and April, Vice President Jusuf
Kalla told reporters Tuesday after a meeting with economics ministers
at the headquarters of the State Logistics Agency (Bulog). The Vice
President said bids from suppliers had alreadybeen solicited. 
"We need to secure the supply of rice to the market and distribute as
much rice to the poor as is needed. That's why importing rice is
reasonable in these circumstances," he said.The government imported
500,000 tons of rice in January, saying that it would import more over
the course of the year as required.A total of 138,000 tons of imported
rice will be delivered this month, Coordinating Minister for the
Economy Boediono had earlier said, with another 350,000 tons arriving
in March so as to buffer the country's rice stocks until such time as
localproduction kicks in during the harvest.
The original decision to import rice came after prices rose to Rp
5,000 (55 U.S. cents) a kilogram in December and January, threatening
a possible uptick in inflation.(Urip)
WORLD BANK COUNTRY DIRECTOR IN INDONESIA TO BE REPALCED
JAKARTA (Antara): World Bank country director in Indonesia, Adrew
Steer, will soon be replaced because he will be given a new post in
London, England.
"I will leave Indonesia for London on Feb. 28 to work for the British
government. I will remain in the World Bank but I have to be
responsible to the British government," Steer said on the sidelines of
a conference on public spending on Monday.Steer said having been World
Bank country director in Indonesia since 2002, he had seen the country
make a lot of economic progress from time to time."I have to leave
Indonesia for London but I don't know who will replace me," Steer said.
He said Indonesia would continue to face new challenges in the years
to come but they would lead the country to greater success. "The
government at present is in a financially strong position and this is
very good for Indonesia. Therefore, with the new challenges, I am
certain the country will make a lot of progress in the future," he
said.(***)
 



DON'T JUST BLAME IT ON THE RAIN
Irma Hutabarat, Jakarta
Here we go again. The city had five years to prepare, but it still
failed to stop massive floods from swamping the capital. The disaster
has caused an estimated Rp 4.1 trillion in material losses, claimed
the lives of at least 48 Jakartans and forced 320,000 people to flee
their houses.Portions of Jakarta were paralyzed -- except for the
fingers of government officials, who quickly began to point the blame
toward each other, Mother Nature and the media. This series of events
remind me of a song from the infamous 1980s lipsync band, Milli
Vanilli: Blame it on the Rain. It seemed everybody was chanting the
once-popular refrain and deflecting responsibility for the flood,
probably the worst ever to have struck Jakarta and its neighboring towns. 
Let's start with the person who is supposed to be responsible for the
wellbeing of Jakarta, Governor Sutiyoso. He said the flood was a
natural phenomenon which was beyond his capacity. But what about all
those buildings that have been erected without proper permits or
planning? What about those green areas that he allowed to become
shopping malls or skyscrapers? 
Coordinating Minister for the People's Welfare Aburizal Bakrie accused
the media of dramatizing the floods. "The victims are still laughing,"
he claimed. What about the estimated 190,000 suffering from diarrhea,
respiratory problems and skin diseases? What about all those who lost
their belongings? Are these plights not dramatic enough? If Aburizal
says the sad facts are exaggerated by the media, can we assume that he
has ensured every victim receives proper assistance and medical
treatment? Even though the government failed to anticipate the flood,
Vice President Jusuf Kalla assured there will be no floods next year.
No doubt he knows there is a five-year cycle. If floods hit Jakarta
next year anyway, perhaps we can ask Kalla to pay compensation for his
false promises and also ask him to take action against those deemed
responsible for the disaster. 
President Susilo Bambang Yudhoyono promised that the East Canal
construction project would be completed and city planning wo

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA - CRÉK . . . . CRÉK . . . .

2007-02-12 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA --  BERBAGI CERITA
Senin, 12 Februari 2007

CRÉK  . . . . CRÉK  . . . .
Mengumpulkan Dana Untuk AMNESTY INTERNATIONAL
***
Mengetuk Hati Nurani Di Winkelcentrum A'damse Poort

Kata-kata 'fundraising' atau 'fondswerving' itu  penamaan yang terlalu
mentéréng untuk apa yang kukerjakan tadi pagi selama kuranglebih dua
jam. Lebih cocok penamaan  yang diberikan  istriku, Murti,  pagi tadi
menjelang aku keluar rumah.  Ketika bertanya  kepadaku,  Murti begini
bilangnya: Yah, (nama panggilan untuk aku dalam keluarga kami,
maksudnya:  'Ayah'), kapan 'ngecrék-ngecrék'  untuk  Amnesty
International.  'Ngecrék – ngecrék', . . . . .  maksudnya,
mengumpulkan dana di jalan-jalan dan  di plein di Winkelcentrum 
Amsterdamse Poort .  Yang letaknya jarak limabelas menit jalan kaki 
dari flat kami, Haag en Veld.. Dikatakan 'ngecrék-ngecrék'. . . .  . .
. .  karena uang yang dikumpulkan di kotak-plastik-keras Amnesty itu,
waktu dimasukkan  ke dalamnya, bunyinya nyaring: . . . .  'crék, crék,
crék  . . . .  begitu. Maklumlah yang dimasukkan di situ pada pokoknya
adalah mata uang logam yang récéhan . Ada yang  nilainya Euro 10 sen,
20 sen, 50 sen dan terkadang ada yang satu atau dua Euro.

Sesiang tadi itu dari jam 12.30 sampai jam 14.30  aku berdiri
mengumpulkan dana.  Tak ada satu penyumbang  yang memasukkan uang
kertas, meski yang paling kecil sekalipun, yatiu yang Euro 5. Namun
aku tak kecewa. Sama sekali tidak! Aku senang bisa ngomong pada
orang-orang yang lalu: 'U bijdrage meneer, mevrouw. Voor Amnesty
International !!.  . Tidak terlalu banyak,  lumayan yang tergerak hatinya,
dan memberikan sekadar sumbangan mereka dengan senyum pada bibir
mereka. Diantara  mereka ada yang bulé, ada yang hitam, ada satu
perempuan Indonesia, ada beberapa mahasiswa, ada juga dua orang 
perempuan Moslem yang berjilbab. Aku sudah puas dengan perhatian
mereka itu. Karena nyatanya mereka kenal dengan apa yang dilakukan
oleh  Amnesty International.

Bersama-sama kami menghimbau dan menggugah orang-orang yang lewat di
situ agar sudi kiranya membuka dompet mereka dan menyumbang ala
kadarnya untuk KEMANUSIAAN. Pada kotak pengumpul dana Amnesty
International  itu tertulis dalam bahasa Belanda: 'GEEF VOOR
VRIJHEID'. Artinya sumbanglah demi  Kebebasan. Dalam bahasa Inggris
tertulis juga di situ kata-kata ini: Amnesty International Support our
fight for Human Rights. 

Untuk aku pribadi, tidak begitu aku pentingkan  akan berapa besar
nanti bila sudah terkumpul semua,  jumlah uang yang bisa diperoleh
dari pengumpulan dana itu. Terlebih penting ialah bahwa  orang tahu,
bahwa masih ada orang-orang, sukarelawan-sukarelawan  yang menghimbau
 perhatian,  kepedulian terhadap masalah hak-hak azasi manusia. 
Mengenai perlunya mengadakan perlawanan terhadap setiap pelanggaran
terhadap HAM, betapapun kecilnya. Betapa di dunia ini, masih begitu
hebatnya terjadi pelanggaran HAM. Mulai dari Asia sampai ke Timur
Tengah. Dari  Amerika Latin, dari Amerika Serikat sampai ke Irlandia
Utara, dari Burma atau Myanmar sampai ke Palestina. 

Berdiri di Amsterdamse Poort untuk mengumpulkan dana bagi Amnesty,
bukan baru sekali ini kulakukan.
Beberapa tahun yang lalu kami ada empat orang dari Grup Amnesty 
melakukannya. Semua anak-muda yang bulé. Lumayan juga dana yang kami
kumpulkan ketika itu. Bagiku sendiri, berdiri di tengah jalan, di muka
toko-toko atau bank-bank, yang utama  bukanlah untuk mengumpulkan uang
untuk keperluan kegiatan Amnesty International yang memang
diperlukannya.  Yang lebih penting adalah agar masyarakat  tahu,
Amnesty International  dengan tak henti-hentinya melakukan kegiatan
dan usaha demi dilaksanakannya HAM di mancanegara

*   *   *. 

Amnesty International Cabang Nederland termasuk yang kuat kas-nya.
Tahun ini, pengeluaran yang dilakukan Amnesty Nederlan  keseluruhannya meliputi Euro 21,3 juta. Dalam hatiku, luar biasa!
Memang Belanda negeri kaya. Amnesty   International Belanda  punya
banyak penyumbangn yang tidak mengikat. Heibatnya Amnesty
International cabang Nederland ini, tidak mau uang pemerintah. 
Maksdunya supaya tidak terikat dengan politik pemerintah.

***
Kampanye Amnesty International Belanda untuk mengumpulkan dana dimulai
hari ini pada tanggal 12 Februari. Coba terka, berapa jumlah aktivis
yang turut serta ambil bagian menyemarakkan kampanye aksi mengumpulkan
dana? Tidak kurang dari  20.000 sukarelawan. Memang heibat  kepedulian
masyarakat Belanda terhadap aksi-aksi  kemanusiaan.  Orang-orang
Belanda yang dikenal dengan sifat 'hématnya', kalau sudah menyangkut
'voor het goede doel' < 'untuk tujuan mulya'>, mereka tidak sayang
keluarkan uangnya untuk ikut menyumbang. 

Sumbangan Amnesty Belanda kepada Sekretariat Internasional Amnesty
diLondon meliputi jumlah tidak kurang dari  Euro 5,2 juta. Itu berarti
24% dari jumlah seluruh pengeluaran. Untuk kegiatan aksi-aksi dan
kerja-aksi dikel

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - IN MEMORIAM SOBRON AIDIT

2007-02-10 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 10 Februari 2007

IN MEMORIAM SOBRON AIDIT 

Pagi ini Zus Els Tahsin, istri mendiang Suraedi Tahsin, menilpun kami: 

BUNG SOBRON PAGI INI MENINGGAL DUNIA, katanya dengan suara sedih. 

INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAJI 'UN – 
SEMOGA ARWAHNYA DITERIMA DI SISI TUHAN Y.M.E.

Sobron meninggal sesudah menderita serangan jantung dan pembuluh darah
dua hari yang lalu. Ia meninggal di rumah sakit di Paris, salah satu
rumah sakit yang baik. Keluarganya, dua orang putri, Wita dan Nita
beserta cucu-cucu dan manantu syukur sempat menengok ayah, kakek,
mertua beberapa saat sebelum Sobron Aidit meninggalkan kita untuk
selama-lamanya.

Kesedihan besar yang menimpa keluarga Sobron Aidit juga dirasakan oleh
para handai taulan di Paris, Amsterdam, Stockholm, Berlin, dan di
tanah air tercinta Indonesia. Tak lain harapan kita semua keluarga
yang ditinggalkan Sobron tabah adanya menghadapi musibah ini.

Sobron Aidit, adalah sahabat karibku, seorang kawan yang kukenal
puluhan tahun lamanya. Oragnya peramah, gembira, optimis dan penuh
dengan energi (entah dari mana energi itu, mengingat umumnya yang
sudah di atas tujuh puluh). Boleh dikatakan, setiap hari Sobron
menulis. Apakah  itu cerpen, apa yang berjudul 'cerita-cerita santai',
'kolom saya', dan lain-lain judul yang hidup dan jenaka. Menulis,
itulah 'hidup' nya Sobron Aidit. Tulisannya sering yang santai-santai,
 yan biasa-biasa saja,  ditulis dengan gaya yang hidup, lugu apa
adanya,  menceriterakan kehidupan sehari-hari dari  orang Paris, dari
orang Amsterdam, dari keluarganya, dari anaknya, Nita, Wita dan
cucu-cucu yang semuanya sangat dekat dihatinya. Tidak itu saja, Sobron
juga berceritera tentang keadaan rakyat kita yang masih hidup serba
kekurangan.

Sobron juga berceritera tentang penderitaan para korban Peristiwa 1965
yang hingga kini masih didiskrisminasi, dimearginalisasi dan di
'paria'kan oleh penguasa dan para pendukungnya. Sobron aktif
memperjuangkan agar para korban pelanggaran HAM tsb direhabilitasi
nama baik dan hak-hak mereka sebagai warganegara yang mencintai tanah
air dan Republik Indonesia. Sobron pandai melukiskan penderitaan para
korban Peristiwa 1965  Pelanggaran HAM Orba,  karena ia sendiri adalah
salah seorang dari korban pelanggaran HAM rezim Orba, sebagaima halnya
keluarganya, teristimewa abangnya Ahmad.

Membaca tulisan-tulisan Sobron, orang bisa tahu bahwa meskipun
jasadnya tinggal di Paris, sebagai warganegara Perancis, tetapi
semangat dan jiwanya tetap Indonesia, yang teramat cinta pada tanah
air dan bangsa. Puluhan tahun berkelana di luarnegeri akibat persekusi
Orba, tidak sedikitpun melunturkan jiwa patriotik Sobron.

Sobron Aidit telah tiada. Tetapi kenang-kenangan indah akan tetap pada
kita semua: Sobron Aidit sebagai kawan, yang hangat, dengan siapa kita
bisa bersenda gurau, tetapi juga bisa dengan serius membicarakan nasib
bangsa dan tanah air, hari depan Indonesia.

Semangat dan energiknya Sobron Aidit menulis,  -  sesuatu yang
pasti ada gunanya bagi generasi muda, merupakan suri teladan yang tak
akan terlupakan sepanjang masa. 



[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - TIONGKOK yang KUKENAL (3)

2007-02-09 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at,  09 Februari 2007


TIONGKOK yang  KUKENAL (3)
Mengenal Tiongkok!  
Bisa sederhana. Bisa juga pelik dan rumit. Banyak tergantung dari 
situasi per individu. Bagaimana titik tolak dan latar belakang sejarah
yang bersangkutan. Last but not least, bagaimana pula kecenderungan
politiknya.

Banyak yang  bukan orang Tiongkok, memperoleh gambaran atau ide
tentang Tiongkok dari berita atau literatur. Dari pelajaran sejarah di
sekolah ataupun di perguruan tinggi. Bisa juga dari ceitera orang yang
pernah berkunjung atau tinggal di Tiongkok. Ada juga yang dirinya
sendiri pernah berkunjung atau bahkan tinggal di Tiongkok dalam waktu
tertentu. Tetapi, akhirnya tokh, tergantung pilihan yang bersangkutan.
Apa  maunya.  Apa yang ia ingin ketahui atau   hendak kenal  tentang
Tiongkok. Mau mencari yang negatifnya (saja), pasti akan menjumpainya.
Mau mencari yang positifnya juga pasti banyak. Mau berusaha obyektif
juga bukan tidak mungkin.

Nanti kita lihat bersama, bagaimana  seorang  jurnalis Amerika, 
wartawan UPI, Jack Belden,  menulis buku terkenal 'CHINA CHAKES THE
WORLD' (1949),  ---  'Tiongkok Menggemparkan Dunia' (Edisi Bahasa
Indonesia: 'NAGA MERAH'). Bagaimana pula Jung Chang, orang Tiongkok
dan suaminya orang Inggris, Jon Halliday, menulis tentang Mao:  'Mao,
Ceritera yang Tidak Dikenal',  2005.

***
Bisa juga kukenangkan kembali bagaimana aku sendiri mula mengenal
Tiongkok. Ini kasus lebih sederhana, karena itu pengalamanku sendiri.
Pada suatu ketika, awal tahun 1950-an,  sesudah tercapainya perdamaian
antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda (akhir 1949), banyak
buku dan literatur luarnegeri masuk  Indonesia. Tidak sedikit 
literatur yang mengisahkan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, yang
diproklamasikan pada tanggal 1 Oktober 1949. Ketika itu banyak
'breaking news' tentang Tiongkok. Umumnya mengisahkan keheibatan
tentara Komunis di bawah pimpinan Mao Tsetung dan Chu Teh, yang
berhasil memusnahkan  tentara Kuomintang di bawah pimpinan
Jenderalisimo Chiang Kai-sjek, dengan jumlah jutaan dan peralatan
serta persenjataan modern dari AS.  Diberitakan bagaimana sisa-sisa
kekuatan KMT  yang korup dan bobrok serta bangkrut itu lari
terbirit-birit ke Taiwan. Diberitakan pula bagaimana pemerintah
Tiongkok Baru,  pemerintah RRT, mengatasi inflasi, memulihkan
ketenteraman serta menjalankan kembali roda ekonomi negeri, melakukan
pembagian tanah kepada kaum tani, melaksanakan landreform,  serta
mengakhiri kriminalitas, pelacuran, perjudian, dll kemaksiatan dalam
masyarakat lama Tiongkok di bawah kekuasaan Kuomintang. 

Tak kujumpai  ada pemberitaan yang membantah kebobrokan KMT yang kalah
didaratan Tiongkok dan lari ke Taiwan. Juga tidak ada berita yang
menyanggah bahwa tentara Komunis di bawah pimpinan Mao Tsetung dan Chu
Teh, telah berhasil membereskan negeri dan memulihkan perdamaian di
Tiongkok. 
*   *   *
'CHINA SHAKES THE WORLD' (1949),  karya Jack Belden.
Entah dari siapa pertama-tama aku mendengar tentang buku Jack Belden
itu . Tak ingat lagi. Tapi kuingat buku itu kubeli di Toko Buku
'Indira' di Menteng, Jakarta. Buku Jack Belden, wartawan UPI, yang
terkenal:  'CHINA SHAKES THE WORLD' (1949) –  'Tiongkok Menggoncangkan
Dunia', segera menjadi 'bestseller'. Lakunya seperti pisang goreng,
kata orang kita.  Kuingat, kemudian  nama buku itu kudengar lagi, dari
sahabatku Sidharta  pimpinan SBKB, Serikat Buruh Kendaraan Bermotor,
salah seorang pendiri Lekra . S.Dharta, atau Klara Akustia, nama
penanya, menganjurkan aku  agar membaca buku itu sampai selesai. S.
Dharta memuji ketelitian dan kegairahan Jack Belden menulis tentang
revolusi Tiongkok. Baik dari segi fakta-faktanya,  analisisnya, maupun
dari segi profesionalismenya sebagai wartawan. Dharta menyatakan
padaku, bahwa ia  tidak pernah membaca  buku tentang perkembangan
revolusioner di Tiongkok sebagus  buku Jack Belden.

Bagiku, membaca buku Jack Belden  'China Shakes The World' ketika itu,
melengkapi gambaran yang kuperoleh dari  pemberitaan dan literatur
lainnya mengenai Tiongkok di bawah KMT, dan bagaimana kaum Komunis
Tiongkok telah berhasil  membebaskan  serta mempersatukan Tiongkok.
Membaca buku Jack Beldn, seakan-akan pembaca dibawa ikut menyaksikan
sendiri dari tahap ke tahap, perkembangan revolusi Tiongkok yang
menggemparkan dunia sampai mencapai kemenangan gemilang dan historis. 

Dulu, Barat menamakan Tiongkok 'orang sakit Asia' – 'The sick man of
Asia'. Berkat suatu proses revolusioner, Tiongkok  lahir kembali
sebagai raksasa yang segar bugar. Dalam pada itu masih jelas dalam
ingatanku sebuah toko buku milik  perusahaan Tionghoa di Glodok, yang
 dalam tahun 1950-an,  banyak menjual buku-buku tentang revolusi
Tiongkok dan Tiongkok Baru. Toko buku itu sering sekali kukunjungi
untuk membeli literatur terbaru mengenai Tiongkok Baru. Inilah
sebabnya a.l. sej

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - TIONGKOK Yang KUKENAL (2)

2007-02-07 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 07 Februari 2007


TIONGKOK yang  KUKENAL (2)

Belum lama aku sempat bertukar fikiran dengan  sahabat-lamaku  orang
Tiongkok ,  yang
datang dari Tiongkok.  Aku selalu berpendapat  perlunya bertukar
fikiran  langsung dengan sahabat-sahabat orang-orang Tiongkok, 
mengenai situasi Tiongkok sekarang.  Masalahnya, tinggal mencari
kesempatan untuk itu. Belum lama ini syukurlah muncul juga kesempatan
itu. 

Boleh dibilang tidak ada satu minggu berlalu di dunia pemberitaan, --
 pers, radio dan TV  mancanegara, khususnya  di dunia Barat,  --- yang
 tidak memberitakan tentang Tiongkok.  Ada berita  yang menyoroti
segi-segi negatif ketimbang yang positif. Sering dikira itu berita
tentang Tiongkok itu berita positif,  namun, kemudian ada selipan yang
negatif. Ternyata  maksud sesungguhnya berita tsb  memang
menceriterakan sesuatu yang negatif tentang Tiongkok. Sekarang
zamannya orang menomorsatukan kebebasan,  kebebasan menyatakan
pendapat dan menyiarkannya. 

Jadi berita-berita yang macam-macam tentang Tiongkok, itu boleh-boleh
saja. Tinggallah pada  kita sendiri bagaimana mencernakannya. Banyak
orang  pada dasarnya mengambil sikap yang bersahabat dengan Tiongkok
dan  bersimpati dengan rakyatnya. Tetapi ada juga orang-orang yang
sejak awal bertitik tolak  dari sikap yang antipati terhadapnya,
terutama terhadap kekuasaan di Tiongkok sekarang. Umumnya mereka itu
adalah fihak-fihak yang menganut faham anti-Komunis. Karena
pemerintahan Tiongkok adalah pemerintah Komunis dan dipimpin oleh
Partai Komunis, maka mereka mengambil posisi anti-Tiongkok.  Namun, 
terhadap rezim di Taiwan mereka tidak antagonis. Bahkan mendukung
politik AS zaman Perang Dingin, yaitu politik 'Dua Tiongkok'. Atau
politik 'satu Tiongkok'  dan 'satu 'Taiwan'. Jadi mendorong berdirinya
Taiwan yang separatis.

Mereka-mereka yang anti-Komunis itu, dengan bertolak dari faham
anti-Komunisnya,  yang  mengambil posisi antagonis terhadap rezim di
Tiongkok sejak berdirinya RRT -  pada umumnya menyatakan bahwa, 
sebenarnya,  kata mereka,  sejak era Deng Xiaobing, Tiongkok sudah
bukan Sosialis lagi. Tiongkok sudah  melaksanakan sistim  Kapitalis.
Partainyapun sudah bukan partai Komunis lagi. Hanya nama saja yang
Komunis.  Namun, orang-orang yang sama itu juga,  sama  nyaringnya
 menabuh genderang, memperingatkan dunia, tentang bahaya munculnya
superpower baru, yaitu Tiongkok.  Orang bisa mengambil kesimpulan,
mereka itu bukan pertama-tama menentang sisitim apa yang dijalankan di
Tiongkok, tetapi,  mereka tidak ingin ada satu Tiongkok yang bebas
berdiri sendiri dan kuat di segala bidang.  Mereka menghendaki
Tiongkok terpecah-belah dan tegantung pada luar.  Mereka mendambakan
dunia yang dikuasai  dan  'dipimpin' oleh AS dan sekutu-sekutunya. 
Mereka mengimpikan  suatu 'Pax Americana'  di dunia ini.

*** 

Dari sinilah bisa dilihat,  masih hidupnya  di  kalangan Barat dan
pada mereka yang sepandangan dengan politik  'Perang Dingin' dunia
Barat,   yang ingin diteruskannya  strategi  'China containment
policy'.  Bisa diikuti dengan jelas bahwa  politik 'China containment'
 ini sekarang menggunakan merek atau iklan baru, yaitu mencanangkan 
kepada dunia: 'Waspada terhadap superpower baru:  Tiongkok'. 

Untuk melengkapi input mengenai Tiongkok,  maka ada baiknya  a.l.
mendengar langsung dari orang Tiongkok bagaimana pendapat mereka
sendiri tentang Tiongkok yang ramai dibicarakan orang itu. 

Ini lebih-lebih lagi terasa perlu bagi orang seperti aku. Karena 
pengetahuan-langsung yang kuperoleh di lapangan mengenai Tiongkok,
adalah mengenai situasi Tiongkok selama aku bekerja dan berdomisili di
negeri itu  pada periode 1966-1986, dan  dalam tahun 1998.  Tahun 1998
itu kami, istriku Murti dan aku,  diundang oleh Perkumpulan Tiongkok
untuk Persahabatan dengan Luarnegeri . Sejak itu,  waktu --  sudah
berlalu hampir  10 tahun sejak kunjunganku terahkir ke Tiongkok. 

Meskipun belum mengunjungi Tiongkok lagi,  ---  dengan mengikuti
perkembangan Tiongkok lewat media mancanegara dan membaca sendiri yang
dipublikasikan media Tiongkok  berbahasa Inggris, serta siaran Radio
Beijing berbahasa Indonesia,    maka  bisa dikatakan bahwa dalam
jangka waktu 9 - 10 tahun belakangan ini ,  di Tiongkok tak terjadi
perubahan baru  yang fundamentil, yang  berbeda dengan  situasi  9-10
tahun yang lalu.  Pemahamanku ini dilengkapi belakangan dengan
kesempatan bertukar fikiran dengan orang-orang Tiongkok sendiri,
orang-orang biasa,  bukan pejabat atau politikus. Dengan demikian maka
 lumayanlah  bisa diperoleh gambaran  yang  bisa diandalkan tentang
Tiongkok sekarang.

*   *   *

Pengenalanku tentang Tiongkok sekarang singkatnya adalah sbb: 

Sejak Tiongkok menempuh  kebijakan ekonomi (pasar)  pada akhir tahun 
1970-an, dipkrakarsai dan dirintis  oleh PM Deng Xiaobing,  ---   bisa
disaksikan dan dirasakan dampa

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA -- Kongko-Kongko Dng MICHAEL BODDEN

2007-02-05 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA  -   BERBAGI CERITA
Senin, 05 Januari 2007


Kongko-Kongko  Dng  MICHAEL BODDEN
<, Associate Professor Indonesian Language and Literature, University
of Victoria, Canada.>

BERKENALAN  Dng Prof. MICHAEL BODDEN LEWAT E-Mail Computer

***

Yang ditulis di bawah ini,  bisa juga dibilang semacam 'ode' , 
katakanlah, suatu nyanyian-pujian terhadap para pakar dan ilmuwan
informatika, serta terhadap kemajuan luarbiasa yang  mereka telah
capai di cabang ilmu informatika dan komunikasi..

Adalah lewat media computer ini, aku bisa berkenalan dengan  teman
baru, Prof. Michael Bodden. Orang Canada sekaligus (tadinya) orang
Amerika, yang mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas
Victoria, Canada. 

Pada suatu hari kudapati di ruang penerimaan e-mail computerku,
sepucuk surat elektronik. Pengirimnya adalah Prof. Michael Bodden itu.
 Aku tanya padanya dari mana ia dapat alamat e-mail aku.  Dari Gerry
van Klinken, katanya. Gerry van Klinken adalah warganegara Australia,
seorang pakar peneliti  di salah satu lembaga ilmu sosial di Belanda.
Gerry memang kenal padaku. Nah, inilah salah satu mu'jizat kemajuan
bidang ilmu computer, iformatika, sehingga seseorang, asal saja tahu
alamat e-mail-ku,  yang terbuka tanpa menggunakan nama samaran, bisa
berhubungan langsung. Di situlah, kalau pengirim e-mail bermaksud
hendak berkenalan, dan kita meyambut tangan-perahabatan  , itu , ya dapatlah kita teman baru.

*   *   *

Memang betullah, kata orang, bahwa kemajuan teknologi dewasa ini, a.l
 di bidang komunikasi, dengan ditrapkan dan dimanfaatkannya semaksimal
mungkin kemajuan ilmu  computer,  termasuk internet dan segala macam
software yang sehubungan dengan informatika, ---  sungguh menakjubkan
adanya. Bayangkan:  -- Dulu bila hendak menulis, misalnya sebuah
artikel atau esay politik,  orang pertama-tama harus memiliki
bahan-bahan yang memadai. Kalau tidak punya sendiri, terpaksalah 
pergi ke bibliotik. Atau pinjam pada kawan yang punya. Membalik
halaman buku atau dokumen sendiri atau pinjaman itu, juga makan waktu
 cukup panjang.

Sekarang pada zaman semua-semua dikomputerisasi, segala sesuatu
bersangkutan dengan mencari bahan atau dokumen, tidak susah-susah
lagi. Pasang saja computer, masuk internet, klik 'google.com',
'Britanica', atau 'Wikipedia', mau cari apa saja pasti dapat. Bisa
juga coba  dicari di tempat lainnya. Banyak  'website'  yang memuat
data-data penting. Sesudah dibaca dan dipelajari bahan yang
diperlukan, kalau mau simpan,  bisa. Kalau tidak, sesudah digunakan
di-'delete' saja.

Begitu juga bila sudah tiba waktunya menulis. Ngetik teks bisa lebih
cepat. Kalau ada yang salah, segera bisa dikoreksi. Bisa diedit
kembali. Teserah saja mau diapakan, sang computer itu akan nurut saja.
Tentu yang digunakan sebaiknya computer yang mutakhir. Aku  dalam hal
ini  memang termasuk mujur, karena selalu ada orang yang memperhatikan
apakah softwareku untuk bekerja dengan computer itu yang paling baik.

*   *   *

Hanya sesudah kenal dengan Michael Bodden ini, baru diketahui banyak
kawan bahwa,  nun jauh disana, di Universitas Victoria, Canada, 
seorang ilmuwan asing memberikan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia
kepada para siswanya.  Terima kasih Michael!

Michael Bodden, kira-kira sudah tahu siapa aku ini, tetapi aku
samasekali tidak tahu siapa gerangan Michael Bodden. Langsung saja
kutanyakan. Silakan Anda menjelaskan, menginformasikan Anda itu siapa,
tulisku kepadanya.

Suatu ketika pernah ada orang yang kirim e-mail padaku, menanggapi
artikelku, bahkan memberikan kritik yang bagus. Aku tanya, siapa
gerangan dia. Tidak dijawab. Ingin anonim terus rupanya. Tidak ada
maksud lainnya. Cuma tidak mau dikenal siapa aslinya. Ya, pendirian
ini harus dihormati. Lain dari orang yang menggunakan macam-macam nama
samaran dengan maksud tersembunyi yang tak sehat. Tapi kawan baruku
ini, Michael Bodden, tidak demikian. 

Michael Bodden memperkenalkan dirinya kepadaku. Bahasanya baik sekali.
Jauh lebih baik dari banyak intelektuil dan elite 'kita' , yang tata
bahasanya seperti gado-gado. Lain halnya Jaap Erkelens,   sahabatku,
rekanku di Wertheim Foundation, yang duapuluh tahun lamnya bekerja di
Indonesia sebagai wakil KITLV,  bahasa Indonesianya sungguh baik.
Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Aku selalu angkat topi pada
orang asing yang menggunakan bahasaIndonesia yang baik dan benar. 

Ini  singkatan cerita Michael Bodden, dalam Bahasa Indonesia dia
sendiri, tanpa ada yang aku ubah, sbb:

'Saya lahir tahun 1956 di AS dan bersekolah-tinggi di University of
Winconsin. Saya selesai dengan PhD saya tahun 1993, dan mengajar di
University of Victoria, di pantai barat Kanada mulai 1992.

'Perjalanan pertamaku ke Indonesia tahun 1986 untuk mendalami Bahasa
Indonesia. Menetap satu tahun di Yogyakarta 19887-88 dan belajar di
Gajah Mada, jurusan Sastra Indonesia, t

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S FOCUS:<01 FEBR 07> -- ECONOMY, THE WINDING-UP OF C.G.I

2007-02-01 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA'S FOCUS:
ECONOMY, THE WINDING-UP OF C.G.I 
< 01 FEBRUARY 2007 >
-
ENDING CGI 'POLITICALLY IMPORTANT'
'TEBAR PESONA' AND RATING
WHO'S TO BLAME FOR SLOW ECONOMIC REFORM ?

ENDING CGI 'POLITCALLY' IMPORTANT
S.Urip Hudiono, The Jakarta Post, END JANUARY 2007
The decision to wind up the Consultative Group on Indonesia (CGI) is
both "practical" and "political", ministers say, while giving
assurances that the government will be able to cover the national
budget through more bond sales rather than taking out additional
foreign loans.
The government has also consulted on the issue with major members of
the CGI, Coordinating Minister for the Economy Boediono said, so as to
maintain good relations with creditors still wanting to support the
nation's development through loans and grants. However, these would
now have to be negotiated on a more equal and bilateral basis. 
"That is the government's decision," Boediono told a media briefing
here Thursday after meeting with representatives of Japan, the Asian
Development Bank (ADB) and the World Bank -- the CGI's three largest
contributors. 
"It relates to our national pride, being able to plan and manage our
own development based on our own terms and framework, without having
to depend on anyone else." 
Boediono said the decision to adopt a bilateral approach with
creditors as regards future development funding would be more
beneficial to Indonesia, more effective and more flexible than the
multilateral forum approach. 
"There have been no objections. They (CGI members) even say they
appreciate our decision," he said. "We have been carefully considering
the matter for a long time, and notified it to the CGI last year." 
The government agreed last year to a CGI pledge of US$5.4 billion in
new loans and grants. 
Finance Minister Sri Mulyani Indrawati concurred, saying the decision
was designed to keep the foreign borrowing process as simple as
possible, saying that in reality negotiations were conducted
bilaterally beforehand, with the CGI annual event being something of a
"costly and ceremonial" wrapping-up ceremony. 
The decision to terminate the CGI was also intended to reduce the
"political costs", given that some sections of the public persistently
claimed that the CGI was interfering in Indonesia's internal affairs. 
"It is a politically important symbol," she said. "It will increase
our bargaining power with creditors, prevent the politicizing of
issues, and keep everything confined to technical matters. Any project
financing that is received will be strictly business." 
Regarding the financing of the 2007 budget, which is heavily dependent
on overseas loans, Mulyani said the government over the last few years
had been gradually shifting budget financing to bond sales -- and
would continue to do so. 
"We have also taken into consideration the concerns of analysts and
economists that more bond sales might actually be costlier and affect
the market. That is why we have also been deepening the market and
improving our debt management so as to avoid other exposure risks,"
she said, hinting that this was the economic price of political
independence. 
World Bank country director Andrew Steer welcomed the move, saying
Indonesia had skillfully built up a stronger economy, while agreeing
that the old CGI model of funding pledges was no longer relevant. 
"We believe it is now appropriate that Indonesia should graduate from
the CGI process. Of course, it is valuable to maintain a dialogue with
the international community ... We are pleased that the government has
stated its desire to continue such a dialogue," he said. 
The ADB's resident mission officer-in-charge, Ramesh Subramaniam, said
the winding up of the CGI would not affect the ADB's existing
consultation and development support for Indonesia. 
"We believe it is the government's prerogative to decide what form it
wants to adopt for its consultations. We are not concerned with the
format per se, so whatever the government wants is OK with us," he said.  
- - - - - - - - - - - - - -  -
 



'TEBAR PESONA' AND RATING, The Jakarta Post Editorial, 01 Febr 2007
Less than a week after Indonesia decided to disband the World Bank-led
group of creditors known as the Consultative Group on Indonesia (CGI),
international agency Fitch Rating raised Indonesia's debt outlook from
stable to positive. In explaining their decision, Fitch Rating cited
improvements in the public finances, and government efforts to address
investor concerns about corruption and excessive bureaucracy.
The ratings improvement should calm a market already jittery over the
government's decision to disband the CGI. The higher rating sends the
positive signal that despite the CGI's demise, the government will not
face any trouble raising funds to plug future budget deficits. 
In fact, the disbandment of the CGI may serve a po

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- IMAGO TNI Bisa Membaik H a n y a Lewat REFORMASI

2007-01-30 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 30  Januari 2007

IMAGO TNI Bisa Membaik H a n y a Lewat REFORMASI Yang Konsisten

Dalam esay politik tertanggal 26 Jan 2007,  berjudul  'BETULKAH ADA
DEWAN REVOLUSI?', dinyatakan bahwa, usaha-usaha TNI untuk menjadikan
TNI seperti pada Revolusi Kemerdekaan, yaitu TNI yang tugas utamanya
adalah membela dan memperkokoh pertahanan negara, menjadikan TNI salah
satu sokoguru dari Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauké,
menjauhkan diri dari campur tangan dalam urusan yang bukan bidang
wewenangnya, lepas samasekali dari kegiatan aktif politik negeri dsb,
   Niat TNI  itu patut disambut. Lebih dari itu seyogianya
didukung sepenuh hati oleh setiap patriot Indonesia. 

Perkembangan TNI dalam  masa kira-lebih 40 tahun belakangan ini, 
kongkritnya selama periode Orba,  sangat gamblang termanifestasi dalam
praktek  pelaksanaan konsep 'DWIFUNGSI ABRI'.  'Dwifungsi Abri' 
menjadikan tentara berkuasa di segala bidang, melalui pelakasanaan
doktrin 'komando teritorial', tegaklah kekuasaan militer melalui
lembaga Babinsa di akar rumput, sampai ke KODAM. 'Dwifungsi Abri'
sekaligus menjadikan TNI diatas hukum,  sehingga yang menentukan 
hukum adalah militer. Militer telah menjadikan dirinya suatu lapisan 
masyarakat yang punya hak istimewa. 

Situasi hukum yang diciptakannya adalah, lenyapnya 'negara-hukum
Indonesia', -- berdirinya di Indonesia suatu rezim militer yang
teramat otoriter dan opresif. Suatu situasi yang dengan  terpusat dan
menyolok terfokus  dalam  'kultur hukum' dan  politik' I M P U N I
T Y '. Suatu rezim supuresif yang kebal hukum, dengan leluasa
melakukan pelanggaran HAM yang paling besar di negeri kita yang
terjadi dalam Peristiwa Pembantaian Masal 1965-1966.  Suatu rezim
militer yang  melakukan pelanggaran tindak korupsi dan KKN paling
dahsyat sepanjang sejarah Republik Indonesia.

*   *   *

Kadang-kadang, bila dibicarakan dan diktitik konsep 'Dwifungsi Abri' 
yang telah mencemarkan nama baik TNI dan membawa malapetaka pada
bangsa dan tanah air, yang membikin banyak perwira-perwiranya menjadi
koruptor-koruptor kakap yang hidup dalam suasana mewah, --  Ada
sementara pendapat yang merasa kritik terhadap konsep 'Dwifungsi Abri'
sudah 'kebanyakan'  dan bahkan 'sudah tak relevan' lagi. Karena,
begitu logikanya, diajukan argumentasi berikut ini:  Bukankah konsep
'Dwifungsi Abri' itu sudah jadi 'almarhum'?. Marilah kita sekarang ini
menatap ke depan. Bukankah TNI sudah berulangkali menyatakan akan
mengadakan Reformasi di kalangan sendiri. Bukankah sekarang ini TNI,
'tidak lagi mencampuri politik'?. 

Keadaan negeri kita dengan sejarah berkuasanya rezim milier Orba,
sedikit banyak ada persamaannya dengan sementara negeri Amerika Latin.
Maka ada baiknya menoleh sejenak ke Amerika Latin.

*   **

Di Amerika Latin ,
belum lama, begitu parahnya  mencengkam dan merajalelanya kekuasaan
militer atas politik dan begitu gawatnya korban yang ditimbulkan, yang
'fall-out'-nya masih berlangsung dan diderita (oleh para korban)
sampai sekarang ini, sehingga muncullah semboyan di kalangan
masyarakat yang luas:  

'JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKANNYA!'. 
'JANGAN SEKALI-KALI MEMAAFKANNYA!'. 

Sepenuhnya bisa difahami perasaan yang muncul dalam slogan seperti
itu, karena sampai sekarang masih ada para algojo pelaku pelanggaran
HAM fihak militer di Amerika Latin, yang masih  b e b a s . Tidakkah
ada persamaannya dengan Indonesia?

*   **

KONSEP 'DWIFUNGSI ABRI' YANG MASIH HIDUP DI KEMLU INDONESIA 
Di Indonesia, oleh negara, konsep 'Dwifungsi Abri' itu sudah
dinyatakan tidak berlaku lagi. namun, -- tiba-tiba orang tersentak,
dikejutkan oleh fikiran di kalangan sementara pejabat tinggi RI, yang
masih dengan getolnya menjajakan konsep 'Dewifungsi Abri' itu bahkan
di luarnegeri.  Ini bukan berita burung. Tercetak hitam di atas putih.
Kongkrit, bukan berita bohong, bukan isapan jempol. Adalah 
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, yang ternyata masih
ngeloni konsep 'Dwifungsi Abri'. Lebih-lebih lagi tidak bisa
dimengerti, bahwa konsep 'Dwifungsi Abri' yang sudah almarhum
(formalnya), itu ditawar-tawarkan oleh wakil Indonesia di Dewan
Keamanan PBB kepada Myanmar (Birma). 

Seakan-akan Kemlu Indonesia memberi nasihat kepada  para jendral
Myanmar, yang sudah puluhan tahun secara inkonstitusional mengangkangi
kekuasaan negara dan bertahun-tahun lamanya mengenakan tahanan rumah
terhadap pejuang Demokrasi Myanmar. Notabene, pejuang demokrasi Birma
ini,  Aung San Suu Kyi,  adalah tokoh pemimpin parpol Birma yang telah
memenangkan pemilu. Apa nasihat Menlu 'kita' itu?   Ini dia: Wahai
para jendral Myanmar Yth.: 'Cobalah trapkan formula 'Dwifungsi
militer' di negeri Anda, sehingga dengan demikian bisa menyelubungi
watak

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Betulkah Ada 'DEWAN REVOLUSI' ?

2007-01-28 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 26 Januari 2007
---

Betulkah  Ada   'DEWAN REVOLUSI' ?
Sejak Letnan Kolonel Untung, Komandan  Batalyon Cakrabirawa,  Pasukan
Pengawal Presiden, bersama rekan-rekannya,  kebanyakan dari Angkatan
Darat, membentuk 'Dewan Revolusi' melalui suatu gerakan militer yang
diberi nama oleh para pelakunya sebagai GERAKAN 30 SEPTEMBER (1965), 
-  perkataan  -'D e w a n   R e v o l u s i '   -   selalu
dikaitkan dengan tudingan tertuju pada  PKI atau  Presiden Sukarno.
Perhatikan, pada periode Orba  ---   kata  'Dewan Revolusi' --  itu
adalaht a b u   untuk  diungkit atau   dikutak-katik kembali,
selain menurut versi Orba.

Di sepanjang periode rezim Orba, apalagi sesudah jatuhnya Jendral
Suharto, terdapat dua versi yang bisa dibilang versi-versi utama
mengenai 'Dewan Revolusi' dan 'G30S'  yang melahirkannya. Satu
terhadap yang  lainnya versi-versi tsb  diametral bertentangan. Masih
ada beberapa versi lainnya. Satu versi yang diutarakan oleh a.l.  s.k.
Harian Rakyat ketika itu (1965), dan Sudisman, anggota DH PB CC  PKI 
yang diajukan ke sidang Mahmilub (1967), dan oleh sementara pelakunya,
 seperti Lt Kol Untung dan Brigjen Supardjo, ialah : Gerakan 30
September, adalah 'soal intern Angkatan Darat'  yang tujuannya adalah
 untuk mencekal rencana kudeta Dewan Jendral terhadap Presiden
Sukarno, dan untuk membela Presiden Sukarno. 

Versi satunya lagi,  adalah versi Orba yang menjadi versi resmi selama
30 tahun lebih:  --- 
'G30S' adalah  suatu percobaan kup, suatu makar  perebutan kekuasaan
negara oleh  PKI. 

Lain kali,  kita  bisa kembali lagi ke soal ini.

***

Bagaimana sekarang? 
Bagaimana situasinya, setelah  berlangsungnya gelora gelombang dahsyat
Gerakan Reformasi dan Demokratisasi, melalui suatu gerakan massa luas,
yang didukung sementara elemen dalam angkatan bersenjata sendiri,  dan
telah memaksa Presiden Suharto turun panggung? 

Sejak  Jendral Suharto jatuh, dalam situasi baru lahirnya kebebasan
pers  yang merupakan salah satu produk penting gerakan Reformasi dan
Demokratisasi, terbukalah kesempatan bagi siapa saja, untuk menulis
dan dengan bebas mengutarakan analisis dan tafsirannya sendiri
terhadap  kata dan peristiwa terbentuknya 'DEWAN REVOLUSI' (1965). 

Munculnya kembali kata 'Dewan Revolusi'  tsb baru belakangan saja
terjadi.  Memang sesuatu yang ironis. Kata yang dalam waktu panjang 
adalah 'tabu', tiba-tiba mencuat lagi. Anehnya,  hal itu dipandang
sebagai 'ulahnya' sementara perwira tinggi TNI. Juga dianalisis
sebagai  'satu jurus diikuti oleh jurus-jurus ofensif politik' yang
dialamatkan kepada  pemerintah SBY.  Maka diaturlah suatu 'pertemuan
khusus'  para penanggung jawab militer fihak pemerintah dengan para 
mantan perwira tinggi  TNI.  

Sebelumnya,  sudah tampak jelas  bahwa kegairahan sementara kalangan
di TNI (ini jelas pada sementara  mantan perwira tingginya), suatu
idam-idaman tak pernah padam, yaitu:  Untuk kembali turut ambil bagian
(aktif, kalau bisa memimpin) dalam kegiatan dan kehidupan politik
negeri. Kegairahan, bahkan langkah-langkah yang diambil dari  situ, 
bukan sesuatu yang disembunyikan. Juga bukan sesuatu yang negatif
Dalam kehidupan politik di banyak negeri yang memberlakukan sistim
politik demokrasi,  ikut sertanya perwira-perwira tinggi angkatan
bersenjata yang  s u d a h   b e r s t a t u s s i p i l  ,  yang
sudah purnawirawan, ---  adalah sesuatu yang  dibolehkan oleh
undang-undang dan hukum.  Maka kegiatan itu adalah wajar dan
sepenuhnya legal. Dengan catatan, selama kegairahan dan kegiatan dari
yang bersangkutan tidak dilakukan ketika sedang  dalam dinas aktif
militer serta  tidak menyalahgunakan kedudukannya itu. 

Bukankah Presiden RI  yang kelima sekarang ini, --- Susilo Bambang
Yudhoyono ---,  sebelumnya adalah seorang perwira tinggi yang aktif,
kemudian, sebagai Jendral  purnawirawan, sebagai orang sipil, 
menjabat kedudukan menko dan kemudian jadi Presiden RI, melalui
pemilihan langsung.

*   *   *

Pada parpol-parpol yang kuasa atau pernah kuasa, seperti PDI-P dan
Golkar, bisa disaksikan  sejumlah mantan perwira tinggi TNI, duduk 
dengan bangganya disitu. Juga parpol-parpol tsb merasa bangga bisa
'menarik' sejumlah perwira tinggi TNI,  meskipun sudah purnawirawan.
Para mantan jendral itu bahkan  sampai bisa duduk di dalam pimpinan
parpol tsb. Partai Demokrat yang kini berkuasa, pimpinan utamanya
adalah mantan Jendral TNI. Sementara parpol jelas sekali menjadikan
kontak dan relasi mereka dengan para mantan petinggi TNI, bahkan
dengan yang masih akitf sekalipun, sebagai program (intern) penting
parpol mereka. Inipun bukan sesuatu yang aneh,  bukan sesuatu yang
harus 'ditabukan'  membicarakannya secara terbuka, karena sejarah
politik Republik ini, benang merahnya  berkisar a.l di sekitar peranan
angkatan bersenjatanya.

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - Betulkah Ada 'DEWAN REVOLUSI' ?

2007-01-26 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 26 Januari 2007
---

Betulkah  Ada   'DEWAN REVOLUSI' ?
Sejak Letnan Kolonel Untung, Komandan  Batalyon Cakrabirawa,  Pasukan
Pengawal Presiden, bersama rekan-rekannya,  kebanyakan dari Angkatan
Darat, membentuk 'Dewan Revolusi' melalui suatu gerakan militer yang
diberi nama oleh para pelakunya sebagai GERAKAN 30 SEPTEMBER (1965), 
-  perkataan  -'D e w a n   R e v o l u s i '   -   selalu
dikaitkan dengan tudingan tertuju pada  PKI atau  Presiden Sukarno.
Perhatikan, pada periode Orba  ---   kata  'Dewan Revolusi' --  itu
adalaht a b u   untuk  diungkit atau   dikutak-katik kembali,
selain menurut versi Orba.

Di sepanjang periode rezim Orba, apalagi sesudah jatuhnya Jendral
Suharto, terdapat dua versi yang bisa dibilang versi-versi utama
mengenai 'Dewan Revolusi' dan 'G30S'  yang melahirkannya. Satu
terhadap yang  lainnya versi-versi tsb  diametral bertentangan. Masih
ada beberapa versi lainnya. Satu versi yang diutarakan oleh a.l.  s.k.
Harian Rakyat ketika itu (1965), dan Sudisman, anggota DH PB CC  PKI 
yang diajukan ke sidang Mahmilub (1967), dan oleh sementara pelakunya,
 seperti Lt Kol Untung dan Brigjen Supardjo, ialah : Gerakan 30
September, adalah 'soal intern Angkatan Darat'  yang tujuannya adalah
 untuk mencekal rencana kudeta Dewan Jendral terhadap Presiden
Sukarno, dan untuk membela Presiden Sukarno. 

Versi satunya lagi,  adalah versi Orba yang menjadi versi resmi selama
30 tahun lebih:  --- 
'G30S' adalah  suatu percobaan kup, suatu makar  perebutan kekuasaan
negara oleh  PKI. 

Lain kali,  kita  bisa kembali lagi ke soal ini.

***

Bagaimana sekarang? 
Bagaimana situasinya, setelah  berlangsungnya gelora gelombang dahsyat
Gerakan Reformasi dan Demokratisasi, melalui suatu gerakan massa luas,
yang didukung sementara elemen dalam angkatan bersenjata sendiri,  dan
telah memaksa Presiden Suharto turun panggung? 

Sejak  Jendral Suharto jatuh, dalam situasi baru lahirnya kebebasan
pers  yang merupakan salah satu produk penting gerakan Reformasi dan
Demokratisasi, terbukalah kesempatan bagi siapa saja, untuk menulis
dan dengan bebas mengutarakan analisis dan tafsirannya sendiri
terhadap  kata dan peristiwa terbentuknya 'DEWAN REVOLUSI' (1965). 

Munculnya kembali kata 'Dewan Revolusi'  tsb baru belakangan saja
terjadi.  Memang sesuatu yang ironis. Kata yang dalam waktu panjang 
adalah 'tabu', tiba-tiba mencuat lagi. Anehnya,  hal itu dipandang
sebagai 'ulahnya' sementara perwira tinggi TNI. Juga dianalisis
sebagai  'satu jurus diikuti oleh jurus-jurus ofensif politik' yang
dialamatkan kepada  pemerintah SBY.  Maka diaturlah suatu 'pertemuan
khusus'  para penanggung jawab militer fihak pemerintah dengan para 
mantan perwira tinggi  TNI.  

Sebelumnya,  sudah tampak jelas  bahwa kegairahan sementara kalangan
di TNI (ini jelas pada sementara  mantan perwira tingginya), suatu
idam-idaman tak pernah padam, yaitu:  Untuk kembali turut ambil bagian
(aktif, kalau bisa memimpin) dalam kegiatan dan kehidupan politik
negeri. Kegairahan, bahkan langkah-langkah yang diambil dari  situ, 
bukan sesuatu yang disembunyikan. Juga bukan sesuatu yang negatif
Dalam kehidupan politik di banyak negeri yang memberlakukan sistim
politik demokrasi,  ikut sertanya perwira-perwira tinggi angkatan
bersenjata yang  s u d a h   b e r s t a t u s s i p i l  ,  yang
sudah purnawirawan, ---  adalah sesuatu yang  dibolehkan oleh
undang-undang dan hukum.  Maka kegiatan itu adalah wajar dan
sepenuhnya legal. Dengan catatan, selama kegairahan dan kegiatan dari
yang bersangkutan tidak dilakukan ketika sedang  dalam dinas aktif
militer serta  tidak menyalahgunakan kedudukannya itu. 

Bukankah Presiden RI  yang kelima sekarang ini, --- Susilo Bambang
Yudhoyono ---,  sebelumnya adalah seorang perwira tinggi yang aktif,
kemudian, sebagai Jendral  purnawirawan, sebagai orang sipil, 
menjabat kedudukan menko dan kemudian jadi Presiden RI, melalui
pemilihan langsung.

*   *   *

Pada parpol-parpol yang kuasa atau pernah kuasa, seperti PDI-P dan
Golkar, bisa disaksikan  sejumlah mantan perwira tinggi TNI, duduk 
dengan bangganya disitu. Juga parpol-parpol tsb merasa bangga bisa
'menarik' sejumlah perwira tinggi TNI,  meskipun sudah purnawirawan.
Para mantan jendral itu bahkan  sampai bisa duduk di dalam pimpinan
parpol tsb. Partai Demokrat yang kini berkuasa, pimpinan utamanya
adalah mantan Jendral TNI. Sementara parpol jelas sekali menjadikan
kontak dan relasi mereka dengan para mantan petinggi TNI, bahkan
dengan yang masih akitf sekalipun, sebagai program (intern) penting
parpol mereka. Inipun bukan sesuatu yang aneh,  bukan sesuatu yang
harus 'ditabukan'  membicarakannya secara terbuka, karena sejarah
politik Republik ini, benang merahnya  berkisar a.l di sekitar peranan
angkatan bersenjatanya.

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - TIONGKOK Yang KUKENAL (1)

2007-01-23 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 23  Januari 2007


TIONGKOK Yang  KUKENAL (1)
Enam tahun yang lalu, pada waktu Republik Rakyat Tiongkok mencapai 
usia 50 tahun,  aku ditilpuni  VARA dari Hilversum. Radio/TV  VARA
adalah  sebuah pemancar  non-pemerintah yang dapat subsidi dari
pemerintah Belanda. VARA  mengundang  aku untuk datang ke studio
mereka.  Mereka bertanya:  Apakah aku bersedia diwawancarai berkenaan
dengan usia setengah abad Republik Rakyat Tiongkok? Mengapa aku?
Fikirku. Why me? Tetapi pertanyaanku itu tak penting untuk dijawab. 
Peniplun dari VARA itu  kujawab serta merata:  'Ja  Meneer! Ik
accepteer uw uitnodiging'. Ya, undangan kalian saya terima. 

VARA gembira dan  segera mengatur menjemput aku di rumah untuk
kemudian mengantar kembali pulang. Suatu service istimewa,  fikirku.
Mengapa?  Nyatanya,  ketika itu  di mancanegara  sedang ramai-ramainya
media membicarakan tentang Republik Rakyat Tiongkok dan Tiongkok
secara umum, berkenaan dengan ulang tahun ke-50  Republik Rakyat
Tiongkok. Logis, di Belanda VARA tidak ingin ketinggalan,  untuk  juga
ambil bagian dalam mengomentari Tiongkok Baru. Untuk itu a.l VARA
memanfaatkan aku.

Satu hal yang gencar sekali disasar  oleh wartawan VARA yang
mewawancaraiku,  adalah masalah 'pelanggaran HAM di Tiongkok'.  Kata
wartawan VARA itu: Anda punya hubungan baik dengan Tiongkok. Adakah
Anda persoalkan masalah HAM dengan pejabat-pejabat Tiongkok? Kebetulan
aku bisa jawab langsung. Aku katakan kepadanya, karena aku punya
hubungan baik dan bersahabat dengan Tiongkok, aku tidak segan dengan
terus terang, langsung dan terbuka bicara mengenai kritik-kritik yang
ada terhadap Tiongkok, khususnya yang bersangkutan dengan 'pelanggaran
HAM'.

Dalam tahun 1998 aku mengunjungi Tiongkok (lagi), kataku kepada VARA.
Di salah satu tempat di Tiongkok, aku berdialog dengan seorang kader
pimpinan  Tiongkok setempat, tingkat provinsi. Aku kemukakan kepada
pejabat provinsi itu,  tentang komentar mengenai pelanggaran HAM di
Tiongkok. Sahabatku kader provinsi itu,  mendengarkan dengan sabar
tentang kritik luar terhadap Tiongkok bersangkutan dengan pelanggaran
HAM. 

Dengan serius dan nada geram, yang tidak disembunyikan, ia berkata:
Orang yang mengeritik kami tentang pelanggaran HAM di Tiongkok, mereka
itu tidak benar. Kritrik-kritik mereka itu tidak adil! Puluhan tahun
lamanya kami bekerja keras untuk memperbaiki dan memajukan peri
kehidupan rakyat Tiongkok. Kami mencapai hasil-hasil yang nyata dalam
pembangunan negeri dan kehidupan rakyat yang lebih baik. Ini adalah
tugas utama kami, ini adalah tugas menyangkut hak-hak azasi manusia
Tiongkok yang harus kami penuhi. Sesungguhnya di Barat dan sementara
negeri lainnya, pelanggaran HAM lebih besar dan lebih serius terjadi.
Lihat di negeri mereka sendiri. Apakah di negeri mereka itu tidak ada
pelanggaran HAM. Jelas ada,  bahkan amat besar.  Mengapa mereka
menjadikan Tiongkok sebagai sasaran utama mereka? 

Aku bisa mengerti reaksi sahabat Tiongkok ku itu. Sebelumnya aku juga
pernah mengajukan pendapatku  kepada Tiongkok mengenai masalah
'oposisi' di Tiongkok. Tapi mengenai itu nanti akan dibicarakan
belakangan.

***

Menyela sedikit. 
Sudah beberapa  kali aku menulis  tentang Tiongkok. Masih saja kurasa
ada perlunya menulis lagi, dan menulis lagi tentang Tiongkok. Karena
Tiongkok perkembangannya begitu cepat dan banyak yang mengatakan:
MENAKJUBKAN. Sahabatku Sugeng Slameto (sayang ia baru-baru ini
meninggal dalam 'usia muda'), belum lama menulis sampai 9 artikel
tentang Tiongkok, sesudah dalam musim panas y.l  bersama satu
rombongan terdiri dari 19 orang Indonesia yang berkunjung ke Tiongkok.
Sugeng punya kesan yang baik dan bersahabat tentang Tiongkok. Aku
sengaja menekankan sikap bersahabat Sugeng Slameto terhadap Tiongkok.
Karena kuanggap sikap itu baik dan tepat.  

Memang benarlah apa yang ditulis oleh sejarawan Inggris E.H. Carr
(1961), bahwa, sekarang ini orang  ingin mengerti, dan mengambil
posisi terhadapnya, tidak saja tentang keadaan sekitarnya, tetapi juga
terhadap dirinya; dan hal ini telah menambahkan dimensi baru terhadap
akal,  suatu dimensi baru terhadap sejarah. Abad ini adalah abad yang
paling history-minded terbanding abad-abad lalu. Manusia modern sampai
derajat  yang tak pernah tercapai sebelumnya, sadar akan dirinya dan
oleh karena itu sadar-sejarah. Demikian sejarawan E.H. Carr.

*   *   *

Ada juga yang bilang,  Tiongkok sekarang   m e  n a k u t k a n.  Lalu
berkampanye tentang bahaya Tiongkok sebagai 'superpower baru'. Tentang
'Bahaya Kuning' ,dsb. Kuingat ketika berkunjung ke Indonesia dalam
tahun 2001 dan sempat ngomong-ngomong dengan tokoh nasionalis Ruslan
Abdulgani. Beliau menandaskan tentang 'bahaya mendatang' yang dihadapi
Asia. Bukan Amerika atau Jepang, kata Ruslan. Tetapi Tiongkok. Nah,
jangan kaget terhadap pendapat Ruslan.  

 Jurnalis dan penulis terkenal Amerika Edgar Snow

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -- S. MANAP PANDAI BERCERITERA

2007-01-21 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA  --  BERBAGI CERITA --
21 JANUARI 2007

S. MANAP PANDAI BERCERITERA
---

Sejak tadi malam  hatiku tergerak untuk menulis lagi mengenai
bagaimana pentrapan salah satu elemen penting dari DEMOKRASI, yaitu
KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT, berlangsung dengan hidup dan menarik
dinegeri kita tercinta. Maksudku hendak membicarakan bagaimana orang
pertama di Republik kita ini, Presiden SBY, ambil bagian yang lumayan
aktif dalam  d i a l o g  terbuka dengan para pengeritisinya. Ini positif!

***

Namun, sesudah membaca CERPEN 'TUKANG NUJUM', karya sahabatku yang di
Stockholm itu, aku tinggalkan dulu maksud untuk menulis tentang
politik. Aku ikuti saran S. Manap, supaya kita 'bersantai-santai baca
cerpen' yang ia tulis.

Sahabatku Manap! Membaca cerpen Anda yang berjudul 'TUKANG NUJUM',
memang orang akan merasa santai. Senjum orang dibikinnya. Lalu senjum
lagi. Karena cerpen Anda itu sungguh jenaka. Sesudah senyumm timbullah
rasa hormat dan penghargaan terhadap Anda. Karena Anda ternyata
mengenal sekali dan tahu benar apa yang Anda tulis. Mengenai keadaan
salah satu tempat di Sumatera Selatan. Anda secara hidup dan rinci
menganalisis keadaan masyarakat setempat.  Menceriterakan tentang
'WHO'S WHO', seperti kata orang Inggris. Sehingga dengan demikian
tidak 'cerita asal cerita'. Cerpen TUKANG NUJUM, karya Anda itu, 
adalah cerita yang hidup, sehingga terbayang di hadapan pembaca
keadaan dan kehidupan riil salah satu tempat di Sumsel. Cerpen yang
seperti ini sungguh sangat menarik.

Seperti yang Anda pernah tulis, Anda tinggal di Stockholm, Swedia.
Bagaimana Anda bisa begitu kongkrit dan hidup menggambarkan salah satu
tempat di Sumsel. Saya duga-duga saja. Anda pulang kampung tidak
sekadar melepas rindu! Anda ketika pulang ke kampung, sangat
memperhatikan keadaan masyarakat setempat. Cerpen Anda dengan demikian
tidak 'ngambang', tidak 'mengada-ada'.

Karena, memanglah keadaan masyarakat kita, seperti Anda lukiskan dalam
cerpen Anda, masih 'supersticious', masih 'bijgelovig'. Masih percaya
'sesuatu' disamping kepercayaan religinya yang resmi, tidak perduli
apa itu Islam atau Kristen. Nyatanya masih (tak jarang) lebih percaya
pada DUKUN. Benar Anda. Bukan saja di kota kecil Indonesia, juga di
pusat kekuasaan politik di Jakarta, tidak sedikit politisi kita, atau
mereka yang sibuk dalam dunia bisnis, yang masih sering mengunjungi
DUKUN. Bung Karno dikatakan  dulu itu percaya sekali pada Pak Rahim,
yang terkenal adalah dukun yang bertaraf nasional. Jendral Suharto
juga dikabarkan punya dukunnya sendiri. Jangan jauh-jauh, aku sendiri
masih suka lihat ruangan 'horoscope' di koran atau majalah.

*   *   *

Tapi Anda tidak berhenti pada 'memotret' saja keadaan masyarakat kita
yang masih  percaya TUKANG NUJUM  atau DUKUN. Anda juga sedikit
'menguliti' watak dan 'kebiasaan' buruk dukun-dukun yang biasa terima
'macam-macam' dari pengunjungnya. Yang nujumannya ternyata tak
terbukti. Sehingga akhirnya luntur juga kepercayaan orang pada dukun tsb.

Ada lagi yang hendak kukatakan, yang hendak kupuji cerpen Anda itu.
Yaitu, Anda menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Anda memperhatikan
tata-bahasa. Ini patut dihargai. Karena ini berarti mempromosi
penggunaan bahasa Indonesia yang baik. Jangan seenaknya menggunakan
bahasa, sehingga memberikan contoh yang buruk sekali kepada generasi
muda kita. Yang di sekolah oleh para guru dengan susah payah diajarkan
bahasa Indonesia yang benar dan baik.

*   *   *

Tak lain penghargaanku kepada Anda S. Manap. 
Bravo, teruskan menulis cerpen. Namun, . . . . . Tokh bukan berarti
Anda tidak akan menulis lagi tentang politik? Karena politik itu
adalah bagian yang penting dari budaya, dari kebudayaan sesuatu bangsa.

Masih ada sedikit lagi. 
Tulisanku ini  b u k a n   r e s e n s i . Sekadar tanggapan spontan
karena senang membaca cerpen Anda.


*   *   *
S. MANAP
CERPEN TUKANG NUJUM
---
Teman-teman dan sahabat-sahabat.
Anda lelah ? Banyak berdebat politik? Jangan lupa ini akhir Minggu.
Santai-santai sajalah. Sambil bersantai-santai baca sajalah cerpen ini.
Untuk sementara lupakan dulu lawan maupun isi debat politik. Bisa
dilanjutkan pekan depan kan? He.. he.. he ..
S.Manap

***

L, demikian nama salah satu kota di Sumatera Selatan. Kota ini tidak
besar, penduduknya tidak banyak. Tapi kalau pusat kota digabungkan dengan
daerah sekitarnya, maka keseluruhan wilayahnya cukup luas. Pusat kota
terutama adalah Pasar Baru, dengan semua pertokoan dan perkantoran,
termasuk
dua gedong bioskop. Pasar Baru sekarang mempunyai sebuah pasar, berupa
gedong bertingkat..

Yang dimaksudkan dengan sekitarnya itu ialah Pasar Bawah, Pasar Lama, L
Tengah, Suka Ratu, Bandar Agung, Gunung Gajah,Talang Srinanti,Talang
Jawa,Talang Ubi dan Talang Banten.

Dulu,Talang Banten merupakan tempat tinggal sejumlah b

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- DEMOKRASI --- KRITIK DAN KONTRA-KRITIK

2007-01-19 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 19 Januari 2007

DEMOKRASI  --- KRITIK DAN KONTRA-KRITIK
< Bagaimana itu ditrapkan dalam kehidupan bernegara>
Belakangan ini media kita ramai memberitakan dan mengomentari kritik
dan kontra-kritik antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono versus
mantan Presiden, Ketua Umum PDI-P, Megawati Sukarnoputri. Di satu
segi,  ramé-ramé kritik-kontra-kritik itu ada baiknya! Pertama-tama 
tentunya manfaaat yang bisa ditarik dari substansi kritik dan
kontra-kritik itu sendiri, yang disinggung secara umum kali ini. 

Yang hendak difokuskan disini ialah segi lainnya.  Yaitu  segi 
praktek berdemokrasi. Kita bisa menarik pelajaran bagaimana 'kebebasan
menyatakan pendapat' 
ditrapkan di kalangan elite politik Indonesia. Yang  menunjukkan
bahwa, meskipun  formalnya beliau-beliau itu berasumsi sebagai
penganut dan pembela demokrasi, tetapi di dalam praktek, bila dirinya
sendiri yang jadi sasaran kritik,  betapapun, terkesan  yang
bersangkutan sedikit 'tersinggung' atau merasa 'risih' menerima kritik
tsb. 

'Risih' bila  pelaksanaan salah satu prinsip demokrasi, yaitu kritik,
itu ditujukan terhadap dirinya sendiri.  Terdengarlah celetukan,
seperti :  'hendaknya perbedaan pendapat itu ditangani  secara
baik-baik'. Terkadang dipertanyakan, bukankah kita ini, sebagai bangsa
Timur, yang punya tradisi dan kulturnya sendiri, tidakkah sebaiknya
mencari solusi  lewat  'musyawarah dan mufakat'?. Lewat konsensus?
Bisa jadi, saran tsb punya maksud baik. Tetapi,  kita punya pengalaman
yang jelék  sekali dari praktek otoriter  rezim Orba. Yang dikatakan
tradisi dan kultur  'musyawarah dan mukafat'  ternyata kata-akhir, 
yaitu yang mengambil keputusan yang mengikat semua, yang menentukan,
adalah  'bapak-bapak pemimpin '  sebagai 'sesepuh'  yang  sejak semula
telah memberikan 'pengarahan'.  Yaitu Bapak Presiden Jendral Suharto!
Bukankah itu kultur politik Orba  yang njelimet untuk, dengan selubung
'musyawarah dan mufakat',  memelintir hak  untuk 'dengan bebas
menyatakan pendapat', menindas   hak   mayoritas warganegara mengambil
keputusan  lewat cara demokratis.  Pada akhirnya  Pak Hartolah,  yang
 dengan cara otoriter menentukan segala-galanya.

*   *   *.

Ketika Megawati menduduki jabatan Presiden RI, tidak sekali dua orang
melihat betapa beliau kurang réla bila dikritik. Maka  digunakanlah
kata 'hujatan' bila ada yang mengeritiknya.  Bisa dipastikan bahwa
baik SBY maupun Mega menganut prinsip DEMOKRASI. Bukankah partai
mereka masing-masing menyandang nama DEMOKRASI? Yang satu menggunakan
nama  Partai  D e  m o k r a s i   Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang
satunya lagi bernama Partai D e m o k r a t . Masing-masing mereka itu
adalah pimpinan partai yang punya program DEMOKRASI. Dengan demikian
masing-masing menyatakan diri sebagai DEMOKRAT.

Kali ini bisa disaksikan betapa SBY merasa 'risih' dan 'tidak rela' 
ketika dari jurusan PDI-P, dari ketuanya sendiri, Megawati,  meluncur
kritik-kritik tajam terhadap beleid SBY dan pemerintahannya.( 'Jangan
hanya menebar pesona, kata Mega, tetapi menebar karya'). Tak lama
kemudian SBY  melakukan 'serangan balas'. Kira-kira begini kata SBY: 
Kalian jangan hanya bisa ngomong saja, (dong) dan kemudian berpangku
tangan. Yang penting bekerja untuk rakyat (seperti saya ini,  kata
SBY). Kira-kira begitu maksudnya.

Sesungguhnya, yang melancarkan kritik ke arah pemerintah, bukan hanya
Mega. Yang sudah sejak semula memang mengumumkan bahwa PDI-P  akan
mengambil posisi sebagai partai oposisi. Jadi, apa yang dilakukan Mega
adalah normal dan wajar dalam suatu masyarakat demokratis. Juga pers
dan parpol lainnya menggunakan hak fundamental untuk menyatakan
fikiran dengan bebas, untuk mengeritik yang berkuasa. 

Baca saja surat-kabar, atau dengarlah radio ( sebaiknya yang swasta)
yang begitu banyak jumlahnya. Tidak sehari lewat tanpa ada kritik
terhadap pemerintah, terhadap penguasa,  polisi, tentara, Pengadilan,
terhadap SBY, terhadap Wapres Jusuf Kala.  Apakah itu datangnya dari
media, ornop, parpol maupun  LSM. Apa itu menyangkut soal ekonomi,
atau masalah perusahaan-perusahaan asing yang semakin  leluasa 
mengeduk kekayaan bumi dan alam kita, serta menikmati upah kerja buruh
yang murah  di Indonesia sekarang ini. Atau kritik itu mengenai
ketentuan-ketentuan IMF,  Bank Dunia yang dengan patuh dilaksakankan
di negeri merdeka ini, dsb.  Sehingga menjadikan negeri tecinta ini
betul-betul tergantung pada asing. Di tambah lagi  kritik-kritik
terhadap  penanganan kasus-kasus korupsi yang  dinyatakan tidak
seperti yang diharapkan; serta kritik-kritik terhadap  pengurusan
kasus pembunuhan terhadap pejuang  HAM,  Munir. 

Sumber kritik-kritik itu  adalah situasi peri kehidupan bangsa  yang
tidak tampak ada perubahan apalagi kemajuan. Kritik-kritik itu berasal
dari situasi rakyat terbanyak yang sudah  bertahun

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS

2007-01-18 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA'S  - SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS 
---
OLD  SOLDIERS DISCUSS NATION WITH OFFICIALS
ELECTIONS PROVIDE CHANCE FOR EX-  ACEH REBELS
NO STREET RALLIES, PLEASE 
ATTORNEY GENERAL  OFFICE TO FILE REVIEW ON MUNIR'S VERDICT
CHINA WILL NOT RULE ASIA 
---
OLD SOLDIERS DISCUSS NATION WITH OFFICIALS
National News - January 17, 2007 
Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta
Retired generals met with top government officials here Tuesday to
discuss the national situation after calls for action over poverty,
natural disasters, corruption and transportation accidents.
Former vice president Try Sutrisno, former Army chief Tyasno Sudarto
and former State Intelligence Coordinating Agency head Sudibyo
attended the meeting, along with current Coordinating Minister for
Political, Legal and Security Affairs Widodo A.S. and State
Intelligence Agency chief Syamsir Siregar, all of whom are retired
generals. 
None were willing to discuss the details of the meeting, although
Sudarto said that President Susilo Bambang Yudhoyono had asked the
Retired Servicemen's Communication Forum to arrange the meeting. 
Minister Widodo said the meeting was held in an attempt to improve
communication between the government and the former servicemen and to
hear what action they believed they government needed to take to
improve conditions in the country. 
He denied that it had been held in response to Monday's rally in front
of the State Palace calling for the President to step down. 
"No, the meeting did not discuss the demand for the revocation of the
people's mandate. We discussed many state issues," Widodo said, but
did not elaborate. 
The rally was led by a leader of the 1974 Malari protest, Hariman
Siregar, who said that the people could revoke the mandate they gave
to Yudhoyono and Jusuf Kalla in the 2004 presidential election. 
A number of retired generals have been actively involved in a series
of discourses criticizing the performance of the Yudhoyono
administration, with Try Sutrisno taking a leading role in the movement. 
Try and other state figures, including Amien Rais and former
presidents Abdurrahman "Gus Dur" Wahid and Megawati Soekarnoputri,
have frequently expressed their concern over the situation in the
country. They have called on the nation to get back to the original
script of the 1945 Constitution, uphold the state ideology of
Pancasila and maintain the unitary state of Indonesia. 
Several retired generals have chosen to join political parties and
pursue careers in politics. 
After two years in power, Yudhoyono has been criticized for his
failure to meet his 2004 election promises. 
Concluding its congress in Denpasar, Bali, last week, the Indonesian
Democratic Party of Struggle (PDI-P) criticized Yudhoyono's
government, pointing to legal uncertainty, high corruption levels in
the bureaucracy and the worsening poverty and unemployment problems. 
PDI-P chairwoman Megawati Soekarnoputri said the President was too
busy building his image. 
Speaking to the media after the gathering, Tyasno said the retired
generals were deeply concerned over the increasing rates of poverty
and unemployment, the continuing natural disasters as well as sea and
air accidents. 
"The government should feed the people, generate new jobs and provide
safe transportation in compensation for the taxes they have paid," he
said. 

ELECTIONS PROVIDE CHANCE FOR EX  ACEH REBELS . . .
National News - January 17, 2007 
Nani Afrida, The Jakarta Post, Banda Aceh
Jamil Umar of Pidie regency is happy with the outcome of Aceh's
regional elections, which saw independents win big at the expense of
figures from established political parties. 
"Frankly speaking, I hoped Free Aceh Movement (GAM) members would win
in the polls so that Aceh would change," he said enthusiastically. 
Jamil is good at picking winners. He voted for the successful pair of
Irwandi Yusuf and Muhammad Nazar -- two former GAM leaders -- in the
gubernatorial poll and supported the winning GAM-backed Pidie regency
candidates of Mirza and Nazir during the elections last Dec. 11. 
The retired school teacher said he chose the GAM-backed candidates
because he distrusted most of the aspirants nominated by mainstream
political parties. 
"I'd voted for candidates from the established parties for years, and
life kept getting more difficult," Jamil said with a wry grin. 
Candidates from the major parties frequently manipulated people to get
into power and often made lavish promises before the elections, which
they conveniently forgot about later, he said. 
The GAM-backed candidates, meanwhile, were fresh faces who had new
ideas, he said. 
Last year, Aceh became the first and only province to allow
independent candidates to run for political office; a change mandated
by the Helsinki peace agreement signed by the government and GAM in
August 

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- SEJARAWAN BAMBANG PURWANTO dan SEJARAH KITA.

2007-01-14 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 15 Januari 2007


SEJARAWAN BAMBANG PURWANTO, Dan  SEJARAH KITA.
APA ITU SEJARAH?

* * *

Kemis, 11 Januari 2007,  Mintardjo, Ketua Yayasan Sapu Lidi, Leiden,
lewat tilpun  mengingatkan aku mengenai rencana mereka bersama PPI
Leiden,  untuk menyelenggarakan  BEDAH BUKU-nya Prof. Dr. Bambang
Purwanto MA. Bukunya berjudul 'Gagalnya  Historiografi
Indonesiasentris!?!'. Mengenai adanya dua  tanda baca pada akhir
judul, yaitu tanda-baca tandatanya (?),  disusul dengan tand-baca
tanda seru (!), dari kalangan yang hadir dalam bedah buku itu, ada
yang mempertanyakannya. Menurut Purwanto, memang  dibuat demikian,
karena apa yang dinyatakan mengenai 'Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris',  betul ada yang mempertanyakannya. Maka dicatatlah
pendapat tsb. Dengan membubuhkan tanda-baca tandatanya. Karya ilmiah
Bambang Purwanto tsb baru saja terbit di Jakarta . 

Walhasil, tak peduli masih  menghembusnya angin taufan dan suhu cukup
dingin,  diantar putriku dengan mobilnya ke stasiun keretapi
Duivendrecht,  meluncurlah kereta dari situ ke Leiden.  Kuperlukan
benar untuk bisa  hadir dalam 'Bedah Buku' Bambang Purwanto.  Kegiatan
pagi itu dilangsungkan di 'Faculteit der Sociale Wetenchappen',
Universitas Leiden. Letaknya di seberang stasiun keretapi Leiden
Centraal. Perhatian cukup besar, ruangan tempat kami berkumpul di
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Leiden itu, penuh.

Mungkin ada baiknya,  disamakan dululah pemahaman,   mengenai apa
sebenarnya,  apa yang dimaksud dengan kata  h i s t o r i o g r a f i
  itu. Secara umum penjelasannya, kiranya demikian: Historiografi itu
adalah salah satu cabang dalam ilmu pengetahuan yang mempelajari 
praktek ilmu sejarah itu.  Bentuknya a.l  mempelajari metodologi dan
perkembangan sejarah sebagai suatu disiplin akademik. Seperti yang
banyak bisa dilihat dan ditulis sekarang ini historiografi merujuk
pada bagian tertentu dari penulisan sejarah. Misalnya 
histostoriografi  Indonesia mengenai 'G30S', pada periode Orba yang
merujuk ke pendekatan metodologis dan ide mengenai sejarah gerakan tsb
yang telah ditulis selama periode itu, dst.

*   *   *

APA ITU SEJARAH ? 

Mengenai apa yang dinamakan sejarah itu, apakah penulisan sejarah itu
bisa obyektif,  apakah bisa bebas dari subyektifitas penulisnya, hal
itu  sudah sejak lama menjadi tema diskusi bahkan perdebatan yang
menarik dan memang perlu dipelajari terus. Bukan saja di kalangan
cendekiawan, tetapi juga di kalangan yang lebih luas, seperti pers dan
para politisi.

Lebih seabad yang lalu (Oktober 1896),  seorang pakar sejarawan
Inggris,  Lord Acton namanya,  menulis laporan kepada  Syndics dari
Cambridge University Press. Di situ ditulisnya a.l bahwa. pada suatu
ketika adalah mungkin untuk menghasilkan 'ultimate history'. Karena,
demikian ditulisnya, meskipun 'ultimate history'  tidak dapat dimiliki
dalam generasi ini,  -- tapi kita bisa menghasilkan suatu 'sejarah
konvensionil'. Di saat semua informasi bisa kita raih,   dan setiap
problim sudah bisa dipecahkan. 

Namun, kira-kira enampuluh tahun  kemudian, yaitu sesudah laporan Lord
Acton yang menyatakan kemungkinan menghasilkan suatu 'ultimate
history', sejarawan  Prof  Sir George Clark, mengomentari bahwa
sejarawan-sejarawan generasi kemudian tidak mengharapkan prospektif
demikian itu. Mereka itu menganggap bahwa,  hasil karya mereka akan
dilampaui oleh sejarawan yang menyusul kemudian. Demikianlah akan 
berlangsung tak henti-hentinya.

Sejarawan yang mucul kemudian menganggap bahwa  pengetahuan mengenai
masa lampau dilahirkan oleh  lebih dari satu pemikiran-manusia;  hal
itu telah 'diproses' oleh mereka itu. Dan oleh karena itu, tidak
mungkin ia terdiri dari elmen dan atom-atom  yang tanpa kepribadian, 
yang tak bisa diubah oleh siapapun . . . .

Maka tanya salah seorang sejarawan terkenal lainnya EH Carr: Bila kita
berusaha menjawab pertanyaan 'APA SEJARAH ITU', maka jawab kita adalah: 

Disadari atau tidak, jawabannya mencerminkan posisi kita sendiri pada
waktu itu, dan merupakan jawaban terhadap  masalah yang lebih luas.
Yaitu pandangan tentang masyarakat yang  yang bagaimana yang diambil
dimana kita hidup.

*   *   *
Tema sejarah, apalagi Sejarah Indonesia, selalu menarik,  dan
merupakan suatu kepedulian  bagiku. Apalagi kali ini yang menulisnya
adalah sejarawan generasi muda yang kukenal orangnya: Prof Dr Bambang
Purwanto MA. Dua tahun yang lalu sejarawan muda ini, dikukuhkan
menjadi Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada. 

Selama berlangsungnya Bedah Buku, aktivis penyelenggara tampak sibuk
membuat catatan dan merekam uraian Bambang Purwanto dan tanggapan yang
diberikan terhadapnya. Juga diskusi mengenai uraian Bambang dan yang
lainnya, dicatat, difoto dan direkam. Alangkah baiknya jika
penyelenggara Bedah Buku ini, menyusun kembali semua catatan dan
rekaman tsb dengan rapi, mengeditnya 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA Berbagi Cerita -- BELANDA PEDULI INDONESIA

2007-01-11 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA   Berbagi Cerita
Kemis, 11 Januari 2007.
---
BELANDA  PEDULI  INDONESIA


Sejak diundang oleh  'Yayasan Winternachten' -Den Haag, bertambah
pengetahuanku bahwa orang-orang Belanda memang benar, menaruh
kepedulian yang sungguh-sungguh terhadap segala sesuatu yang
bersangkutan dengan  INDONESIA. Tak lain dan tak bukan, bertitik tolak
dari rasa dan keinginan mempertahankan dan mengembangkan hubungan
historis Belanda dengan Indonesia. Terutama hubungan dan pengembangan
di bidang budaya dan sosial.

Di fihak pemerintah Belanda , memang sudah lama kepedulian terhadap
Indonesia ini tercurah a.l di bidang pendidikan dan kebudayaan. Untuk
tahun ini permerintah Belanda berrencana memperbesar sumbangannya
terhadap usaha pendidikan di Indonesia. Sudah sejak lama tidak asing
lagi, banyaknya orang Indonesia yang meneruskan studinya di negeri
Belanda, terutama di Leiden, Delft, Wageningan, Den Haag dan Amsterdam.

Dua tahun yang lalu ada yang 'tak enak'  yang terjadi  yang tanpa
dimaui berkaitan dengan  negeri Belanda. Ketika  itu seorang pejuang
HAM terkenal Munir, dibunuh asassin. Munir  dalam perjalannya dari
Jakarta ke Schiphol, Amsterdam. Munir ke Belanda untuk menambah
studinya di Universitas Utrecht. Sampai sekarang kasus pembunuhan
politik ini masih terkatung-katung. Belakagan ada berita, katanya,  
kasus Munir ini akan cepat terungkap siapa sesungguhnya asasin dan
dalangnya. Karena, katanya  kasus pembunuhan Munir sudah menjadi
'kasus internasional'. Antara lain karena Amerika juga turun tangan
dalam pelacakan untuk mengungkap kasus pembunuhan terhadap pejuang HAM
Indonesia Munir.

*   *   *

Cakap-cakap ini terutama dimaksudkan untuk sedikit cerita tentang
Winternachten DenHaag.  Ini disebabkan  kepeduliannya  antara lain
terhadap Indonesia. Di bidang budaya dan sosial. 

Sebenarnya bila hendak  mengetahui lebih mendetail dan  dari sumber
otentik mengenai kegiatan WINTERNACHTEN DEN HAAG,   lebih baik masuk
saja di internet. Lalu klik  www.winternachten.nl. Di situ akan
didapati segala informasi mengenai Yayasan Winternachten Den Haag dan
kegiatannya selama ini.  'Maar goed', kata orang Belanda.  Baik aku
introduksikan juga sedikit mengenai WINTERNACHTEN, yang di waktu lalu
pernah  juga kutulis.

*   *   *

Pasal mulanya:  Pada suatu hari aku dihubungi oleh salah seorang
penggiat Yayasan Winternachten Den Haag. Diajukan pertanyaan/undangan
apakah aku bersedia untuk ambil bagian dalam salah satu  acara
kegiatan mereka dalam Winternachten 2004 itu. Sikapku adalah: Selalu
sedia ambil bagian dalam kegiatan dengan tema PEDULI INDONESIA.
Singkatnya, aku diminta untuk ambil bagian dalam semacam 'seminar
kecil-singkat'  yang bersangkutan dengan Peristiwa 1965. Fokusnya pada
saat-saat dimulainya kampanye pembantaian masal terhadap orang tak
bersalah, yang dilakukan oleh kaum militer di bawah Jendral Suharto,
dalam rangka usaha perebutan kekuasaan terhadap Presiden Sukarno.  

Karena keterlibatanku dengan kegiatan Winternachten Den Haag tsb,
sejak itu, aku selalu diundang untuk menghadiri dan menikmati
acara-acara mreka khususnya yang menyangkut dengan Indonesia.
Juga kali ini, aku diundang untuk menghadiri dan menikmati acara  mereka.

*   *   *

Mungkin baik juga diceriterakan sedikit tentang Yayasan Winternachten
Den Haag. Yayasan ini dididrikan pada tahun 1995. Jadi belum lama.
Baru 11 tahun. Tujuannya antara lain adalah untuk memelihara  dan
mengembangkan jaringan-kerja (network) antara penulis-penulis
Nederland dan teman-teman sebidang, yaitu penulis-penulis Indonesia,
Suriname, Antilia Belanda, Aruba dan Afrika Selatan. Setiap tahun
WINTERNACHTEN mengorganisasi festival di Den Haag dengan para penulis,
pemusik dan  pembuat-pembuat film dari negeri-negeri tsb diatas.

Selain itu Stichting WINTERNACHTEN  terlibat dalam pengorganisasian
edisi-edisi 'Winternachten di Seberang Lautan',  peristiwa-peristiwa
literair di Afrika Selatan, Indonesia, Antitilia dan Suriname. Dengan
 demikian  Winternachten selalu mengadakan kerjasama dengan
organisasi-organisasi kebudayaan  setempat, dengan maksud agar
pertemuan dengan para penulis dari negeri-negeri yang berseangkutan 
juga berlangsung di luar Nederland. 

Dewasa ini Direktur/Pimpinan Artistik WINTERNACHTEN  adalah TON van de
LANGKRUIS.

Dalam kesempatan ini terimakasih kusampaikan  kepada Ton van de
Langkruis, untuk undangan beserta tickets yang dikirimkannya kepada ku
dan istriku Murti,  untuk bisa hadir pada kegiatan Winternachten pada
tanggal 11 Jan, hari ini, dan besok pada tanggal 12 Januari.

*   *   *

Pada acara Winternachten Den Haag tahun 2007 kali ini, diundan turut
hadir hampir 100 penulis, penyair, musikus, pembuat film dam  para
ilmuwan dari a.l. Indonesia, India, Mesir, Maroko, Suriname, Antilia
dan Afrika Salatan. Mereka a.l akan membacakan karya mereka, ambil
bagian dalam pembicaraan, diskusi dan debat, konser, dikusi publikasi
dan programa-pr

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS AND VIEWS, 10.01.07

2007-01-09 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
---
IBRAHIM  ISA'S  --  SELECTED NEWS AND VIEWS, 10.01.07

CLASSIC RIVALRY  - EDITORIAL
THE DIRECTION OF INDONESIQ IN 2007, M. Vatikiotis
NOTED POLITICAL SCIENTIST MIRIAM BUDIARDJO DIES, Nationl News
-
CLASSIC RIVALRY , The Jakarta Post Editorial, 10 jan 07
The Jakarta Post Editorial, 10 Jan 07
The nation's commitment to civil society is being tested again as the
debate intensifies over the bill on national security, which includes
a major revamp of the National Police.
Public caution and openness in the bill's deliberation are needed to
make sure the resulting law does not restore control over domestic
security to the Indonesian Military (TNI). 
For 32 years Soeharto used the military's sociopolitical functions
quite effectively as a machine to maintain his power. After his fall
in 1998 the nation pledged that the TNI would oversee only defense and
external security affairs, while the police would handle domestic
security and public order. 
The public discourse changed considerably when TNI Commander Air
Marshal Djoko Suyanto lashed out at the police for trying to retain
their authority in security affairs, which he called "a big mistake". 
For the police, the problem primarily arises from an article that
stipulates the police would come under the supervision of a ministry,
likely either home or justice. The other source of the dispute lies in
the drafting process, which police leaders say did not involve them.
The draft law is sponsored by the Ministry of Defense. 
To counter the move, the National Police will draft an alternative
bill, which would maintain the force's direct supervision by the
president. 
Advocates of the national security bill, including Defense Minister
Juwono Sudarsono, envision a professional police force which is no
longer attached to the president. As in many democracies, the national
or federal police would fall under the auspices of a ministry and
their chief would not be a political appointee. 
They say the organizational overhaul of the police is a logical
consequence of the People's Consultative Assembly Decree in 2000 that
defined the division of labor between the police and the military. The
2004 defense law, in accordance with the decree, laid the foundation
for the military's supervision under the Defense Ministry. Many say
the law is a manifestation of the reform within the military. 
Professionalism is at stake when the police chief, as well as the TNI
chief, directly answers to the President, as it opens up opportunities
for abuses of power by the ruling regime as evident during the New Order. 
The possibilities are still there despite the reform movement. This
became apparent in 2004 when the Banyumas police chief lost his job
for allegedly campaigning for the re-election of president Megawati
Soekarnoputri. More serious abuses are very likely to happen as the
National Police, unlike the TNI, enjoy the luxury of formulating and
executing policies and managing their own budget. As if to confirm the
damage the police could do, the Governance Assessment Survey recently
released by Yogyakarta's Gadjah Mada University found the public felt
the police were Indonesia's most graft-ridden public agency. 
Modern countries, including neighboring Australia, opt to decentralize
their police forces and limit the enforcement powers of the national
police to national (federal) laws. For practical reasons, individual
states or provinces run their own police forces to enforce laws within
their own boundaries, since they deal with public order on daily basis. 
On top of that, security is the responsibility of every citizen, in
accordance with the Constitution. The police themselves cannot handle
security alone, although their success in uncovering the masterminds
of a series of terror attacks in the past few years deserves
recognition. In many cases, particularly when it comes to armed
violence, the police need assistance from the military. 
But the objection of the police to the national security bill cannot
be ignored. Placing the National Police under the Home Ministry, for
example, may disrupt unity within the force and wreak havoc on
national security as the regional police will think and act locally. 
The police are facing their toughest challenge now that the country,
and the rest of the world, is dealing with cross-boundary crimes, such
as terrorism, money laundering, human, arms and drug trafficking. To
fight such crimes, the National Police require adequate authority. 
It's highly recommended, therefore, that the government invite the
police, more scholars and experts as well as the general public to
refine the bill before sending it to the House of Representatives. The
debate over the bill should not be reduced to a continuation of the
classic rivalry between the TNI 

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- ’PERPISAHAN’ dan PERTEMUAN di STOCKHOLM

2007-01-08 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
Kolom IBRAHIM ISA

Stockholm, 08 Januari 2007


'PERPISAHAN'  dan  PERTEMUAN   di STOCKHOLM



Dua pengertian yang saling bertentangan dari kata-kata, seperti pada 
kata  'siang' dan 'malam' ,  'pagi' dan 'sore', 'panas' 
dan 'dingin' , 'kaya' dan 'miskin', dsb  - - -  adalah dua 
pengertian, dua kata, yang saling bertentangan tetapi juga saling 
berkaitan. Jarang orang berfikir tentang 'siang' hari, tanpa di 
dalam ingatannya tersimpan pengertian dan memori mengenai 'malam' 
hari yang akan menyusul  pada hari itu juga. 

Idem dito dengan pengertian mengenai  kata 'Perpisahan' 
dan 'Pertemuan'  seperti yang digunakan untuk judul tulisan ini. Dua 
kata yang saling bertentangan namun sekaligus saling berkaitan. 

***

Stockholm, 05 Januari 2007, adalah  suatu ketika  dikala rasa  sedih 
dan duka memenuhi  rongga dada.  Saat-saat  itu  dinyatakan  rasa 
turut berbelasungkawa  dengan keluarga  yang ditinggalkan,   serta  
harapan untuk tabah menghadapi musibah ini kepada  putranda  Danar,  
Nani, dan Thomas; --  putranda  Danur, Vlami dan  Nunung; --   
beserta anggota keluarga lainnya. 

Namun, saat-saat itu juga   merupakan hari-hari  yang penuh kenangan 
tentang  Zus Endang,  bagi banyak orang yang mengenal  Zus Endang, 
sapaan akrab mendiang Setiati Surasto. Beliau  meninggal dunia  di 
Stockholm pada tanggal 30 November 2006,  pada usia 86th.  Kemudian  
diperabukan pada tanggal 05  Januari 2007 di Stockholm. 

Pada hari Jum'at itu keluarga  Setia Surasto  beserta kami yang 
mengenal Zus Endang mengadakan  'pertemuan'  di Stockholm untuk  
menyelenggarakan upacara perpisahan dengan Zus Endang.

Seorang  kenalan berbangsa Swedia,  yang  juga hadir diantara kurang 
lebih 80 orang terdiri dari keluarga,  handai dan tolan, - - - -  
menyatakan bahwa, ia  menjadi tau dan mengenal  lebih baik  s i a p 
aS e t i a t iS u r a s t o , baru sekarang ini, sesudah 
beliau meninggal dunia. 

Jelas,  orang Swedia ini  telah dengan cermat mengikuti uraian 
Sugiri, salah seorang pimpinan SOBSI, serikatburuh  terbesar di 
Indonesia ada zaman  Presiden Sukarno; beserta kata perpisahan oleh  
Sucipto  Munandar, --  sahabat  dekat Setiati Surasto. Mereka berdua 
yang bicara hari itu, menelusuri  jalan hidup serta kegiatan  
Setiati yang  telah mengabdikan seluruh hidupnya demi kemerdekaan 
nasional  Indonesia dan perjuangan demi  perbaikan nasib kaum buruh 
Indonesia. 

Sejak masa mudanya,  ketika masih di bangku sekolah menengah  
Setiati Surasto sudah aktif sebagai anggota dari  IM (Indonesia  
Muda) dan Jong  Islamieten Bond (Persatuan Islam  Muda),  anggota 
Pekerja Perempuan Indonesia, kemudian sebagai asisten  Bapak Taman 
Siswa Ki Hadjar Dewantoro yang mengepalai kantor pendidikan dan 
pengajaran.

Kemudian   pada awal periode Revolusi Kemerdekaan, Setiati Surasto 
ambil bagian  aktif  dalam  pembentukan Barisan Buruh  Indonesia  di 
daerah pendudukan Belanda. Setelah Kongres SOBSI di  Malang, 1946, 
Setiati Surasto menjadi Komisaris SOBSI di  Jakarta, daerah 
pendudukan Belanda.  Dalam  Kongres Nasional Ke-IV  SOBSI, Setiati 
Surasto ditetapkan menjadi Wakil Ketua II  Dewan Nasional SOBSI.  
Dalam tahun 1964  Komite Eksekutif  GSS, Gabungan Serikatburuh 
Sedunia   memutuskan  Setiati Surasto  menjadi  salah seorang 
Sekretaris GSS.  Kemudian  pimpinan SOBSI  mengirim  Setiati Surasto 
ke Praha  untuk mewakili kaum buruh  Indonesia di GSS. 

Pada periode pemerintahan  Presiden Sukarno, Setiati Surasto  yang 
mendalami bidang sosial dan ekonomi duduk  sebagai anggota   Dewan 
Konstituante RI,  Majlis  Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) 
dan DPRGR  (Dewan  Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Dengan demikian 
Setiati Surasto telah menjadi salah seorang tokoh nasional terkenal 
yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan bangsa,  
khususnya bagi kaum buruh dan perempuan. Beliau juga melakukan 
perjuangan  di pelbagai  forum internasional..  

Bernarlah,  generasi muda  Indonesia, baik penggiat dalam perjuangan 
politik nasional maupun dalam gerakan buruh,  bersama kita  semua 
dapat menarik pelajaran  berharga dari  kegigihan dan ketekunan 
Setiati Surasto  memperjuangkan cita-cita mulya untuk kebenaran dan 
keadilan.

*   *   *

'PERTEMUAN'   STOCKHOLM
Sudah menjadi kebiasaan dan tradisi orang  Indonesia, pada saat-saat 
menyatakan belasungkawa  pada salah seorang anggota keluarga, 
sahabat ataupun kenalan ketika mereka ditinggalkan,  pada waktu 
itulah  mereka itu berkumpul dan saling bertemu.  Pertemuan serupa 
itu juga terjadi pada kesempatan lain yang santai dan senggang, 
misalnya pada kesempatan pertunangan atau perkawinan, atau lahirnya 
seorang insan  bayi yang baru.

Ini terjadi  juga ketika para anggota keluarga, sahabat dan handai 
taulan mendengar berita sedih meninggalnya Setiati 
Su

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - TANGGAPAN SEPINTAS TERHADAP KARANGAN TRI RAMIDJO

2007-01-06 Terurut Topik IBRAHIM ISA Alias BRAMIJN
IBRAHIM ISA
--
STOCKHOLM, SABTU 06 JANUARI 2006.

* * *

TANGGAPAN SEPINTAS TERHADAP
KARANGAN TRI RAMIDJO -- 'MENUNAIKAN IBADAH HAJI'

* * *

Sungguh suatu ceritera yang hidup dan nyata apa yang disajikan oleh 
Tri Ramidjo kepada pembaca kali ini.

Saling hubungan lintas fikiran Tri Ramidjo , antara Tanah Suci di 
negeri Arab, dengan Tanah Suci Indonesia, tanah air sendiri 
Indonesia, sungguh unik dan menarik. Juga sepenuhnya bisa difahami,
mengapa penulis menghubungkan pengertian Tanah Sucji di negeri Arab 
dengan Tanah Suci negeri sendiri. Mencerminkan jiwa dan semangat 
patriotisme murni sekaligus juga pemahaman religius yang berani.

Begitu juga lintas fikiran Tri Ramidjo menanggapi apa yang dilakukan 
istrinya dalam ibadah haji, yaitu melakukan 21 lemparan  
mengganyang setan-setan dengan pengganyangan '7 setan desa'
dan '3 setan kota', pada periode pemerintahan Presiden Sukarno 
itu sepenuhnya bisa dimengerti, ditinjau dari pengalaman dan 
pengertian Tri Ramidjo.

Yang jelas, ialah bahwa Tri Ramidjo yang memiliki pandangan religius 
yang kuat, amat erat menghubungkan ajaran agama melawan setan-setan, 
termasuk yang penting setan yang besarang di dalam hati manusia, 
dengan tajam dan kadang lucu sekali menghubungkannya dengan
kenyataan hidup yang keras.

Terus menulis Bung Tri Ramidjo!

* * *
LAMPIRAN:
Cerpen TRI RAMIDJO  


CERPEN.

MENUNAIKAN IBADAH HAJI.

 
- Lemparan batu itu tepat mengenai sasarannya dan setan-setan itu
lari berhamburan.
Oleh : Tri Ramidjo

Aku hampir-hampir tak percaya ketika anakku bertanya "pak, boleh
kan ibu berangkat menunaikan ibadah Haji tahun depan?"

Aku terbengong sejenak. Mimpikah aku ini? Atau benarkah anakku
bisa memberangkatkan istriku untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah, 
ke
tanah suci? Anakku mengatakan itu tepat pada hari ultah isteriku 19
September 2005.

"Ya, tentu saja aku setuju, setuju banget." Jawabku.
Pergi menuanaikan ibadah Haji, pergi ke tanah suci adalah menjadi
impian setiap umat Islam yang taat. Setiap muslim pasti mengerti, 
bahwa
rukun Islam ada 5 dan tidak setiap orang bisa memenuhi rukun Islam 
yang ke
lima yaitu menunaikan ibadah haji sebab di samping syarat-ayarat 
kesehatan
dll. Syarat yang terberat adalah ongkos pergi yang cukup mahal. Dan 
aku yang tidak berduit ini, mana mungkin menunaikan ibadah haji.

Tapi entah bagaimana caranya aku tak tahu, anakku yang suami
isteri bekerja di perusahaan swasta dan wira-swasta dan tidak akan 
mungkin
melalukan korupsi walaupun hanya korupsi waktu, kok ingin 
memberangkatkan
ibunya pergi ke tanah suci menunaikan ibadah haji.

Sejak kecil dan sejak aku mengerti sedikit-sedikit tentang rukun
Islam aku bercita-cita ingin menunaikan ibadah haji. Aku ingin 
melihat kota
Mekah yang orang menyebutnya tanah suci. Aku ingin melihat dengan 
mata
kepalaku sendiri betapa sucinya negeri Arab dengan kota Mekahnya. 
Tentu di sana tidak ada hal-hal yang kotor misalnya penipuan, 
korupsi, pengangguran,
kemiskinan dan lain-lain yang sifatnya kotor dan menjijikkan. Suci, 
suci bersih tanpa noda sedikit pun dan bisa menjadi contoh dan bisa 
menjadi bagi seluruh umat manusia di dunia ini. Dan kalau seluruh 
isi bumi ini yang sama-sama diciptakan oleh Allah swt menjadi benar-
benar tanah yang suci,
tentu seluruh umat manusia bisa hidup adil, tenteram, damai tanpa 
ada hal-hal yang kotor dan najis. Subhannallah.
 
Di tahun 1935 umurku ketika itu 9 tahun aku pertama kali mendengar 
lagu Indonesia Raya dari piringan hitam gramaphone. Gramaphone itu 
di putar oleh oom Abdul Hamid Lubis yang dibuang ke Digul dari 
Sumatra Barat.

Anak-anak Digul yang belum pernah melihat gramaphone berkumpul di 
rumah oom
Kadirun di sebelah rumahku di kampung B, dan aku dan adikku Rokhmah 
juga
tidak ketinggalan ingin melihat bagaimana yang namanya gramaphone 
itu.
Aku dan adikku duduk di bangku paling depan bersama-sama anak oom 
Kadirun
dik Sumono dan dik Karno. Aku perhatikan oom Abdul Hamid Lubis 
mengambil jarum  gramaphone, memasangnya di kepala – waktu itu aku 
belum tahu,
bahwa kepala kecil itulah yang disebut load-speaker. Sesudah itu per 
gramaphone  itu diputar beberapa kali, piringan hitam atau plaat itu 
diletakkan dan ketika piringan hitam itu mulai berputar jarum yang 
di kepala itu diletakkan di piringan hitam. Bergemalah suara lagu :

Kuplet pertama :

Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku.
Disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku.
Indnesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku.

Marilah kita berseru Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku,semuanya.
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.
…… dan seterusnya. Setiap putera-puteri Indonesia pasti fasihdan 
hafal
menyanyikannya.

Kuplet kedua :

Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya
Di sanalah aku berdiri, untuk slama lamanya.
Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semuanya.
Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia.
 
Suburlah tanahnya, suburla

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - MANA 'TOPIK NASIONAL' . . . . . . . . . . ?

2006-12-31 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 31 Desember 2006

MANA 'TOPIK  NASIONAL' YG SEHARUSNYA  LEBIH DI-PRIHATIN-KAN?

Kasus Polygami Mencuat Jadi 'Topik Nasional'
Pada penghujung tahun 2006, rupanya ada satu topik yang  (dibanding
dengan topik lainnya) lebih menarik perhatian banyak orang, oleh
karena itu banyak disoroti di dalam media pers dan menjadi buah mulut
dan  pembicaraan terus-terusan dikalangan masyarakat umum. Topik itu
adalah POLYGAMI. 

Siapa yang tidak tahu, bahwa  masalah polygami, bukanlah suatu
'surprise'  di masyarakat kita yang masih sarat dengan  peninggalan
kultur  dan kebiasaan feodal. Sultan-sultan 'kita', apakah darii ujung
Utara atau Selatan bagian negeri, apakah itu Sultan Jawa atau 'Raja'
di bagian ujung Timur Nusantara sana ,  praktek punya selir lebih dari
satu -  tanpa nikah, atau istri muda bukan suatu rahasia.  'Prinsip'
agama bahwa seorang umat boleh punya istri sampai empat, tidak pernah
digugat atau disanggah secara prinsipil. Mengapa ketika belakangan ini
terungkap masalah polygami di kalangan masyarkat reaksinya begitu
ramai, seperti orang baru siuman  dari  koma yang panjang layaknya.

Mungkin ini sebabnya: Pelaku polygami kali ini adalah dari kalangan
'tertentu'. Dari kalangan
'orang terpandang' , apalagi 'tokoh religius', yang diharapkan bisa
jadi teladan dalam soal norma, nilai hidup  dan etika. Ketika harapan
itu ternyata melését,  maka kekecewaan orang banyak membeludak menjadi
kritik dan kecaman, gugatan dan cemoohan  terbuka. Tambahan pula
dengan terungkapnya kasus  hubungan mesum  seorang elite pimpinan DPR
 yang sudah berrumah tangga  yang melakukan perselingkuhan dengan
perempuan lain di sebuah hotel.  Walaupun masalah polygami dan masalah
perselingkuhan,  kasus zinah,  itu dua hal yang tidak sama, namun
orang membicarakannya dalam satu tarikan nafas yang sama. 

Sebab lainnya, ialah, karena sudah  begitu lama dan pedihnya
penderitaan, disebabkan oleh  kesulitan  hidup sehari-hari.
Pengangguran yang bertambah terus, semakin menganganya perbedaan
antara yang miskin dan yang berpunya; menumpuknya dosa-dosa yang
dibuat kalangan atas, dan harapan rakyat akan perbaikan semakin
menipis. Jangan lagi disebut  bertubi-tubinya bencana alam yang
melanda tanah air dan bangsa, mulai dari Tsunami, Gempa Jogja,  lumpur
polusi, banjir di Sumatra sampai pada kecelakaan tenggelamnya kapal
penumpang di Laut Jawa beberapa hari ini.

*   *   *

Sebenarnya masalah polygami, bukan barang baru. Cobalah diingat-ingat
Pada tahun limapuluhan abad lalu, pers ramai membicarakan masalah  Ibu
Negara Fatmawati dimadu oleh Presiden Sukarno. Bung Karno kawin lagi
dengan seorang janda, Ny. Hartini. Wah, habislah Bung Karno dikritik
sana-sini. Oleh golongan Kanan,  Bung Karno dihujat habis-habisan.
Soalnya, karena ketika itu  adalah kesempatan paling baik untuk
'mengganyang' dan menghitamkan Bung Karno. Karena dari segi politik
memang sulit menggugat Bung Karno, yang ketika itu tidak jemu-jemunya
mengingatkan bangsa bahwa  Irian Barat masih belum kembali ke pangkuan
Ibu Tertiwi. Bung Karno memupuk terus memupuk semangat juang bangsa, 
bahwa perjuangan untuk membebaskan Irian Barat harus dilanjutkan
sampai kemenangan akhir tercapai!.


Dari golongan Kiri, juga tidak kurang kritik yang diaalamatkan kepada
Bung Karno. Tetapi bagi golongan Kiri,  kepentingan politik dinilai
lebih penting dari masalah polygami. Akhirnya kritik-kritik itu
melemah. Membikin Bung Karno seperti  'lupa daratan'. Bung Karno kawin
lagi, dan kawin lagi. Sehinga ada orang berkomentar: Bung Karno 
adalah seorang pemimpin besar bangsa, yang genius yang pengabdian dan
pengorbanan terhadap bangsa dan tanah air, tak sedikitpun diragukan.
Sayang, ada kelemahan 'fatal'. Yaitu masalah perempuan!

*   *   *

Media tampaknya lebih banyak disibukkan, sepert diasyikkan dengan
berita-berita  sekitar ulah Kiayi/Ustaz populer,  Aa Gym, dan Wakil
Ketua DPR yang memberlakukan 'hak untuk berpoligami', alias kawin
lagi. Memang keterlaluan, karena sampai-sampai ada suara yang setengah
berteriak, setengah mencancam, namun juga mengiba-iba,  menyatakan
bahwa bila ada larangan berpolygami, maka itu berarti menentang 'Al
Quran'. Karena,  di dalam 'Al Quran'  berpolygami itu dibenarkan adanya. 

Tokh,  kiranya  suatu diskusi dan polemik yang berkepanjangan mengenai
kasus polygami yang terjadi di kalangan elite itu tidak begitu
bemanfaat.  Nyatanya juga, sudah lama polygami itu dipraktekkan oleh
'orang-orang biasa' , bahkan oleh 'wong cilik' di masyarakat pedesaan.
Tentu ada baiknya, bahkan baik sekali, bahwa ada perlawanan keras
terhadap praktek polygami yang sekarang ini menjadi sorotan, karena
kebetulan yang melakukan kali ini ketahuan  terjadi di kalangan elite.
Di kalangan elite atau bawahan, polygami adalah suatu kebiasaan, suatu
kultur yang harus diakhiri.  

Namun, yang penting ialah, b

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S – FOCUS ON GOVERNMENT, 30.12.06

2006-12-30 Terurut Topik IBRAHIM ISA
IBRAHIM ISA'S – FOCUS ON GOVERNMENT, 30.12.06
*   *   *
SBY RIDES STABLE ECONOMY TO NEW HIGH IN POPULARITY
NEW YEAR, NEW GOVERNOR 
INCENTIVES FOR LOCAL GOVERNMENTS

*   *   *
SBY RIDES STABLE ECONOMY TO NEW HIGH IN POPULARITY 
M. Taufiqurrahman, The Jakarta Post, Jakarta
President Susilo Bambang Yudhoyono remains popular among the people
and if an election were held today he would easily outdo his rivals, a
poll said Thursday.
The Jakarta-based Indonesian Survey Institute (LSI) found in its
latest poll that the approval rating for Yudhoyono had reached a
staggering 67 percent, above the 61 percent of the popular vote he and
running mate Jusuf Kalla garnered in the 2004 presidential election. 
The LSI interviewed 1,227 people between Dec. 18 and Dec. 22 in all
the country's 33 provinces for the poll, which has a 3 percent margin
of error. 
The survey also discovered that in an election held today, Yudhoyono
would win by 41 percent of the vote, easily outdoing Megawati
Soekarnoputri of the Indonesian Democratic Party of Struggle, who
would take 17 percent, and Kalla, on 4 percent. 
Yudhoyono's job approval rating is at a comfortably safe level, far
above last year's 56 percent. 
The perception of a stable economy and rosy prospects for next year
have contributed greatly to the improvement in Yudhoyono's ratings. 
"In spite of real economic problems, 33 percent of the respondents had
a positive perception of the overall economic condition, up from last
year's 22 percent," the LSI said in a statement. 
The LSI found that 48 percent of respondents were optimistic about
improvements in the economic situation next year, an increase on the
December 2005 figure of 40 percent. 
In politics, however, Yudhoyono gets less credit. 
There is only slight improvement in his job approval rating for
politics. Satisfaction over the general political condition increased
from 28 percent last year to 33 percent this year. 
LSI researcher Anis Baswedan said that in spite of the lukewarm
performance, Yudhoyono's job approval rating remained high because he
had no credible opposition. 
"The existing opposition consists of figures from the past who have no
credibility. This is an important factor that will make SBY gain the
upper hand," Anis said, referring to Yudhoyono by his popular nickname. 
Responding to the findings, political analyst Sukardi Rinakit of the
Soegeng Sarjadi Syndicate said it would be strange if Yudhoyono failed
to register an improvement in his job approval. 
"Everything about him has worked in his favor. He is seen as a honest
and disinterested figure, and is a former general who holds a Ph.D.
What's not to like?" Sukardi said. 
On a more professional level, Yudhoyono was seen as capable of
resolving three serious problems -- the rise of Islamic
fundamentalism, terrorism and the separatist conflict in Aceh
province, Sukardi said. 
Economist Umar Juoro of the Center for Information and Development
Studies, however, warned of the possibility that Yudhoyono would turn
into a risk-averse leader. 
"Given his popularity, SBY is unlikely to make drastic policies that
have the potential to ruin his image in 2007," Umar said. 

NEW YEAR, NEW GOVERNOR 
The Jakarta Post Editoial, 29 Dec 2006
The year 2006 has come to an end. For the Jakarta government, it is
time to review whether it has provided basic protections and services
for its citizens, who, as taxpayers, are deserving of good treatment.
Looking back makes city officials proud of their achievements and
successes, but, at the same time, it takes courage and honesty to
recognize their failures and mistakes. 
Sincerity and honesty are the key words. 
In all honesty, many things have been achieved by Governor Sutiyoso's
administration. Limited ability in financing, human resources and
managerial skills have posed the biggest hurdles to the
administration's success. 
Despite abundant criticism of his overall performance, Sutiyoso gained
the admiration of state school teachers by raising their take-home pay
by Rp 2 million a month. 
The money has been allocated from the city's annual budget beginning
2006. Civil servants have also been enjoying an extra Rp 1.7 million a
month, thanks to Sutiyoso. 
The provision of a tuition subsidy for state schools has been heralded
as another "success story" in education. 
Sutiyoso's persistence in improving and restoring to good order
National Monument park is deserving of appreciation. His ambitious
busway project has been a good thing for the city, despite some
shortcomings. There has also been criticism of the operational
consequences of the busway system, which is modeled on the successful
system in Bogota, Colombia. However, since its establishment in 2004,
the busway has gradually won the people's hearts. 
More and more people are choosing to take TransJakarta buses to work.
Unfortunately, the busway alone is not enough to address long-term
ground transportation needs. The Mass Rapid Transit (MRT) system,
which has been offere

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - 'KENANGAN' ROSIHAN Yang 'TIMPANG'

2006-12-28 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
---
Selasa, 27 Desember 2006.

'KENANGAN'  ROSIHAN Yang 'TIMPANG'



Tulisan Rosihan Anwar,  yang disebut atau menyebut diri, 'wartawan
senior', tentang Penyerahan Kedaulatan 27-12-1949  (Kompas, 27 Des
2006. Lihat Lampiran), suatu peristiwa yang  digambarkannya sebagai
suatu peristiwa penting, -- namun,  begitu dibaca terasa 'timpang'.
Artinya 'miring'. Ada kekurangannya. Dan kekurangan itu cukup gawat,
karena justru ditulis oleh seorang 'wartawan senior',  yang juga
dianggap sesepuh.  Sayang, sesunguhnya tulisan Rosihan Anwar itu, bisa
jadi bunga rampai dalam rentetan tulisan-tulisan sekitar hari-hari 
'penyerahan kedaulatan' oleh Belanda kepada pemerintah RIS - Republik
Indonesia Serikat. Kiranya tulisan Rosihan itu akan jadi seimbang,
bila sedikit saja ada disebut tentang betapa  berat dan tidak
sederajatnya persetujuan dua negeri. Atau mungkin, ketimpangan ini
disebabkan  karena yang satu  fihak adalah negara  kolonial dan
satunya adalah 'koloni', maka persetujuan KMB itu menjadi suatu
persetujuan internasional yang termasuk sangat menguntungkan satu
fihak (Belanda)  dan merugikan fihak satunya (Indonesia.)

Asal saja Rosihan Anwar sedikit saja menyinggung fasal-fasal
Peretujuan Konferensi Meja Bundar Dehn Haag tsb, maka segera akan
memasuki intisarinya. Akan terungkap betapa beratnya syarat-syarat
yang ditetapkan dalam Persetujuan Konferensi Meja Bundar-Den Haag
(1949), yang harus dipenuhi oleh fihak Indonesia. Ada yang mengatakan
bahwa  memang tidak bisa lain, begitu jadinya karena Persetujuan KMB
itu dikatakan  sebagai 'imbalan'  terhadap 'goodwill'  fihak Belanda .
Bukankah dengan Persetujuan KMB itu akhirnya  fihak Belanda 
'menyerahkan kedaultan' kepada Indonesia, mengakhiri masa kolonialisme
(kan baik – ya tokh?) . 

Dimasuki sedikit saja Persetujuan KMB itu,  terungkaplah bahwa fihak 
Indonesia dalam hal ini telah melakukan kompromi besar dan konsesi
yang berat sekali. Begitu banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh fihak Indonesia. Mulai dari masalah bentuk kenegaraan:  harus
bentuk federasi, RIS; finansiil (harus bayar kembali utang Hindia
Belanda kepada Den Haag); ekonomi (harus mengembalikan semua
perusahaan dan 'aset' Belanda kepada Den Haag); sampai ke masalah
militer (KNIL harus diintetrasikan kedalam Angkatan Perang RIS) dan
adanya Misi Militer Belanda di Indonesia). Itu sedikit saja menyebut
fasal-fasal yang menonjol merugikan kita.

*   *   *

Bagaimana mungkin Rosihan Anwar yang dirinya pribadi meliput proses
Persetujuan KMB itu sampai upacara 'penyerahan kedaultan' di  Istana
De Dam, Amsterdam,  kok dalam menulis suatu peristiwa yang pasti dia
sendiri menganggapnya penting itu, bisa-bisanya samasekali tidak
menyebut apa isi Persetujuan KMB yang merugikan Indonesia. Tetapi
itulah yang terjadi, Rosihan  membiarkan berlalu segi-segi negatif
Persetujuan KMB itu. Entahlah barangkali dia pernah menulis hal itu
sesudah 1949. Kalau ada tulisan Rosihan yang menganalisis segi-segi
negatif Persetujuan KMB di dalam surat kabar Pedoman yang ia pimpin
sendiri dalam periode itu, tentu itu baik. 

*   *   *

Akibat dari begitu banyaknya fasal-fasal yang merugikan bagi
Indonesia, maka tidak lama kemu-dian ,  - - - - salah satu dari
fasalnya yang terpenting, ialah mengenai  syarat bahwa sifat negara
Indonesia harus federal, dimana tercakup  didalamnya 'negara-negara
bagian'  bikinan Belanda ,  --   pemerintah
Indonesia yang mencerminkan kehendak rakyat  telah membatalkannya.
Demikianlah, Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan  dan negara
Indonesia kembali menjadi  bentuk negara REPUBLK INDONESIA, sesuai
Proklamasi 17 Agustus 1945. Hidup rakyat Indonesia!

Beberapa waktu kemudian salah satu syarat lainnya dari persetujuan KMB
yaitu adanya MMB, Misi Militer Belanda, di Indonesia dituntut rakyat
supaya diusir dari Indonesia. Karena dianggap sebagai salah satu
sumber subversi Belanda terhadap Indonesia. Juga 'Uni Indonesia
Belanda', yang dikepalai oleh Mahkota Kerajaan Belanda,  digugat
rakyat dan dituntut agar dibubarkan. Karena Uni Indonesia-Belanda itu
atasannya  adalah  Mahkota Kerajaan Belanda. Hal mana dianggap oleh
rakyat kita sebagai perlambang bahwa Indonesia belum benar-benar lepas
dari kolonialisme Belanda. 

Yang terasa amat  berat lagi, ialah  keharusan Indonesia membayar
utang Hindia Belanda kepada Den Haag. Yang termasuk utang yang harus
dibayar Indonesia  itu diantaranya  yang paling berat,  ialah
keharusan Indonesia yang baru berdiri itu, membayar ongkos-ongkos 
perang Agresi Ke-I dan Ke-II Belanda terhadap Republik Indonesia.
Suatu peperangan untuk menghancurkan Republik Indonesia. 

Dan banyak lagi hal-hal yang timpang dalam fasal-fasal Persetujuan KMB. 

Untuk lengkapnya bisa minta bahan-bahan dari Batara Hutagalung  Ketua,
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)yang banyak menul

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- MARI BERSYUKUR !

2006-12-25 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 25 Desember 2006
---
MARI BERSYUKUR !
TOLERANSI MENGKHAYATI UMMAT ISLAM
Berkahnya Hari Natal! 
Silakan baca berita terlampir di bawah ini, berjudul: 
ORMAS ISLAM BANTU AMANKAN GEREJA,

Berita tsb dapat dibaca di s.k. Kompas 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA - -- 'NATALAN' DITENGAH WARGA BIJLMER

2006-12-22 Terurut Topik IBRAHIM ISA
IBRAHIM ISA -  BERBAGI CERITA -
Jum'at, 22 Desember 2006

'NATALAN'  DITENGAH  WARGA BIJLMER

 Cuaca musim dingin malam kemarin itu menggigit sampai ke
tulang-sumsum, namun, kehangatan dan rasa kebersamaan mencirii suasana
malam  N a t a l2 0 0 6 . Menikmati keasrian kebersamaan,
kedamaian dan keharmonisan masyarakat multikultur yang toleran. Semua
itu:  Suasana  yang mengesankan,  adanya  malam Natalan adalah berkat
 diselenggarakannya 'perayaan'  Hari Natal  Menyambut Tahun Baru, 
diantara sekelumit kecil warga Amsterdam Bijlmer.  Menyambut Tahun
2007 yang akan tiba beberapa saat lagi. 

Rasanya sudah kuceriterakan bahwa,  mayoritas  penduduk Amsterdam
Bijlmer, domisili kami, adalah kaum migran yang sudah lama  jadi
'Londo'. Dari macam-macam negeri asal usulnya. Kebanyakan dari
Suriname. Asal Suriname itu banyak Hindustannya,  Creolnya,
Tionghoanya dan Jawanya.  Lainnya dari penduduk Bijlmer adalah yang
asal Ghana, Nigeria, Iran, Afghanistan, Mesir, Maroko, Bangladesh,
India, Pakistan  dll. Agamanyapun aneka ragam. Ada yang Kristen,
Islam. Hindu dan lainnya. Maka di dekat rumah kami ada beberapa gereja
Nasrani dengan etnisitas dan alirannya masing-masing,  dan juga sebuah
mesjid besar  yang belum lama dipugar dan diperluas,  megah berdiri
disamping stasiun Metro Kraaienest . 

Demikianlah masyarakat Amsterdam Bijlmer yang multikultur dan toleran.
Bila bertemu satu sama lainnya, tidak ketinggalan saling sapa. 'Hallo
buurman, hallo buurvrouw'. Hoe gaat het? Alles Goed?'  Ada yang lain
dari pada yang lain.  Salah seorang diantaranya, seorang pendeta
berkulit Hitam asal Suriname, bila papasan sapaannya selalu: 'Pié
kabaré . . . Apik. Alon-alon asal kelakon'. Ya,  dia itu pendeta asal
Suriname berkulit Hitam tetangga kami itu, bisa omong Jawa  ---
sedikit-sedikit. Menunjukkan bahwa sang pendeta ketika masih di
Suriname sering 'turba' di kalangan masyrakat Jawa Suriname.

*   *   *

Khas Bijlmer, yang mengundang pertemuan silaturahmi syukuran  NATAL 
adalah Ny.  Lea Kallan,  manager Cafe Buurthuis Hofgeest, seorang
perempuan tegap berkulit Hitam. Ia  warga Belanda asal Suriname. 
Sangat ketat dan tegas dalam mengelola cafenya. Ny. Lea,  seperti
'kami-kami'  populer disebut 'alochtoon'.  Dalam kehidupan sehari-hari
di Belanda, boleh dibilang tak ada yang mengatakan: 'Saya alochtoon'.
Juga jarang yang bilang, 'saya Belanda'.  Umumnya mengatakan: 'Saya
orang Surinaam,  'orang Indonesia' , atau orang Chinese, atau orang
Ghana, Nigeria, Maroko atau Mesir.  Bahwa mereka itu warganegara
Belanda,   itu jelas. Tapi, ya tapinya cukup menyolok, yaitu  keras
sekali hendak mempertahankan dan memperkenalkan IDENTITASNYA, asal
negeri dan budayanya. WN Belanda, sih WN Belanda, mau integrasi sih
mau, tetapi JUGA INGIN DIKETAHUI IDENTITASNYA,  negeri asalnya.  Maka
orang bilang, itulah antara lain makna dari integrasi serta
multikultur dalam praktek hidup. Di masyarakat Amsterdam Bijlmer,
jelas sekali, konsep  a s s i m i l a s i  tidak 'nyambung'  dengan
kenyataan hidup, tidak cocok dengan konsep 'multikultur' dan toleransi.

*  *  *

Difikir panjang  sedikit, dan dilihat  ke latar belakang sejarah
demografi Belanda, kemungkinan  besar sekarang ini lebih separuh
penduduk Belanda terdiri dari migran atau turunan migran. Benarlah
yang mengatakan bahwa orang Belanda 'asli'  sudah menjadi minoritas.
Begitupun orang Belanda, termasuk yang 'autochtoon',  yang 'asli', tak
ada soal dengan masyarakat multikultur yang toleran.  Semua manusia di
kolong langit ini tanpa kecuali adalah insan Yang Maha Kuasa.
Betapapun harus berusaha hidup bersama dengan damai dan harmonis.  

Bicara pasal asli tidaknya orang Belanda, jangan jauh-jauh dicari. 
Lihat saja keluarga Istana Oranje Kerajaan Belanda. Istri putra
mahkota Kerajaan Belanda Willem Alexnder, yang bernama Maxima, adalah
asal Argentina. Mau contoh lainnya? Yang lebih menyolok? .  .  .  . 
Bapak sang putra makota, yaitu Pangeran Bernhard, juga  bukan Belanda.
Asal muasal Pangeran Bernhard adalah Jerman. Suami Sri Ratu Beatrix,
adalah Pangeran Claus, juga bukan Belanda. Asalnya Jerman. Begitulah
seterusnya. Mungkin disini lainnya, yaitu bahwa  kami-kami ini,
bedanya ddenan mereka-mereka itu, adalah rasnya, etnisnya.
Mereka-mereka itu berkulit putih, kami bukan. Apakah ini prasangka,
atau naluri rasis (wah)? Kiranya tidak.

Memang,  sementara Londo bulé, katakanlah yang ras Eropide, atau
Kauksis,   seperti pemimpin parpol Vrij Nederland, Meneer Geert
Wilders,  atau seperti Fillip Winters,  ketua parpol rasis dari
Belgia,  yang tergolong ras Putih,   fikirannya masih kejangkitan
'rasisme' abad lalu. Tidak beda dengan konsep 'keunggulan ras Arya'
ide Hitler ,  yang 'bule' , yang tubuhnya besar, hidungnya tinggi dan
rambutnya pérang serta matanya biru.  Bagi mereka-mereka itu, 
orang-o

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S FOCUS -- ACEH AFTER ELECTION

2006-12-21 Terurut Topik IBRAHIM ISA
--IBRAHIM
IBRAHIM ISA'S  FOCUS --  ACEH AFTER ELECTION
---
Seeking change, Acehnese elect GAM candidates
Aceh's future governor plays down separatism jitters 
Good news from Aceh's landmark direct polls 

SEEKING CHANGE – ACHENESE  ELECT GAM CANDIDATES
Nani Afrida and Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Banda Aceh
As the ballot counting continues from last week's elections in Aceh,
it is clear voters favored independent candidates with ties to the
Free Aceh Movement (GAM), giving them a mandate to introduce needed
changes to the province. 
Many eligible voters said they no longer had confidence in Jakarta,
which they accused of decades of unfulfilled promises. 
Bahctiar, a 55-year-old resident of Aceh Besar and a food-stall owner
in Lampriet subdistrict, said he and his family voted for Irwandi
Yusuf and his running mate Muhammad Nazar in the gubernatorial election. 
He said they had confidence in the former GAM members, particularly
given the group's success in lobbying the international community and
bringing peace to Aceh. 
"Irwandi and his running mate Muhammad Nazar were officially
independent candidates, but we know they were nominated by GAM. Voters
still remember how Jakarta treated GAM and the Acehnese before the
peace agreement was signed," he told The Jakarta Post. 
Irwandi and Nazar have a commanding lead in the gubernatorial
election, polling especially well in eastern areas of Aceh, which were
GAM strongholds during the decades of armed conflict. 
As of Tuesday, the pair had received 33.5 percent of the 1.2 million
votes which have reached the Independent Elections Committee (KIP).
There were about 2.6 million registered voters for the elections. 
GAM candidates also have claimed victory in a large number of
elections in regencies and municipalities for local leaders. 
Activist Raihan Diani called on Jakarta and all political parties to
accept the results of the elections. She also advised Jakarta to learn
from the defeat of government-backed candidates, and avoid
administrative mismanagement, political engineering and bloody
conflicts in the future. 
"Eligible voters cast their ballots for GAM leaders to express their
confidence in GAM and simultaneously to punish those political parties
that did nothing when they needed help in the past. They were victims
and witnesses of the military's past abuses, and they know all the
parties gave empty promises during campaigning and will leave now that
the elections are over," she said. 
Observers also believe the government's slow handling of
reconstruction efforts in the province following the 2004 earthquake
and tsunami played a role in the good showing of GAM candidates. 
Maimun, 48, who has been working as a vegetable vendor in Lambaro Skep
subdistrict since his house and fishing boat were destroyed in the
tsunami, said the victims were tired of the empty promises given by
political parties. 
"With the new leaders from GAM, the Acehnese people want to see change
 The local elections are our chance to determine our future," he
said. 
He said most tsunami victims were disappointed with the slow pace of
reconstruction work, with many people still living in temporary
shelters almost two years after the disaster. 
He said he was optimistic the new leaders would give more attention to
disaster victims and be more serious about improving the lives of
residents. 
When asked what would happen if the new government turned out to be
corrupt and ineffective, he said people would vote them out in the
next elections. 
Muhammad Yusuf, 42, who lost his house in Baitussalam subdistrict and
many relatives in the tsunami, said he voted for Irwandi because the
former GAM leader had expressed his strong commitment to improving the
lives of the Acehnese during the campaign. 
"Irwandi is an influential GAM leader and was nominated by GAM, while
Nazar is the chairman of SIRA, which in the past fought for a
self-determination referendum for Aceh. We are sure they know what the
Acehnese want from them," he said. 
SIRA is the Aceh Referendum Information Center. 
Rusdy, 34, a resident of Keude Pidie in Pidie regency, which was a GAM
stronghold during the struggle, said most voters trusted GAM leaders
to ensure a permanent peace in the province. 
"Many people suffered during the armed conflict and are living in
poverty even though the province is rich in natural resources such as
oil and gas. The people have gained nothing from the mining sector,"
he said. 
Syaifuddin Bantasyam, a political analyst at Syiah Kuala University in
Band Aceh, said he predicted Irwandi's victory in the gubernatorial
election because GAM's political machine remained operational at the
grassroots level, whil

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- MENGENANG HARDOYO Dan Fikirannya

2006-12-18 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA 
Senin, 18 Desember 2006.

MENGENANG HARDOYO  Dan  Fikirannya
Senja  hari ini, kuterima berita duka lewat tilpun dari Suranto (adik
ipar Hardoyo), bahwa HARDOYO sore hari ini tanggal 18 Desember,  jam
17.45  WIB  telah meninggal dunia  dengan tenang di Jakarta. Segera
kunyatakan kepada Suranto:

 INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAJIUN

Mbak Yuyud, Harni, Suranto dan seluruh keluarga yang ditinggalkan 
Hardoyo terimalah rasa sedih kami sekeluarga serta pernyataan 
belasungkawa kami sedalam-dalamnya atas kepergian kawan tercinta
Hardoyo. Semoga musibah ini dihadapi dengan tabah

*   *   *

Kawanku Hardoyo, telah lama kukenal sebagai seorang pejuang yang
konsisten demi demokrasi dan keadilan bagi rakyat, bangsa dan tanah
air Indonesia. Dalam keadaan sulit yang bagaimanapun kepeduliannya
terhadap nasib bangsa dan negeri tak pernah luput. Hanyalah keadaan
kesehatannya, terutama setelah diseramg stroke beberapa tahun yang
lalu, yang menghambat keaktifan Hardoyo dalam kegiatan memperjuangkan
cita-citanya.

Aku ingat pertemuan  bersama Hardoyo, beberapa tahun  yang lalu  di
Taman Amir Hamzah, Matraman, di rumah Amin Aryoso SH,  mantan pimpinan
fraksi (kalau tidak salah)  PDI-P di DPR ketika itu. Hadir juga antara
lain, Jusuf Isak, dan banyak teman-teman lainnya.  

Kuketahui kemudian bahwa ide untuk mengadakan  pertemuan itu datang
dari Hardoyo. Kami membicarakan situasi Indonesia ketika itu.
Bagaimana usaha bangsa ini bisa memulihkan persatuan nasional dan 
bisa kiprah maju menyongsong hari depan. Umumnya  kami menekankan
betapa pentingnya usaha meneruskan pembangunan nasion, 'nation
building', termasuk yang terpenting yaitu 'character building'. Bahwa
 landasan, atau fikiran pemersatu dalam nation-building, antara lain
yang fundamental adalah ajaran-ajaran Bung Karno dalam 'nation
building'. Yang terpenting dari ide-ide Bung Karno itu ialah yang
dituangkan dalam Lahirnya PANCASILA,  sebagai satu-satunya prakarsa
yang punya syarat historis, untuk bisa menggalakkan kembali usaha
meneruskan 'nation building'.

*   *   * 

Selanjutnya, kita ingat kembali, betapa  kerasnya usaha Hardoyo dan
kawan-kawan untuk membangun media informasi yang benar dan obyektif
mengenai Indonesia, melalui media internet WAHANA, yang sampai
sekarang masih terus dengan kegiatannya.

*   *   *

Kiranya salah satu cara yang baik dalam mengenangkan HARDOYO, dan
merenungkan kembali ide-idenya yang dituangkannya melalui banyak
tulisan dan wawancara, ialah dengan menyiarkan kembali sebagian dari
fikirannya mengenai peristiwa-peristiwa dan masalah penting di
Indonesia, antaranya mengenai penialaian terhadap G30S  dan usaha
Rekonsiliasi Nasional.

Adalah dalam rangka ini disiarkan kembali di bawah ini bagian penting
dari wawancara HARDOYO mengenai G30S  dan mengenai usaha Rekonsiliasi
Nasional, sbb:

TULISAN DAN WAWANCARA HARDOYO, MANTAN KETUA UMUM CGMI PERIODE 1960-1963.


Berikut penuturan Hardoyo seputar peristiwa G30S dan soal Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang ditulis dalam dua bagian.

*   *   *

MISTERI 30 SEPTEMBER PERLU DIKUAK
Peristiwa G30S sebuah misteri, bagi saya. Tiba-tiba terjadi
penangkapan masal dan tuduhan-tuduhan tanpa sumber hukum yang jelas,
tanpa pembuktian, tanpa apapun. Itulah yang terjadi.


Jadi memahami peristiwa G30S itu harus dibagi dua. Pertama, penculikan
para jenderal. Itu harus dibuka secara tuntas siapa yang terlibat.
Andaikata ada beberapa orang PKI yang terlibat juga harus dibuka.
Kedua, peristiwa setelah 1 Oktober, saat terjadi penangkapan dan
pembunuhan massal dan pengucilan secara turun-temurun. Itu kan
kejahatan kemanusiaan. Itu yang harus dibongkar, diselesaikan. Kalau
bisa melalui KKR ini.

Mungkin kita sekarang agak terbantu dengan adanya dokumen CIA yang
menghebohkan itu. Saya cenderung sependapat dengan Bung Karno bahwa
G30S terjadi karena tiga sebab. Pertama, keblinger-nya pimpinan PKI.
Kedua, adanya pimpinan tentara yang tidak bener. Ketiga, kelihaian
CIA. Penjelasan ini ada di Nawaksara. Memang ada oknum-oknum PKI yang
terlibat. Tapi partai secara institusional tidak terlibat. Banyak
orang dari CC PKI tidak tahu menahu kejadian itu.

Soal kekerasan kasus tanah di Jawa Timur oleh PKI sebelum 1 Oktober
adalah masalah lama. Masalah UU Pokok Agraria dan Bagi Hasil. Di sana
BTI meminta agar itu dilaksanakan. Maka lahirlah aksi sepihak untuk
melaksanakan UU. Terjadilah banyak ekses di lapangan. Jadi itu sesuatu
hal yang terjadi akibat sesuatu. Ini mesti diteliti lebih jauh. Kalau
Anda mengambil contoh itu, kini syarikat sebuah badan di bawah NU
telah membuat pernyataan maaf kepada para korban PKI. Malah seorang
sejarawan, Candra, menulis dalam Kongres Sejarah menyatakan bahwa aksi
tanah sebagai puncak radikalisme. Candra memprediksi, jika dari pihak
PKI tidak berlebihan, maka tidak akan terjadi seperti itu.

Lain lagi soal penculikan para jenderal. Ini pun, bagi saya, suatu
misteri. Ini harus dibuka. Siapa yang menculik? Kan a

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S – FOCUS ON ACEH'S ELECTION

2006-12-17 Terurut Topik IBRAHIM ISA
---
IBRAHIM ISA'S – FOCUS ON ACEH'S ELECTION
Saturday, 17 December 2006
-
WINNING ELECTION SEEN AS EASY PART
ACEHNESE DEMAND JUSTICE AS AMM LEAVES 
IRWANDI STILL IN LEAD, MONITORS ISSUE REPORT 
-
WINNING ELECTION SEEN AS EASY PART
M. Taufiqurrahman, The Jakarta Post, Jakarta
Former Free Aceh Movement leader Irwandi Yusuf, who leads Aceh's
gubernatorial race, will face an uphill struggle to govern the
province, analysts said Thursday.
Mohammad Qodari, of the new research institute Indo Barometer, said
while Irwandi was polling convincingly at around 26 percent of the
vote, being on an independent ticket would pose problems for him and
running-mate Muhammad Nazar in the future. 
"Together with the local legislative council, Irwandi is mandated by
the Aceh governance law to draw up 90 qanuns (bylaws), yet he will
have no support from political factions in the legislature," Qodari
told a discussion. 
The most pressing problem for the former GAM rebels, Qodari said,
would be the repatriation of thousands of refugees who were displaced
during the three-decades-long conflict between the rebel group and the
Indonesian Military. 
"There are now over 50,000 refugees from armed conflicts in the past
who feel they are being left out in the post-tsunami reconstruction
projects," Qodari said. 
He said Irwandi and Nazar also needed to establish a good relationship
with the Aceh-Nias Reconstruction and Rehabilitation Agency, another
powerful institution which controlled a huge sum of money to rebuild
the tsunami-hit areas. 
Qodari believed Irwandi had made a blunder by announcing one of his
top priorities would be to amend the Aceh governance law. 
"He opened a new battle front against the major political factions in
the House of Representatives, the Indonesian Democratic Party of
Struggle and the Golkar Party, which has taken pains to produce the
law," he said. 
The Irwandi-Nazar pair are poised to lead Aceh after a quick vote
count gave them convincing lead in Monday's direct gubernatorial
election. 
The lead surprised many, who expected the victory would be enjoyed by
candidates nominated by the major political parties. 
Analyst Fadhil Hassan of the Institute for Development of Economics
and Finance said the new leaders of Aceh would also have problems
dealing with the bureaucracy. 
He said in the near future the province would be awash with cash from
numerous funding schemes prepared by the central government but it
would likely lack the human resources to manage it. 
"The problem for Aceh now is not the lack of resources but how to
manage the resources when it is left with the same incompetence
bureaucracy. I doubt if the existing bureaucracy has the skill and
competence to implement the policies of the new governor," he said. 
He warned Aceh could repeat the failure of Papua to improve the
well-being of its people, despite receiving the bulk of its special
autonomy fund from the central government. 
Meanwhile, activist Otto Syamsuddin Ishak of the Aceh Working Group
said the likely victory of Irwandi and Nazar had overturned
conventional wisdom about local politics. 
"They weren't nominated by any political parties, neither did they
spend much money on the election and they received only a little
support from the media. Yet they could win the election," he said.



AEHNESE DEMAND JUSTICE AS AMM LEAVES 
Nani Afrida and Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Banda Aceh
While peace finally has descended upon Aceh, past wounds have yet to
heal. A hundred people, claiming to be victims of past rights abuses
in the province, demonstrated here Thursday urging the Aceh Monitoring
Mission (AMM) and the Aceh Reintegration Agency (BRA) to resolve their
cases.
Claiming to represent thousands of people across the province, the
mostly middle-aged women demonstrators said the peace that was
flowering would never fully bloom until there was full accountability
for past abuses. 
"AMM should not leave Aceh ... there are still numerous unsolved
problems," said Rukaya, who claimed her husband and two children were
killed by security personnel in 2003. 
"Thousands of victims are still awaiting justice. The military
personnel who perpetrated the abuses and the generals responsible have
yet to be brought to justice," she said. 
The protest was held as the AMM officially concluded its 15-month
mission Thursday. 
However, Banta Khalidansyah, a former rebel leader in West Aceh, urged
the AMM to extend its mandate to resolve past rights cases. 
"We no longer believe Indonesia will respond to our grievances. Please
stay and declare your commitment to helping Acehnese reveal the
truth," he said. 
Hendra Budian, coordinator of the Aceh Judicial Monitoring Institute
(AJMI), regretted the AMM's departure, saying that as a body
representing pro-

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- BUKAN SEBARANG RESTORAN

2006-12-15 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Menjelang Natal  -- Jum'at, 15 Desember 2006

24 Tahun  Berdirinya Di  12, Rue de Vaugirard  75006 Paris:
'RESTORAN INDONESIA PARIS'

BUKAN SEBARANG RESTORAN
Kemarin pagi aku menilpun Suyoso, Pimpinan Restoran Indonesia, Paris. 
Seorang pekerja   mengangkat tilpun di seberang sana menyatakan: 'Mr
Suyoso is not here', katanya dalam bahasa Inggris berlogat Perancis.
Tolong sampaikan kepada Mr Suyoso ada tilpun dari Amsterdam, jawabku .
Anda siapa tanyanya dalam bahasa 'Franglais' – Perancis/Inggris.
Bilang saja dari Isa, Amsterdam.
Malamnya Suyoso menilpun aku. 'Ada apa Oom', tanyanya kepadaku. Suyoso
sudah lama kukenal baik. Ia menyapa aku selalu dengan sebutan  'Oom
Isa'. Suyoso agak tegang. Ada  apa kok  pagi-pagi ada tilpun dari
Amsterdam, fikirnya.  Aku bilang bahwa tidak ada apa-apa yang istimewa. 
'Hanya ingin menyampaikan  'SELAMAT ULANG TAHUN'  kepada kalian,
pengusaha dan  para karyawan RESTORAN INDONESIA PARIS' . 
'Ooh, itu. Ya, terima kasih ya , Oom', jawab Suyoso dengan nada lega
dan gembira.
Kawan-kawan Restoran Indonesia Paris, tidak mengadakan kegiatan khusus
berkenaan dengan hari '14 Desember',  yaitu hari berdirinya restoran
mereka 24 tahun yang lalu. Tetapi, tahun depan mereka merancangkan
akan mengadakan peringatan itu. Ya, pantaslah. Karena, bukankah tahun
depan Restoran Indonesia Paris genap berkiprah  25  tahun lamanya.
Sebuah  restoran yang mereka bangun dengan jerih payah serta cucuran
keringat,  melalui kerja keras banting tulang, siang malam terus
menerus. Suatu perjuangan hidup-mati untuk survive dan  dengan
demikian menciptakan syarat untuk meneruskan cita-cita pengabdian
kepada tanah air dan rakyat.

*   *   *

Mengapa  perlu sekali ditulis lagi,  tentang Restoran Indonesia Paris?
Aku sebenarnya tak ada rencana untuk menulis tentang itu. Niat untuk
menulis, baru muncul  sesudah terbaca tulisan JJ. Kusni, salah seorang
pendiri Restoran Indonesia Paris,  --  Sebuah tulisan yang cukup
lengkap untuk  mengingatkan pembaca bahwa tanggal 14  Desember tahun
ini, Restoran Indonesia Paris, memasuki tahun ke-24. Barulah kuingat
lagi, bahwa  sudah 24 tahun restoran itu berdiri.  Suatu prestasi!
Suatu kinerja teladan dari kaum intelektuil dan budayawan Indonesia
yang terpaksa terdampar di luarnegeri karena paspornya dicabut dan
hak-hak kewarganegaraannya direnggutkan oleh rezim militer Indonesia
yang angkara murka. .

Aku tegaskan bahwa  perlu menulis lagi tentang Restoran Indonesia
Paris, karena bagiku dan banyak kawan seperjuangan, kawan-kawan dari
Restoran Indonesia Paris, yang dipandu oleh Umar Said, dengan
solidaritas dari kaum demokrat dan peduli HAM oang-orang Perancis, 
merupakan suri teladan. Semangat kawan-kawan itu, memanifestasikan
jiwa  yang  pantang menyerah terhadap  'nasib' yang dipaksakan pada
mereka oleh kekerasan telanjang,  dipaksa menjadi insan tanpa 
identitas, kecuali 'cap' yang dicorengkan ORBA pada mereka: Sebagai
'orang yang terlibat' atau 'berindikasi', bahkan sebagai 'orang-orang
yang bermasalah'. Sungguh teramat kejam tindakan baidab itu!
Orba di bawah Jendral Suharto bermimpi dengan mencabut paspor
kawan-kawan itu,  dengan membikin mereka menjadi orang-orang
'stateless', orang-orang 'tanpa identitas' yang 'kelayaban' di luar
negeri,  bahwa dengan tindakannya itu --  Orba berilusi  akan bisa 
mematahkan jiwa bebas  mandiri, jiwa berlawan  yang patriotik cinta
air dan keadilan dari kawan-kawan itu. 
Orba dan pendukungnya melését, kecelé,  seratus persen melongo
menyadari kemudian,  bahwa kawan-kawan itu bahkan semakin memperkokoh
tekad untuk survive. Dengan berani dan tegar melawan 'vonis' Orba
untuk menjadikan mereka semacam 'orang-orang pariah'. 
Mereka menyingsingkan lengan baju, 'bercancut taliwondo',
'ber-rawé-rawé rantas, malang-malang putung',  melaksanakan prakarsa
membangun restoran Indonesia mulai dari nol. Hanya dengan modal
semangat juang dan jiwa pantang menyerah,  dengan modal dengkul dan
keringat,  dengan memperkokoh semangat gotong-royong dan 
kekolektifan, akhirnya berhasillah kawan-kawan itu  membangun 
Restoran Indonesia Paris.  
JJ. Kusni yang khusus menulis mengenai 24 tahun berdirinya Restoran
Indonesia, dengan tepat sekali mengatakan bahwa apa yang dilakukan
oleh kawan-kawan itu selama 24 tahun ini, menghadapi
intimidasi,diskriminasi dan fitnah Orba, adalah suatu usaha dan
kegiatan yang MEMBELA MARTABAT DIRI DAN INDONESIA'.
Restoran Indonesia Paris  bukan sebarang restoran tulisku. 
Memang demikianlah adanya. Bukan sekadar suatu usaha untuk mencari
nafkah,  supaya bisa survive dan agar tidak tergantung dari tunjangan
sosial pemerintah Perancis.
RESTORAN INDONESIA telah menjadi salah satu tempat penting dimana
berlangsung kegiatan kebudayaan Indonesia yang teratur dan bermutu.
Dikunjungi oleh banyak orang d

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- JUSUF ISAK DAPAT BINTANG KEHORMATAN PERANCIS “CHEVALIE

2006-12-12 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 12 Desember 2006

MAU KEMANA "Harian KOMPAS"


Tulisan ini dibuat atas dasar asumsi bahwa, benarlah adanya yang
diberitakan oleh AJI, Aliansi Jurnalis Indonesia, mengenai pemecatan
atas wartawan senior 'Harian Kompas', Bambang Wisudo. Seperti yang
diberitakan (lihat lampiran berita dalam bahasa Inggris), menurut AJI
Bambang Wisudo dipecat karena menolak dipindahkan ke Ambon. AJI
menjelaskan lebih lanjut bahwa 'pemindahan' tsb dilakukan dengan
tujuan untuk menggembosi serikatburuh di 'Harian Kompas' yang
kebetulan dipimpin oleh Bambang Wisudo.

*  *  *

Bulan Desember ini, sering dikatakan sebagai bulan HAK-HAK AZASI
MANUSIA, bulan 'THE UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS' – U.N.O.
Supaya orang jangan lupa bahwa pada tanggal 10 Desember 1948, PBB
mengeluarkan pernyataan tentang HAK-HAK AZASI Manusia, bahwa
prinsip-prinsp HAM dan Demokrasi, seharusnya dipraktekkan oleh semua
anggota PBB, oleh sesama manusia di dunia ini. 

Secara internasional maupun nasional hari 10 Desember diperingati
dengan pelbagai kegiatan untuk mendorong maju terus perjuangan untuk
HAM, untuk Hak-Hak Demokrasi, hak untuk dengan bebas menyatakan
pendapat, menulis, dan menyiarkannya. Untuk diberlakukannya dengan
konsisten KEBEBASAN PERS. Supaya orang jangan lupa bahwa pelanggaran
terhadap HAM sudah tidak bisa ditolerir lagi, di saat dunia (ketika
pernyataan PBB itu dikeluarkan) baru saja dengan gemilang merebut
kemenangan atas aliansi kekuatan militer-fasis internasional Nazi
Jerman, fasisme Itali dan militer-fasis Jepang. Suatu kekuatan politik
dan militer yang melanggar HAM dan membungkam kebebasan berfikir dan
menyatakan pendapat. Universal Declaration of Human Rights adalah
tekad khidmat PBB, adalah suatu 'political will' yang historis dari
organisasi keduniaan satu-satunya, dimana mayoritas mutlak negara di
dunia ini adalah anggotanya.

*   *   * 

Kebebasan pers adalah salah satu prinsip yang diutarakan dan dibela
oleh HAM internasional. Di sini peranan jurnalis merupakan  salah satu
faktor menentukan. Salah satu syarat penting agar bisanya terlaksana
kebebasan pers. Jurnalis-jurnalis dianggap sebagai penyangga kebebasan
pers, penyanggap demokrasi. Suatu jurnalisme yang didasarkan atas
pemahaman bersama bahwa, pertama-tama merupakan tuntutan terhadap diri
sendiri, bahwa kaum jurnalis adalah insan-insan yang berpegang teguh
pada prinsip HAM dan kebebasan demokratis. Bukan semata-mata sebagai
'kuli tinta' .
Yang mencari nafkah sebagai wartawan di suatu perusahaan yang
bersangkutan dengan dunia media. 

Tentu lebih jelek lagi, bila sang wartawan, menulis atau membuat suatu
liputan atas perintah 'amplop berisi' yang baru diterimanya dari
jurusan tertentu yang berkepentingan. Jelas yang paling jelek dan
teramat hina adalah menjadi 'wartawan bayaran'. Wartawan atau editor
bayaran bisa juga, adalah jurnalis-jurnalis, editor-editor bayaran
yang dipasang disitu. Tugasnya adalah agar tulisan-tulisan kritis,
teristimea terhadap penguasa, tidak dimuat. Mereka-mereka itu adalah
jurnalis 'palang pintu', atau jadi 'redaktur palang-pintu'. Hal ini
terjadi di dalam suatu negeri yang mentrapkan sistim otoriter dan
totaliter, ataupun didalam masyarakat kapitalis dimana raja-raja uang
menguasai media cetak dan eletronik.

Secara umum, fungsi wartawan yang punya visi dan misi perjuangan
kemerdekaan bangsa dan negeri, --- hal yang kita alami pada periode
penjajahan kolonialisme Belanda, adalah tidak mudah. Jadi wartawan
yang ikut memperjuangan kemerdekaan bangsa dan keadilan, terancam
kehilangan pekerjaan dan sumber pencariannya. Bahkan bisa masuk
penjara atau dibuang ke Boven Digul (Papua). Di zaman pendudukan
militer Jepang, jangan coba-coba untuk jadi wartawan yang bebas dan
punya cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial. Pada periode
kekuasaan asing di Indonesia, tak ada kebebasan pers, tak ada
kebebasan menulis. Wartawan menulis hanya atas persetujuan dan
pengendalian penguasa. Wartawan kawakan dan senior Rosihan Anwar, yang
pernah hidup sebagai wartawan pada zaman pendudukan Jepang, bisa
cerita banyak tentang hal itu.

Periode rezim ORBA, adalah saat ketika hak-hak azasi manusia, hak-hak
demokrasi dicabut samasekali dari kehidupan masyarakat. Seluruh media
pers diawasi dikontrol oleh penguasa militer. 'Pelanggaran'  yang
sekecil-kecilnyapun terhadap politik dan beleid penguasa akan berakhir
dengan pemberangusan. Syukur-syukur jika hanya surat kabarnya yang
ditutup, dan para wartawannya menjadi penganggur tanpa batas waktu.
Lebih celaka lagi, dan ini sering terjadi, sang wartawanpun masuk
penjara. Bahkan ada yang 'hilang' tak tahu rimbanya.

Sesudah Suharto digulingkan dan Reformasi dan Demokratisasi menjadi
program umum gerakan, pada tempatnya kebebasan pers mulai diberlakukan. 

Tindakan pimpinan 'Harian Kompas' dengan memecat jurnalis senior
Bambang Wirosudo, adalah suatu 

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- SAMPAI DIMANA HAM DIBERLAKUKAN DI INDONESIA?

2006-12-08 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
-
08 Desember 2006

SAMPAI DIMANA HAM DIBERLAKUKAN DI INDONESIA? 

'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS'

Limapuluh delapan tahun yang lalu, dalam sidangnya di 'Palais de
Chaillot', Paris, pada tanggal 10 Desember 1948, Majlis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) mensahkan suatu DEKLARASI
UNIVERSAL. Sebuah DEKLARASI yang besejarah dan membikin sejarah.
Deklarasi tsb adalah 'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS',
'Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia'. Ny. Eleanore Roosevelt,
istri mantan Presiden Amerika Serikat, Franklin D.Roosevelt, yang ikut
membuat rancangan dokumen bersejarah itu, menamakan dokumen UNIVERSAL
DECLARATION OF HUMAN RIGHTS, adalah suatu MAGNA CARTA Internasional,
Magna Carta abad ke-20.

Ketika itu, tak satupun anggota PBB yang menentangnya. Namun, aneh dan
sayangnya, ada 8 negara anggota PBB yang tidak memberikan suara, alias
blanco. Lainnya, 48 negeri semuanya Acc. Yang memberikan suara blanco
itu adalah: Saudi Arabia dan 7 negeri-negeri dari blok Sovyet. Kalau
difikir-fikir sekarang, bagaimana bisa terjadi, negara seperti Saudi
Arabia (negara yang berdasarkan agama) suaranya bisa sama dengan
negara-negara blok Sovyet (negara-negara sosialis/Marxis yang
memperjuangkan keadilan sosial). 

Namun, kenyataannya demikianlah, itu sejarah. Saudi Arabia dan blok
Sovyet ada di satu barisan yang memberikan suara blanco terhadap
UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS (UNO). Apakah itu suatu
kebetulan saja?! Besar kemungkinan karena kedua macam/sistim
kenegaraan tsb memberlakukan sistim pemerintahan yang totaliter. Yang
satu diktatur religius yang satu macam lagi diktatur ideologis.
Mengenai hal ini masih bisa panjang lebar pendiskusiannya.

***   

Menggarisbawahi arti penting DEKLARASI, MU-PBB berseru kepada semua
negeri anggota PBB untuk menyebarluaskan teks DEKLARASI tsb, agar
dokumen itu dibaca dan dipelajari. Supaya isinya  dijelaskan terutama
di sekolah-sekolah dan dipelbagai lembaga pendidikan lainnya, tanpa
pembedaan yang didasarkan atas status politik negeri-negeri maupun
wilayah. Titik berat dan sasaran utama pendidikan adalah generasi
muda. Agar generasi mendatang memahami, mengkhayati dan memperjuangkan
HAM di mana prinsip itu belum diberlakukan.

***

Bisa dikatakan dengan pasti bahwa salah satu cara yang positif dan
efektif untuk memperingati tanggal 10 Desember 1948, lahirnya
UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS <10 Desember 1948>, adalah
dengan memeriksa situasi kehidupan hukum di negara Republik Indonesia.
Pertanyaan berikut ini harus dengan serius mendapat jawaban: Apakah
negara RI sudah bisa dikatakan suatu negara hukum dalam arti kata yang
sesunguuhnya? Sampai di mana prinsip-prinsip HAM dan demokrasi seperti
 yang dinyatakan dalam UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS itu,
telah diberlakukan/dipraktekkan oleh lembaga-lemaga yudikatif,
legeslatif dan ekekutif di Indonesia? Seberapa serius dan seberapa
berat pelanggaran hukum yang sudah berlangsung di negeri ini, dimana
pelakunya adalah penguasa itu sendiri. Dimana korbannya adalah
warganegara sendiri yang tak bersalah? Sampai dimana pula
pelanggaran-pelanggaran HAM itu sudah diakhiri dan diatasi.

Barangkali hanya dengan cara memeriksa keadaan negara kita sendiri,
akan ada artinya setiap kali kita memperingati HARI UNIVERSAL
DECLARATION OF HUMAN RIGHTS. Dengan demikian diharapkan akan
memberikan kesadaran dan dorongan baru terhadap usaha, kegiatan dan
perjuangan riil untuk memberlakukan HAM di negeri kita. Baik itu di
kalangan penguasa dan pemerintah, maupun di kalangan masyarakat, di
kalangan LSM dan ornop yang menjadikan pemberlakuan HAM dan
prinsip-prinsip demokrasi sebagai misi dan visinya.

Kita tahu bahwa pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM terbesar
dalam sejarah Indonesia, --- dimulai, segera sesudah terjadinya
peristiwa G30S, 
1 Oktober 1965. Peristiwa itu terkenal di mancanegara,
, sebagai 'Peristiwa Pembantaian Masal 1965'
terhadap ratusan ribu bahkan dikatakan sampai 3 juta orang yang tidak
bersalah (angka tiga juta korban tsb diungkapkan oleh Jendral Sarwo
Edhie dari Angkatan Darat, sebelum ia meninggal dunia). Pelanggaran
HAM terbesar tsb adalah rekayasa dan tanggungjawab langsung kelompok
militer di bawah Jendral Suharto dengan dukungan sementara parpol dan
kekuatan religius dalam masyarakat kita. Mengenai keterlibatan
kekuatan religius dalam kampanye pembantaian itu, telah dengan jujur
diungkapkan oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika beliau
sebagai tokoh pimpinan NU minta maaf atas keterlibatan pemuda-pemuda
NU (Ansor) dalam pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau diduga PKI
di Jawa Timur.

*   *   *

Mengenai pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan oleh penguasa,
oleh pemerintah ORBA, banyak yang bisa dikemukakan dan dianalisis. Ini
suatu tantangan terhadap pemerintah untuk mengkoreksi
kesalahan-kesalahan masa lampau di bidang HAM. Sudah ada janji, ada
usa

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA ---- SILATURAKHMI DI KBRI - DEN HAAG

2006-12-01 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 01 Desember 2006

SILATURAKHMI DI KBRI-DEN HAAG


Rabu malam, tanggal  29 November  y.l,  KBRI-Den Haag  ramai
dikunjungi sebagian masyarakat Indonesia di Belanda. Aku  taksir
paling tidak  ada dua-ratusan. Mereka datang  menyambut dan
bersilaturakhmi dengan  Dubes Baru,  Junus Effendi Habibie. Betul,
bukan saja namanya yang sama dengan mantan Presiden Habibie. Beliau
itu  adalah adik kandung mantan Presiden Habibie.Ini dinyatakannya
sendiri malam itu.  Melihat penuh sesaknya KBRI,  Dubes Fanny Habibie
tampak gembira dan bangga, mendapat sambutan demikian hangatnya. Semua
datang atas undangan KBRI untuk acara  BERSILATURAKHMI dengan Dubes RI
yang baru, Junus Fanny Habibie.

***

Kami bertiga, putri kami Pratiwi dan 'vriend'-nya, serta istriku
Murti, hadir di situ. Habibie  mengucapkan sambutannya dalam tiga
bahasa silih berganti, Indonesia – Belanda dan Inggris, agar hadirin
yang datang bisa mengerti. Maklum yang datang ada yang hanya mengerti
 bahasa Indonesia, ada yang hanya mengerti bahasa Belanda dan ada yang
mengerti baik bahasa Belanda maupun bahasa Inggris.

Tak lama setelah menikmati santapan hidangan KBRI,  yang kwantitasnya
jauh di bawah jumlah hadirin itu, kami siap-siap pulang.Tidak sampai
mengikuti acara  ramah tamah. Setelah kesibukan acara  makan akan
diteruskan dengan  acara gembira ria dengan musik hidup yang sudah siap.

Bersama-sama istri, aku  menghampiri Dubes Habibie ketika beliau
kebetulan belum mulai makan siap-sia hendak makan. Untuk Dubes, Bu
Duta dan sejumlah tertentu hadirin disiapkan tersendiri di salah satu
sisi ruangan yang diberi semacam sekat. Aku perlukan bersalaman
memperkenalkan diri  dengan beliau dan Bu Duta. Ketika kami berdjabat
tangan, aku bilang: Saya Ibrahim Isa, datang kesini atas undangan
KBRI. Terima kasih atas undangan; kapan-kapan saya ingin bertemu
sendiri dengan Pak Dubes.  Dalam pidatonya, Dubes ada mengatakan dalam
bahasa Inggris, "Do not hasitate to contact me!', 'Jangan ragu-ragu
menghubungi saya'. Aku ingat ucapan beliau itu. Mendengar bahwa saya
bermaksud berbincang-bincang dengannya, beliau senyum saja. Barangkali
beliau tidak menduga akan ada tanggapan kontan atas tawarannya  'Do
not hasitate to contact me'. 

Aku rasa berhubungan dengan Pak Dubes  perlu dan penting, betapapun
beliau mewakili sebuah pemerintah pasca-Suharto yang, seperti
dinyatakan,  punya program Reformasi, Demokratisasi. HAM dan
pemberantasan korupsi.  Sesudah Suharto jatuh,  aku menjalin hubungan
dengan KBRI, khususnya dengan Dubes Abdul Irsan dan sempat berkenalan
baik dengannya. Pada periode rezim Orba aku tak pernah ke KBRI.  Tak
bisa lain!  Karena rezim Orba sesungguhnya tidak mewakili kepentingan
bangsa dan negara Republik Indonesia. Tegaknya Orba adalah atas dasar
kekerasan militer, penggulingan Presiden Sukarno dan rekayasa di
bidang hukum dan undang-undang. Bagiku rezim Orba samasekali  tak
punya legitimitas dan keabsahan.  Dalam perkembangan selanjutnya 
rezim otoriter dan korup Jendral Suharto telah digulung oleh arus dan
gelombang besar gerakan Reformasi dan Demokratisasi, pada bulan  Mei 1998.

DUBES MOH. JUSUF YANG DIGANTIKAN FANNY HABIBIE.
Dutabesar  yang digantikan oleh Junus Fanny Habibie, adalah Mohamad
Jusuf. Aku kenal baik dengan. Sering berktukar fikiran dengan Dubes
Moh. Jusuf. Orangnya ramah, terbuka, menyenangkan. 

Namun,  bagiku, yang terpenting ialah: ---  Beliau menunjukkan
kepedulian sungguh-sungguh terhadap keadaan orang-orang Indonesia yang
paspornya dicabut sewenang-wenang oleh rezim Orba. Beliau ada
perhatian terhadap orang-orang yang HAM-nya dilanggar oleh Orba.

Pada masa akhir tugas Dubes Moh. Jusuf di Belanda, menjelang
keberangkatan beliau kembali ke Indonesia,  atas undangan beliau,
'kami' sempat berdialog dalam suatu pertemuan  bersama di Wisma
Nusantara, Wassenaar. Yang aku maksudkan 'kami', ialah 'kami-kami',
'orang-orang yang terhalang pulang'. 'Terhalang pulang'  disebabkan
oleh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Orba, yang dengan
sewenang-wenang telah mencabut parpor orang-orang Indonesia yang
ketika itu sedang berada di luarnegeri. Mengapa mereka dicabut
paspornya? Macam-macam penyebabnya. 

Tetapi  penyebab utama dan hakiki, ialah karena 'kami-kami' ini  tetap
setia pada Presiden Republik Indonesia Ir Sukarno; dengan tegas
menolak  mengutuk Presiden Sukarno,  yang ketika itu dituduh kaum
militer yang sudah berkuasa di Jakarta dibawah Jendral Suharto, -- 
terlibat dengan peristiwa G30S, bahkan difitnah sebagai 'dalang G30S',
dsb. 

Dubes Moh. Jusuf, yang menyelenggarakan 'acara perpisahan' pagi itu,
minta kepada 'kami-kami' ini, untuk tanpa sungkan-sungkan menyampaikan
isi hati kami, terhadap masalah yang bersangkutan dengan pencabutan
paspor tsb. Pada penutupan pertemuan itu beliau berjanji akan
menyampaikan dan melakukan apa yan

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON INDONESIA'S REGIONAL ELECTIONS

2006-11-28 Terurut Topik IBRAHIM ISA
IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON INDONESIA'S  REGIONAL ELECTIONS
Tuesday 28 November,  2006
--
HOUSE DIVIDED ON HOW TO ELECT GOVERNOR

RATU ATUT TAKES EARLY LEAD IN BANTEN 

YORGYAKARTANS FLOCK TO POLLING STATIONS TO CHOOSE A NEW MAYOR 



[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - Hasil Pemilihan Anggota De Tweede Kamer - Belanda:

2006-11-26 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 26 November 2006
---
Hasil Pemilihan Anggota De Tweede Kamer -  Belanda:
Ada yang bilang Kiri Menang, Kanan merosot!
Tapi -- Muncul  EKSTRIM-KANAN Baru!!

Rabu, 22 November y.l Belanda menyelenggarakan pemilihan umum 2006
untuk De Tweede Kamer,  yaitu DPR Belanda.   Ini berlangsung di bawah
pemerintahan  Perdana Menteri Jan Peter Balkenende, pemimpin CDA ,
sebuah partai Kristen Demokrat. Banyak pendapat menilai bahwa, 
pemerintah  Belkenende menempuh politik ekonomi-liberal. Suatu
kebijakan ekonomi  yang mengutamakan 'pertumbuhan ekonomi' ,
'pengurangan pajak (perusahaan) dan pajak orang-orang kaya . Kebijakan
ini yang dikatakan demi 'pertumbuhan ekonomi' agar Nederland di
luarnegeri mampu bersaing dengan negeri-negeri lain, dikritik sebagai
politik-ekonomi yang tidak sosial dan tidak manusiawi. 

Dari kalangan sos-dem dan  progresif serta Kiri lainnya, kebijakan
pemerintah Balkenende,  sebagai suatu kebijakan yang lebih banyak
menguntungkan pengusaha besar dan orang-orang kaya, ---  ketimbang
mengatasi kemiskinan (yang menurut catatan jumlahnya bertambah)  dan
memperkecil jurang antara kaya dan miskin di Belanda. Supaya pembaca
tahu, --   di Belanda terdapat golongan orang-orang yang disebut
"daklozen", yaitu orang-orang yang tidak punya rumah. Tidurnya
dimana-mana saja, atau 'kraken'. Secara ilegal mendiami gedung-gedung
atau rumah-rumah yang kebetulan sedang kosong.

Juga tidak sedikit orang-orang Belanda yang dari luar kelihatannya
'makmur', hidupnya 'enak',  'punya rumah',  'punya mobil' , dsb , 
tapi sesungguhnya utangya numpuk. Macam-macam utangnya. Dan banyak
pula yang samasekali tidak mungkin melunasi utangnya. 

Pemerintah Balkenende  yang menempuh kebijakan ekonomi-liberal dan
politik migrasi yang  konservatif, yang berusaha keras hendak menahan
arus migran dari luar –  banyak dikritik sebagai politik 'menutup
gerbang perbatasan Nederland', serta menolak memberikan izin tinggal
kepada ribuan migran, terutama dari negeri-negeri sedang berkembang.
Padahal mereka  sudah bertahun—tahun tinggal di Belanda,  bekerja dan
membayar pajak, tetapi  telah ditolak permintaan suaka atau izin
tinggal di Belanda. Selanjutnya akan diusir keluar dari negeri
Belanda, dikembalikan ke negeri asal. Politik migrasi pemerintah
Balkenende ini antara lain yang diangagap a-sosial dan tidak manusiawi.  

Padahal, demi jalannya pertumbuhan ekonomi, politik tradisionil
Nederland adalah menyambut migran dari luar, karena  nyatanya Belanda
memang  memerlukan tenaga kerja, terutama buruh kasar,  seperti di
bidang bangunan, pertanian dan  kebersihan kota, yang orang-orang
Belanda (bulé) banyak yang sudah tidak mau mengerjakannya. Ketakutan
akan masuknya  semakin banyak migran yang beragama Islam, adalah salah
satu sebab penting, Menteri Verdonk memperketat masuknya migran baru.
Verdonk baru-baru ini merencanakan suatu u.u  yang melarang dipakainya
'burkah' dimuka umum di Belanda. Kaum ekstrim Kanan Baru, seperti
partainya Gert Wilders, tanpa tedeng aling-aling menyerukan stop
terhadap yang dikatakannya 'Islamisasi Nederland'.  'Belanda sudah
kebanyakan mesjid', katanya. 'Stop itu'.  'Kita punya kultur kita
sendiri, yang kita hargai', katanya.

Maka tidaklah kebetulan bahwa kabinet koalisi yang dimimpin Balkenende
dalam beberapa tahun belakangan ini, adalah suatu koalisi dari
kekuatan politikyang intinya adalah  Tengah-Kanan, CDA dengan VVD
(sebuah partai Liberal Demorat). Suatu pemerintahan yang banyak
dianggap sebagai suatu pemerintahan yang 'a -sosial' dan tidak
manusiawi, tidak solider terhadap golongan lemah.

*   *   *
 
MEKANISME DEMOKRASI BELANDA:
Sistim kenegaraan Belanda,   yaitu sistim demokrasi parlementer.
Diberlakukan melalui sistim perwakilan Dua Kamar,  atau dua dewan
perwakilan. Yang satu, adalah Eerste Kamer, terdiri dari 75 Senator
yang dipilih 4 tahun sekali oleh Provinsi. Satu lagi,  adalah De
Tweede Kamer (DPR),  yang dipilih untuk masa jabatan 4 tahun sekali.
Dua Kamer ini merupakan suatu lembaga dewan yang disebut Staten
Generaal.  Suatu  lembaga kekuasaan  tertinggi yang membuat
undang-undang. Ketuanya adalah Ratu Beatrix. 

Itulah bentuk negara monarki-konstitusional Belanda.  Posisi Sri Ratu
sesungguhnya lebih banyak bersifat simbolis. Namun, pada masa penting
sesudah berlangsungnya pemilu untuk parlemen, seperti dalam situasi
sperti sekarang ini,  ketika akan dibentuk pemerintahan baru atas
dasar hasil pemilu yang baru dilangsungkan,  maka diwaktu inilah Sri
Ratu atau Raja,  memainkan peranannya. Para pemimpin parpol yang
terpilih, diundang oleh Sri Ratu, untuk didengar pendapat/advisnya, 
mengenai pemerintah partai-partai mana yang mungkin dibentuk sesudah
berlangsungnya pemilu. Sebelumnya Sri Ratu  terlebih dulu mengundang
para 'Penasihat-penasihatnya',  yaitu  ketua-

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- QUO VADIS REKONSILIASI NASIONAL?

2006-11-19 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 20 November 2006

QUO VADIS REKONSILIASI NASIONAL?
Seharusnya Dimulai dng Merehabilitasi  Bung Karno

Quo Vadis Rekonsiliasi Nasional? 

Persoalan ini patut diulang-ulang, harus  terus-terusan dipertanyakan
dan difikirkan berkali-kali dengan serius. Sejenakpun  jangan
melupakannya. Ini, kalau benar-benar ada semangat untuk berbuat
sesuatu demi kesatuan dan persatuan bangsa dan tanah air, demi
pembangunan nasion Indonesia di tengah-tengah tantangan-tantangan yang
baru  dunia sejak berakhirnya Perang Dingin.  Kelangsungan hidup
bangsa dan negara ini, hanya bisa terjamin bila kesatuan dan persatuan
bangsa diperkokoh terus dan semakin kuat adanya.

Disayangkan,  kebanyakan  politisi kita, pemimpin-pemimpin partai,
pengelola media termasuk kaum cerdik pandai,  yang duduk di pelbgai
lembaga kenegaraan,  fikirannya  jauh ketinggalan di belakang  realita
kehidupan  yang nyata. Mereka masih asyik berfikir menurut pola 
situasi Perang Dingin.  Oleh karena itu,  mereka  tidak mampu melihat
perubahan situasi dunia yang berlangsung  begitu cepat.   Mereka tidak
 menyadari,  bahwa tantangan-tangan baru berupa globalisasi mondial, 
merasuknya pengaruh  dominan neo-liberalisme serta  bertambahnya 
konflik-konflik kekerasan  secara internasional maupun nasional, yang
berlatar belakang  penyalah-gunaan keyakinan agama. Mereka tidak
menyadari bahwa,  tanpa  melakukan pekerjaan yang programatis dalam
rangka  pembangunan nasion Indonesia,  tanpa  terus menerus membina 
semangat dan karakter nasional  atas dasar falsafah negara kita, 
Pancasila ,  maka  kita  tidak akan  sanggup menghadapi,  apalagi
mengalahkan ancaman separatisme yang masih merupakan bahaya kongkrit
bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara kesatuan  Republik Indonesia
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sesungguhnya, apakah yang sudah dilakukan 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA FOCUS - ON SBY >< KALLA RIFT, Monday, November 06, 2006.

2006-11-06 Terurut Topik IBRAHIM ISA

IBRAHIM ISA FOCUS - ON SBY >< KALLA RIFT, Monday, November 06, 2006. 
-


*SBY – KALLA RIFT BURST INTO OPEN* 

*RIFT? WHAT RIFT? * 

*GOLKAR WON'T WITHDRAW SUPPORT * 




*SBY – KALLA RIFT BURST INTO OPEN* 

*Tony Hotland*, The Jakarta Post, 
Vice President Jusuf Kalla made sure on Friday that no one, including
President Susilo Bambang Yudhoyono, could defy him without risking a
political scandal.If both men have managed to keep previous
disagreements under the rug, the recent furor over Yudhoyono's
creation of a new working unit to monitor his programs may be an
indication that the two have not been getting along well. 

Kalla said Friday he had convinced Yudhoyono that the new working unit
was not necessary. "I and the President agree that the Cabinet already
has a built-in system of coordination. I will coordinate the
implementation of programs, the details of them, and the ministers
will do the rest. There's no need to have more people doing that," he
said after opening a Golkar Party convention. 

Yudhoyono established his working unit less than two months ago to
monitor, control and accelerate his programs. The unit is
concentrating on state-owned enterprises, small and medium-sized
firms, law enforcement, increasing investment and improving the
bureaucracy. The first sign of scandal was when Yudhoyono floated the
idea earlier this year. Kalla was on a trip to Japan. When journalists
asked him about the plan, he knew nothing about it. 

In the early days, both leaders agreed that Kalla was to focus more on
economic issues and Yudhoyono on security and political matters. Some
political observers see the creation of the team as an effort by
Yudhoyono to encroach on Kalla's domain. When the team's head,
Marsillam Simanjuntak, joined a Cabinet meeting for the first time
last week, Kalla also happened to be out of town. The scandal grew as
analysts concluded the new unit, which works under the President's
direct supervision, only created more layers of bureaucracy and
overlapping assignments. 

Worse, the decree that established the team said the President was
assisted by the Vice President in creating it, which was not the case.
Golkar has warned it could withdraw its support from Yudhoyono, saying
he had disrespected their chairman and that the people chosen for the
effort were not of good quality. 

Marsillam is not a Golkar member, while the unit's first deputy, Lt.
Gen. (ret) Agus Widjojo, is Yudhoyono's longtime friend. 

Kalla said the decree would not be revoked, but Yudhoyono would review
it. "This unit will handle the technical issues. We have enough
built-in coordination in the Cabinet," he said. The review was
promised when Kalla met with Yudhoyono at the presidential office,
after which the two men attended Friday prayers together for the first
time in nearly two years at the State Palace's Baiturrahman mosque. 

Meanwhile, presidential spokesman Andi Mallarangeng said after
Yudhoyono and Kalla met that the two men were still on the same page.
"The meeting wasn't something extraordinary. Things were
well-understood and well-discussed," he said. The rivalry between the
two leaders is not new, and is linked to their different styles of
leadership and to competition for the public's heart. When Yudhoyono
issued an instruction in 2005 that included him in the selection of
directors for state enterprises, it was also seen as an effort to
reduce Kalla's power in the economic field. 

A rumored rift also sparked media headlines last year when Yudhoyono,
on a trip to Washington, insisted on using costly video conferencing
to lead Cabinet meetings even after delegating the task to Kalla. The
vice president was then absent from those meetings, instead attending
Golkar functions or holding his own Cabinet meeting 
--- 
*RIFT? WHAT RIFT? * 
*BEHIND SBY-JK'S LATEST QUARREL RIFT? * 
*Meidyatama Suryodiningrat*, The Jakarta Post, Jakarta, 06.11.06It was
a combination that simmered on the fringes since day one.No two
individuals more unlike the other. More a union of political lust than
opposites attract. 

Foreboding predictions were cast and the latest, very public,
controversy on the presidential Working Unit on the Management of
Programs and Reforms (UPK3R) is regarded by some as a sign the
delicate union between President Susilo Bambang Yudhoyono and Vice
President Jusuf Kalla is coming apart at the seams. But are things
truly unraveling simply because of a relatively mundane body -- most
people are skeptical of its effectiveness anyway -- or is it a
political miscalculation and opportunism that is inflaming the situation? 

As president, Yudhoyono has the prerogative to introduce such a body.
The

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - MANDELA, BETAPA LAPANG DADAMU!

2006-11-03 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 03 November 2006

MANDELA, BETAPA LAPANG DADAMU! 


Dewasa ini di media Indonesia, kata rekonsiliasi, atau
rekonsiliasi-nasional, sesekali masih terbaca. Sering terlupakan
samasekali. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum lama dalam rangka
 'mengajak pulang' mereka-mereka yang paspornya dengan sewenang-wenang
dicabut Orba atas dasar fitnah dan tuduhan terlibat atau berindikasi
terlibat dengan G30S. Para warganegara Indonesia yang patuh hukum,
setia kepada Presiden Sukarno dan cinta tanah air, yang paspornya
dicabut,  menjadilah orang-orang Indonesia yang 'stateless', yang
berpuluh-puluh tahun kelayaban diluarnegeri. Seperti manusia-manusia
yang 'tak bermuka' dan tak beridentitas layaknya. Tampillah SBY
'mengulurkan tangannya'. Beliau menyatakan ajakannya itu atas dasar
rasa perikemanusiaan. Juga dalam rangka 'rekonsiliasi'. Demikian SBY.

Di media internasional, bila orang menyinggung tentang  masalah
REKONSLIASI, maka biasanya mengkaitkannya dengan nama mantan Presiden
 Afrika Selatan Merdeka, Nelson M A N D E L A . Adalah Mandela yang
bersama teman-teman seperjuang anti-apartheid Uskup Desmond Tutu, dll,
--- selain gigih dalam perjuangan melawan rezim Apartheid Afrika
Selatan, --- juga konsisten memperjuangkan rekonsiliasi. Rekonsiliasi
antara bangsa Afrika Selatan yang Hitam, yaitu penduduk aslinya, dan
bangsa pendatang berkulit putih dan berwarna lainnya, terutama bangsa
pendatang yang menyebut diri bangsa 'AFRIKANER'. 

*   *   *

Selasa yang lalu, P.W Botha, mantan Presiden Afrika
Selatan(1978-1989)rezim Apartheid, yang dikenal luas sebagai 'The
Great Crocodile' telah meninggal dunia (90). Mantan Presiden P.W Botha
terkenal sebagai tokoh politik Afrika Selatan, penganut faham
'Apartheid' yang kejam dan ngotot berkepala batu. Di bawah rezim Botha
tak terbilang korban yang jatuh di kalangan rakyat Hitam Afrika
Selatan yang berjuang melawan Apartheid. 

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dikepalai oleh Uskup Tutu,
menyimpulkan bahwa P.W. Botha telah bersalah melakukan pelanggaran
berat terhadap HAM dengan beleidnya a.l. merekayasa kampanye
pembunuhan terhadap orang-orang Hitam Afrika Selatan. Botha juga
adalah orangnya yang menolak keras tuntutan kaum demokrat dan pencinta
HAM Afrika Selatan dan dunia internasional untuk membebaskan Nelson
Mandela yang ketika itu sedang meringkuk di panjara terpencil di Pulau
Roben.

* * *

Yang menggerakkan aku menulis kolom ini, berjudul MANDELA BETAPA
LAPANG DADAMU, -- ialah pernyataan Mandela sehubungan dengan matinya
Botha. Di satu fihak, kata Mandela: 'Bagi banyak orang Mr Botha akan
tetap merupakan lambang, simbol dari Apartheid, namun, kita juga
mengenangnya berhubung dengan langkah-langkah yang diambilnya untuk
merintis jalan ke penyelesaian secara perundingan damai negeri kita'.
Pernyataan Mandela ini benar-benar merupakan menifestasi dan
pencerminan dari jiwa besar seorang pejuang revolusioner kemerdekaan
Afrika Selatan. Mandela menunjukkan bahwa beliau adalah seorang
negarawan yang jujur melihat masa lampau, realis mengakui kenyataan
hidup masa kini, dan dengan pandangan visionair melihat jauh ke depan,
ke masa mendatang Afrika Selatan yang berbangsa dan beretnik majmuk.
Mandela menunjukkan betapa lapang dadanya. 

Siapa yang tidak tahu dan tidak kenal kekejaman Botha. Berapa saja
korban yang jatuh di kalangan rakyat dan anggota ANC (Afrika National
Congress – organisasi/partai perjuangan kemerdekaan Afrika Selatan).
Mandela juga konsisten, konsisten dalam perjuangan kemerdekaan dan
konsisten dalam memperjuangkan dan memberlakukan prinsip rekonsiliasi
nasional atas dasar kebenaran dan keadilan.

Tapi Mandela juga punya kemampuan untuk bisa mempertimbangkan,
betapapun besar segi-segi negatif Botha, betapapun banyak korban pada
rakyat Afrika Selatan yang disebabkan politik Botha, khususnya pada
Orang Hitam --- Pada akhirnya, menurut Mandela, pada Botha tokh ada
juga segi lainnya. Biar kecil sekalipun, Botha  pernah mengambil
langkah, a.l.: Menemui dan mengadakan pembicaraan dengan Mandela, yang
ketika itu masih berstatus sebagai orang yang dijatuhi hukuman penjara
seumur hidup karena peranannya dalam perjuangan kebebasan rakyat
Afrika Selatan.

Mandela bisa bicara demikian mengenai Botha, dalam situasi Afrika
Selatan sudah bebas merdeka dari rezim Apartheid. Sesudah ANC berhasil
merebut kemenangan dalam pemilihan umum yang menobatkan Mandela
menjadi Presiden pertama Afrika Selatan Merdeka. Mandela bisa tebuka
menilai Botha apa adanya, sesudah prinsip Rekonsiliasi Nasional atas
dasar Kebenaran dan Keadilan diterima dan ditegakkan sebagai politik
besar negara. Juga   – sesudah Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dikepalai oleh pemenang Hadiah Nobel
untuk Perdamaian  Uskup Desmond Tutu, menyimpulkan bahwa Botha telah 
b e r s a l a h   melakukan pelanggran HAM berat merekayasa kampanye
pembunuhan terhadap bangsa Hitam Afr

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA – 'BERBAGI CERITA' - DIINJAK-INJAKNYA KEADILAN Di INDONESIA

2006-11-01 Terurut Topik IBRAHIM ISA
IBRAHIM ISA – 'BERBAGI CERITA'
Kemis, 02 November 2006

DIINJAK-INJAKNYA KEADILAN Di INDONESIA



Sahabat baikku, seorang sarjana ilmu sosial berbangsa Belanda, 
memberikan tanggapan terhadap  tulisan yang kusiarkan di dalam rubrik:
<'Ibrahim Isa's Selected Indonesian News and Views', 31 Oktober 2006>.
Dibawah ini akan kujelaskan apa tanggapan sahabat itu. Fokus dari
rubrik tsb kali ini adalah masalah peradilan dan situasi hukum di
negeri Indonesia tercinta. Kongkritnya sekitar kasus Munir,
dibebaskannya Tommy Suharto dan situasi diinjak-injaknya keadilan dan
peradilan di Indonesia.

*  *  *

Kasus M U N I R

Sahabatku itu heran terhadap sikap masyarakat di Indonesia , yang
dianggapnya pasif, mengenai kasus Munir, yang sudah begitu jauh
diusung sampai-sampai ke masyarakat mancanegara di Amerika, di mana
a.l ikut ambil bagian Suciwati, isteri Munir. Malah sudah sampai ke
rencana mengusahakan mengirimkan 'Special Raprorteur' PBB ke
Indonesia. Namun di kalangan masyarakat Indonesia tampaknya tidak
begitu bergema. Kasus Munir itu kasus lama. Dua tahun lamanya sejak
Munir dibunuh oleh racun algojo. Sudah begitu lama perkara tertuduh
Pollycarpus diproses, akhirnya Mahkamah Agung memutuskan utuk
membebaskan Pollycarpus. Membikian siapa saja yang masih memiliki rasa
keadilan menjadi tercengang tak habis-habisnya.

Bukan saja kita sebagai bangsa merasa tidak puas, merasa dikhianati
oleh lembaga peradilan Indonesia, tetapi juga menjadi marah, marah
sekali terhadap kesewenang-wenangan Mahkamah Agung memutuskan
pembebasan tertuduh Pollycarpus. Itulah a.l sebabnya perjuangan kasus
Munir, di arena internasional digalakkan.  Khususnya di arena PBB,
dengan a.l usaha mendatangkan seorang Pelapor Khusus PBB untuk melacak
kembali kasus pembunuhan terhadap pejuang HAM terkemuka, Munir.

Kasus Munir menunjukkan benarnya analisa kita dan kesan sahabatku
Belanda tadi, yang menyatakan bahwa tentara dan polisi masih menguasai
kehidupan politik dan peradilan di Indonesia.

*  *  *

DIBEBASKANNYA TOMMY SUHARTO

Begitu bertubi-tubi dunia peradilan kita dilanda wabah kepalsuan,
kesewenang-wenangan dan ketidakbenaran fihak penguasa. Masih ramai
kasus Pollycarpus dibicarakan, tambah lagi kasus dibebaskannya Tommy
Suharto. 

Menurut berita, tidak kurang dari Wapres Jusuf Kalla secara terbuka
memberikan restu dan dukungan moril terhadap dibebaskannya Tommy
Suharto. Sesungguhnya sikap Jusuf Kalla itu tidak aneh. Juga tidak
begitu mengherankan mengingat Jusuf Kalla, yang Wapres itu, adalah
Ketua Umum Partai Golkar. Dan Golkar adalah sebuah parpol yang
dibangun o l e h  , d a r i   dan  u n t u k  mengokohkan dan
melestarikan rezim Orba yang dikepalai oleh Jendral Suharto, ayah
kandung Tommy. 

Salah seorang pimpinan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI), Johnson
Panjaitan, tepat sekali mengatakan bahwa  adalah keliru menganggap
pembebasan Tommy Suharto sebagai sesuatu yang otomatis . Pembebasan bersyarat samasekali
tidak otomatis. Hal itu harus dilakukan melalui proses tertentu.
Masalahnya ialah bahwa negeri ini punya presiden, tetapi tidak
memiliki seorang pemimpin dalam memberlakukan hukum. Yudhoyono punya
peluang untuk mengontrol para pejabat kementrian kehakimannya tetapi
beliau tidak melakukan hal itu. Demikian Johson Panjaitan.

Menurut sahabatku, kasus Munir dimana keadilan diplintir
sejadi-jadinya, dan pembunuh Munir diperlakukan dengan tangan
bersarung sutra, adalah masalah yang teramat serius. Dari situ menjadi
bertambah jelas bahwa BIN dan TNI masih besar peranannya dalam
mengendalikan kekuasaan dan politik di Indonesia, tidak peduli
siapapun nama orangnya. Nyatanya ialah, bahwa masyarakat  seolah-olah
'ayem-ayem' saja. Padahal apa yang terjadi dengan Munir, jelas adalah
'pembunuhan politik'. Tidak beda jauh dengan apa yang dilakukan oleh
Tommy yang menjadi dalang pembunuhan terhadap seorang pejabat tinggi
Kejaksaan Agung Indonesia yang memperkarakan kasusnya. 

*  *   *

PENCABUTAN PASPOR SEWENANG-SEWENANG OLEH ORBA

Berkenaan dengan 'kasus pencabutan paspor', sahabat Belanda yang sama
itu, dalam tanggapannya menyatakan, bahwa, teman-teman Indonesia yang
dicabut paspornya, mungkin lebih baik bersikap menerima paspor yang
mau dibagi-bagikan Menteri Awaluddin. Karena, katanya, paling tidak
dengan memiliki paspor Indonesia formalnya kewarganegaraan mereka akan
menjadi pulih. Tambahan lagi yang bersangkutan bisa dengan leluasa
pulang ke Indonesia, katanya. Dengan catatan tebal, bahwa perjuangan
untuk rehabilitasi hak-hak kewarganegaraan dan politik diteruskan
menurut jadwal perjuangan untuk Demokrasi dan HAM di Indonesia.

Jelas, sahabatku itu orang yang berkemauan tulus, punya 'good will'
dan besar simpatinya dengan nasib kaum eksil Indonesia. Namun, 
tampaknya belum memahami bahwa bagi para eksil, masalah 
p u l a n g   sesungguhnya sudah  t i d a k   r e l e v a n  lagi.
Masalah paspor idem-dito. Mereka-mereka yang paspornya dicabut Orba,
pada umum

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S – SELECTED INDONESIAN - NEWS AND VIEWS , 31 October 2006

2006-10-31 Terurut Topik IBRAHIM ISA
IBRAHIM ISA'S – SELECTED INDONESIAN - NEWS AND VIEWS , 31 October 2006

Government Should Invite UN Special Reporter
SUHARTO'S YOUNGER SON TOMMY RELEASED
INDONESIAN JUSTICE UNDER SPOTLIGHT
-
Government Should Invite UN Special Reporter
Tuesday, 31 October, 2006 | 17:26 WIB 
TEMPO Interactive, Jakarta: The government is assured that the
international investigation plan on the Munir case will not affect
Indonesia's position at the Human Rights Council of the United
Nations. "Especially in the direction of an embargo," said Desra
Percaya, spokesperson of the Department of Foreign Affairs, yesterday
(10/30).

According to Desra, his party heard the arrival plan of Philips
Alston, the UN special reporter for extrajudicial executions, to
Indonesia. Nevertheless, said Desra, the coming of the reporter is
commonly based on the government's invitation. "A special reporter
cannot come on his own without any invitation from the government,
said Desra.

Therefore, according to Desra, Australian Philips Alston arrival
should be based on the government's invitation.

It is not the first time in history, said Desra, that Indonesia has
been visited by a UN special reporter. He cited several people such as
Param Cumaras Warni, who observed judicial matters in Indonesia, and
Dr Yakin Erturk, who monitored matters concerning violence to women.

Last week, Usman Hamid, the coordinator of Kontras, explained that the
UN special reporter for extrajudicial executions Philips Alston was
ready to be involved in the investigation of the Munir case. Alston
had planned to send a letter of appeal to the Indonesian government
concerning the issue in November of this year.

According to Usman, the reporter will benefit the government. The
reason for this is that the special reporter will recommend the
government concerning handling of the Munir case. As regards matters
on international investigation, according to Usman, the UN special
commentator can join the existing police investigation team or else
form a separate team.

Indonesian Police Headquarters stated that it is not yet certain of
receiving UN assistance that will involve in investigating Munir case.

"We can accept assistance if it benefits those involved. But, if it
does not and does not support the conducive situation in the country,
we will surely reject it," said Indonesian Police spokesperson Chief
Commissioner Bambang Kuncoko yesterday (10/30).

So far, said Bambang, the Indonesian Police is yet to accept an
official offer from any party that will be involved in the
international investigation of Munir case.

In addition, the Munir case is not yet final. The reason is that there
is still another judicial attempt that can be taken in order to solve
the problem. President Susilo Bambang Yudhoyono, said Desra, clearly
said that the government will re-open the case of Munir's murder.

Erwin D, Titis S 
SUHARTO'S YOUNGER SON TOMMY RELEASED
By Ahmad Pathoni
JAKARTA (Reuters) - Former Indonesian president Suharto's youngest son
was conditionally released from jail on Monday, after serving a third
of his original sentence for plotting the murder of a Supreme Court judge.
Hutomo "Tommy" Mandala Putra was sentenced to 15 years for paying a
hitman to kill the judge and other offences, but that was reduced to
10 years on appeal and further sliced by a series of holiday "remissions".
In all he served five years before Monday's release, which drew fire
from critics as showing undue leniency to a powerful figure. 
 
"He is out. He will serve the remaining time outside the prison,"
Gusti Tamarjaya, the justice ministry official handling penitentiaries
in Jakarta, told reporters.
While no longer in jail, Tommy is theoretically still a prisoner,
having to meet conditions of probation.
Guards switched Tommy from a van to a car after he was blocked by a
crowd of reporters and photographers scrambling for comment and
footage when he emerged from an East Jakarta jail.
Tommy was originally sentenced in 2002, when he had already served
about a year while the prosecution was underway. The murdered judge
had convicted Tommy in a graft case.
Like thousands of other Indonesian prisoners, Tommy has had reductions
from the remission programme. The latest six-week cut last week for
the Muslim Eid al-Fitr holiday meant he had served two-thirds of his
reduced sentence, making him eligible for release.   Continued... 
© Reuters 2006. All Rights Reserved. 
-
INDONESIAN JUSTICE UNDER SPOTLIGHT
"In a country upholding the law, we cannot discriminate. After he has
served two-thirds of his sentence, automatically he is free with
conditions," Vice President Jusuf Kalla told reporters.
However, not all prisoners who serve two-thirds of their terms are
released, and the country's attorney general had ear

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA ---- SUDAH WAKTUNYA BERSUNGGUH-SUNGGUH

2006-10-26 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 27 Oktober 2006

SUDAH WAKTUNYA BERSUNGGUH-SUNGGUH  SELESAIKAN
KASUS  PENCABUTAN PASPOR OLEH ORBA

**** *
Empat puluh  <40>  tahun  y.l.,  1965 – 1966, sejumlah warganegara
Indonesia yang kebetulan sedang  menyandang  pelbagai  tugas
pemerintah Indonesia, seperti studi, diplomatik,  dan/atau untuk
urusan lainnya  di luarnegeri, dipanggil oleh KBRI-KBRI. Serta merta
paspornya dicabut secara sewenang-wenang. Tanpa proses hukum
samasekali. Alasan:  penolakan mereka terhadap tuntutan/perintah KBRI
 untuk mengutuk G30S dan atau menuduh keterlibatan
Presiden Sukarno dalam kasus tsb. Jelas, mereka-mereka itu tidak tahu
menahu tentang G30S. Di lain fihak mereka dengan tulus dan konsisten
mendukung kebijaksanaan pemerintah Presiden Sukarno.

Sejumlah warganegara lainnya yang sedang bertugas di luarnegeri
mengalami nasib yang sama. Penyebabnya, ialah,  karena dukungan dan
kepatuhan mereka terhadap Presiden Sukarno. Sejumlah warganegara
lainnya paspornya dinyatakan dicabut, disebabkan oleh pandangan dan
sikap  politik mereka yang bertentangan dengan pandangan dan sikap
politik penguasa ketika itu .

*   *   **
Tigapuluh dua tahun kemudian (Mei,1998)  - : Ketika Presiden
Suharto turun panggung dilanda oleh gerakan Reformasi dan
Demokratisasi,  Presiden  yang sedang digugat rakyat itu  menunjuk
B.J. Habibie, Wakil Presiden RI, untuk menggantikannya. Demikianlah
B.J Habibie menjadi Presiden yang ke-3 Republik Indonesia.

Peristiwa B.J. Habibie menjadi Presiden RI itu, terjadi lebih delapan
tahun yang lalu. Perubahan pemerintah Indonesia  yang berlangsung di
bawah menggeloranya  gerakan massa rakyat yang luas,  yaitugerakan
Reformasi dan Demokratisasi, mengumandangkan tuntutan adil untuk
diakhirnya rezim militer otoriter Orba. Selanjutnya  agar ditegakkan 
suatu pemerintahan yang melaksanakan demokratisasi dan reformasi,
serta  mengakhiri KKN. Saat itu sedikit-banyak bangsa ini punya
harapan bahwa   pemerintah  Presiden B.J. Habibie akan membawa
perubahan politik. Akan mengambil langkah awal mengakhiri
ketidak-adilan dan KKN  yang melanda
bangsa dan tanah air laju meluncur ke jurang kebangkrutan total.
 Sebagian besar masyarakat mengambil sikap sbb:  Bukankah Habibie
orangnya Suharto, dan memang beliau jadi presiden karena ditunjuk oleh
Suharto untuk menggantikannya. Jadi bagaimana bisa diharapkan akan ada
perubahan. Sebagian lagi dari masyarakat kita mengambil sikap: 'Wait
and see' , 'give him the benefit of the doubt' -- .

Perubahan yang  dituntut dan diharapkan itu memang, ternyata  ada yang
 terlaksana.  Antara lain  dilepaskannya tahanan politik,
diberlakukannya kebebasan pers (meskipun tidak menyeluruh dan belum
mendasar), diadakannya pemilu yang relatif jurdil, dan dibolehkannya
pembentukan parpol-parpol ; serta diambilnya
langkah-langkah permulaan ke arah diakhirinya politik diskriminatif
terhadap warganegara asal etnis Tionghoa  yang rasialis serta
anti-Tiongkok, warisan Orba.  Mengenai masalah Tim-Tim, Presiden
Habibie akhirnya tunduk pada tuntutan rakyat Timor Timur serta
masyarakat internasional untuk diadakannya referendum di Timor Timur
yang diduduki oleh Indonesia. Dengan demikian  rakyat Timor Timur,
yang  hidup di bawah pendudukan militer Indonesia,  bisa memilih,
apakah akan bergabung dengan Indonesia ataukah merdeka sebagai bangsa
yang berdaulat. Sesuai hasrat mayoritas mutlak rakyat Timor sendirim,
serta  harapan yang adil kalangan luas mancanegara, rakyat Timor Timur
memilih untuk berdiri sendiri sebagai bangsa dan negeri yang merdeka
dan berdaulat.

Tercatat bahwa peristiwa-peristiwa politik yang berlangsung di
Indonesia tsb, yang dinilai mengandung faktor-faktor perubahan, itu
semua berlangsung di bawah pemerintahan Habibie. 

*   *   **

Namun,  - - - -  Ada satu SOAL BESAR  yang BELUM DIJAMAH  samasekali
oleh pemerintahan Presiden Habibie. Yaitu masalah yang menyangkut
nasib para korban 'Peristiwa 1965'. Jumlah korban langsung
diperkirakan meliputi 3 juta orang yang tewas. Sedangkan keluarga
mereka dan keluarga eks-tapol diperkirakan meliputi kurang lebih 20
juta warganegara Indonesia yang samasekali tak bersalah. Mereka telah
dipersekusi, disiksa, dipenjarakan dan dibantai, tanpa proses
peradilan apapun, tanpa mengetahui apa kesalahan mereka. Mereka adalah
warganegara sendiri yang telah diperlakukan kejam dan biadab oleh
penguasa. Penguasa telah melakukan pelanggaran HAM yang paling besar
dalam sejarah Indonesia. 

Penguasa itu adalah rezim Orba. Pemerintahan pasca Suharto, sesuai
hukum internasional, tidak bisa tidak harus memikul akibat dari
pelanggaran HAM Orba tsb. Seperti halnya harus mencicil kembali utang
yang meliputi 140 milyar dolar AS yang dibuat oleh Orba. Adalah
sepenuhnya absurd argumentasi yang menyatakan, bahwa pelanggaran HAM
terbesar di Indonesia yang berlangsung semasa Orba itu,   b u k a n  
tanggungjawabnya pemerintah yang sekarang. Halmana berarti bahwa
pemerintah yang s

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA – 'BERBAGI CERITA' - Kata 'CINA' . .

2006-10-25 Terurut Topik IBRAHIM ISA
IBRAHIM ISA – 'BERBAGI CERITA' -  Kata  'CINA' .  .
Rabu, 25 Oktober

Bilang 'Cina'  - Tidak Mesti Mau Menghina   

ALEX FLOR, sahabatku dari WATCH INDONESIA itu,  serius menanggapi
masalah PENGGUNAAN kata 'CINA' dan kaitannya dengan politik anti-etnis
Tionghoa pemerintahan Orba. Selain itu  Flor  hendak menunjukkan pada
suatu kenyataan,  bahwa di kalangan  masyarakat Indonesia, 
menurutnya, bila orang menggunakan  kata 'Cina'  itu belum tentu
dengan maksud hendak menghina. Tidak sama dengan motif dan sasaran
rezim Orba ketika menggantikan nama 'Tionghoa' dan 'Tiongkok' dengan
kata 'Cina'. Kiranya memang demikian adanya.

Flor menganalisa posisi golongan etnis-Tionghoa yang banyak di bidang
perdagangan. Ini, katanya,  sebagai akibat adanya  larangan penguasa
terhadap golongan etnis-Tionghoa, untuk berusaha di bidang lainnya.
Misalnya di Indonesia memang suatu kenyataan bahwa bagi birokrasi,
polisi dan tentara tampaknya  t a b u   untuk menerima warganegara
Indonesia keturunan Tionghoa. Mudah-mudahan pada periode pasca Suharto
 dewasa ini 'kebijaksanaan buruk'  penguasa tsb diakhiri 'once and for
all'.

Tak bisa dibantah,  sampai sekarang  disana-sini, kadang-kadang
menonjol, sering tersembunyi, masih saja diskriminasi terhadap
warganegara sendiri asal etnis-Tionghoa berlangsung. Biasanya itu
disebabkan oleh  'UUD',  ujung-ujungnya duit, alias pemerasan atau
'pungli'.

Flor juga mengingatkan pembaca bahwa sesungguhnya di kalangan bangsa
Indonesia, warganegara asal etnis-Tionghoa YANG MISKIN, merupakan
jumlah   m a y o r i t a s  , terbanding yang kaya-kaya. Memang benar.

*   **

Menjawab pertanyaan Flor,  mengapa orang asing tidak menggunakan kata
'Tionghoa' atau 'Tiongkok': Kiranya pertanyaan itu paling baik di
jawab oleh orang-orang asing itu itu sendiri.  Sedangkan kita, mengapa
kita bangsa Indonesia sejak merdeka secara resmi menggunakan kata
TIONGKOK dan TIONGHOA? 

Menurut pengetahuanku yang mungkin belum pasti benar, --  menurut
anggapan ketika itu, sbb: Paling baik menggunakan kata Indonesia yang
sudah dipakai juga di kalangan masyarakat, dan  -- ini penting  --- 
paling dekat dengan nama aslinya, dan dianggap lebih menunjukkan
respek,  yaitu kata  TIONGKOK dan TIONGHOA. Ini masuk akal, karena
dalam bahasa Tionghoa,  aslinya adalah kata : ZHONGGUO  yang artinya
Negeri Tengah. Untuk bahasanya mereka gunakan   kata  'ZHONGWEN' .
Untuk pengetahuan pembaca,  orang-orang Tiongkok menamakan dirinya 
ZONGGUOREN, dalam bahasa kita digunakan kata 'bangsa Tionghoa'; 
sama dengan untuk bahasanya, yaitu TIONGHOA. Jadi untuk negeri, kita
gunakan kata  TIONGKOK, untuk bahasa dan bangsa, kata  TIONGHOA. 

Benarkah penjelasan diatas,  menurut para pakar bahasa
Indonesia-Tionghoa, silakan tanggapi? 
Harap dikoreksi  bila keterangan tsb diatas tidak tepat atau kurang
lengkap..

Di bawah  ini dilampirkan  TANGGAPAN ALEX FLOR, dari WATCH INDONESIA: 

*   *   *

Alex Flor:
SEKALI LAGI SAYA SETUJU

Bung Ibrahim Isa yb,
 
Sekali lagi saya setuju. Mengenai posisi etnis Tionhoa di berbagai negri 
yang diirikan orang "asli" sana mungkin saya perlu menambah bahwa sukses 
banyak etnis Tionghoa (jangan lupa ada banyak yang miskin pula!!) dan 
konsentrasi mereka di berbagai bidang adalah sebuah dampak diskriminasi 
pula. Mungkin ada kesamaan dengan kaum Yahudi di Eropa berbagai abad 
silam. Di sini Yahudi dilarang bekerja sebagai tukang karena segala 
tukang terorganisir dalam golongan profesi (dlm bhs. Jerman "Zünfte"). 
Orang Yahudi dilarang menjadi anggota dalam golongan profesi itu, lantas 
nggak boleh kerja sebagai tukang besi, tukang kayu dll. Mau tidak mau 
mereka masuk bidang lain seperti perdagangan, bank, ilmu pengetahuan dan 
lain sebagainya. Sungguh sangat ironis, akhirnya mereka dituduh sebagai 
pemalas yang cuma mau berdagang atau pinjam-meminjam uang.
 
Orang Tionghoa di berbagai negri "asing" tidak boleh memiliki tanah. 
Mana mungkin mereka bekerja sebagai petani? Pada zaman orba mereka tidak 
boleh mencari nafkah sebagai pejabat atau tentara. Nah, kalau semua 
bidang kerja di bawah pemerintah tertutup jangan heran di bidang lain - 
sekali lagi perdagangan dsb. - mereka diwakili dengan proporsi yang 
sangat tinggi.
 
 
Ttg. soal penghinaan, saya sadar bahwa rezim Orba memakai kata "cina" 
dengan maksud untuk menghina. Namun demikian di surat kemarin pesan saya 
ada dua:
 
1. 
Mohon kawan-kawan etnis Tionghoa menyadari bahwa orang lain tidak 
selalu pengin menghina kalau mereka bilang "cina". Bagi generasi yang 
besar pada zaman Orba pemakaian kata ini sudah menjadi kebiasaan tanpa 
maksud apapun. Bahkan saya kenal anak-anak muda dari etnis Tionghoa yang 
akan mengintroduksi diri sbg "keturunan cina". Sama seperti

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- “BERBAGI CERITA” - MENGAPA KATA 'CINA' DIANGGAP . . . . .

2006-10-23 Terurut Topik IBRAHIM ISA
IBRAHIM ISA  --  "BERBAGI CERITA"
Senin, 23 Oktober, 2006.

Mengapa  kata   'CINA'   Dianggap  Suatu  PENGHINAAN?
Sekitar   'KEBEBASAN'   Media  kita.

BELUM LAMA  KUTULIS  sebuah 'Kolom'  --  mempersoalkan  sekitar
masalah apa sesungguhnya  yang menyebabkan  penggunaan kata 
'Tiongkok' dan 'Tionghoa'  diubah oleh Orba,  menjadi 'Cina'.  Paling
sedikit ada dua tanggapan yang kuterima. Satu , menyambut baik 
artikelku itu, berterima kasih dan menanyakan apakah tulisanku itu
juga dimuat  di  media di Indonesia?  

Satu tanggapan lagi,  oleh S. Alex Flor dari 'Watch Indonesia' . Ia 
setuju analisa dalam tulisanku mengenai latar belakang politik dari
pergantian kata 'Tionghoa menjadi 'Cina'. Tapi mempertanyakan mengapa
kata  'Cina' itu dianggap atau dirasakan sebagai penghinaan terhadap
golongan warga Indonesia  asal etnis Tionghoa. Bukankah, di dalam
bahasa asing untuk kata   'Tiongkok' atau 'Tionghoa', digunakan  juga
 kata yang  hampir serupa dengan kata 'Cina',  misalnya 'China' –
dalam bahasa Inggris,  atau 'Chinees' dalam bahasa Belanda,   atau
'Chine' bahasa Perancisnya, dsb. Itu sebagai misal saja.

*   *   *

Kufikir: Barangkali menarik juga untuk bertukar fikiran mengenai
tanggapan-tanggapan tsb. Umpamnya saja,  melakukannya  dalam satu
ruangan atau rubrik,  yang kuberikan saja nama rubrik 'Berbagi Cerita'.

Maka aku mulai sajalah dengan tanggapan pertama diatas. Apakah
tulisanku itu juga dimuat di media cetak atau elektronik di Indonesia.
Jawabnya: Terus terang, aku tak tahu. Aku selalu berharap dan merasa
senang bila tulisanku itu  dibaca oleh sebanyak mungkin orang. Itu kan
keinginan dan harapan wajar setiap orang yang menulis untuk dibaca
orang. Bukan sekadar untuk catatan sendiri. Ada yang  betanya sambil
menegaskan,  bila menulis-nulis di pelbagai mailist  di media internet
itu,  atau bila diwawancarai oleh media dalam atau internasional, 
apakah aku memperoleh suatu imbalan? Dapat uang? Aku jawab tegas:
Tidak.  Aku tidak pernah dapat imbalan uang.  Penyebabnya mengapa aku
menulis , sesesungguhnya, asal mulanya karena ingin 'BERBAGI CERITA' 
dengan pembaca.  Ada sesuatu yang ingin disampaikan. Ada sesuatu yang
dianggap benar  dan adil mengenai bangsa dan tanah air yang ingin
disosialisasikan dan diperjuangkan. Selain itu, menulis itu bagiku
suatu hoby, belajar berani bertanggung-jawab terhadap apa yang
ditulis. Juga  karena berniat untuk ambil bagian dalam proses
'pelurusan sejarah'  negeri kita.

Salah seorang kenalan lama di Jakarta, suatu ketika menilai tulisanku
 begitu cocok dengan situasi kongkrit Indonesia. Ia bilang tulisanku
itu bagus, sebaiknya dibaca lebih banyak orang.  Sehingga ia
mengirimkannya  kepada temannya  untuk dimuat di surat kabarnya, yang
kebetulan adalah salah seorang pimpinan dari (aku lupa) Kompas atau
Sinar Harapan. Temanku  itu kecewa dan  mengeluh.  Pimpinan redaksi 
yang   ia kirimi artikelku itu, tidak memuat artikel tsb di surat
kabarnya, ---   tanpa penjelasan apa-apa..  

Menurut dugaan temanku,  mungkin karena artikelku mengenai tema
pelanggaran HAM dan hak-hak demokrasi di Indonesia,  itu terlalu
'keras' atau terlalu 'tajam'. Mungkin juga karena mereka tahu  penulis
artikel yang bersangkutan  tergolong atau dianggap orang 'Kiri'.
Rupanya ada petunjuk atasan mereka yang tidak tertulis dan juga tidak
dinyatakan,  agar 'jangan ikut menyiarkan artikel-artikel yang 
ditulis oleh orang 'Kiri'. Mereka tentu ingat adanya  'TAP MPRS No XXV
Th 1966, yang melarang ideologi komunis. Ideologi Kiri menurut mereka
idem-dito dengan ideologi komunis. Jadi daripada ditegur oleh 'atasan'
  , atau bahkan daripada
di-PHK-kan, lebih baik jangan 'cari pasal'. Tolak saja
tulisan-tulisan, apapun isinya kalau itu ditulis oleh SI ANU, yang 
adalah 'orang bermasalah' atau dikenal Kiri, eks- tapol atau seorang
'eksil' yang paspornya dicabut Orba.

Dugaan tsb diatas tidak seratus perses benar. Karena,  tokh ada media
yang bahkan mentayangkan gambarku dan sementara teman senasib,  dalam
siaran TV mereka.. Belum lama bersama beberapa  teman orang-orang
'eksil', orang-orang yang terhalang pulang  lainnya di Belanda dan
Paris,  kami di wawancarai oleh Trans TV Indonesia. Kata para jurnalis
muda dari Trans TV Indonesia itu, wawancara yang mereka lakukan ialah
dalam rangka meninjau kembali sejarah bangsa kita. Agar jangan melihat
sesuatu peristiwa sejarah, sebagai episode 'hitam-putih' belaka.  Ada
yang kelabu dan ada yang pelangi kata merka. Jadi, mereka tidak mau
lagi menerima  begitu saja interpretasi sejarah, khususnya mengenai
periode Presiden Sukarno,  seperti yang ditulis oleh para penulis
sejarah Orba. Lebih jelas lagi, mereka ada keinginan untuk  ambil
bagian dalam proses 

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- PERIHAL NAMA 'CINA' Atau 'TIONGHOA'

2006-10-20 Terurut Topik IBRAHIM ISA

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 20 Oktober 2006.
---
-- PERIHAL NAMA 'CINA' Atau 'TIONGHOA' 
-- "JAILNYA" Mulut Mantan PM S'Pore LEE
< Sekitar Masalah Etnis Tionghoa di Malaysia dan Indonesia>

Belakangan ini di media internet, , muncul lagi tulisan-tulisan sekitar penggunaan nama
'cina' atau 'Tionghoa'. Di bumi Nusantara sendiri: Aku kurang jelas
bagaimana persisnya media cetak dan eletronik Indonesia, apakah
diskusi sekitar penggunaan nama "Cina" atau "Tionghoa" masih
berlangsung "hangat". 

Mungkin sudah mereda. Karena, , bukankah yang berwewenang, yang
kuasa di Indonesia, kongkritnya sejak gerakan Reformasi berhasil
menggulingkan Presiden Jendral Suharto, "sedikit banyak", telah
dikoreksi ksewenang-wenangan Orba yang  telah melakukan kampanye besar-besaran "anti-Tiongkok" dan
"anti etnis Tionghoa" di Indonesia sejak berdirinya rezim tsb sampai
formal terguling. Sejumlah kebijaksanaan diskriminatif yang rasialis
'made ini' Orba, oleh pemerintahan pasca Suharto telah dinyatakan
batal. Lalu ada kebijaksanaan baru yang a.l. tampak dituangkan dalam
UU Kewarganegaraan yang dibuat baru-baru ini. 

*   *   *

Namun, disana-sini masih terungkap praktek-praktek penguasa setempat,
atau birokrasinya, yang masih saja diskriminatif terhadap warganegara
Indonesia asal etnis Tionghoa. A.l. seperti yang diberitakan oleh s.k.
Sinar Harapan (18 Okt 2006). Dalam tulisan tsb diungkap bahwa meskipun
sejak pemerintahan Gus Dur, keharusan memiliki SBKRI bagi asal etnis
Tionghoa sudah dihapuskan, tetapi dalam praktek masih terus saja
berlangsung. Motifnya, menurut tulisan tsb, tak lain karena pejabat
yang bersangkutan menyalahgunakan jabatan yang dikuasainya untuk
melakukan praktek 'pungli'. Sering secara populer disebut suatu
prosedur birokrasi  yang 'UUD' – 'ujung-ujungnya duit'. 

Jangan lupa dicatat bawa praktek 'pungli' itu sangat luas pasarannya.
Berlaku dimana-mana. Mulai dari keperluan untuk 'surat ini atau surat
itu' dari pejabat; atau bahkan dari pegawai 'tukang ketik'  dari salah
satu kantor gurem; bisa saja itu kantor notaris, atau yang terjadi
dalam proses mendapatkan SIM lewat cara 'menembak'; atau praktek
sementara 'oknum' polisi di tikungan sebuah jalan; sampai ke sementara
komisi DPR atau bahkan di bagian imigrasi dari salah satu KBRI,
seperti yang pernah terjadi di KBRI Tokyo. Yang begini ini, 'mind
you', korbannya bukan hanya yang etnis Tionghoa. Pokoknya, kalau sudah
menyangkut 'amplop berisi', itu dipraktekkan tanpa pandang bulu. Siapa
saja 'dilalap' oleh sang pejabat. Parahnya praktek mesum seperti itu
dianggap 'biasa' dan 'normal'. Sekadar tambah-tambah anggaran untuk
dapur di rumah atau biaya sekolah anak-anak, kata pelaku yang hidupnya
pas-pas-an. Gawatnya ialah bahwa praktek sperti itu, lebih-lebih di
kalangan elite yang kuasa, pelakunya adalah  j u s t ru   orang-orang
yang  sudah kaya (sekali). Barangkali ini yang dikatakan bahwa korupsi
sudah 'membudaya'.

Makanya dalam situasi seperti digambarkan di atas, ada anggapan apakah
masih relevan untuk masih memperdebatkan mana yang benar, apakah
penggunaan nama 'cina' atau 'Tionghoa'. 

*   *   * 

Yang perlu kiranya diperhatikan ialah kecenderungan untuk
mempersoalkan masalah penggunaan nama 'cina' atau 'Tionghoa' itu
terrengut dari latar belakang sejarah, dipisahkan dari faktor-faktor
politik yang menjadi asal mula penyebabnya. Maka mungkin baik juga
masalah ini masih dibicarakan secara serius dan baik-baik .

*  *  *

Tulisan ini dimaksudkan agar dalam meninjau masalah penggunaan nama
"Cina" sebagai pengganti nama "Tionghoa"  dan "Tiongkok",  yang itu
semua asal mulanya adalah ulahnya politik Orba, --- janganlah
pendiskusian itu dilakukan, sadar atau tidak, sengaja atau bukan,
terpisah dari masalah politik. Karena soal tsb nyatanya adalah soal
politik. Inti sarinya adalah masalah  p o l i t i k .  Bukan soal
istilah atau soal bahasa semata-mata. Apalagi samasekali bukan masalah
'trauma' dan lain sebagainya. Pun bukan masalah perasaan, atau
kebiasaan saja.

SOALNYA ADALAH POLITIK. POLITIK rezim Suharto, yang rasialis dan
teramat diskrimiantif, ditujukan terhadap orang-orang Indonesia asal
keturunan Tionghoa. Ataupun terhadap mereka-mereka yang masih
berkewarganegaraan Tiongkok atau yang 'stateless'. Namun, keluarnya
amat jelas. Sasaran utama dari politik ini adalah REPUBLIK RAKYAT
TIONGKOK. Persis sejalan dengan strategi global AS selama 'perang
dingin', yang anti Komunis, anti-Tiongkok, anti negeri-negeri yang
melakukan politik bebas dan aktif membela kemedekaan nasional dan
mendukung gerakan perdamaian dunia, seperti yang dilakukan oleh RI
pada zaman pemerintah

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S FOCUS - DEMOCRACY IN INDONESIA

2006-10-17 Terurut Topik IBRAHIM ISA
IBRAHIM ISA'S FOCUS-DEMOCRACY IN INDONESIA
Tuesday,  0ct 17,  2006
*   *   *  *  *
Opportunities, pitfalls of RI's new democracy 
Is our democracy on the right track?
*   *   *  *  *
Opportunities, pitfalls of RI's new democracy 
Opinion and Editorial - October 16, 2006 
Marcus Mietzner, Jakarta
Political scientists studying Indonesia's democratic transition and
consolidation have for the last couple of years struggled to come up
with a defining term for the newly emerging polity. Not all of the
proposed terms have been complimentary, ranging from Slater's
"collusive" cartelism (2004) to Webber's "consolidated patrimonial
democracy" (2006).
Yet Indonesia's politics have recently been marked by a different
trend, one that is beginning to dominate the electoral strategies of
all parties: that is, the increasing role of opinion polls in shaping
the behavior of Indonesia's key political players. Could it be that
Indonesia is turning into a psephological democracy, or more
popularly, a pollster democracy? 
The study of opinion polls is a relatively new science in Indonesia,
but its influence is growing rapidly. After reliable surveys had been
mostly unavailable during the 1999 campaign, the International
Foundation for Election Systems (IFES) and the Lembaga Survei
Indonesia (LSI) published regular opinion polls in the lead up to
Indonesia's 2004 legislative and presidential elections. Financed
largely by international donors, these surveys were designed to inform
the public and the electorate, not to assist political parties in
selecting their nominee. 
Accordingly, none of the established parties nominating candidates in
the 2004 presidential elections based its decision on opinion polls.
As the incumbent, Megawati Soekarnoputri decided to run for
reelection, despite falling ratings in the surveys. Golkar sent Gen.
(ret) Wiranto into the race after an internal party convention,
although no pollster gave the former TNI commander a chance of winning. 
Amien Rais, for his part, stubbornly insisted on his nomination
despite unsupportive polling data. Hamzah Haz stood no chance, and his
meager result confirmed the worst predictions of the pre-election
surveys. The eventual winner of the elections, however, the electoral
newcomer Susilo Bambang Yudhoyono, finalized his decision to run only
after polls consistently showed him to be the frontrunner. 
Despite this evidence of the potential power of opinion polls, the
majority of political parties did not yet grasp the larger
implications of this trend. Thus when the direct local elections for
governors, regents and mayors began in June 2005, political parties
made only infrequent use of polling data in determining their
candidates for the electoral vacancies. 
For them, other factors were more important: The influence of local
party leaders over their branches, their access to financial resources
and the arithmetic of coalition-building. Incumbent heads of local
governments forced their party boards to nominate them despite their
well-known unpopularity, and rich bureaucrats bought nominations from
parties that were cash-strapped after the expensive series of
elections in 2004. The result: 40 percent of incumbents, mostly
nominated by the large parties Golkar and PDIP, lost their jobs, and
popular candidates with little support by established party machines
stormed to power. 
Golkar was the first party to adjust its strategy to the new dynamics.
Even in the early phase of the local elections, Golkar had conducted
opinion polls, but it was unable to use them effectively. The party's
central board knew, for example, that its candidates for the
governorship in Central and South Kalimantan as well as North Sulawesi
would lose their respective elections. As the authority to nominate
candidates had rested with the local branches, however, the party
leadership stood by and watched helplessly as unpopular nominees led
their party into certain defeat. 
By early 2006, Golkar chairman Jusuf Kalla determined that enough is
enough. Golkar changed its internal nomination system, making it
mandatory for all branches to select their nominees based on polling
data (which was supplied by pollsters like LSI as a commercial
consultancy service). 
Consequently, non-Golkar politicians became eligible if they commanded
impressive survey figures. After the new, poll-driven nomination
mechanism was implemented in March 2006, Golkar's success rate in the
local elections increased sharply from 36.4 to 56.7 percent. Other
parties, including PDIP, followed suit. 
There are early indications that the new reliance on polling data will
also shape the electoral contests of 2009. Golkar has already
announced that the party will determine its strategy for 2009 largely
based on opinion surveys, and it may well refrain from fielding its
own presidential candidate should a non-Golkar figure appear as the
most prospective nominee. 
Amien Rais has realistically noted that he will not enter the race 

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA: KEGIATAN INTERAKTIF DI KBRI-DEN HAAG

2006-10-16 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 16 Oktober 2006

BERBAGI CERITA: KEGIATAN INTERAKTIF  DIKBRI -- DEN HAAG


Tulisan ini bukanlah sebuah 'laporan'  ataupun 'liputan' artawan
mengenai suatu peristiwa yang terjadi di KBRI Den Haag,  Sabtu 14
Oktober y.l.. Ini sekadar berbagi ceritera dengan pembaca tentang
kegiatan yang berlangsung pada weekend lalu di KBRI Den Haag. Yaitu 
berlangsungnya 'Workshop Interaktif – Pemberdayaan Kerjasama
Antar-Komunitas: Belanda-Indonesia'. Dimulai jam 15.00, disela buka
puasa  (yang disediakan oleh RANESI, Radio Nederland. Kemudian
berakhir pada jam 21.00 lebih. Meskipun tidak sampai selesai aku
menghadirinya, namun,   kudengar dari seorang sahabat yang hadir
sampai usai,  'workshop' tsb telah berakhir dengan baik. Maka
kutulislah ' sedikit' tentang kegiatan yang bermotif baik itu.

* * *

Menyela sedikit:  
Bukan berarti bahwa apa yang akan ditulis  mengenai workshop di  KBRI
 Den Haag itu, kurang penting terbanding  berita-berita yang tersiar 
sekitar SBY.   Yang semula jadi calon 'kuat'  untuk menjadi pemenang 
'Nobel Peace Prize – 2006' –--; tapi kemudian ternyata  adalah bankir
populis mini-kredit  dari Bangladesh, 
bernama Moh. Yunus  yang memenangkan Hadiah Nobel tsb. 

Yang akan kutulis mengenai workshop di KBRI itu,  tak kalah penting
terbanding tulisan-tulisan sekitar PENCABUTAN PASPOR secara
sewenang-wenang oleh Orba di waktu y.l. Mengenai masalah ini,  bisa
dibaca  artikel yang disiarkan bertubi-tubi di internet dan di
sementara s.k. Indonesia . Antara lain di 'Rakyat Merdeka', s.k. 'Riau
Pos', oleh 'Trans TV Indonesia',   dan di s.k. berbahasa Inggris, 
'The Jakarta Post'. Orang bilang tulisan-tulisan tsb,  layaknya
seperti 'menyongsong'  kedatangan Menkum HAM Hamid Awaludin ke Belanda
nanti . Katanya sesudah Hari Raya Lebaran.

Mengenai rencana kedatangan Menteri Awaluddin ke Belanda, Bari Muchtar
dari Radio Nederland  , mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku
 ketika kami berjumpa di KBRI  Sabtu y.l:  Bagaimana 'persiapan' 
menghadapi kedatangan Menteri Awaluddin. Atas pertanyan tsb, kujawab
dengan senyum dan baik-baik: Ya,  apalagi yang hendak dipersiapkan? 
Bukankah pelbagai fikiran sudah dinyatakan dan tersiar mengenai
masalah tsb. Seyogianya  KBRI -  Den Haag dan Menteri  Awaluddin 
berkenan membacanya dan dengan demikian sudah mengetahuinya. 
Difokuskan   yang menjadi tuntutan 'para korban'  pencabutan paspor
secara sewenang-wenang  oleh Orba,   yang dialamatkan kepada 
pemerintah sekarang ini sebenanrya hanya satu, satu tetapi penting dan
fundamentil: 

Yang penting ialah,  bila Menteri Hamid Awaluddin datang nanti, 
sepantasnyalah beliau bersedia berdialog, bertukar fikiran, bertukar
hati,  dengan para 'eksil'  dalam kapsitas sesama warga Indonesia.
Bukan dialog antara bapak menteri dengan warga biasa. Tetapi suatu 
dialog antar warga Indonesia yang sama hak.

Tuntutan para 'eksil'  itu kiranya jelas: REHABILITASI ! Pemerintah
sepantasnya mengakui bahwa pencabutan paspor secara se-wenang-wenang
oleh pemerintah dulu itu, adalah salah dan melanggar undang-undang,
melanggar UUD serta  bertentangan dengan  HAM. Sesudah  pemerintah
mengakui kesalahan secara terbuka, maka mengkoreksinya dengan seksama.
 Jangan  memperlakukan masalah serius tsb sebagai masalah adminstratif
semata-mata, sebagai pemberian paspor baru sesuai dengan UU
Kewarganegaraan yang baru. Kalau sekadar menyuruh para 'eks mahid'
mengisi formulir untuk dapat paspor baru, akan lebih berhemat untuk
mengirimkan formulir tsb lewat pos umum saja. Kalau hendak
memberlakukan prosedur adminstratif semata, untuk apa jauh-jauh pergi
ke Den Haag dan Paris, kan itu memboroskan kas negara saja!

*  *  *  

Kembali ke mula  ceritera: Sekitar Workshop Interaktif Pemberdayaan
Kerjasama-Komunitas: Belanda-Indonesia.

Workshop tsb diselenggarakan oleh 11 organisasi pendukung, termasuk
a.l.  KBRI, Stichting Sapu Lidi dan Radio Nederland. Ditindjau dari
maksud dan tujuannya,  workshop itu suatu kegiatan yang bagus..Seperti
ditulis dalam undangan, sbb: 

"Potensi masyarakat Indonesia yang bermukim di Belanda bagi
usaha-usaha memajukan bangsa adalah unik dan strategis. Akses ke
berbagai ilmu baik teoritis maupun praktis termasuk berbagai
kajian khusus tentang Indonesia terbuka lebar. Kedekatan jarak dengan
Belanda dan Uni Eropa juga memberikan kesempatan untuk membangun
interdependensi yang lebih seimbang. Bertolak antara lain dari
pemikiran tsb, kami mengundang masyarakat Indonesia termasuk pelajar,
masyarakat Belanda yang tertarik untuk berpatisiasi dalam: Workshop
Internaktif Pemberdayaan Kerjasama Antar-Komunitas: Belanda – Indonesia."

Workshop dibagi dalam 3 sesi: Sesi 1-- Membangun Kehendak Bersama:
Indonesia yang Lebih Baik. Sesi 2 – Menuju Era Baru dala Kerjasama
Mutual: Belanda dan Indonesia. Sesi 3 – Paradigma Baru Hubun

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -Buku Brigadier Generaal BD, B. Bouman: Sebuah Resensi

2006-10-12 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 12 Oktober 2006

Buku Brigadier  Generaal BD,  B. Bouman:  
--  Sebuah Resensi  --

"IEDER VOOR ZICH EN DE REPUBLIEK VOOR ONS ALLEN".
< "Masing-masing Untuk Dirisendiri,  dan Republik Untuk Kita Semua">
 *  *  *


*  *  *

Kemarin pagi, aku  menilpun sahabatku  itu. Kami berkenalan beberapa
tahun yang lalu dalam sebuah seminar di Amsterdam mengenai keadaan
kaum interniran Belanda di Indonesia selama tiga setengah tahun 
pendudukan Jepang.  Sahabatku itu adalah DR B. BOUMAN,
Brigadier-Generaal Der Artilerie, BD.  Bouman adalah seorang perwira
tinggi Angkatan Darat Belanda (purnawirawan). Kami membicarakan-ulang
 perihal pertemuan di Defensievoorlichtingcentrum (Pusat Penerangan
Pertahanan) di Kalvermarkt 28,  Den Haag, tanggal 10 Oktober 2006 yl.
 Aku sekali lagi mengucapkan selamat atas peluncuran bukunya itu.
Berterima kasih atas pemberian buku tsb kepadaku sebagai
kenang-kenangan dengan tulisan tangan penulisnya, sbb: "Voor Hr Isa,
geef ik dit boek met veel genoegen, mede gezien Uw inzet voor de
Indonesische geschiedenis. B. Bouman".

Aku katakan kepadanya bahwa aku akan membuat ('semacam') resensi
tentang bukunya itu. Bouman cerita tentang rencananya akan pergi ke
Indonesia dalam bulan  Januari 2007 yad,  sehubungan dengan 
peluncuran bukunya di Indonesia. Kuberikan kepadanya nama abang
(angkat) istriku, seorang perwira tinggi ALRI (Purnawirawan), yang
pernah belajar di Akademi Marinir Belanda, Den Helder,  pada tahun
1950-1953. Bouman mengatakan  bahwa ia pasti akan mengundang perwira
tinggi ALRI itu,  pada waktu peluncuran bukunya di Jakarta nanti. 

Bouman  gembira sekali atas kesediaanku akan  menulis resensi tentang
buku studinya itu. Maka, inilah tulisan yang kujanjikan kepada Bouman
itu,  's e m a c a m '  resensi. Mudah-mudahan memadai adanya.

*   *   *

Pada waktu peluncuran buku Bouman (yang lain dari pada yang lain itu),
 tampak adanya perhatian cukup besar dari hadirin., khusunya terhadap
diskusi yang diadakan  di bawah pimpinan dr J.A Moor, dengan para
referan dr P.J Drooglever, Ny Prof dr P.M.H. Groen, dr R. Raben dam dr
D.C.L Schoonoord. Kebanyakan dari para undangan  adalah pensiunan
kolonel dan jendral. Salah satu diantaranya hadir juga mantan Menteri
Pertahanan,  dr. W.F. van Eekelen, yang ketika dinas militer pernah di
bawah Brigjen B. Bouman.  

Buku studi Bouman, yang mengambil tema  LOGISTIK DI BELAKANG REVOLUSI
INDONESIA 1945-1950, diterbitkan oleh "Penerbit Boom", Amsterdam
dengan kerjasama dan dukungan penuh  Institut Untuk Sejarah Militer,
Den Haag.  Undangan yang kuterima untuk peluncuran buku itu,
dikeluarkan oleh Institut Sejarah Militer Belanda tsb. Dari sini jelas
bahwa buku B. Bouman terbit berkat kerjasama dan dukungan Institut
Sejarah Militer Belanda.

Boleh dikatakan  buku studi B. Bouman itu   memang   i s t i m e w a .
Antara lain karena buku  tsb dipersembahkan kepada   "SAHABAT-SAHABAT
INDONESIA",  "LAWAN  DI MASA LAMPAU".  Sikap ini   s a j a   sudah
menunjukkan keunikan buku studi tsb.  Sulit dibayangkan ada seorang
jendral Belanda yang menulis buku untuk  dipersembahkan pada 
sahabat-sahabatnya yang dulunya adalah lawannya dalam perang
kemerdekaan Indonesia. Menurut pengetahuan kalangan Belanda sendiri,
belum pernah ada seorang perwira tinggi Belanda, yang pada masa
dinasnya, berperang melawan Republik Indonesia,  kemudian menulis buku
studi tentang kekuatan bersenjata Republik Indonesia seperti itu.
Tulisan tsb fokusnya memang menyoroti segi yang unik. 

Penghargaanku terhadap Bouman yang menghasilkan karya studi  seperti
itu, terpisah dari tanggapanku mengenai fakta-fakta yang diperolehnya
dari 'cara oral history', serta penilaiannya sendiri terhadap  masalah
logistik di belakang Revolusi Indonesia, dan sangkut pautnya dengan
peristiwa lainnya di dalam Revolusi Indonesia.

Selanjutnya:  Perhatikan  istilah-istilah yang digunakan Bouman. Dari
situ tidak ada kesimpulan  yang meragukan: Istilah-istilah yang
digunakan Bouman dalam buku studinya itu, menunjukkan sikapnya
terhadap masalah tsb. Misalnya ia menulis bahwa apa yang terjadi di
Indonesia pada tahun 1945 adalah suatu  REVOLUSI.  Jadi bukan seperti
propaganda 'Nica' dulu. Menurut 'Nica', yang mencerminkan  pandangan
kolonial Den Haag ketika itu, apa yang terjadi di Indonesia waktu itu
adalah kekacauan dan teror yang dicetuskan oleh 'kaum ekstremis
pemuda-pemuda Indonesia'. Bahwa Republik Indonesia adalah boneka
bikinan Jepang belaka, dan bahwa Sukarno adalah 'kolaborator' Jepang.
Dalam buku Bouman tidak ada fitnahan dan tuduhan terhadap RI  seperti
yang dilakukan Nica dulu. 

Bouman menulis "De logistiek achter de Indonesische Revolutie
1945-1950". Logistik di belakang 'Revolusi Indonesia'. Penggunaan
istilah REVOLUSI  INDONESIA, itu saja sudah cukup untuk  

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS AND VIEWS, 09 -11 OCT 2006

2006-10-11 Terurut Topik IBRAHIM ISA
 

=
IBRAHIM ISA'S  --  SELECTED NEWS AND VIEWS, 09  -11 OCT 2006
-
How Soeharto schemed and Habibie botched it 
 UBUD - BALI  -  Writers fest highlights poverty and human rights
North Korea test: Nuclear threat or cry for help? 
-
HOW SOEHARTO SCHEMED AN HABIBIE BOTCHED IT
Endy M. Bayuni, Jakarta
The row over former president Habibie's allegations about an aborted
military coup on the second day of his short term is overshadowing a
more interesting revelation from his memoir: the events surrounding
the collapse of the New Order regime on May 21, 1998.
Habibie may not say it directly in his book Detik-Detik yang
Menentukan (Crucial Seconds), but it is clear that Soeharto's
carefully laid out post-retirement plan was bungled because Habibie,
then his deputy, gave the president the "wrong" answer when told about
Soeharto's plan to step down the night before. 
According to the book, Habibie's first reaction to the news was, that
going by the Constitution, he would have to succeed Soeharto. He could
have responded by also offering to resign -- because the pair were
"elected" by the People's Consultative Assembly on the same ticket
three months earlier. 
But he did not. 
Soeharto, according to the book, was not pleased with the response
from a man he had carefully chosen to be his running mate three months
earlier. 
The president abruptly ended their discussion and the two men have
never spoken since. 
Soeharto's contempt was so deep that "he treated me as if I never
existed," Habibie writes in the memoir. 
The next day, Soeharto announced to the nation he was quitting the
presidency. The succession took place then and there at the
presidential palace, with Habibie being sworn-in by the Supreme Court?
chief justice to become Indonesia's third president. 
Habibie never found out what Soeharto's retirement plan was, and since
Soeharto has never revealed it publicly, people can only speculate. 
But people have long known that in the hours before his resignation,
Soeharto transferred almost all his executive powers to Gen. Wiranto,
the chief of the armed forces. The transfer was apparently contained
in a letter styled on the infamous March 11, 1966, letter supposedly
given by president Sukarno to Gen. Soeharto. 
Wiranto has since bragged that he could have seized power then and
there with the full mandate from the legitimate president, but being
the "constitutional" person that he is, restrained and allowed Habibie
to become the new president. 
Between Habibie and Wiranto, it seems clear Soeharto would have
preferred the latter as his successor. Why else would he have
transferred so many powers to the general? 
Since Soeharto had not planned on this early retirement -- he had just
been reelected to serve until 2003 -- neither person, least of all
Habibie, had been chosen or groomed as his heir-apparent. 
Wiranto's loyalty was never in doubt. Seconds after the short
resignation ceremony, he took the microphone and announced to the
nation that he would personally protect the safety and the dignity of
the former president and his family. 
But the real reason why Wiranto did not make his move to grab power,
we now learn, was because Habibie had pre-empted him by giving the
"wrong" answer to what was effectively a two-option multiple choice
question from Soeharto. 
In response to Soeharto's statement "I am going to step down
tomorrow", Habibie could have answered either A: "So, I'm going to be
the next president?" or B: "I had better step down with you, Pak". He
picked A. 
Had the German-trained aerospace engineer answered B, then he would
have paved the way for a military takeover with Wiranto in charge, but
with Soeharto no doubt continuing to pull the strings. 
Post-Soeharto Indonesia would have taken a greatly different
historical path. 
Fortunately, or unfortunately, depending on where one stands, Habibie
was not well-versed in Javanese tradition, where courtesans are
expected to know, or at least guess, the correct response to a king's
questions from his body language. 
Regardless of the veracity of Habibie's allegations of a planned
military coup the day after he assumed power, one thing is for
certain, the military was confused by the unexpected turn of events. 
Without Soeharto, who had been doing all the thinking for the military
for 30 years or more, the generals were simply lost. 
There was certainly a massive deployment of the Army's Strategic
Reserves Command (Kostrad) under its chief, Lt. Gen. Prabowo, then a
powerful figure because he was Soeharto's son-in-law. 
Habibie triggered the current controversy when he suggested the
deployment around the presidential palace where he resided was an act
of intimidation on the part 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER-MENELUSURI TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 1965'-- < 3 >

2006-10-09 Terurut Topik IBRAHIM ISA
IBRAHIM ISA dari BIJLMER
-

Selasa, 10 Oktober 2006.

   <4>
MENELUSURI TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 1965' 
<'Cerpen' TRI RAMIJO –  Ketika'Diamankan' Orba>

Aku tulis 'Cerpen' pada sub-judul tulisanku kali ini. Itu memang
disengaja. Karena, yang ditulis oleh Tri Ramijo, sesungguhnya adalah
pengalamannya sendiri. Adalah siksa dan nista yang dideritaannya
pribadi ketika 'diamankan' oleh petugas keamanan Orba. 

Tri Ramijo mengisahkan bagaimana ia disiksa sejadi-jadinya ketika di
tahan, 'diperiksa' oleh seorang interogator dari fihak keamanan tentara. 

Tri Ramijo, - aku kenal dia. Termasuk kenalan lama. Bapaknya,
seorang Digulis, pejuang kemerdekaan, juga kukenal.

Ketika bertemu Tri Ramijo di Jakarta beberapa tahun yang lalu, Tri
mengisahkan pengalamannya sebagai eks-tapol untuk bisa survive.
Sesudah lepas dari penjara pembuangan Orba, Pulau Buru, tamatan
jurusan bahasa Jepang, Universitas Tokyo ini, terpaksa  menganggur.
Tapi ia bertekad untuk tidak menyerahkan hari depannya pada nasibnya.
Demikianlah, Tri harus menyambung hidupnya untuk beberapa lamanya
sebagai 'tukang asah gunting' keliling rumah-rumah orang kaya di
Menteng. Modal untuk jadi 'tukang asah gunting' itu diperoleh Tri dari
peninggalan, katakanlah 'warisan' bapaknya. Sebuah 'batu asahan' tua.
Barangkali belakang hari nanti,  Tri bisa menceriterakannya
sendiri.Kita tunggu saja.

*  *  *

Aku masih ingat. Tanggal 1 Oktober 1965 di Bangkok dalam perjalanan ke
Jakarta. Ketika itu, kegiatanku dalam rangka mensukseskan 'KIAPPMA'.
Baru kembali dari menyelesaikan tugas  KIAPPMA < Konferensi
Inernasional Anti Pangkalan-Pangkalan Militer Asing> mengunjungi
beberapa negeri Afrika dan Timur Tengah. 

Ketika tiba di Bangkok ada tilpun dari KBRI (kemenakanku seorang
diplomat muda). 'Oom', katanya. 'Jangan ke Jakarta. Situasi gawat.
Kolonel Untung sudah kalah'. Aku heran dan bingung, ada apa di
Indonesia? Kembali bertanya apa yang terjadi di Jakarta sampai 
hubungan luar negeri dengan Jakarta putus, dan lapangan terbang
Kemayoran tutup. Dan siapa Kolonel Untung itu? Belakangan baru
kudengar lagi bahwa yang terjadi adalah peristiwa G30S dan terbunuhnya
6 orang jendral dan seorang perwira menengah TNI. Bahwa ada 'kup' dan
bahwa 'kup itu gagal' dan keadaan sudah 'dikuasai'oleh Jendral Suharto.

Begitu bandara udara internasional Kemayoran buka lagi, aku tokh
berangkat ke Jakarta, karena tugas KIAPPMA belum selesai. KIAPPMA
sesuai rencana akan berlangsung dalam bulan Oktober 1965 itu. Di
Jakarta kelihatannya tenang-tenang saja. 

Ramai diberitakan oleh pers yang sudah dibersihkan dari sk-sk Kiri
seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur dan banyak lainnya
lagi, kecuali yang dikendalikan dan di bawah pengelolaan langsung
fihak militer,  tentang 'kekejaman-kekejaman' anggota-anggota Gerwani
dan Pemuda Rakyat, orang-orang PKI kata mereka, yang menyiksa, seperti
memotong kemaluan dan mencongkel mata para jendral yang kemudian
dibunuh di Lubang Buaya. Berita-berita tsb disiarkan berkal-kali
setiap hari oleh media cetak maupun elektronik. Dengan demikian
timbullah gambaran bahwa telah terjadi kup, tetapi digagalkan oleh
pasukan-pasukan Kostrad di bawah pimpinan Jendral Suharto. Kedudukan
dan otoritas Presiden Sukarno tidak jelas, tetapi yang jelas ialah
bahwa yang memegang kekuasaan, paling tidak di Jakarta, adalah Jendral
Suharto yang telah mengambil alih pimpinan TNI-AD.

Yang digambarkan ialah 'kekejaman dan 'kebiadaban' anggota
Gerwani/Pemuda Rakyat/PKI di Lubang Buaya terhadap perwira-perwira
tinggi TNI.Kemudian ternyata apa yang diberitakan sebagai 'kekejaman
dan kebaidaban' Gerwani/Pemuda Rakyat/ PKI tsb, SAMASEKALI BOHONG.
Samasekali rekayasa. Orang-orang Gerwani yang ditangkap militer
kemudian di bawah siksaan disuruh mengakui perbuatan kejam di Lubang
Buaya itu, belakangan membongkar sendiri tentang kebohongan fihak
militer tsb. Yang terpenting ialah disiarkannya laporan dokter-doker
tim forensik resmi yang memeriksa jenazah para jendral. Tim forensik
menegaskan bahwa tidak ada samasekali bekas-bekas atau tanda-tanda
adanya penyiksaan, seperti pemotongan kemaluan dan pencungkilan mata
dsb. Jadi yang dinamakan 'kejaman dan kebidaban' Gerwani/Pemuda
Rakyat/ PKI itu adalah rekayasa belaka.  

Rekayasa fihak militer tsb kemudian ternyata sengaja diregisir untuk
memberikan 'alasan'  dan 'legimitas' dilakukannya pengejaran,
penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, pembuangan  dan pembunuhan masal
terhadap orang-orang PKI, yang dianggap PKI atau simpatisan PKI serta
orang-orang KIRI lainnya yang mendukung Presiden Sukarno. Pelanggaran
HAM terbesar oleh penguasa militer dan pendukung-pendukungnya tsb,
jelas, dilakukan tanpa proses peradilan apapun. Bahkan 

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER --TULISAN-TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 1965'-- < 3 >

2006-10-06 Terurut Topik IBRAHIM ISA
IBRAHIM ISA dari BIJLMER
Jumat, 06 Oktober 2006
-
MENELUSURI TULISAN-TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 1965'-- < 3 >


*  *  *

Entah kapan Menkum HAM, Hamid Awaluddin,  akan datang ke  Den Haag dan
Paris, masih belum jelas. Katanya dalam bulan Oktober ini. Tapi siapa
tahu?  Menurut berita yang tersiar sebegitu jauh,  maksud kedatangan
beliau  adalah untuk melaksanakan kebijaksanaan Presiden SBY
bersangkutan AJAKAN PULANG  bagi para eksil yang sejak 1965 bermukim
di pelbagai negeri . Katanya, urusan tsb diharapkan selesai dalam sebulan (sic!). 

Apa bisa  menyederhanakan soal  pencabutan paspor secara 
sewenang-wenang oleh penguasa, --menjadi demikian 'simple'? Bukankah
soalnya  begitu serius  dan berat? Bukankah hal itu  berlatar belakang
pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, i.e. Peristiwa 1965.
Semua meyadari bahwa dampak dan akibat (pelanggaran HAM oleh penguasa
militer sejak 1965 ) terhadap rakyat biasa, sampai sekarang masih
berlangsung terus. Para korban dengan keluarganya yang meliputi
sekitar 20 juta jiwa itu,  masih terus memikul penderitaan 
didiskriminasi, dimarginalisasi, distigmatisasi, dikucilkan dan
disudutkan, dituduh, difitnah dan sekali lagi difitnah. Sampai
sekarang ini masih ada  keluarga , atau salah satu anggotanya,  yang
masih takut mengakui bahwa  si Badu atau si Polan itu adalah bapak
atau pamannya, adik atau abangnya, bahwa itu adalah keluarga mereka. 
Mengapa? Sederhana saja sebabnya.  Karena si Polan dan si Badu itu
adalah eksp-tapol,  pernah di Buru, pernah dipenjarakan, pernah dekat
dengan PKI atau  memang pernah PKI. Seperti pengakuan seorang eks
tapol dalam tulisannya baru-baru ini.   

Yang oleh penguasa Orba dan pendukungya , dianggap kejahatan terbesar
 di Indonesia, adalah bila dulunya pernah ikut gerakan yang
berafiliasi dengan PKI, atau malah pernah anggota PKI.  Bahkan bukan
anggota PKI sekalipun, asal saja dituduh PKI atau simpatisan  PKI, 
sudah cukup diperlakukan sewenag-wenang oleh penguasa.

Coba saja simak berita-berita sekitar 30 September,  sementara pers
getol sekali menonjolkan tentang apa yang dikatakan  'bahaya Komunis'
 dan 'bahaya bangkitnya kembali PKI', dsb. Mengingatkan kembali bahwa
kurikulum pelajaran sejarah, sesuai TAP MRPS No. XXV, Th 1966, harus
menyoroti tentang 'bahaya komunis'. Meskipun tidak ada satu manusia
jujur dan normal bisa percaya   berita-berita dan isu-isu yang
menyangkut 'bahaya komunis'  dsb, tokh berita-berita seperti itu tak
pernah berhenti. Apa maksudnya kalau bukan untuk menyabot usaha dan
kegiatan menuju ke rekonsiliasi nasional atas dasar kebenaran dan
keadilan.  Bahkan maksud sementara aktivis pro-demokrasi dan
reformasi, dalam masyarakat untuk mendirikan Partai Persatuan 
Pembebasan Nasional, yang bertujuan untuk mempersatukan kekuatan
poitik alternatif, terbanding kekuatan-kekuatan politik yang berkuasa
sekarang yang sudah begitu bergelimang dengan birokrasi, bias
kekuasaan dan korupsi,  belum lagi lahir sudah didemo. Tak ketinggalan
dituduh bahwa itu adalah 'gerakan komunis'.

Banyak  dari para eksil  yang sudah mengambil kewarganegaraan negeri
tsb, tidak lain tidak bukan, karena keterpaksaan, demi pertimbangan
keamanan dan pertimbangan lainnya. Ajakan SBY agar  "para mahid"
pulang, sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Karena sebagian besar
dari para eksil itu sudah beberapa kali pulang balik ke Indonesia,
melepas rindu dengan tanah air dan keluarga. Mereka bisa pulang,
karena sudah memiliki paspor asing. 

Tragis juga,  orang-orang eksil Indonesia yang sudah memiliki paspor
asing, malah merasa  lebih aman,  tahu dan yakin  ada jaminan ada 
otoritas yang melindungi mereka.  Bahwa bila "terjadi apa-apa"  - 
misalnya "diamankan", pada waktu berkunjung ke Indonesia - ,  ada
suatu pemerintah, suatu negara yang akan tampil membela hak-hak mereka
sebagai warganegara, sebagai manusia. Negara atau pemerintah tsb
adalah negara dimana mereka pernah minta suaka dan kemudian memperoleh
kewarganegaraan negeri tsb.

*  *  *
Walhasil, beginilah saran saya kepada Menteri Menkum HAM, Hamid
Awaluddin,   yang akan datang hendak menjumpai (mudah-mudahan bersedia
untuk berdialog dan bertukar hati sebagai sesama bangsa Indonesia)
'para eksil' yang empatpuluh tahun lebih dengan sewenang-wenang
dicabut paspornya:

Please,please,please, diharap janganlah  menganggap masalah 
kesewenang-wenangan penguasa mencabut paspor warganegara sendiri yang
tak bersalah, yang dalam tahun 1965 kebetulan sedang berada
diluarnegeri, --- sebagai soal  'mengajak mereka pulang' semata.
Jangan menganggap  masalah itu sebagai sekadar  masalah memberikan
paspor baru. Jangan anggap soal itu  sekadar mengisi formulir di KBRI,
. . . .  habis ceritera. 

Jangan  jangan! Sebab itu berarti mengambil sikap munafik seperti
 'burung unta'  yang meyembunyikan kepalanya dalam pasir. De

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON REFORM IN INDONESIAN ARMY

2006-10-05 Terurut Topik IBRAHIM ISA
---
IBRAHIM ISA'S  -  FOCUS ON REFORM IN INDONESIAN ARMY 
--
Critics say TNI holding onto old political culture
TNI's long road to democracy 
Pilot 'exonerated' in Munir murder
---
Critics say TNI holding onto old political culture 
Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta
As it observes its 61st anniversary, the Indonesian Military (TNI) is
still reluctant to abandon its old political culture, politicians and
analysts say. 
Outspoken legislators of major political factions criticized what they
called the military's resistance to internal reform and its ignorance
of the 2004 law on the TNI, which requires the military to withdraw
from politics, cease business activities and concentrate on improving
its professionalism. 
They cited the military's demand for voting rights for its personnel,
its rejection of civilian court trials and its still-chaotic arms
procurement procedures as proof. 
Yuddy Chrisnandi of the Golkar Party said the reform movement, which
began following the downfall of former president Soeharto in May 1998,
had yet to bring major changes to the military. 
Yuddy said it appears the TNI still does not trust local police to
keep order in some traditional areas of conflict. 
"According to our recent survey, the military in their daily
appearance and operation is still deploying members in Papua, Aceh,
Poso and urban areas," he said Wednesday. 
President Susilo Bambang Yudhoyono has frequently asked the military
to stay out of politics. 
Djoko Susilo of the National Mandate Party (PAN) said that in
compliance with military law, the TNI must be put under the defense
ministry so that there will be no room for the military elite to
appear on the political stage. 
"The completion of internal reforms in the military has to come from
the President in his capacity as supreme commander of the TNI, and he
has to give full authority to the defense minister to control the
military, including arms procurement," he said. 
The law gives the Defense Ministry sole authority over the supply of
arms for TNI Headquarters and all forces, and requires the TNI to give
up all of its businesses, which have been a majore source of income
for the military. 
Djoko said his faction would fight for a bill that transfers some
trials of military personnel to the civilian court system, an idea
that has faced apparent reluctance from the TNI. 
Sabam Sirait and Andreas Pareira of the Indonesian Democratic Party of
Struggle said a main condition of reform in the TNI was improving the
military's welfare. 
"The military budget must be covered by the state budget to make it
professional, modern and deployable anytime ... to defend the
country's sovereignty," said Sabam. He noted that the lowest pay of
low-ranking personnel is under Rp 1 million a month. 
Sabam argued the government should allocate four percent to five
percent of the gross domestic product for the defense budget to at
least allow it to counter the military power of neighboring states,
especially Singapore. 
Analyst Andi Widjajanto blamed stagnant reform in the military on
civilians, especially the House of Representatives. 
"The House, which has legislative and budgetary rights and the control
function, has no political courage to push for military reform," he
said. He cited the defense commission's recent decision to allow the
government to purchase 32 armored vehicles from France without a
public tender. 
Andi said the House must exercise its authority to oversee defense and
the military. 
-
TNI's long road to democracy, The Jakarta Post Editorial, 05 oct 06. 
As in the previous few years, the anniversary of the Indonesian
Military (TNI) will be commemorated without fanfare. The ceremony to
mark the 61st armed forces day Thursday will be a modest one, in line
with the spirit of the fasting month of Ramadhan. 
This year's TNI anniversary celebration, however, comes on the heels
of the military coup against the Thai civilian government, the first
after 15 years. 
Many have lashed out at the Thai army for the putsch, which is
unacceptable for whatever reason as not only has it put democracy in
danger but also reinstated the use of the power of the gun. 
In response to the coup, TNI Commander Air Marshal Djoko Suyanto has
asserted the idea of a coup attempt is alien to the military's
culture. The TNI, he underlines, is committed to upholding democracy
and the law. Suyanto vows that the Indonesian armed forces will always
respect the civilian government, which was democratically elected. 
President Susilo Bambang Yudhoyono himself has brushed aside the
possibility of the military

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER ---Menelusuri Tulisan-tulisan Sekitar 'Peristiwa 1965'

2006-10-03 Terurut Topik IBRAHIM ISA
IBRAHIM ISA dari BIJLMER
4 Oktober, 2006
--
Menelusuri Tulisan-tulisan  Sekitar 'Peristiwa 1965'
<2>
Sekitar  30 September 2006 dan hari-hari berikutnya, di  ruangan ini
sudah dan maksudnya masih akan  mempublikasikan tulisan-tulisan  atau
bagian-bagian dari tulisan-tulisan sekitar "G30S". 

Presiden Sukarno menamakan gerakan yang berlangsung pada tanggal 1
Oktober 1965 dinihari itu, sebagai  "GESTOK" , Gerakan Satu Oktober.
Penulis-penulis yang  tidak befihak pada Orba,  yang tidak 'bias', 
yang tidak apriori, yang berusaha mengambil sikap yang obyektif atau
'netral' ,  menyebut gerakan tsb.,  sesuai dengan nama yang digunakan
oleh  para pelaku, yaitu "G30S", Gerakan Tigapuluh September. Jendral
Suharto dan rezim Orba,  termasuk penulis-penulis yang mendukung
pandangan dan politik Orba, dengan maksud dan tujuan yang jelas ,
menuding dan  menyalahkan PKI atau Presiden Sukarno, sebagai dalang.
Mereka sejak semula membubuhkan nama 'PKI' di belakang  kata 'G30S'.
Orba menganggap  penamaan "G30S/PKI", adalah nama resmi dan 'yang
paling benar'.  

Sekitar penamaan  "G30S" atau "G30S/PKI", hingga dewasa ini masih
terdapat  berbagai pandangan dan sikap. Orang tidak mau lagi
memamahbiak ungkapan versi Orba tentang 'G30S'. Semakin banyak
pendapat yang menyatakan bahwa tidak harus, dan tidak perlu ikut-ikut
varian Orba.  Karena,  pelakunya sendiri menamakannya "G30S".
Sedangkan apa dan bagaimana 'G30S' tsb itu sejarah sendiri yang akan
mengungkapnya melalui penelitian, studi, pengungkapan dan analisis.
Hal mana memang memerlukan  ketelitian,  partisipasi banyak fihak dan
waktu yang panjang. Bila kehidupan demokrasi bisa dipertahankan 
bahkan berkembang semakin kokoh, maka ini merupakan syarat baik bagi
usaha pengungkapan peristiwa sejarah tahun 1965 itu.

Memang pengungkapan peristiwa sejarah Oktober 1965 tidak mudah,
karena, yang berkuasa sekarang ini, pemerintah SBY , masih sarat
dengan kekuatan politik, birokrasi dan militer yang terlibat dan
bertanggungjawab  mengenai masa lampau semasa ORBA.. Maka tidaklah
mudah mengungkap masa lamapau yang merupakan cemar dan cacat sepanjang
masa.

*  *  *  
Di sinilah  letak arti pentingnya  pemerintah dan lembaga-lembaga ilmu
dan penelitian, khususnya yang  berhubungan dengan masalah sejarah, 
  mengambil sikap yang tepat. Terhadap persoalan sejarah seperti
halnya  terhadap  cabang ilmu lainnya, dituntut sikap dan penanganan 
i l m i a h . Obyektif dan jujur.  Samasekali tidak diperkenankan,
dengan alasan apapun,   mengekang usaha pengungkapan  dan penulisan
sejarah yang benar, yang tidak direkayasa, serta memperdebatkannya
secara transparan dan dewasa. Yang harus dilakukan adalah: 
Menciptakan suasana dan syarat yang relevan yang memungkinkan
dilangsungkannya  usaha dan kegiatan  studi dan penelitian,
pengungkapan dan penganalisaan sejarah seperti yang dimaksudkan. 

Maka, pernyataan  Presiden SBY baru-baru ini, bahwa  beliau a.l. 
"meminta sejarah G-30 S/PKI tidak perlu diperdebatkan", adalah tidak
bijaksana. Sikap seperti itu jelas mengerem terhadap kegiatan dan
keberanian  bermandiri generasi muda untuk berusaha sekeras-kerasnya
mencari kebenaran dalam sejarah bangsa ini. Meskipun SBY menambahkan
bahwa   "pengungkapan kembali tentang apa yang terjadi saat itu memang
perlu"; kiranya  lebih cocok apa yang dikemukakan oleh Jubir resmi
Presiden, Andi Malaranggeng, bahwa, untuk mencari solusi terhadap
problem bangsa membutuhkan sumbangsih pemikiran dari
sejarawan.''Analisis ahli sejarah perlu agar kesalahan masa lalu tidak
terulang kembali,''

*  *  *
Di kalangan masyarakat pasca Suharto dewasa ini,  sesungguhnya sudah
lama tumbuh dan berkembang pemikiran yang lebih relevan dengan
tuntutan Reformasi dan Demokratisasi. Seperti yang ditulis di s.k.
Riau Pos, 30.09.2006,  a.l. oleh Kepala Kurikulum Diknas Diah
Hariyanti, bahwa kurikulum sejarah, khususnya tentang G 30 S sebaiknya
netral, tidak hanya mencekoki siswa dengan versi tertentu.

Juga lebih relevan kiranya yang a.l.ditulis oleh Riau Pos tsb, 
tentang keharusan untuk Memperluas 
Versi Sejarah. Sejarah, tulis Riau Pos,  adalah milik pemenang.
Realitas tersebut terbukti dalam pengungkapan fakta peristiwa G30S
selama ini  yang merupakan interpretasi sejarah dari penguasa Orde
Baru. Sejarah yang bias tersebut telah mengakar dalam masyarakat.
Bagaimana tidak? Sejarah versi Orde baru tersebut telah masuk dalam
kurikulum dan diajarkan sampai perguruan tinggi.

Selanjutnya Riau Pos: Era reformasi tidak hanya merubah konstelasi
politik, namun juga berimplikasi pada munculnya kontroversi mengenai
peristiwa G 30 S. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebagai
pihak yang bertanggungjawab terhadap kurikulum merespon hal tersebut
dengan memperluas ve

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - SELECTED NEWS AND VIEWS, 27 SEPT 2006

2006-09-28 Terurut Topik IBRAHIM ISA
---
IBRAHIM ISA'S-   SELECTED NEWS AND VIEWS, 27 SEPT 2006

KALLA ACCUSED OF NOSTALGIA FOR DESPOTISM 
UBUD WRITERS AND READERS FESTIVAL
EQUALITY AND PLURALISM IN THE CITIZENSHIP LAW
---
Kalla accused of nostalgia for despotism 
National News - September 27, 2006 
Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta
Vice President Jusuf Kalla is under fire for his statement that
democracy is less important than political stability and security in
attracting foreign investors to Indonesia.
Djoko Susilo, a legislator from the National Mandate Party (PAN), and
Effendi Choirie of the National Awakening Party (PKB) accused Kalla of
"dreaming about the return of Soeharto-style authoritarianism". 
Kalla, who is also the Golkar Party chairman and head of a business
conglomerate, made the statement when addressing the Indonesian
community Saturday in New York. 
Djoko and Effendi said given his important role in the government,
Kalla should not have said something which in their opinion revealed
him to be anti-reform. 
"Do his views reflect those of Golkar?" Effendi asked. Indonesia's
largest political party was the vehicle Soeharto used to rule with an
iron fist for 32 years. 
Defending his statement, Kalla said foreign businesspeople were more
interested in investing their money in Vietnam and China because they
are politically stable, even though they are not democratic and their
respect for human rights is generally seen as inferior to Indonesia's. 
Kalla has been in the U.S. trying to convince investors to do business
in Indonesia, which some argue has become a less attractive corporate
target since Soeharto's fall in 1998. 
Djoko said stability and security would come when democracy, strong
law enforcement and good government were firmly in place. 
"The Vice President should understand that political instability in
Indonesia has to do with the corrupt bureaucracy, the absence of good
governance and legal certainty, and the rising unemployment rates," he
said. 
Djoko said the government has panicked since its effort to revise the
labor law was thwarted by strong resistance from workers' unions. 
Effendi and Djoko called on the government to reform the bureaucracy
and strengthen law enforcement in order to improve public service and
ensure legal certainty. 
They said the bureaucracy and judiciary system were corrupt because
civil servants and law enforcers were underpaid. 
"Once the bureaucracy is reformed, red tape in applying for business
licenses will end, and once legal certainty is in place, investors
will come in and feel safe," said Djoko. 
Djoko doubted Kalla would succeed in attracting American investors
unless Indonesia worked hard to improve the business climate. 

UBUD WRITERS AND READERS FESTIVAL
Welcome to Ubud ,  The Jakarta Post, 27 Sept 06
Let the festival begin! Among the luckiest people on earth must be
those in Ubud, Bali, set on rewarding themselves with the various
programs on offer at this year's literary event. 
On Thursday, children's workshops will kick off the third Ubud Writers
and Readers Festival, held before the official opening Friday evening,
after which participants will pay tribute to the late Pramoedya Ananta
Toer, who was widely regarded as Indonesia's leading writer. 
Famed writers are trooping into the picturesque, tourist village,
along with emerging poets and authors -- the creative bunch who
contribute to our joys of reading and watching movies. 
Following on from previous years, the organizers have promised not
only talks and public readings with authors from various countries,
but also the chance to benefit from their valuable guidance. There is
even a workshop on how to market your first book, be it a work of
fiction or a book on travel or cooking. 
Hopefully more locals will attend this year's event, initially held as
an attempt to "heal the wounds" after the bombings of 2002. The second
terror attack on Bali did not stop the writers from gathering for the
event last year. 
For it is the country hosts themselves, the Indonesians, who are
notoriously loathe -- not to put down a book -- but to pick one up,
let alone write one. The local writers featured at the Ubud festival
will hopefully inspire even those among us who think that putting
words on paper is a terrifying prospect. 
The comfortable excuse that ours is basically an oral, not written,
tradition is starting to sound lame as teen-lit books penned by young
Indonesians pile up on store shelves -- however incomprehensible they
may seem to adults. Youngsters also plow through 400 pages of Harry
Potter in a few days, and remain glued to PCs, updating their blogs. 
They are convinced they have something to share, for a few e-mails or
a few minu

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - T N I -- DENGAR DAN PATUHILAH SERUAN PRESIDEN

2006-09-27 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
27 Sept  2006


T N I -- DENGAR DAN PATUHILAH  SERUAN PRESIDEN   
PERLU KONSISTEN LAKSNAKAN REFORMASI !!

Ketika  membaca berita bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono minta
kepada TNI supaya "berhenti bermain politik praktis",  bagaimana
sepatutnya  kita berreaksi? --- Bila diminta berterus terang, --- 
inilah tanggapannya: Pernyataan itu  mula-mula kedengarannya agak
sulit untuk dipercayai. Apa betul berita tsb?  Apa ucapan SBY tsb
bersungguh-sungguh adanya? Sesudah  dibaca berkali-kali, --  kalaulah
berita Kompas 21 Sept, 2006  itu memang benar,  maka,  sesudah
ditimbang-timbang, --- bisalah dikatakan dengan berhati-hati bahwa
pernyataan SBY itu sedikit banyak  membikin fikiran menjadi agak lega. 

Pembaca bisa mengajukan pertanyaan: Mengapa  pernyataan SBY itu
ditanggapi begitu "diplomatis"? Begini soalnya: - -  Gerakan Reformasi
dan Demokratisasi bangsa ini yang menanjak dan bergelora dalam
tahun1998,  dan berhasil menggulingkan rezim Orba serta memberikan
peluang  pada  Presiden Habibie, sesuai tuntutan gerakan, untuk
berbuat lain dari pendahulunya dst --- sudah berlangsung lebih 8
tahun. Namun, perubahan yang diharapkan masih jauh dari kenyataan. 

Cobalah teliti. Sudah sampai dimana  hasil usaha Reformasi di kalangan
TNI. Tercatat adanya kemajuan-kemajuan, tetapi tidak memadai bila
diukur menurut apa yang menjadi tuntutan rakyat dan yang amat
dibutuhkan negeri ini, termasuk diperlukan oleh TNI sendiri.
Sekali-kali jangan dilupakan fakta dan peristiwa sejarah bangsa ini,
bahwa  Orba yang digulingkan oleh gelora gelombang dahsyat gerakan
Reformasi dan Demokratisasi, ---   penunjang utamanya, sokogurunya
adalah TNI  (jangan lupa,  plus GOLKAR). 

Kita harus berterus terang,  pengalaman selama 30 tahun lebih
berjayanya rezim Orba,  menunjukkan, bahwa  TNI,  ABRI bukanlah
pembela rakyat,  bukan pula juru selamat  Republik Indonesia dan
pembela Pancasila.  Halmana selama 30 tahun lebih sampai dewasa ini
dipropagandakan oleh Orba dan sisa-sisa kekuatan Orba.  Militerisme,
birokrasi yang mencekik bangsa, korupsi, kolusi dan nepotisme  yang
membangkrutkan kas negara dan ekonomi negeri, berkembang pesat justru
dalam periode  berkuasanya kekuatan militer di bawah Jendral Suharto.
Pelanggaran HAM terbesar yang pernah terjadi di Indonesia, 
teristimewa pambantaian masal terhadap rakyat yang tidak bersalah
(1965-66), penggulingan Presiden Sukarno(1967),  bukankah kekuatan 
penggerak dan pelakunya adalah TNI di bawah Jendral Suharto?
Berkuasanya rezim militer Orba yang otoriter dan anti-demokratis, itu
semua berlangsung di bawah naungan dan jubah konsepsi  "Dwifungsi
Abri". Itu sejarah!

Orang masih belum lupa fakta-fakta sbb: Meskipun formalnya "Dwifungsi
ABRI"  dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, a.l dengan dihapuskannya 
"perwakilan otomatis" ABRI di DPR/MPR, bahwa TNI tidak lagi boleh
ambil bagian dalam politik, dsb    Lihatlah apa yang terjadi dalam
tahun 2002.  Kesatuan-kesatuan  TNI  lengkap dengan
kendaraan-kendaraan lapis baja, dimobilisasi a.l. dimuka  Istana
Negara . Itu semua terjadi sekitar  dilorotnya pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid.  Ketika di- "impeached"-nya Gus Dur,     tidak
salah  kesimpulan orang, bahwa, dalam praktek nyatanya TNI  ketika
itu,  masih "ikut (lagi) main politik praktis" yang krusial. Bukankah
ketika itu Gus Dur  masih menduga bahwa pasukan TNI lengkap dengan
kendaraan lapis baja  yang dipasang di depan Istana Negara itu, 
adalah untuk menjaga keselamatan Presiden? Tetapi, Gus Dur kecelé! 
Keberadaan mereka itu justru untuk menunjukkan jalan keluar Istana
bagi Gus Dur. 

Belakangan  memang bisa disimpulkan bahwa   pasukan TNI  lengkap
dengan kendaraan-kendaraan lapis baja  tsb adalah untuk memberikan
tekanan kepada  Gus Dur agar tunduk pada keputusan MPR   yang 
ketika itu sedang bersidang untuk menggeser Presiden Abdurrahman Wahid
 dan menaikkan Megawati  menggantikannya sebagai Presiden ke-5 R.I.

*  *  *

Jadi,  sekarang ini, bagaimana duduk perkaranya sesudah SBY terpilih
langsung dalam pemilihan presiden y.l. Apakah supremasi sipil,  yang
hakekatnya adalah supremasi hukum sudah terjadi? Apakah TNI masih akan
terus "main politik praktis"? Apakah  itu dilakukan  transparan
ataukah ditutup-tutupi,  "di belakang layar"? Bagaimana kita memahami
pernyataan-pernyataan SBY bahwa TNI juga akan melaksanakan Reformasi
di kalangannya sendiri. Sampai sejauh mana Reformasi itu dilaksanakan?

Nyatanya  sampai dewasa ini, fungsi kekuasaan teritorial TNI yang 
sampai ke desa-desa yang terpencil sekalipun, masih eksis. Jalur
kekuasaan pemerintahan sipil dan jalur kekuasaan TNI melalui struktur
teritorial "masih berjalan" terus. Benarkah demikian?  Bukankah dari
waktu ke waktu,  kapan saja mereka-mereka itu berkenaan untuk "bicara
politik",  sementara panglima atau jendral TNI masih membuat
pernyataan-pernyataan pol

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- JUSUF ISAK DAPAT BINTANG KEHORMATAN PERANCIS

2006-09-25 Terurut Topik IBRAHIM ISA
Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 25 Sept. 2006

JUSUF ISAK  DAPAT BINTANG  KEHORMATAN PERANCIS  "CHEVALIER des ARTS et
des LETTRES"  
< Untuk  Perjuangan Kebebasan Pers dan Demokrasi>

J u s u f I s a k  ,  ---  Pemimpin Penerbit HASTA MITRA, 
terkejut ketika disampaikan  berita kepadanya bahwa Pemerintah
Perancis memutuskan akan menganugerahkan kepadanya , BINTANG  
"CHEVALIER des ARTS et des LETTRES". Penyerahan dilangsungkan di
kedubesan Perancis, Jakarta, pada tanggal 21 September, 2006,  yang
lalu. Dubes Perancis, Renaud  Vignal himself yang menyematkan Bintang
Kehormatan tsb. Luar biasa!  

Sepanjang yang kuketahui, ini adalah kedua kalinya pemrintah Perancis
memberikan Bintang Penghargaan dan Kehormatan "Chevalier des Arts et
des Lettres"  kepada eks-tapol asal Indonesia. Yang pertama dulu
adalah yang disampaikan kepada Pramoedya Ananta Toer oleh Menteri
Kebudayaan Perancis, ketika Pram berkunjung ke Paris pada permulaan
tahun sembilanpuluhan (maaf tidak ingat lagi kapan persisnya, I.I.).

Akupun terkejut,  .  .  .  tidak  .  .   tidak,   tidak terkejut,
sesungguhnya pertama-tama  reaksi kalbuku adalah rasa gembira, dan
perasaan bangga, bangganya bukan main. Karena peghormatan dan
penghargaan tsb sekaligus merupakan penghormtan  atas perjuangan
rakyat Indonesia untuk Demokrasi, Kebebasan Pers dan Hak-hak Azasi
Manusia. Merasa  bangga karena itu adalah pengakuan terhadap adilnya 
perjuangan demokrasi dan HAM di Indonesia. 

Dan  juga merasa terkejut. Mengapa? 

Terus terang baik  bagi Jususf Ishak, seperti halnya juga bagiku, dan
mungkin bagi banyak aktivis-aktivis dan pemeduli HAM,  tidak pernah 
membayangkan bahwa suatu p e m e r i n t a h  yang beraliran
tengah-Kanan,  yang dikepalai oleh Gaulist,  Presiden  Chaques Chirac,
kok sampai sebegitu jauh sikap (keobyektifannnya)  hingga 
menganugerahkan Bintang Kehormatan dan Penghargaan kepada seorang yang
dikenal sebagai orang Kiri dan pernah 10 tahun lebih meringkuk dalam
penjara Orba-Suharto 

Bayangkan bahwa di Indonesia, pada pasca Suharto, di saat penguasa
banyak bicara tentang Reformasi, Demokrasi dan HAM,   apkah mungkin
bisa terjadi tokoh-tokoh seperti (sebagai misal)   Siauw Giok Tjhan
(seorang patriot pejuang kemerdekaan, dan integrasi etnis Tionghoa ke
haribaan nasion Indonesia), Jusuf Isak, , Munir, Pramoedya Ananta
Toer,,  Sulami  dll pejuang untuk Demokrasi dan HAM, memperoleh 
bintang penghargaan dari pemerintah  Indonesia yang katanya punya
program Reformasi dan Demokratisasi.  Dari LSM HAM yang di Indonesia
pun nama-nama para tokoh pejuang tsb tidak masuk daftar yang  mereka
hargai dan hormati. Apalagi bisa masuk dalam daftar pemerintah.

Memang Republik Perancis bukan Republik Indoneisa pasca Orba sekarang
ini. Jika pemerintah Perancis, dengan para suatu prinsip dan pandangan
yang prinsipil,  bisa memandang jauh dari Eropah ke ufuk Timur nun
jauh di sana, Indonesia, dan bisa melihat dan menyaksikan, menilai dan
kemudian memberikan penghargaan atas  jasa-jasa dan sumbangan
Pramoedya Ananta Toer dan Jusuf Isak  terhadap keudayaan,  kemajuan
Demokrasi dan HAM di Indonesia, maka pemerintah Indonesia, (termasuk
LSM-LSM-HAM dan Demokrasi) matanya belum begitu jeli, hati nurani
mereka masih belum murni, sampai bisa melihat kenyataan dan menghargai
kenyataan obyektif itu.

*  *  *
   
Ya, kali ini Jusuf Isak,  yang pernah memperoleh  pelbagai bintang
penghargaan dan kehormatan dari pelbagai organisasi non-pemerintah
yang bergerak di bidang sastra, jurnalistik dan HAM di luarnegeri
seperti PEN Club Amerika dan Australia, kemudian Wertheim Foundation
di Leiden-Amsterdam, sekarang ini lagi-lagi memperoleh bintang 
kehormatan dan pengharagaan dari pemerintah Perancis. 

Jusuf Isak memperoleh kali ini Bintang Kehormatan "Chevalier des Arts
et des Lettres" dari pemerintah Perancis.

Apa itu  Bintang "Chevalier dans l'ordre des Arts et des Lettres? 

Itu adalah bintang kehormatan dan penghargaan yang diberikan oleh
pemerintah Perancis kepada tokoh-topkoh terkemuka seniman dan penulis
yang telah memberikan sumbangan signifikan terhadap usaha memajukan
seni di Perancis dan di seluruh dunia. Bintang Kehormatan dan
Penghargaan tsb adalah salah satu dari penghormatan tertinggi
pemerintah Perancis  yang dapat diberikan oleh pemerintah Perancis
terhadap seseorang.

Bintang Penghargaan tsb adalah Bintang Penghargaan Perancis yang
dimulai  oleh Perancis pada tanggal 2 Mei 1957 oleh Menteri Kebudayaan
dan dikukuhkan  sebagai bagian dari  "Ordre National du Mérite" oleh
Charles de Gaulle dalam tahun 1963. Maksudnya ialah sebagai suatu
pengakuan tentang arti penting sumbangan terhadap seni, literatur atau
pensosialisasiannya di bidang-bidang tsb. Dianatra yang telah
memeperolehnya di bidang seni dan literarur a.l.  , adalah  bintang
film kritis dan terkenal Sharon Stone, Robert Redford, Diana Ross,
Selin Dion, Paul Anka, Tony Curtis, Art Buchwald, Gong Li, Han Shao
Gong  dan banyak lainnya.

* * *

  1   2   >