[wanita-muslimah] Tak Kenal BUNG KARNO, Maka -Tak Kenal INDONESIA
IBRAHIM ISA - Selasa, 17 Agustus 2010 Tak Kenal BUNG KARNO, Maka -Tak Kenal INDONESIA * Menulis sebuah `p r o f i l` tentang Bung Karno Seorang negarawan, `statesman' dan `nation builder', pembangun bangsa terbesar, dalam dua-tiga halaman saja, adalah sangat-sangat tidak mudah. Hasilnya pasti tidak seperti apa yang diharapkan. Keterbatasan ruangan dalam penerbitan "Informasi", sebuah berkala terbitan "Perhimpunan Persaudaraan", untuk menuliskan sebuah profil yang agak lengkap, merupakan realitas yang wajar dan bisa difahami. Kalaulah kita buka computer, menjenguk sebentar ke website `Google.com', ketik nama SOEKARNO, di situ bisa dibaca, sedikitnya terdapat 1.750.000 bahan tertulis, termasuk beberapa audio, youtube, Facebook, dan video, yang bersangkutan dengan nama SUKARNO. Demikianlah terkenalnya nama Sukarno di dunia informatika mancanegara. Dalam rangka, menyambut dan memperingati Ultah Ke-65 Hari Kemerdekaan Nasional Indonesia, 17 Agustus 1945, memang dimaksudkan di sini, hendak menulis `PROFIL' tentang Bung Kanro. Betapapun sulitnya. Karena begitu banyak segi dan ragam sosok dan tokoh yang bernama S u k a r n o . Kata `Profil' Menurut Kamus Oxford adalah sebuah gambaran, `silhoutte', `potret yang diilihat dari sisi'. Jadi profil itu adalah suatu gambar seseorang yang dilihat dari s a t u sisi saja. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan `profil' itu sebagai `s k e t s a biografis`. SUKARNO adalah seorang manusia biasa. Dengan segala keunggulan dan kekurangannya. Benar! Sukarno adalah manusia biasa. Tetapi, sekaligus, SUKARNO, adalah manusia LUAR BIASA. Beliau orang besar. Sosok seperti beliau itu langka sekali dalam sejarah Indonesia. Yang menjadikan Bung Karno langka a.l adalah, bahwa sejak masa mudanya beliau telah memilih jalan hidup perjuangan demi kemerdekaan bangsa dan tanah air. Pemuda Sukarno tidak memilih hidup tenang dan énak sebagai insinyur bangunan dengan penghasilan lumayan. Malah akan bisa hidup sebagai `lapisan atas' di zaman kolonial Hindia Belanda. Tetapi Sukarno memilih jalan yang sulit dan menderita. Masuk-keluar penjara. Kemudian jadi orang buangan. Ya, itulah Sukarno yang sejak muda telah memilih jalan hidup sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Demi cita-cita mulya yang diyakininya. Jalan hidup ini dipertahanknnya dengan konsisten, sampai akhir hidup beliau dalam tahanan rezim Orba di bawah Jendral Suharto. Bung Karno lain dari Jendral Suharto. Yang jauh sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, Suharto, selain mengumpulkan kekayaan bagi diri dan keluarganya melalui korupsi besar-besaran, ia telah menyiapkan `kuburan keluarga'. Sebuah lokasi menyolok, di sebuah gunung dengan bangunan mewah lengkap dengan pengawalan. Kuburan semegah ini tak ada bandingnya di Indonesia. Namun, Bung Karno, setelah meniggal dunia dalam tahanan militer, atas keputusan Jendral Suharto, jenazahnya diangkut jauh dari pusat kehidupn politik negara, yaitu ke Blitar untuk dimakamkan di situ. Semua tahu hal ini diluar keingian dan wasiat Bung Karno. Secara terbuka Bung Karno telah menyampaikan, bahwa beliau ingin dikubur di sebuah lokasi sederhana di Bogor dengan tulisan di batu nisan: BUNG KARNO, PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT. Memang Suharto tidak tanggung tanggung dalam tindakannya mengucilkan, mengasingkan dan menghancurkan nama Sukarno. Tetapi lihat, apa yang terjadi! Adalah massa rakyat sendiri yang bersikap. Dewasa ini kota Blitar tempat peristirahatan terakhir Bung Karno, telah menjadi salah satu `tugu nasional' penting. Massa pengunjung memperlakukan kuburan Bung Karno, seperti kuburan wali-wali. Bahkan lebih dari itu. Hingga detik ini, sudah ratusan ribu, bahkan mungkin sudah jutaan pencinta Bung Karno yang berdatangan dari pelbagai penjuru tanah air, pergi ber-ZIARAH ke MAKAM BUNG KARNO. Untuk menyatakan kecintaan, penghormatan dan kesetiaan mereka pada Bung Karno. Dan hal ini akan berlangsung terus. Lebih-lebih dalam situasi bangsa dan tanah air dewasa ini mendambakan dan membutuhkan seorang pemimpin dan penyuluh bangsa sekaliber BUNG KARNO. Bagi setiap orang Indonesia yang mengenal sejarah perjuangan bangsa, nama penulis kenamaan Belanda, Multatuli, alias Douwes Dekker, tidaklah asing lagi. Melalui bukunya `MAX HAVELAAR', sudah pada abad ke-19. Multatuli dengan terang-terangan, tegas dan tajam menggugat kolonialisme Belanda dan feodalisme di Banten, yang menjadi sekutu dan pijakan kekuasaan kolonialisme di Hindia Belanda. Kita juga mengenal nama-nama Belanda lainnya, yang simpati dengan bangsa Indonesia. Seperti antara lain Prof Dr W.F. Wertheim, Dr Bob Hering, Piet van Staveren, Poncke Princen, dan banyak lainnya yang memiliki hati nurani. Mereka-mereka itu tak sudi melihatberlangsungnya pemerasan dan penindasan oleh kolonialisme Belanda atas bangsa Indonesia. Mereka menyatakan protes ter
[wanita-muslimah] Wong JOWO-Surinam Ing Negoro Londo
IBRAHIM ISA Berbagi Cerita Sabtu, 14 Agustus 2010 -- Wong "JOWO-Surinam" Ing Negoro Londo < Dalam Rangka Peringatan 120 Tahun Kedatangan Orang Jawa di Suriname> Cerita-cerita, -- s e j a r a h , tentang 'Wong Jowo ing Negoro Londo' (mereka berimigrasi dari Suriname), -- -- , menarik sekali. Mengharukan dan menggugah. Dan hatiku ikut bangga, sebagai suami seorang putri dari Jawa. Begitulah, hari Minggu, pekan lalu, kami kumpul bersama di suatu ruang peringatan dengan kira-kira 300 orang-orang Jawa lainnya yang berdatangan dari pelbagai penjuru Belanda. Cukup banyak data dan ulasan yang bisa diakses di internet mengenai para kompatriot itu. Jangan héran, bagi kebanyakan orang-orang Jawa-Indonesia, keberadaan dan latar belakang 'Wong-Jowo-Surinam' ing Holan iku, sedikit sekali yang tahu. Ya, sesekali secara kebetulan, kita papasan dengan orang (yang dianggap orang Indonesia), di jalan atau di pertokoan. Ternyata mereka itu adalah 'wong Jowo-Surinam'. Orang Jawa yang menetap di Belanda, asal Surinam. Mereka bertanya pula: "Sampean soko Surinam"? Aku baru-baru ini saja, agak mengenal latar belakang 'Wong Jowo Ing Negoro Londo". Yaitu selagi dan sesudah pada tanggal 08 Agustus 2010 lalu, menghadiri Peringatan "120 JAAR JAVAANSE IMMIGRATIE Een Andere Kijk op Geschiedenis De Javaanse migratie door de ogen van gewone mensen". < Artinya kira-ki begini: "120 tahun migrasi Orang-Orang Jawa Suatu Pandangan Lain Atas Sejarah Migrasi Orang-orang Jawa Melalui Mata Orang-orang Biasa.">. Penyelenggara peringatan dilakukan bersama oleh Stichting Herdenking Javaanse Immigratie (STICHHJI), Stichting Budi Utama dan KITLV Leiden. Di ruangan pertemuan di pamerkan untuk dijual buku-buku sehubungan dengan orang-orang Jawa Surinam. Juga bisa dipesan kamus Jawa-Nederlands. Di situ aku membeli sebuah buku berjudul STILLE PASSANTEN, Levensverhalen van Javaans-Surinaamse ouderen in Nederland. Cerita-cerita pengalaman orang-orang Jawa Surinam di Nederland. Penulis: Yvette Kopijn dan Harriette Mingoen, Ketua STICHHJI. Aku baru membaca kata pengantarnya dan melihat-lihat foto-foto sekitar orang-orang Jawa yang mula datang ke Suriname. Kaum migran Jawa yang berjumlah 32.956 migran itu diangkut berangsusr-angsur selama periode 1890 s/d 1939 dengan 53 kapal ke Paramaribo, Suriname. Setelah menyelesaikan kontrak kerja selama 5 tahun, mereka boleh mengakhiri kontrak dan kembali ke kampung halaman di Jawa. Sebagian besar memilih menetap di Suriname, menjadikan negeri itu tanah airnya kedua. * * * Perayaan Peringatan tsb berlangsung di ruang pertemuan Haagse Hogeschool, Den Haag. Hanya beberapa puluh meter jaraknya pas dimuka Stasiun KA - Den Haag HS letaknya. Perayaan Peringatan mengambil bentuk Manifestasi Budaya. Dimeriahkan dengan acara seni: gamelan Jawa, tari-tarian, pentjak silat, nyanyi solo dan paduan suara, musik Jawa, juga musik pop. Tak ketinggalan dipanggungkan pula tari serimpi yang indah lemah lunglai itu. Hadirin menikmati seluruh acara yang berlangsung dari jam 12 siang sampai jam 07 malam. Dengan sendirinya tersedia di situ makanan Indonesia dan Suriname (seperti tahu lontong dan saoto), serta cendol dan minuman lainnya dengan harga yang layak. Sarmaji yang duduk disampingku, tak habis heran dan kagum menyaksikan acara seni itu. Bagaimana orang-orang Jawa Suriname kok bisa tetap memelihara budaya Jawa meskipun lebih seratus tahun terpisah dari kampung halaman asal, berlanglang-buwana sampai ke Suriname dan Belanda. Itu menunjukkan bahwa meskipun tinggal di negeri lain, mereka tetap mempertahankan budaya dan identitas mereka. Hebat kan, kataku! Tapi yang lebih mengharukan lagi serta terheran-heran kami, adalah ketika perayaan dibuka dengan tampilnya barisan bendera teridiri dari putri-putri, yang masing-masing membawa bendera Merah Putih Biru (Belanda), Merah Putih (Indonesia), dan Bendera Suriname. Tak terkira reaksi kami ketika itu. Serasa terdengar debaran jantung masing-masing, ketika seiring dengan barisan bendera tampil di panggung, diperdengarkan masing-masing -- lagu WILHELMUS, lalu INDONESIA RAYA kemudian lagu KEBANGSAAN SURINAME. Sungguh tak tak terduga bisa melihat bendera Merah Merah Putih dikibarkan diatas panggung di Haagse Hogeschool Den Haag, dengan diiringi musik INDONESIA RAYA. Dan itu dalam suatu perayaan peringatan yang dilangsungkan oleh WONG JOWO ING NEGORO LONDO. Kutanyakan bagaimana kesan Sarmaji disampingku. Bagaimana perasaannya melihat Sang MERAH PUTIH yang disertai musik INDONESIA RAYA di atas panggung? Wah, wah, bukan main bangganya aku!, kata Sarmaji. * * * Bagiku pribadi, belum lama mengetahui adanya orang-orang Jawa-Surinam di Holland. Kurang lebih 15 tahun y.l. seorang sahabat dekat kami (yang asal etnis Jawa) ternyata melakukan kerja-sukarela di s
[wanita-muslimah] ORANG-ORANG BELANDA SAHABAT INDONSIA
IBRAHIM ISA Berbagi Cerita Minggu, 08 Agustus 2010 -- ORANG-ORANG BELANDA SAHABAT INDONSIA *** Kemarin dulu, kuterima dari sahabatku Bari Muchtar, Ranesi, Hilversum, e-mail berikut ini: , diterbitkan 06 Agustus, 2010, oleh BARI MUCHTAR, Ranesi, Hilversum. Dalam pesannya kepadaku mengomentari tulisanku tentang Peringatan 65th Hiroshima, Bari Muchtar menulis sbb: Pak Ibrahim, Mudah-mudahan senjata nuklir benar-benar disingkirkan di muka bumi. Pak Ibrahim, ini link rangkuman wawancara dengan bapak ttg orang-orang Belanda yang bersahabat dengan Indonesia. http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/orang-orang-belanda-sahabat-indonesia Salam hormat, Bari Muchtar * * * Kupikir, Ranesi telah menyiarkannya untuk pendengar Radio Hilversum, baik kiranya dipublikasikan agar pembaca dapat mengikutinya ORANG-ORANG BELANDA SAHABAT INDONSIA Dalam buku sejarah Indonesia ditulis, Belanda pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad. Makanya wajar kalau orang masih tidak bisa melepaskan pikiran yang mengganggap orang Belanda itu penjajah. Tapi dalam sejarah selama lebih kurang tiga abad itu ternyata banyak orang Belanda yang berani menentang penguasa penjajah. Mereka memprotes, memberontak dan membelot menjadi pro Indonesia dan malah menjadi warga negara Indonesia. Ibrahim Isa, seorang eksil yang tinggal di Amsterdam, menyebut mereka itu orang-orang yang menjadi jembatan antara Belanda dan Indonsia atau sahabat Indonesia. Siapa saja antara lain mereka itu? Multatuli Pertama adalah Multatuli, seorang asisten residen di Lebak, Banten. Tokoh Belanda yang bernama asli Eduard Douwes Dekker ini mengundurkan diri jabatannya karena ia tidak setuju dengan sistem feodal saat itu. Ini dilakukannya setelah tuntutannya untuk memecat bupati tidak dikabulkan oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu. Maklum pemerintah Belanda justru memanfaatkan sistem feodal itu untuk kepentingan penjajahan. Kemudian pada sekitar abad keduapuluhan nama Douwes Dekker muncul tapi orangnya berbeda. Pria yang masih berhubungan darah dengan Dekker yang dijuluki Multatuli ini adalah seorang jurnalis. Bersama dengan Ki Hadjar Dewantara dan dr Mangunsutjipto, ia membentuk Indische Partij pada tahun 1911. "Indische partij itu partai politik pertama yang mengajukan tuntutan agar bangsa-bangsa di Nederlands Indie (nama Indonesia waktu itu,red) memilik haknya untuk menentukan nasibnya sendiri, " tandas Ibrahim Isa. Pembelot Setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 terjadi perang antara pejuang kemerdekaan Republik Indonesia melawan tentara Belanda. Menurut versi Belanda serdadu yang dikirm itu bertugas untuk memulihkan keamanan apa yang disebut aksi polisionil atau politionele actie. Tapi menurut kacamata Indonesia tentara Belanda itu jelas dikirim ke RI untuk merebut kembali negaranya yang baru merdeka. Di Belanda saat itu banyak pemuda Belanda yang menolak ditugaskan ke Indonesia yang bagi Belanda masih saat itu masih bernama Nederlands Indie atau Hindia Belanda. Hati nurani mereka tidak mengizinkan untuk menjadi bagian dari tentara yang mau menjajah lagi.Menurut Ibrahim Isa, jumlahnya sekitar 500 orang. "Mereka akhirnya diadili dan dipenjarakan, " katanya. Namun ada pula yang toh berangkat ke Indonesia, tapi akhirnya membelot ke pihak Indonesia. Contohnya Poncke Princen. Karena menyeberang menjadi Tentara Indonesia, maka ia dianggap penghkhianat oleh Belanda. "Tapi untuk kita, untuk bangsa Indonesia ia dianggap sebagai sahabat yang sangat dekat, "tandas Ibrahim Isa. Princen, tambah Ibrahim Isa, menunjukkan kepeduliannya dan dedikasi kepada Indonesia dengan menjadi pejuang Hak Asasi Manusia atau HAM dan demokrasi pada jaman Orba. Akibatnya ia sempat dipenjarakan oleh rejim di bawah pimpinan Soeharto ini. "Princen diakui sebagai pejuang demokrasi dan HAM, " simpul Ibrahim Isa. Selanjutnya Ibrahim Isa menambahkan bahwa di perpustakaan-perpustakaan Belanda banyak sekali ditemukan buku-buku tulisan bekasTentara Kerajaan Belanda. Banyak di antara mereka sebenarnya tidak tahu bahwa mereka ke Indonesia dulu ditugaskan untuk menjajah kembali. Karena yang dikatakan kepada mereka, tugas mereka adalah memulihkan kembali keamanan di Hindia Belanda. Jadi, mereka merasa ditipu. Lalu ada seorang ilmuwan Belanda yang terang-terangan mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia. Ia adalah guru besar sosiologi bernama Werthheim. Bukunya yang berjudul "The Society in transtion" menjadi bahan bacaan wajib bagi yang mau studi antropologi dan sospol Indonesia. "Di jaman Orba di Belanda ia mendirikan Komite Indonesia, untuk memperjuangkan hak-hak demokrasi bagi Indonesia " kata Ibrahim Isa. Teman keluarga Bung Karno Terakhir tokoh sepuh Ibrahim Isa yang masih sangat aktif membaca buku ini menyebut nama Wolf Schumach
[wanita-muslimah] MENGENANGKAN ULTAH-65 PEMBOMAN ATOM ATAS HIROSHIMA DAN NAGASAKI
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 06 Agustus 2010 --- HIROSHIMA NAGASAKI Di Bom Atom Bukankah Itu 'PEMBUNUHAN MASAL'? AS Dituntut Minta Maaf Kpd Rakyat Jepang Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman, merasa perlu mengorbankan lebih dari 240.000 penduduk sipil Hiroshima dan Nagasaki, memusnahkan dua kota tsb demi, m e m p e r c e p a t berakh irnya Perang Duni II. Demi 'm e n g u r a n g i ' korban Perang Pasifik. Begitu pembelaan AS atas penggunaan senjata pemusnah masal terhadap penduduk sipil Jepang. Bom atom yang diledakkan di atas Hirshima yang ironis dijuluki "Little Boy" dan yang di atas kota Nagasaki dijuluki "Fatman", telah minta korban kurang lebih seperempat juta penduduk sipil (sumber "Wikipedia"). Padat tanggal 15 Agustus, 1945 pemerintah Kerajaan Jepang menyatakan menyerah pada Sekutu. *** Perkembangan ini menyebabkan pelbagai analisis dan pandangan. Antara lain dikemukakan bahwa Amerika Serikat 'mengejar waktu' dengan menggunakan Bom Atom, senjata pemusnah maasl yang dahsyat itu terhadap Jepang, -- supaya Jepang segera menyerah. Karena tentara Sovyet yang sudah menaklukkan kekuatan pokok Jepang di daratan Timur Asia, sedang siap-siap untuk menyerbu dan menaklukkan Jepang. AS dan sekutunya bagaimanapun tidak membolehkan Sovyet lebih dahulu mengalahkan dan menduduki Jepang. Degan pelbagai dalih untuk memenangkan strategi pokoknya di Asia dalam persaingan dengan Uni Sovyet, AS tidak segan-segan mengorbankan menjadi mangsa sendjata bom atom, sebanyak kurang lebih 240.000 penduduk sipil yang mati. Belum lagi sejumlah besar yang masih hidup tetapi menderita seumur hidup disebabkan radiasi fatal yang berasal dari peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Analisis dan komentar lainnya menyimpulkan bahwa kebijakan AS meledakkan bom Atom di atas kota Hirohsima dan Nagasaki, adalah demi memenangkan strategi perangnya. Oleh karena itu, tidak lain tak bukan, tindakan AS itu adalah suatu PEMBUNUHAN MASAL TERHADAP PENDUDUK SIPIL. Dan merupakan kejahatan perang yang teramat biadab! Menggunakan cara teror militer terhadap penduduk sipil untuk memaksakan lawan bertekuk lutut. *** Hari ini, 06 Agustus, 2010, dengan suatu upacara khusus di Peace Memorial Park di kota Hiroshima, ribuan rakyat Jepang mengenangkan ulangtahun ke-65 diledakkannya bom atom di atas kota Hiroshima. Untuk pertama kalinya pemerintah AS mengirimkan utusan resmi untuk ambil bagian dalam peringatan korban bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Juga wakil-wakil resmi Inggris dan Perancis, dua-duanya pemilih senjata nuklir, ikut hadir dalam pertemuan. Kehadiran utusan resmi AS untuk pertama kalinya dalam peringatan korban bom atom Hiroshima dan Negasaki yang diadakan setiap tahun itu, dikatakan merupakan sutu sikap baru AS. Bersamaan dengan itu Menlu AS Hillary Clinton menyatakan di Washington bahwa AS berniat untuk menyingkirkan senjata nuklir dari dunia. Apakah ini benar suatu pertanda akan adanya perubahan pada politik luarnegeri dan global AS. Sejak Perang Dunia berakhir AS menggunakan arsenal senjata nuklirnya sebagai buah catur terpenting dalam dalam strategi Perang Dingin versus Blok Timur ketika itu. Sekaligus senjata nuklirnya digunakan untuk mengintimidasi negeri-negeri yang tidak tunduk serta yang berani menentang dominasi AS? Hanyalah perkembangan selanjutnya yang bisa membuktikannya. Sekjen PBB Ban Ki-Moon yang hadir bersama utusan dari 75 negeri lainnya dalam upacara peringatan Hiroshima itu, menyatakan bahwa: "Satu-satunya jaminan tidak digunakannya lagi senjata semacam itu adalah dengan megnhapuskannya samasekali." Gerakan Perdamaian Dunia yang sejak berakhirnya |Perang Dunia II muncul dan sangat aktif serta betambah besar pengaruhnya di Jepang, sejalan dengan pandangan umum di Jepang menuntut agar PEMERINTAH AMERIKA MINTA MAAF KEPADA RAKYAT JEPANG, atas peledakan bom atom atas kota Hirshima dan Nagasaki, yang telah menimbulkan korban begitu besar pada rakyat sipil. Setiap pencinta damai dan yang berfikiran sehat, dengan sendirinya menganggap tuntutan dihapuskannya samasekali semua senjata nuklir dan senjata pemusnah masal lainnya, serta tuntutan masyarakat Jepang, agar AS minta maaf, adalah tuntutan yang pada tempatnya dan adil! ***
[wanita-muslimah] Invitation to connect on LinkedIn
LinkedIn I'd like to add you to my professional network on LinkedIn. - IBRAHIM IBRAHIM ISA Independent Publishing Professional Amsterdam Area, Netherlands Confirm that you know IBRAHIM ISA https://www.linkedin.com/e/isd/1208910388/mJAJY06i/ -- (c) 2010, LinkedIn Corporation [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- PELANGGARAN HAM & AMNESTY INTERNATIONAL
Kolom IBRAHIM ISA -- Senin, 18 Juni 2007 = PELANGGARAN H.A.M - - - - DAN GERAKAN'AMNESTY INTERNATIONAL' = Salah seorang kenalanku dalam proses berkomunikasi di media internet, IKRANEGARA namanya, memberikan perhatian terhadap masalah saling hubungan antara gerakan AMNESTY INTERNATIONAL, Sekretariat Internasional di London, -- dengan masalah pelanggaran HAM di pelbagai negeri pada masa lampau dan sekarang. Sebagai catatan, pada tanggal 15 Juni, 2007 yang lalu telah dimuat tulisan Kolom Ibrahim Isa, mengenai Rapat Umum Anggota AMNESTY INTERNATIONAL NEDERLAND. . Pendapat Bung Ikranegara, dipublikasikan di bawah sebagai lampiran. Lepas dari masalah, apakah seseorang setuju atau tidak terhadap pendapatnya itu, patut disampaikan kepadanya terima kasih atas perhatian dan kepeduliannya. *** Hari-hari ini aku sedang menulis tentang mengapa AI ( gerakan Amnesty International> harus secara tetap meng-agenda-kan kasus pelanggaran HAM terbesar di Indonesia sekitar Peristiwa 1965 dan pembelaan terhadap para korban. Di situ akan disampaikan sekadar uraian singkat mengenai kehadiranku pada Rapat Umum Anggota AI Nederland, pada tanggal 16 Juni di Amersfoort, apa yang kusampaikan dalam rapat tsb, dan bagaimana tanggapan hadirin dan pengurus AI. Nederland. Mengapa masalah pelanggaran HAM 1965 di Indonesia, kasus para korban, keluarganya serta handai-taulannya yang berjumlah sekitar 20 juta orang masih gawat. Hal itu, terutama disebabkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi politik, sosial dan ekonomi terhadap para korban tsb. Mereka difitnah sebagai 'orang bermasalah', menjadi semacam kasta 'pariah' dalam masyarakat Indonesia. Tidak boleh ini atau tidak boleh itu. Kartu tanda penduduknya, tidak sama dengan warganegara lainnya, karena pernah jadi 'tapol', pernah ada indikasi atau diduga terlibat dengan Peristiwa G30S. Tuduhan penguasa (militer) Orba tsb dilakukan tanpa bukti dan tanpa proses pengadilan samasekali. Jadi, tuduhan tsb adalah ilegal, di luar hukum, melanggar HAM, merupakan suatu fitnah keji yang diikuti oleh persekusi bertahun-tahun lamanya sejak 1965 sampai dewasa ini. Masalah mendesak bagi para korban adalah PEMULIHAN NAMA BAIK mereka. Tuduhan dan fitnahan yang mencap mereka sebagai 'orang bermasalah', praktis menempatkan mereka berada di luar hukum, situasi ini harus segera diakhiri, kalau negara ini mengaku sebagai Negara Hukum yang menghormati HAM. Oleh karena itu, masalah MEREHABLITASI hak-hak politik dan hak-hak kewarganegaraan mereka, adalah masalah yang teramat mendesak! Selama masalah tsb belum dipertanggungjawabkan, diurus dan diselesaikan tuntas oleh yang berwewenang, selama itu pula masalah pelanggaran HAM 1965, harus menjadi agenda tetap gerakan Amnesty International. *** Dalam Amnesty Internatioanl Yearbook, yang dikeluarkan setiap tahun, baik oleh Sekretariat International di London, maupun yang diterbitkan oleh AI Nederland, di situ bisa ditelusuri mengenai misi dan cara kerja AI sedunia, rencana strategisnya dan kegiatan-kegiatan kongkritnya. Juga tercantum di situ mengenai situsi HAM di mancanegara, mulai dari di megeri-negeri Barat sampai ke Timur dari Utara sampai Selatan. Termasuk mengenai pelanggaran HAM oleh militer Indonesia di Timor Timur, Aceh dan Papua dll, dan juga masalah pembunuhan terhadap MUNIR, aktivis HAM Indonesia yang terkenal. Juga diungkap di situ, mengenai pelanggaran HAM di Uni Sovyet dulu dan di Rusia sekarang. Juga di Tiongkok, Korea Utara, Kuba dan Vietnam. Pokoknya mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di negeri-negeri yang disebut negeri komunis maupun negeri-negeri yang anti-komunis. Hal itu bisa dibaca juga di website AI Nederland, Menurut kemaun-baik Amnesty International, AI harus bebas dari keberfihakan, tidak menganut aliran kepercayaan atau faham politik tertentu. Namun, di dalam praktek kegiatannya yang nyata, beleid AI banyak tergantung dari komposisi pengurus dan pendukungnya. Tidak jarang AI lebih banyak mengungkap dan mengutuk pelanggaran HAM yang terjadi di Blok Timur. Dan bersikap 'banci' atau 'setengah-setengah', 'acuh-tak-acuh', 'kurang gairah' membela HAM, bila yang jadi korban adalah orang-orang komunis atau Kiri lainnya. Tetapi bila yang korban itu adalah yang anti komunis dan pelakunya adalah komunis, maka kampanye yang dilancarkan biasanya lebih besar. Dulu, baik blok Timur maupun blok Barat masing-masing melontarkan kritik terhadap, dikatakan AI adala gerakan yang disusupi dan ditunggangi oleh CIA atau oleh KGB. Pemerintah Orba pernah mengghujat AI sebagai pro agen-agen G30S di luarnegeri. Karena AI pernah a.l. mempersoalkan pelanggaran HAM penguasa Orba, dalam masalah pembunuhan sekitar
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- AI-Ned Jangan lupakan 'PELANGGARAN HAM 1965 !
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 15 Juni 2007 Rapat Umum Anggota AMNESTY INTERNATIONAL NEDERLAND Besok, Sabtu, 16 Juni 2007, mulai jam 10.00 pagi, Amnesty International Afdeling Nederland, akan melangsungkan RAPAT UMUM ANGGOTA TAHUN 2007. Rapat yang akan berlangsung sehari itu, mengambil tempat di Amersfoort. Sebagai anggota Amnesty Inernational Nederland, aku akan hadir dalam rapat umum anggota besok itu. Amnesty Nederland, adalah organisasi HAM di Belanda dan juga di Eropah, yang termasuk besar, banyak anggotanya, dan kuat kasnya. AI- Nederland a.l. didukung oleh Postcode Loterij, yang memberikan sumbangan dana tidak mengikat dalam jumlah yang cukup besar. Berkat dukungan para anggota dan banyak donor, termasuk yang besar seperti Postcode Loterij, maka AI Nederland bisa dengan leluasa melakukan kegiatannya, selain itu bisa memberikan iuran dana barangkali, termasuk yang terbesar, kepada Sekretariat International Amnesty di London. Untuk rapat umum anggota tahunan kali ini, semua anggpta AI, dikirimi ticket (cuma-cuma) kereta api Amsterdam - Amersfoort p.p. Baru kali ini anggota dikirimi ticket kereta api cuma-cuma untuk menghadiri rapat AI. Tetapi ini hanya untuk anggota saja, dan, barangkali, bagi mereka yang mendapat undangan khusus. Sehubungan dengan dana yang diterima ini, harus selalu diingatkan kepada gerakan AI di Nederland, agar benar-benar menjaga 'kebebasannya' dalam kegiatan demi pembelaan HAM di manapun di dunia ini. Agar konsisten berpijak pada prinsip-prinsip HAM, yang tidak membeda-bedakan, kepercayaan religi, aliran politik dan keyakinan para korban pelanggaran HAM. Tidak jarang sumbangan dana dari fihak-fihak tertenu, meskipun resminya tidak diserta syarat apapun, namun, dalam prakteknya, dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi kebijakan gerakan Amnesty International dalam pelbagai kegiatannya. *** Sudah beberapa kali aku menulis kepada dan mengenai Amnesty International Nederland. Maksudnya tidak lain, agar gerakan Amnesty Inernational, sebagai salah satu gerakan dan organisasi HAM besar di dunia ini, JANGAN LUPA PARA KORBAN PELANGGRAN HAM TERBESAR SEKITAR PERISTIWA 1965, di Indonesia. Sampai detik ini, para korban pelanggaran HAM sekitar Peristiwa 1965, di Indonesia, bersama keluarga dan sanak-saudara mereka, yang berjumlah kurang lebih 20 juta orang, masih mengalami diskriminasi yang kejam sekali. Para korban itu masih tetap dikucilkan dalam pelbagai kegiatan masyarakat apalagi dalam kegiatan politik. Mereka masih saja belum dibersihkan dari tuduhan 'subversi' , dari tuduhan terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) yang dikatakan merupakan suatu perebutan kekuasaan oleh PKI. Padahal mereka samasekali tidak tahu-menahu tentang G30S. Mereka adalah warganegara patuh hukum yang setia pada Republik Indonesia dan pemerintah Presiden Sukarno yang ketika itu adalah pemerintah yang sah. Para korban Peristiwa Pelangaran HAM terbesar di Indonesia sekitar 1965, dimana lebih dari sejuta warga (menurut Jendral Sarwo Edhi yang ambil bagian dalam penghancuran PKI dan pengikut atau yang dianggap simpati dengan PKI, jumlah korban yang terbunuh mencapai angka 3 juta), sampai saat ini tak boleh menduduki jabatan-jabatan seperti guru, lurah, bupati, apalagi menteri. Mereka juga tidak boleh jadi anggota legeslatif tingkat manapun. Diskriminasi politik, budaya dan pengucilan dari masyarakat oleh penguasa masih berlangsung terus. Nasib buruk para korban pelanggran HAM terbesar di Indonesia ini, JANGAN SEKALI-KALI DILUPAKAN oleh setiap organisasi masyarakat yang bergerak di bidang HAM, termasuk organisasi AMNESTY INTERNATIONAL. *** Pada tanggal 18 Februari 2006, aku pernah menulis surat terbuka kepada Amnesty International, di London. Dalam surat terbuka itu, aku mendesak kepada AI untuk melakukan investigasi terhadap pembunuhan masal 1965-1966 di Indonesia, yang merupakan suatu kejahatan terhadap kemanusiaan. Agar para pelanggar HAM tsb jangan sampai dibiarkan bebas hukum, agar segala macam peraturan dan tindakan diskriminasi terhadap para keluarga korban segera dihentikan, dan agar orgnisasi-organisai pembelaan korban pelanggaran HAM 1965, di Indonesia, seperti Pakorba, LPKP, LPKROB, YPKP, Tim Kordinator Forum Advokasi dan Rehabilitasi, IKOHI dll, memperoleh lindungan hukum dari penguasa dalam melakukan kegiatan-kegiatan HAM. Kepada AI Nederland, lebih dari sekali diajukan tuntutan serupa. Tetapi sampai sekarang, baik Sekretaruat Internatinal di London maupun AI Afd Nederland, tidak memberikan jawaban formal terhadap tuntutan-tuntutan tsb diatas. *** Menyongsong Rapat Umum Tahunan Anggota AI Nederland besok, diajukan lagi tuntutan, agar organisasi HAM seperti Amnesty International, jangan melupakan para korban pelanggaran HAM terbesar di Indonesia di sekitar 1965, dan para korban HAM lainnya, seperti dalam pelanggaran HAM Peristiwa Tanjung Periok, pelanggaran HAM yang ter
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - TAN MALAKA Oleh DR. HARRY POEZE (2)
Kolom IBRAHIM ISA Minggu, 10 Juni 2007 * * * TAN MALAKA Oleh DR. HARRY POEZE (2) Aku harus berterus terang: Tak terduga samaekalil bahwa ruangan LAK-theater (140 kursi), Universitas Leiden, pada hari Jumát, tanggal 08 Juni, 2007, penuh dengan hadirin pada peluncuran buku DR Harry Poeze, dalam bahasa Belanda, berjudul: (dalam bahasa Indonesianya): - " TAN MALAKA DIHUJAT DAN DILUPAKAN" -- , Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949. Selain Pengurus dan anggota KITLV, yang pada hari yang sama mengadakan rapat tahunan KITLV, para sahabat (termasuk orang-orang Indonesia) dan rekan-rekan Harry Poeze, -- tampak pula banyak mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh (umumnya) post-graduate studies mereka, atau sedang mempersiapkan desertasi untuk PhD mereka masiang-masing. Aku sengaja menanyakan kesan sahabat-sahabat baik yang Belanda maupun yang orang Indonesia, bagaimana kesan mereka mengenai peluncuran buku Harry Poeze itu. Umumnya punya kesan baik. Yang kutanyakan itu semua menganggap bahwa baik pengantar yang diberikan oleh Harry Poeze maupun suasana keseluruhannya adalah baik. Bukan saja karena pada pertunjukkan foto-foto di layar yang dipasang diruangan, dimulai dengan ditayangkannya teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangi oleh Sukarno dan Hatta, tetapi, ini yang paling mengesankan bagiku, adalah diperdengarkannya suara Bung Karno membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Suasana Indonesia jadinya menguasai seluruh pertemuan siang dan sore itu. Dengan diterbitkannya buku Harry Poeze, tidak mungkin orang akan berpendapat lain: Harry Poeze menunjukkan kesungguhan, ketekunan serta dedikasinya yang telah menghabiskan waktu total jendral 30 tahun, termasuk tinggal di Indonesia selama 3 bulan terus menerus (1980), dan beberapa kali mengunjungi Indonesia, untuk meriset dan meneliti tentang tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia Tan Malaka, serta Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia. Poeze menjelaskan bahwa ia juga meneliti arsip-arsip Komintern di Moskow, yang telah memberikan kepadanya pandangan-pandangan baru. *** Hasil riset dan studi sejarah dan biografi Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, ditulis dalam 3 jilid, semuanya setebal 2200 halaman. Disertai pula dengan foto-foto mengenai Bung Karno, Hatta, Syahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka dll tokoh pejuang kemerdekaan yang baru pertama kali ini aku melihatnya. Sayang, ada satu salah muat. Yaitu mengenai sebuah foto Ir Setiadi, mantan Menteri Listrik Negara Kabinet 100 Menteri Presiden Sukarno. Ir Setiadi, ditangkap oleh Jendral Suharto (1966) dengan alasan 'diamankan'. Di salahnya: Di bawah foto Ir Setiadi, ditulis nama S e t i a d j i t . Jelas teks dan foto tidak cocok. Maksud Poeze adalah memasang foto Setiadjit, tapi yang dipasang foto Ir Setiadi. * * * Betapa tidak senang hati menyaksikan begitu banyak perhatian hadirin terhadap masalah sejarah Indonesia, khusususnya sejarah gerakan Kiri Indonesia dan salah satu tokoh utamanya, Tan Malaka. Terlepas apakahorang setuju atau tidak setuju dengan hasil penelitian dan studi Dr Poeze itu, tiga jilid karya Poeze itu merupakan sumbangan terhadap khazanah literatur mengenai sejarah Indonesia. Perhatian terhadap masalah sejarah Indonesia, seperti yang terlihat dari kehadiran orang-orang Indonesia dan para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di belanda, melegakan hati dan menggembirakan. Setelah kutulis mengenai akan diluncurkannya buku Harry Poeze, kontan ada reaksi dari Indonesia. Mereka menyambut terbitnya buku studi biografi dan sejarah seperti yang ditulis oleh Harry Poeze. Seorang kawan dekat bahkan sudah tidak sabar lagi menunggu, ingin cepat membacanya. Buku itu begitu tebal, tiga jilid dan kalau dibawa dengan tangan terasa sekali beratnya yang 3,5 kg itu. Entah kapan buku Harry Poeze itu akan sampai ketangan pembaca Indonesia di Indonesia, belum ada yang tahu. Belum lagi harganya yang tidak murah. Ketika kusampaikan kepada Poeze pada peluncuran itu, bahwa ada teman-teman di Indonesia yang sudah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu dalam penerbitan edisi bahasa Indonesia, dengan riang dan cerah Poeze menyatakan: 'Itu sudah pasti, itu sudah pasti'. Poeze menjelaskan bahwa dana untuk itu sudah tersedia. Dikatakannya selanjutnya bahwa menurut fikirannya, sebaiknya edisi bahasa Indonesia dari bukunya itu, tidak terbit sekaligus tiga jilid. Berangsur-angsur, dari jilid pertama, kemudian sesudah beberapa saat lamanya, jilid kedua. Baru beberapa saat kemudian lagi diterbitkan jilid ke-3. Tidak diragukan penerbitan edisi bahasa Indonesia akan disambut oleh masyarkat, teristimwa masyrakat pencinta sejarah dan para pakar dan siswa yang menggeluti masalah sejarah Indonesia. * * * Tulisan ini pasti bukan suatu resensi tentang buku Harry Poeze tsb. Sekadar sedikit memperkenalkan tentang adanya buku yang dengan teliti telah disusun oleh seorang pakar Belanda. Meskipun fokus utam
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - TAN MALAKA Oleh HARRY A. POEZE
Kolom IBRAHIM ISA 01 JUNI 2007 TAN MALAKA Oleh HARRY A.POEZE <08 Juni 2007> Beberapa hari yang lalu aku ditilpun oleh sahabatku Sucipto Munandar, ia mengingatkan bahwa pada tanggal 08 Juni yad, pada kesempatan Rapat Tahunan KITLV, di Leiden, akan diluncurkan karya (luar biasa) Dr Harry A. Poeze, kenalan baikku, berjudul: < VERGUISD EN VERGETEN> TAN MALAKA, De Linkse Beweging En De Indonesische Revolutie, 1945- 1949 -- Drie delen in cassette, XVII+VI+VI+2194 HLM TAN MALAKA, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949 Sucipto Munandar tertarik dengan acara peluncuran buku Harry A. Poeze itu dan berniat akan datang. Ia mengajak aku bersama-sama hadir pada hari peluncuran buku tsb di LAKtheater, Leiden. Kebetulan Sucipto dan aku, dua-dua kami anggota KITLV. Kami akan datang. Tidak lama kemudian datang e-mail dari sahabatku Dr. Harry A. Poeze. Ia menyampaikan berita yang sama seperti yang kuterima dari Sucipto. Harry Poeze berfikir bahwa di kalangan pembaca-pembacaku akan banyak perhatian mengenai buku tentang TAN MALAKA itu. Pendapat Poeze itu tak meleset. Perhatian terhadap tokoh Tan Malaka cukup besar di kalangan orang-orang Indonesia, apalagi para pencinta sejarah dan sejarawannya. Buku Harry Poeze itu pasti akan disambut dengan rasa syukur, karena besarnya perhatian dan kepedulian pakar Belanda seperti Harry A. Poeze terhadap masalah sejarah bangsa Indonesia. Dr. Harry A. Poeze, direktur KITLV PRESS, dengan hangat menyambut kedatangan para sahabat Indonesia di LAKtheater, Leiden pada peluncuran buku tentang Tan Malaka pada tanggal 08 Juni nanti itu. Pada presentasi buku nanti, juga akan dipamerkan foto-foto, dipertunjukkan film dan diperdengarkan suara. Dikatakan bahwa juga akan diperdengarkan beberapa lagu revolusioner Indonesia, yang pada masa Orba dilarang diperdengarkan di Indonesia. *** KITLV PRESS memperkenalkan Tan Malaka, antara lain sbb: Tan Malaka yang misterius dan legendaris itu muncul lagi, segera sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agusutus 1945, sesudah 20 tahun dibuang dan melakukan kegiatan di bawah tanah. Tan Malaka mengajukan suatu alternatif radikal terbanding arah moderat Soekarno dn Hatta, para pemimpin Republik Indonesia. Tetapi ia kalah dan dalam bulan Maret 1946 ia ditangkap. Baru dalam bulan September 1948 ia bebas. Kemudian ia mendirikan Partai Murba, yang dimaksudkan mengambil tempat PKI yang dikalahkan dalam peristiwa Madiun. Setelah agresi II Belanda, Desember 1948, Tan Malaka melancarkan perlawanan gerilya; dalam bulan Februari 1949 Tan Malaka ditembak mati pada suatu perhitungan intern. Ditulis KITLV PRESS selanjutnya: Jalan hidup Tan Malaka sering terselubung misteri --- dalam buku Harry A Poeze misteri ini sebagian besar diungkap-uraikan, umpamanya, dimana dan siapa yang membunuh Tan Malaka. Peranan terkemuka selama Revolusi Indonesia -- aktif dan sebagai lambang - membuatnya menjadi perlu untuk menulis secara luas perkembangan politik di Republik dan di dalam gerakan kiri yang tercerai-berai. Dalam banyak hal mengenai peristiwa yang menentukan di dalam Revolusi (Indonesia) diberikan data-data dan visi yang baru. Dalam epilog yang luas diikuti peristiwa-peristiwa petualangan buah karya Tan Malaka, Partai Murba dan mengenai kehidupan Tan Malaka sendiri, yang baru sesudah dimulainya pemilahan pada gambaran buku 'DIHUJAT DAN DILUPAKAN'. * * * Harry A. Poeze (1947) adalah Direktur KITLV PRESS. Ia meraih gelar PhD di Universitas Amsterdam (1976) dengan tema desertasi penulisan Biografi Tan Malaka sampai dengan 1945. Tulisan Harry Poeze yang terkenal di kalangan para pakar Indonesia antara lain, adalah SUKARNO'S POLITICAL TESTAMENT, dan serentetan kertas-kerja maupun artikel mengenai Indonesia. Tiga jilid yang sekarang ini didasarkan atas penelitian yang berlangsung dengan banyak penundaan sampai pada saat ia tinggal di Indonesia untuk studi tsb dalam tahun 1980. Demikian Penerbit KITLV. * * * Pekerjaan riset dan kemudian penulisan oleh Harry A Poeze tsb, hematku adalah suatu prestasi yang terpuji. Dengan bukunya itu, Dr. Harry A. Poeze telah memberikan sumbangan penting pada khazanah literatur asing mengenai Indonesia, khususnya mengenai Tan Malaka, gerakan kiri Indonesia dan Revolusi Indonesia. Aku belum berani berkomentar lain, karena belum memiliki dan belum membaca buku tsb. Satu hal jels, kuanjurkan pada teman-teman, pada pembaca, untuk meluangkan waktu untuk menghadiri peluncuran buku Dr. Harry A. Poeze tsb: Pada tanggal 08 Juni 2007, jam 15.30 s/d jam 17.00 di LAKtheater, Cleveringaplaats 1, Leiden. Syukur-syukur pembaca juga bisa memilikinya. Suatu berkah untuk memiliki buku penting seperti itu.(meskipun harganya tak murah -- Euro 99,90). * * *
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - BANGKITNYA Suatu NASION INDONESIA
Kolom IBRAHIM ISA Rabu, 30 Mei 2007 BANGKITNYA Suatu NASION INDONESIA SEKEDAR PENJELASAN: Menjelang musim semi yang lalu, Ny. Johanna Lederer, Ketua Perkumpulan Persahabatan Perancis-Indonesia, Paris, minta aku menulis sebuah artikel yang bersangkutan dengan (bangkitnya) BANGSA INDONESIA, bangsa kita. Tulisan itu akan diterbitkan dalam majalah khusus mereka bernama 'LE BANIAN'; pada kesempatan penerbitan khusus JUBILIUM. 'Le Banian', menurut keterangan dalam bahasa Perancisnya adalah: 'Publication de l'association franco-indonésienne Pasar Malam. Selanjutnya dijelaskan bahwa: L'association franco-indonésienne publie tous les 6 mois un journal Le Banian qui traite de l'Indonésie : analyses littéraires, faits de société, poèmes, nouvelles, monographies, etc. Dengan sendirinya, terasa mendapat kehormatan, suatu Perkumpulan Persahabatan Perancis-Indonesia, minta aku menulis tentang BANGSA INDONESIA, dalam sebuah majalah Perancis, 'LE BANIAN', yang menerbitkan NOMOR JUBELIUM-nya. Permintaan Mrs Johanna Lederer, kuterima dengan senang hati. Ini suatu kesempatan baik, fikirku, untuk sedikit menjelaskan kepada pembaca 'Le Banian', yang adalah orang-orang Perancis, mengenai bangkitnya bangsa kita, BANGSA INDONESIA. Artikel yang kutulis itu, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Dan akan disiarkan dalam bulan Juni 2007 ini, khususnya tertuju kepada orang-orang Perancis dan pembaca lainnya yang berbahasa Perancis. Ketika membaca tulisan ini, harap pembaca memaklumi, bahwa tulisan ini pertama-tama dimaksudkan untuk masyarakat Perancis, dalam rangka memperkenalkan secara singkat dan pokok-pokok tentang bangsa kita. Dan tanggapan penulisnya, tentu. Mudah-mudahan berguna juga bagi pembaca Indonesia, khususnya kaum mudanya. Sengaja teks bahasa Perancis penjelasan oleh Le Banian dalam paragraf berikut ini, tidak kuterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Maksudnya agar pembaca berusaha memahaminya sendiri (tak sulit, kok). Atau tanya-tanyalah pada kenalan yang mengerti bahasa Perancis. Bisa kan? 'Le Banian est une publication de l'association franco-indonésienne Pasar Malam, à la fois consacrée à la vie intellectuelle en Indonésie ou en lien avec l'archipel et « généraliste », dans la mesure où chaque numéro propose des poèmes, monographies, études sociologiques, articles de fond sur la vie culturelle, nouvelles ou extraits de romans, etc. le tout en français. Si cette revue cherche à distraire agréablement, son objectif ultime est de faire connaître la littérature indonésienne en France et de donner envie aux éditeurs de publier davantage d'oeuvres indonésiennes en français. C'est pour cela que chaque numéro comporte une nouvelle ou un extrait de roman d'un auteur indonésien, traduit par nos soins en français. * * * BANGKITNYA Suatu NASION INDONESIA Oleh: IBRAHIM ISA, Sekretaris Wertheim Foundation - Leiden-Amsterdam. Seorang kawan pernah bertanya: Kapan pada Anda timbul kesadaran kebangsaaan Indonesia? Masih samar-samar teringat, pada umur 11 th , ketika bersama kakak iparku, kami menghadiri rapat umum GERINDO, di Gg Kenari, Salemba. Suasananya siap-siap menghadapi kemungkinan meletusnya Perang Pasifik, dan Jepang menyerbu Hindia Belanda. Masih terbayang betapa penuh sesaknya ruang rapat umum. Para hadirin banyak yang memakai kopiah, seperti kopiah Bung Karno. Menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang berbangsa Indonesia. Kesan kuat yang tinggal adalah suasana KEBERSAMAAN sebagai orang-orang Indonesia. Kuingat-ingat lagi, betullah bahwa kesadaran kebangsaan itu, tak terlepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan kakak-iparku itu. Ternyata kemudian memang kakak-iparku itu adalah anggota PNI (Bung Karno). Semangat kebangsaan yang ditanamkan pada rapat GERINDO itu, dipupuk lebih lanjut pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Ketika itu secara teratur anak-anak muda seperti aku, beramai-ramai mengikuti rapat-rapat raksasa yang diadakan untuk mendengarkan pidato-pidato politik Bung Karno. Masih teringat betul bagaimana Bung Karno dengan gaya pidatonya yang amat menarik dan mencengkam, memberikan pendidikan politik kepada hadirin, mengenai kesadaran berbangsa serta menanamkan cita-cita mencapai kemerdekaan bagi Indonesia. Pendidikan kesadaran berbangsa, patriotisme, cinta tanah air, membenci kolonialisme, paling mendalan terjadi semasa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Ambil bagian langsung dalam revolusi kemerdekaan telah menanamkan dan memperkuat semangat cinta pada tanah air dan bangsa. Dibarengi dengan semangat benci serta berlawan terhadap kekuasaan asing (Jepang, Inggris dan Belanda) yang ingin mengembalikan Indonesia sebagai koloni Belanda seperti pada zaman Hindia Belanda, pada masa pra-Perang Pasifik. Kiranya, sebagian besar pemuda-pemuda Indonesia yang sebaya dengan aku ketika itu, memperoleh pendidikan semang
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - WOLFOWITZ . . . . . YANG 'PANDAI JATUH' .
Kolom IBRAHIM ISA Senin,28 Mei 2007 - WOLFOWITZ . . . . . YANG 'PANDAI JATUH' . . Dan Politik 'Cari Muka' Wakil Indonesia Pagi ini BBC menyiarkan wawancara presiden Bank Dunia Paul Wolfowitch, yang sebentar lagi akan léngsér. Wolfowitz merasa perlu untuk membela diri. Lewat BBC, ia mengaku bahwa selama dua tahun menjabat sebagai direktur World Bank, ia telah melakukan fungsinya dengan 'baik' dan 'etis . Dan bahwa selama periode jabatannya itu, ia telah melakukan tugasnya dengan 'itikad baik'. Yah lah, itu 'kan kata Wolfowitz sendiri. Inilah apa yang yang dikatakan orang, Wolfowitz adalah manusia yang 'PANDAI JATUH'. Sudah bisa diduga sebelumnya bahwa Wolfowitz tidak akan menjelaskan pendapat-pendapat yang mengecam kebijakasanaannya, yang dikatakannya sebagai situasi 'emosi yang memanas'. Kritk-kritik itu tidak saja datang dari jurusan media dan sementara kalangan diluar Bank Dunia, tetapi juga dari 'kalangan dalam' Bank Dunia sendiri. Tapi itu menurut Wolfowitz semata-mata 'suasana' yang dibikin-bikin. Seperti banyak dikemukakan oleh media AS sendiri maupun mancanegara, lebih-lebih Eropah, pendapat dan kecaman terhadap Wolfowitch tidak terbatas sekadar pada kasus menyangkut paket promosi dan kenaikan gaji meroket yang ia atur untuk pacarnya Shaha Riza, seorang karyawati bank. * * * Untuk memulai: --. Banyak kalangan sudah lama merasa tidak 'sreg'. Merasa sudah bukan zamannya lagi keadaan berikut ini: Dengan pertimbangan bahwa kucuran 'iuran' dana untuk Bank Dunia, menurut perbandingan jumlah terbesar berasal dari AS, maka, sudah otomatis bahwa jabatan direktur Bank Dunia, tersedia bagi (atau dimonopoli oleh) orang Amerika. Orang yang ditunjuk oleh pemerintah AS. Banyak kalangan sudah terang-terangan mengajukan fikiran, seyogianya tidak mesti direktur Bank Dunia harus selalu dijabat oleh orang Amerika. Bisa juga dari negeri lain. Lihat-lihat kemampuan dan kredibilitasnya. Suara santer demikian itu, datang terutama dari jurusan Uni Eropah. Dikatakan sbb: Sekjen PBB saja, bisa dijabat oleh orang-orang dari pelbagai bangsa, mengapa pula untuk jabatan Bank Dunia yang juga merupakan lembaga dunia , tidak bisa dipegang oleh bangsa lain. 'VISI' DAN 'MISI' BANK DUNIA Ada pendapat yang mengatakan, bahwa Bank Dunia, menurut misi dan visinya, diukur menurut kecenderungan fikiran di dunia, bisa dibilang termasuk visi yang 'Kiri'. Karena ia ditujukan terutama untuk mengatasi, mencari jalan keluar, dari kemiskinan dunia dewasa ini. Sampai dimana Bank Dunia dikatakan punya misi 'Kiri', tentu terbuka bagi diskusi yang luas. Bank Dunia mengaku bahwa orientasinya adalah pada negeri dan rakyat miskin. Mari kita lihat sekilas, penjelasan yang umum diberikan mengenai Bank Dunia sbb: Bank Dunia, didirikan beberapa bulan seusai Perang Dunia II, resminya pada 27 Desember 1945, mencakup badan-badan 'International Bank for Reconstruction and Development' (IBRD), dan 'Inernational Development Association' (IDA), sedangkan yang dimaksudkan dengan 'Grup Bank Dunia', adalah kolektif lembaga-lembaga internasional tsb. WBG - 'World Bank Group' , merupakan kolektif organisasi yang meliputi 5 organisasi internasional, dua organisasi tsb terdahulu dan 3 lembaga finans international lainnya. Mereka itu bertanggung jawab untuk memberikan dana dan saran kepada pelbagai negeri mancanegara dengan tujuan perkembangan ekonomi dan untuk MENGHAPUSKAN KEMISKINAN. Meskipun lembaga-lembaga keuangan internasional tsb sudah berdiri lebih dari setengah abad, namun, MISINYA UNTUK MENGHAPUSKAN KEMISKINAN MASIH MERUPAKAN CITA-CITA DI ATAS KERTAS. Tokh, di lihat dari segi misinya, memang bisa jugalah dikatakan itu pandangan yang dianggap sesautu yang 'KIRI', atau yang populis. * * * Tapi, dengar apa kata mantan Presiden Nyerere dari Tanzania, sebuah negeri berkembang di Afrika Timur. Nyerere lebih dari sekali melancarkan kritik terhadap kebijaksanaan Bank Dunia dan IMF,. Dikatakan bahw tujuan Bank Dunia adalah untuk MENGHAPUSKAN KEMISKINAN, tetapi beleid-beleid kongkrit Bank Dunia membikin negeri-negeri yang 'dibantu itu' nyatanya semakin banyak utangya. Semakin miskin. Demikian Nyeree. Bank Dunia juga dikritik, karena selalu dengan gampang-gampangan mengajukan syarat (klasik) kepada negeri-negeri berkembang yang memerlukan 'bantuan' dana Bank Dunia. Sebelum menerima 'bantuan dana' Bank Dunia negeri-negeri tsb harus membuka pasar dalam negeri mereka lebar-lebar bagi masuknya modal dan barang impor dari luar. Negeri-negeri tsb diharuskan menghapuskan subsidi negara pada misalnya komiditi beras, gandum, bahan bakar, dll kebutuhan pokok rakyat. Padahal subsidi tsb dimaksudkan untuk menopang daya b
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA -- MUNIR DAN AUNG SAN SUU KYI
IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA Jum'at, 25 mei 2007. - KASUS MUNIR DAN AUNG SAN SUU KYI DI MEDIA MANCANEGARA Beberapa wartawan/penulis karyawan RADIO HILVERSUM, atau resminya RADIO NEDERLAND, SEKSI BAHASA INDONESIA (RANESI), seperti Tossi, Mung Murbandono,Eka Tanjung dan Bari Muchtar, kukenal baik. Mereka berusaha menulis dengan 'obyektif'. Menurut penjelasan mereka sendiri, Radio Hilversum, bukan 'His Master's Voice' . Maksudnya bukan suara pemerintah, seperti VOA. RANESI, mengaku, mengambil sikap bebas dalam pemberitaannya. Kira-kira lebih mirip dengan BBC, begitu. Namun, sebaiknya biarlah pendengar Radio Hilversum sendiri memberikan penilaiannya, apakah Radio Hilversum itu benar obyektif. Apakah benar mereka tidak meletakkan kepentingan Belanda diatas kebenaran dan obyektifitas. Ulasan-ulasan pers Radio Hilversum kali ini, mengenai Aung San Suu Kyi, yang mengutip dua s.k. Amerika, 'The International Herald Tribune', maupun mengenai Munir, yang mengutip harian 'The Los Engeles Times', kufikir berusaha ditulis dengan obyektif. * * * Dalam dua kasus tsb baik mengenai Munir maupun mengenai Aung San Suu Kyi, siapapun yang bermata jeli, akan melihat, bahwa pembawa bencana, jelas sekali adalah penguasa. Mengenai pembunuhan terhadap Munir, memang harus ditunjukkan bukti-bukti (meskipun penguasa berusaha untuk menyembunyikannya), bahwa benarlah adanya, adalah penguasa itu sendiri, melalui badan rahasianya, adalah dalang sesungguhnya pembunuhan terhadap aktivis dan pejuang HAM Indonesia Munir. Sedangkan mengenai kasus Aung San Su Kyi, apakah masih diperlukan penjelasan lagi bahwa rezim militer Myanmar, junta militernya, adalah suatu rezim yang tidak peduli pada hak-hak azasi manusia, dan hak-hak demokrasi. Dalam pemilu beberapa tahun yang lalu, rakyat Myanmar sudah menjatuhkan pilihannya pada Aung San Suu Kyi, untuk memimpin negara dan bangsa. Tetapi para jendral dari junta militer Myanmar itu, kasarnya, telah meludahi suara rakyatnya sendiri. Aung San Suu Kyi malah dipenjarakan dan kemudian dikenakan 'tahanan rumah', kebebasannya direnggutkan dengan cara lain. Kita ingat selalu betapa Presiden Sukarno dikenakan 'tahanan rumah sampai mati' oleh Jendral Suharto. Anéhnya, dan juga memalukan sekali, adalah sikap negeri-negeri ASEAN. Mereka kumpul-kumpul itu, terbukti, hanya untuk pamer saja. Dengan dalih 'tidak mencampuri urusan dalam negeri' masing-masing, mereka secara hakiki tidak berbuat apa-apa untuk membela demokrasi di Myanmar. Yang mereka utamakan adalah cari-cari peluang bagi masing-masing penguasa dan dunia bisnisnya, melalui asosiasi ASEAN tsb sebanyak mungkin menarik keuntungan ekonomi, yang tokh akirnya keuntungan utamanya tidak untuk kepentingan rakyat banyak. Bagi penguasa Indonesia lebih parah lagi, lebih memalukan lagi. Karena bukankah, kalau tidak salah, Indonesia jadi anggota Komisi HAM PBB? Lalu, apa peranannya dalam meembela HAM, hak-hak manusia dari manusia pejuang HAM Munir dan hak manusia Aung San Suu Kyi? Kebalikannya yang terjadi. Dari sumber yang boleh dipercaya, terbetik informasi mengenai sikap Indonesia di World Bank. Yang juga memalukan. Menurut info tsb, wakil Indonesia di World Bank, bersama wakil Pakistan, telah memberikan suara simpati dan dukungan Indonesia kepada Direktur World Bank Wolfowitch untuk bertahan terus sebagai direktur Bank Dunia. Padahal direktur World Bank Wolfowich tsb telah digugat dari segala penjuru dan dituntut supaya mundur, karena ulahnya, yang orang Belanda bilang terlibat dalam 'vriendjes politiek', atau 'nepotisme', 'meng-anakmaskan pacarnya sendiri'. Dalam hal ini kita lihat betapa dua surat kabar Amerika seperti juga, Radio Hilversum, media mancangera, memberikan suara yang boleh dibilang ada simpati pada pejuang-pejuang kebenaran dan keadilan, Munir dan Aung San Suu Kyi. * * * Maka kusarankan pembaca yang kebetulan tidak mengikuti siaran Radio Hilversum, membaca kutipan di bawah ini. Inilah ulasan Radio Hilversum yang dimaksud itu: PENINDASAN TERHADAP HAK SUCIWATI JADI KENDALA TEMUKAN KEBENARAN Kita beralih ke laporan tentang ancaman-ancaman terhadap istri Munir, yang muncul di harian The Los Angeles Times. Laporan itu berjudul Mencari Keadilan di Indonesia untuk Munir. Istri Munir dikenai banyak ancaman dalam mencari jawaban. Penyidikan yang diperbarui adalah ujian bagi presiden. Ancaman-ancaman berupa surat kaleng ataupun melalui telepon, isinya tetap sama: "Hentikan menyalahkan militer Indonesia atas pembunuhan suamimu, atau kau menjadi korban berikutnya." Ancaman pengecut itu selalu muncul sebelum Suciwati pergi keluar negeri, untuk mencari dukungan pemerintah-pemerintah manca negara atas perjuangannya mencari keadilan. The Los Angeles Times mengutip Suci yang mengungkapkan para pengancam yang tidak berani tampil itu mencapnya sebagai pengkhianat bangsa dan merusak kesatuan
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -SAHABAT KAMI - JOMO KWAME SUNDARAM
IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA Rabu, 23 Mei 2007 -- SAHABAT KAMI - JOMO KWAME SUNDARAM Dengan diberkahi cuaca indah musim semi, kehangatan sinar sang surya disela tiupan angin sepoi-sepoi basa, Senin kemarin dulu itu, berempat kami, --- Anggota-anggota Bestuur Wertheim Foundation: Coen Holtzappel, (Ketua); Jaap Erkelens, Farida Ishaya dan aku, menyempatkan diri bertemu di 'Hotel Residence Le Coin', Doelenstraat 5, Amsterdam. Wakil Ketua Wertheim Foundation Go Gien Tjwan tak hadir karena kesehatan. Sedangkan anggota pengurus Frans Hüsken dan Batara Simatupang, karena terhalang datang disebabkan oleh pekerjaan. Acara kami: Menemui dan bercakap-cakap dengan sahabat kami, Prof. Dr Jomo Kwame Sundaram (55 th). Selanjutnya kita pakai nama yang biasa digunakannya sendiri: JOMO KS. Kukatakan sahabat kami, karena, dalam tahun 2005, kami dari Wertheim Foundation, pernah minta kesediaan beliau untuk duduk dalam Komisi Seleksi Internasional, dikepalai oleh Prof. Dr Jan Breman, yang tugasnya ialah, menseleksi dan mengusulkan nama-nama tokoh-tokoh Indonesia yang patut dianugerahi 'Wertheim Award' oleh Wertheim Foundation, karena keterlibatan dan dedikasi demi urusan IMANSIPASI BANGSA INDONESIA. Komisi berjalan lancar. Atas usul Komisi Internsional tsb Wertheim Foundation telah menganugerahkan'Wertheim Award 2005' kepada dua orang tokoh jurnalis dan penerbit: Jusuf Isak, jurnalis pemimpin HASTA MITRA, serta Goenawan Muhamad, budayawan mantan pemimpin Redaksi Mingguan Tempo, untuk partisipasi dan sumbangan mereka dalam perjuangan demi hak dengan bebas menyatakan pendapat dan menerbitkan serta untuk hak-hak demokrasi di Indonesia. Jomo KS, datang dari tempat kerjanya di Kantor Sekretariat Jendral PBB, di New York, untuk memenuhi undangan 'The Amsterdam School for Social Science Research'(ASSR) bersama dengan 'International Institute for Asian Studies' (IIAS), dalam rangka ceramah yang akan diberikan pada 'The 17th Wertheim Lecture', tanggal 21 Mei 2007 di lokasi Waalse Kerk, Walenpleintje, Amsterdam, tidak jauh dari hotel dimana Jomo KS bermalam bersama istrinya. 'Wertheim Lecture' tahunan, dimulai pada 2006, diselenggarakan bersama oleh ASSR dan ASiA/IIAS. 'The Amsterdam School for Social Science Research' (ASSR) adalah suatu 'national research school' dan merupakan lembaga riset dari Universitas Amsterdam. Sedangkan Asian Studies di Amsterdam merupakan inisiatif Dewan Universitas Amsterdam dan IIAS (Leiden). Penjelasan tsb diatas kiranya perlu juga untuk memperoleh gambaran badan apa yang mengundang sahabat kita Jomo KS. * * * Yang menjadi alasan utama 'Wertheim Foundation' mengatur pertemuan dengan Jomo KS, ialah karena ada soal penting yang perlu kami rundingkan dengan beliau. Ini sehubungn dengan rencana 'Wertheim Foundation' pada tahun 2008 yad menyelenggarakan PERINGATAN 100 TAHUN LAHIRNYA WERTHEIM, serta Ultah ke-10 meninggalnya Prof. Dr W.F. Wertheim. Masalah itulah yang kami bicarakan dengan Jomo KS. Dari percakapan kami, Wertheim Foundation, dengan Jomo KS kemarin itu, kami telah memperoleh input berharga dalam rangka memberikan isi yang lebih baik lagi pada Peringatan 100 tahun Wertheim tahun depan. * * * Ini sebagai inetrmezo saja: Yang bertukar fikiran di ruang-baca Hotel Residence Le Coin itu, terdiri dari: Jomo KS, orang Malaysia; dua Belanda anggota Pengurus Wertheim Foundation, yang bulé, Coen dan Jaap. Lalu dua lagi, Farida dan aku. Farida Ishaya dan aku, jelas berwarganegara Belanda. Dengan catatan penting, bahwa, kewarganegaraan Belanda kami itu, samasekali tak sedikitpun mengurangi kepedulian dan keterlibatan kami pada Indonesia, kini dan masa depannya. Kedudukan orang-orang seperti kami, sesungguhnya memberikan peluang bagus, untuk ambil bagian dalam usaha membina saling mengerti yang lebih baik lagi, serta persahabatan antara bangsa Indonesia dengan bangsa Belanda. Tanpa disadari diskusi yang berlangsung dengan lancar dan interesan, pada siang itu, pada pokoknya dilakukan dalam bahasa Indonesia. Sesekali disela-sela bahasa Inggris. Soalnya, Jomo KS yang berbangsa Malaysia itu, disebabkan bahasa Melayu adalah 'saudaranya' bahasa Indonesia, maka ia fasih berbahasa Indonesia. Jomo amat perduli dengan negeri kita, dan berkali-kali ke Indonesia. Ia tahu situasi Indonesia, kenal baik dengan Gus Dur, Jusuf Isak dan banyak lagi teman-temannya orang Indonesia. Indonesia sudah seperti tanah air yang kedua bagi Jomo KS. Ketika kami tiba di Hotel, ternyata ia sudah ada di ruang penerimaan tamu. Sambil berjabatan tangan dinyatakannya dengan sapaan : 'Apakabar Pak Isa'. Tahun sembilan-puluhan, kita kan pernah bertemu di Utrecht, katanya. Nah, itu kan bahasa Indonesia? Kami terus berbincang-bincang dalam bahasa Indonesia. Coen dan Jaap yang adalah orang-orang
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - SUMBANGAN BERMUTU BAGI Literatur Sosialisme(2)
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 18 Mei 2007 --- SUMBANGAN BERMUTU BAGI Literatur Sosialisme(2) Seperti diberitakan di Jakarta, pada tanggal 03 Mei 2007 y.l. telah diluncurkan karya ilmiah Karl Marx dan F. Engels, DAS KAPITAL III. Karya besar dan klasik tsb diterbitkan oleh Penerbit 'HASTA MITRA', dengan dukungan 'THE GLOBAL JUSTICE'. Penterjemah ke dalam bahasa Indonesia Das Kapital Jilid III, sebagaimana halnya untuk Das Kapital Jilid I dan II, adalah OEI HAI DJOEN. Yang memberikan sambutan/pengantar pada peluncuran Das Kapital Jilid III tsb a.l. adalah Sucipto Munandar, Ketua Harian Yayasan Azië Studies, Onderzoek en Informatie, Amsterdam. Berikut ini adalah bagian kedua dan terakhir dari Pengantar Sucipto Menandar, pada Peluncuran Das Kapital III, yang berlansung pada tanggal 03 Mei 2007 yl di Jakarta. Silakan lanjutkan baca ulasan SUCIPTO MUNANDAR. Pengantar tsb meskipun singkat, tetapi BERBOBOT dan analitis, diproyeksikan pada situasi internasional dan Indonesia dulu dan sekarang. * ** KATA PENGANTAR SUCIPTO MUNANDAR Pada PELUNCURAN DAS KAPITAL JILID III (BAGIAN II) - (Bg-I Kata Pengantar tsb diatas, telah disiarkan dalam Kolom Ibrahim Isa, kemarin tg 17 Mei 2007) * * * Memang lebih dari satu abad memisahkan kita dari terbitnya karya besar Karl Marx itu. Tapi sumbangan Marx dalam membahas, menganalisis serta mengungkap hukum-hukum umum dalam sistem ekonomi kapitalisme tidak surut dengan beralihnya waktu. Tak terbantahkan bahwa bagi siapapun yang ingin memahami sistem ekonomi kapitalisme, karya Kapital Marx menjadi acuan pokok sampai saat ini, baik bagi yang mendukungnya maupun bagi yan mau membantahnya. Almarhum Prof. W.F. Wertheim, seorang warganegara Belanda, seorang ilmuwan dan pakar Indonesia terkemuka, pernah mengkiaskan `dengan berdiri di atas bahu Karl Marx memungkinkan aku menatap lebih jauh ke depan'. Sampai saat ini hasil pemikiran Karl Marx berdampak pada kehidupan bermasyarakat kita. Abad ke-20 menyaksikan meletusnya dua Perang Dunia Besar 1914-1918 dan 1939-1945 yang makan korban jutaan manusia dan menyengsarakan ratusan juta manusia di seluruh dunia. Sumber dan penyebab kedua perang dunia itu adalah imperialisme. Akar imperialisme ada pada sistem kapitalisme yang telah dianalisis dan dipaparkan oleh Karl Marx dalam karya utamanya. Sementara itu, sejak akhir Perang Dunia I dan khususnya sesudah Perang Dunia II, bangkit pergerakan rakyat semakin luas melawan kapitalisme/imperialisme demi menggantikannya dengan sistem masyarakat lebih adil dan manusiawi, masyarakat sosialis. Pergerakan ini langsung dijiwai oleh gagasan Marx yang dipaparkan dalam karya Das Kapital dan karya-karya lainnya. Lahirlah negeri sosialis USSR dan sejumlah negeri sosialis di Eropah Timur. Di Asia berdiri Republik Rakyat Tiongkok, Republik Rakyat Demokratik Korea, Republik Sosialis Vietnam. Di benua Amerika tetap tegak Republik Kuba yang terus berjuang mewujudkan masyarakat sosialis. Pada akhir tahun 1980-an kita saksikan lagi perubahan dan pergolakan besar di skala internasional. Uni Soviet runtuh dan berbagai republik yang tadinya tergabung dalam negeri itu menjadi republik-republik berdiri sendiri. Republik Federasi Sosialis Yugoslavia (Socialist Federal Republic of Yugoslavia juga buyar tercerai-berai melalui empat macam perang berdarah, menjadi republik-republik sendiri. Jerman Timur telah lebur dalam Republik Federasi Jerman. Negeri-negeri Eropah Timur lainnya semua sudah beralih ke sistem kapitalisme. Kapitalisme menjadi sistem global meliputi seluruh dunia, seakan tiada lagi tempat untuk sistem masyarakat yang lain selain kapitalisme. Fukuyama mengexpresikannya sebagai `the end of history'(`berakhirnya sejarah'). Apakah ini realitasnya? Untuk mayoritas rakyat di kebanyakan negeri di dunia ini kapitalisme, lebih-lebih dalam wujud neo-liberalisme, berarti kesengsaraan dan kemiskinan, bukan kesejahteraan rakyat banyak. Tak putus-putus rakyat mencari jalan keluar dari kesengsaraan ini mengusahakan sistem masyarakat yang akan melenyapkan ketimpangan ekonomi, sosial dan politik, suatu masyarakat yang dapat membawa kesejahteraan untuk rakyat banyak. Di berbagai negeri di Amerika Latin rakyat tidak menikmati kebaikan-kebaikan kapitalisme. Malah kapitalisme neoliberalisme lebih memperberat penindasan atas rakyat. Berkembanglah gerakan-gerakan sosial rakyat yang melawan penindasan dan ketimpangan itu. Melalui pemilihan umum terpilih pemimpin-pemimpin beraliran kiri seperti di Brasil, Venezuela, Cili, Bolivia dan Ekuador, membantah `blessings' dari globalisasi kapitalisme. Di Indonesia pergerakan dan perjuangan untuk kemerdekaan nasional berhadapan langsung dengan kolonialisme Belanda -- perwujudan imperialisme dari expansi kapitalis Belanda. Wajarlah bahwa ideologi pergerakan kemerdekaan nasional ini dipengaruhi gagasan-gagasan Karl Marx. Tokoh-tokohnya, mulai dari
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- SUMBANGAN BERMUTU PRO LITERATUR SOSIALISME
Kolom IBRAHIM ISA - Kemis, 17 Mei 2007 SUMBANGAN BERMUTU PRO LITERATUR SOSIALISME di INDONESIA ( Bagian-1 ) * * * Memang agak anéh kedengarannya, tetapi benar! Generasi muda kita sekarang banyak yang tidak tau, bahwa Indonesia pernah mengalami kehidupan di bawah sistim demokrasi parlementer pada periode Presiden Sukarno. Ini berlangsung sampai 5 Juli 1959, ketika Presiden Sukarno dengan keterlibatan dan dukungan TNI, memaklumkan DEKRIT PRESIDEN Kembali Ke UUD 1945. Sampai ketika itu di negri kita terdapat kebebasan berbicara, kebebasan pers, berorganisasi, berparpol, ada hak berdemo dan mogok. Ada pemilu yang 'lubér'. Ada parlemen yang pada pokoknya berfungsi sebagai badan legeslatif, pembuat uu serta mengontrol pekerjaan pemerintah, punya wewenang untuk menjatuhkan pemerintah. Parlemen ketika itu mencerminkan kekuatan politik di dalam masyarakat. Generasi muda kita banyak yang tidak menyadari hal ini. Karena semasa rezim Orba, yang diajarkan kepada mereka, adalah cerita rekayasa mengenai pemerintahan pra Orba, yang secara sinis dijuluki sebagai 'orde lama', yang serba bréngsék. Maka 'Orla' di-kup oleh tentara dan ditegakkanlah rezim Orba. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, selain dimaksudkan untuk mencegah bahaya perpecahan bangsa antara pendukung sekularisme dan kehendak mendirikan negara Islam, serta mempersatukan kekuatan nasional untuk membebaskan Irian Barat, menghadapi ancaman dan subversi imperialisme; -- juga punya dampak negatif. Dekrit Presiden mengakibatkan dikuranginya hak-hak demokrasi parlementer yang berlaku selama itu. Selain itu, pemberlakuan Undang-undang Darurat Perang, (SOB), sistim pemerintahan menurut konsep Dekrit tsb memberi kesempatan kepada tentara memperbesar keterlibatan dan campur tangan dalam sistim kekuasaan politik negara. Konsep 'Dwifungsi Abri' menjadikan tentara yang sesungguhnya merupakan aparat kekuasaan negara di tangan pemerintah, menjadi kekuatan politik yang berdiri sendiri. Bebas dari kontrol parlemen dan kepala negara serta pemerintah. Perkembangan politik Indonesia menunjukkan bahwa periode Dekrit Presiden telah memberikan syarat bagi tentara untuk lebih banyak dan lebih mendalam BERPOLITIK. Hingga akhirnya menjadikan tentara penguasa tunggal. * * * Mungkin generasi muda kita juga tidak menyadari bahwa semasa Indonesia masih dikuasai Belanda, ketika bangsa kita sedang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, pemerintah kolonial masih memberikan kesempatan kepada Bung Karno untuk membela diri . Sebagai tertuduh Bung Karno masih bisa menggugat kolonialisme Belanda di muka pengadilan Bandung (1930). Yang menarik dan penting diketahui ialah bahwa, ketika itu Bung Karno sudah pandai menggunakan pisau analisa Marxis untuk menjelaskan apa itu kolonialisme, apa itu imperialisme. Bung Karno menerangkan bagaimana kapitalisme dan imperialisme beroperasi di Indonesia mengeksploitasi rakyat kita. Bung Karno menjelaskan bahwa imperialisme adalah produk dari kapitalisme, yang menguasai, menindas dan mengeksploitasi kekayaan bumi dan air dan rakyat Indonesia. Gugatan Bung Karno terhadap kolonialisme Belanda itu, telah menjadi literatur bahan pendidikan politik penting bagi kader-kader pejuang kemerdekaan. Kemudian, pembelaan Bung Karno itu, setelah disiarkan menjadi terkenal dengan nama 'INDONESIA MENGGUGAT'. Suatu karya politik klasik yang unik, patrotik dan progresif, dalam literatur perjuangan kemerdekaan negeri kita. Yang memainkan peranan sebagai penggugah semangat dan kesadaran berbangsa. Dalam periode pasca perang kemerdekaan, setelah kedaulatan Republik Indonesia diakui dunia internasional, Indonesia mengalami periode demokrasi parlementer. Partai-partai politik menikmati kehidupannya yang wajar, dan rakyat mengenal lebih lanjut apa itu faham demokrasi, melalui literatur dan praktek kongkrit kehidupan politik. Buku-buku politik termasuk buku-buku Sosialis, Marxis dan Sosial demokrat banyak diimpor, diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Meski syarat-syaratnya ada, seperti kebebasan menerbitkan, dsb, namun, karya klasik Marx dan Engels yang terbesar yaitu Das Kapital, juga karya falsafah klasik F. Engels 'Anti-Dühring', tidak pernah terbit dalam bahasa Indonesia. Entah mengapa? Mungkin saja karya-karya klasik Marx dan Engels tsb dianggap terlalu 'njelimet'. Memang karya-karya tsb adalah literatur ilmu dan tak mudah dicernakan. Bisa juga dianggap orang bahwa tokh sudah ada bahasa asingnya. Mungkinkah ketika itu belum ada yang sanggup atau mampu menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia yang baik? 'A good question!'. Pada periode berikutnya, ketika di Indonesia berkuasa suatu rezim otoriter di bawah Presiden Jendral Suharto, Marxisme dan semua literatur Kiri 100 persen dilarang. Segera larangan ini 'dilegalisasi' melalui TAP MPRS No XXV Th 1966. Semua buku Marxis dibeslah, dibakar dan penerbitan bar
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - INI SOAL BESAR, SERIUS dan GAWAT !
Kolom IBRAHIM ISA Selasa, 15 Mei 2007 INI SOAL BESAR, SERIUS dan GAWAT ! Ini soal besar! Ini betul-betul soal serius dan gawat! Karena ia menyangkut masalah fundamental negeri dan bangsa. Apakah negara ini benar-benar HENDAK DITEGAKKAN SEBAGAI NEGARA HUKUM? Sesuai dengan cita-cita perjuangan melawan kolonialisme untuk kemerdekaan nasional? Soalnya menyangkut kepedulian kita: -- Apakah benar-benar kita berkehendak menghakiri keadaan negara di mana masih berlangsung 'Impunity', ketiadaan hukum. Yang lebih gawat lagi, yaitu, mau dan mampukah negeri dan bangsa ini MENYETOP KULTUR KEKERASAN yang ditegakkan dan dikembangkan oleh Orba? Marilah ingat-ingat lagi, pada masa-masa ketika menjadi populernya kata 'GEBUK'. Kata 'Gebuk' tsb sering dan suka sekali digunakan oleh para petinggi aparat Orba ketika itu. Kata 'gebuk' itu sering digunakan sebagai 'jimat' atau 'mentera', sebagai 'pentung politik' untuk menakut-nakuti setiap orang yang berani menentang politik dan kebijakan Orba. Kata 'gebuk' tsb mulai digunakan dan disosialisasikan oleh Menko Hankam 1998-1999 ketika itu, Jendral Faisal Tanjung (yang mengutip kata-kata yang diucapkan oleh Pak Harto). Orang pasti tidak lupa. Masih jelas dalam ingatan jawaban yang diberikan oleh Presiden Suharto, ketika ditanyakan oleh salah seorang menteri yang oleh Rosihan Anwar dititipi, untuk ditanyakan kepada Presiden Suharto ketika itu, kapan s.k. 'Pedoman'. yang dibereidel Orba ketika itu, boleh terbit lagi. Jawaban tegas dan dingin Jendral Suharto, ialah: 'PATÉNI WAE'! Artinya, 'kok tanya sampai kapan dibereidel?', solusinya ialah, tutup saja s.k. 'Pedoman' . Tapi yang membikin orang tak habis géléng-géléng kepala, ialah, digunakannya perkataan: 'Paténi waé!'. Notabene oleh seorang pejabat negara yang tertinggi, Presiden Republik Indonesia ketika itu. Satu kasus lagi. Ketika Kol. TNI, Yazir Hadisubroto, yang bertugas menangkap Ketua PKI, DN Aidit, menanyakan selanjutnya mau 'diapakan' DN Aidit yanag sudah ditangkap. Jendral Suharto menjawab dengan dingin: BÉRÉSKAN! Artinya DN Aidit harus ditembak mati tanpa proses pengadilan apapun. Memang, Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan apapun. Kata-kata yang digunakan Jendral Suharto dan Jendral Faisal Tanjung itu tidaklah kebetulan. Ia mencerminkan watak dan kecenderungan beliau-beliau itu dalam mengambil kebijakan untuk solusi sesuatu soal, yaitu: GEBUK! atau PATÉNI WAÉ, atau BÉRÉSKAN! Ini adalah ciri KHAS watak pengemban kekuasaaan ketika itu. Ciri dari rezim Orba. Yang jadi problim, sekarang ini, meskipun Orba resminya sudah tiada, para pengemban rezim Orba, secara perorangan sudah tidak lagi berkuasa atas nama Orba, tetapi kultur dan cara menyelesaikan soal yang diberlakukan pada periode Orba, MASIH BERLANGSUNG TERUS. Dan orang-orangnya masih saja duduk di lembaga-lebaga kekuasaan negara! * * * Lalu kasus kampanye 'PETRUS', 'pembunuhan misterius', terhadap setiap orang yang 'tercatat' sebagai kriminil dalam buku dosir di kantor polisi atau kodam, tanpa proses peradilan apapun yang bersangkutan begitu saja disérét dari tempat tidurnya pada tengah malam buta, dan kontan 'di-dor'. Mayatnya sengaja dijejer dipinggit jalan, atau di tepi sungai, dengan maskud bisa segera dilihat orang. Lagi caranya ialah 'menakut-nakuti'. Menggunakan cara TEROR. Memang kriminil harus dikenakan tindakan hukum, tetapi itu semua harus melewati proses peradilan yang benar. Belum lagi kasus 'orang hilang', diantaranya 'hilangnya' penyair populer di kalangan rakyat 'WIJI THUKUL". Yang sampai kini belum diketahui dimana rimbanya. Ataupun bila sudah tewas, dimana kuburannya. Sehingga masyarakat didorong untuk mendirikan LSM - IKOHI, Ikatan Orang Hilang. Selain kasus kekeraan/pembantaian masal pada Peristiwa 1965, dalam ingatan kita masih segar kasus kekerasan dan penggerebegan Kantor PDI-Mega, 1996, dimana jatuh puluhan korban, tewas dan atau hilang. Kasus kekerasan yang besar setelah Peristiwa Pembantaian Masal 1965, ialah Pristiwa Mei 1998, sekitar jatuhnya Presiden Suiharto. Kekerasan, kekerasan dan sekali lagi kekerasan! Dalam kasus-kasus tsb selalu terlibat elemen-elemen, sering disbut 'oknum', dari kalangan aparat negara. Peristiwa-peristiwa dan kasus-kasus yang disebut diatas, menunjukkan ciri khas kekuasaan dan kultur yang berlangsung dizaman Orba, selain kultur KKN, menonjol sekali adalah KULTUR KEKERASAN. Kekerasan itulah ciri kekuasaan Orba. * * * Bersangkutan dengan cara-cara kekerasan, cara preman, cara teror yang digunakan untuk mencapai tujuan politik tertentu, kemarin, menyolok sekali pemberitaan/ulasan yang dibuat oleh 'Suara Pembaruan Daily'. Baik ikuti pemberitaan 'Suara Pembaruan Daily', a.l. sbb
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA -- SEBAGAI ORANG INDONESIA HATIKU MONGKOK!
IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA Sabtu, 12 Mei 2007 -- SEBAGAI ORANG INDONESIA HATIKU MONGKOK! Siapa FARID FIRMANSYAH? Dan siapa pula MUHAMMAD FIRMANSYAH KASIM. Lalu RUDI HANDOKO? Tiga-tiga anak-muda itu, yang bisa dikatakan masih 'anak-anak', adalah anak-anak muda belia Indonesia. Belakangan ini nama-nama mereka mencuat di media dalam negeri maupun luarnegeri. Dua minggu yang lalu, tak ada, --- kalau tokh ada ---, sedikit sekali, yang kenal akan nama-nama Farid Firmansyah, Rudi Handoko ataupun Muh. Firmansyah Kasim. * * * FARID FIRMANSYAH, -- siapa pelajar asal Bekasi (Jabar) ini? Farid Firmansyah sebenarnya sudah dikenal juga sebagai Juara Catur Siswa (Nasional). Sekarang dunia mengetahui bahwa yang tampil sebagai JUARA CATUR SISWA SEDUNIA, adalah FARID FIRMANSYAH. Kejuaraaan dunia ini direbutnya setelah mengalahkan pecatur Junani, Kazantsis Ilias, dengan nilai total 8,5 untuk 'Kelompok Umur Di bawah 15th' (KU-15). 'KEJUARAAN DUNIA PELAJAR 2007', berlangsung di Halkidiki, Yunani pada tanggal 5 Mei y.l. Disitulah Farid Firmansyah pemenangnya. Dengan demikian telah membawa taraf permainan catur Indonesia ke taraf internasional. * * * Lalu disusul lagi dengan peristiwa menggembirakan sekitar Olimpiade Fisika Asia ke-8 y.l. Dalam Olimpiade Fisika Asia Ke-8, yang berlangsung di Shanghai, Tiongkok, 22 - 28 April y.l., MUHAMMAD FIRMANSYAH KASIM, siswa kelas I SMAN Athirah Makasar, dan RUDI HANDOKO, siswa kelas I SMA Sutomo 1, Medan, MERAIH MEDALI EMAS. Mengenai Muhammad Firmansyah Kasim, 'Pontianak Pos' Sabtu ini, menulis antara lain: 'Muhammad Firmansyah Kasim menjadi buah bibir di negeri ini. Prestasi dia yang luar biasa dengan merebut medali emas Asian Physics Olympiad (APhO), Shanghai, China, serta sederet medali lain di even Olimpiade Fisika Internasional, membuat sosok ini begitu dikenal. MEMBANGGAKAN. Kata itu begitu lekat di bibir . . . Kata membanggakan itu bukan untuk siapa-siapa, melainkan ditujukan khusus buat Muhammad Firmansyah Kasim. Bagaimana tidak, . .Muhammad Firmansyah untuk kesekian kalinya mengharumkan nama bangsa di pentas Olimpiade Internasional. Usai merebut emas International Junior Science Olympiad (IJSO), Jogyakarta (2005), medali perunggu Asian Physics Olympiad (APhO), Kazakhstan (2006), perak di International Physics Olympiad (IPhO), Singapura, (2006), Firman lagi-lagi menyabet emas pada Asian Physics Olympiad (APhO), Shanghai, (2007), baru-baru ini. 'Sebenarnya, ia sudah ditawari beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya nanti di luar negeri. Hanya saja Firman menolaknya. Firman mengaku ingin tetap di Indonesia dan mau kuliah SI di ITB. Untuk pasca sarjananya, memang Firman ingin di luar negeri'.Demikian a.l 'Pontianak Pos', 12 Mei 2007. * * * Tak perlu kusembunyikan . . . HATIKU MONGKOK. Belum lama wartawan senior H. Rosihan Anwar berucap, bahwa ia 'tidak malu sebagai orang Indonesia'. Maka sekarang ini, tak salah ucapanku, setelah prestasi yang dicapai siswa-siswa Indonesia pada pertandingan catur maupun Olimpiad Fisika, bahwa: -- 'Bolehlah kita berbangga, berbesar hati, menjadi orang Indonesia'. 'Hatiku mongkok', lahir di dunia ini sebagai orang Indonesia. Kebanggaan nasional mencuat sejadi-jadinya, dengan tak disadari berbicara hati kecilku: Siapa bilang orang Indonesia bodoh? Sebentar .. sebentar dulu! Apakah perasaan, emosiku itu suatu permunculan yang tak disadari dari suatu semangat n a s i o n a l i s m e s e m p i t ? Bahkan chauvinisme-nasional? Atau semacam NAZI-nya (Nationalsozialist-nya) Hitler, yang seratus persen adalah chauvinisme nasional sempit, rasis dan fasis. Atau sama dengan politik Orba dan pendukung-pendukungnya yang membenarkan agresi, okupasi dan peng-'anschluss'-an Timor Timur menjadi bagian dari propinsi Indonesia. Tentu tidak, rasa bangga sebagai orang Indonesia itu, seratus persen bukan 'chauvinisme nasional' samasekali. Perasaan dan emosi itu wajar, lumrah dan juga sehat! Ini dapat dipastikan, demikian pula perasaan dan semangat bangsa kita umumnya. Benar sekali, 'chauvinisme-nasional' itu bertentangan dengan semangat 'internasionalisme'. Selama ini aku merasa, bangsa kita, kaum demokrat dan penganut faham nasionalisme-patriotik, melakukan kegiatan dan berbuat, betapapun kecilnya, yang bersangkutan dengan negeri-negeri tsb, dilakukan demi semangat solidaritas internasional terhadap perjuangan kemerdekaan dan demokrasi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Berlangsungnya di negeri kita, Konferensi Asia-AFrika di Bandung pada tahun 1955, yang melahirkan SEMANGAT BANDUNG, semangat solidaritas dalam perjuangan bangsa-bangsa untuk kemerdekaan dan keadilan, adalah manifestasi semangat internasionalisme yang bertentangan dengan semangat chauvinisme-nasional. Aku sendiri, sebagaimana halnya kaum demokrat yang patriotik dan progresif, merasa bahwa
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA-TERTUJU PADA MENHUM & HAM YG BARU ANDI MATALATA
Kolom IBRAHIM ISA Selasa,08 MEI 2007 --- TERTUJU PADA MENHUM & HAM YG BARU ANDI MATALATA * * * Andi Matalata, menurut berita pers Jakarta, kemarin, telah diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi MENKUM Dan HAM Republik Indonesia, menggantikan Hamid Awaluddin. Sesuai tata-krama pergaulan di dalam masyarakat, tidak salah kiranya kita mengucapkan selamat bekerja kepada Andi Matalata, sebagai Menkum Dan HAM. Sebelum fungsinya yang baru ini, Andi Matalata adalah pimpinan parpol yang ikut berkuasa sekarang, GOLKAR, dan sekaligus juga Ketua Fraksi Golkar di DPR. Namun, kiranya patut pula diutarakan dengan terus terang dan tegas-tegas di sini, sbb: Kejadian bersejarah telah berlangsung pada tanggal 21 Mei 1998. Presiden Suharto 'dilengserkan', oleh gelombang dahsyat gerakan Reformasi dan Demokratisasi massa rakyat yang luas, yang menggelora di seluruh negeri ketika itu. Pemerintah Presiden Habibie yang menjanjikan reformasi dan demokrasi, naik panggung. Namun, baik Presiden Habibie maupun menteri yang punya tanggungjawb langsung menegakkan hukum dan HAM, tak ada yang menunjukkan kepedulian yang sungguh-sungguh serta mengambil langkah untuk menangani kasus pelanggaran HAM terbesar di bawah tanggungjawab Orba dan Presiden Suharto, yaitu kasus pembantaian masal terhadap lebih sejuta (mungkin lebih) warganegara yang tak bersalah, pada periode pasca G30S. * * * Mantan Menteri Menkumdang dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra, pernah dapat tugas dari Presiden, untuk mengurus 'orang-orang Indonesia yang terhalang pulang', yang terdampar di pelbagai negeri di Eropah. Maksudnya agar mereka bisa kembali pulang ke tanah air. Pada awal tahun 2000, Menteri Yusril datang ke Den Haag, Nederland, membawa Instruksi Presiden No 1, Th 2000. Langkah Presiden Wahid, menginstruksikan Menteri Yusril ke Den Haag untuk 'mengurus pulang' para warganegara Indonesia, yang oleh Orba secara sewenang-wenang dicabut paspornya atas tuduhan terlibat atau berindikasi terlibat dengan peristiwa G30S, --- hakikatnya, adalah suatu kebijaksanaan REHABILITASI. Untuk merehabilitasi nama baik, hak-hak politik dan hak-hak kewarganegaraan mereka itu. Di KBRI Den Haag, Yusril tatap muka dengan ratusan 'orang yang terhalang pulang'. Beliau dengan antusias memberikan janji-janji akan 'secepat mungkin' mengurus 'orang-orang Indonesia yang terhalang pulang', agar bisa kembali ke tanah air dengan lancar. Yusril menandaskan bahwa pemerintah Abdurrahman Wahid punya 'political will' untuk mengurus kasus ini. Tetapi janji-janji tinggal janji belaka. Tak ada kelanjutannya samasekali. Yusril telah memasukkan janji-janjinya terhadap para korban pelanggaran HAM, di dalam laji meja kantornya. Pemerintah silih berganti, tetapi masalah 'para korban Peristiwa 1965' samasekali tidak dijamah. Pemerintah memang punya kementerian yang katanya urusannya adalah urusan perundang-undangan dan Hak-Hak Azasi Manusia. Tetapi itu hanya nama saja. Sedangkan 'gawénya' yang menyangkut kasus pelanggaran HAM terbesar yang dilakukan penguasa pada periode Peristiwa 1965, adalah nol besar. Sampai dewasa ini kurang lebih 20 juta keluarga korban Peristiwa 1965, masih menderita diskriminasi dan stigmatisasi. Hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak politik mereka yang telah dirampas Orba, samasekali belum dipulihkan. Keadaan ini berlangsung sejak gerakan Reformasi dan Demokratisasi yang telah menumbangkan pemerintahan Orbanya Presiden Suharto. * * * Pada tahun 2007 ada perkembangan dalam politik pemerintah SBY terhadap kaum pemberontak GAM. Pemerintah mengadakan perundingan dengan GAM di Helsinki, Finlandia. Hasil perundingan: Para pemimpin dan anggota-anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) --- yang jelas-jelas melakukan pemberontakan bersenjata terhadap Republik Indonesia dengan tujuan mendirikan Aceh Merdeka, halmana berarti mencabik-cabik kesatuan dan persatuan Republik Indonesia --- DIBERI AMNESTI. Para pemberontak boleh pulang, diberi hak untuk ambil bagian dalam kehidupan politik serta dapat dana untuk memulai hidup baru di Indonesia. * * * Di LAIN FIHAK, status para korban Peristiwa 1965, para keluarga tapol Orba, --- para warganegara tak bersalah yang dipersekui penguasa, namun dituduh dan difitnah, terlibat atau berindikasi terlibat dengan G30S, tetap tidak berubah adanya. Para korban tsb adalah warganegara yang patuh hukum yang samasekali tidak bersalah. Oleh karena itu pemerintah Orba tidak punya alasan untuk mengadili dan menghukum mereka. Tetapi mereka tokh mengalami persekusi, dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan dibantai. Sampai kini, beberapa hari lagi, sudah sembilan tahun setelah jatuhnya rezim Orba, namun, mereka masih tetap mengalami perlakuan diskriminasi politik dan sosial. Masalahnya sudah begitu jelas, mereka tidak melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum apapun. Namun, tak ada
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS & VIEWS
IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS & VIEWS MONDAY, 07 May 2007 - YOUNG FARID FIRMANSYAH WORLD CHESS CHAMPION INDONESIA IS ON THE RIGHT TRACK PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH SEBATAS SLOGAN SBY'S RESHUFFLE -- YUSRIL I MAHENDRA & HAMID AWALUDDIN -- EXIT TURKEY, -- INDONESIA'S UNEASY TIES WITH SECULARISM --- YOUNG FARID FIRMANSYAH WORLD CHESS CHAMPION JAKARTA: National Master Farid Firmansyah has claimed the Under-15 world champion title at the 2007 third World Student Chess Championships in Halkidiki, Greece. Last year, Indonesia's Aston Taminsyah won the world champion title for the Under-9 division. Farid (elo rating 2011) dashed the hopes of the host country's Kazantzidis Ilias (2098) in the ninth round. Earlier on Friday, the Indonesian also defeated Greek Galopoulos N. (2069). Farid collected a total of 8.5 points, followed by Plavidis Antonios (2174) with 7 points. Meanwhile, Indonesia's Chelsie Monica Sihite and Masruri Rahman were forced to bow out by their opponents. Playing at the Under-13 class, Chelsie lost to Daciu Dana of Moldova while Masruri was defeated by Yukses Atila Koksal of Turkey. -- JP INDONESIA IS ON THE RIGHT TRACK Urip Hudiono, The Jakarta Post, Jakarta Indonesia is on the right track to once again becoming one of Asia's fastest growing economies, but still has a lot to do if it wants to rival China and India, say analysts from UBS AG. According to UBS, Indonesia should promote exports and investment based on its comparative advantages in natural resources, complementing the needs of Chinese and Indian industry, while at the same time gradually building up its own industrial base. UBS senior economist for Southeast Asia Philip Wyatt said Indonesia had lately been experiencing more favorable macroeconomic conditions, particularly as regards inflation, and the savings and investment ratios. "But Indonesia must remember it is trying to catch up with fast-moving giants, so it must do more," Wyatt said during an investor forum organized by the Swiss-based investment bank Wednesday. While Indonesia had managed to reduce inflation and its key interest rate recently, Wyatt pointed out that inflation in China and India was running at 5 percent at the most. In Indonesia, however, the government was predicting inflation of around 6 percent and a central bank key rate of 8.5 percent for this year. In fact, Indonesia has just emerged from a recent inflationary spike. By comparison, both China and India have more stable inflation records. This is significant bearing in mind that inflation expectations affect the personal savings and investment ratios -- respectively, the proportion of income being saved, and that being used for more growth-spurring investment and consumption. China and India have personal savings ratios of between 0.5 and 0.4, and investment ratios of between 0.4 and 0.3, while Indonesia is stuck at 0.3 and 0.25, respectively. Despite the bad news, Wyatt said Indonesia did have a number of trump cards up its sleeve. With vast supplies of commodities, such as natural gas, coal, metals, rubber and crude palm oil, Indonesia has been enjoying growing exports on healthy global demand and prices, and is already a main raw materials supplier to both Chinese and Indian industry. Indonesia is the second largest coal supplier to China after Vietnam, while India's Tata Group recently invested in a local coal mining firm to secure supplies for its steel mills. Compared with China and India, Indonesia also has a higher external trade ratio -- the comparison between the volume of exported goods and that supplied to the domestic market. But UBS noted that structural rigidities, such as those in the labor, fiscal and investment fields, were hampering export growth and needed to be addressed. UBS chief economist for Asia Jonathan Anderson said almost all countries in the region would feel the heat from China as an exporter of low-end manufactured goods. Accordingly, Indonesia needed to focus more on its agricultural sector, and develop added-value exports. He said 7 or 8 percent growth would be feasible if Indonesia took such a path, which would enable the country to develop resources-based, labor intensive industries. However, in order to do so, proper supporting policies would first need to be put in place. - PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH SEBATAS SLOGAN REPUBLIKA ONLINE, 07 MEI 2007 Jakarta-RoL-- Sejumlah politisi dan ekonom menilai pelaksanaan otonomi daerah dalam enam atau tujuh tahun terakhir ini masih sebatas slogan dan bahkan ada kecenderungan untuk kembali ke sistem yang sentralistis seperti sebelumnya. Hal itu dikemukakan anggota DPR dari F-PAN Drajat Wibowo, Wakil Ketua DPD Irman Gusman dan ekonom Faisal Basri saat berbicara dalam peluncuran empat buku panduan "Pembangunan Ekonomi Lokal di Era Desentralisasi" di Jakarta, Senin. Menurut D
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- BACA WAWANCARA SEJARAWAN ANHAR GONGONG
Kolom IBRAHIM ISA - Sabtu, 05 MEI 2007 BACA WAWANCARA SEJARAWAN ANHAR GONGONG Anhar Gongong dikenal sebagai sejarawan generasi pasca Sukarno. Pernah kudengar ceramahnya di KBRI Den Haag beberapa tahun yang lalu. Kesanku sesudah mendengar Anhar Gongong, sebagai sejarawan, mungkin ia ketika itu 'terlalu berhati-hati'. Sehingga terkesan seperti kurang berani mengungkap . Sehingga menjadi 'bureng' dimana ia berdiri sebagai sejarawan. Tetapi segala sesuatu ada perkembangan. Kali ini sejarawan Anhar Gongong yang saya pernah dengar uraiannya di KBRI Den Haag ketika itu, lebih 'berani' mengungkap. Silakan baca sendiri wawancaranya. Di situ Anhar Gonggong menyinggung beberapa masalah penting dalam sejarah kita, khususnya sejarah pasca Sukarno. Kesanku sekarang ia lebih tegas dalam mengungkap mana yang fakta, dan mana yang 'diplintir' oleh Orba. Anhar Gongong bicara SOAL PENAMAAN 'G30S' YANG OLEH ORBA DITAMBAHKAN 'PKI', menjadi 'G30S/PKI'. Kemudian dihapuskan nama PKI itu, lalu muncul lagi, disebabkan a.l. oleh ulahnya Taufik Ismail, dan Kementerian Pendidikan yang lebih banyak mendengar Taufik ketimbang para sejarawan lainnya. Lainnya yang disinggung Anhar Gongong, adalah: Pertama, SOAL PANCASILA. Bagaimana Orbanya Jendral Suharto, dengan dukungan sementara sejarawan dan lain-lain, berusaha (tapi gagal) untuk 'membersihkan' Pancasila dari nama penggali Pancasila itu sendiri, yaitu PRESIDEN SUKARNO. Kedua,, SOAL SERANGAN TERHADAP JOGYAKARTA YG DIDUDUKI BELANDA. Bagaimana Orba dan sejarawannya menyulap mengenai inisiatif serangan tsb yang sumbernya adalah Sri Sultan Jogya ketika itu, menjadi Letkol Soeharto, sebagai pengambil inisiatif serangan tsb. Ketiga, Sekitar Peristiwa G30S. Kata Anhar: Orang dipaksa untuk mengatakan itu PKI, padahal pada kenyataannya ketika gerakan itu dicetuskan tidak ada PKI-nya Keempat: SOAL 'SUPERSEMAR', apakah itu ada atau tidak. Anhar:memang ada. . . . isinya itu kan unuk mengamankan Soekarno. Tapi justru digunakan untuk menjatuhkan Soekarno. Kelima, 'KETERLIBATAN PKI' dan Peritiwa PEMBANTAIAN PASCA PKI, dLL. * * * Berikut di bawah ini adalah WAWANCARA SEJARAWAN ANHAR GONGGONG: < [EMAIL PROTECTED], "h_tanzil" <[EMAIL PROTECTED]>: Anhar Gonggong: "Faktanya, Pemerintah Lebih Mendengarkan Taufik Ismail Ketimbang Sejarawan" Oleh Fadila Fikriani Armadita, Rhoma Aria Dwi Yuliantri I: Kontroversi peristiwa sejarah untuk SMA itu apa saja? AG: Ada beberapa, sepanjang yang saya ingat waktu saya pernah mengumpulkan 75 guru SMP-SMA seluruh Jakarta-Bogor. Tiga tahun berturut-turut dengan guru yang berbeda dengan harapan saya bisa mendapat informasi apa kesulitan mereka di dalam mengajarkan sejarah. Dikarenakan hal-hal yang dianggap oleh pemerintah tidak boleh diberikan. Pertama Pancasila. Pancasila tidak boleh dikatakan bahwa lahirnya Pancasila 1 Juni. Bahwa lahirnya Pancasila adalah ketika Jamin yang katanya berpidato pada tgl 29 Mei yang sudah membuat rumusan yang sama dengan Pancasila atau tanggal 18 Agustus. Guru sangat sulit mengajarkan itu. Karena itu memang tujuannya desoekarnoisasi. Karena kalau tanggal 1 Juni itu berarti identik Soekarno. Ada dosa besar dari pemerintah Orde Baru dalam kaitan dengan itu. Dalam arti kata bahwa melakukan deSoekarnoisasi. Bahwa bukan Bung Karno yang merumuskan Pancasila pertama kali itu faktual salah sebagai perumus awal, tetapi sebagai hari lahir Pancasila sebagai dasar negara ya memang tidak, sebab 1 Juni atau 22 Juni belum ada negara. Kita merdeka tanggal 17 Agustus. Pancasila dirumuskan Bung Karno untuk digunakan sebagai dasar negara kalau kelak kita merdeka. Jadi istilah Pak Notonegoro itu tanggal 1 Juni dan 22 Juni itu adalah hari dari lahirnya atau dirumuskannya calon-calon dasar negara yang nantinya setelah dirumuskan akan dimasukkan dalam alinea keempat pembukaan UUD 45 yang ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus. Tapi jangan salah sebenarnya istilah Pancasila hanya sekali digunakan oleh Bung Karno tanggal 1 Juni. Dan selanjutnya rumusan Pancasila yang kita kembangkan-kalau benar yang kita terima adalah pembukaan UUD tanggal 18 Agustus di alinea keempat-itu tak ada istilah Pancasila. Silakan cari, istilah pancasila tidak ada. I: Jamin punya istilah apa? AG: Tidak ada, hanya merumuskan dasar saja. Kalau Soekarno jelas ada istilah Pancasila. Dulu dia usulkan pertama Pancasila, kalau tidak senang bisa diperas menjadi tri sila, kalau tidak senang bisa dirubah menjadi ekasila. Itu yang saya maksud dosa besar pemerintah Orde Baru tatkala mengatakan bahwa bukan Bung Karno yang merumuskan dan memberi nama rumusannya dengan Pancasila. Kata Pancasila itu adalah monopoli Bung Karno. Dalam arti kata, dialah orang pertama yang merumuskannya. Hanya saja oleh karena kompromi politik, maka begitu selesai bicara tanggal 1 Juni kekuatan BPUPKI terbelah menjadi kekuatan nasionalis
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA - MASALAHNYA BELUM TERLAKSANANYA THE RIGHT MAN/WOMA
IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA Kemis, 03 Mei 2007 MASALAHNYA: - - - BELUM TERLAKSANANYA 'THE RIGHT MAN/WOMAN IN THE RIGHT PLACE' * * * Dalam tulisanku yang lalu (29 April 07), 'Kolom Ibrahim Isa, berjudul: 'INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH (2) -- , dijanjikan bahwa tulisan tsb BERSAMBUNG. Paling tidak akan ada bagian-3-nya. Bagian ketiga itu pasti akan datang. Dua tulisan tsb memancing tanggapan negatif maupun positif. Lumrah. Aku senang tuilisanku dibaca dan dihargai maupun dikritik. Ada yang bertanya marah ( mengenai bagian ke-2 dari tulisan tsb), apakah tulisan tsb propaganda MOSAD (Jawatan Rahasia Israel)? Dipertanyakan mengapa kok memuji orang-rang Yahudi, padahal Israel dewasa ini menduduki dan menindas rakyat Palestina. Soalnya, menyangkut tulisan RM Djayeng Pratomo (mantan mahasiwa Indonesia di Belanda ketika itu) yang kusiarkan ulang Di situ Jayeng Pratomo juga menyebut tentang orang-orang Yahudi Belanda yang dipersekusi oleh Jerman Hitler. Diantaranya ada orang-orang Yahudi tsb yang diselamatkan oleh mahasiswa Indonesia yang menceburkan diri dalam perjuangan anti-fasis perlawanan bawah-tanah di Belanda melawan Jerman Hitler. Ada juga tanggapan dari sahabatku orang Belanda, mantan Brigjen Artileri Tentara Kerajaan Belanda, B. Bouman (yang menulis buku sekitar logistik kekuatan bersenjata Republik Indonesia pada periode Perang Kemerdekaan Indonesia melawan Belanda). B. Bouman menilai tulisanku itu positif. Menganggapnya sebagai sumbangsih dalam pengkisahan sejarah orang-orang Indonesia di Belanda ketika itu. Dalam pada itu, aku baru saja menerima dari sahabatku wartawan kawakan Joop Morrien (aku berjumpa dengan Joop pada peringatan Hari Kartini di Dieman, 28 April y.l.), sejumlah bahan lagi mengenai keadaan dan perjuangan para mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia di Belanda. Termasuk tentang tokoh yang tak asing lagi, bernama SUNITO. Joop Morrien juga menghadiahkan sebagai kenang-kenangan padaku buku yang ditulisnya (1995), berjudul 'INDONESIË LIET ME NOOIT MEER LOS'. Terjemahan bebas: 'INDONESIA TAK MUNGKIN LAGI AKAN MELEPASKAN DAKU'. Mencerminkan rasa cinta dan rindunya terhadap negeri dan bangsa Indonesia. Dengan demikian pasti masih akan ada yang bisa ditulis lagi sekitar 'INDONESIA- BELANDA' yang TERJALIN DARAH. Tapi kali ini aku hendak BERBAGI CERITA dulu. * * * THE RGIHT MAN/WOMAN IN THE RIGHT PLACE BELUM TERJADI Beberapa hari belakangan ini kehidupan keluarga kami di Haag en Veld 76, Amsterdam, menjadi lebih sibuk dan meriah. Kami kedatangan tamu-tamu keluarga sendiri dari Jakarta. Mula-mula datang putra kemenakan istriku Murti. Hanya semalam saja. Ia amat sibuk. Dari Jakarta ke Paris dulu ke kantor induk perusahaan dimana ia berkerja. Ia menghadiri rapat bisnis di Paris. Kemenakan kami itu hadir di situ sebagai salah seorang menager cabang perusahaan Perancsi tsb di Jakarta. Kemenakan kami itu a.l. membawa oleh-oleh tiga buah buku karangan Sindhunata, seri MANUSIA & KESEHARIAN.; MANUSIA & KEADILAN dan MANUSIA & PERJALANAN. Aku belum tahu banyak tentang Sindhunata. Kemenakan kami itu menjelaskan bahwa , Sindhunata adalah seorang pendeta yang senang menulis. Kata Jakob Utama dari Kompas, Sindhunata dikenal berhasil mengangkat kejadian dan persoalan hidup ke panggung reportase dalam sosoknya yang nyata, hidup, berdesak, berkeringat, berair mata, bersenyum dan berpengharapan. Nama lengkapnya adalah (Dr) Gabriel Possenti Sindhunata, SJ. (55th). Disamping menulis buku Sindhunata adalah editor beberapa buku ilmiah dan feature. Ia sekarang pimpinan di Majalah Basis, Jogyakarta. Aku tertarik untuk membaca buku-bukunya, yang ditulis sesudah (diajak penguasa Orba yang ketika itu terpaksa sedikit membuka pulau tahanan politik P. Buru, karena tekanan-tekanan internasional) --- berkunjung ke Pulau tahanan politik Orba di Pulau Buru. Ia menyempatkan diri, juga punya nyali untuk menulis buku itu 'DARI PULAU BURU ke VENEZIA'. Penulisnya tidak terjerumus dalam jaringan perangkap propaganda Orba. Tulisannya a.l meliputi 'Permukiman dan Inrehab - Apa bedanya?' dll. Dengan caranya sendiri ia mengisahkan 'kesulitan hidup' (kalau sedikit herani lagi akan merumuskannya terus terang, bahwa kehidupan di pulau tahanan Buru itu adalah suatu PENDERITAAN yang tak tahu kapan akan berakhir) -- para penghuni Inrehab Orba untuk para tahanan Pulau Buru. Seperti diketahui yang ditahan di situ adalah warganegara tak bersalah , bertahun-tahun lamanya tanpa proses pengadilan apapun. Mereka dianggap sebagai musuh-musuh politik Orba. Kemenakan kami menilai tulisan-tulisan Sindhudinata hidup dan enak dibacanya. Santai! Dalam percakapan dengan kemenakan kami itu, aku mengajukan pertanyaan sbb: Coba tolong dijawab: Bagaimana perasaan dan fikiran kaum muda kita, yang intelektuil dan berbu
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH (2)
Kolom IBRAHIM ISA 29 April 2007 INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH (2) * * * Tulisan ini, (Bg ke-2), sesungguhnya bukan sekadar untuk mengenangkankan bahwa di kalangan para pejuang perlawanan bawah-tanah Belanda melawan pendudukan Jerman, pada periode Perang Dunia II, juga terdapat ORANG-ORANG INDONESIA, TERUTAMA DARI KALANGAN perkumpulan poitik PERHIMPUNAN INDONESIA, PI Belanda. Kolom ini diitulis, menjelang 'BEVRIJDINGSDAG', hari 'PEMBEBASAN' negeri Belanda, yang akan berlangsung pada tanggal 05 Mei yang akan datang. Dengan demikian, maksud khusus tulisn ini ialah untuk mengenangkan mahasiswa-mahasiwa dan orang-orang Indonesi yang ada di Belanda ketika itu, yang telah gugur dalam perjuangan anti-fasis demi pembebasan negeri Belanda dari pendudukan Jerman Hitler. Dalam tulisan Bagian 1, telah diperkenalkan beberapa nama dari kalangan orang-orang Indonesia di Belanda yang langsung ambil bagian dalam perjuangan bawah-tanah melawan pendudukan Jerman Hitler atas negeri Belanda. Kita kenal kembali nama-nama IRAWAN SOEJONO, MOEN SOENDAROE dan SIDARTAWAN. Ketiga-tiganya telah gugur dengan mulya sebagai pejuang anti-fasis. Mereka mengumandangkan semangat solidaritas-internasional para mahasiwa dan orang-orang Indonesia di Belanda, (kebanyakan anggota PI, maupun yang tidak). Pada bagian berikut dari kolom ini, akan diperkenalkan beberapa orang Indonesia lagi yang berjuang untuk pembebasan Belanda. Di bawah ini, dengan persetujuannya, dimuat lengkap tulisan DJAYENG PRATOMO . Djayeng Pratomo, adalah seorang Indonesia yang dalam thaun 1936, berangkat ke Belanda untuk belajar. Ketika Perang Dunia II meletus dan negeri Belanda diduduki Jerman Hitler, Djayeng Pratomo, anggota PI, sedang menempuh studinya. Namun, dengan hati dan fikiran yang dipenuhi oleh masalah perjuangan demi kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda, tokh, - - - tanpa keraguan sedikitpun, bersama-sama kawan-kawan Indonesia lainnya, ia bergabung dan ambil bagian dalam perjuangan bawah-tanah kaum patriot Belanda melawan pendudukan Jerman Hitler. Dalam proses perjuagan Djayeng Pratomo ditangkap polisi Jerman. Akhirnya disekap Jerman Hitler di kamp konsentasi di Dachau bersama pejuang-pejuang anti-fasis Indonesia dan Belanda lainnya. *** R.M. DJAJENG PRATOMO: 'ORANG-ORANG INDONESIA DALAM GERAKAN PERLAWANAN DI NEDERLAND' Pada bulan Juni 1941, Sicherhetisdienst (SD)dari kaum nazi mengadakan penggeledahan di berbagai tempat tinggal mahasiswa Indonesia di Leiden. Mereka mencari empat anggota pimpinan dari grup perlawanan Indonesia --- 'Perhimpunan Indonesia'. Dua di antara mereka tertangkap, yaitu R.M. Sidartawan dan P. Lubis, sedang yang lain dapat meloloskan diri. Pagi-pagi hari tanggal 18 Januari 1943 SD mengadakan penggeledahan kembali di tempat tinggal orang-orang Indonesia di Den Haag. Mereka menangkap dua orang mahasiswa dan dua orang buruh. R.M. Sundaru, R.M. Djajeng Pratomo, Kajat, dan Hamid. Empat orang tawanan ini diseret dari kamp konsentrasi yang satu ke kamp yang lain: Schoorl, Amersfoort, Vught, Neuengamme, Buchenwald, Granienburg-Saxenhausen, Dachau. Dua orang dari mereka tewas karena siksasn dan penderitaan di kamp-kamp tsb. Sidartawan di Dachau dan Mun Sundaru di Neuengamme. Pada tanggal 13 Januari 1945, mahasiswa muda Indonesia R.M. Irawan Sujono di Leiden mengangkut perlengkapan stensil yang baru saja direparasi untuk mencetak penerbitan-penerbitan ilegal. Ia bertemu dengan pasukan SS yang sedang melakukan razzia. Irawan berusaha melarikan diri, tapi dengan tak semena-mena ia ditembak mati. Yang menjadi korban ini adalah putra Raden Ario Adipati Sujono, menteri Indonesia pertama dalam pemerintah Belanda di London. Irawan adalah anggota grup perlawanan bersenjata dari Perhimpunan Indonesia. Beberapa orang korban tersebut diatas adalah dari grup kecil orang-orang Indonesia di Belanda, k.l. 100 orang. Mereka sebagai anggota Perhimpunan Indonesia, organisasi politik yang terlarang dan bekerja di bawah tanah, berjuang bahu-membahu dengan pejuang-pejuang perlawanan Belanda. Mengenai grup perlawanan Indonesia ini tidak banyak ditulis. Orang-orang Belanda generasi muda samasekali tidak mengetahui akan hal ini. Sebabnya tidak sulit dikaji. Pertama-tama, kebanyakan dari orang-orang Indonesia yang pernah ambil bagian dalam perlawanan ini telah pulang ke Indonesia segera sesudah perang selesai. Kedua, sesudah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, terjadilah persengketaan yang sengit antara Belanda dan Indonesia. Hal ini menyebabkan perang antara Belanda dan Republik Indonesia yang masih muda ini. Pada tahun 1952 R.M. Sunito, salah seorang pimpinan pejuang-pejuang perlawanan Indonesia masa pendudukan Jerman, d
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH
Kolom IBRAHIM ISA - Kemis, 26 April 2007 INDONESIA -- BELANDA TERJALIN DNG DARAH (1) * * * Enampuluh dua tahun yang lalu, 04 Mei 1945, Marsekal Bernard Montgomery, Panglima Tentara Ke-21, bagian dari tentara Sekutu yang melakukan penyerbuan penaklukkan Jerman Hitler di Eropah Barat, menerima di Markas Besarnya di Lüneburger Heide, Jerman, penyerahan tanpa syarat Tentara Jerman di bagian Barat Daya Eropah. Kapitulasi resmi berlangsung pada tanggal 05 Mei 1945. Pada tanggal 05 Mei itu juga, Panglima tentara Jerman Jendral Blaskowitz, dipanggil oleh Letjen Foulkes (Canada), dari tentara gabungan Sekutu, untuk 'berunding' di Hotel 'De Wereld' di Wageningen, Holland, untuk menandatangani dokumen kapitulasi tentara pendudukan Jerman di Nederland. Ini terjadi karena semula komandan tentara Jerman itu beranggapan bahwa penyerahan Jerman kepada Marsekal Montgomery itu, tidak termasuk tentara pendudukan Jerman di sebelah Barat Holland. Demikianlah, Belanda menetapkan hari pembebasan Belanda dari pendudukan Jerman itu jatuh pada tanggal 05 Mei 1945. Maka sejak itu setiap tahun tanggal 05 Mei diperingati di Belanda sebagai 'HARI PEMBEBASAN', 'BEVRIJDINGSDAG Pembebasan Belanda dari pendudukan Jerman, terutama dilakukan oleh tentara Sekutu, yang masuk Belanda ketika itu, sebagian besar terdiri dari tentara Canada. Tetapi, tidak kurang pula peranan penting perjuangan perlawanan bawah tanah kaum patriot Belanda dalam perjuangan untuk membebaskan Belanda. Di Belanda para pejuang perlawanan bawah tanah ini dikenal dengan nama 'VERZETSTRIJDERS'. Tulisan ini, sekadar untuk mengingatkan bahwa di kalangan para pejuang perlawanan bawah tanah Belanda melawan pendudukan Jerman, juga terdapat ORANG-ORANG INDONESIA, TERUTAMA DARI KALANGAN perkumpulan poitik PERHIMPUNAN INDONESIA, Belanda.. Dua penulis Belanda yang kukenal menulis tentang partisipasi orang-orang Indonesia dalam perjuangan perlawanan Belanda melawan Jerman, a.l. adalah wartawan senior JOOP MORRIEN (78), dan politikolog HARY A POEZE (60). Jurnalis kawakan JOOP MORRIEN, mantan wartawan 'De Waarheid, Komite Indonesia Nederland, menulis banyak artikel dan buku sekitar hubungan Belanda-Indonesia, dimana ia mengisahkan perlawanan rakyat progresif Belanda terhadap politik kolonial Belanda terhadap Indonesia. Serta perjuangan rakyat Indensia melawan kolonialisme dan inmperialisme. HARRY POEZE sekarang Direktur KITLV Press, Belanda. Ia memperoleh PhD dengan tesisnya mengenai Biografi Tan Malaka. Ia banyak menulis hasil studinya, buku-buku dan artikel/kertas kerja mengeni perkembangan politik, khususnya tentang perkembangan demokrasi di Indonesia. * * * Banyak cerita, tulisan dan buku sekitar perjuangan tentara Sekutu dalam Perang Dunia II, yang menyerbu Eropah yang diduduki Jerman. Juga mengenai pertempuran-pertempuran dalam mebebaskan Nederland dari tentara Jerman, khususnya operasi 'Arnhem'. Terdapat juga cerita, kisah dan bahkan film mengenai perjuangan bersenjata bawah tanah kaum VERZETSTRIJDERS Belanda melawan tentara pendudukan Jerman. Antara lain yang ditulis oleh Harry Mulisch, novelis terkenal Belanda, berjudul 'De Aanslag' ('Serangan'). Atas dasar buku itu dibuat salah satu film paling terkenal Belanda, 'De Aanslag' . Namun, literatur maupun film (Belanda) yang mengishkan 'verzetstrijd', atau 'perjuangan perlawanan bawah tanah' Belanda melawan pendudukan Jerman, tidak banyak, kalau tidak hendak dikatakan sedikit sekali yang mengisahkan partisipasi orang-orang Indonesia, terutama para anggota Perhimpunan Indonesia di Belanda, dalam perjuangan bawah tanah melawan Jerman. *** Belum lama kutemukan kembali sebuah tulisan atau makalah yang ditulis oleh R.M. Djayeng Pratomo (93), berjudul ORANG-ORANG INDONESIA DALAM GERAKAN PERLAWANAN DI BELANDA. Dalam pembicaraan tilpun dengan beliau, yang dalam keadaan sakit, aku minta izin untuk menyiarkan tulisannya itu. Karena tulisan beliau itu mengisahkan peristiwa penting di Nederland selama pendudukan Jerman Hitler. Tentang orang-orang Indonesia di Nederland yang dengan sepenuh hati dibimbing oleh ide-ide luhur demokrasi, kebebasan dan perdamaian bersama-sama dengan kaum patriot Belanda, menceburkan dirinya dalam perjuangan bawah tanah ( termasuk yang bersenjata), berjuang, menderita bahkan mengorbankan jiwanya, demi pembebaan negeri Belanda. Alangkah luhurnya cita-cita mereka. Padahal, ketika itu bangsa Indonesia masih berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Atas persetujuan Djayeng Pratomo, akan kusiarkan dalam seri berikutnya artikel Djayeng Pratomo tsb. Ia akan sedikit menjelaskan mengapa 'mengenai grup perlawanan Indonesia ini tidak banyak ditulis. Orang-orang Belanda dari generasi mudanya samaekali tidak mengetahui akan hal ini.
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - LANGKAH KECIL DLM 'LONG MARCH' . . . . .
Kolom IBRAHIM ISA Sabtu, 21 April 2007 LANGKAH KECIL DLM 'LONG MARCH' MEMBERLAKUKAN HAK-HAK AZASI MANUSIA (HAM) Bagaimana sebaiknya menyingkapi pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi baru-baru ini? Ini suatu pertanyaan yang tidak sederhana untuk menjawabnya. Betapapun kecil artinya, bila pernyataan itu dikeluarkan dengan tulus dan sungguh-sungguh, hal itu penting untuk diperhatikan. Soalnya, pernyataan itu dikeluarkan oleh seorang pejabat tinggi dari Mahkamah Konstitusi. Kepada pers Ketua Mahkamah Konstitusi(MK) Jimly Asshidiqie menyatakan (Liputan T. Herlina, 'Sinar Harapan', 18/4) bahwa: 'Paham komunis di masyarakat saat ini tidak perlu dilarang. Kepolisian maupun kejaksaan bahkan harus menindak jika ada pihak-pihak yang melakukan anarki karena tidak suka dengan suatu paham'. Dengan sedikit lagi keberanian dan ketegasan, seyogianya Asshidiqie, seperti halnya Gus Dur, akan berseru lantang untuk dibatalkannya TAP MPRS No. XXV/1966. Selanjutnya Ketua Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa UUD 1945 yang menjadi landasan hukum tertinggi bagi kehidupan bernegara menjamin secara tegas tentang kebebasan bagi setiap warga negara untuk berpikir dan berkeyakinan. Menurutnya, pemerintah harus meluruskan kondisi masyarakat yang seperti ini. * * * Perhatikan dua kalimat yang teramat penting dalam pernyataan tsb, yaitu sbb: 1)'Kepolisian maupun kejaksaan bahkan harus menindak jika ada pihak-pihak yang melakukan anarki karena tidak suka dengan suatu paham'. 2)UUD 1945 yang menjadi landasan hukum tertinggi bagi kehidupan bernegara menjamin secara tegas tentang kebebasan bagi setiap warga negara untuk berpikir dan berkeyakinan. Kedua kalimat yang terdapat dalam pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi tidak pernah sebelumnya terdengar dari seorang pejabat elite setinggi itu. Karena, jelas sekali, dalam pernyataan tsb penguasa diperingatkan untuk tidak bersikap masabodoh terhadap pelanggaran hukum, apalagi suatu pelanggaran yang menyangkut salah satu prinsip utama dari HAM. Pernyataan serupa dari kalangan elite/pimpinan nasional, memang tidak jarang kita dengar. Yang kita sering dengar adalah yang keluar dari mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid. Ketika itu Gus Dur, mantan Presiden RI, adalah satu-satunya tokoh nasional yang secara blak-blakan, di muka umum berseru agar TAP MPRS No XXV/1966 dibatalkan. Karena TAP tsb bertentatangan dengan hak-hak demokrasi, bertentangan dengan UUD 1945. Elite lainnya maupun pers, mengambil sikap 'diam' atau dengan galak tegas menentang. * * * Bisalah dikatakan bahwa adalah lebih bijakasana untuk tidak bersikap apriori, terhadap munculnya gejala 'perkembangan' dalam pemikiran dan pandangan dari kalangan elite. Apalagi bila 'perkembangan' itu terjadi di suatu lembaga yang penting seperti Mahkamah Konstitusi. Memang dari kalangan masyarakat kita masih ada semacam harapan bahwa lembaga Mahkamah Konstitusi seyogianya 'dikit-dikit' turutlah memainkan peranan, agar negara ini berangsur-angsur menuju ke suatu negara hukum, yang mematuhi konstitusi yang demokratis, yang memberlakukan prinsip-prinsip HAM. 'Perkembangan pemikiran' yang dimaksudkan ialah sehubungan dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi menyangkut soal besar seperti HAM, seperti dikutip diatas. HAK-AZASI MANUSIA, populer disebut HAM, adalah sesuatu yang belum lama dikenal apalai dikhayati di kalangan bangsa kita. Dalam waktu yang cukup lama dalam sejarah bangsa ini, masyarakat kita hidup dalam sistim dan kultur feodal otokratis yang sudah usang yang dilindungi dan bertautan dengan sistim dan kultur kolonialisme. Dimana hak raja-raja, sultan-sultan atau tuan tanah feodal seperti aparat kekuasaan lainnya dari kolonialisme, yang memonopoli segala hak, sedangkan kaum tani dan rakyat umumnya hidup di bawah penindasan, penghisapan dan kekangan penguasa yang punya wewenang. Baru pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, ketika mulai tumbuh dan berkembang kesadaran berbangsa serta gerakan kemerdekaan nasional, lapisan tertentu masyrakat kita, umummya pada kaum terpelajar, lahir fikiran-fikiran baru dan maju mengenai hak bangsa-bangsa untuk berdiri sendiri sebagai suatu nasion, sama derajat dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini. Ini berkat pengaruh fikiran-fikiran maju yang semakin tersebar di mancanegara sejak Revolusi Perancis dan Revolusi Kemerdekaan Amerika. Lebih-lebih lagi menjelang, selama dan setelah Perang Dunia II. * * * Berdirinya Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno/Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945, membuka peluang ditegakkannya hukum, diciptakannya dan diberlakukannya hak-hak warganegara yang melindungi peri kehidupannya. Amandemen demi amandemen terhadap Undang-Undang Dasar RI yang dilakukan berturut-turut, secara formal dan resmi mencantumkan fasal-fasal mengenai HAM, meskipun belum sempurna. Dengan demikian formalnya Republik Indonesia,
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS,
IBRAHIM ISA'S -- SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS, Tuesday, 18.04.07 --- POLICE VOW TO RESOLVE HUMANRIGHT ACTIVIST MUNIR MURDER IPDN STUDENT DIED OF BLOWS . . . GOVT ACCUSED OF BEING 'PRO-TYCOON' POVERTY ERADICATION PROGRAM OVERSTRECHED POLICE VOW TO RESOLVE HUMANRIGHT ACTIVIST MUNIR MURDER M. Taufiqurrahman, The Jakarta Post, Jakarta The National Police reaffirmed on Tuesday their commitment to solving the murder of human rights campaigner Munir Said Thalib.National Police Chief Gen. Sutanto said that investigators were currently collecting evidence and questioning numerous witnesses to build a strong case, including a man who claimed to have seen Munir drinking with Garuda pilot Pollycarpus Budihari Priyanto at Singapore airport. Pollycarpus is the only person ever to have been convicted in the murder of Munir, although the verdict was later thrown out by the Supreme Court. "We don't want this case to just go away... so we are trying our best to collect all the evidence," Sutanto told reporters after attending the commemoration of the fifth anniversary of the Financial Transaction Report and Analysis Center at the State Palace. Sutanto said that if needed the police would question former chief of the State Intelligence Agency (BIN) A.M. Hendropriyono. "Questioning him, however, has to be based on solid evidence and not just assumption, as this would be easy to rebut during a court proceeding," Sutanto said. Hendropriyono and another BIN officer, Muchdi P.R., who have long been implicated in the murder of Munir, have said that they are ready for the police investigation if it is conducted professionally. Current BIN chief Syamsir Siregar said the police had the complete authority to investigate all witnesses and suspects in the case, including officials from the intelligence agency. Sutanto also said that the police were still collecting information from former Garuda Indonesia president director Indra Setyawan and Rohainil Aini, the secretary to the chief pilot. The two Garuda officials were arrested late last week after being named suspects in the case for issuing the letter that was used by primary suspect Pollycarpus to board the Garuda aircraft that was to take Munir to Amsterdam. Sutanto also said that the police would question all the witnesses, including a mysterious person known as Raymond "Ongen" Latuihamalo, who is believed to have seen Munir having a drink with Pollycarpus at a cafe in Singapore's Changi Airport. While it was previously believed that the arsenic that Munir was poisoned with was administered on board the flight from Jakarta to Singapore, it is now thought that he was given it while at the airport. Garuda defense lawyer M. Assegaf said Tuesday that his client, Pollycarpus, did not know the new witness. "Polly does not know Ongen, he never even met him," Assegaf was quoted by Antara as saying. Assegaf said that the likelihood of Pollycarpus meeting Munir in Changi was small given the security protocol at the international airport. "Once he disembarked from the aircraft, he went straight to the hotel just like the other Garuda crew. Transit passengers would have been directed to a waiting room and to return to the aircraft he would have needed a card," Assegaf said. POLICE SAY IPDN STUDENT DIED OF BLOWS . . Yuli Tri Suwarni and Slamet Susanto, The Jakarta Post, Sumedang, Yogyakarta The investigation into the death of Institute of Public Administration (IPDN) student Cliff Muntu has revealed that he likely died from blows to his chest. A reconstruction of the crime, which started at 10 p.m. on Monday at the institute's campus in Jatinagor, Sumedang regency, and took three and a half hours, involved the seven senior students alleged to be responsible for the attack, which took place on April 2. Hikmat Faisal, Frans Albert Youkou, Ahmad Ari Pendi Harahap, Muhamad Amrullah, Fendy Notobuo, A Bustanil and Jaka Anugrah Putra, all of whom have been dismissed from IPDN, explained the assault to police. The police said that there were 48 parts to the reconstruction. "We're ready to deliver the (files of the seven) to the prosecutor's office on Wednesday," Sumedang Police chief Adj. Sr. Comr. Syamsul Bahri said Tuesday. Sumedang Police crime and detective unit head Adj. Sr. Comr. Hotben Gultom said Cliff had died after being hit in the chest. The reconstruction showed that the seven students accompanied Cliff's body to al-Islam Hospital. West Java Police are still investigating the possible involvement of several lecturers and supervisors in the assault. The investigation has found that the institute's dean of political science, Lexie Giroth, was ordered by the institute's management to handle Cliff's remains and inform his family in Manado, North Sulawesi, of his death. Lexie said he did not order Iyend Sopandi, an official at the Bandung Health
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA -- AKU MANTAP JADI ORANG INDONESIA
IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA Jum'at, 13 April 2007 - AKU MANTAP JADI ORANG INDONESIA Memang bermacam orang, bermacam pula reaksinya terhadap segala sesuatu. Fakta dan peristiwa bisa sama, tetapi tanggapan dan kesan sering berbeda-beda. Bahkan bisa saling bertentangan. Lihat saja bagaimana berlainan orang berreaksi terhadap situasi budaya Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN)yang dirasakan sudah merajai mental bangsa ini. Pada garis besarnya, tanggapan-tanggapan tsb ada yang mengambil sikap kritis-optimis, - melihat sesuatu selalu dari berbagai segi, tapi yakin bahwa haridepan negeri ini akan membaik; ada pula yang pasif-pesimis, patah hati atau putus asa. Tidak sedikit pula yang kritis-satiristis-sinis, namun, tetap percaya bahwa suatu ketika akan terjadi perubahan ke arah membaik. * ** Untuk sekadar ilustrasi dari gambaran diatas: Mari kita baca puisi wartawan senior Rosihan Anwar (Lihat lampiran). Bagaimana ia menanggapi situasi Indonesia sekitar 2004. Pendapat dan tanggapannya dituangkannya dalam rangkuman sajak berjudul: AKU TIDAK MALU JADI ORANG INDONESIA. Sajak Rosihan itu juga ada terjemahannya dalam bahasa Belanda. Pagi kemarin, bersama istriku Murti, kami baca bersama teks bahasa Belanda. Lho, kok, teks Belanda yang dibaca? Begini ceritanya: istriku, yang sejak kecil pendidikannya di sekolah Belanda, di rumah dulu juga berbahasa Belanda. Ia biasa lebih cepat menangkap isi teks yang dalam bahasa Belanda. Ya, jadi kami baca yang bahasa Belanda. Jangan salah faham, bagiku sendiri, lebih mantap membaca yang bahasa Indonesianya. Aslinya-lah! Bagaimana kesanmu, tanyaku kepada Murti. Murti tersenjum. Akupun tersenyum. Karena memang sajak/puisi Rosihan itu jenaka, tapi tajam. Dengan cara yang lucu dan kritis, tetapi juga sarkastis dan sinis Rosihan menanggapi situasi korupsi yang sudah dianggap begitu mendarah-daging di kalangan bangsa kita. Sebenarnya itu terjadi hanya di kalangan orang-orang yang punya kuasa dan yang bisa dan suka korup. Aku yakin betul, mayoritas bangsa kita jujur, tidak korup. Kalau tidak percaya silakan bikin angket atau riset!!! Sendiri!! * * * Sejak dulu, aku punya rasa-bangga SEBAGAI ORANG INDONESIA. Meskipun ketika itu Indonesia masih dibawah kekuasaan kolonial Belanda. Aku selalu bangga melihat pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi dari kepanduan KBI, Kepanduan Bangsa Indonesia. Mereka bernyanyi lagu kebangsaan, berlatih, berolah raga dan berkemah. Mereka mengenakan kacu Merah-Putih. Aku senang dan bangga sekali menyaksikan itu semua. Kemudian di bawah pendudukan tentara Jepang, aku sering mendengarkan pidato-pidato Bung Karno yang berapi-api dan mencengkam kami, pendengarnya. Belum banyak yang bisa kutangkap dari pidato Bung Karno itu. Tapi melihat orang Indonesia pidato di atas podium, begitu berkobar-kobar dan bersemangat, begitu menyemangati dengan jiwa kebangsaan. Itu semua bikin aku jadi bangga, membesarkan semangat dan perasaan kebersamaan sebagai bangsa Indonesia. Kebanggaan itu, mungkin juga disebabkan pendidikan keluarga (pernah ikut kakak ipar yang ternyata anggota PNI, menghadiri rapat Gerindo di Gang Kenari, menjelang pendudukan Jepang); dan kemudian bersekolah Muhammadiyah, lalu di Taman Siswa yang punya arah nasionalisme yang kuat. Pada periode Revolusi Kemerdekaan perasaan dan semangat sebagai bangsa Indonesia, menjiwai sebagian besar pemuda kita untuk ambil bagian dalam perang kemerdekaan. Semangat ini juga menjiwai diriku. Ini merupakan suatu kebanggaan yang tak mungkin bisa dihapuskan oleh ulahnya koruptor-koruptor dan pelanggar-pelanggar HAM kelas kakap, mereka-mereka yang bergelimang dengan dan berkubang di lumpur dan rawa-rawa KKN. Denan demikian apakah seseorang itu 'bangga' atau 'malu' sebagai orang Indonesia, erat kaitannya dengan perasaan kebangsaannya, dengan pengenalannya terhadap identitasnya dalam konteks nasional. Bagiku sendiri ada sebab lain. Mungkin ini sebab sekunder saja. Di kalangan anak-anak dulu, kawan-kawan sepermainan ketika itu, sering diomongkan: Orang Belanda itu tak bisa berkelahi. Tetapi lain dengan kita. Kita ini bisa pencak-silat. Bisa pencak Cimandé atau Pukulan Betawi, dsb. Sedangkan orang Belanda hanya bisa 'boksen'. Pasti kalahnya kalau diadu dengan pencak-silat. Begitulah di kalangan anak-anak ketika itu. Kebetulan aku juga belajar silat, sehingga bila berhantam dengan siapapun, termasuk dengan orang Belanda yang 'boksen', merasa akan bisa menang. Yang tak boleh dilupakan ialah petuah guru-silat kami. Ia mengajarkan baha belajar silat itu, adalah demi keperluan bela diri dan olah raga. Menjaga kesehatan dan kewaspadaan. Jangan takut tetapi jangan pula sombong, mentang-mentang bisa Ciamdé atau Pukulan Betawi. Mengenal dan memantapkan harga diri! Percaya pada kekuatan diri sendiri. Orang Indonesia belajar silat, bukan asal silat saja. Belajar silat dengan dibimbing oleh suatu pedoman, katakanlah falsafah hidup. Ini bikin aku jadi bangga
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA: -- SIAPA MENDUGA!
IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA: Selasa, 10 April 2007 SIAPA MENDUGA -- SESUDAH 4 Th IRAK 'DIBEBASKAN' AS Kok BEGINI JADINYA !!!??? Siapa nyana? Sungguh tak terduga! Bukan stasiun TV Aljazeera, jga bukan TV Damascus atau TV Teheran yang kebetulan kulihat sendiri menyiarkan demo anti-Amerika terbesar dalam 2-3 bulan terakhir ini di Irak. Jangan heran! Adalah stasiun TV Amerika CNN yang kemarin, 09 April, kulihat menyiarkan tentang demo puluhan ribu massa Irak di kota Feluja. Puluhan ribu rakyat Irak, termasuk kaum perempuan yang berjilbab, dengan melambai-lambaikan bendera nasional Irak, meniup terompet, bersorak-sorai berdemonstran menentang Amerika dan sekutu-sekutunya yang menduduki Irak. Mereka bersemangat dan teramat bérang, dengan keras sekali berseru nyaring: Hai, tentara AS enyahlah segera dari Irak. Mereka berbaris sepanjang 5 km antara kota suci Kufa dan Najaf, untuk memperingati 4 tahun masuknya tentara AS ke kota Bagdad. Imam golongan Syiit radikal Muqtada al-Sadr yang berpengaruh, dan dikatakan yang ada dibelakang demo besar tsb menyerukan: Hentikan saling bunuh antara kita sendiri. Tujukn perlawanan pada sasaran utama, tentara agresor Amerika dan sekutu-sekutunya yang menduduki Irak! * * * Dan . . . . . . puluhan ribu kaum demonstran Irak itu mencabik-cabik kemudian membakar bendera Amerika, 'The Stars and Stripes' *** Wartawan CNN yang meliput situasi Irak tsb, juga melaporkan bahwa diantara banyak toko-toko yang ramai dikunjungi dikota Bagdad, adalah APOTIK. Yang laris dijual, adalah obat penenang syaraf. Pemilik apotik Tharik Osama, bercerita: Makin banyak orang yang membeli obat penenang. Karena mereka s e t r e s . Mereka sesungguhnya sudah diambang sakit syaraf total. Kebanyakan orang sudah tidak punya harapan situasi akan membaik. Saling ngebom (bunuh-diri), antara kaum Syiit dan kaum Sunni, operasi-operasi militer AS dan sekutu-sekutunya terjadi hampir tiap hari. Tidak seorangpun tahu kapan situasi mengenaskan ini akan bisa berubah. Yang mereka tahu adalah Presiden Bush mengirimkan tentara tambahan ke Irak. Lalu, apalagi yang laris laku di apotik Anda, tanya wartawan CNN. Tharik, pemilik apotik menjawab: Yang hampir sama larisnya ialah 'obat kuat' bernama VIAGRA. Karena s e t r e s itu, kata Tharik, akibatnya melemahkan syahwat kaum lelaki. Padahal mereka itu masih muda-muda. Masih memerlukan dan ingin kehidupan suami-istri yang wajar. Maka dibelilah tablet Viagra agar bisa normal hidup sebagai suami-istri. Aneh kedengarannya, beli obat penenang syaraf, bersamaan dengan itu membeli obat kuat Viagra. Aku fikir, andaikata situasinya tidak terlalu gawat untuk AS, barangkali wartawan CNN yang adalah stasiun TV milik orang Amerika itu, --- tidak akan khusus mentayangkan berita seperti itu, pas pada peringatan 4 tahun Amerika masuk Bagdad. Memang bisa terjadi bahwa di CNN orang-orang yang pro Partai Demokrat dan anti politik-Irak Presiden Bush cukup berpengaruh. Bukankah Kongres AS yang kini didominasi oleh Partai Demokrat itu, mendesak Presiden Bush untuk bikin jadwal kongkrit kapan tentara AS ditarik dari Irak. Kongres menuntut kongkritnya tidak lebih lama dari Agustus 2008. Bila Presiden Bush menolak keputusan Kongres tsb maka dana operasi tentara AS di Irak akan di stop. Begitu tajam konflik di Kongres AS mengenai beleid Presiden Bush di Irak. Tokh, Bush ngotot mempertahankan kebijakannya untuk terus menduduki Irak. Memang ada dua kepentingan kaum modal AS di Timur Tengah. Satu, mempertahankan dominasi posisi militer AS. Kedua mendominasi sumber minyak di Irak dan Timur Tengah. Jadi bukanlah masalah menyebarluaskan atau mensosialisasikan DEMOKRASI dan HAM, bukan pula untuk mencekal 'senjata pemusnah masal' yang katanya dimiliki oleh Saddam Husein, yang jadi motif Presiden Bush masuk Irak. Sama halnya, seperti ketika AS mendalangi penggulingan Presiden Sukarno dan membantu Jendral Suharto berkuasa di Indonesia. Bukan demi menyebarkan Demokrasi dan HAM, tetapi mendudukkan pemimpin pemerintahan yang bisa diandalkan dan dikendalikan oleh AS dalam strategi Perang Dingin ketika itu. Artinya demi kepentingan kaum modal AS sendiri. *** Bagi orang-orang yang bermimpi, bahwa 'demokrasi' itu, adalah semacam barang dagangan yang bisa diekspor, tidak pernah terfikirkan samasekali, bahwa perubahan demokratis sesuatu negeri itu, pertama-tama dan terutama disebabkan oleh kekuatan sosial di dalam negeri itu sendiri. Bukanlah oleh suatu invasi militer asing, atau oleh kekuatan militar dalam negeri yang dipaksakan dari atas, betapapun keheibatan dan keunggulannya. Bagi protagonis invasi militer AS dan sekutu-sekutunya untuk menggulingkan Sadam Hussen, tak pernah terduga samasekali, bahwa sesudah Sadam Hussein digulingkan, situasi di Irak, akan begini jadinya. Karena, menurut mereka-mereka itu, bukankah Amerika masuk Irak untuk mensosialisikan prinsip-pins
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - DOA BERSAMA DEMI KESELAMATAN BANGSA Utk PERKOKOH SEMANGAT
Kolom IBRAHIM ISA Jumat, 06 April 2007 --- DOA BERSAMA DEMI KESELAMATAN BANGSA Utk PERKOKOH SEMANGAT dan DJIWA TOLERAN Sungguh melegakan dan menggembirakan, memperbesar rasa dan semangat toleransi kita, ketika membaca rencana bahwa Presiden SBY dan Wapres JK, akan langsung memimpin doa bersama untuk keselamatan bangsa. Rencana doa bersama tsb direncanakan pada hari Minggu, tanggal 8 April 2007. Lebih penting lagi ialah bahwa hal itu dilakukan bersama, dalam waktu yang sama, oleh umat Islam, Katolik dan Protestan di tempat ibadah masing-masing. Sedangkan Presiden SBY dan Wapres JK menurut rencana, akan hadir di Mesjid Istiqlal, Jakarta bersama 80.000 jemaah. Bagi umat Katolik direncanakan doa dilangsungkan oleh 12.000 jemaah di Gereja Katedral, Lapangan Banteng, Jakarta. Bagi umat Protestan akan dilakukan di kurang lebih 200 paroki gereja-gereja seluruh Indonesia. Secara nasional umat Protestan akan mengadakannya di Gereja Imanuel Gambir, Jakarta. Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo Pr mengatakan, doa bersama akan dilakukan bersamaan dengan misa Paskah yang dipimpin Uskup Agung Jakarta Kardinal Julius Darmaatmadja SJ. *** Hari ini, Jumat 06 April 2007, di mancanegara yang umum berbahasa Inggris, disebut sebagai 'Good Friday'. Diperingati umat Kristen seluruh dunia SEBAGAI Jum'at Agung. Yaitu hari Jum'at sebelum Paskah, memperingati hari penyaliban Nabi Isa; yang beragama Kristen menyebutnya Jesus Kristus. Bagi umat Kristen merupakan salah satu hari terpenting dalam kalender mereka. Di negeri kita, hari ini seringkali disebut hari Wafat Isa Al-Masih, adalah salah satu dari hari libur nasional. Menunjukkan bahwa di negara Republik Indonesia, sebagaimana halnya terhadap pemeluk agama Islam , para pemeluk agama Nasrani, punya tempat sama dengan para pemeluk agama lainnya. Bahwa pada hari-hari Paskah, umat Islam, Katolik dan Protestan bersama-sama melakukan doa demi keselamatan bangsa, patut menjadi kebanggaan kita. Selain mencerminkan semangat dan jiwa toleransi antar-agama, kenyataan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia, negara Republik Indonesia, sesuai dengan ideologi negara Pancasila dan UUD, tetap setia pada prinsip kesatuan dan persatuan di bawah semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA. Berbeda-beda tetapi satu. Dengan demikian tak ada tempat bagi radikalisme maupun fundamentalisme religius yang menganggap diri paling unggul, menyisihkan, menegasi sampai-sampai pada tindakan hendak melikwidasi satu sama lainnya. *** Semangat toleransi, menenggang dan saling menghormati antara pelbagai agama dan kepercayaan, seyogianya juga termanifestasi dalam kehidupan bernegara, dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sudah sepatutnya dipraktekkan dalam kehidupan kultur dan politik yang nyata. Bukankah PANCASILA, sebagai dasar falsafah negara kita tegas-tegas memberikan hak, serta kebebasan kepada setiap warganegaranya untuk punya keyakinan ideologi dan keyakinan politik masing-masing? Hak untuk punya pendapat dan keyakinan sendiri adalah salah satu prinsip dari hak azasi manusia sebagaimana tercnatum dalam UUD RI, dan dalam pernyataan HAM mancanegara, seperti tertera dalam 'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS UNO', 10 Desember 1948. Pada hari-hari Paskah kali ini, kita bersama-sama mendoakan keselamatan dan kesejahteraan bangsa dengan dihadiri, bahkan 'dipandu' oleh Presiden dan Wapres Negara. Peristiwa ini melegakan kita, karena kita masih dihadapkan pada kenyataan keras, peristiwa saling konfrontasi antara satu agama dengan agama lainnya, bahkan di dalam agama yang sama yang berbeda-beda tafsirannya, dengan menggunakan cara kekerasan sebagai jalan menyelesaikan perbedaan yang ada. Semangat dan jiwa yang mendorong menifestasi toleransi ini sungguh perlu diperkokoh lebih lanjut, dikonsolidasi, dan diluaskan dalam kehidupan politik, kehidupan bernegara. Mengapa perlu hal ini ditekankan? Karena, belakangan ini bisa disaksikan betapa suatu aliran politik yang punya hak hidup di Indonesia, sesuai dengan UUD RI, yaitu aliran SOSIAL-DEMOKRASI, yang dijadikan sebagai pedoman dan program suatu partai baru yaitu PAPERNAS, telah mengalami tindakan kekerasan, a la 'premanisme'. Salah suatu kegiatan PAPERNAS yang mengadakan pertemuan untuk menyatakan DEKLARASI PARTAI, telah diserang dan dibubarkan dengan kekerasan oleh kelompok aliran politik yang bernaung di bawah FPI, Front Pembela Islam. Peristiwa ini sangat disesalkan, mempermalukan semangat dan jiwa bangsa kita yang toleran dan saling menghormati. Oleh karena itu, selain menggalakkan usaha-usaha konstruktif dan positif seperti mengadakan DOA BERSAMA antara umat Islam, Katolik dan Protestan, juga perlu digalakkan semangat dan jiwa toleran dan saling menghormati antara pelbagai aliran dan keyakinan politik sesuai UUD RI dan HAM. Menghadapi tindakan
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - DOA BERSAMA DEMI KESELAMATAN BANGSA . . . .
Kolom IBRAHIM ISA Jumat, 06 April 2007 DOA BERSAMA DEMI KESELAMATAN BANGSA Utk PERKOKOH SEMANGAT dan DJIWA TOLERAN Sungguh melegakan dan menggembirakan, memperbesar rasa dan semangat toleransi kita, ketika membaca rencana bahwa Presiden SBY dan Wapres JK, akan langsung memimpin doa bersama untuk keselamatan bangsa. Rencana doa bersama tsb direncanakan pada hari Minggu, tanggal 8 April 2007. Lebih penting lagi ialah bahwa hal itu dilakukan bersama, dalam waktu yang sama, oleh umat Islam, Katolik dan Protestan di tempat ibadah masing-masing. Sedangkan Presiden SBY dan Wapres JK menurut rencana, akan hadir di Mesjid Istiqlal, Jakarta bersama 80.000 jemaah. Bagi umat Katolik direncanakan doa dilangsungkan oleh 12.000 jemaah di Gereja Katedral, Lapangan Banteng, Jakarta. Bagi umat Protestan akan dilakukan di kurang lebih 200 paroki gereja-gereja seluruh Indonesia. Secara nasional umat Protestan akan mengadakannya di Gereja Imanuel Gambir, Jakarta. Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo Pr mengatakan, doa bersama akan dilakukan bersamaan dengan misa Paskah yang dipimpin Uskup Agung Jakarta Kardinal Julius Darmaatmadja SJ. *** Hari ini, Jumat 06 April 2007, di mancanegara yang umum berbahasa Ingtris, disebut sebagai 'Good Friday'. Diperingati umat Kristen seluruh dunia SEBAGAI Jum'at Agung. Yaitu hari Jum'at sebelum Paskah, memperingati hari penyaliban Nabi Isa; yang beragama Kristen menyebutnya Jesus Kristus. Bagi umat Kristen merupakan salah satu hari terpenting dalam kalender mereka. Di negeri kita, hari ini seringkali disebut hari Wafat Isa Al-Masih, adalah salah satu dari hari libur nasional. Menunjukkan bahwa di negara Republik Indonesia, sebagaimana halnya terhadap pemeluk agama Islam , para pemeluk agama Nasrani, punya tempat sama dengan para pemeluk agama lainnya. Bahwa pada hari-hari Paskah, umat Islam, Katolik dan Protestan bersama-sama melakukan doa demi keselamatan bangsa, patut menjadi kebanggaan kita. Selain mencerminkan semangat dan jiwa toleransi antar-agama, kenyataan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia, negara Republik Indonesia, sesuai dengan ideologi negara Pancasila dan UUD, tetap setia pada prinsip kesatuan dan persatuan di bawah semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA. Berbeda-beda tetapi satu. Dengan demikian tak ada tempat bagi radikalisme maupun fundamentalisme religius yang menganggap diri paling unggul, menyisihkan, menegasi sampai-sampai pada tindakan hendak melikwidasi satu sama lainnya. ***
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA MENGAJAK: - BACA ASWI Ttg Istilah 'GERAKAN 30 SEPTEMBER
IBRAHIM ISA MENGAJAK: Rabu, 04 APRIL 2007 BACA ASWI Ttg Istilah 'GERAKAN 30 SEPTEMBER' Hari Minggu y.l. (01.04.07) dapat dibaca sebuah wawancara yang menarik sekali. Itu diberikan oleh sejarawan generasi muda kita ASWI WARMAN ADAM mengenai istilah 'GERAKAN 30 SEPTEMBER, yang menurutnya adalah lebih obyektif terbanding istilah 'G30S/PKI', versi Orba. Kukatakan Aswi Adam adalah sejarawan muda 'KITA'. Karena aku percaya akan kejujuran Aswi Adam mengenai FAKTA-FAKTA SEJARAH. Sebagaimana juga aku mempercayai sejarawan muda yang belum lama kukenal, BONNIE TRIYANA. Kedua-dua sejarawan muda ini, gairah dan serius sekali dalam meneliti dan menstudi fakta-fakta sejarah yang telah dibengkokkan dan dipalsu oleh Orba seperti yang antara lain dilakukan oleh sejarawan Angkatan Darat, Nugroho Notosusanto, dan sebangsanya. Tidak sedikit sejarawan muda dewasa ini, yang berusaha keras untuk 'meluruskan sejarah' (isilah Aswi) Indonesia. Atau seperti istilah Bonnie 'Mengklarifikasi' fakta sejarah Indonesia. Kiranya tidaklah berkelebihan untuk menaruh harapan terhadap sejarawan-sejarawan generasi baru, seperti Aswi dan Bonnie, juga Bambang Purwanto, dan lain-lainnya. Mereka gairah, maju terus meski menghadapi pelbagai rintangan. Termasuk ancaman dan intimidasi 'preman' seperti yang dialami oleh Aswi Adam dan keluarganya belakangan ini. Rintangan dan intimidasi tsb dilakukan terhadap setiap usaha untuk mengungkap kebenaran, membeberkan fakta-fakta sejarah Indonesia, khususnya yang menyangkut masa sejak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia; lebih khusus lagi yang menyangkut sekitar 'Peristiwa 1965'. Karena adalah pada periode itu, selama lebih dari 30 tahun Orba telah memutarbalikkan fakta-fakta sejarah Indonesia. Dan belakangan ini, -- memuakkan sekali, sampai-sampai Kejaksaan Agung ikut-ikutan, dengan keputusannya melarang buku-buku sejarah kurikulum 2004, yang tidak mencantumkan nama 'PKI' sesudah nama 'G30S'. Harapanku bertambah besar terhadap para sejarawan muda kita yang berani dan mampu menangkis 'brainwashing' Orba, antara lain setelah membaca tulisan-tulisan (Adam dan Bonnie). Lebih mengesankan lagi dari perkenalan pribadi dengan Aswi di Leiden beberapa tahun yang lalu, dan baru-baru ini pertemuan dan percakapanku dengan Bonnie. Ketika mendengarkan tuturnya mengenai pemahamannya tentang sejarah negeri dan bagsa kita. Di sini kiranya perlu disebut satu nama lagi dari generasi muda kita yang berusaha keras menyajikan fakta-fakta yang benar sekitar sejarah bangsa kita, seperti Lexi Rambadetta (dengan cameranya), dengan siapa baru ini saja aku terlibat dalam percakapan panjang lebar menyangkut masa kini dan haridepan Indonesia, serta peranan kaum muda di dalamnya. * ** Wawancara Aswi seperti yang diberikannya kepada dua orang jurnalis TEMPO, Endri Kurniawati dan fotografer Bismo Agung, telah disiarkan oleh TEMPO dan mailist WAHANA, kemudian disiarkan-ulang di bawah ini. * * * ISTILAH 'GERAKAN 30 SEPTEMBER' LEBIH OBYEKTIF Asvi Warman Adam, Sejarawan (TANYA: Istilah apa yang digunakan untuk menyebut pembunuhan enam jenderal pada 30 September 1965 ketika itu) JAWAB: Pada 1 Oktober 1965, istilah yang dipakai adalah "Gerakan 30 September". Tidak disingkat menjadi G-30-S, tapi ditulis penuh. Itu menurut dokumen yang dikeluarkan pada 1 Oktober. Dalam perkembangannya, bahkan 40 hari setelah peristiwa itu, Jenderal Nasution menulis buku yang diterbitkan Departemen Pertahanan berjudul 40 Hari Kegagalan "G30S". Istilah G-30-S itu dipakai sampai pertengahan Desember 1965. Pelakunya sendiri menyatakan Gerakan 30 September. (TANYA - Siapa pelakunya?) JAWAB: Untung, Latif, memakai istilah itu. Dalam dokumennya, Untung menggunakan istilah Gerakan 30 September. (TANYA -Dokumen apa itu?) JAWAB - Dokumen yang mereka keluarkan pada hari pertama (setelah pemberontakan) yang menyatakan mereka membentuk Dewan Revolusi dan lain-lain. Tapi gerakan itu mereka sebut sebagai Gerakan 30 September. Setelah itu Bung Karno menggunakan istilah Gestok, Gerakan Satu Oktober. Itu ditandingi oleh Angkatan Darat dan kelompok Islam dengan istilah Gestapu untuk diasosiasikan dengan Gestapo (Nazi-Jerman). Tapi, kalau dilihat dari bahasa Indonesia, itu kan kurang tepat. Sejak awal ada "pertarungan" antara Gestok dan Gestapu. Baru setelah 1966 dipakai istilah PKI. (TANYA - Sejak Orde Baru berkuasa?) JAWAB - Ya, sejak Soeharto makin kuat kedudukannya dipakai istilah G-30-S/PKI. Alasan lainnya, ketika itu ada Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Yang diadili pertama kali adalah Nyono, Ketua CC PKI Jakarta Raya. Sejak itu dikaitkan (dengan PKI). Tapi kita tahu yang diadili bukan hanya pengurus PKI. Tapi juga perwira Angkatan Darat (AD), Angkatan Udara (AU), Wakil Perdana Menteri, dan Menteri Luar Negeri Soebandrio, yang buka
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA - NAMA BAIK SOBRON AIDIT SUDAH DIREHAB
IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA -- Sabtu, 31 Maret 2007 SOBRON AIDIT SUDAH DIREHAB MASYARAKAT Nanti akan kujelaskan mengapa aku berani mengatakan, pada sambutanku berkenaan dengan Peringatan Hari Ke-40 Meninggalnya Sobron Aidit yang berlangsung tadi siang, bahwa, Sobron sesunguhnya tidak lagi mememerlukan 'rehabilitasi' dari penguasa Indonesia sekarang. Sebab terpokok ialah karena masyarakat Indonesia itu sendiri, para penggemar karya-karya Sobron, S U D A H MEREHABILITASI NAMA BAIK SOBRON. Belakangan nanti akan kutambahkan penjelasannya. Pokoknya REHABILITASI NAMA BAIK SOBRON telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Itulah yang terpenting. Hal itu bisa disaksikan antara lain dengan penuh sesaknya ruang pertemuan dengan hadirin yang khusus datang untuk mengenangkan Sobron yang meninggal 40 hari yang lalu. * * * Hari Sabtu 'weekend' kali ini cuaca benarbenar bagus. Terasa benar datangnya musim semi. Sejauh mata memandang tampak pepohohonan dan tanaman yang tadinya gundul, mulai menghijau. Rupanya yang 'Di Atas', memberkahi pertemuan memperingati Sobron. Sehingga suasana itu memperindah, menyemarakkan serta membikin pertemuan yang diadakan di gedung sekolah 'Schakel' di Burg. Bickerstraat 40, Diemen, Holland, menjadi kenangan yang sulit dilupakan. Acara yang disusun rapi oleh panitya peringatan, -- terdiri dari pembacaan puisi oleh dan tentang Sobron, oleh Chalik Hamid, Mawi, Nita, Heri Latief, Dini Setyowati, Ratih, Mriyanti, sungguh mencengkam. Ditambah lagi dengan merdunya suara Nita yang membawakan lagu kesukaan ayahnya. Sesudah mendengar suara merdu Nita yang diiringi petikan gitar, aku bilang pada Nita: Ini Benar, bukan baso-basi! Baru Oom tahu bahwa Nita bisa bernyanyi begitu merdu. Terima kasih Oom, kata Nita. Aku taksir kurang lebih sekitar 200 termasuk keluarga dan handai taulan, serta penggemar ('fans') tulisan Sobron, yang memenuhi ruang pertemuan. Di antaranya kulihat pakar Indonesia Dr. Nico Scholten Nordholt dan istrinya Clara Ela yang membacakan sambutan dan syair Sobron. Seperti tertera dalam undangan, hari itu hadirin bersama-sama memperingati 'Empatpuluh Hari' meninggalnya sahabat tercinta Sobron Aidit, yang juga adalah salah seorang ketua 'Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia', YSBI, dan Ketua Redaksi majalah 'KREASI', organnya YSBI. Dalam sambutanku pada hari peringatan tsb sesudah menyatakan terima kasih kepada Bung Soelardjo, salah seorang ketua YSBI yang memberikan kesempatan kepadaku untuk menyampaikan sepatah-dua kata berkenaan dengan hari peringatan ini, kunyatakan mengenai Sobron sbb: ** * Adalah suatu tradisi atau kebiasaan turun temurun bangsa kita dari pelbagai suku dan kepercayaan, yang sampai sekarang masih diteruskan oleh berbagai lapisan masyarakat kita, untuk memperingati empatpuluh hari, seratus hari, atau seribu hari meninggalnya kerabat, handai atau taulan. Maksudnya ialah untuk mengenang kembali yang telah meninggal, bahwa kita tidak melupakannya, membacakan doa sesuai keyakinan agama masing-masing, serta memperkuat ketabahan pada keluarga yang ditinggalkan. Bahwa kita terutama mengingat sifat-sifatnya yang baik dan positif, selain menarik pelajaran dari segi-segi yang dianggap sebagai kekurangannya selaku penulis progresif. * * * Memperingati yang telah meninggal itu, adalah suatu tradisi yang dihormati masyarakat, suatu kebiasaan bangsa kita, yang lintas etnis dan lintas agama. Sobron Aidit, atau Bung Sobron, -- sapaan akrab sehari-hari bagi kita-kita yang sudah lama kenal dan dekat dengan Sobron, banyak orang mengenalnya sebagai penulis. Terkesan Sobron seperti tak pernah capé-capénya menulis. Bagi saya dan bagi banyak teman, terutama penting sekali, bahwa, meski Sobron bukan seorang politikus, bukan seorang aktivis aksi-aksi masyarakat, tetapi Sobron jelas punya pandangan dan pendirian politik yang tegas menentang rezim anti-demokratis dan represif Orba di bawah Jendral Suharto. Kenyataan bahwa Sobron adalah anggota pinpinan YSBI dan majalah KREASI sudah menjelaskan pandangan budaya, sejarah dan politiknya, yang patriotik dan progresif, membela demokrasi dan HAM. Pernah seorang sahabatku mengatakan bahwa aku harus menerima Sobron sebagaimana apa adanya. Sobron bukan orang politik, katanya. Setelah menelusuri tulisan-tulisan dan wawancara-wawancra yang diberikannya kepada wartawan lembaga pemberitaan asing maupun Indonesia, aku meragukan pendapat kawan tadi. Nyatanya pandangan politik Sobron yang patriotik dan progresif itu, menunjukkan baha Sobron adalah seorang sastrawan yang sadar politik, mempunyai pandangan politik yang prinsipil. * * * Beberapa tahun yang lalu ketika berkunjung ke Jakarta, aku melihat-lihat buku di Gramedia. Di ruangan yang memamerkan buku-buku yang 'bestseller' yang 'laris', kulihat ada dua pengarang yang bukunya dik
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (2)
Kolom IBRAHIM ISA RAbu, 28 Maret 2007 -- MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (2) KLARIFIKASI SEJARAH BONNIE TRIYANA Berikut ini adalah bagian ke-dua; sambungan dan bagian terakhir dari makalah sejarawan muda Bonnie Triyana, berjudul MELURUSKAN SEJARAH BERDAMAI DENGAN MASA LALU. Kami ulangi paragraf terakhir dari bagian pertama (Kolom Ibrahim Isa, 27 Maret 2007), makalah Bonnie Triyana: * * * MELURUSKAN SEJARAH BERDAMAI DENGAN MASA LALU (Bagian 2)) Oleh Bonnie Triyana Serangkaian upaya peng-amnesia-an kolektif dilakukan dalam bentuk penyeragaman versi sejarah. Peristiwa bersejarah yang seharusnya diperingati malah diganti dengan peringatan momen sejarah yang urgensinya tak memiliki koherensi dengan peristiwa sejarah itu sendiri, semisal peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dinafikan begitu saja. Sebagai gantinya, Orde Baru memeringati 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Berbagai pengingkaran fakta sejarah lain juga dilakukan Orde Baru, misalnya dalam pernyataan bahwa penemu Pancasila bukan Soekarno melainkan Mohammad Yamin atau pencetus "Serangan Oemoem 1 Maret 1949" adalah Soeharto, bukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Selain melakukan penyeragaman ingatan, sejarah Orde Baru juga sangat bercorak militeristik. Sejarah versi Orde Baru banyak menuliskan tentang keberhasilan tentara memadamkan pemberontakan di daerah-daerah yang terjadi pada kurun tahun 1950-an 1960-an. Sehingga sejarah yang ditulis Orde Baru lebih tepat disebut sebagai sejarah operasi militer. Sejarah G.30.S. 1965: Dari Monoversi ke Multiversi Pada masa Orde Baru, peristiwa Gestok 1965 (Orde Baru menggunakan istilah G.30.S/PKI) ditulis dari perspektifnya sendiri, yang menempatkan PKI sebagai aktor utama pembunuhan para jenderal Angkatan Darat. Monoversi tersebut kemudian direproduksi dalam berbagai bentuk media doktriner, antara lain film "Penghianatan G.30.S/PKI" arahan Arifin C. Noor dan materi penataran P4 yang diberikan kepada murid sekolah hingga pejabat pemerintahan. Fungsinya hanya satu: legitimasi kekuasaan Soeharto. Beberapa versi lain juga muncul, misalnya keterlibatan Soeharto (Ben Anderson), keterlibatan klik Soekarno dan PKI (Arnold C. Brackman), konflik internal Angkatan Darat (Harold Crouch) dan keterlibatan CIA (Peter Dale Scott). Bung Karno memiliki versinya sendiri, yakni kelihaian unsur Nekolim, oknum-oknum yang "tidak benar,"dan para pimpinan PKI yang /keblinger/. Versi Bung Karno ini disampaikan dalam pidato Pelengkap Nawaksara, kemudian kembali dikutip oleh Manai Sopiaan dalam bukunya "Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G.30.S/PKI." Kini telah banyak korban yang menuliskan kisahnya masing-masing. Hersri Setiawan, mantan aktivis Lekra menulis "Memoar Pulau Buru", Haji Ahmadi Moestahal "Dari Gontor ke Pulau Buru," Hasan Raid "Pergulatan Muslim-Komunis," Kresno Saroso "Dari Salemba ke Pulau Buru", dan Abdul Latief almarhum "Pledoi Latief: Soeharto Terlibat G.30.S". Baru-baru ini Djoko Sri Moelyono, seorang korban dari Banten telah menulis kisahnya dalam "Banten Seabad Setelah Multatuli," naskah tersebut belum diterbitkan. Sejumlah karya ilmiah, baik skripsi maupun makalah turut mewarnai versi sejarah peristiwa Gestok 1965. Seluruh kisah tersebut secara otomatis menjawab sekaligus memertanyakan kembali keabsahan sejarah Gestok 1965 versi Orde Baru. Sejarah G.30.S 1965: Ditulis ulang atau diluruskan? Ada perdebatan teoritis di kalangan sejarawan menyangkut bagaimana memandang sejarah versi Orde Baru, khususnya sejarah G.30.S. 1965. Istilah "pelurusan sejarah" sendiri sebenarnya masih diperdebatkan antara Asvi Warman Adam versus Taufik Abdullah. Asvi Warman Adam cenderung berpendapat bahwa sejarah produk Orde Baru harus "diluruskan," karena ada beberapa hal yang diputarbalikan oleh penguasa Orde Baru. Sementara itu Taufik Abdullah berpendapat bahwa apa yang diyakini oleh Asvi salah adanya, karena fakta sejarah tak ada yang perlu diluruskan. Menurut Taufik yang perlu dilakukan dalam sejarah Indonesia adalah "penulisan ulang." "Penulisan ulang" sejarah dapat bermakna: /pertama/, yakni penulisan ulang terhadap suatu peristiwa atas dasar fakta yang sama sekali baru dan berbeda dari versi sebelumnya. /Kedua/, melakukan tafsir ulang atas fakta yang sama untuk kemudian menuliskannya dalam versi yang berbeda dari sebelumnya. Dalam "penulisan ulang," versi baru tidak menggantikan versi sebelumnya, akan tetapi lebih bersifat menyandingkannya. Argumentasi ini bersandar pada adagium bahwa setiap individu atau kelompok, tiada peduli siapa mereka, memiliki hak yang sama untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat berhak memutuskan sendiri apa yang harus dibacanya. Sedangkan "pelurusan sejarah" adalah penulisan yang bersifat mengoreksi versi sejarah sebelumnya. Pelurusan
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (1)
Kolom IBRAHIM ISA Selasa, 27 Maret 2007 -- MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (1) KLARIFIKASI SEJARAH BONNIE TRIYANA Semakin hari semakin dirasakan perlunya, mendesaknya, masalah sejarah bangsa kita dijadikan AGENDA TETAP BANGSA! Suatu Agenda Tetap Bangsa yang harus dicengkam dan ditangani dengan seksama, sungguh-sungguh dan jujur, oleh para pakar sejarah dan seluruh masyarakat. Kita tahu bahwa sejarah suatu bangsa itu menyangkut masalah identitas dan karakter bangsa itu sendiri. Mengapa dikatakan bahwa masalah sejarah harus menjadi agenda tetap bangsa? Ikutilah argumentasi sbb ini: Tidaklah sesuai dengan karakter bangsa kita, bila lebih sejuta warganegara sendiri yang tidak bersalah, pada tahun-tahun 1965-66-67 telah dibantai penguasa secara ekstra-judisial. Lalu para korban tsb dan keluarganya hingga saat ini masih terus didiskriminasi, dimarginalisi dan masih tetap dianggap oleh penguasa sebagai 'orang bermasalah'. Coreng yang merusak nama bangsa ini, begitu saja dimasukkan dalam peti és. Dilupakan begitu saja. Seakan-akan bangsa ini sudah 'hilang memori', hilang ingatan samasekali. Bertanya kita, bolehkan dibiarkan terus penguasa secara sewenang-wenang menulis kebohongan sekitar masalah tsb? Itulah nyatanya sikap penguasa, lembaga pengadilannya, kaum elite politiknya dan cendekiawannya terhadap masalah Pembantaian Masal Sekitar Peristiwa 1965. Suatu kenyatan pahit ialah, bahwa, walaupun sudah 9 tahun gerakan Reformasi dan Demokratisasi menjatuhkan Presiden Suharto; hampir sepuluh tahun Orba formal lenyap dari dunia politik, dan sementara hak-hak demokrasi telah diberlakukan di negeri kita, - namun kekuatan Orba yang masih ada di mana-mana, masih punya pengaruh dan kuasa. Maka akibatnya bisa dilihat dan dirasakan. Antara lain, fakta-fakta sejarah yang direkayasa, diplintir dan dipalsukan oleh Orba. Dan itu akan tetap jadi soal. Bahkan mengenai kurikulum 2004 yang menjadi keputusan pemerintah Megawati, dimentahkan kembali, dibatalkan. Dengan keputusan Kejaksaan Agung, kembalilah dunia pendidikan ke kurikulum versi Orba. 'Kebenaran' sejarah versi Orbalah yang berlaku. ** * Sahabatku Bonnie Tryana, adalah salah seorang sejarawan generasi baru yang berlawan terhadap 'brainwshing' Orba. Khususnya yang menyangkut Peristiwa Pembantaian Masal 1965. Bonnie dewasa ini giat meneliti dan menstudi bahan-bahan sejarah, dalam rangka KLARIFIKASI SEJARAH. Bonnie tidak menggunakan istilah 'Penulisan Kembali Sejarah' seperti yang digunakan oleh sejarawan Orba, Taufik Abdullah. Taufik Abdullah beranggapan bahwa, tidak ada fakta-fakta sejarah (Orba) yang perlu diluruskan. Bonnie juga tidak menggunakan istilah yang dipakai oleh Aswi Adam, yaitu Pelurusan Sejarah. Taufik Abdullah, sebagai intelektual Orba tulen --- tidak setuju dengan istilah Aswi Adam. Karena, istilah Aswi Adam jelas mengungkap bahwa fakta-fakta sejarah resmi Orba, a d a yang perlu diluruskan. Sesungguhnya pendirian Taufik Abdullah tsb, asing bagi seorang pakar sejarah. Taufik Abdullah tak mau 'membuka matanya' terhadap fakta-fakta keras tentang Peristiwa 1965, yang begitu banyak dewasa ini. Baik yang bersumber di dalam negeri, maupun dari luar negeri. Sikap Taufik Abdullah tsb., tidak lain adalah sikap 'burung unta yang menyembunyikan kepalanya ke dalam pasir' terhadap 'fakta-fakta' versi Orba, yang sarat dengan pemalsuan.. Lihat contoh berikut ini: Mengenai janazah 6 jendral dan seorang perwira yang jadi korban pembunuhan dalam peristiwa G30S, 1965 --- Siapa yang tidak tahu, Taufik Abdullah pun pasti tahu, bahwa menurut 'fakta-fakta' Orba, jenazah-jenazah itu matanya dicungkil dan kemaluannya dipotong, oleh para pembunuhya. Menurut fakta-fakta Orba pelaku kebiadaban tsb adalah wanita-wanita Gerwani di Lubang Buaya. Namun, team forinsic yang dibentuk yang berwewenang ketika itu, menyimpulkan, bahwa jenazah-jenazah para jendral itu utuh, tak ada yang dirusak. Hasil pemeriksasn team forinsic tsbi diperkuat oleh hasil studi dan penelitian pakar asing Dr. Saskia Wirengga. Wirengga mengungkap bahwa apa yang dikatakan 'kebiadaban' wanita-wanita Gerwani, adalah rekayasa belaka, dalam rangka Suharto mempersiapkan pendapat umum untuk melakukan pengejaran dan pembantaian masal terhadap PKI atau yang diduga PKI. Contoh lainnya bagaimana Orba merekayasa 'fakta' sejarah: 'Supersemar', yang adalah Surat Perintah Presiden Sukarno kepada Jendral Suhato, disulap menjadi 'pelimpahan kekuasaan', atau 'transfer of authority'. Pemberi perintah itu sendiri, Presiden Sukarno berkali-kali menegaskan dalam pidatonya sesudah Supersemar, bahwa Supersemar itu bukan 'transfer of authority' kepada Jendral Suharto. Tetapi penjelasan pemberi Supersemar itu, dianggap angin lalu saja oleh Orba. Tokh sej
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA -- 'KEUKENHOF', DIKAU SUNGGUH INDAH DAN CANTIK!
IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA Minggu, 25 Maret 2007 - 'KEUKENHOF', DIKAU SUNGGUH INDAH DAN CANTIK! Tidak berkelebihan kesan banyak orang: Sungguh cantik dan indah 'Keukenhof' itu!! Ia bukan seorang gadis muda belia, jelita, mempesonakan dan ayu. Yang sekali bertemu, begitu melihat pasti ingin melihatnya lagi. Perlukah dijelaskan lagi? Bahwa 'Keukenhof' itu adalah sebuah taman bunga. Tapi bukan sebarang taman bunga. 'Keukenhof" itu adalah sebuah 'Taman Bunga Musim Semi' yang t e r i n d a h di dunia ini. Terindah! Itu 'kan kata orang Belanda! Tidak, tidak hanya orang Belanda yang berucap demikian. Orang-orang asing lainnya, yang pernah mengunjunginya juga berkomentar demikian. Termasuk orang seperti aku ini, yang memandang Indonesia sebagai negeri yang paling cantik dan indah di dunia ini, namun, . . . . melihat Taman Bunga Musim Semi Keukenhof, terus saja jatuh ' c i n t a ' padanya. Dari mata turun ke hati, kata orangtua-tua kita. Apakah tulisan ini bukan reklame gratis untuk 'Keukenhof', untuk Nederland? Mungkin saja. Tetapi sesuatu yang indah, pantas dinikmati bersama. Makin banyak yang menikmatinya, makin banyak yang senang dan gembira, bukankah itu sesuatu yang baik? Anda bayangkanlah! Tidak kurang dari 7.000.000 - t u j u hj u t a --- bunga Tulip, Krokus, Narsis, Hyacit, Leli dll yang bermekaran dengan indahnya disitu. Tentu juga ribuan lagi bunga-bunga indah lainnya dari seluruh dunia. Dengan warna-warni dan bentuk yang aneka ragam. Sulit mencari kata-kata untuk melukiskan begitu indah dan begitu menarik serta mencengkam. Tak terbayangkan betapa indahnya. Juga tidak heran bila tahun lalu (2006), tidak kurang dari 750.000 orang pengunjungnya, 57 000 leibh banyak dari tahun sebelumnya. Dari pelbagai plosok dunia. Tak percaya? Dikira tulisanku ini 'asal ngomong' saja, 'asbun' saja? Beginilah! Hanya ada satu cara untuk membuktikannya: Kunjungilah sendiri 'Taman Bunga Keukenhof'. Memang anjuran ini tampaknya 'hanya' relevan bagi mereka-mereka yang punya syarat untuk itu. Bagi yang tinggal di Holland, tentu tidak terlalu berat untuk mengeluarkan sedikit ongkos (ticket-masuk Euro 13,- per orang dewasa; umur diatas 65, Euro 12; dan anak-anak Euro 6,-). Apalagi yang tinggal tidak jauh dari Lisse, daerah dimana terpampang 32 hektar lahan Taman Bunga Musim Semi terindah di dunia itu. Bila memang hendak mengunjunginya, belum terlambat. Baru dibuka tiga hari yang lalu, dan ditutup pada tanggal 22 Mei 2007. * * * Ada yang mengatakan bahwa bertamsya melihat taman bunga, itu adalah untuk orang berpunya, orang kaya. Bagi orang yang pendapatannya minim, itu sesuatu yang tidak mungkin. Sesuatu yang lux. Dikatakan juga bahwa mengenai bunga-bungaan, itu kan bersangkutan dengan masalah keindahan. Maka ia adalah selingan hanya untuk orang-orang yang mampu. Kiranya, pendapat yang demikian itu tak benar. Menikmati taman bunga yang indah, kiranya bukan selingan bagi orang-orang berpunya semata-mata! Benar, keterbatasan syarat-syarat ekonomi seseorang, sering merupakan hunjaman patok-patok keras pembatasan-pembatasan kemungkinan dan keleluasaan. Antara lain untuk bisa bersantai menikmati keindahan yang ada didalam kehidupan-natur bumi dan air kita ini. Namun, juga tak dapat dipungkiri! Bahwa selama ia masih hidup, entah lama atau sebentar , manusia itu selain memerlukan sandang dan pangan, juga memerlukan dan akan berjuang untuk memenuhi kebutuhan rokhaniahnya, keperluan jiwanya. Keinginannnya akan sesuatu yang indah, yang menyejukkan hati dan menenangkan fikiran serta menyegarkan kembali jiwa dan rokhaninya. Apalagi pada saat-saat situasi bergejolak tak menentu arahnya. Lebih-lebih lagi diperlukan penyegaran jiwa! Keperluan itu bukan saja bagi manusia modern sekarang ini yang taraf kebudayaannya sudah lebih tinggi dibandingkan dengan manusia-manusia zaman nenek-moyang kita.Cobalah dijenguk, langsung atau tidak langsung, ke dalam khazanh budaya bangsa-bangsa kuno seperti bangsa Mesir dan India, Tionghoa dan Persia, bangsa Maya di Amerika Latin, dan jangan sekali-kali dilupakan juga bangsa kita sendiri, bangsa Indonesia. Betapa pengetahuan, ilmu dan budaya serta seni dan keindahan itu jalin-berjalin menjadi suatu kesatuan yang utuh Jangan pula salah tafsir! Ini bukan berfalsafah. Sekadar mengungkap kenyataan hidup yang ada. ** * Semiskin-miskinnya kaum tani di pedesaan kita, sepapa-papanya kaum buruh di daerah kumuh; semua mengerti indahnya bunga melati. Ataupun bunga kembang sepatu yang menghiasi banyak jalan-jalan. Bila kita berziarah ke kuburan sanak saudara ataupun sahabat yang sudah mendahului, dari kejauhan sudah tampak pohon Kamboja yang sarat dengan bunga. Dan di pintu masuk, anak-anak sudah menawarkan bunga-bungaan yang dibungkus rapi untuk k
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS & VIEWS
IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS & VIEWS 22 March 2007 - Unique experience and success of EU-ASEAN cooperation Survey sees rising tide of regiolanalism Former members warn against Islamic state -- The Nuremberg Declaration Opinion and Editorial - March 20, 2007 The restoration of peace in the once rebellious Aceh, which was crowned by the democratic election of former separatist activists Yusuf Irawan and Muhammad Nazar as Aceh governor and vice governor, respectively, in December, is definitely the most successful example of cooperation between the European Union (EU) and the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) in the last 30 years of their relations. The two multilateral organizations succeeded in supervising the peace agreement between Indonesia and the Free Aceh Movement (GAM), which was achieved following the devastating tsunami that hit Aceh on Dec. 24, 2004. In their declaration after the meeting of foreign ministers of the two regional groupings in Nuremberg, Germany, last week, they highlighted the "unique experience and success of EU-ASEAN cooperation, such as the Aceh Monitoring Mission (AMM), and the importance of drawing lessons from the AMM in view of enhancing the EU's experience and strengthening ASEAN's own capacity in crisis management". The Aceh success story is a milestone for ASEAN and EU, and it can be used as a great model for resolving internal conflicts among their members or conflicts between member states. The readiness of the Indonesian government to soften its rigid adherence to the non-interference principle was one of the keys to success in Aceh. Apart from ASEAN-EU cooperation, there is also a larger vehicle for interregional cooperation between the two continents, the Asia-Europe Meeting (ASEM) mechanism, which accommodates additional members drawn from Asia, including China, South Korea and Japan. The two forums show that Asia is not only about regional superpowers China, Japan and India, but is also about ASEAN, one of world's oldest regional groupings. Established on Aug. 8, 1967, ASEAN leaders have committed themselves to creating the ASEAN free-trade zone by 2015, five years before the creation of the ASEAN Community in 2020. ASEAN now is discussing an draft ASEAN charter, prepared by the regional Eminent Persons Group, to pave the way for the establishment of a credible and sustainable ASEAN Community. The charter is expected to serve as the community's constitution. To existence of a charter is an absolute prerequisite if ASEAN is to achieve full and effective regional integration as it would be binding on all members. To date, ASEAN decisions have always been based on consensus, which makes the achieving of progress often very slow. Several ASEAN members are still reluctant to adopt the charter because their governments worry that they will have to adopt the universal values of democracy and human rights. They still love to hide behind the obsolete non-interference principles in order to maintain their grips on power. For its part, the EU has agreed to share its experiences with ASEAN, including as regards regional integration and constitutional issues related to the drafting of the ASEAN Charter. ASEAN needs to intensify its cooperation with the EU regarding the creation of the ASEAN treaty as the EU has vast experience in the field. The most important thing, however, is the readiness of ASEAN members to embracing universal democratic values. Indonesia has the moral right to champion the creation of the ASEAN Charter. * Survey sees rising tide of regionalism The Jakarta Post, Jakarta Most Indonesians are willing to die to prevent separatism but at the same time are exhibiting stronger tendencies toward regionalism, a recent poll has revealed. The latest survey conducted by the Indonesian Survey Institute (LSI) confirmed Tuesday that regional autonomy, which started seven years ago predominantly to address the problem of separatism, has not solved the problem of regionalism. However, many still think that local autonomy is the best political solution to many issues, particularly in overcoming poverty. Of 1,240 respondents from 33 provinces surveyed between March 5 and March 15, 74 percent said that they were proud to be Indonesians, while only 26 percent said they were proud of their local heritage. About 86 percent of respondents said they would oppose any secessionist movement, while 14 percent said they would not object if certain parts of the country gained independence. The LSI concluded that 67 percent of the respondents had a strong feeling of loyalty toward Indonesia, compared to the 33 percent that had a weak sense of loyalty. "Indonesians are not only nationalist but also patriotic," said Anis Baswedan, a senior research
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Lawan PELANGGARAN Kejaksaan Agung Atas Hak Informasi
Kolom IBRAHIM ISA Minggu, 18 Maret 2007 Lawan PELANGGARAN Kejaksaan Agung Atas Hak Informasi Dan Kebebasan Ilmu ! Komunitas Sejarah Indonesia Indonesia, sungguh bertindak cepat, sigap dan berani mengeritik dan menentang, menolak dan menantang keputusan sewenang-wenang dan main kuasa Kejaksaan Agung, yang pada tanggal 05 Maret 2007, telah melarang 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA yang diterbitkan oleh 10 penerbit. Mengenai langkah-langkah selanjutnya yang akan diambil oleh Komunitas Sejarah Indonesia, dijelaskan sbb: 'Pada 17 Maret 2007, para sejarawan, aktivis, guru-guru sejarah dan individu-individu lain bertemu untuk mendiskusikan tindakan selanjutnya untuk menanggapi keputusan Kejaksaan Agung tersebut. Berikut adalah tindakan yang akan dilakukan: 1. menyebarkan petisi untuk menolak keputusan pelarangan buku pelajaran sejarah kurikulum 2004. 2. membuat press conference pada tanggal 20 Maret 2007 pk. 12.30 di Hotel Bidakara untuk menyatakan sikap kita. 3. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia akan membuat gugatan resmi terhadap Kejaksaan Agung sebagai institusi yang mengeluarkan keputusan pelarangan buku-buku sejarah kurikulum 2004. Petisi penolakan keputusan pelarangan buku-buku pelajaran sejarah dengan kurikulum 2004 kami sertakan dalam email ini. Jika anda ingin turut mendukung petisi tersebut, silakan kirim email ke grace_leksana@ yahoo.com berisi nama lengkap dan institusi yang diwakili (jika ada) atau profesi anda. Jangan menuliskan data tersebut dalam petisi, biarkan panitia yang melakukannya. Kami harapkan dukungan anda. *** Memang terhadap tindakan main kuasa Kejaksaan Agung tsb, yang menangani masalah yang bukan urusannya, yaitu yang menyangkut masalah pendidikan, kongkritnya masalah kurikulum, harus dilawan dengan tegas dan konsisten sampai Kejaksaan Agung menarik kembali keputusan sewenang-wenang tsb. Tindakan Kejaksaan Agung ini, merupakan suatu penghinaan terhadap harapan luas masyrakat yang menanti-nantikan penanganan kongkrit dan tegas dari fihak Kejaksaan Agung terhadap begitu banyak kasus pelanggaran HAM, sejak beridirinya Orba. Dimulai dengan Pelanggaran HAM terbesar, pembantaian terhadap rakyat yang tidak bersalah dalam Peristiwa 1965; kemudian kasus kekerasan, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan dalam Peristiwa Mei 1998,; hingga yang belakangan ini kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Dan last but least, pelanggaran k o r u p s i besar-besaran dan terbesar yang dilakukan oleh keluarga Cendana dan kroni-kroninya, yang masih belum di-'apa-apa'-kan oleh Kejaksaan Agung. Yang diharapkan oleh masyarakat ialah langkah Kejaksaan Agung berikutnya yang positif yang seyogianya akan memberikan sumbangan terhadap penegakkan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum. Tetapi, dengan tindakannya sewenang-wenang mencampuri masalah pendidikan dan kurikulum, yang menyangkut penyebutan atau tidak menyebut nama PKI dalam teks buku sejarah, Kejaksaan Agung telah melangkah ke jalan kembali ke kultur ketiadaan hukum, dimana hak-hak azasi manusia, hak-hak demokrasi, hak memperoleh informasi seluas mugkin, dilanggar dan diinjak-injak sejadi-jadinya. Kejaksaan Agung hendak kembali ke periode gelap dikala yang berkuasa menjadi penentu, menjadi wasit, apa yang benar dan apa yang salah. Kultur dan budaya serta situasi hukum dan hak azasi seperti itu, adalah kultur, politik dan hukum rimba yang diciptakan dan dilaksanakan Orba selama lebih dari 30 tahun. Periode anti-demokrasi, penyebaran fakta-fakta dan peristiwa sejarah yang diputarbalikkan, diplintir dan direkayasa semasa Orba seyogianya telah diakhiri dengan tumbangnya rezim Presiden Suharto akibat gelora gerakan dan gelombang Reformasi dan Demokrasi. Seluruh kekuatan Reformasi dan Demokrasi tidak akan mengizinkan kekuasaan manapun pasca Reformasi, yang hendak menghancurkan hasil-hasil gemilang gerakan serta menegakkan kembali masa muram, masa kebodohan intelektual dan ketiadaan demokrasi zaman Orba. Oleh karena itu, mari kita sebarluaskan, dukung dan tandatangani sama-sama Petisi Komunitas Sejarah Indonesia. Di bawah ini adalah teks lengkap Petisi Komunitas Sejarah Indonesia: PETISI KOMUNITAS SEJARAH INDONESIA Latar belakang Pada masa Orde Baru (dan sebelumnya) telah terjadi rekayasa sejarah untuk kepentingan penguasa. Setelah Soeharto jatuh tahun 1998, muncul gugatan terhadap penulisan dan pendidikan sejarah yang terjadi selama ini. Beberapa peristiwa yang kontroversial seperti lahirnya Pancasila, Serangan Umum 1 Maret 1949, G30S, Supersemar, dan Integrasi Timor Timur dipertanyakan kembali oleh masyarakat. Buku-buku yang dilarang telah dicetak kembali. Biografi dan memoar para korban Orde Baru terbit secara luas. Sejarah lisan dimanfaatkan untuk mengungkap kesaksian dari survivor. Pendidikan sejarah pun mengalami perubahan. Kurikulum 1994 (direvisi tahun 1999) yang dianggap terlalu sarat muatan telah diperbaiki dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kemudian di
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- BENARKAH - KOMNASHAM SETUJU PENGADILAN HAM ?
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 16 Maret 2007 -- BENARKAH - KOMNASHAM SETUJU PENGADILAN HAM ? < Atau Baru Janji Saja? > Benarkah Komnasham setuju Pengadilan HAM, khusus yang menyangkut kasus pembantaian 1965? Sudah bisa dijawab langsung. B e l u m! Baru janji semata! S.k. 'Cenderawasih Pos', 15 Maret 2007, dalam nada gembira dan optimis, memberitakan bahwa, Komnas HAM masih jadi pintu harapan mencari keadilan dalam kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Kesan ini diperolehnya dari pertemuan sekitar 50 orang korban dan keluarga korban tragedi 1965 dengan Abdul Hakim Garuda Nusantara, pimpinan Komnasham. Yang bertemu dengan Abdul Hakim Garuda Nusantara itu berasal dari organisasi-organisasi korban, seperti LPKP 65, LPR KROB 65, dan YKPK 65. * * * Optimis! Benar sekali! Kita selalu harus otimis. Perjuangan demi keadilan dan kebenaran tak akan bisa berlangsung dan bertahan lama, bila tak ada optimisme yang didasarkan atas keyakinan adil dan benarnya tujuan yang diperjuangkan. Namun, barangkali dewasa ini masih belum cukup alasan untuk benar-benar optimis bahwa Komnasham akan memusatkan fikiran pada penanganan masalah ini. Perhatikan berita ('Cenderawasih Pos', berikut ini: HARUS DIBAWA DULU KE PLENO.'Menanggapi permintaan para korban itu, Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin K. Susilo dan M.M Billah (komisioner Komnas HAM) secara pribadi sepakat untuk mengagendakan penyelidikan pro justisia dalam kasus ini. "Tapi harus dibawa dulu ke pleno supaya jadi suara Komnas HAM," kata Zoemrotin. Mendapat janji tersebut para korban berniat datang tiga minggu ke depan (Cenderawsih Pos, 15 Maret 2007). Selanjutnya, 'mendapat janji tsb para korban berniat datang (lagi ke Komnasham) tiga minggu ke depan. ** * Sudah agak lama juga, -- tampak 'sepi-sepi' saja situasi sekitar pengurusan (oleh yang berwajib) masalah Pelanggaran HAM Terbesar dalam sejarah bangsa ini . Khususnya yang bersangkutan dengan masalah: Rehabilitasi Nama Baik, Hak-Hak Kewarganegaraan dan Hak-Hak Politik, para korban yang secara sewenang-wenang dituduh 'terlibat' atau 'berindikasi' dengan G30S, beserta keluarga mereka, dalam tahun-tahun 1965-'66-'67. Seyogianya selalu diingat, bahwa jumlah para korban dan keluarganya meliputi 20 juta warganegara yang tak bersalah. Kasus ini akan tetap merupakan noda dan cemar bagi seluruh bangsa, bila tak kunjung ditangani oleh yang berwajib. Kiranya janganlah dilupakan bahwa para korban sudah puluhan tahun lamanya menderita terus hingga saat ini. Penderitan trauma, penderitaan didiskriminasi, distigmatisasi, se-olah-olah mereka itu adalah kasta paling bawah masyarakat seperti di India layaknya: Kasta 'pariah'. Begitulah kesan yang kita peroleh Pengurusan kasus pembantaian masal pasca G30S, yang dilakukan oleh aparat negara, sudah dilupakan samasekali. Sudah permanén dimasukkan dalam 'peti-és'. Padahal pada setiap kesempatan para pemimpin dan elite bicara soal HAM dan menegakkan negara hukum RI, memberlakukan supermasi hukum. Bisakah dikatakan negara ini negara hukum? Bila yang bertanggungjawab dalam pembantaian masal di Purwodadi, Jawa Tengah, di Jawa Timur, Bali, Sumatra, Sulawes dan tempat-tempat lain; yang bertanggungjawab atas pembuangan orang-orang tak besalah ke pulau pengasingan di P.Buru, yang bertanggungjawab terhadap 'penghilangan' begitu banyak warganegara dalam pelbagai peristiwa, misalnya Peristiwa Mei 1998, kasus dibunuhnya pejuang HAM, Munir, untuk menyebut satu contoh saja, masih bebas berkeliaran. Sedangkan para korban dan keluarga mereka, masih dalam keadaan trauma dan menderita. * * * Di lain fihak, kita juga sadar, bahwa sejarah berbagai negeri telah memberikan pelajaran berharga kepada kita. Bahwa, setiap kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuatu pelanggaran hukum yang merupakan 'Crime Against Humanity', seperti halnya pembantaian masal terhadap warganegera yang tak bersalah, tanpa melalui proses hukum apapun, suatu 'genosida politik' seperti yang pernah terjadi dengan orang-orang yang ditangkap, dibuang, dibunuh, dihilangkan, dan dibantai, pada tahun-tahun 1965 selanjutnya, --- betapa besarpun usaha untuk menutupinya, menyembunyikannya, memeti-éskannya, ternyata tidak berhasil. Tigapuluh dua tahun kekuasaan rezim Orba berusaha memendam kejahatan terhadap kemanisaan tsb, akhirnya mulai terbongkar juga. Di luarnegeri sudah pada tahun-tahun pembantaian itu, sejak 1965, masalah tsb sudah menarik para peneliti, penstudi, pencinta HAM dan pers luar negeri. Sejak jatunya Suharto pengungkapan kasus ini di dalam negeri semakin giat dilakukan oleh para pejuang HAM dan Demokrasi. * * * Tentu, siapa yang tidak menyambut bahwa berangsur-angsur MULAI ditangani kasus korupsi Orba, yang menyangkut mantan Presiden Suharto, putranya Tommy, Yayasan Supersemar, dan pelbagai yayasan yang didirikan oleh keluarga Cendana, yan
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA Berbagi Cerita -- LAGI Tentang Tokoh Langka H. PONCKE PRINCEN
IBRAHIM ISA Berbagi Cerita Rabu, 14 Maret 2007 -- LAGI Tentang Tokoh Langka H. PONCKE PRINCEN Belum lama, 02 Maret 2007, dalam tulisanku 'Berkunjung ke Prof. Dr Pluvier' kusebut nama Haji Poncke Princen, seorang aktivis HAM di Indonesia, mantan anggota Tentara Kerajaan Belanda (KL) yang ambil bagian dalam perang agresi Belanda terhadap RI. Kemudian, menuruti rasa keadilan dan hati nuraninya, ia mengubah pendirian dan sikap yang dianutnya selama itu sebagai anggota Tentara Kerajaan Belanda terhadap Republik Indonesia. Ia berfihak pada kita, pada bangsa Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaan melawan Belanda yang hendak kembali sebagai kolonisator Indoneisa, seperti pada periode sebelum Perang Dunia II. Nama H. Poncke Princen kusebut teristimewa dalam rangka terungkapnya pembunuhan masal di Purwodadi yang dilakukan oleh aparat pada periode pasca G30S (dimulai 1965). Kemudian dalam tulisan-tulisanku berikutnya, i.e.: 'Purwodadi, Purwodadi . . . (1) 08 Maret; 'Purwodadi, Purwodadi . . . (2) 09 Maret; dan tulisan 'Sudahkah Anda Berkunjung ke Musium Multatuli?' - 12 Maret; kusebut lagi nama H. Poncke Princen. Nama tokoh H. Ponce Princen, warganegara Indonesia asal Belanda, memancing tanggapan dan komentar pembaca. Antara lain dari Dr Aswi Adam, Pak Husein (yang memberikan fakta-fakta baru tentang Pincen), dan MZ dari Jakarta. Yang kusiarkan (ulang) kali ini, adalah tanggapan yang diberikan oleh sahabatku WILSON. Tulisan Wilson itu disiarkan di s.k. 'Sinar Harapan', 02 Maret 2003, untuk mengenang tokoh langka H. Poncke Princen. Wilson terutama menyoroti H. Poncke Princen sebagai aktivis dan pejuang konsisten Hak-hak Azasi Manusi dan demokrasi di Indonesia. Wilson mengirimkan tulisannya kepadaku, dalam rangka tanggapan atas suratku yang kukirimkan juga kepada Aswi Adam, Pak Husein dan beberapa kawan lainnya, sekitar tokoh H. Poncke Prinsen, sbb: 13 MARET 2007 SEKITAR HAJI PONCKE PRINCEN - AKTIVIS/PEJUANG HAM, dll --- Bung Aswi Adam dan Pak Husein y.b., Maaf baru sekarang ini saya berreaksi terhadap tanggapan mengenai H. Poncke Princen. Princen memang adalah seorang tokoh unik dalam hubungan Indonesia-Belanda. Bagi kita Pincen adalah peserta pejuang kemerdekaan Indonesia, yang semula berada di posisi yang berlawanan. Bagi negara Belanda, Poncke Princen tetap seorang 'desertir', bahkan 'pengkhianat', karena 'menyebrang' lalu ikut aktif dalam perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Bagaimana seharusnya SEJARAH menilai dan memperlakukannya. Bagaimana Bung Aswi dan Pak Husein? Apakah ilmu sejarah sudah punya patron dalam menilai tokoh-tokoh seperti itu. Dalam hubungan Indonesia-Belanda, masih ada tokoh-tokoh lainnya, seperti Multatuli. Pegawai BB Belanda, seorang asisten residen Lebak, yang mengeritik, memprotes kemudian berontak terhadap kebijakan rezim kolonial Hindia Belanda. Ia kemudian dipecat dari jabatan. Bagi Indonesia, ia seorang pembela rakyat miskin dan hatinya ada pada penduduk Lebak yang tertindas dan diperas habis-habisan. Tapi, masyarakat Belanda yang maju, juga lingkungan luas, sampai sekarang memperlakukan, menilai Multatuli sebagai sastrawan dan humanis besar Belanda. Musiumnya ada di Amsterdam. Kemarin saya menulis tentang Musium Multatuli. Jadi Multatuli adalah tokoh kebanggaan Belanda, sekarang ini. Ada lagi tokoh seperti mantan Brigjen Artileri Kerajaan Belanda, B. Bouman. Ia masih tetap sebagai pensiunan Tentara Kerajaan Belanda. Tetapi pemahamannya mengenai perang kemerdekaan Indonesia bertentangan dengan pemahaman resmi kerajaan Belanda. Tokoh yang agak sama dengan H. Poncke Princen adalah Piet van Staveren, seorang anggota KL, yang semasa perang kemerdekaan Indonesia, nyeberang ke fihak RI. Kemudian namanya dikenal sebagai Pitoyo. Menurut berita ia aktif di media propaganda RI dalam perang kemerdekaan kita. Tanggapan saya di atas tsb sekadar sebagai input bagi para pakar sejarah kita, untuk difikirkan, dan diperlakukan sebagaimana semestinya, obyektif dan adil. Terima kasih atas tanggapan dan pengkoreksian oleh Pak Husein mengenai fakta-fakta sekitar Poncke Princen. IBRAHIM ISA *** Sahabatku WILSON, dekat dengan H. Ponce Princen. Ketika Wilson bebas dari penjara Orba, orang pertama yang menilpun Wilson menyambut pembabasannya itu adalah H.Poncke Princen. Artikel di bawah ini ditulisnya 4 tahun yang lalu. Tulisn Wilson itu menyentuh dan menggugah serta mengungkap hal-hal yang mungkin banyak orang belum tahu. Maka kusiarkan ulang. Terimakasih Wilson! Juga harap maafkan, karena siaran ini kusiarkan ulang, tanpa terlebih dahulu memberitahukannya. Inilah dia: PONCKE PRINCEN ADALAH MULTATULI, SEEVLIET, DAN DOUWES DEKKER Oleh : Wilson : -- Pak Poncke, juga dekat dengan banyak para aktivis gerakan demokrasi 1990-an seperti saya. Pada tahun 1994-1996, kebetulan Pusat Perjuangan Buruh Indonesi
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA Dari BIJLMER -- SUDAHKAH KE MUSIUM MULTATULI?
IBRAHIM ISA Dari BIJLMER Senin, 12 Maret 2007 Sudahkah Anda Berkunjung Ke Musium 'MULTATULI' ? Pertanyaanku itu relevan untuk orang-orang Indonesia yang tinggal, sedang studi di Belanda, atau pas sedang berkunjung di Belanda. Mengingat arti penting MULTATULI dalam sejarah Belanda-Indonesia. Multatuli adalah suatu 'link', suatu 'penghubung' antara Belanda dan Indonesia. Suatu 'link' yang punya arti mendalam dalam hubungan dua negeri dan dua bangsa. Hubungan solidaritas dan persahabatan! Pada awal musim semi ini, hari Minggu tanggal 11 Maret 2007 kemarin, cuacanya memang luar biasa indah! Kemarin itu dengan megah dan ramahnya sang Surya menampakkan diri, dan hampir sehari penuh melimpahkan kehangatannya ke bumi negeri dingin ini. Sehingga terasa kehangatan musim semi. Orang pada keluar. Jalan-jalan di taman-taman, bersepeda, atau duduk-duduk berjemur di beranda muka cafe, sambil minum kopi dan teh. Atau nge--bir! Angin sejuk sepoi-sepoi basa yang bertiup tak dihiraukan lagi. Pada cuaca yang indahnya di musim semi seperti ini, siapa pula yang ingin tinggal di rumah saja. *** Berangkatlah kami berdua saja, aku bersama isriku, Murti, ke suatu tempat di Korsjespoortsteeg, No. 20, yang letaknya di antara Singel dan Herengracht, Amsterdam Centraal. Gedung nomor 20 di lorong yang khas Amsterdam itu, adalah MUSIUM MULTATULI. Sudah lebih dari 20 tahun kami sekaeuarga bermukim di Amsterdam. Sejak mula jadi penduduk ibu kota ini, ingin sekali aku, dan berrencana berkunjung ke Musium Multatuli. Ingin tahu kayak apa sih, yang disebut Musium Multatuli itu. Putri sulung kami Tiwi, pernah kuajak untuk sama-sama ke Musium Multatuli. Ia menyambut dengan gairah dan antusias. Tetapi entah mengapa dari tunda ke tunda lagi, sehingga 20 tahun berlalu, Musium Multatuli itu masih saja belum dikunjungi. Baru kemarin siang tadi itulah, didorong pula oleh cuaca indah, maka terlaksanalah idam-idaman selama ini. Seorang Meneer yang masih muda dan punya cukup pengetahuan tentang Multatuli menyambut kami di pintu masuk. Ketika sedang mengisi buku tamu, datang lagi sepasang muda-mudi Londo Bulé. Rupanya di kalangan muda-mudi Belanda tidak kurang perhatian terhadap Multatuli. Ternyta mereka memang sedang studi sejarah. Bicara soal perhatian 'masyarakat suka-baca-buku' di Belanda, baru saja kudengar berita, bahwa melalui suatu angket yang diadakan dalam rangka PEKAN BUKU 2007 , ternyata buku Multatuli 'MAX HAVELAAR', yang ditulis oleh novelisnya, Eduard Douwes Dekker lebih 150 th yang lalu, menduduki perangkat ketiga sebagai novel terbaik. Nomor satu ditempati oleh novelis top Belanda dewasa ini, Harry Mulisch, dengan bukunya 'De Ontdekking van de Hemel' <'The Discovery of Heaven'>. Mulisch juga adalah penulis dari roman terkenal "De Aanslag" <'The Assault'>. Yang mengisahkan akibat yang diderita oleh suatu keluarga Belanda, pada zaman pendudukan Jerman Hitler. Karena dekat rumahnya ada pengkhianat anték Jerman yang ditembak mati oleh kaum gerilyawanperlawanan bawah tanah. Buku nomor dua terbaik diraih oleh Kader Abdollah (Penulis Belanda asal Iran), dengan bukunya 'Het Huis v.d. Moskee' <'Rumah Mesjid'> . *** Gedung Musium Multatuli itu sungguh kecil. Amat kecil dan sederhana sekali. Hanya terdiri dari dua tingkat dan masih ada satu ruangan lagi di bawah tanah. Melihat gedung sekecil itu untuk manusia yang begitu besar artinya di dalam sejarah Belanda maupun sejarah 'mantan' koloni Belanda, --- Indonesia --- yang sekarang sudah merdeka, terus terang muncul perasaan sedih dan tak énak Aku fikir, bagaimana Belanda ini, untuk seorang manusia begitu besar seperti Eduard Douwes Dekker yang membikin sejarah dan bersejarah, kok cuma sebegitu saja perhatian yang berwewenang di Belanda, khususnya Amsterdam. Tambah lagi ngenes hatiku, ketika mendengar dari Meneer yang sedang 'dinas' di musium itu, bahwa Kotapraja Amsterdam tidak lagi memberikan subsidi untuk Musium Multatuli. Dulu, kata Meneer, kami dapat subsidi. Sekarang tidak lagi. Terlalu, . . . schandalig, kataku dalam bahasa Belanda. Ah, tak jadi apa, kata Meneer. Kami berdikari, kok. Disampaikannya juga bahwa pemerintah hermaksud membeli gedung itu, entah apa yang hendak dibangun di situ. Yang terang, berarti Musium Multatuli itu harus pindah. Padahal itu gedung bersejarah, TEMPAT KELAHIRAN MULTATULI <02 Maret 1820 - 19 Fe- bruari 1887>. Keruan saja 'Perhimpunan Multatuli', suatu perkumpulan swasta pencinta Multatuli menolak dengan tegas. Bravo! Betapapun, hatiku lega dan puas. Karena telah berkunjung ke tempat kelahiran seorang penulis Belanda, yang punya arti besar dalam sejarah kebangkitan dan kesadaran bangsa Indonesia. Tidak kebetulan pula bahwa, salah seor
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -- Purwodadi, Purwodadi . . . . . (2)
IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA Jum'at, 09 Maret 2007 - Purwodadi, Purwodadi . . . . . (2) < BONNIE TRIYANA: 'Padamnya Lentera Merah' > Setelah cakap-cakap dengan sejarawan muda kita Bonnie Triyana di rumah Pak Min, aku menghubunginya lagi. Kuajukan beberapa pertanyaan sehubungan dengan pertemuan Sabtu pekan yang lalu itu. Dari komunikasi kami tsb, Bonnie Triyana mengrimkan makalahnya sekitar Puwodadi. Aku merasa mendapat 'durian runtuh' setelah membaca makalah Bonnie tsb. Kukatakan 'mendapat durian runtuh', karena, yang ditulis oleh Bonnie Triyana adalah suatu langkah serius dan terrencana dalam rangka seperti yang ia katakan sendiri . . . . KLARIFIKASI SEJARAH. Bonnie memilih istilah 'Klarifikasi Sejarah', ketimbang istilah PENULISAN ULANG SEJARAH, seperti yang dirumuskan oleh sejarawan/peneliti Taufik Abdullah . Sebab, kata Bonnie, kalau sekadar ditulis kembali, sedangkan fakta-faktanya tetap fakta yang disajikan oleh Orba --- yaitu pemelintiran fakta-fakta - seperti dalam kasus 'ENAM JAM DI JOGJA' , dan BUNG KARNO yang peranannya dalam menggali dan merumuskan Pancasila, oleh sejarawan Orba disulap menjadi peranan MOH YAMIN SEBAGAI PENGGALI PANCASILA. Siapa bisa disalahkan bila mengatakan bahwa apa yang disuguhkan sebagai 'fakta sejarah' oleh Orba, yang dimamah-biak oleh sebagian besar sejarawan Orba, adalah 'fakta-fatka sejarah' yang dipelintir, dipalsu dan direkayasa. *** Menarik juga apa yang ditulis oleh 'Tokoh Indonesia.Com', 09 Maret 2007, tentang pandangan sejarawan/peneliti Taufik Abdullah, mengenai peranan kaum intelektual, masa Orde Baru. Dikatakan bahwa, di mata Taufik Abdullah, masa 1966-1974 merupakan periode kreatif-produktif bagi kaum intelektual. Dalam periode itu berbagai masalah strategi pembangunan dibicarakan. Demikian Taufik Abdullah menurut 'Tokoh Indonesia.Com'. Pembangunan intelektual? . . . . . .Apakah tidak lebih tepat untuk mengatakan bahwa pada masa itu, adalah masa dimulainya 'pembodohan' intelektual Indonesia. Khususnya terhadap sejarah bangsanya sendiri. Sepenuhnya versi dan rekayasa penguasa Orba yang dianggap sebagai kebenaran tunggal. Cobalah baca sendiri apa yang ditulis oleh kaum intelektual sejarah 'kita' pada masa-masa 1966-1974, khusus mengenai fakta-fakta sejarah sekitar G30S, pembunuhan 6 jendral dan kemudian apa yang diatur kemudian dilaksanakan oleh penguasa, yaitu, mulai 1965 dan tahun-tahun berikutnya, - pembantaian masal terhadap rakyat yang tak bersalah atas tuduhan PKI atau simpatisan PKI. Kalau bukan seorang Haji Princen yang mengungkap pelanggaran HAM besar, dengan pembunuhan masal di Purwodadi , --- mana ada intelektual sejarah 'kita' yang punya selera atau nyali untuk berani mengadakan riset , penelitian dan pengungkapan mengenai fakta-fakta sejarah tsb. Atau mengenai 'Supersemar' . Oleh Jendral Suharto disulap menjadi 'tranfer of authority'. Oleh mesin propaganda' Orba disebut 'pelimpahan kekuasaan' dari Presiden Sukarno kepada Jendral Suharto. Meskipun dalam pidato-pidatonya dalam periode itu Presiden Sukarno berulang kali menyatakan bahwa 'Supersemar' bukan ' pelimpahan kekuasaan' kepada Jendral Suharto, tetapi, adakah kaum 'intelektual (sejarawan) kita' ketika itu, bertindak seperti dikatakan oleh Taufik Abdullah, ada dalam periode 'kreatif-produktif?? Kalau hendak berbuat seperti kata orang Inggris, 'call a spade a spade' , artinya 'katakanlah apa adanya' , maka masa itu, adalah masa ketika kebanyakan kaum intelektual (sejarah/politik) kita 'tiarap' terhadap fakta-fakta sejarah yang keras sekitar Peristiwa 1965. Mereka tidak lain hanyalah n g e g o n g i saja apa yang dimamahkan oleh penguasa untuk mereka. Mereka mengikuti saja versi dan pemalsuan sejarah oleh penguasa. Mereka dengan gairah ikut menabuh genderang yang memaklumkan kepalsuan sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya. * * * Maka betullah kesimpulan Bonnie Triyana, bahwa, sebaiknya digunakan istilah KLARIFIKASI SEJARAH. Dalam pengertian ini MENGKLARIFIKASI fakta-fakta sejarah yang direkayasa dan diplintir oleh para sejarawan dan propagandis Orba. Artinya mengkoreksi, melempangkan yang dipalsu, yang dibengkokkan. Hendak mengetahui apa konon yang menggugah Bonnie Triyana mengadakan penelitisan sejarah? Inilah penjelasannya: 'Saya tergugah untuk meneliti perihal ini karena sejarah tahun 1965, khususnya pasca pembunuhan 6 jenderal dan 1 perwira pertama AD jarang disebut/ditulis. 'Yang selalu dibesar-besarkan adalah peristiwa 1Oktober 1965, sedangkan pembunuhan terhadap ratusan ribu bahkan jutaan rakyat yang tak bersalah di berbagai daerah tak pernah ditulis. Menimpakkan kesalahan pada oran
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -- PURWODADI, PURWODADI . . . . . (1)
IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA Kemis , 08 Maret 2007 PURWODADI, PURWODADI . . . . . (1) Ruang-tamu yang memang tidak telalu besar itu penuh. Kukira ada sekitar 40-an yang berdesak-desak, sampai membeludak ke dapur dan lorong-kecil dari pintu masuk menuju dapur. Keruan saja beberapa mahasiswi, poostgraduate-studies yang sedang belajar di Universiteit Leiden, terpaksa pada duduk di lantai. Diantara para mahasiswa itu, terdapat sejumlah 12 orang 'post-graduates' yang belum lama sampai di Belanda. Diantaranya ada 3 perempuan. Tiga mahasiswi perempuan itu semua ber-jilbab. Mereka akan mengggeluti ISLAMIC STUDIES di Universitas Leiden. Bayangkan! Belajar Islamic Studies di negeri Belanda. Secara tak terbantahkan ini menunjukkan bahwa generasi muda kita, tidak berpurbasangka pada negeri Belanda. . Jauh-jauh datang dari Indonesia, mereka dengan antusias menuntut Islamic Studies di sebuah negeri yang mayoritas penduduknya Kristen. Harus dicatat dan diperhatikan, karena ini adalah suatu sikap belajar yang berlapangdada. Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah mengajarkan demi menuntut ilmu pergilah ke Tiongkok sekalipun? Begitu besar perhatian generasi muda kita dan yang sudah gaek-gaek, sehingga memerlukan berkunjung kerumah Mintardjo, Korenbloemlaan 59, Oestgeest, siang Sabtu yang lalu itu. Bukan main kegairahan generasi muda untuk bertukar fikiran dengan wartawan dan sejarawan muda Bonnie Triyana. < -- Ralat atas tulisanku yang lalu. Aku salah menulis nama sejarawan muda kita itu. Seharusnya ditulis : BONNIE TRIYANA. Pekerjaannya, yang benar adalah sebagai wartawan dari s.k dan tabloid 'JURNAL NASIONAL', bukan 'Jurnal Indonesia'. Koreksi berikutnya, Bonnie adalah tamatan UNDIP dan bukan tamatan UNPAD. Dengan demikian kesalahan pada tulisan yang lalu mengenai Bonnie sudah diralat>. Biasanya, bila ada 'kumpul-kumpul' di rumah Mintardjo, aku datang dengan kendaraan yang sopirnya . . . . Bulé (Londo, dan ganti-ganti. Maklumlah itu kendaraan umum, 'openbaar vervoer' kata orang Belanda). Memang, di Belanda, demi mengurangi polusi atas udara, penduduk dianjurkan untuk menggunakan kendaraan umum. Kali ini aku 'nunut' Soelardjo dari YSBI, karena kebetulan ia juga hendak ke Korenbloemlaan 59 .Dan . . . . ini penting. Ia punya mobil dan mengajak juga Chalik Hamid, juga dari YSBI. Dengan demikian kami bertiga berkendaraan mobil ke tempat tujuan bersama. * * * Tema pembicaraan Sabtu kemarin di rumah Mintardjo, Korenbloemlaan 59, Oestgeest-Leiden itu, adalah KASUS PURWODADI !!! Puwodadi yang oleh orang luar Jawa, apalagi dunia internasional, jarang sekali bahkan tidak pernah didengar nama kota itu sebelumnya. Suatu ketika, dalam 'sekejap' mata, Purwodadi menjadi 'breaking news'. Tidak bisa lain. Karena yang diberitakan adalah masalah pembantaian masal yang dilakukan oleh penguasa, oleh kesatuan-kesatuan tertentu TNI. Korbannya adalah penduduk Purwodadi yang patuh hukum, setia pada Republik Indonesia dan setia kepada Presiden Sukarno. 'Kesalahan' mereka satu-satunya, ialah karena mereka, menuruti keyakinan politiknya, kebanyakan adalah anggota-anggota PKI atau simpatisan PKI. Prof Pluvier, seorang Indonesianis berbangsa Belanda, ketika bicara soal ini, berkali-kali mengulangi bahwa diantara para korban juga terdapat orang-orang Kristen. APA YANG TERJADI DI PURWODADI? Apa sebabnya penduduk yang tak bersalah itu dibantai oleh aparat penguasa? Siapa algojo-pelakunya, dan siapa pula korban-korbannya. Mengapa sampai sekarang soal itu oleh pengadilan, pemerintah, anggota-anggota DPR/MPR, parpol-parpol yang mencantumkan masalah HAM di dalam programnya, yang berjanji dan bersumpah hendak memberlakukan HAM di Indonesia, yang ikut mendirikan KOMNASHAM, yang memasukkan atau menegaskan fasal-fasal HAM dalam UUD-RI yang diamandamen, mengapa bungkam seribu bahasa? Mengapa kasus Purwodadi dipeti-éskan? Apakah hati nurani mereka sudah pada b e k usemuanya? Inilah celakanya! Begitu masalah ini diajukan ada saja dalih dan alasan yang diajukan untuk kembali mempeti-eskannya. Sehingga salah seorang tokoh dari Human-Rights Watch Asia, pernah menyatakan bahwa, masalah 'pembantaian masal' yang terjadi di Indonesia pada tahun-tahun 1965-1966-1967 dst, layaknya seperti seekor mammut (gajah raksasa) yang terpendam dalam timbunan és dan salju tebal, sehingga tak terjamah samasekali. Atau tjika tokh ada jawaban yang diberikan, maka yang sering kita dapati adalah tanggapan sbb: Aaakh, masalah itu 'kan sudah lama sekali terjadinya. Fakta-faktanya sulit untuk dicari lagi, dsb dsb. Atau, yang lebih gawat lagi ialah kejadian berikut ini: Ketika sebuah delegasi Pakorba, terdiri dari a.l. Ir Setiadi dan dr Ciptaning, sekembalinya dari sidang Komisi Hak-Hak Azasi Manusia PBB, di Jenewa, Swiss, m
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Separo Abad 'Ghana-nya Nkrumah'
Kolom IBRAHIM ISA Selasa, 06 Maret 2007. Separo Abad 'Ghana-nya Nkrumah' <06 Maret 1957 06 Maret 2007> Rakyat Ghana hari ini, 6 Maret 2007, -- bahkan sejak tadi malam --, berpesta ria, membakar mercon, menabuh genderang, mendengungkan musik nasional, menari-nari, parade militer, serta mengibarkan dan melambai-lambaikan bendera nasional kebanggaan Ghana: Merah -- Kuning -- Hijau, dengan Bintang Hitam ditengah-tengahnya. Pesta Nasional itu masih berlangsung terus dengan riangnya. Katanya akan berlangsung beberapa hari. Beralasankah bangsa Ghana merayakan Ultah Ke-50 Kemerdekaannya secara demikian besar-besaran dan meriah? Jawabnya kiranya tidak ada lain: SANGAT BERALASAN! Secara umum warganegara Ghana, menganggap bahwa perayaan nasional ini, memperkokoh persatuan bangsa, dan mengembangkan serta memperdalam lebih lanjut kesedaraan berbangsa. Ghana bukan saja bisa survive dan mulai menoto kembali ekonomi negeri, dsb. Ghana juga telah memulihkan kembali kehidupan demokratis setelah lebih dari duapuluh tahun lamanya hak-hak demokrasi bagi rakyat Ghana dipasung oleh pelbagai rezim militer. Kemenangan demokrasi ini adalah hasil perjuangan susah payah dan jangka lama.Sementara pengeritisi nyeletuk, mengatakan bahwa ongkos 20 juta USD merupakan pengeluaran yang terlalu besar untuk pesta itu. Tetapi suasana umum, rakyat biasa merasa pada tempatnya dan bolehlah sekali-sekali mengeluarkan ongkos demikian besarnya untuk pesta nasional tsb. Tidak kurang dari enam kepala negara dan pemerintahan Afrika yang diundang ikut menyemarakkan suasana perayaan nasional. Juga penyanyi Afro-Amerika yang terkenal Stevie Wander dan mantan pemain bola ulung dunia dari Brazil, Pele, diundang datang hadir pada pesta nasional Ghana tsb * * * Terlalu penting, dalam pengertian sejarah, lebih-lebih lagi penting dalam arti pendidikan bagi generasi muda, untuk membiarkan begitu saja berlalu, hari lahirnya Ghana Merdeka limapuluh tahun yang lalu. Limapuluh tahun yang lalu, yaitu pada tanggal 06 Maret 1957, Kwame Nkrumah memproklamasikan kemerdekaan Ghana di ibukota Accra. Nama yang diberikan oleh orang asing untuk Ghana, yaitu Gold Cost, diubah menjadi Ghana. Mungkin akan ada yang akan berkomentar: Mengapa dikatakan 'Ghana-nya Nkrumah'? Tentu, Ghana bukan punya Nkrumah pribadi! Ghana adalah milik rakyatnya yang pada waktu itu (1957) berjumlah 7,1 juta . Kemerdekaan Ghana limapuluhtahun yang lalu adalah berkat perjuangan panjang dan susah payah, dengan mencucurkan keringat dan darah dari seluruh rakyat Ghana. Tetapi malang bagi rakyat Ghana, seperti yang sering terjadi dalam lika-likunya perjuangan kemerdekaan yang rumit dan pelik, Ghana yang baru merdeka itu, suatu ketika berakhir dengan suatu bencana. Kaum reaksioner dalam negeri melalui suatu kup militer (1966) dengan keterlibatan aktif CIA, mengubah Ghana yang merdeka dan berdaulat menjadi suatu negeri yang membuntut kekuasaan asiang, yang bergantung pada luarnegeri untuk kelanjutan rezimnya. Suatu peristiwa yang sering terjadi pada periode itu, ketika masing-masing blok, terutama AS dimana-mana mengusahakan agar rezim yang berkuasa memihak Barat dalam pertarungan 'Perang Dingin' ketika itu. *** Kusebut 'Ghana-nya Nkrumah', tentu ada maksudnya. Selain untuk membedakan Nkrumah dengan penguasa diktator militer Jerry Rawlings, yang berkuasa selama duapuluh tahun melalui suatu kup (yang kemudian terjadi), --- maksudnya menyebut 'Ghana-nya Nkrumah', adalah untuk mengenangkan jasa-jasa Nkrumah sebagai pemimpin utama perjuangan kemerdekaan bangsa Gold Cost (nama ketika itu), yang berhasil membawa rakyatnya ke pintu gerbang kemerdekaan nasional. Kwame Nkrumah adalah juga bapak bangsa Ghana. Ia dikenal oleh rakyatnya sebagai OSAGYEFO, Bapak Bangsa. Dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia politik: Tak ada gading yang tak retak, juga Nkrumah punya kekurangan-kekurangannya. Salah satu kekurangan serius Nkrumah ialah, bahwa ia menerima kedudukan untuk menjadi 'Presiden seumur hidup'. Tambah lagi kesalahan berat berikutnya yang dibuat Nkrumah, yaitu menjadikan Ghana sebagai 'Negara Satu Partai' . Berarti hanya Convention People's Party, parpol yang berkuasa, yang boleh eksis . Artinya Nkrumah tak membolehkan adanya partai lain selain partainya sendiri yang berkuasa. Untuk tindakannya yang anti-demokratis itu, diberikan pelbagai alasan, seperti demi persatuan nasional yang kompak dalam perjuangan melawan kekuatan retrogresif yang disokong oleh Barat, dsb. Dengan demikian Nkrumah mulai menggerowoti hak-hak demokrasi yang ia sendiri dulu ikut memperjuangkannya melawan kolonialisme Inggris. Namun, -- kekurangan-kekurangan pada Nkrumah itu tidak sedikitpun mengurangi jasa-jasanya terhadap tanah air dan bangsanya. Tidak mengurangi pengaruh dan pamornya sebagai kampiun perjuangan melawan kolonialisme. Sebagai seorang nasionalis progresif, Nkruma
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA -- Berkunjung Ke Rumah Prof. Dr Jan PLUVIER
IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA Jum'at, 02 Maret 2007 Berkunjung Ke Rumah Prof. Dr Jan PLUVIER Kalau bukan karena kekerasan hati Boni Triyana dan kesabaran sahabatku Gogol dan kendaraan mobil kawanku Suwarto, memang tak akan bisa terjadi pertemuan dengan Prof. Dr Jan Meinhard Pluvier, Indonesianis Belanda ternama., yang juga duduk di pimpinan Wertheim Foundation. Sebenarnya sudah lama kesehatan Prof Dr. Pluvier, tidak memungkinkannya untuk menerima tamu. Namun, berkat permintaan dan desakan Boni yang berulang-kali diajukan kepadaku lewat Gogol, aku h u b u n g i l a g iProf. Pluvier, dan seolah mengiba-iba aku minta kepada Prof Pluvier, sudilah kiranya beliau menerima Boni Triyana. Walaupun hanya 10 menit sekalipun. Boni Triyana jauh-jauh dari Indonesia ingin sekali bertemu tatap muka dengan Anda, begitu himbawanku kepada Pluvier lewat tilpun. Akhirnya mau juga Pluvier menerima Boni Triyana. Alangkah baik hatinya dan ramah sikapnya. Dalam keadaan kesehatan yang demikian itu, ia masih menyempatkan diri untuk ditemui dan diwancarai oleh seorang jurnalis muda dari Indonesia. Menerima kami berempat: Boni Triyana, Suwarto, Gogol dan aku. Aku amat menghargai sikap Pluvier ini. Pluvier menunjukkan betapa beliau tidak ingin mengecewakan kita-kita orang Indonesia yang ingin menemuinya, dan yang menganggapnya sebagai sahabat Indonesia. Bahwa Pluvier tidak sehat, dan sudah banyak lupa (umurnya 80th), hal itu sudah dikemukakanya kepadaku berkali- kali. Tetapi rupanya Boni Triyana, historikus muda kita dari Indonesia, dan jurnalis 'Jurnal Indonesia', punya keinginan keras sekali untuk bertemu dengan ilmuwan dan gurubesar Belanda terkenal ini. Soalnya, Prof. Pluvier memang pernah menulis tentang 'pembunuhan masal di Purwodadi' pada periode sesudah Jendral Suharto merebut kekuasaan. Jadi nyambung dengan niat Boni, yang akan membuat (film)dokumenter sekitar 'pembunuhan masal di Purwodadi'. 'Pembunuhan masal Purwodadi', adalah tema skripsi Boni Tryiana, ketika ia dulu mengambil gelarnya di UNPAD. *** Masyarakat mancanegara mengetahui tentang 'pembantaian Puwodadi' tsb, berkat antara lain penelitian, tulisan dan siaran yang dilakukan oleh seorang romo di Jawa, dan Haji Poncke Prinsen. Menyinggung nama Haji Poncke Prinsen, mungkin akan ada yang bertanya, siapa gerangan Haji Poncke Pirnsen itu? Banyak juga yang tahu bahwa Haji Poncke Prinsen adalah aktivis HAM Indonesia yang cukup dikenal pada zamannya. Sekaligus sangat tidak disukai Orba. Prinsen pernah anggota DPR dari partai IPKI. Partainya Ibu Jendral Hidayat, yang pada periode Presiden Sukarno adalah anggota DPR. Ibu Hidayat juga adalah Ketua Komite Perdamaian Indonesia, yang kukenal sekali. Kemana-mana Ibu Hidayat selalu membawa kaleng tempat meludah - - - Ibu Hidayat, tak bisa lepas dari MENYIRIH, selalu makan daun sirih. Sehingga mulutnya selalu tampak berwarna merah, bukan karena lipstick tapi karena 'makan sirih'. Haji Poncke Prinsen bukan sebarang aktivis HAM! Ia adalah mantan anggota Tentara Kerajaan Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam serbuan Agresi Ke- II Belanda terhadap Republik Indonesia. Atas kesadarannya sendiri, demi mendengar suara hati nuraninya, ia memutuskan untuk berbalik. Dengan tegas memihak kepada Republik Indonesia. Lalu bersama TNI, berjuang, kongkrit bertempur melawan tentara agresor Belanda. Haji Poncke Prinsen kemudian menjadi warganegara Indonesia dan melakukan kegiatan untuk HAM di Indonesia. Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 21 Februari 2002 (76th), sebagai warganegara Indonesia. * ** Kemarin itu, kebetulan cuaca cerah. Sang Surya kali ini tidak malu-malu menampakkan wajah ramahnya. Dalam suasana musim semi demikian itulah, kami, empat orang Indonesia, berkunjung ke rumah seorang gurubesar dan Indonesianis simpatisan Indonesia, Prof. Dr. Jan Pluvier. Rumah beliau agak jauih dari Amsterdam. Meskipun berkendaraan mobil (Suwarto), dengan bantuan petunjuk dan peta yang diambil dari internet, dipandu oleh Gogol yang duduk di sebelah Suwarto, ternyata tidak mudah juga menemui rumah Prof. Pluvier. Agak nyasar-nyasar juga. Letaknya di daerah perumahan indah dan tenang di Heideweg No 5, Soest, Nederland. Sayang karena usia dan keadaan kesehatan beliau, maka tidak bisa lama kami berbincang-bincang. Namun cukup berkesan. Tokh bisa bercakap-cakap sampai hampir 1 jam. Boni Triyana berhasil merekam di cameranya selama paling tidak 20 menit. Boni puas sekali. Dan aku berkali-kali menyatakan rasa terima kasih kami, bahwa Prof Pluvier, meski keadaan kesehatan yang sesunguhnya rapuh itu, yang tidak bisa berjalan tanpa menggunakan 'rollator' , tokh, ternyata akhirnya mau menerima dan berbincang-bincang dengan kami, melebihi janji beberapa menit saja seperti disetujuinya semula. Itulah Prof Pluvier yang simpatik dan ramah. Dalam fikiranku: Sayang manusi
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA -- Berkunjung Ke Rumah Prof. Dr Jan PLUVIER
IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA Jum'at, 02 Maret 2007 Berkunjung Ke Rumah Prof. Dr Jan PLUVIER Kalau bukan karena kekerasan hati Boni Triyana dan kesabaran sahabatku Gogol dan kendaraan mobil kawanku Suwarto, memang tak akan bisa terjadi pertemuan dengan Prof. Dr Jan Meinhard Pluvier, Indonesianis Belanda ternama., yang juga duduk di pimpinan Wertheim Foundation. Sebenarnya sudah lama kesehatan Prof Dr. Pluvier, tidak memungkinkannya untuk menerima tamu. Namun, berkat permintaan dan desakan Boni yang berulang-kali diajukan kepadaku lewat Gogol, aku h u b u n g i l a g iProf. Pluvier, dan seolah mengiba-iba aku minta kepada Prof Pluvier, sudilah kiranya beliau menerima Boni Triyana. Walaupun hanya 10 menit sekalipun. Boni Triyana jauh-jauh dari Indonesia ingin sekali bertemu tatap muka dengan Anda, begitu himbawanku kepada Pluvier lewat tilpun. Akhirnya mau juga Pluvier menerima Boni Triyana. Alangkah baik hatinya dan ramah sikapnya. Dalam keadaan kesehatan yang demikian itu, ia masih menyempatkan diri untuk ditemui dan diwancarai oleh seorang jurnalis muda dari Indonesia. Menerima kami berempat: Boni Triyana, Suwarto, Gogol dan aku. Aku amat menghargai sikap Pluvier ini. Pluvier menunjukkan betapa beliau tidak ingin mengecewakan kita-kita orang Indonesia yang ingin menemuinya, dan yang menganggapnya sebagai sahabat Indonesia. Bahwa Pluvier tidak sehat, dan sudah banyak lupa (umurnya 80th), hal itu sudah dikemukakanya kepadaku berkali- kali. Tetapi rupanya Boni Triyana, historikus muda kita dari Indonesia, dan jurnalis 'Jurnal Indonesia', punya keinginan keras sekali untuk bertemu dengan ilmuwan dan gurubesar Belanda terkenal ini. Soalnya, Prof. Pluvier memang pernah menulis tentang 'pembunuhan masal di Purwodadi' pada periode sesudah Jendral Suharto merebut kekuasaan. Jadi nyambung dengan niat Boni, yang akan membuat (film)dokumenter sekitar 'pembunuhan masal di Purwodadi'. 'Pembunuhan masal Purwodadi', adalah tema skripsi Boni Tryiana, ketika ia dulu mengambil gelarnya di UNPAD. *** Masyarakat mancanegara mengetahui tentang 'pembantaian Puwodadi' tsb, berkat antara lain penelitian, tulisan dan siaran yang dilakukan oleh seorang romo di Jawa, dan Haji Poncke Prinsen. Menyinggung nama Haji Poncke Prinsen, mungkin akan ada yang bertanya, siapa gerangan Haji Poncke Pirnsen itu? Banyak juga yang tahu bahwa Haji Poncke Prinsen adalah aktivis HAM Indonesia yang cukup dikenal pada zamannya. Sekaligus sangat tidak disukai Orba. Prinsen pernah anggota DPR dari partai IPKI. Partainya Ibu Jendral Hidayat, yang pada periode Presiden Sukarno adalah anggota DPR. Ibu Hidayat juga adalah Ketua Komite Perdamaian Indonesia, yang kukenal sekali. Kemana-mana Ibu Hidayat selalu membawa kaleng tempat meludah - - - Ibu Hidayat, tak bisa lepas dari MENYIRIH, selalu makan daun sirih. Sehingga mulutnya selalu tampak berwarna merah, bukan karena lipstick tapi karena 'makan sirih'. Haji Poncke Prinsen bukan sebarang aktivis HAM! Ia adalah mantan anggota Tentara Kerajaan Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam serbuan Agresi Ke- II Belanda terhadap Republik Indonesia. Atas kesadarannya sendiri, demi mendengar suara hati nuraninya, ia memutuskan untuk berbalik. Dengan tegas memihak kepada Republik Indonesia. Lalu bersama TNI, berjuang, kongkrit bertempur melawan tentara agresor Belanda. Haji Poncke Prinsen kemudian menjadi warganegara Indonesia dan melakukan kegiatan untuk HAM di Indonesia. Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 21 Februari 2002 (76th), sebagai warganegara Indonesia. * ** Kemarin itu, kebetulan cuaca cerah. Sang Surya kali ini tidak malu-malu menampakkan wajah ramahnya. Dalam suasana musim semi demikian itulah, kami, empat orang Indonesia, berkunjung ke rumah seorang gurubesar dan Indonesianis simpatisan Indonesia, Prof. Dr. Jan Pluvier. Rumah beliau agak jauih dari Amsterdam. Meskipun berkendaraan mobil (Suwarto), dengan bantuan petunjuk dan peta yang diambil dari internet, dipandu oleh Gogol yang duduk di sebelah Suwarto, ternyata tidak mudah juga menemui rumah Prof. Pluvier. Agak nyasar-nyasar juga. Letaknya di daerah perumahan indah dan tenang di Heideweg No 5, Soest, Nederland. Sayang karena usia dan keadaan kesehatan beliau, maka tidak bisa lama kami berbincang-bincang. Namun cukup berkesan. Tokh bisa bercakap-cakap sampai hampir 1 jam. Boni Triyana berhasil merekam di cameranya selama paling tidak 20 menit. Boni puas sekali. Dan aku berkali-kali menyatakan rasa terima kasih kami, bahwa Prof Pluvier, meski keadaan kesehatan yang sesunguhnya rapuh itu, yang tidak bisa berjalan tanpa menggunakan 'rollator' , tokh, ternyata akhirnya mau menerima dan berbincang-bincang dengan kami, melebihi janji beberapa menit saja seperti disetujuinya semula. Itulah Prof Pluvier yang simpatik dan ramah. Dalam fikiranku: Sayang manusi
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISABERBAGI CERITA -- MERAMPUNGKAN KAMPANYE AMNESTY INTERNATIONAL
IBRAHIM ISABERBAGI CERITA Rabu, 28 Februari 2007 Merampungkan Kampanye . . . CRÉK, CRÉK, CRÉK . . . Untuk AMNESTY INTERNATIONAL Kemarin sore, hujan gerimis! Teruuus saja. . . . . . Tidaak. . . . . . henti-hentinya sejak pagi. Lonceng didinding rumah, sudah menunjukkan jam 03.30 sore. Aku sudah janji dengan anggota Amnesty International, kordinator kampanye pengumpulan dana untuk Amsterdam Zuidoost, Mw Simone Leclerc untuk kerumahnya di Maldenhof No. 273. Angin bertiup dengan kencangnya dan . . . dingin. Sehingga diperlukan tenaga ekstra jika hendak bersepeda. Apa boleh buat. Sambil memegang payung di tangan kanan, sedangkan satu tangan lagi dengan erat mencengkam setang sepeda, begitulah - -- aku tokh bisa bersepeda. Dua kaki mendayung sekuat-kuatnya. Kebetulan pula jalan ke daerah yang kutuju itu harus melewati suatu tanjakan (sedikit). Tapi cukup berat untuk orang 'manula' seumur aku ini. Aku fikir, éh, umur sudah sebegini, kok masih melakoni bersepeda melawan hujan dan angin. Tapi, sampai kapan bisa berkiprah begini? Kata orangtua-tua yang bijak, selama bahan bakar lilin itu masih ada sisanya, betapapun kecilnya, biarkalah ia menyala terus . . . . Sekecil-kecil cahaya yang muncul masih ada artinya untuk memecah kegelapan ! *** Di Indonesia, ketika umurku menjelang tigapuluh, maupun di Cairo, apalagi ketika bekerja di Tiongkok, tak pernah, dalam cuaca hujan-angin seperti kemarin sore itu, aku akan keluar bersepeda. Betapapun sukanya bersepeda, sebagai cara berolah-raga. Tapi di negeri Belanda, di Amsterdam Zuidoost, meskipun gerimis, dan tiupan angin pada udara dingin, dilakoni juga bersepeda. Apa gerangan penyebabnya? Kegiatan tadi itu semua, adalah dalam rangka tahap merampungkan kegiatan di Amsterdam Zuidoost, dimana aku terlibat, sehubungan dengan kampanye seminggu lamanya mengumpulkan dana untuk Amnesty International Nederland. Uang yang sudah terkumpul di dalam kotak Amnesty itu, harus kuserahkan kepada koordinator kampanye untuk Amsterdam Zuidoost. Mw Simone Leclerc sudah siap menantikan para pengumpul dana. Yang datang kecuali aku masih ada satu lagi. Mw Margriet Berger namanya. Bertiga kami membuka kotak dana, menghitung uang yang terkumpul. Dua kotak uang itu dituangkan diatas meja. Jumlahnya lumayan. Dari kotak yang kukumpulkan terhitung Euro 74,90
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - Kabinet BELANDA - Pasca PEMILU
Kolom IBRAHIM ISA Sabtu, 24 Februari 2007 Kabinet BELANDA - Pasca PEMILU Kemis, 22 Februari 2007 yang lalu, Ratu Beatrix dari Kerajaan Belanda, meresmikan pemerintahan baru Kerajaan Belanda, i.e. Kabinet Balkenende IV. Kabinet baru ini adalah hasil pemilu November 2006 yang lalu. Menurut pendapat yang agak umum, para pemilih akhir tahun lalu itu, telah menyerukan -- 'stop' terhadap politik pemerintah yang dianggap Kanan, tidak 'manusiawi', khususnya terhadap kaum migran, anti-orang asing dan a-sosial. *** Bila kita melihat jauh ke Amerika Latin, pergeseran ke Kiri di mancanegara dewasa ini, terkesan menjadi kecenderungan umum. Di satu segi kita lihat Kuba, ba' 'Karang Laut' yang sudah lebih dari 45 tahun berdiri teguh tidak beranjak, tidak gentar dan tidak mundur dari posisi revolusionernya. Dengan teguh menghadapi blokade, intervensi dan subversi AS. Segi lainnya, bisa disaksikan munculnya fenomena Venezuela Hugo Chavez , 'Si Cabai Rawit' yang juga tidak tunduk meskipun digertak ataupun diancam oleh tetangganya yang 'Super Power' itu (AS). Hugo Chavez malah berani dan berhasil merebut simpati internasional dan menggalang kerjasama dengan tetangganya yang Sosialis, seperti Kuba, atau yang sosdem seperti Bolivia, Chili, Brazil, Mexico dan Argentina, demi mempertahankan kebebasan dan kedaulatan nasional negeri mereka masing-masing, demi membangun suatu ekonomi nasional yang bebas dari kekuasaan modal asing. Tak bisa disembunyikan lagi, bahwa Presiden Bush benar-benar dibikin pusing: Politik Irak-nya tak punya haridepan samasekali. Lagipula pada pokoknya sudah tidak dibenarkan rakyat, termasuk oleh banyak orang-orang partainya sendiri. Sedangkan negeri-negeri Amerika Latin, yang sering dikatakan sebagai 'halaman-belakang'- nya AS, semakin bergejolak karena kemenangan-kemenangan kekuatan politik Kiri dalam pemilu yang diperoleh di serentetetan negeri-negeri Amerika Latin. *** Hendak ditinjau dari jurusan manapun, -- biar bagaimanapun tidak sukanya golongan Kanan Belanda, - nyatanya pemerintah Balkendende-IV (B-IV) ini yang berkoalisi dengan Partai Buruhnya Wouter Bos dan Christen Unie-nya Rouvoet, mengenai hal- hal penting, menempuh politik yang kebalikan dari kebijakan politik Kabinet Balkenende III (Kebinet Minoritas, koalisi CDA-VVD, Juni '06 Februari 2007), Kabinet BII (Koalisi CDA-VVD-D66, 27 Mei, '03 30 Juni '06), dan Kabinet BI (Koalisi CDA-LPF-VVD, Juli 2002 Oktober 2002). Kabinet-kabinet yang lalu itu, adalah kabinet Tengah-Kanan. Pemerintah Balkenende IV sekarang ini, seperti dinyatakan oleh banyak pengamat politik Belanda, adalah pemerintahan yang bisa disebut sebagai Tengah-Kiri, terdiri dari partai Krtisten Demokrat (CDA), partai buruh PvdA, dan partai demokrat Uni Kristen (Christen Unie). Namun, akan keliru pula bila dianggap bahwa, pemerintah Balkenende IV-Bos-Rouvoet ini suatu pemerintah yang benar-benar progresif atau pemerintah yung benar-benar Kiri seperti pemerintahan Perancis pada periode pertama pemerintah Presiden Mitterand dari Partai Sosialis. Politik yang dikatakan cenderung ke Kanan dari pimpinan CDA dalam kabinet-kabinet yang lalu adalah pemerintahan yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi, yang dengan sendirinya lebih mengutamakan urusan modal, diatas perbaikan kehidupan sosial kaum pekerja atau karyawan secara umum. Dikatakan menomorsatukan penciptakan syarat agar ekonomi Belanda mampu bersaing di dunia internasional. Menomorsatukan privatisasi dan ditekannya kenaikan upah buruh (kasar). Kabinet-kabinet Balkenende I , B-II, dan B-III yang lalu, - oleh anggota-anggota partai CDA sendiri, oleh 'rank and file'-nya CDA sendiri, banyak dikecam. Para 'rank and file' partai itu menuntut agar pimpinan CDA yang Kristen itu, yang punya tanggung jawag utama dalam pemerintahan tsb, seharusnya menampakkan wajah Kristen yang sosial dan manusiawi serta solidaritas. Mereka beranggapan bahwa arah politik kabinet-kabinet lalu dibawah PM Balkenende itu, didominasi oleh politik partai liberal demokrat VVD yang Kanan, dan oleh golongan Kanan pimpinan CDA sendiri. Dikatakan bahwa pemilu akhir tahun lalu telah sedikit banyak 'mengkoreksi' kecenderungan Kanan CDA. * * * Partai sosdem PvdA, yang di Belanda digolongkan sebagai partai Kiri, (terkadang juga disebut tengah-Kiri) sekali tempo bisa berkoalisi dengan partai Kristen demokrat CDA. Ini terjadi pada periode kabinet-kabinet PM Lubbers. Pada tempo lain seperti pada periode pemerintah Pelangi Perdana Menteri Kok 1 dan Kok II, PvdA menyisihkan partai Kristen demokrat CDA, dan berkoalisi dengan partai liberal demokrat VVD (yang Kanan itu). Memang aneh kelihatannya, tetapi itulah kenyataan kehidupan perpolitikan Belanda. Meskipun aneh, tetapi harus diakui, segala sesuatu mengenai pembentukan pemerintahan B
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - RAYAKAN BERSAMA HARI RAYA NASIONAL IMLEK
Kolom IBRAHIM ISA Minggu, 18 Februari 2007 RAYAKAN BERSAMA HARI RAYA NASIONAL 'IMLEK' Bersama-sama, - seluruh bangsa, seantero nasion ini, merayakan Hari Raya IMLEK. Memang begitulah seyogianya. Begitulah seharusnya bangsa ini sebagai nasion yang berbudaya, yang tidak mengidap 'chauvinisme' dan rasisme terhadap warga negara sendiri yang berasal dari etnis-lain. Tibalah waktunya bagi bangsa kita untuk saling menghargai dan saling menghormati masing-masing adat istiadat, tradisi dan budaya setiap etnis anggota keluarga nasion Indonesia. Sudahlah tiba masanya, istilah 'pribumi' dan 'non-pribumi' dengan aneka-ragam interpretasinya, dihapuskan dari fikiran rasis dan diskriminatif yang masih melekat pada masing-masing suku bangsa kita. Terutama pada pejabat dan penguasa dimanapun ia berada. Sudahlah tiba saatnya meningkatkan kesadaran berbangsa, kesadaran ber-BHINNEKA TUNGGAL IKA. Agar kata-kata dan semboyan indah itu, tidak sekadar tercantum menghiasi UUD dan Lambang Negara Republik Indonesia, tidak tinggal di atas kertas belaka, tetapi diberlakukan d a l a m k e h i d u p a n n y a t a s e h a r i h a r i, lebih-lebih lagi dalam kehidupan politik bernegara. Hanyalah dengan demikian bangsa ini bisa tumbuh dan berkembang dengan mantap serta sehat mendewasa. Bersama merayakan Hari Raya Imlek. Adalah sama halnya dengan Bersama Merayakan Hari Raya Tahun Baru, Bersama Merayakan Hari Lebaran. Bersama Berbhnineka Tunggal Ika. Dengan demikian kita tidak ber-'icak-icak'. Berpura-pura saja, menipu diri sendiri! *** Sejauh ingatan ke 'tempo dulu', ketika orang Belanda masih menjadi penguasa negeri terindah di dunia, yang sekarang kita kenal dengan nama IMLEK, dulu namanya, menurut logat Betawi, disebut 'Taon baru Ciné'. Sedangkan yang sudah sejak lama juga kita rayakan sebagai Hari Raya Tahun Baru, dulunya di kampung-kampung di Jakarta dikenal sebagai 'Taon Baru Belandé'. Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang sangkakalanya bergema dari Jalan Pengangsaan Timur 56, Jakarta, oleh proklamator Sukarno dan Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945, telah membuka lembaran baru dalam sejarah Indonesia. Bangsa kita telah merdeka. Berbagai suku-bangsa kita seperti suku bangsa Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, Madura, Aceh, Makasar, Bugis, Minahasa, Maluku, Timor, Flores, Bali, Papua, dan banyak lainnya, kemudian yang berasal etnis Tionghoa, etnis asal Arab, etnis asal Belanda, etnis asal India, Pakistan, dll telah sama-sama menyingsingkan lengan baju, berjuang bersama, mengalirkan keringat, mengujurkan darah, berkorban demi Indonesia Baru yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dan ber-Pancasila. Semua punya peranan, menurut kemampuan dan situasinya. Masing-masing telah memberikan sumbangannya. Kita juga mengenal nama-nama asal etnis Tionghoa seperti a.l.Siauw Giok Tjhan, Tjoa Sek Ien, Tan Po Goan, Tan Ling Dji, Oei Tjoe Tat, Yap Tiam Hin, John Lie, dll yang telah memberikan seluruh hidupnya demi usaha kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah pejuang-pejuang kemerdekaan yang tidak bisa dihapuskan namanya dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. *** Sejak 1965 , Jendral Suharto dengan rezim Orbanya, telah memutar kembali jarum sejarah kemajuan bangsa kita. Politik dan kebijakan Orba telah sangat merusak persatuan bangsa yang telah digalang dan dikembangkan dengan susah payah, oleh para 'founding fathers' bangsa. Politik anti-Tionghoa yang sudah lama dikonsep oleh golongan Kanan AD TNI, berkembang subur, merajalela sejadi-jadinya, begitu ia menjadi kebijakan dan politik resmi pemerintah Orba. Politik anti-Tionghoa tsb terus berlangsung, sampai jatuhnya Presiden Suharto. Masih segar di dalam ingatan masyarakat, betapa media dan pers, nama-nama jalan serta toko-toko tidak boleh menggunakan bahasa dan kata Tionghoa. Masih teringat betapa semua sekolah Tionghoa ditutup, dan bahasa Tionghoa dilarang, - - - - sampai-sampai nama-nama Tionghoapun, - - - - sesuatu yang bersifat amat pribadi dan merupakan hak azasi manusia yang paling elementer, itupun, dengan berbagai cara dipaksakan supaya diganti dengan nama 'pribumi' , nama Indonesia 'asli' . Poltik penindasan dan pembelengguan terhadap kebiasaan, adat istiadat serta tradisi budaya Tionghoa, bertujuan a.l untuk mengakhiri pengaruh budaya Tionghoa terhadap yang mereka namakan 'bangsa pribumi' Indonesia. Anéh kedengarannya, begaimana mungkin, bahwa, pada masa ketika ide-ide pencerahan dan demokrasi berkumandang di mancanegara, namun, di negeri kita bisa terjadi penindasan terhadap adat istiadat, tradisi dan budaya etnis tertentu bangsa sendiri, kongkritnya bangsa Indonesia asal etnis-Tionghoa. *** Sejak jatuhnya rezim reperesif Orba, meski masih begitu banyaknya kekurangan dan kendala yang memperlambat bahkan berusaha merintangi pelaksanaan tun
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S --- SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS, 14 FEB. 2007
IBRAHIM ISA'S --- SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS, 14 FEB. 2007 GOVT TURNS TO IMPORTS ONCE AGAIN TO KEEP RICE BOWLS FULL WORLD BANK COUNTRY DIRECTOR IN INDONESI ATO BE REPLACED DON'T JUST BLAME IT ON THE RAIN LAVISH LASHES, NEGLECTED WARTS; A JAKARTA FABLE GOVT TURNS TO IMPORTS ONCE AGAIN TO KEEP RICE BOWLS FULL JAKARTA (JP): The government will import another 500,000 tons of rice to help keep prices from rising further after monsoonal flooding across the country disrupted the production and distribution of the nation's staple foodstuff. The rice will be imported in March and April, Vice President Jusuf Kalla told reporters Tuesday after a meeting with economics ministers at the headquarters of the State Logistics Agency (Bulog). The Vice President said bids from suppliers had alreadybeen solicited. "We need to secure the supply of rice to the market and distribute as much rice to the poor as is needed. That's why importing rice is reasonable in these circumstances," he said.The government imported 500,000 tons of rice in January, saying that it would import more over the course of the year as required.A total of 138,000 tons of imported rice will be delivered this month, Coordinating Minister for the Economy Boediono had earlier said, with another 350,000 tons arriving in March so as to buffer the country's rice stocks until such time as localproduction kicks in during the harvest. The original decision to import rice came after prices rose to Rp 5,000 (55 U.S. cents) a kilogram in December and January, threatening a possible uptick in inflation.(Urip) WORLD BANK COUNTRY DIRECTOR IN INDONESIA TO BE REPALCED JAKARTA (Antara): World Bank country director in Indonesia, Adrew Steer, will soon be replaced because he will be given a new post in London, England. "I will leave Indonesia for London on Feb. 28 to work for the British government. I will remain in the World Bank but I have to be responsible to the British government," Steer said on the sidelines of a conference on public spending on Monday.Steer said having been World Bank country director in Indonesia since 2002, he had seen the country make a lot of economic progress from time to time."I have to leave Indonesia for London but I don't know who will replace me," Steer said. He said Indonesia would continue to face new challenges in the years to come but they would lead the country to greater success. "The government at present is in a financially strong position and this is very good for Indonesia. Therefore, with the new challenges, I am certain the country will make a lot of progress in the future," he said.(***) DON'T JUST BLAME IT ON THE RAIN Irma Hutabarat, Jakarta Here we go again. The city had five years to prepare, but it still failed to stop massive floods from swamping the capital. The disaster has caused an estimated Rp 4.1 trillion in material losses, claimed the lives of at least 48 Jakartans and forced 320,000 people to flee their houses.Portions of Jakarta were paralyzed -- except for the fingers of government officials, who quickly began to point the blame toward each other, Mother Nature and the media. This series of events remind me of a song from the infamous 1980s lipsync band, Milli Vanilli: Blame it on the Rain. It seemed everybody was chanting the once-popular refrain and deflecting responsibility for the flood, probably the worst ever to have struck Jakarta and its neighboring towns. Let's start with the person who is supposed to be responsible for the wellbeing of Jakarta, Governor Sutiyoso. He said the flood was a natural phenomenon which was beyond his capacity. But what about all those buildings that have been erected without proper permits or planning? What about those green areas that he allowed to become shopping malls or skyscrapers? Coordinating Minister for the People's Welfare Aburizal Bakrie accused the media of dramatizing the floods. "The victims are still laughing," he claimed. What about the estimated 190,000 suffering from diarrhea, respiratory problems and skin diseases? What about all those who lost their belongings? Are these plights not dramatic enough? If Aburizal says the sad facts are exaggerated by the media, can we assume that he has ensured every victim receives proper assistance and medical treatment? Even though the government failed to anticipate the flood, Vice President Jusuf Kalla assured there will be no floods next year. No doubt he knows there is a five-year cycle. If floods hit Jakarta next year anyway, perhaps we can ask Kalla to pay compensation for his false promises and also ask him to take action against those deemed responsible for the disaster. President Susilo Bambang Yudhoyono promised that the East Canal construction project would be completed and city planning wo
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA - CRÉK . . . . CRÉK . . . .
IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA Senin, 12 Februari 2007 CRÉK . . . . CRÉK . . . . Mengumpulkan Dana Untuk AMNESTY INTERNATIONAL *** Mengetuk Hati Nurani Di Winkelcentrum A'damse Poort Kata-kata 'fundraising' atau 'fondswerving' itu penamaan yang terlalu mentéréng untuk apa yang kukerjakan tadi pagi selama kuranglebih dua jam. Lebih cocok penamaan yang diberikan istriku, Murti, pagi tadi menjelang aku keluar rumah. Ketika bertanya kepadaku, Murti begini bilangnya: Yah, (nama panggilan untuk aku dalam keluarga kami, maksudnya: 'Ayah'), kapan 'ngecrék-ngecrék' untuk Amnesty International. 'Ngecrék ngecrék', . . . . . maksudnya, mengumpulkan dana di jalan-jalan dan di plein di Winkelcentrum Amsterdamse Poort . Yang letaknya jarak limabelas menit jalan kaki dari flat kami, Haag en Veld.. Dikatakan 'ngecrék-ngecrék'. . . . . . . . karena uang yang dikumpulkan di kotak-plastik-keras Amnesty itu, waktu dimasukkan ke dalamnya, bunyinya nyaring: . . . . 'crék, crék, crék . . . . begitu. Maklumlah yang dimasukkan di situ pada pokoknya adalah mata uang logam yang récéhan . Ada yang nilainya Euro 10 sen, 20 sen, 50 sen dan terkadang ada yang satu atau dua Euro. Sesiang tadi itu dari jam 12.30 sampai jam 14.30 aku berdiri mengumpulkan dana. Tak ada satu penyumbang yang memasukkan uang kertas, meski yang paling kecil sekalipun, yatiu yang Euro 5. Namun aku tak kecewa. Sama sekali tidak! Aku senang bisa ngomong pada orang-orang yang lalu: 'U bijdrage meneer, mevrouw. Voor Amnesty International !!. . Tidak terlalu banyak, lumayan yang tergerak hatinya, dan memberikan sekadar sumbangan mereka dengan senyum pada bibir mereka. Diantara mereka ada yang bulé, ada yang hitam, ada satu perempuan Indonesia, ada beberapa mahasiswa, ada juga dua orang perempuan Moslem yang berjilbab. Aku sudah puas dengan perhatian mereka itu. Karena nyatanya mereka kenal dengan apa yang dilakukan oleh Amnesty International. Bersama-sama kami menghimbau dan menggugah orang-orang yang lewat di situ agar sudi kiranya membuka dompet mereka dan menyumbang ala kadarnya untuk KEMANUSIAAN. Pada kotak pengumpul dana Amnesty International itu tertulis dalam bahasa Belanda: 'GEEF VOOR VRIJHEID'. Artinya sumbanglah demi Kebebasan. Dalam bahasa Inggris tertulis juga di situ kata-kata ini: Amnesty International Support our fight for Human Rights. Untuk aku pribadi, tidak begitu aku pentingkan akan berapa besar nanti bila sudah terkumpul semua, jumlah uang yang bisa diperoleh dari pengumpulan dana itu. Terlebih penting ialah bahwa orang tahu, bahwa masih ada orang-orang, sukarelawan-sukarelawan yang menghimbau perhatian, kepedulian terhadap masalah hak-hak azasi manusia. Mengenai perlunya mengadakan perlawanan terhadap setiap pelanggaran terhadap HAM, betapapun kecilnya. Betapa di dunia ini, masih begitu hebatnya terjadi pelanggaran HAM. Mulai dari Asia sampai ke Timur Tengah. Dari Amerika Latin, dari Amerika Serikat sampai ke Irlandia Utara, dari Burma atau Myanmar sampai ke Palestina. Berdiri di Amsterdamse Poort untuk mengumpulkan dana bagi Amnesty, bukan baru sekali ini kulakukan. Beberapa tahun yang lalu kami ada empat orang dari Grup Amnesty melakukannya. Semua anak-muda yang bulé. Lumayan juga dana yang kami kumpulkan ketika itu. Bagiku sendiri, berdiri di tengah jalan, di muka toko-toko atau bank-bank, yang utama bukanlah untuk mengumpulkan uang untuk keperluan kegiatan Amnesty International yang memang diperlukannya. Yang lebih penting adalah agar masyarakat tahu, Amnesty International dengan tak henti-hentinya melakukan kegiatan dan usaha demi dilaksanakannya HAM di mancanegara * * *. Amnesty International Cabang Nederland termasuk yang kuat kas-nya. Tahun ini, pengeluaran yang dilakukan Amnesty Nederlan keseluruhannya meliputi Euro 21,3 juta. Dalam hatiku, luar biasa! Memang Belanda negeri kaya. Amnesty International Belanda punya banyak penyumbangn yang tidak mengikat. Heibatnya Amnesty International cabang Nederland ini, tidak mau uang pemerintah. Maksdunya supaya tidak terikat dengan politik pemerintah. *** Kampanye Amnesty International Belanda untuk mengumpulkan dana dimulai hari ini pada tanggal 12 Februari. Coba terka, berapa jumlah aktivis yang turut serta ambil bagian menyemarakkan kampanye aksi mengumpulkan dana? Tidak kurang dari 20.000 sukarelawan. Memang heibat kepedulian masyarakat Belanda terhadap aksi-aksi kemanusiaan. Orang-orang Belanda yang dikenal dengan sifat 'hématnya', kalau sudah menyangkut 'voor het goede doel' < 'untuk tujuan mulya'>, mereka tidak sayang keluarkan uangnya untuk ikut menyumbang. Sumbangan Amnesty Belanda kepada Sekretariat Internasional Amnesty diLondon meliputi jumlah tidak kurang dari Euro 5,2 juta. Itu berarti 24% dari jumlah seluruh pengeluaran. Untuk kegiatan aksi-aksi dan kerja-aksi dikel
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - IN MEMORIAM SOBRON AIDIT
Kolom IBRAHIM ISA Sabtu, 10 Februari 2007 IN MEMORIAM SOBRON AIDIT Pagi ini Zus Els Tahsin, istri mendiang Suraedi Tahsin, menilpun kami: BUNG SOBRON PAGI INI MENINGGAL DUNIA, katanya dengan suara sedih. INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAJI 'UN SEMOGA ARWAHNYA DITERIMA DI SISI TUHAN Y.M.E. Sobron meninggal sesudah menderita serangan jantung dan pembuluh darah dua hari yang lalu. Ia meninggal di rumah sakit di Paris, salah satu rumah sakit yang baik. Keluarganya, dua orang putri, Wita dan Nita beserta cucu-cucu dan manantu syukur sempat menengok ayah, kakek, mertua beberapa saat sebelum Sobron Aidit meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Kesedihan besar yang menimpa keluarga Sobron Aidit juga dirasakan oleh para handai taulan di Paris, Amsterdam, Stockholm, Berlin, dan di tanah air tercinta Indonesia. Tak lain harapan kita semua keluarga yang ditinggalkan Sobron tabah adanya menghadapi musibah ini. Sobron Aidit, adalah sahabat karibku, seorang kawan yang kukenal puluhan tahun lamanya. Oragnya peramah, gembira, optimis dan penuh dengan energi (entah dari mana energi itu, mengingat umumnya yang sudah di atas tujuh puluh). Boleh dikatakan, setiap hari Sobron menulis. Apakah itu cerpen, apa yang berjudul 'cerita-cerita santai', 'kolom saya', dan lain-lain judul yang hidup dan jenaka. Menulis, itulah 'hidup' nya Sobron Aidit. Tulisannya sering yang santai-santai, yan biasa-biasa saja, ditulis dengan gaya yang hidup, lugu apa adanya, menceriterakan kehidupan sehari-hari dari orang Paris, dari orang Amsterdam, dari keluarganya, dari anaknya, Nita, Wita dan cucu-cucu yang semuanya sangat dekat dihatinya. Tidak itu saja, Sobron juga berceritera tentang keadaan rakyat kita yang masih hidup serba kekurangan. Sobron juga berceritera tentang penderitaan para korban Peristiwa 1965 yang hingga kini masih didiskrisminasi, dimearginalisasi dan di 'paria'kan oleh penguasa dan para pendukungnya. Sobron aktif memperjuangkan agar para korban pelanggaran HAM tsb direhabilitasi nama baik dan hak-hak mereka sebagai warganegara yang mencintai tanah air dan Republik Indonesia. Sobron pandai melukiskan penderitaan para korban Peristiwa 1965 Pelanggaran HAM Orba, karena ia sendiri adalah salah seorang dari korban pelanggaran HAM rezim Orba, sebagaima halnya keluarganya, teristimewa abangnya Ahmad. Membaca tulisan-tulisan Sobron, orang bisa tahu bahwa meskipun jasadnya tinggal di Paris, sebagai warganegara Perancis, tetapi semangat dan jiwanya tetap Indonesia, yang teramat cinta pada tanah air dan bangsa. Puluhan tahun berkelana di luarnegeri akibat persekusi Orba, tidak sedikitpun melunturkan jiwa patriotik Sobron. Sobron Aidit telah tiada. Tetapi kenang-kenangan indah akan tetap pada kita semua: Sobron Aidit sebagai kawan, yang hangat, dengan siapa kita bisa bersenda gurau, tetapi juga bisa dengan serius membicarakan nasib bangsa dan tanah air, hari depan Indonesia. Semangat dan energiknya Sobron Aidit menulis, - sesuatu yang pasti ada gunanya bagi generasi muda, merupakan suri teladan yang tak akan terlupakan sepanjang masa.
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - TIONGKOK yang KUKENAL (3)
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 09 Februari 2007 TIONGKOK yang KUKENAL (3) Mengenal Tiongkok! Bisa sederhana. Bisa juga pelik dan rumit. Banyak tergantung dari situasi per individu. Bagaimana titik tolak dan latar belakang sejarah yang bersangkutan. Last but not least, bagaimana pula kecenderungan politiknya. Banyak yang bukan orang Tiongkok, memperoleh gambaran atau ide tentang Tiongkok dari berita atau literatur. Dari pelajaran sejarah di sekolah ataupun di perguruan tinggi. Bisa juga dari ceitera orang yang pernah berkunjung atau tinggal di Tiongkok. Ada juga yang dirinya sendiri pernah berkunjung atau bahkan tinggal di Tiongkok dalam waktu tertentu. Tetapi, akhirnya tokh, tergantung pilihan yang bersangkutan. Apa maunya. Apa yang ia ingin ketahui atau hendak kenal tentang Tiongkok. Mau mencari yang negatifnya (saja), pasti akan menjumpainya. Mau mencari yang positifnya juga pasti banyak. Mau berusaha obyektif juga bukan tidak mungkin. Nanti kita lihat bersama, bagaimana seorang jurnalis Amerika, wartawan UPI, Jack Belden, menulis buku terkenal 'CHINA CHAKES THE WORLD' (1949), --- 'Tiongkok Menggemparkan Dunia' (Edisi Bahasa Indonesia: 'NAGA MERAH'). Bagaimana pula Jung Chang, orang Tiongkok dan suaminya orang Inggris, Jon Halliday, menulis tentang Mao: 'Mao, Ceritera yang Tidak Dikenal', 2005. *** Bisa juga kukenangkan kembali bagaimana aku sendiri mula mengenal Tiongkok. Ini kasus lebih sederhana, karena itu pengalamanku sendiri. Pada suatu ketika, awal tahun 1950-an, sesudah tercapainya perdamaian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda (akhir 1949), banyak buku dan literatur luarnegeri masuk Indonesia. Tidak sedikit literatur yang mengisahkan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, yang diproklamasikan pada tanggal 1 Oktober 1949. Ketika itu banyak 'breaking news' tentang Tiongkok. Umumnya mengisahkan keheibatan tentara Komunis di bawah pimpinan Mao Tsetung dan Chu Teh, yang berhasil memusnahkan tentara Kuomintang di bawah pimpinan Jenderalisimo Chiang Kai-sjek, dengan jumlah jutaan dan peralatan serta persenjataan modern dari AS. Diberitakan bagaimana sisa-sisa kekuatan KMT yang korup dan bobrok serta bangkrut itu lari terbirit-birit ke Taiwan. Diberitakan pula bagaimana pemerintah Tiongkok Baru, pemerintah RRT, mengatasi inflasi, memulihkan ketenteraman serta menjalankan kembali roda ekonomi negeri, melakukan pembagian tanah kepada kaum tani, melaksanakan landreform, serta mengakhiri kriminalitas, pelacuran, perjudian, dll kemaksiatan dalam masyarakat lama Tiongkok di bawah kekuasaan Kuomintang. Tak kujumpai ada pemberitaan yang membantah kebobrokan KMT yang kalah didaratan Tiongkok dan lari ke Taiwan. Juga tidak ada berita yang menyanggah bahwa tentara Komunis di bawah pimpinan Mao Tsetung dan Chu Teh, telah berhasil membereskan negeri dan memulihkan perdamaian di Tiongkok. * * * 'CHINA SHAKES THE WORLD' (1949), karya Jack Belden. Entah dari siapa pertama-tama aku mendengar tentang buku Jack Belden itu . Tak ingat lagi. Tapi kuingat buku itu kubeli di Toko Buku 'Indira' di Menteng, Jakarta. Buku Jack Belden, wartawan UPI, yang terkenal: 'CHINA SHAKES THE WORLD' (1949) 'Tiongkok Menggoncangkan Dunia', segera menjadi 'bestseller'. Lakunya seperti pisang goreng, kata orang kita. Kuingat, kemudian nama buku itu kudengar lagi, dari sahabatku Sidharta pimpinan SBKB, Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, salah seorang pendiri Lekra . S.Dharta, atau Klara Akustia, nama penanya, menganjurkan aku agar membaca buku itu sampai selesai. S. Dharta memuji ketelitian dan kegairahan Jack Belden menulis tentang revolusi Tiongkok. Baik dari segi fakta-faktanya, analisisnya, maupun dari segi profesionalismenya sebagai wartawan. Dharta menyatakan padaku, bahwa ia tidak pernah membaca buku tentang perkembangan revolusioner di Tiongkok sebagus buku Jack Belden. Bagiku, membaca buku Jack Belden 'China Shakes The World' ketika itu, melengkapi gambaran yang kuperoleh dari pemberitaan dan literatur lainnya mengenai Tiongkok di bawah KMT, dan bagaimana kaum Komunis Tiongkok telah berhasil membebaskan serta mempersatukan Tiongkok. Membaca buku Jack Beldn, seakan-akan pembaca dibawa ikut menyaksikan sendiri dari tahap ke tahap, perkembangan revolusi Tiongkok yang menggemparkan dunia sampai mencapai kemenangan gemilang dan historis. Dulu, Barat menamakan Tiongkok 'orang sakit Asia' 'The sick man of Asia'. Berkat suatu proses revolusioner, Tiongkok lahir kembali sebagai raksasa yang segar bugar. Dalam pada itu masih jelas dalam ingatanku sebuah toko buku milik perusahaan Tionghoa di Glodok, yang dalam tahun 1950-an, banyak menjual buku-buku tentang revolusi Tiongkok dan Tiongkok Baru. Toko buku itu sering sekali kukunjungi untuk membeli literatur terbaru mengenai Tiongkok Baru. Inilah sebabnya a.l. sej
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - TIONGKOK Yang KUKENAL (2)
Kolom IBRAHIM ISA Rabu, 07 Februari 2007 TIONGKOK yang KUKENAL (2) Belum lama aku sempat bertukar fikiran dengan sahabat-lamaku orang Tiongkok , yang datang dari Tiongkok. Aku selalu berpendapat perlunya bertukar fikiran langsung dengan sahabat-sahabat orang-orang Tiongkok, mengenai situasi Tiongkok sekarang. Masalahnya, tinggal mencari kesempatan untuk itu. Belum lama ini syukurlah muncul juga kesempatan itu. Boleh dibilang tidak ada satu minggu berlalu di dunia pemberitaan, -- pers, radio dan TV mancanegara, khususnya di dunia Barat, --- yang tidak memberitakan tentang Tiongkok. Ada berita yang menyoroti segi-segi negatif ketimbang yang positif. Sering dikira itu berita tentang Tiongkok itu berita positif, namun, kemudian ada selipan yang negatif. Ternyata maksud sesungguhnya berita tsb memang menceriterakan sesuatu yang negatif tentang Tiongkok. Sekarang zamannya orang menomorsatukan kebebasan, kebebasan menyatakan pendapat dan menyiarkannya. Jadi berita-berita yang macam-macam tentang Tiongkok, itu boleh-boleh saja. Tinggallah pada kita sendiri bagaimana mencernakannya. Banyak orang pada dasarnya mengambil sikap yang bersahabat dengan Tiongkok dan bersimpati dengan rakyatnya. Tetapi ada juga orang-orang yang sejak awal bertitik tolak dari sikap yang antipati terhadapnya, terutama terhadap kekuasaan di Tiongkok sekarang. Umumnya mereka itu adalah fihak-fihak yang menganut faham anti-Komunis. Karena pemerintahan Tiongkok adalah pemerintah Komunis dan dipimpin oleh Partai Komunis, maka mereka mengambil posisi anti-Tiongkok. Namun, terhadap rezim di Taiwan mereka tidak antagonis. Bahkan mendukung politik AS zaman Perang Dingin, yaitu politik 'Dua Tiongkok'. Atau politik 'satu Tiongkok' dan 'satu 'Taiwan'. Jadi mendorong berdirinya Taiwan yang separatis. Mereka-mereka yang anti-Komunis itu, dengan bertolak dari faham anti-Komunisnya, yang mengambil posisi antagonis terhadap rezim di Tiongkok sejak berdirinya RRT - pada umumnya menyatakan bahwa, sebenarnya, kata mereka, sejak era Deng Xiaobing, Tiongkok sudah bukan Sosialis lagi. Tiongkok sudah melaksanakan sistim Kapitalis. Partainyapun sudah bukan partai Komunis lagi. Hanya nama saja yang Komunis. Namun, orang-orang yang sama itu juga, sama nyaringnya menabuh genderang, memperingatkan dunia, tentang bahaya munculnya superpower baru, yaitu Tiongkok. Orang bisa mengambil kesimpulan, mereka itu bukan pertama-tama menentang sisitim apa yang dijalankan di Tiongkok, tetapi, mereka tidak ingin ada satu Tiongkok yang bebas berdiri sendiri dan kuat di segala bidang. Mereka menghendaki Tiongkok terpecah-belah dan tegantung pada luar. Mereka mendambakan dunia yang dikuasai dan 'dipimpin' oleh AS dan sekutu-sekutunya. Mereka mengimpikan suatu 'Pax Americana' di dunia ini. *** Dari sinilah bisa dilihat, masih hidupnya di kalangan Barat dan pada mereka yang sepandangan dengan politik 'Perang Dingin' dunia Barat, yang ingin diteruskannya strategi 'China containment policy'. Bisa diikuti dengan jelas bahwa politik 'China containment' ini sekarang menggunakan merek atau iklan baru, yaitu mencanangkan kepada dunia: 'Waspada terhadap superpower baru: Tiongkok'. Untuk melengkapi input mengenai Tiongkok, maka ada baiknya a.l. mendengar langsung dari orang Tiongkok bagaimana pendapat mereka sendiri tentang Tiongkok yang ramai dibicarakan orang itu. Ini lebih-lebih lagi terasa perlu bagi orang seperti aku. Karena pengetahuan-langsung yang kuperoleh di lapangan mengenai Tiongkok, adalah mengenai situasi Tiongkok selama aku bekerja dan berdomisili di negeri itu pada periode 1966-1986, dan dalam tahun 1998. Tahun 1998 itu kami, istriku Murti dan aku, diundang oleh Perkumpulan Tiongkok untuk Persahabatan dengan Luarnegeri . Sejak itu, waktu -- sudah berlalu hampir 10 tahun sejak kunjunganku terahkir ke Tiongkok. Meskipun belum mengunjungi Tiongkok lagi, --- dengan mengikuti perkembangan Tiongkok lewat media mancanegara dan membaca sendiri yang dipublikasikan media Tiongkok berbahasa Inggris, serta siaran Radio Beijing berbahasa Indonesia, maka bisa dikatakan bahwa dalam jangka waktu 9 - 10 tahun belakangan ini , di Tiongkok tak terjadi perubahan baru yang fundamentil, yang berbeda dengan situasi 9-10 tahun yang lalu. Pemahamanku ini dilengkapi belakangan dengan kesempatan bertukar fikiran dengan orang-orang Tiongkok sendiri, orang-orang biasa, bukan pejabat atau politikus. Dengan demikian maka lumayanlah bisa diperoleh gambaran yang bisa diandalkan tentang Tiongkok sekarang. * * * Pengenalanku tentang Tiongkok sekarang singkatnya adalah sbb: Sejak Tiongkok menempuh kebijakan ekonomi (pasar) pada akhir tahun 1970-an, dipkrakarsai dan dirintis oleh PM Deng Xiaobing, --- bisa disaksikan dan dirasakan dampa
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA -- Kongko-Kongko Dng MICHAEL BODDEN
IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA Senin, 05 Januari 2007 Kongko-Kongko Dng MICHAEL BODDEN <, Associate Professor Indonesian Language and Literature, University of Victoria, Canada.> BERKENALAN Dng Prof. MICHAEL BODDEN LEWAT E-Mail Computer *** Yang ditulis di bawah ini, bisa juga dibilang semacam 'ode' , katakanlah, suatu nyanyian-pujian terhadap para pakar dan ilmuwan informatika, serta terhadap kemajuan luarbiasa yang mereka telah capai di cabang ilmu informatika dan komunikasi.. Adalah lewat media computer ini, aku bisa berkenalan dengan teman baru, Prof. Michael Bodden. Orang Canada sekaligus (tadinya) orang Amerika, yang mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Victoria, Canada. Pada suatu hari kudapati di ruang penerimaan e-mail computerku, sepucuk surat elektronik. Pengirimnya adalah Prof. Michael Bodden itu. Aku tanya padanya dari mana ia dapat alamat e-mail aku. Dari Gerry van Klinken, katanya. Gerry van Klinken adalah warganegara Australia, seorang pakar peneliti di salah satu lembaga ilmu sosial di Belanda. Gerry memang kenal padaku. Nah, inilah salah satu mu'jizat kemajuan bidang ilmu computer, iformatika, sehingga seseorang, asal saja tahu alamat e-mail-ku, yang terbuka tanpa menggunakan nama samaran, bisa berhubungan langsung. Di situlah, kalau pengirim e-mail bermaksud hendak berkenalan, dan kita meyambut tangan-perahabatan , itu , ya dapatlah kita teman baru. * * * Memang betullah, kata orang, bahwa kemajuan teknologi dewasa ini, a.l di bidang komunikasi, dengan ditrapkan dan dimanfaatkannya semaksimal mungkin kemajuan ilmu computer, termasuk internet dan segala macam software yang sehubungan dengan informatika, --- sungguh menakjubkan adanya. Bayangkan: -- Dulu bila hendak menulis, misalnya sebuah artikel atau esay politik, orang pertama-tama harus memiliki bahan-bahan yang memadai. Kalau tidak punya sendiri, terpaksalah pergi ke bibliotik. Atau pinjam pada kawan yang punya. Membalik halaman buku atau dokumen sendiri atau pinjaman itu, juga makan waktu cukup panjang. Sekarang pada zaman semua-semua dikomputerisasi, segala sesuatu bersangkutan dengan mencari bahan atau dokumen, tidak susah-susah lagi. Pasang saja computer, masuk internet, klik 'google.com', 'Britanica', atau 'Wikipedia', mau cari apa saja pasti dapat. Bisa juga coba dicari di tempat lainnya. Banyak 'website' yang memuat data-data penting. Sesudah dibaca dan dipelajari bahan yang diperlukan, kalau mau simpan, bisa. Kalau tidak, sesudah digunakan di-'delete' saja. Begitu juga bila sudah tiba waktunya menulis. Ngetik teks bisa lebih cepat. Kalau ada yang salah, segera bisa dikoreksi. Bisa diedit kembali. Teserah saja mau diapakan, sang computer itu akan nurut saja. Tentu yang digunakan sebaiknya computer yang mutakhir. Aku dalam hal ini memang termasuk mujur, karena selalu ada orang yang memperhatikan apakah softwareku untuk bekerja dengan computer itu yang paling baik. * * * Hanya sesudah kenal dengan Michael Bodden ini, baru diketahui banyak kawan bahwa, nun jauh disana, di Universitas Victoria, Canada, seorang ilmuwan asing memberikan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia kepada para siswanya. Terima kasih Michael! Michael Bodden, kira-kira sudah tahu siapa aku ini, tetapi aku samasekali tidak tahu siapa gerangan Michael Bodden. Langsung saja kutanyakan. Silakan Anda menjelaskan, menginformasikan Anda itu siapa, tulisku kepadanya. Suatu ketika pernah ada orang yang kirim e-mail padaku, menanggapi artikelku, bahkan memberikan kritik yang bagus. Aku tanya, siapa gerangan dia. Tidak dijawab. Ingin anonim terus rupanya. Tidak ada maksud lainnya. Cuma tidak mau dikenal siapa aslinya. Ya, pendirian ini harus dihormati. Lain dari orang yang menggunakan macam-macam nama samaran dengan maksud tersembunyi yang tak sehat. Tapi kawan baruku ini, Michael Bodden, tidak demikian. Michael Bodden memperkenalkan dirinya kepadaku. Bahasanya baik sekali. Jauh lebih baik dari banyak intelektuil dan elite 'kita' , yang tata bahasanya seperti gado-gado. Lain halnya Jaap Erkelens, sahabatku, rekanku di Wertheim Foundation, yang duapuluh tahun lamnya bekerja di Indonesia sebagai wakil KITLV, bahasa Indonesianya sungguh baik. Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Aku selalu angkat topi pada orang asing yang menggunakan bahasaIndonesia yang baik dan benar. Ini singkatan cerita Michael Bodden, dalam Bahasa Indonesia dia sendiri, tanpa ada yang aku ubah, sbb: 'Saya lahir tahun 1956 di AS dan bersekolah-tinggi di University of Winconsin. Saya selesai dengan PhD saya tahun 1993, dan mengajar di University of Victoria, di pantai barat Kanada mulai 1992. 'Perjalanan pertamaku ke Indonesia tahun 1986 untuk mendalami Bahasa Indonesia. Menetap satu tahun di Yogyakarta 19887-88 dan belajar di Gajah Mada, jurusan Sastra Indonesia, t
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S FOCUS:<01 FEBR 07> -- ECONOMY, THE WINDING-UP OF C.G.I
IBRAHIM ISA'S FOCUS: ECONOMY, THE WINDING-UP OF C.G.I < 01 FEBRUARY 2007 > - ENDING CGI 'POLITICALLY IMPORTANT' 'TEBAR PESONA' AND RATING WHO'S TO BLAME FOR SLOW ECONOMIC REFORM ? ENDING CGI 'POLITCALLY' IMPORTANT S.Urip Hudiono, The Jakarta Post, END JANUARY 2007 The decision to wind up the Consultative Group on Indonesia (CGI) is both "practical" and "political", ministers say, while giving assurances that the government will be able to cover the national budget through more bond sales rather than taking out additional foreign loans. The government has also consulted on the issue with major members of the CGI, Coordinating Minister for the Economy Boediono said, so as to maintain good relations with creditors still wanting to support the nation's development through loans and grants. However, these would now have to be negotiated on a more equal and bilateral basis. "That is the government's decision," Boediono told a media briefing here Thursday after meeting with representatives of Japan, the Asian Development Bank (ADB) and the World Bank -- the CGI's three largest contributors. "It relates to our national pride, being able to plan and manage our own development based on our own terms and framework, without having to depend on anyone else." Boediono said the decision to adopt a bilateral approach with creditors as regards future development funding would be more beneficial to Indonesia, more effective and more flexible than the multilateral forum approach. "There have been no objections. They (CGI members) even say they appreciate our decision," he said. "We have been carefully considering the matter for a long time, and notified it to the CGI last year." The government agreed last year to a CGI pledge of US$5.4 billion in new loans and grants. Finance Minister Sri Mulyani Indrawati concurred, saying the decision was designed to keep the foreign borrowing process as simple as possible, saying that in reality negotiations were conducted bilaterally beforehand, with the CGI annual event being something of a "costly and ceremonial" wrapping-up ceremony. The decision to terminate the CGI was also intended to reduce the "political costs", given that some sections of the public persistently claimed that the CGI was interfering in Indonesia's internal affairs. "It is a politically important symbol," she said. "It will increase our bargaining power with creditors, prevent the politicizing of issues, and keep everything confined to technical matters. Any project financing that is received will be strictly business." Regarding the financing of the 2007 budget, which is heavily dependent on overseas loans, Mulyani said the government over the last few years had been gradually shifting budget financing to bond sales -- and would continue to do so. "We have also taken into consideration the concerns of analysts and economists that more bond sales might actually be costlier and affect the market. That is why we have also been deepening the market and improving our debt management so as to avoid other exposure risks," she said, hinting that this was the economic price of political independence. World Bank country director Andrew Steer welcomed the move, saying Indonesia had skillfully built up a stronger economy, while agreeing that the old CGI model of funding pledges was no longer relevant. "We believe it is now appropriate that Indonesia should graduate from the CGI process. Of course, it is valuable to maintain a dialogue with the international community ... We are pleased that the government has stated its desire to continue such a dialogue," he said. The ADB's resident mission officer-in-charge, Ramesh Subramaniam, said the winding up of the CGI would not affect the ADB's existing consultation and development support for Indonesia. "We believe it is the government's prerogative to decide what form it wants to adopt for its consultations. We are not concerned with the format per se, so whatever the government wants is OK with us," he said. - - - - - - - - - - - - - - - 'TEBAR PESONA' AND RATING, The Jakarta Post Editorial, 01 Febr 2007 Less than a week after Indonesia decided to disband the World Bank-led group of creditors known as the Consultative Group on Indonesia (CGI), international agency Fitch Rating raised Indonesia's debt outlook from stable to positive. In explaining their decision, Fitch Rating cited improvements in the public finances, and government efforts to address investor concerns about corruption and excessive bureaucracy. The ratings improvement should calm a market already jittery over the government's decision to disband the CGI. The higher rating sends the positive signal that despite the CGI's demise, the government will not face any trouble raising funds to plug future budget deficits. In fact, the disbandment of the CGI may serve a po
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- IMAGO TNI Bisa Membaik H a n y a Lewat REFORMASI
Kolom IBRAHIM ISA Selasa, 30 Januari 2007 IMAGO TNI Bisa Membaik H a n y a Lewat REFORMASI Yang Konsisten Dalam esay politik tertanggal 26 Jan 2007, berjudul 'BETULKAH ADA DEWAN REVOLUSI?', dinyatakan bahwa, usaha-usaha TNI untuk menjadikan TNI seperti pada Revolusi Kemerdekaan, yaitu TNI yang tugas utamanya adalah membela dan memperkokoh pertahanan negara, menjadikan TNI salah satu sokoguru dari Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauké, menjauhkan diri dari campur tangan dalam urusan yang bukan bidang wewenangnya, lepas samasekali dari kegiatan aktif politik negeri dsb, Niat TNI itu patut disambut. Lebih dari itu seyogianya didukung sepenuh hati oleh setiap patriot Indonesia. Perkembangan TNI dalam masa kira-lebih 40 tahun belakangan ini, kongkritnya selama periode Orba, sangat gamblang termanifestasi dalam praktek pelaksanaan konsep 'DWIFUNGSI ABRI'. 'Dwifungsi Abri' menjadikan tentara berkuasa di segala bidang, melalui pelakasanaan doktrin 'komando teritorial', tegaklah kekuasaan militer melalui lembaga Babinsa di akar rumput, sampai ke KODAM. 'Dwifungsi Abri' sekaligus menjadikan TNI diatas hukum, sehingga yang menentukan hukum adalah militer. Militer telah menjadikan dirinya suatu lapisan masyarakat yang punya hak istimewa. Situasi hukum yang diciptakannya adalah, lenyapnya 'negara-hukum Indonesia', -- berdirinya di Indonesia suatu rezim militer yang teramat otoriter dan opresif. Suatu situasi yang dengan terpusat dan menyolok terfokus dalam 'kultur hukum' dan politik' I M P U N I T Y '. Suatu rezim supuresif yang kebal hukum, dengan leluasa melakukan pelanggaran HAM yang paling besar di negeri kita yang terjadi dalam Peristiwa Pembantaian Masal 1965-1966. Suatu rezim militer yang melakukan pelanggaran tindak korupsi dan KKN paling dahsyat sepanjang sejarah Republik Indonesia. * * * Kadang-kadang, bila dibicarakan dan diktitik konsep 'Dwifungsi Abri' yang telah mencemarkan nama baik TNI dan membawa malapetaka pada bangsa dan tanah air, yang membikin banyak perwira-perwiranya menjadi koruptor-koruptor kakap yang hidup dalam suasana mewah, -- Ada sementara pendapat yang merasa kritik terhadap konsep 'Dwifungsi Abri' sudah 'kebanyakan' dan bahkan 'sudah tak relevan' lagi. Karena, begitu logikanya, diajukan argumentasi berikut ini: Bukankah konsep 'Dwifungsi Abri' itu sudah jadi 'almarhum'?. Marilah kita sekarang ini menatap ke depan. Bukankah TNI sudah berulangkali menyatakan akan mengadakan Reformasi di kalangan sendiri. Bukankah sekarang ini TNI, 'tidak lagi mencampuri politik'?. Keadaan negeri kita dengan sejarah berkuasanya rezim milier Orba, sedikit banyak ada persamaannya dengan sementara negeri Amerika Latin. Maka ada baiknya menoleh sejenak ke Amerika Latin. * ** Di Amerika Latin , belum lama, begitu parahnya mencengkam dan merajalelanya kekuasaan militer atas politik dan begitu gawatnya korban yang ditimbulkan, yang 'fall-out'-nya masih berlangsung dan diderita (oleh para korban) sampai sekarang ini, sehingga muncullah semboyan di kalangan masyarakat yang luas: 'JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKANNYA!'. 'JANGAN SEKALI-KALI MEMAAFKANNYA!'. Sepenuhnya bisa difahami perasaan yang muncul dalam slogan seperti itu, karena sampai sekarang masih ada para algojo pelaku pelanggaran HAM fihak militer di Amerika Latin, yang masih b e b a s . Tidakkah ada persamaannya dengan Indonesia? * ** KONSEP 'DWIFUNGSI ABRI' YANG MASIH HIDUP DI KEMLU INDONESIA Di Indonesia, oleh negara, konsep 'Dwifungsi Abri' itu sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. namun, -- tiba-tiba orang tersentak, dikejutkan oleh fikiran di kalangan sementara pejabat tinggi RI, yang masih dengan getolnya menjajakan konsep 'Dewifungsi Abri' itu bahkan di luarnegeri. Ini bukan berita burung. Tercetak hitam di atas putih. Kongkrit, bukan berita bohong, bukan isapan jempol. Adalah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, yang ternyata masih ngeloni konsep 'Dwifungsi Abri'. Lebih-lebih lagi tidak bisa dimengerti, bahwa konsep 'Dwifungsi Abri' yang sudah almarhum (formalnya), itu ditawar-tawarkan oleh wakil Indonesia di Dewan Keamanan PBB kepada Myanmar (Birma). Seakan-akan Kemlu Indonesia memberi nasihat kepada para jendral Myanmar, yang sudah puluhan tahun secara inkonstitusional mengangkangi kekuasaan negara dan bertahun-tahun lamanya mengenakan tahanan rumah terhadap pejuang Demokrasi Myanmar. Notabene, pejuang demokrasi Birma ini, Aung San Suu Kyi, adalah tokoh pemimpin parpol Birma yang telah memenangkan pemilu. Apa nasihat Menlu 'kita' itu? Ini dia: Wahai para jendral Myanmar Yth.: 'Cobalah trapkan formula 'Dwifungsi militer' di negeri Anda, sehingga dengan demikian bisa menyelubungi watak
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Betulkah Ada 'DEWAN REVOLUSI' ?
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 26 Januari 2007 --- Betulkah Ada 'DEWAN REVOLUSI' ? Sejak Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden, bersama rekan-rekannya, kebanyakan dari Angkatan Darat, membentuk 'Dewan Revolusi' melalui suatu gerakan militer yang diberi nama oleh para pelakunya sebagai GERAKAN 30 SEPTEMBER (1965), - perkataan -'D e w a n R e v o l u s i ' - selalu dikaitkan dengan tudingan tertuju pada PKI atau Presiden Sukarno. Perhatikan, pada periode Orba --- kata 'Dewan Revolusi' -- itu adalaht a b u untuk diungkit atau dikutak-katik kembali, selain menurut versi Orba. Di sepanjang periode rezim Orba, apalagi sesudah jatuhnya Jendral Suharto, terdapat dua versi yang bisa dibilang versi-versi utama mengenai 'Dewan Revolusi' dan 'G30S' yang melahirkannya. Satu terhadap yang lainnya versi-versi tsb diametral bertentangan. Masih ada beberapa versi lainnya. Satu versi yang diutarakan oleh a.l. s.k. Harian Rakyat ketika itu (1965), dan Sudisman, anggota DH PB CC PKI yang diajukan ke sidang Mahmilub (1967), dan oleh sementara pelakunya, seperti Lt Kol Untung dan Brigjen Supardjo, ialah : Gerakan 30 September, adalah 'soal intern Angkatan Darat' yang tujuannya adalah untuk mencekal rencana kudeta Dewan Jendral terhadap Presiden Sukarno, dan untuk membela Presiden Sukarno. Versi satunya lagi, adalah versi Orba yang menjadi versi resmi selama 30 tahun lebih: --- 'G30S' adalah suatu percobaan kup, suatu makar perebutan kekuasaan negara oleh PKI. Lain kali, kita bisa kembali lagi ke soal ini. *** Bagaimana sekarang? Bagaimana situasinya, setelah berlangsungnya gelora gelombang dahsyat Gerakan Reformasi dan Demokratisasi, melalui suatu gerakan massa luas, yang didukung sementara elemen dalam angkatan bersenjata sendiri, dan telah memaksa Presiden Suharto turun panggung? Sejak Jendral Suharto jatuh, dalam situasi baru lahirnya kebebasan pers yang merupakan salah satu produk penting gerakan Reformasi dan Demokratisasi, terbukalah kesempatan bagi siapa saja, untuk menulis dan dengan bebas mengutarakan analisis dan tafsirannya sendiri terhadap kata dan peristiwa terbentuknya 'DEWAN REVOLUSI' (1965). Munculnya kembali kata 'Dewan Revolusi' tsb baru belakangan saja terjadi. Memang sesuatu yang ironis. Kata yang dalam waktu panjang adalah 'tabu', tiba-tiba mencuat lagi. Anehnya, hal itu dipandang sebagai 'ulahnya' sementara perwira tinggi TNI. Juga dianalisis sebagai 'satu jurus diikuti oleh jurus-jurus ofensif politik' yang dialamatkan kepada pemerintah SBY. Maka diaturlah suatu 'pertemuan khusus' para penanggung jawab militer fihak pemerintah dengan para mantan perwira tinggi TNI. Sebelumnya, sudah tampak jelas bahwa kegairahan sementara kalangan di TNI (ini jelas pada sementara mantan perwira tingginya), suatu idam-idaman tak pernah padam, yaitu: Untuk kembali turut ambil bagian (aktif, kalau bisa memimpin) dalam kegiatan dan kehidupan politik negeri. Kegairahan, bahkan langkah-langkah yang diambil dari situ, bukan sesuatu yang disembunyikan. Juga bukan sesuatu yang negatif Dalam kehidupan politik di banyak negeri yang memberlakukan sistim politik demokrasi, ikut sertanya perwira-perwira tinggi angkatan bersenjata yang s u d a h b e r s t a t u s s i p i l , yang sudah purnawirawan, --- adalah sesuatu yang dibolehkan oleh undang-undang dan hukum. Maka kegiatan itu adalah wajar dan sepenuhnya legal. Dengan catatan, selama kegairahan dan kegiatan dari yang bersangkutan tidak dilakukan ketika sedang dalam dinas aktif militer serta tidak menyalahgunakan kedudukannya itu. Bukankah Presiden RI yang kelima sekarang ini, --- Susilo Bambang Yudhoyono ---, sebelumnya adalah seorang perwira tinggi yang aktif, kemudian, sebagai Jendral purnawirawan, sebagai orang sipil, menjabat kedudukan menko dan kemudian jadi Presiden RI, melalui pemilihan langsung. * * * Pada parpol-parpol yang kuasa atau pernah kuasa, seperti PDI-P dan Golkar, bisa disaksikan sejumlah mantan perwira tinggi TNI, duduk dengan bangganya disitu. Juga parpol-parpol tsb merasa bangga bisa 'menarik' sejumlah perwira tinggi TNI, meskipun sudah purnawirawan. Para mantan jendral itu bahkan sampai bisa duduk di dalam pimpinan parpol tsb. Partai Demokrat yang kini berkuasa, pimpinan utamanya adalah mantan Jendral TNI. Sementara parpol jelas sekali menjadikan kontak dan relasi mereka dengan para mantan petinggi TNI, bahkan dengan yang masih akitf sekalipun, sebagai program (intern) penting parpol mereka. Inipun bukan sesuatu yang aneh, bukan sesuatu yang harus 'ditabukan' membicarakannya secara terbuka, karena sejarah politik Republik ini, benang merahnya berkisar a.l di sekitar peranan angkatan bersenjatanya.
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - Betulkah Ada 'DEWAN REVOLUSI' ?
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 26 Januari 2007 --- Betulkah Ada 'DEWAN REVOLUSI' ? Sejak Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden, bersama rekan-rekannya, kebanyakan dari Angkatan Darat, membentuk 'Dewan Revolusi' melalui suatu gerakan militer yang diberi nama oleh para pelakunya sebagai GERAKAN 30 SEPTEMBER (1965), - perkataan -'D e w a n R e v o l u s i ' - selalu dikaitkan dengan tudingan tertuju pada PKI atau Presiden Sukarno. Perhatikan, pada periode Orba --- kata 'Dewan Revolusi' -- itu adalaht a b u untuk diungkit atau dikutak-katik kembali, selain menurut versi Orba. Di sepanjang periode rezim Orba, apalagi sesudah jatuhnya Jendral Suharto, terdapat dua versi yang bisa dibilang versi-versi utama mengenai 'Dewan Revolusi' dan 'G30S' yang melahirkannya. Satu terhadap yang lainnya versi-versi tsb diametral bertentangan. Masih ada beberapa versi lainnya. Satu versi yang diutarakan oleh a.l. s.k. Harian Rakyat ketika itu (1965), dan Sudisman, anggota DH PB CC PKI yang diajukan ke sidang Mahmilub (1967), dan oleh sementara pelakunya, seperti Lt Kol Untung dan Brigjen Supardjo, ialah : Gerakan 30 September, adalah 'soal intern Angkatan Darat' yang tujuannya adalah untuk mencekal rencana kudeta Dewan Jendral terhadap Presiden Sukarno, dan untuk membela Presiden Sukarno. Versi satunya lagi, adalah versi Orba yang menjadi versi resmi selama 30 tahun lebih: --- 'G30S' adalah suatu percobaan kup, suatu makar perebutan kekuasaan negara oleh PKI. Lain kali, kita bisa kembali lagi ke soal ini. *** Bagaimana sekarang? Bagaimana situasinya, setelah berlangsungnya gelora gelombang dahsyat Gerakan Reformasi dan Demokratisasi, melalui suatu gerakan massa luas, yang didukung sementara elemen dalam angkatan bersenjata sendiri, dan telah memaksa Presiden Suharto turun panggung? Sejak Jendral Suharto jatuh, dalam situasi baru lahirnya kebebasan pers yang merupakan salah satu produk penting gerakan Reformasi dan Demokratisasi, terbukalah kesempatan bagi siapa saja, untuk menulis dan dengan bebas mengutarakan analisis dan tafsirannya sendiri terhadap kata dan peristiwa terbentuknya 'DEWAN REVOLUSI' (1965). Munculnya kembali kata 'Dewan Revolusi' tsb baru belakangan saja terjadi. Memang sesuatu yang ironis. Kata yang dalam waktu panjang adalah 'tabu', tiba-tiba mencuat lagi. Anehnya, hal itu dipandang sebagai 'ulahnya' sementara perwira tinggi TNI. Juga dianalisis sebagai 'satu jurus diikuti oleh jurus-jurus ofensif politik' yang dialamatkan kepada pemerintah SBY. Maka diaturlah suatu 'pertemuan khusus' para penanggung jawab militer fihak pemerintah dengan para mantan perwira tinggi TNI. Sebelumnya, sudah tampak jelas bahwa kegairahan sementara kalangan di TNI (ini jelas pada sementara mantan perwira tingginya), suatu idam-idaman tak pernah padam, yaitu: Untuk kembali turut ambil bagian (aktif, kalau bisa memimpin) dalam kegiatan dan kehidupan politik negeri. Kegairahan, bahkan langkah-langkah yang diambil dari situ, bukan sesuatu yang disembunyikan. Juga bukan sesuatu yang negatif Dalam kehidupan politik di banyak negeri yang memberlakukan sistim politik demokrasi, ikut sertanya perwira-perwira tinggi angkatan bersenjata yang s u d a h b e r s t a t u s s i p i l , yang sudah purnawirawan, --- adalah sesuatu yang dibolehkan oleh undang-undang dan hukum. Maka kegiatan itu adalah wajar dan sepenuhnya legal. Dengan catatan, selama kegairahan dan kegiatan dari yang bersangkutan tidak dilakukan ketika sedang dalam dinas aktif militer serta tidak menyalahgunakan kedudukannya itu. Bukankah Presiden RI yang kelima sekarang ini, --- Susilo Bambang Yudhoyono ---, sebelumnya adalah seorang perwira tinggi yang aktif, kemudian, sebagai Jendral purnawirawan, sebagai orang sipil, menjabat kedudukan menko dan kemudian jadi Presiden RI, melalui pemilihan langsung. * * * Pada parpol-parpol yang kuasa atau pernah kuasa, seperti PDI-P dan Golkar, bisa disaksikan sejumlah mantan perwira tinggi TNI, duduk dengan bangganya disitu. Juga parpol-parpol tsb merasa bangga bisa 'menarik' sejumlah perwira tinggi TNI, meskipun sudah purnawirawan. Para mantan jendral itu bahkan sampai bisa duduk di dalam pimpinan parpol tsb. Partai Demokrat yang kini berkuasa, pimpinan utamanya adalah mantan Jendral TNI. Sementara parpol jelas sekali menjadikan kontak dan relasi mereka dengan para mantan petinggi TNI, bahkan dengan yang masih akitf sekalipun, sebagai program (intern) penting parpol mereka. Inipun bukan sesuatu yang aneh, bukan sesuatu yang harus 'ditabukan' membicarakannya secara terbuka, karena sejarah politik Republik ini, benang merahnya berkisar a.l di sekitar peranan angkatan bersenjatanya.
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - TIONGKOK Yang KUKENAL (1)
Kolom IBRAHIM ISA Selasa, 23 Januari 2007 TIONGKOK Yang KUKENAL (1) Enam tahun yang lalu, pada waktu Republik Rakyat Tiongkok mencapai usia 50 tahun, aku ditilpuni VARA dari Hilversum. Radio/TV VARA adalah sebuah pemancar non-pemerintah yang dapat subsidi dari pemerintah Belanda. VARA mengundang aku untuk datang ke studio mereka. Mereka bertanya: Apakah aku bersedia diwawancarai berkenaan dengan usia setengah abad Republik Rakyat Tiongkok? Mengapa aku? Fikirku. Why me? Tetapi pertanyaanku itu tak penting untuk dijawab. Peniplun dari VARA itu kujawab serta merata: 'Ja Meneer! Ik accepteer uw uitnodiging'. Ya, undangan kalian saya terima. VARA gembira dan segera mengatur menjemput aku di rumah untuk kemudian mengantar kembali pulang. Suatu service istimewa, fikirku. Mengapa? Nyatanya, ketika itu di mancanegara sedang ramai-ramainya media membicarakan tentang Republik Rakyat Tiongkok dan Tiongkok secara umum, berkenaan dengan ulang tahun ke-50 Republik Rakyat Tiongkok. Logis, di Belanda VARA tidak ingin ketinggalan, untuk juga ambil bagian dalam mengomentari Tiongkok Baru. Untuk itu a.l VARA memanfaatkan aku. Satu hal yang gencar sekali disasar oleh wartawan VARA yang mewawancaraiku, adalah masalah 'pelanggaran HAM di Tiongkok'. Kata wartawan VARA itu: Anda punya hubungan baik dengan Tiongkok. Adakah Anda persoalkan masalah HAM dengan pejabat-pejabat Tiongkok? Kebetulan aku bisa jawab langsung. Aku katakan kepadanya, karena aku punya hubungan baik dan bersahabat dengan Tiongkok, aku tidak segan dengan terus terang, langsung dan terbuka bicara mengenai kritik-kritik yang ada terhadap Tiongkok, khususnya yang bersangkutan dengan 'pelanggaran HAM'. Dalam tahun 1998 aku mengunjungi Tiongkok (lagi), kataku kepada VARA. Di salah satu tempat di Tiongkok, aku berdialog dengan seorang kader pimpinan Tiongkok setempat, tingkat provinsi. Aku kemukakan kepada pejabat provinsi itu, tentang komentar mengenai pelanggaran HAM di Tiongkok. Sahabatku kader provinsi itu, mendengarkan dengan sabar tentang kritik luar terhadap Tiongkok bersangkutan dengan pelanggaran HAM. Dengan serius dan nada geram, yang tidak disembunyikan, ia berkata: Orang yang mengeritik kami tentang pelanggaran HAM di Tiongkok, mereka itu tidak benar. Kritrik-kritik mereka itu tidak adil! Puluhan tahun lamanya kami bekerja keras untuk memperbaiki dan memajukan peri kehidupan rakyat Tiongkok. Kami mencapai hasil-hasil yang nyata dalam pembangunan negeri dan kehidupan rakyat yang lebih baik. Ini adalah tugas utama kami, ini adalah tugas menyangkut hak-hak azasi manusia Tiongkok yang harus kami penuhi. Sesungguhnya di Barat dan sementara negeri lainnya, pelanggaran HAM lebih besar dan lebih serius terjadi. Lihat di negeri mereka sendiri. Apakah di negeri mereka itu tidak ada pelanggaran HAM. Jelas ada, bahkan amat besar. Mengapa mereka menjadikan Tiongkok sebagai sasaran utama mereka? Aku bisa mengerti reaksi sahabat Tiongkok ku itu. Sebelumnya aku juga pernah mengajukan pendapatku kepada Tiongkok mengenai masalah 'oposisi' di Tiongkok. Tapi mengenai itu nanti akan dibicarakan belakangan. *** Menyela sedikit. Sudah beberapa kali aku menulis tentang Tiongkok. Masih saja kurasa ada perlunya menulis lagi, dan menulis lagi tentang Tiongkok. Karena Tiongkok perkembangannya begitu cepat dan banyak yang mengatakan: MENAKJUBKAN. Sahabatku Sugeng Slameto (sayang ia baru-baru ini meninggal dalam 'usia muda'), belum lama menulis sampai 9 artikel tentang Tiongkok, sesudah dalam musim panas y.l bersama satu rombongan terdiri dari 19 orang Indonesia yang berkunjung ke Tiongkok. Sugeng punya kesan yang baik dan bersahabat tentang Tiongkok. Aku sengaja menekankan sikap bersahabat Sugeng Slameto terhadap Tiongkok. Karena kuanggap sikap itu baik dan tepat. Memang benarlah apa yang ditulis oleh sejarawan Inggris E.H. Carr (1961), bahwa, sekarang ini orang ingin mengerti, dan mengambil posisi terhadapnya, tidak saja tentang keadaan sekitarnya, tetapi juga terhadap dirinya; dan hal ini telah menambahkan dimensi baru terhadap akal, suatu dimensi baru terhadap sejarah. Abad ini adalah abad yang paling history-minded terbanding abad-abad lalu. Manusia modern sampai derajat yang tak pernah tercapai sebelumnya, sadar akan dirinya dan oleh karena itu sadar-sejarah. Demikian sejarawan E.H. Carr. * * * Ada juga yang bilang, Tiongkok sekarang m e n a k u t k a n. Lalu berkampanye tentang bahaya Tiongkok sebagai 'superpower baru'. Tentang 'Bahaya Kuning' ,dsb. Kuingat ketika berkunjung ke Indonesia dalam tahun 2001 dan sempat ngomong-ngomong dengan tokoh nasionalis Ruslan Abdulgani. Beliau menandaskan tentang 'bahaya mendatang' yang dihadapi Asia. Bukan Amerika atau Jepang, kata Ruslan. Tetapi Tiongkok. Nah, jangan kaget terhadap pendapat Ruslan. Jurnalis dan penulis terkenal Amerika Edgar Snow
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -- S. MANAP PANDAI BERCERITERA
IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -- 21 JANUARI 2007 S. MANAP PANDAI BERCERITERA --- Sejak tadi malam hatiku tergerak untuk menulis lagi mengenai bagaimana pentrapan salah satu elemen penting dari DEMOKRASI, yaitu KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT, berlangsung dengan hidup dan menarik dinegeri kita tercinta. Maksudku hendak membicarakan bagaimana orang pertama di Republik kita ini, Presiden SBY, ambil bagian yang lumayan aktif dalam d i a l o g terbuka dengan para pengeritisinya. Ini positif! *** Namun, sesudah membaca CERPEN 'TUKANG NUJUM', karya sahabatku yang di Stockholm itu, aku tinggalkan dulu maksud untuk menulis tentang politik. Aku ikuti saran S. Manap, supaya kita 'bersantai-santai baca cerpen' yang ia tulis. Sahabatku Manap! Membaca cerpen Anda yang berjudul 'TUKANG NUJUM', memang orang akan merasa santai. Senjum orang dibikinnya. Lalu senjum lagi. Karena cerpen Anda itu sungguh jenaka. Sesudah senyumm timbullah rasa hormat dan penghargaan terhadap Anda. Karena Anda ternyata mengenal sekali dan tahu benar apa yang Anda tulis. Mengenai keadaan salah satu tempat di Sumatera Selatan. Anda secara hidup dan rinci menganalisis keadaan masyarakat setempat. Menceriterakan tentang 'WHO'S WHO', seperti kata orang Inggris. Sehingga dengan demikian tidak 'cerita asal cerita'. Cerpen TUKANG NUJUM, karya Anda itu, adalah cerita yang hidup, sehingga terbayang di hadapan pembaca keadaan dan kehidupan riil salah satu tempat di Sumsel. Cerpen yang seperti ini sungguh sangat menarik. Seperti yang Anda pernah tulis, Anda tinggal di Stockholm, Swedia. Bagaimana Anda bisa begitu kongkrit dan hidup menggambarkan salah satu tempat di Sumsel. Saya duga-duga saja. Anda pulang kampung tidak sekadar melepas rindu! Anda ketika pulang ke kampung, sangat memperhatikan keadaan masyarakat setempat. Cerpen Anda dengan demikian tidak 'ngambang', tidak 'mengada-ada'. Karena, memanglah keadaan masyarakat kita, seperti Anda lukiskan dalam cerpen Anda, masih 'supersticious', masih 'bijgelovig'. Masih percaya 'sesuatu' disamping kepercayaan religinya yang resmi, tidak perduli apa itu Islam atau Kristen. Nyatanya masih (tak jarang) lebih percaya pada DUKUN. Benar Anda. Bukan saja di kota kecil Indonesia, juga di pusat kekuasaan politik di Jakarta, tidak sedikit politisi kita, atau mereka yang sibuk dalam dunia bisnis, yang masih sering mengunjungi DUKUN. Bung Karno dikatakan dulu itu percaya sekali pada Pak Rahim, yang terkenal adalah dukun yang bertaraf nasional. Jendral Suharto juga dikabarkan punya dukunnya sendiri. Jangan jauh-jauh, aku sendiri masih suka lihat ruangan 'horoscope' di koran atau majalah. * * * Tapi Anda tidak berhenti pada 'memotret' saja keadaan masyarakat kita yang masih percaya TUKANG NUJUM atau DUKUN. Anda juga sedikit 'menguliti' watak dan 'kebiasaan' buruk dukun-dukun yang biasa terima 'macam-macam' dari pengunjungnya. Yang nujumannya ternyata tak terbukti. Sehingga akhirnya luntur juga kepercayaan orang pada dukun tsb. Ada lagi yang hendak kukatakan, yang hendak kupuji cerpen Anda itu. Yaitu, Anda menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Anda memperhatikan tata-bahasa. Ini patut dihargai. Karena ini berarti mempromosi penggunaan bahasa Indonesia yang baik. Jangan seenaknya menggunakan bahasa, sehingga memberikan contoh yang buruk sekali kepada generasi muda kita. Yang di sekolah oleh para guru dengan susah payah diajarkan bahasa Indonesia yang benar dan baik. * * * Tak lain penghargaanku kepada Anda S. Manap. Bravo, teruskan menulis cerpen. Namun, . . . . . Tokh bukan berarti Anda tidak akan menulis lagi tentang politik? Karena politik itu adalah bagian yang penting dari budaya, dari kebudayaan sesuatu bangsa. Masih ada sedikit lagi. Tulisanku ini b u k a n r e s e n s i . Sekadar tanggapan spontan karena senang membaca cerpen Anda. * * * S. MANAP CERPEN TUKANG NUJUM --- Teman-teman dan sahabat-sahabat. Anda lelah ? Banyak berdebat politik? Jangan lupa ini akhir Minggu. Santai-santai sajalah. Sambil bersantai-santai baca sajalah cerpen ini. Untuk sementara lupakan dulu lawan maupun isi debat politik. Bisa dilanjutkan pekan depan kan? He.. he.. he .. S.Manap *** L, demikian nama salah satu kota di Sumatera Selatan. Kota ini tidak besar, penduduknya tidak banyak. Tapi kalau pusat kota digabungkan dengan daerah sekitarnya, maka keseluruhan wilayahnya cukup luas. Pusat kota terutama adalah Pasar Baru, dengan semua pertokoan dan perkantoran, termasuk dua gedong bioskop. Pasar Baru sekarang mempunyai sebuah pasar, berupa gedong bertingkat.. Yang dimaksudkan dengan sekitarnya itu ialah Pasar Bawah, Pasar Lama, L Tengah, Suka Ratu, Bandar Agung, Gunung Gajah,Talang Srinanti,Talang Jawa,Talang Ubi dan Talang Banten. Dulu,Talang Banten merupakan tempat tinggal sejumlah b
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- DEMOKRASI --- KRITIK DAN KONTRA-KRITIK
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 19 Januari 2007 DEMOKRASI --- KRITIK DAN KONTRA-KRITIK < Bagaimana itu ditrapkan dalam kehidupan bernegara> Belakangan ini media kita ramai memberitakan dan mengomentari kritik dan kontra-kritik antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono versus mantan Presiden, Ketua Umum PDI-P, Megawati Sukarnoputri. Di satu segi, ramé-ramé kritik-kontra-kritik itu ada baiknya! Pertama-tama tentunya manfaaat yang bisa ditarik dari substansi kritik dan kontra-kritik itu sendiri, yang disinggung secara umum kali ini. Yang hendak difokuskan disini ialah segi lainnya. Yaitu segi praktek berdemokrasi. Kita bisa menarik pelajaran bagaimana 'kebebasan menyatakan pendapat' ditrapkan di kalangan elite politik Indonesia. Yang menunjukkan bahwa, meskipun formalnya beliau-beliau itu berasumsi sebagai penganut dan pembela demokrasi, tetapi di dalam praktek, bila dirinya sendiri yang jadi sasaran kritik, betapapun, terkesan yang bersangkutan sedikit 'tersinggung' atau merasa 'risih' menerima kritik tsb. 'Risih' bila pelaksanaan salah satu prinsip demokrasi, yaitu kritik, itu ditujukan terhadap dirinya sendiri. Terdengarlah celetukan, seperti : 'hendaknya perbedaan pendapat itu ditangani secara baik-baik'. Terkadang dipertanyakan, bukankah kita ini, sebagai bangsa Timur, yang punya tradisi dan kulturnya sendiri, tidakkah sebaiknya mencari solusi lewat 'musyawarah dan mufakat'?. Lewat konsensus? Bisa jadi, saran tsb punya maksud baik. Tetapi, kita punya pengalaman yang jelék sekali dari praktek otoriter rezim Orba. Yang dikatakan tradisi dan kultur 'musyawarah dan mukafat' ternyata kata-akhir, yaitu yang mengambil keputusan yang mengikat semua, yang menentukan, adalah 'bapak-bapak pemimpin ' sebagai 'sesepuh' yang sejak semula telah memberikan 'pengarahan'. Yaitu Bapak Presiden Jendral Suharto! Bukankah itu kultur politik Orba yang njelimet untuk, dengan selubung 'musyawarah dan mufakat', memelintir hak untuk 'dengan bebas menyatakan pendapat', menindas hak mayoritas warganegara mengambil keputusan lewat cara demokratis. Pada akhirnya Pak Hartolah, yang dengan cara otoriter menentukan segala-galanya. * * *. Ketika Megawati menduduki jabatan Presiden RI, tidak sekali dua orang melihat betapa beliau kurang réla bila dikritik. Maka digunakanlah kata 'hujatan' bila ada yang mengeritiknya. Bisa dipastikan bahwa baik SBY maupun Mega menganut prinsip DEMOKRASI. Bukankah partai mereka masing-masing menyandang nama DEMOKRASI? Yang satu menggunakan nama Partai D e m o k r a s i Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang satunya lagi bernama Partai D e m o k r a t . Masing-masing mereka itu adalah pimpinan partai yang punya program DEMOKRASI. Dengan demikian masing-masing menyatakan diri sebagai DEMOKRAT. Kali ini bisa disaksikan betapa SBY merasa 'risih' dan 'tidak rela' ketika dari jurusan PDI-P, dari ketuanya sendiri, Megawati, meluncur kritik-kritik tajam terhadap beleid SBY dan pemerintahannya.( 'Jangan hanya menebar pesona, kata Mega, tetapi menebar karya'). Tak lama kemudian SBY melakukan 'serangan balas'. Kira-kira begini kata SBY: Kalian jangan hanya bisa ngomong saja, (dong) dan kemudian berpangku tangan. Yang penting bekerja untuk rakyat (seperti saya ini, kata SBY). Kira-kira begitu maksudnya. Sesungguhnya, yang melancarkan kritik ke arah pemerintah, bukan hanya Mega. Yang sudah sejak semula memang mengumumkan bahwa PDI-P akan mengambil posisi sebagai partai oposisi. Jadi, apa yang dilakukan Mega adalah normal dan wajar dalam suatu masyarakat demokratis. Juga pers dan parpol lainnya menggunakan hak fundamental untuk menyatakan fikiran dengan bebas, untuk mengeritik yang berkuasa. Baca saja surat-kabar, atau dengarlah radio ( sebaiknya yang swasta) yang begitu banyak jumlahnya. Tidak sehari lewat tanpa ada kritik terhadap pemerintah, terhadap penguasa, polisi, tentara, Pengadilan, terhadap SBY, terhadap Wapres Jusuf Kala. Apakah itu datangnya dari media, ornop, parpol maupun LSM. Apa itu menyangkut soal ekonomi, atau masalah perusahaan-perusahaan asing yang semakin leluasa mengeduk kekayaan bumi dan alam kita, serta menikmati upah kerja buruh yang murah di Indonesia sekarang ini. Atau kritik itu mengenai ketentuan-ketentuan IMF, Bank Dunia yang dengan patuh dilaksakankan di negeri merdeka ini, dsb. Sehingga menjadikan negeri tecinta ini betul-betul tergantung pada asing. Di tambah lagi kritik-kritik terhadap penanganan kasus-kasus korupsi yang dinyatakan tidak seperti yang diharapkan; serta kritik-kritik terhadap pengurusan kasus pembunuhan terhadap pejuang HAM, Munir. Sumber kritik-kritik itu adalah situasi peri kehidupan bangsa yang tidak tampak ada perubahan apalagi kemajuan. Kritik-kritik itu berasal dari situasi rakyat terbanyak yang sudah bertahun
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS
IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS AND VIEWS --- OLD SOLDIERS DISCUSS NATION WITH OFFICIALS ELECTIONS PROVIDE CHANCE FOR EX- ACEH REBELS NO STREET RALLIES, PLEASE ATTORNEY GENERAL OFFICE TO FILE REVIEW ON MUNIR'S VERDICT CHINA WILL NOT RULE ASIA --- OLD SOLDIERS DISCUSS NATION WITH OFFICIALS National News - January 17, 2007 Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta Retired generals met with top government officials here Tuesday to discuss the national situation after calls for action over poverty, natural disasters, corruption and transportation accidents. Former vice president Try Sutrisno, former Army chief Tyasno Sudarto and former State Intelligence Coordinating Agency head Sudibyo attended the meeting, along with current Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs Widodo A.S. and State Intelligence Agency chief Syamsir Siregar, all of whom are retired generals. None were willing to discuss the details of the meeting, although Sudarto said that President Susilo Bambang Yudhoyono had asked the Retired Servicemen's Communication Forum to arrange the meeting. Minister Widodo said the meeting was held in an attempt to improve communication between the government and the former servicemen and to hear what action they believed they government needed to take to improve conditions in the country. He denied that it had been held in response to Monday's rally in front of the State Palace calling for the President to step down. "No, the meeting did not discuss the demand for the revocation of the people's mandate. We discussed many state issues," Widodo said, but did not elaborate. The rally was led by a leader of the 1974 Malari protest, Hariman Siregar, who said that the people could revoke the mandate they gave to Yudhoyono and Jusuf Kalla in the 2004 presidential election. A number of retired generals have been actively involved in a series of discourses criticizing the performance of the Yudhoyono administration, with Try Sutrisno taking a leading role in the movement. Try and other state figures, including Amien Rais and former presidents Abdurrahman "Gus Dur" Wahid and Megawati Soekarnoputri, have frequently expressed their concern over the situation in the country. They have called on the nation to get back to the original script of the 1945 Constitution, uphold the state ideology of Pancasila and maintain the unitary state of Indonesia. Several retired generals have chosen to join political parties and pursue careers in politics. After two years in power, Yudhoyono has been criticized for his failure to meet his 2004 election promises. Concluding its congress in Denpasar, Bali, last week, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) criticized Yudhoyono's government, pointing to legal uncertainty, high corruption levels in the bureaucracy and the worsening poverty and unemployment problems. PDI-P chairwoman Megawati Soekarnoputri said the President was too busy building his image. Speaking to the media after the gathering, Tyasno said the retired generals were deeply concerned over the increasing rates of poverty and unemployment, the continuing natural disasters as well as sea and air accidents. "The government should feed the people, generate new jobs and provide safe transportation in compensation for the taxes they have paid," he said. ELECTIONS PROVIDE CHANCE FOR EX ACEH REBELS . . . National News - January 17, 2007 Nani Afrida, The Jakarta Post, Banda Aceh Jamil Umar of Pidie regency is happy with the outcome of Aceh's regional elections, which saw independents win big at the expense of figures from established political parties. "Frankly speaking, I hoped Free Aceh Movement (GAM) members would win in the polls so that Aceh would change," he said enthusiastically. Jamil is good at picking winners. He voted for the successful pair of Irwandi Yusuf and Muhammad Nazar -- two former GAM leaders -- in the gubernatorial poll and supported the winning GAM-backed Pidie regency candidates of Mirza and Nazir during the elections last Dec. 11. The retired school teacher said he chose the GAM-backed candidates because he distrusted most of the aspirants nominated by mainstream political parties. "I'd voted for candidates from the established parties for years, and life kept getting more difficult," Jamil said with a wry grin. Candidates from the major parties frequently manipulated people to get into power and often made lavish promises before the elections, which they conveniently forgot about later, he said. The GAM-backed candidates, meanwhile, were fresh faces who had new ideas, he said. Last year, Aceh became the first and only province to allow independent candidates to run for political office; a change mandated by the Helsinki peace agreement signed by the government and GAM in August
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- SEJARAWAN BAMBANG PURWANTO dan SEJARAH KITA.
Kolom IBRAHIM ISA Senin, 15 Januari 2007 SEJARAWAN BAMBANG PURWANTO, Dan SEJARAH KITA. APA ITU SEJARAH? * * * Kemis, 11 Januari 2007, Mintardjo, Ketua Yayasan Sapu Lidi, Leiden, lewat tilpun mengingatkan aku mengenai rencana mereka bersama PPI Leiden, untuk menyelenggarakan BEDAH BUKU-nya Prof. Dr. Bambang Purwanto MA. Bukunya berjudul 'Gagalnya Historiografi Indonesiasentris!?!'. Mengenai adanya dua tanda baca pada akhir judul, yaitu tanda-baca tandatanya (?), disusul dengan tand-baca tanda seru (!), dari kalangan yang hadir dalam bedah buku itu, ada yang mempertanyakannya. Menurut Purwanto, memang dibuat demikian, karena apa yang dinyatakan mengenai 'Gagalnya Historiografi Indonesiasentris', betul ada yang mempertanyakannya. Maka dicatatlah pendapat tsb. Dengan membubuhkan tanda-baca tandatanya. Karya ilmiah Bambang Purwanto tsb baru saja terbit di Jakarta . Walhasil, tak peduli masih menghembusnya angin taufan dan suhu cukup dingin, diantar putriku dengan mobilnya ke stasiun keretapi Duivendrecht, meluncurlah kereta dari situ ke Leiden. Kuperlukan benar untuk bisa hadir dalam 'Bedah Buku' Bambang Purwanto. Kegiatan pagi itu dilangsungkan di 'Faculteit der Sociale Wetenchappen', Universitas Leiden. Letaknya di seberang stasiun keretapi Leiden Centraal. Perhatian cukup besar, ruangan tempat kami berkumpul di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Leiden itu, penuh. Mungkin ada baiknya, disamakan dululah pemahaman, mengenai apa sebenarnya, apa yang dimaksud dengan kata h i s t o r i o g r a f i itu. Secara umum penjelasannya, kiranya demikian: Historiografi itu adalah salah satu cabang dalam ilmu pengetahuan yang mempelajari praktek ilmu sejarah itu. Bentuknya a.l mempelajari metodologi dan perkembangan sejarah sebagai suatu disiplin akademik. Seperti yang banyak bisa dilihat dan ditulis sekarang ini historiografi merujuk pada bagian tertentu dari penulisan sejarah. Misalnya histostoriografi Indonesia mengenai 'G30S', pada periode Orba yang merujuk ke pendekatan metodologis dan ide mengenai sejarah gerakan tsb yang telah ditulis selama periode itu, dst. * * * APA ITU SEJARAH ? Mengenai apa yang dinamakan sejarah itu, apakah penulisan sejarah itu bisa obyektif, apakah bisa bebas dari subyektifitas penulisnya, hal itu sudah sejak lama menjadi tema diskusi bahkan perdebatan yang menarik dan memang perlu dipelajari terus. Bukan saja di kalangan cendekiawan, tetapi juga di kalangan yang lebih luas, seperti pers dan para politisi. Lebih seabad yang lalu (Oktober 1896), seorang pakar sejarawan Inggris, Lord Acton namanya, menulis laporan kepada Syndics dari Cambridge University Press. Di situ ditulisnya a.l bahwa. pada suatu ketika adalah mungkin untuk menghasilkan 'ultimate history'. Karena, demikian ditulisnya, meskipun 'ultimate history' tidak dapat dimiliki dalam generasi ini, -- tapi kita bisa menghasilkan suatu 'sejarah konvensionil'. Di saat semua informasi bisa kita raih, dan setiap problim sudah bisa dipecahkan. Namun, kira-kira enampuluh tahun kemudian, yaitu sesudah laporan Lord Acton yang menyatakan kemungkinan menghasilkan suatu 'ultimate history', sejarawan Prof Sir George Clark, mengomentari bahwa sejarawan-sejarawan generasi kemudian tidak mengharapkan prospektif demikian itu. Mereka itu menganggap bahwa, hasil karya mereka akan dilampaui oleh sejarawan yang menyusul kemudian. Demikianlah akan berlangsung tak henti-hentinya. Sejarawan yang mucul kemudian menganggap bahwa pengetahuan mengenai masa lampau dilahirkan oleh lebih dari satu pemikiran-manusia; hal itu telah 'diproses' oleh mereka itu. Dan oleh karena itu, tidak mungkin ia terdiri dari elmen dan atom-atom yang tanpa kepribadian, yang tak bisa diubah oleh siapapun . . . . Maka tanya salah seorang sejarawan terkenal lainnya EH Carr: Bila kita berusaha menjawab pertanyaan 'APA SEJARAH ITU', maka jawab kita adalah: Disadari atau tidak, jawabannya mencerminkan posisi kita sendiri pada waktu itu, dan merupakan jawaban terhadap masalah yang lebih luas. Yaitu pandangan tentang masyarakat yang yang bagaimana yang diambil dimana kita hidup. * * * Tema sejarah, apalagi Sejarah Indonesia, selalu menarik, dan merupakan suatu kepedulian bagiku. Apalagi kali ini yang menulisnya adalah sejarawan generasi muda yang kukenal orangnya: Prof Dr Bambang Purwanto MA. Dua tahun yang lalu sejarawan muda ini, dikukuhkan menjadi Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada. Selama berlangsungnya Bedah Buku, aktivis penyelenggara tampak sibuk membuat catatan dan merekam uraian Bambang Purwanto dan tanggapan yang diberikan terhadapnya. Juga diskusi mengenai uraian Bambang dan yang lainnya, dicatat, difoto dan direkam. Alangkah baiknya jika penyelenggara Bedah Buku ini, menyusun kembali semua catatan dan rekaman tsb dengan rapi, mengeditnya
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA Berbagi Cerita -- BELANDA PEDULI INDONESIA
IBRAHIM ISA Berbagi Cerita Kemis, 11 Januari 2007. --- BELANDA PEDULI INDONESIA Sejak diundang oleh 'Yayasan Winternachten' -Den Haag, bertambah pengetahuanku bahwa orang-orang Belanda memang benar, menaruh kepedulian yang sungguh-sungguh terhadap segala sesuatu yang bersangkutan dengan INDONESIA. Tak lain dan tak bukan, bertitik tolak dari rasa dan keinginan mempertahankan dan mengembangkan hubungan historis Belanda dengan Indonesia. Terutama hubungan dan pengembangan di bidang budaya dan sosial. Di fihak pemerintah Belanda , memang sudah lama kepedulian terhadap Indonesia ini tercurah a.l di bidang pendidikan dan kebudayaan. Untuk tahun ini permerintah Belanda berrencana memperbesar sumbangannya terhadap usaha pendidikan di Indonesia. Sudah sejak lama tidak asing lagi, banyaknya orang Indonesia yang meneruskan studinya di negeri Belanda, terutama di Leiden, Delft, Wageningan, Den Haag dan Amsterdam. Dua tahun yang lalu ada yang 'tak enak' yang terjadi yang tanpa dimaui berkaitan dengan negeri Belanda. Ketika itu seorang pejuang HAM terkenal Munir, dibunuh asassin. Munir dalam perjalannya dari Jakarta ke Schiphol, Amsterdam. Munir ke Belanda untuk menambah studinya di Universitas Utrecht. Sampai sekarang kasus pembunuhan politik ini masih terkatung-katung. Belakagan ada berita, katanya, kasus Munir ini akan cepat terungkap siapa sesungguhnya asasin dan dalangnya. Karena, katanya kasus pembunuhan Munir sudah menjadi 'kasus internasional'. Antara lain karena Amerika juga turun tangan dalam pelacakan untuk mengungkap kasus pembunuhan terhadap pejuang HAM Indonesia Munir. * * * Cakap-cakap ini terutama dimaksudkan untuk sedikit cerita tentang Winternachten DenHaag. Ini disebabkan kepeduliannya antara lain terhadap Indonesia. Di bidang budaya dan sosial. Sebenarnya bila hendak mengetahui lebih mendetail dan dari sumber otentik mengenai kegiatan WINTERNACHTEN DEN HAAG, lebih baik masuk saja di internet. Lalu klik www.winternachten.nl. Di situ akan didapati segala informasi mengenai Yayasan Winternachten Den Haag dan kegiatannya selama ini. 'Maar goed', kata orang Belanda. Baik aku introduksikan juga sedikit mengenai WINTERNACHTEN, yang di waktu lalu pernah juga kutulis. * * * Pasal mulanya: Pada suatu hari aku dihubungi oleh salah seorang penggiat Yayasan Winternachten Den Haag. Diajukan pertanyaan/undangan apakah aku bersedia untuk ambil bagian dalam salah satu acara kegiatan mereka dalam Winternachten 2004 itu. Sikapku adalah: Selalu sedia ambil bagian dalam kegiatan dengan tema PEDULI INDONESIA. Singkatnya, aku diminta untuk ambil bagian dalam semacam 'seminar kecil-singkat' yang bersangkutan dengan Peristiwa 1965. Fokusnya pada saat-saat dimulainya kampanye pembantaian masal terhadap orang tak bersalah, yang dilakukan oleh kaum militer di bawah Jendral Suharto, dalam rangka usaha perebutan kekuasaan terhadap Presiden Sukarno. Karena keterlibatanku dengan kegiatan Winternachten Den Haag tsb, sejak itu, aku selalu diundang untuk menghadiri dan menikmati acara-acara mreka khususnya yang menyangkut dengan Indonesia. Juga kali ini, aku diundang untuk menghadiri dan menikmati acara mereka. * * * Mungkin baik juga diceriterakan sedikit tentang Yayasan Winternachten Den Haag. Yayasan ini dididrikan pada tahun 1995. Jadi belum lama. Baru 11 tahun. Tujuannya antara lain adalah untuk memelihara dan mengembangkan jaringan-kerja (network) antara penulis-penulis Nederland dan teman-teman sebidang, yaitu penulis-penulis Indonesia, Suriname, Antilia Belanda, Aruba dan Afrika Selatan. Setiap tahun WINTERNACHTEN mengorganisasi festival di Den Haag dengan para penulis, pemusik dan pembuat-pembuat film dari negeri-negeri tsb diatas. Selain itu Stichting WINTERNACHTEN terlibat dalam pengorganisasian edisi-edisi 'Winternachten di Seberang Lautan', peristiwa-peristiwa literair di Afrika Selatan, Indonesia, Antitilia dan Suriname. Dengan demikian Winternachten selalu mengadakan kerjasama dengan organisasi-organisasi kebudayaan setempat, dengan maksud agar pertemuan dengan para penulis dari negeri-negeri yang berseangkutan juga berlangsung di luar Nederland. Dewasa ini Direktur/Pimpinan Artistik WINTERNACHTEN adalah TON van de LANGKRUIS. Dalam kesempatan ini terimakasih kusampaikan kepada Ton van de Langkruis, untuk undangan beserta tickets yang dikirimkannya kepada ku dan istriku Murti, untuk bisa hadir pada kegiatan Winternachten pada tanggal 11 Jan, hari ini, dan besok pada tanggal 12 Januari. * * * Pada acara Winternachten Den Haag tahun 2007 kali ini, diundan turut hadir hampir 100 penulis, penyair, musikus, pembuat film dam para ilmuwan dari a.l. Indonesia, India, Mesir, Maroko, Suriname, Antilia dan Afrika Salatan. Mereka a.l akan membacakan karya mereka, ambil bagian dalam pembicaraan, diskusi dan debat, konser, dikusi publikasi dan programa-pr
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS AND VIEWS, 10.01.07
--- IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS AND VIEWS, 10.01.07 CLASSIC RIVALRY - EDITORIAL THE DIRECTION OF INDONESIQ IN 2007, M. Vatikiotis NOTED POLITICAL SCIENTIST MIRIAM BUDIARDJO DIES, Nationl News - CLASSIC RIVALRY , The Jakarta Post Editorial, 10 jan 07 The Jakarta Post Editorial, 10 Jan 07 The nation's commitment to civil society is being tested again as the debate intensifies over the bill on national security, which includes a major revamp of the National Police. Public caution and openness in the bill's deliberation are needed to make sure the resulting law does not restore control over domestic security to the Indonesian Military (TNI). For 32 years Soeharto used the military's sociopolitical functions quite effectively as a machine to maintain his power. After his fall in 1998 the nation pledged that the TNI would oversee only defense and external security affairs, while the police would handle domestic security and public order. The public discourse changed considerably when TNI Commander Air Marshal Djoko Suyanto lashed out at the police for trying to retain their authority in security affairs, which he called "a big mistake". For the police, the problem primarily arises from an article that stipulates the police would come under the supervision of a ministry, likely either home or justice. The other source of the dispute lies in the drafting process, which police leaders say did not involve them. The draft law is sponsored by the Ministry of Defense. To counter the move, the National Police will draft an alternative bill, which would maintain the force's direct supervision by the president. Advocates of the national security bill, including Defense Minister Juwono Sudarsono, envision a professional police force which is no longer attached to the president. As in many democracies, the national or federal police would fall under the auspices of a ministry and their chief would not be a political appointee. They say the organizational overhaul of the police is a logical consequence of the People's Consultative Assembly Decree in 2000 that defined the division of labor between the police and the military. The 2004 defense law, in accordance with the decree, laid the foundation for the military's supervision under the Defense Ministry. Many say the law is a manifestation of the reform within the military. Professionalism is at stake when the police chief, as well as the TNI chief, directly answers to the President, as it opens up opportunities for abuses of power by the ruling regime as evident during the New Order. The possibilities are still there despite the reform movement. This became apparent in 2004 when the Banyumas police chief lost his job for allegedly campaigning for the re-election of president Megawati Soekarnoputri. More serious abuses are very likely to happen as the National Police, unlike the TNI, enjoy the luxury of formulating and executing policies and managing their own budget. As if to confirm the damage the police could do, the Governance Assessment Survey recently released by Yogyakarta's Gadjah Mada University found the public felt the police were Indonesia's most graft-ridden public agency. Modern countries, including neighboring Australia, opt to decentralize their police forces and limit the enforcement powers of the national police to national (federal) laws. For practical reasons, individual states or provinces run their own police forces to enforce laws within their own boundaries, since they deal with public order on daily basis. On top of that, security is the responsibility of every citizen, in accordance with the Constitution. The police themselves cannot handle security alone, although their success in uncovering the masterminds of a series of terror attacks in the past few years deserves recognition. In many cases, particularly when it comes to armed violence, the police need assistance from the military. But the objection of the police to the national security bill cannot be ignored. Placing the National Police under the Home Ministry, for example, may disrupt unity within the force and wreak havoc on national security as the regional police will think and act locally. The police are facing their toughest challenge now that the country, and the rest of the world, is dealing with cross-boundary crimes, such as terrorism, money laundering, human, arms and drug trafficking. To fight such crimes, the National Police require adequate authority. It's highly recommended, therefore, that the government invite the police, more scholars and experts as well as the general public to refine the bill before sending it to the House of Representatives. The debate over the bill should not be reduced to a continuation of the classic rivalry between the TNI
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- PERPISAHAN dan PERTEMUAN di STOCKHOLM
Kolom IBRAHIM ISA Stockholm, 08 Januari 2007 'PERPISAHAN' dan PERTEMUAN di STOCKHOLM Dua pengertian yang saling bertentangan dari kata-kata, seperti pada kata 'siang' dan 'malam' , 'pagi' dan 'sore', 'panas' dan 'dingin' , 'kaya' dan 'miskin', dsb - - - adalah dua pengertian, dua kata, yang saling bertentangan tetapi juga saling berkaitan. Jarang orang berfikir tentang 'siang' hari, tanpa di dalam ingatannya tersimpan pengertian dan memori mengenai 'malam' hari yang akan menyusul pada hari itu juga. Idem dito dengan pengertian mengenai kata 'Perpisahan' dan 'Pertemuan' seperti yang digunakan untuk judul tulisan ini. Dua kata yang saling bertentangan namun sekaligus saling berkaitan. *** Stockholm, 05 Januari 2007, adalah suatu ketika dikala rasa sedih dan duka memenuhi rongga dada. Saat-saat itu dinyatakan rasa turut berbelasungkawa dengan keluarga yang ditinggalkan, serta harapan untuk tabah menghadapi musibah ini kepada putranda Danar, Nani, dan Thomas; -- putranda Danur, Vlami dan Nunung; -- beserta anggota keluarga lainnya. Namun, saat-saat itu juga merupakan hari-hari yang penuh kenangan tentang Zus Endang, bagi banyak orang yang mengenal Zus Endang, sapaan akrab mendiang Setiati Surasto. Beliau meninggal dunia di Stockholm pada tanggal 30 November 2006, pada usia 86th. Kemudian diperabukan pada tanggal 05 Januari 2007 di Stockholm. Pada hari Jum'at itu keluarga Setia Surasto beserta kami yang mengenal Zus Endang mengadakan 'pertemuan' di Stockholm untuk menyelenggarakan upacara perpisahan dengan Zus Endang. Seorang kenalan berbangsa Swedia, yang juga hadir diantara kurang lebih 80 orang terdiri dari keluarga, handai dan tolan, - - - - menyatakan bahwa, ia menjadi tau dan mengenal lebih baik s i a p aS e t i a t iS u r a s t o , baru sekarang ini, sesudah beliau meninggal dunia. Jelas, orang Swedia ini telah dengan cermat mengikuti uraian Sugiri, salah seorang pimpinan SOBSI, serikatburuh terbesar di Indonesia ada zaman Presiden Sukarno; beserta kata perpisahan oleh Sucipto Munandar, -- sahabat dekat Setiati Surasto. Mereka berdua yang bicara hari itu, menelusuri jalan hidup serta kegiatan Setiati yang telah mengabdikan seluruh hidupnya demi kemerdekaan nasional Indonesia dan perjuangan demi perbaikan nasib kaum buruh Indonesia. Sejak masa mudanya, ketika masih di bangku sekolah menengah Setiati Surasto sudah aktif sebagai anggota dari IM (Indonesia Muda) dan Jong Islamieten Bond (Persatuan Islam Muda), anggota Pekerja Perempuan Indonesia, kemudian sebagai asisten Bapak Taman Siswa Ki Hadjar Dewantoro yang mengepalai kantor pendidikan dan pengajaran. Kemudian pada awal periode Revolusi Kemerdekaan, Setiati Surasto ambil bagian aktif dalam pembentukan Barisan Buruh Indonesia di daerah pendudukan Belanda. Setelah Kongres SOBSI di Malang, 1946, Setiati Surasto menjadi Komisaris SOBSI di Jakarta, daerah pendudukan Belanda. Dalam Kongres Nasional Ke-IV SOBSI, Setiati Surasto ditetapkan menjadi Wakil Ketua II Dewan Nasional SOBSI. Dalam tahun 1964 Komite Eksekutif GSS, Gabungan Serikatburuh Sedunia memutuskan Setiati Surasto menjadi salah seorang Sekretaris GSS. Kemudian pimpinan SOBSI mengirim Setiati Surasto ke Praha untuk mewakili kaum buruh Indonesia di GSS. Pada periode pemerintahan Presiden Sukarno, Setiati Surasto yang mendalami bidang sosial dan ekonomi duduk sebagai anggota Dewan Konstituante RI, Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Dengan demikian Setiati Surasto telah menjadi salah seorang tokoh nasional terkenal yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan bangsa, khususnya bagi kaum buruh dan perempuan. Beliau juga melakukan perjuangan di pelbagai forum internasional.. Bernarlah, generasi muda Indonesia, baik penggiat dalam perjuangan politik nasional maupun dalam gerakan buruh, bersama kita semua dapat menarik pelajaran berharga dari kegigihan dan ketekunan Setiati Surasto memperjuangkan cita-cita mulya untuk kebenaran dan keadilan. * * * 'PERTEMUAN' STOCKHOLM Sudah menjadi kebiasaan dan tradisi orang Indonesia, pada saat-saat menyatakan belasungkawa pada salah seorang anggota keluarga, sahabat ataupun kenalan ketika mereka ditinggalkan, pada waktu itulah mereka itu berkumpul dan saling bertemu. Pertemuan serupa itu juga terjadi pada kesempatan lain yang santai dan senggang, misalnya pada kesempatan pertunangan atau perkawinan, atau lahirnya seorang insan bayi yang baru. Ini terjadi juga ketika para anggota keluarga, sahabat dan handai taulan mendengar berita sedih meninggalnya Setiati Su
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - TANGGAPAN SEPINTAS TERHADAP KARANGAN TRI RAMIDJO
IBRAHIM ISA -- STOCKHOLM, SABTU 06 JANUARI 2006. * * * TANGGAPAN SEPINTAS TERHADAP KARANGAN TRI RAMIDJO -- 'MENUNAIKAN IBADAH HAJI' * * * Sungguh suatu ceritera yang hidup dan nyata apa yang disajikan oleh Tri Ramidjo kepada pembaca kali ini. Saling hubungan lintas fikiran Tri Ramidjo , antara Tanah Suci di negeri Arab, dengan Tanah Suci Indonesia, tanah air sendiri Indonesia, sungguh unik dan menarik. Juga sepenuhnya bisa difahami, mengapa penulis menghubungkan pengertian Tanah Sucji di negeri Arab dengan Tanah Suci negeri sendiri. Mencerminkan jiwa dan semangat patriotisme murni sekaligus juga pemahaman religius yang berani. Begitu juga lintas fikiran Tri Ramidjo menanggapi apa yang dilakukan istrinya dalam ibadah haji, yaitu melakukan 21 lemparan mengganyang setan-setan dengan pengganyangan '7 setan desa' dan '3 setan kota', pada periode pemerintahan Presiden Sukarno itu sepenuhnya bisa dimengerti, ditinjau dari pengalaman dan pengertian Tri Ramidjo. Yang jelas, ialah bahwa Tri Ramidjo yang memiliki pandangan religius yang kuat, amat erat menghubungkan ajaran agama melawan setan-setan, termasuk yang penting setan yang besarang di dalam hati manusia, dengan tajam dan kadang lucu sekali menghubungkannya dengan kenyataan hidup yang keras. Terus menulis Bung Tri Ramidjo! * * * LAMPIRAN: Cerpen TRI RAMIDJO CERPEN. MENUNAIKAN IBADAH HAJI. - Lemparan batu itu tepat mengenai sasarannya dan setan-setan itu lari berhamburan. Oleh : Tri Ramidjo Aku hampir-hampir tak percaya ketika anakku bertanya "pak, boleh kan ibu berangkat menunaikan ibadah Haji tahun depan?" Aku terbengong sejenak. Mimpikah aku ini? Atau benarkah anakku bisa memberangkatkan istriku untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah, ke tanah suci? Anakku mengatakan itu tepat pada hari ultah isteriku 19 September 2005. "Ya, tentu saja aku setuju, setuju banget." Jawabku. Pergi menuanaikan ibadah Haji, pergi ke tanah suci adalah menjadi impian setiap umat Islam yang taat. Setiap muslim pasti mengerti, bahwa rukun Islam ada 5 dan tidak setiap orang bisa memenuhi rukun Islam yang ke lima yaitu menunaikan ibadah haji sebab di samping syarat-ayarat kesehatan dll. Syarat yang terberat adalah ongkos pergi yang cukup mahal. Dan aku yang tidak berduit ini, mana mungkin menunaikan ibadah haji. Tapi entah bagaimana caranya aku tak tahu, anakku yang suami isteri bekerja di perusahaan swasta dan wira-swasta dan tidak akan mungkin melalukan korupsi walaupun hanya korupsi waktu, kok ingin memberangkatkan ibunya pergi ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Sejak kecil dan sejak aku mengerti sedikit-sedikit tentang rukun Islam aku bercita-cita ingin menunaikan ibadah haji. Aku ingin melihat kota Mekah yang orang menyebutnya tanah suci. Aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa sucinya negeri Arab dengan kota Mekahnya. Tentu di sana tidak ada hal-hal yang kotor misalnya penipuan, korupsi, pengangguran, kemiskinan dan lain-lain yang sifatnya kotor dan menjijikkan. Suci, suci bersih tanpa noda sedikit pun dan bisa menjadi contoh dan bisa menjadi bagi seluruh umat manusia di dunia ini. Dan kalau seluruh isi bumi ini yang sama-sama diciptakan oleh Allah swt menjadi benar- benar tanah yang suci, tentu seluruh umat manusia bisa hidup adil, tenteram, damai tanpa ada hal-hal yang kotor dan najis. Subhannallah. Di tahun 1935 umurku ketika itu 9 tahun aku pertama kali mendengar lagu Indonesia Raya dari piringan hitam gramaphone. Gramaphone itu di putar oleh oom Abdul Hamid Lubis yang dibuang ke Digul dari Sumatra Barat. Anak-anak Digul yang belum pernah melihat gramaphone berkumpul di rumah oom Kadirun di sebelah rumahku di kampung B, dan aku dan adikku Rokhmah juga tidak ketinggalan ingin melihat bagaimana yang namanya gramaphone itu. Aku dan adikku duduk di bangku paling depan bersama-sama anak oom Kadirun dik Sumono dan dik Karno. Aku perhatikan oom Abdul Hamid Lubis mengambil jarum gramaphone, memasangnya di kepala waktu itu aku belum tahu, bahwa kepala kecil itulah yang disebut load-speaker. Sesudah itu per gramaphone itu diputar beberapa kali, piringan hitam atau plaat itu diletakkan dan ketika piringan hitam itu mulai berputar jarum yang di kepala itu diletakkan di piringan hitam. Bergemalah suara lagu : Kuplet pertama : Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku. Indnesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku. Marilah kita berseru Indonesia bersatu. Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku,semuanya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya. dan seterusnya. Setiap putera-puteri Indonesia pasti fasihdan hafal menyanyikannya. Kuplet kedua : Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya Di sanalah aku berdiri, untuk slama lamanya. Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semuanya. Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia. Suburlah tanahnya, suburla
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - MANA 'TOPIK NASIONAL' . . . . . . . . . . ?
Kolom IBRAHIM ISA Minggu, 31 Desember 2006 MANA 'TOPIK NASIONAL' YG SEHARUSNYA LEBIH DI-PRIHATIN-KAN? Kasus Polygami Mencuat Jadi 'Topik Nasional' Pada penghujung tahun 2006, rupanya ada satu topik yang (dibanding dengan topik lainnya) lebih menarik perhatian banyak orang, oleh karena itu banyak disoroti di dalam media pers dan menjadi buah mulut dan pembicaraan terus-terusan dikalangan masyarakat umum. Topik itu adalah POLYGAMI. Siapa yang tidak tahu, bahwa masalah polygami, bukanlah suatu 'surprise' di masyarakat kita yang masih sarat dengan peninggalan kultur dan kebiasaan feodal. Sultan-sultan 'kita', apakah darii ujung Utara atau Selatan bagian negeri, apakah itu Sultan Jawa atau 'Raja' di bagian ujung Timur Nusantara sana , praktek punya selir lebih dari satu - tanpa nikah, atau istri muda bukan suatu rahasia. 'Prinsip' agama bahwa seorang umat boleh punya istri sampai empat, tidak pernah digugat atau disanggah secara prinsipil. Mengapa ketika belakangan ini terungkap masalah polygami di kalangan masyarkat reaksinya begitu ramai, seperti orang baru siuman dari koma yang panjang layaknya. Mungkin ini sebabnya: Pelaku polygami kali ini adalah dari kalangan 'tertentu'. Dari kalangan 'orang terpandang' , apalagi 'tokoh religius', yang diharapkan bisa jadi teladan dalam soal norma, nilai hidup dan etika. Ketika harapan itu ternyata melését, maka kekecewaan orang banyak membeludak menjadi kritik dan kecaman, gugatan dan cemoohan terbuka. Tambahan pula dengan terungkapnya kasus hubungan mesum seorang elite pimpinan DPR yang sudah berrumah tangga yang melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain di sebuah hotel. Walaupun masalah polygami dan masalah perselingkuhan, kasus zinah, itu dua hal yang tidak sama, namun orang membicarakannya dalam satu tarikan nafas yang sama. Sebab lainnya, ialah, karena sudah begitu lama dan pedihnya penderitaan, disebabkan oleh kesulitan hidup sehari-hari. Pengangguran yang bertambah terus, semakin menganganya perbedaan antara yang miskin dan yang berpunya; menumpuknya dosa-dosa yang dibuat kalangan atas, dan harapan rakyat akan perbaikan semakin menipis. Jangan lagi disebut bertubi-tubinya bencana alam yang melanda tanah air dan bangsa, mulai dari Tsunami, Gempa Jogja, lumpur polusi, banjir di Sumatra sampai pada kecelakaan tenggelamnya kapal penumpang di Laut Jawa beberapa hari ini. * * * Sebenarnya masalah polygami, bukan barang baru. Cobalah diingat-ingat Pada tahun limapuluhan abad lalu, pers ramai membicarakan masalah Ibu Negara Fatmawati dimadu oleh Presiden Sukarno. Bung Karno kawin lagi dengan seorang janda, Ny. Hartini. Wah, habislah Bung Karno dikritik sana-sini. Oleh golongan Kanan, Bung Karno dihujat habis-habisan. Soalnya, karena ketika itu adalah kesempatan paling baik untuk 'mengganyang' dan menghitamkan Bung Karno. Karena dari segi politik memang sulit menggugat Bung Karno, yang ketika itu tidak jemu-jemunya mengingatkan bangsa bahwa Irian Barat masih belum kembali ke pangkuan Ibu Tertiwi. Bung Karno memupuk terus memupuk semangat juang bangsa, bahwa perjuangan untuk membebaskan Irian Barat harus dilanjutkan sampai kemenangan akhir tercapai!. Dari golongan Kiri, juga tidak kurang kritik yang diaalamatkan kepada Bung Karno. Tetapi bagi golongan Kiri, kepentingan politik dinilai lebih penting dari masalah polygami. Akhirnya kritik-kritik itu melemah. Membikin Bung Karno seperti 'lupa daratan'. Bung Karno kawin lagi, dan kawin lagi. Sehinga ada orang berkomentar: Bung Karno adalah seorang pemimpin besar bangsa, yang genius yang pengabdian dan pengorbanan terhadap bangsa dan tanah air, tak sedikitpun diragukan. Sayang, ada kelemahan 'fatal'. Yaitu masalah perempuan! * * * Media tampaknya lebih banyak disibukkan, sepert diasyikkan dengan berita-berita sekitar ulah Kiayi/Ustaz populer, Aa Gym, dan Wakil Ketua DPR yang memberlakukan 'hak untuk berpoligami', alias kawin lagi. Memang keterlaluan, karena sampai-sampai ada suara yang setengah berteriak, setengah mencancam, namun juga mengiba-iba, menyatakan bahwa bila ada larangan berpolygami, maka itu berarti menentang 'Al Quran'. Karena, di dalam 'Al Quran' berpolygami itu dibenarkan adanya. Tokh, kiranya suatu diskusi dan polemik yang berkepanjangan mengenai kasus polygami yang terjadi di kalangan elite itu tidak begitu bemanfaat. Nyatanya juga, sudah lama polygami itu dipraktekkan oleh 'orang-orang biasa' , bahkan oleh 'wong cilik' di masyarakat pedesaan. Tentu ada baiknya, bahkan baik sekali, bahwa ada perlawanan keras terhadap praktek polygami yang sekarang ini menjadi sorotan, karena kebetulan yang melakukan kali ini ketahuan terjadi di kalangan elite. Di kalangan elite atau bawahan, polygami adalah suatu kebiasaan, suatu kultur yang harus diakhiri. Namun, yang penting ialah, b
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S FOCUS ON GOVERNMENT, 30.12.06
IBRAHIM ISA'S FOCUS ON GOVERNMENT, 30.12.06 * * * SBY RIDES STABLE ECONOMY TO NEW HIGH IN POPULARITY NEW YEAR, NEW GOVERNOR INCENTIVES FOR LOCAL GOVERNMENTS * * * SBY RIDES STABLE ECONOMY TO NEW HIGH IN POPULARITY M. Taufiqurrahman, The Jakarta Post, Jakarta President Susilo Bambang Yudhoyono remains popular among the people and if an election were held today he would easily outdo his rivals, a poll said Thursday. The Jakarta-based Indonesian Survey Institute (LSI) found in its latest poll that the approval rating for Yudhoyono had reached a staggering 67 percent, above the 61 percent of the popular vote he and running mate Jusuf Kalla garnered in the 2004 presidential election. The LSI interviewed 1,227 people between Dec. 18 and Dec. 22 in all the country's 33 provinces for the poll, which has a 3 percent margin of error. The survey also discovered that in an election held today, Yudhoyono would win by 41 percent of the vote, easily outdoing Megawati Soekarnoputri of the Indonesian Democratic Party of Struggle, who would take 17 percent, and Kalla, on 4 percent. Yudhoyono's job approval rating is at a comfortably safe level, far above last year's 56 percent. The perception of a stable economy and rosy prospects for next year have contributed greatly to the improvement in Yudhoyono's ratings. "In spite of real economic problems, 33 percent of the respondents had a positive perception of the overall economic condition, up from last year's 22 percent," the LSI said in a statement. The LSI found that 48 percent of respondents were optimistic about improvements in the economic situation next year, an increase on the December 2005 figure of 40 percent. In politics, however, Yudhoyono gets less credit. There is only slight improvement in his job approval rating for politics. Satisfaction over the general political condition increased from 28 percent last year to 33 percent this year. LSI researcher Anis Baswedan said that in spite of the lukewarm performance, Yudhoyono's job approval rating remained high because he had no credible opposition. "The existing opposition consists of figures from the past who have no credibility. This is an important factor that will make SBY gain the upper hand," Anis said, referring to Yudhoyono by his popular nickname. Responding to the findings, political analyst Sukardi Rinakit of the Soegeng Sarjadi Syndicate said it would be strange if Yudhoyono failed to register an improvement in his job approval. "Everything about him has worked in his favor. He is seen as a honest and disinterested figure, and is a former general who holds a Ph.D. What's not to like?" Sukardi said. On a more professional level, Yudhoyono was seen as capable of resolving three serious problems -- the rise of Islamic fundamentalism, terrorism and the separatist conflict in Aceh province, Sukardi said. Economist Umar Juoro of the Center for Information and Development Studies, however, warned of the possibility that Yudhoyono would turn into a risk-averse leader. "Given his popularity, SBY is unlikely to make drastic policies that have the potential to ruin his image in 2007," Umar said. NEW YEAR, NEW GOVERNOR The Jakarta Post Editoial, 29 Dec 2006 The year 2006 has come to an end. For the Jakarta government, it is time to review whether it has provided basic protections and services for its citizens, who, as taxpayers, are deserving of good treatment. Looking back makes city officials proud of their achievements and successes, but, at the same time, it takes courage and honesty to recognize their failures and mistakes. Sincerity and honesty are the key words. In all honesty, many things have been achieved by Governor Sutiyoso's administration. Limited ability in financing, human resources and managerial skills have posed the biggest hurdles to the administration's success. Despite abundant criticism of his overall performance, Sutiyoso gained the admiration of state school teachers by raising their take-home pay by Rp 2 million a month. The money has been allocated from the city's annual budget beginning 2006. Civil servants have also been enjoying an extra Rp 1.7 million a month, thanks to Sutiyoso. The provision of a tuition subsidy for state schools has been heralded as another "success story" in education. Sutiyoso's persistence in improving and restoring to good order National Monument park is deserving of appreciation. His ambitious busway project has been a good thing for the city, despite some shortcomings. There has also been criticism of the operational consequences of the busway system, which is modeled on the successful system in Bogota, Colombia. However, since its establishment in 2004, the busway has gradually won the people's hearts. More and more people are choosing to take TransJakarta buses to work. Unfortunately, the busway alone is not enough to address long-term ground transportation needs. The Mass Rapid Transit (MRT) system, which has been offere
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - 'KENANGAN' ROSIHAN Yang 'TIMPANG'
Kolom IBRAHIM ISA --- Selasa, 27 Desember 2006. 'KENANGAN' ROSIHAN Yang 'TIMPANG' Tulisan Rosihan Anwar, yang disebut atau menyebut diri, 'wartawan senior', tentang Penyerahan Kedaulatan 27-12-1949 (Kompas, 27 Des 2006. Lihat Lampiran), suatu peristiwa yang digambarkannya sebagai suatu peristiwa penting, -- namun, begitu dibaca terasa 'timpang'. Artinya 'miring'. Ada kekurangannya. Dan kekurangan itu cukup gawat, karena justru ditulis oleh seorang 'wartawan senior', yang juga dianggap sesepuh. Sayang, sesunguhnya tulisan Rosihan Anwar itu, bisa jadi bunga rampai dalam rentetan tulisan-tulisan sekitar hari-hari 'penyerahan kedaulatan' oleh Belanda kepada pemerintah RIS - Republik Indonesia Serikat. Kiranya tulisan Rosihan itu akan jadi seimbang, bila sedikit saja ada disebut tentang betapa berat dan tidak sederajatnya persetujuan dua negeri. Atau mungkin, ketimpangan ini disebabkan karena yang satu fihak adalah negara kolonial dan satunya adalah 'koloni', maka persetujuan KMB itu menjadi suatu persetujuan internasional yang termasuk sangat menguntungkan satu fihak (Belanda) dan merugikan fihak satunya (Indonesia.) Asal saja Rosihan Anwar sedikit saja menyinggung fasal-fasal Peretujuan Konferensi Meja Bundar Dehn Haag tsb, maka segera akan memasuki intisarinya. Akan terungkap betapa beratnya syarat-syarat yang ditetapkan dalam Persetujuan Konferensi Meja Bundar-Den Haag (1949), yang harus dipenuhi oleh fihak Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa memang tidak bisa lain, begitu jadinya karena Persetujuan KMB itu dikatakan sebagai 'imbalan' terhadap 'goodwill' fihak Belanda . Bukankah dengan Persetujuan KMB itu akhirnya fihak Belanda 'menyerahkan kedaultan' kepada Indonesia, mengakhiri masa kolonialisme (kan baik ya tokh?) . Dimasuki sedikit saja Persetujuan KMB itu, terungkaplah bahwa fihak Indonesia dalam hal ini telah melakukan kompromi besar dan konsesi yang berat sekali. Begitu banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh fihak Indonesia. Mulai dari masalah bentuk kenegaraan: harus bentuk federasi, RIS; finansiil (harus bayar kembali utang Hindia Belanda kepada Den Haag); ekonomi (harus mengembalikan semua perusahaan dan 'aset' Belanda kepada Den Haag); sampai ke masalah militer (KNIL harus diintetrasikan kedalam Angkatan Perang RIS) dan adanya Misi Militer Belanda di Indonesia). Itu sedikit saja menyebut fasal-fasal yang menonjol merugikan kita. * * * Bagaimana mungkin Rosihan Anwar yang dirinya pribadi meliput proses Persetujuan KMB itu sampai upacara 'penyerahan kedaultan' di Istana De Dam, Amsterdam, kok dalam menulis suatu peristiwa yang pasti dia sendiri menganggapnya penting itu, bisa-bisanya samasekali tidak menyebut apa isi Persetujuan KMB yang merugikan Indonesia. Tetapi itulah yang terjadi, Rosihan membiarkan berlalu segi-segi negatif Persetujuan KMB itu. Entahlah barangkali dia pernah menulis hal itu sesudah 1949. Kalau ada tulisan Rosihan yang menganalisis segi-segi negatif Persetujuan KMB di dalam surat kabar Pedoman yang ia pimpin sendiri dalam periode itu, tentu itu baik. * * * Akibat dari begitu banyaknya fasal-fasal yang merugikan bagi Indonesia, maka tidak lama kemu-dian , - - - - salah satu dari fasalnya yang terpenting, ialah mengenai syarat bahwa sifat negara Indonesia harus federal, dimana tercakup didalamnya 'negara-negara bagian' bikinan Belanda , -- pemerintah Indonesia yang mencerminkan kehendak rakyat telah membatalkannya. Demikianlah, Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan dan negara Indonesia kembali menjadi bentuk negara REPUBLK INDONESIA, sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945. Hidup rakyat Indonesia! Beberapa waktu kemudian salah satu syarat lainnya dari persetujuan KMB yaitu adanya MMB, Misi Militer Belanda, di Indonesia dituntut rakyat supaya diusir dari Indonesia. Karena dianggap sebagai salah satu sumber subversi Belanda terhadap Indonesia. Juga 'Uni Indonesia Belanda', yang dikepalai oleh Mahkota Kerajaan Belanda, digugat rakyat dan dituntut agar dibubarkan. Karena Uni Indonesia-Belanda itu atasannya adalah Mahkota Kerajaan Belanda. Hal mana dianggap oleh rakyat kita sebagai perlambang bahwa Indonesia belum benar-benar lepas dari kolonialisme Belanda. Yang terasa amat berat lagi, ialah keharusan Indonesia membayar utang Hindia Belanda kepada Den Haag. Yang termasuk utang yang harus dibayar Indonesia itu diantaranya yang paling berat, ialah keharusan Indonesia yang baru berdiri itu, membayar ongkos-ongkos perang Agresi Ke-I dan Ke-II Belanda terhadap Republik Indonesia. Suatu peperangan untuk menghancurkan Republik Indonesia. Dan banyak lagi hal-hal yang timpang dalam fasal-fasal Persetujuan KMB. Untuk lengkapnya bisa minta bahan-bahan dari Batara Hutagalung Ketua, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)yang banyak menul
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- MARI BERSYUKUR !
Kolom IBRAHIM ISA Senin, 25 Desember 2006 --- MARI BERSYUKUR ! TOLERANSI MENGKHAYATI UMMAT ISLAM Berkahnya Hari Natal! Silakan baca berita terlampir di bawah ini, berjudul: ORMAS ISLAM BANTU AMANKAN GEREJA, Berita tsb dapat dibaca di s.k. Kompas
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA - -- 'NATALAN' DITENGAH WARGA BIJLMER
IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA - Jum'at, 22 Desember 2006 'NATALAN' DITENGAH WARGA BIJLMER Cuaca musim dingin malam kemarin itu menggigit sampai ke tulang-sumsum, namun, kehangatan dan rasa kebersamaan mencirii suasana malam N a t a l2 0 0 6 . Menikmati keasrian kebersamaan, kedamaian dan keharmonisan masyarakat multikultur yang toleran. Semua itu: Suasana yang mengesankan, adanya malam Natalan adalah berkat diselenggarakannya 'perayaan' Hari Natal Menyambut Tahun Baru, diantara sekelumit kecil warga Amsterdam Bijlmer. Menyambut Tahun 2007 yang akan tiba beberapa saat lagi. Rasanya sudah kuceriterakan bahwa, mayoritas penduduk Amsterdam Bijlmer, domisili kami, adalah kaum migran yang sudah lama jadi 'Londo'. Dari macam-macam negeri asal usulnya. Kebanyakan dari Suriname. Asal Suriname itu banyak Hindustannya, Creolnya, Tionghoanya dan Jawanya. Lainnya dari penduduk Bijlmer adalah yang asal Ghana, Nigeria, Iran, Afghanistan, Mesir, Maroko, Bangladesh, India, Pakistan dll. Agamanyapun aneka ragam. Ada yang Kristen, Islam. Hindu dan lainnya. Maka di dekat rumah kami ada beberapa gereja Nasrani dengan etnisitas dan alirannya masing-masing, dan juga sebuah mesjid besar yang belum lama dipugar dan diperluas, megah berdiri disamping stasiun Metro Kraaienest . Demikianlah masyarakat Amsterdam Bijlmer yang multikultur dan toleran. Bila bertemu satu sama lainnya, tidak ketinggalan saling sapa. 'Hallo buurman, hallo buurvrouw'. Hoe gaat het? Alles Goed?' Ada yang lain dari pada yang lain. Salah seorang diantaranya, seorang pendeta berkulit Hitam asal Suriname, bila papasan sapaannya selalu: 'Pié kabaré . . . Apik. Alon-alon asal kelakon'. Ya, dia itu pendeta asal Suriname berkulit Hitam tetangga kami itu, bisa omong Jawa --- sedikit-sedikit. Menunjukkan bahwa sang pendeta ketika masih di Suriname sering 'turba' di kalangan masyrakat Jawa Suriname. * * * Khas Bijlmer, yang mengundang pertemuan silaturahmi syukuran NATAL adalah Ny. Lea Kallan, manager Cafe Buurthuis Hofgeest, seorang perempuan tegap berkulit Hitam. Ia warga Belanda asal Suriname. Sangat ketat dan tegas dalam mengelola cafenya. Ny. Lea, seperti 'kami-kami' populer disebut 'alochtoon'. Dalam kehidupan sehari-hari di Belanda, boleh dibilang tak ada yang mengatakan: 'Saya alochtoon'. Juga jarang yang bilang, 'saya Belanda'. Umumnya mengatakan: 'Saya orang Surinaam, 'orang Indonesia' , atau orang Chinese, atau orang Ghana, Nigeria, Maroko atau Mesir. Bahwa mereka itu warganegara Belanda, itu jelas. Tapi, ya tapinya cukup menyolok, yaitu keras sekali hendak mempertahankan dan memperkenalkan IDENTITASNYA, asal negeri dan budayanya. WN Belanda, sih WN Belanda, mau integrasi sih mau, tetapi JUGA INGIN DIKETAHUI IDENTITASNYA, negeri asalnya. Maka orang bilang, itulah antara lain makna dari integrasi serta multikultur dalam praktek hidup. Di masyarakat Amsterdam Bijlmer, jelas sekali, konsep a s s i m i l a s i tidak 'nyambung' dengan kenyataan hidup, tidak cocok dengan konsep 'multikultur' dan toleransi. * * * Difikir panjang sedikit, dan dilihat ke latar belakang sejarah demografi Belanda, kemungkinan besar sekarang ini lebih separuh penduduk Belanda terdiri dari migran atau turunan migran. Benarlah yang mengatakan bahwa orang Belanda 'asli' sudah menjadi minoritas. Begitupun orang Belanda, termasuk yang 'autochtoon', yang 'asli', tak ada soal dengan masyarakat multikultur yang toleran. Semua manusia di kolong langit ini tanpa kecuali adalah insan Yang Maha Kuasa. Betapapun harus berusaha hidup bersama dengan damai dan harmonis. Bicara pasal asli tidaknya orang Belanda, jangan jauh-jauh dicari. Lihat saja keluarga Istana Oranje Kerajaan Belanda. Istri putra mahkota Kerajaan Belanda Willem Alexnder, yang bernama Maxima, adalah asal Argentina. Mau contoh lainnya? Yang lebih menyolok? . . . . Bapak sang putra makota, yaitu Pangeran Bernhard, juga bukan Belanda. Asal muasal Pangeran Bernhard adalah Jerman. Suami Sri Ratu Beatrix, adalah Pangeran Claus, juga bukan Belanda. Asalnya Jerman. Begitulah seterusnya. Mungkin disini lainnya, yaitu bahwa kami-kami ini, bedanya ddenan mereka-mereka itu, adalah rasnya, etnisnya. Mereka-mereka itu berkulit putih, kami bukan. Apakah ini prasangka, atau naluri rasis (wah)? Kiranya tidak. Memang, sementara Londo bulé, katakanlah yang ras Eropide, atau Kauksis, seperti pemimpin parpol Vrij Nederland, Meneer Geert Wilders, atau seperti Fillip Winters, ketua parpol rasis dari Belgia, yang tergolong ras Putih, fikirannya masih kejangkitan 'rasisme' abad lalu. Tidak beda dengan konsep 'keunggulan ras Arya' ide Hitler , yang 'bule' , yang tubuhnya besar, hidungnya tinggi dan rambutnya pérang serta matanya biru. Bagi mereka-mereka itu, orang-o
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S FOCUS -- ACEH AFTER ELECTION
--IBRAHIM IBRAHIM ISA'S FOCUS -- ACEH AFTER ELECTION --- Seeking change, Acehnese elect GAM candidates Aceh's future governor plays down separatism jitters Good news from Aceh's landmark direct polls SEEKING CHANGE ACHENESE ELECT GAM CANDIDATES Nani Afrida and Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Banda Aceh As the ballot counting continues from last week's elections in Aceh, it is clear voters favored independent candidates with ties to the Free Aceh Movement (GAM), giving them a mandate to introduce needed changes to the province. Many eligible voters said they no longer had confidence in Jakarta, which they accused of decades of unfulfilled promises. Bahctiar, a 55-year-old resident of Aceh Besar and a food-stall owner in Lampriet subdistrict, said he and his family voted for Irwandi Yusuf and his running mate Muhammad Nazar in the gubernatorial election. He said they had confidence in the former GAM members, particularly given the group's success in lobbying the international community and bringing peace to Aceh. "Irwandi and his running mate Muhammad Nazar were officially independent candidates, but we know they were nominated by GAM. Voters still remember how Jakarta treated GAM and the Acehnese before the peace agreement was signed," he told The Jakarta Post. Irwandi and Nazar have a commanding lead in the gubernatorial election, polling especially well in eastern areas of Aceh, which were GAM strongholds during the decades of armed conflict. As of Tuesday, the pair had received 33.5 percent of the 1.2 million votes which have reached the Independent Elections Committee (KIP). There were about 2.6 million registered voters for the elections. GAM candidates also have claimed victory in a large number of elections in regencies and municipalities for local leaders. Activist Raihan Diani called on Jakarta and all political parties to accept the results of the elections. She also advised Jakarta to learn from the defeat of government-backed candidates, and avoid administrative mismanagement, political engineering and bloody conflicts in the future. "Eligible voters cast their ballots for GAM leaders to express their confidence in GAM and simultaneously to punish those political parties that did nothing when they needed help in the past. They were victims and witnesses of the military's past abuses, and they know all the parties gave empty promises during campaigning and will leave now that the elections are over," she said. Observers also believe the government's slow handling of reconstruction efforts in the province following the 2004 earthquake and tsunami played a role in the good showing of GAM candidates. Maimun, 48, who has been working as a vegetable vendor in Lambaro Skep subdistrict since his house and fishing boat were destroyed in the tsunami, said the victims were tired of the empty promises given by political parties. "With the new leaders from GAM, the Acehnese people want to see change The local elections are our chance to determine our future," he said. He said most tsunami victims were disappointed with the slow pace of reconstruction work, with many people still living in temporary shelters almost two years after the disaster. He said he was optimistic the new leaders would give more attention to disaster victims and be more serious about improving the lives of residents. When asked what would happen if the new government turned out to be corrupt and ineffective, he said people would vote them out in the next elections. Muhammad Yusuf, 42, who lost his house in Baitussalam subdistrict and many relatives in the tsunami, said he voted for Irwandi because the former GAM leader had expressed his strong commitment to improving the lives of the Acehnese during the campaign. "Irwandi is an influential GAM leader and was nominated by GAM, while Nazar is the chairman of SIRA, which in the past fought for a self-determination referendum for Aceh. We are sure they know what the Acehnese want from them," he said. SIRA is the Aceh Referendum Information Center. Rusdy, 34, a resident of Keude Pidie in Pidie regency, which was a GAM stronghold during the struggle, said most voters trusted GAM leaders to ensure a permanent peace in the province. "Many people suffered during the armed conflict and are living in poverty even though the province is rich in natural resources such as oil and gas. The people have gained nothing from the mining sector," he said. Syaifuddin Bantasyam, a political analyst at Syiah Kuala University in Band Aceh, said he predicted Irwandi's victory in the gubernatorial election because GAM's political machine remained operational at the grassroots level, whil
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- MENGENANG HARDOYO Dan Fikirannya
Kolom IBRAHIM ISA Senin, 18 Desember 2006. MENGENANG HARDOYO Dan Fikirannya Senja hari ini, kuterima berita duka lewat tilpun dari Suranto (adik ipar Hardoyo), bahwa HARDOYO sore hari ini tanggal 18 Desember, jam 17.45 WIB telah meninggal dunia dengan tenang di Jakarta. Segera kunyatakan kepada Suranto: INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAJIUN Mbak Yuyud, Harni, Suranto dan seluruh keluarga yang ditinggalkan Hardoyo terimalah rasa sedih kami sekeluarga serta pernyataan belasungkawa kami sedalam-dalamnya atas kepergian kawan tercinta Hardoyo. Semoga musibah ini dihadapi dengan tabah * * * Kawanku Hardoyo, telah lama kukenal sebagai seorang pejuang yang konsisten demi demokrasi dan keadilan bagi rakyat, bangsa dan tanah air Indonesia. Dalam keadaan sulit yang bagaimanapun kepeduliannya terhadap nasib bangsa dan negeri tak pernah luput. Hanyalah keadaan kesehatannya, terutama setelah diseramg stroke beberapa tahun yang lalu, yang menghambat keaktifan Hardoyo dalam kegiatan memperjuangkan cita-citanya. Aku ingat pertemuan bersama Hardoyo, beberapa tahun yang lalu di Taman Amir Hamzah, Matraman, di rumah Amin Aryoso SH, mantan pimpinan fraksi (kalau tidak salah) PDI-P di DPR ketika itu. Hadir juga antara lain, Jusuf Isak, dan banyak teman-teman lainnya. Kuketahui kemudian bahwa ide untuk mengadakan pertemuan itu datang dari Hardoyo. Kami membicarakan situasi Indonesia ketika itu. Bagaimana usaha bangsa ini bisa memulihkan persatuan nasional dan bisa kiprah maju menyongsong hari depan. Umumnya kami menekankan betapa pentingnya usaha meneruskan pembangunan nasion, 'nation building', termasuk yang terpenting yaitu 'character building'. Bahwa landasan, atau fikiran pemersatu dalam nation-building, antara lain yang fundamental adalah ajaran-ajaran Bung Karno dalam 'nation building'. Yang terpenting dari ide-ide Bung Karno itu ialah yang dituangkan dalam Lahirnya PANCASILA, sebagai satu-satunya prakarsa yang punya syarat historis, untuk bisa menggalakkan kembali usaha meneruskan 'nation building'. * * * Selanjutnya, kita ingat kembali, betapa kerasnya usaha Hardoyo dan kawan-kawan untuk membangun media informasi yang benar dan obyektif mengenai Indonesia, melalui media internet WAHANA, yang sampai sekarang masih terus dengan kegiatannya. * * * Kiranya salah satu cara yang baik dalam mengenangkan HARDOYO, dan merenungkan kembali ide-idenya yang dituangkannya melalui banyak tulisan dan wawancara, ialah dengan menyiarkan kembali sebagian dari fikirannya mengenai peristiwa-peristiwa dan masalah penting di Indonesia, antaranya mengenai penialaian terhadap G30S dan usaha Rekonsiliasi Nasional. Adalah dalam rangka ini disiarkan kembali di bawah ini bagian penting dari wawancara HARDOYO mengenai G30S dan mengenai usaha Rekonsiliasi Nasional, sbb: TULISAN DAN WAWANCARA HARDOYO, MANTAN KETUA UMUM CGMI PERIODE 1960-1963. Berikut penuturan Hardoyo seputar peristiwa G30S dan soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang ditulis dalam dua bagian. * * * MISTERI 30 SEPTEMBER PERLU DIKUAK Peristiwa G30S sebuah misteri, bagi saya. Tiba-tiba terjadi penangkapan masal dan tuduhan-tuduhan tanpa sumber hukum yang jelas, tanpa pembuktian, tanpa apapun. Itulah yang terjadi. Jadi memahami peristiwa G30S itu harus dibagi dua. Pertama, penculikan para jenderal. Itu harus dibuka secara tuntas siapa yang terlibat. Andaikata ada beberapa orang PKI yang terlibat juga harus dibuka. Kedua, peristiwa setelah 1 Oktober, saat terjadi penangkapan dan pembunuhan massal dan pengucilan secara turun-temurun. Itu kan kejahatan kemanusiaan. Itu yang harus dibongkar, diselesaikan. Kalau bisa melalui KKR ini. Mungkin kita sekarang agak terbantu dengan adanya dokumen CIA yang menghebohkan itu. Saya cenderung sependapat dengan Bung Karno bahwa G30S terjadi karena tiga sebab. Pertama, keblinger-nya pimpinan PKI. Kedua, adanya pimpinan tentara yang tidak bener. Ketiga, kelihaian CIA. Penjelasan ini ada di Nawaksara. Memang ada oknum-oknum PKI yang terlibat. Tapi partai secara institusional tidak terlibat. Banyak orang dari CC PKI tidak tahu menahu kejadian itu. Soal kekerasan kasus tanah di Jawa Timur oleh PKI sebelum 1 Oktober adalah masalah lama. Masalah UU Pokok Agraria dan Bagi Hasil. Di sana BTI meminta agar itu dilaksanakan. Maka lahirlah aksi sepihak untuk melaksanakan UU. Terjadilah banyak ekses di lapangan. Jadi itu sesuatu hal yang terjadi akibat sesuatu. Ini mesti diteliti lebih jauh. Kalau Anda mengambil contoh itu, kini syarikat sebuah badan di bawah NU telah membuat pernyataan maaf kepada para korban PKI. Malah seorang sejarawan, Candra, menulis dalam Kongres Sejarah menyatakan bahwa aksi tanah sebagai puncak radikalisme. Candra memprediksi, jika dari pihak PKI tidak berlebihan, maka tidak akan terjadi seperti itu. Lain lagi soal penculikan para jenderal. Ini pun, bagi saya, suatu misteri. Ini harus dibuka. Siapa yang menculik? Kan a
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S FOCUS ON ACEH'S ELECTION
--- IBRAHIM ISA'S FOCUS ON ACEH'S ELECTION Saturday, 17 December 2006 - WINNING ELECTION SEEN AS EASY PART ACEHNESE DEMAND JUSTICE AS AMM LEAVES IRWANDI STILL IN LEAD, MONITORS ISSUE REPORT - WINNING ELECTION SEEN AS EASY PART M. Taufiqurrahman, The Jakarta Post, Jakarta Former Free Aceh Movement leader Irwandi Yusuf, who leads Aceh's gubernatorial race, will face an uphill struggle to govern the province, analysts said Thursday. Mohammad Qodari, of the new research institute Indo Barometer, said while Irwandi was polling convincingly at around 26 percent of the vote, being on an independent ticket would pose problems for him and running-mate Muhammad Nazar in the future. "Together with the local legislative council, Irwandi is mandated by the Aceh governance law to draw up 90 qanuns (bylaws), yet he will have no support from political factions in the legislature," Qodari told a discussion. The most pressing problem for the former GAM rebels, Qodari said, would be the repatriation of thousands of refugees who were displaced during the three-decades-long conflict between the rebel group and the Indonesian Military. "There are now over 50,000 refugees from armed conflicts in the past who feel they are being left out in the post-tsunami reconstruction projects," Qodari said. He said Irwandi and Nazar also needed to establish a good relationship with the Aceh-Nias Reconstruction and Rehabilitation Agency, another powerful institution which controlled a huge sum of money to rebuild the tsunami-hit areas. Qodari believed Irwandi had made a blunder by announcing one of his top priorities would be to amend the Aceh governance law. "He opened a new battle front against the major political factions in the House of Representatives, the Indonesian Democratic Party of Struggle and the Golkar Party, which has taken pains to produce the law," he said. The Irwandi-Nazar pair are poised to lead Aceh after a quick vote count gave them convincing lead in Monday's direct gubernatorial election. The lead surprised many, who expected the victory would be enjoyed by candidates nominated by the major political parties. Analyst Fadhil Hassan of the Institute for Development of Economics and Finance said the new leaders of Aceh would also have problems dealing with the bureaucracy. He said in the near future the province would be awash with cash from numerous funding schemes prepared by the central government but it would likely lack the human resources to manage it. "The problem for Aceh now is not the lack of resources but how to manage the resources when it is left with the same incompetence bureaucracy. I doubt if the existing bureaucracy has the skill and competence to implement the policies of the new governor," he said. He warned Aceh could repeat the failure of Papua to improve the well-being of its people, despite receiving the bulk of its special autonomy fund from the central government. Meanwhile, activist Otto Syamsuddin Ishak of the Aceh Working Group said the likely victory of Irwandi and Nazar had overturned conventional wisdom about local politics. "They weren't nominated by any political parties, neither did they spend much money on the election and they received only a little support from the media. Yet they could win the election," he said. AEHNESE DEMAND JUSTICE AS AMM LEAVES Nani Afrida and Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Banda Aceh While peace finally has descended upon Aceh, past wounds have yet to heal. A hundred people, claiming to be victims of past rights abuses in the province, demonstrated here Thursday urging the Aceh Monitoring Mission (AMM) and the Aceh Reintegration Agency (BRA) to resolve their cases. Claiming to represent thousands of people across the province, the mostly middle-aged women demonstrators said the peace that was flowering would never fully bloom until there was full accountability for past abuses. "AMM should not leave Aceh ... there are still numerous unsolved problems," said Rukaya, who claimed her husband and two children were killed by security personnel in 2003. "Thousands of victims are still awaiting justice. The military personnel who perpetrated the abuses and the generals responsible have yet to be brought to justice," she said. The protest was held as the AMM officially concluded its 15-month mission Thursday. However, Banta Khalidansyah, a former rebel leader in West Aceh, urged the AMM to extend its mandate to resolve past rights cases. "We no longer believe Indonesia will respond to our grievances. Please stay and declare your commitment to helping Acehnese reveal the truth," he said. Hendra Budian, coordinator of the Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), regretted the AMM's departure, saying that as a body representing pro-
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- BUKAN SEBARANG RESTORAN
Kolom IBRAHIM ISA Menjelang Natal -- Jum'at, 15 Desember 2006 24 Tahun Berdirinya Di 12, Rue de Vaugirard 75006 Paris: 'RESTORAN INDONESIA PARIS' BUKAN SEBARANG RESTORAN Kemarin pagi aku menilpun Suyoso, Pimpinan Restoran Indonesia, Paris. Seorang pekerja mengangkat tilpun di seberang sana menyatakan: 'Mr Suyoso is not here', katanya dalam bahasa Inggris berlogat Perancis. Tolong sampaikan kepada Mr Suyoso ada tilpun dari Amsterdam, jawabku . Anda siapa tanyanya dalam bahasa 'Franglais' Perancis/Inggris. Bilang saja dari Isa, Amsterdam. Malamnya Suyoso menilpun aku. 'Ada apa Oom', tanyanya kepadaku. Suyoso sudah lama kukenal baik. Ia menyapa aku selalu dengan sebutan 'Oom Isa'. Suyoso agak tegang. Ada apa kok pagi-pagi ada tilpun dari Amsterdam, fikirnya. Aku bilang bahwa tidak ada apa-apa yang istimewa. 'Hanya ingin menyampaikan 'SELAMAT ULANG TAHUN' kepada kalian, pengusaha dan para karyawan RESTORAN INDONESIA PARIS' . 'Ooh, itu. Ya, terima kasih ya , Oom', jawab Suyoso dengan nada lega dan gembira. Kawan-kawan Restoran Indonesia Paris, tidak mengadakan kegiatan khusus berkenaan dengan hari '14 Desember', yaitu hari berdirinya restoran mereka 24 tahun yang lalu. Tetapi, tahun depan mereka merancangkan akan mengadakan peringatan itu. Ya, pantaslah. Karena, bukankah tahun depan Restoran Indonesia Paris genap berkiprah 25 tahun lamanya. Sebuah restoran yang mereka bangun dengan jerih payah serta cucuran keringat, melalui kerja keras banting tulang, siang malam terus menerus. Suatu perjuangan hidup-mati untuk survive dan dengan demikian menciptakan syarat untuk meneruskan cita-cita pengabdian kepada tanah air dan rakyat. * * * Mengapa perlu sekali ditulis lagi, tentang Restoran Indonesia Paris? Aku sebenarnya tak ada rencana untuk menulis tentang itu. Niat untuk menulis, baru muncul sesudah terbaca tulisan JJ. Kusni, salah seorang pendiri Restoran Indonesia Paris, -- Sebuah tulisan yang cukup lengkap untuk mengingatkan pembaca bahwa tanggal 14 Desember tahun ini, Restoran Indonesia Paris, memasuki tahun ke-24. Barulah kuingat lagi, bahwa sudah 24 tahun restoran itu berdiri. Suatu prestasi! Suatu kinerja teladan dari kaum intelektuil dan budayawan Indonesia yang terpaksa terdampar di luarnegeri karena paspornya dicabut dan hak-hak kewarganegaraannya direnggutkan oleh rezim militer Indonesia yang angkara murka. . Aku tegaskan bahwa perlu menulis lagi tentang Restoran Indonesia Paris, karena bagiku dan banyak kawan seperjuangan, kawan-kawan dari Restoran Indonesia Paris, yang dipandu oleh Umar Said, dengan solidaritas dari kaum demokrat dan peduli HAM oang-orang Perancis, merupakan suri teladan. Semangat kawan-kawan itu, memanifestasikan jiwa yang pantang menyerah terhadap 'nasib' yang dipaksakan pada mereka oleh kekerasan telanjang, dipaksa menjadi insan tanpa identitas, kecuali 'cap' yang dicorengkan ORBA pada mereka: Sebagai 'orang yang terlibat' atau 'berindikasi', bahkan sebagai 'orang-orang yang bermasalah'. Sungguh teramat kejam tindakan baidab itu! Orba di bawah Jendral Suharto bermimpi dengan mencabut paspor kawan-kawan itu, dengan membikin mereka menjadi orang-orang 'stateless', orang-orang 'tanpa identitas' yang 'kelayaban' di luar negeri, bahwa dengan tindakannya itu -- Orba berilusi akan bisa mematahkan jiwa bebas mandiri, jiwa berlawan yang patriotik cinta air dan keadilan dari kawan-kawan itu. Orba dan pendukungnya melését, kecelé, seratus persen melongo menyadari kemudian, bahwa kawan-kawan itu bahkan semakin memperkokoh tekad untuk survive. Dengan berani dan tegar melawan 'vonis' Orba untuk menjadikan mereka semacam 'orang-orang pariah'. Mereka menyingsingkan lengan baju, 'bercancut taliwondo', 'ber-rawé-rawé rantas, malang-malang putung', melaksanakan prakarsa membangun restoran Indonesia mulai dari nol. Hanya dengan modal semangat juang dan jiwa pantang menyerah, dengan modal dengkul dan keringat, dengan memperkokoh semangat gotong-royong dan kekolektifan, akhirnya berhasillah kawan-kawan itu membangun Restoran Indonesia Paris. JJ. Kusni yang khusus menulis mengenai 24 tahun berdirinya Restoran Indonesia, dengan tepat sekali mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh kawan-kawan itu selama 24 tahun ini, menghadapi intimidasi,diskriminasi dan fitnah Orba, adalah suatu usaha dan kegiatan yang MEMBELA MARTABAT DIRI DAN INDONESIA'. Restoran Indonesia Paris bukan sebarang restoran tulisku. Memang demikianlah adanya. Bukan sekadar suatu usaha untuk mencari nafkah, supaya bisa survive dan agar tidak tergantung dari tunjangan sosial pemerintah Perancis. RESTORAN INDONESIA telah menjadi salah satu tempat penting dimana berlangsung kegiatan kebudayaan Indonesia yang teratur dan bermutu. Dikunjungi oleh banyak orang d
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- JUSUF ISAK DAPAT BINTANG KEHORMATAN PERANCIS CHEVALIE
Kolom IBRAHIM ISA Selasa, 12 Desember 2006 MAU KEMANA "Harian KOMPAS" Tulisan ini dibuat atas dasar asumsi bahwa, benarlah adanya yang diberitakan oleh AJI, Aliansi Jurnalis Indonesia, mengenai pemecatan atas wartawan senior 'Harian Kompas', Bambang Wisudo. Seperti yang diberitakan (lihat lampiran berita dalam bahasa Inggris), menurut AJI Bambang Wisudo dipecat karena menolak dipindahkan ke Ambon. AJI menjelaskan lebih lanjut bahwa 'pemindahan' tsb dilakukan dengan tujuan untuk menggembosi serikatburuh di 'Harian Kompas' yang kebetulan dipimpin oleh Bambang Wisudo. * * * Bulan Desember ini, sering dikatakan sebagai bulan HAK-HAK AZASI MANUSIA, bulan 'THE UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS' U.N.O. Supaya orang jangan lupa bahwa pada tanggal 10 Desember 1948, PBB mengeluarkan pernyataan tentang HAK-HAK AZASI Manusia, bahwa prinsip-prinsp HAM dan Demokrasi, seharusnya dipraktekkan oleh semua anggota PBB, oleh sesama manusia di dunia ini. Secara internasional maupun nasional hari 10 Desember diperingati dengan pelbagai kegiatan untuk mendorong maju terus perjuangan untuk HAM, untuk Hak-Hak Demokrasi, hak untuk dengan bebas menyatakan pendapat, menulis, dan menyiarkannya. Untuk diberlakukannya dengan konsisten KEBEBASAN PERS. Supaya orang jangan lupa bahwa pelanggaran terhadap HAM sudah tidak bisa ditolerir lagi, di saat dunia (ketika pernyataan PBB itu dikeluarkan) baru saja dengan gemilang merebut kemenangan atas aliansi kekuatan militer-fasis internasional Nazi Jerman, fasisme Itali dan militer-fasis Jepang. Suatu kekuatan politik dan militer yang melanggar HAM dan membungkam kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat. Universal Declaration of Human Rights adalah tekad khidmat PBB, adalah suatu 'political will' yang historis dari organisasi keduniaan satu-satunya, dimana mayoritas mutlak negara di dunia ini adalah anggotanya. * * * Kebebasan pers adalah salah satu prinsip yang diutarakan dan dibela oleh HAM internasional. Di sini peranan jurnalis merupakan salah satu faktor menentukan. Salah satu syarat penting agar bisanya terlaksana kebebasan pers. Jurnalis-jurnalis dianggap sebagai penyangga kebebasan pers, penyanggap demokrasi. Suatu jurnalisme yang didasarkan atas pemahaman bersama bahwa, pertama-tama merupakan tuntutan terhadap diri sendiri, bahwa kaum jurnalis adalah insan-insan yang berpegang teguh pada prinsip HAM dan kebebasan demokratis. Bukan semata-mata sebagai 'kuli tinta' . Yang mencari nafkah sebagai wartawan di suatu perusahaan yang bersangkutan dengan dunia media. Tentu lebih jelek lagi, bila sang wartawan, menulis atau membuat suatu liputan atas perintah 'amplop berisi' yang baru diterimanya dari jurusan tertentu yang berkepentingan. Jelas yang paling jelek dan teramat hina adalah menjadi 'wartawan bayaran'. Wartawan atau editor bayaran bisa juga, adalah jurnalis-jurnalis, editor-editor bayaran yang dipasang disitu. Tugasnya adalah agar tulisan-tulisan kritis, teristimea terhadap penguasa, tidak dimuat. Mereka-mereka itu adalah jurnalis 'palang pintu', atau jadi 'redaktur palang-pintu'. Hal ini terjadi di dalam suatu negeri yang mentrapkan sistim otoriter dan totaliter, ataupun didalam masyarakat kapitalis dimana raja-raja uang menguasai media cetak dan eletronik. Secara umum, fungsi wartawan yang punya visi dan misi perjuangan kemerdekaan bangsa dan negeri, --- hal yang kita alami pada periode penjajahan kolonialisme Belanda, adalah tidak mudah. Jadi wartawan yang ikut memperjuangan kemerdekaan bangsa dan keadilan, terancam kehilangan pekerjaan dan sumber pencariannya. Bahkan bisa masuk penjara atau dibuang ke Boven Digul (Papua). Di zaman pendudukan militer Jepang, jangan coba-coba untuk jadi wartawan yang bebas dan punya cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial. Pada periode kekuasaan asing di Indonesia, tak ada kebebasan pers, tak ada kebebasan menulis. Wartawan menulis hanya atas persetujuan dan pengendalian penguasa. Wartawan kawakan dan senior Rosihan Anwar, yang pernah hidup sebagai wartawan pada zaman pendudukan Jepang, bisa cerita banyak tentang hal itu. Periode rezim ORBA, adalah saat ketika hak-hak azasi manusia, hak-hak demokrasi dicabut samasekali dari kehidupan masyarakat. Seluruh media pers diawasi dikontrol oleh penguasa militer. 'Pelanggaran' yang sekecil-kecilnyapun terhadap politik dan beleid penguasa akan berakhir dengan pemberangusan. Syukur-syukur jika hanya surat kabarnya yang ditutup, dan para wartawannya menjadi penganggur tanpa batas waktu. Lebih celaka lagi, dan ini sering terjadi, sang wartawanpun masuk penjara. Bahkan ada yang 'hilang' tak tahu rimbanya. Sesudah Suharto digulingkan dan Reformasi dan Demokratisasi menjadi program umum gerakan, pada tempatnya kebebasan pers mulai diberlakukan. Tindakan pimpinan 'Harian Kompas' dengan memecat jurnalis senior Bambang Wirosudo, adalah suatu
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- SAMPAI DIMANA HAM DIBERLAKUKAN DI INDONESIA?
Kolom IBRAHIM ISA - 08 Desember 2006 SAMPAI DIMANA HAM DIBERLAKUKAN DI INDONESIA? 'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS' Limapuluh delapan tahun yang lalu, dalam sidangnya di 'Palais de Chaillot', Paris, pada tanggal 10 Desember 1948, Majlis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) mensahkan suatu DEKLARASI UNIVERSAL. Sebuah DEKLARASI yang besejarah dan membikin sejarah. Deklarasi tsb adalah 'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS', 'Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia'. Ny. Eleanore Roosevelt, istri mantan Presiden Amerika Serikat, Franklin D.Roosevelt, yang ikut membuat rancangan dokumen bersejarah itu, menamakan dokumen UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS, adalah suatu MAGNA CARTA Internasional, Magna Carta abad ke-20. Ketika itu, tak satupun anggota PBB yang menentangnya. Namun, aneh dan sayangnya, ada 8 negara anggota PBB yang tidak memberikan suara, alias blanco. Lainnya, 48 negeri semuanya Acc. Yang memberikan suara blanco itu adalah: Saudi Arabia dan 7 negeri-negeri dari blok Sovyet. Kalau difikir-fikir sekarang, bagaimana bisa terjadi, negara seperti Saudi Arabia (negara yang berdasarkan agama) suaranya bisa sama dengan negara-negara blok Sovyet (negara-negara sosialis/Marxis yang memperjuangkan keadilan sosial). Namun, kenyataannya demikianlah, itu sejarah. Saudi Arabia dan blok Sovyet ada di satu barisan yang memberikan suara blanco terhadap UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS (UNO). Apakah itu suatu kebetulan saja?! Besar kemungkinan karena kedua macam/sistim kenegaraan tsb memberlakukan sistim pemerintahan yang totaliter. Yang satu diktatur religius yang satu macam lagi diktatur ideologis. Mengenai hal ini masih bisa panjang lebar pendiskusiannya. *** Menggarisbawahi arti penting DEKLARASI, MU-PBB berseru kepada semua negeri anggota PBB untuk menyebarluaskan teks DEKLARASI tsb, agar dokumen itu dibaca dan dipelajari. Supaya isinya dijelaskan terutama di sekolah-sekolah dan dipelbagai lembaga pendidikan lainnya, tanpa pembedaan yang didasarkan atas status politik negeri-negeri maupun wilayah. Titik berat dan sasaran utama pendidikan adalah generasi muda. Agar generasi mendatang memahami, mengkhayati dan memperjuangkan HAM di mana prinsip itu belum diberlakukan. *** Bisa dikatakan dengan pasti bahwa salah satu cara yang positif dan efektif untuk memperingati tanggal 10 Desember 1948, lahirnya UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS <10 Desember 1948>, adalah dengan memeriksa situasi kehidupan hukum di negara Republik Indonesia. Pertanyaan berikut ini harus dengan serius mendapat jawaban: Apakah negara RI sudah bisa dikatakan suatu negara hukum dalam arti kata yang sesunguuhnya? Sampai di mana prinsip-prinsip HAM dan demokrasi seperti yang dinyatakan dalam UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS itu, telah diberlakukan/dipraktekkan oleh lembaga-lemaga yudikatif, legeslatif dan ekekutif di Indonesia? Seberapa serius dan seberapa berat pelanggaran hukum yang sudah berlangsung di negeri ini, dimana pelakunya adalah penguasa itu sendiri. Dimana korbannya adalah warganegara sendiri yang tak bersalah? Sampai dimana pula pelanggaran-pelanggaran HAM itu sudah diakhiri dan diatasi. Barangkali hanya dengan cara memeriksa keadaan negara kita sendiri, akan ada artinya setiap kali kita memperingati HARI UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS. Dengan demikian diharapkan akan memberikan kesadaran dan dorongan baru terhadap usaha, kegiatan dan perjuangan riil untuk memberlakukan HAM di negeri kita. Baik itu di kalangan penguasa dan pemerintah, maupun di kalangan masyarakat, di kalangan LSM dan ornop yang menjadikan pemberlakuan HAM dan prinsip-prinsip demokrasi sebagai misi dan visinya. Kita tahu bahwa pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, --- dimulai, segera sesudah terjadinya peristiwa G30S, 1 Oktober 1965. Peristiwa itu terkenal di mancanegara, , sebagai 'Peristiwa Pembantaian Masal 1965' terhadap ratusan ribu bahkan dikatakan sampai 3 juta orang yang tidak bersalah (angka tiga juta korban tsb diungkapkan oleh Jendral Sarwo Edhie dari Angkatan Darat, sebelum ia meninggal dunia). Pelanggaran HAM terbesar tsb adalah rekayasa dan tanggungjawab langsung kelompok militer di bawah Jendral Suharto dengan dukungan sementara parpol dan kekuatan religius dalam masyarakat kita. Mengenai keterlibatan kekuatan religius dalam kampanye pembantaian itu, telah dengan jujur diungkapkan oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika beliau sebagai tokoh pimpinan NU minta maaf atas keterlibatan pemuda-pemuda NU (Ansor) dalam pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau diduga PKI di Jawa Timur. * * * Mengenai pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan oleh penguasa, oleh pemerintah ORBA, banyak yang bisa dikemukakan dan dianalisis. Ini suatu tantangan terhadap pemerintah untuk mengkoreksi kesalahan-kesalahan masa lampau di bidang HAM. Sudah ada janji, ada usa
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA ---- SILATURAKHMI DI KBRI - DEN HAAG
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 01 Desember 2006 SILATURAKHMI DI KBRI-DEN HAAG Rabu malam, tanggal 29 November y.l, KBRI-Den Haag ramai dikunjungi sebagian masyarakat Indonesia di Belanda. Aku taksir paling tidak ada dua-ratusan. Mereka datang menyambut dan bersilaturakhmi dengan Dubes Baru, Junus Effendi Habibie. Betul, bukan saja namanya yang sama dengan mantan Presiden Habibie. Beliau itu adalah adik kandung mantan Presiden Habibie.Ini dinyatakannya sendiri malam itu. Melihat penuh sesaknya KBRI, Dubes Fanny Habibie tampak gembira dan bangga, mendapat sambutan demikian hangatnya. Semua datang atas undangan KBRI untuk acara BERSILATURAKHMI dengan Dubes RI yang baru, Junus Fanny Habibie. *** Kami bertiga, putri kami Pratiwi dan 'vriend'-nya, serta istriku Murti, hadir di situ. Habibie mengucapkan sambutannya dalam tiga bahasa silih berganti, Indonesia Belanda dan Inggris, agar hadirin yang datang bisa mengerti. Maklum yang datang ada yang hanya mengerti bahasa Indonesia, ada yang hanya mengerti bahasa Belanda dan ada yang mengerti baik bahasa Belanda maupun bahasa Inggris. Tak lama setelah menikmati santapan hidangan KBRI, yang kwantitasnya jauh di bawah jumlah hadirin itu, kami siap-siap pulang.Tidak sampai mengikuti acara ramah tamah. Setelah kesibukan acara makan akan diteruskan dengan acara gembira ria dengan musik hidup yang sudah siap. Bersama-sama istri, aku menghampiri Dubes Habibie ketika beliau kebetulan belum mulai makan siap-sia hendak makan. Untuk Dubes, Bu Duta dan sejumlah tertentu hadirin disiapkan tersendiri di salah satu sisi ruangan yang diberi semacam sekat. Aku perlukan bersalaman memperkenalkan diri dengan beliau dan Bu Duta. Ketika kami berdjabat tangan, aku bilang: Saya Ibrahim Isa, datang kesini atas undangan KBRI. Terima kasih atas undangan; kapan-kapan saya ingin bertemu sendiri dengan Pak Dubes. Dalam pidatonya, Dubes ada mengatakan dalam bahasa Inggris, "Do not hasitate to contact me!', 'Jangan ragu-ragu menghubungi saya'. Aku ingat ucapan beliau itu. Mendengar bahwa saya bermaksud berbincang-bincang dengannya, beliau senyum saja. Barangkali beliau tidak menduga akan ada tanggapan kontan atas tawarannya 'Do not hasitate to contact me'. Aku rasa berhubungan dengan Pak Dubes perlu dan penting, betapapun beliau mewakili sebuah pemerintah pasca-Suharto yang, seperti dinyatakan, punya program Reformasi, Demokratisasi. HAM dan pemberantasan korupsi. Sesudah Suharto jatuh, aku menjalin hubungan dengan KBRI, khususnya dengan Dubes Abdul Irsan dan sempat berkenalan baik dengannya. Pada periode rezim Orba aku tak pernah ke KBRI. Tak bisa lain! Karena rezim Orba sesungguhnya tidak mewakili kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia. Tegaknya Orba adalah atas dasar kekerasan militer, penggulingan Presiden Sukarno dan rekayasa di bidang hukum dan undang-undang. Bagiku rezim Orba samasekali tak punya legitimitas dan keabsahan. Dalam perkembangan selanjutnya rezim otoriter dan korup Jendral Suharto telah digulung oleh arus dan gelombang besar gerakan Reformasi dan Demokratisasi, pada bulan Mei 1998. DUBES MOH. JUSUF YANG DIGANTIKAN FANNY HABIBIE. Dutabesar yang digantikan oleh Junus Fanny Habibie, adalah Mohamad Jusuf. Aku kenal baik dengan. Sering berktukar fikiran dengan Dubes Moh. Jusuf. Orangnya ramah, terbuka, menyenangkan. Namun, bagiku, yang terpenting ialah: --- Beliau menunjukkan kepedulian sungguh-sungguh terhadap keadaan orang-orang Indonesia yang paspornya dicabut sewenang-wenang oleh rezim Orba. Beliau ada perhatian terhadap orang-orang yang HAM-nya dilanggar oleh Orba. Pada masa akhir tugas Dubes Moh. Jusuf di Belanda, menjelang keberangkatan beliau kembali ke Indonesia, atas undangan beliau, 'kami' sempat berdialog dalam suatu pertemuan bersama di Wisma Nusantara, Wassenaar. Yang aku maksudkan 'kami', ialah 'kami-kami', 'orang-orang yang terhalang pulang'. 'Terhalang pulang' disebabkan oleh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Orba, yang dengan sewenang-wenang telah mencabut parpor orang-orang Indonesia yang ketika itu sedang berada di luarnegeri. Mengapa mereka dicabut paspornya? Macam-macam penyebabnya. Tetapi penyebab utama dan hakiki, ialah karena 'kami-kami' ini tetap setia pada Presiden Republik Indonesia Ir Sukarno; dengan tegas menolak mengutuk Presiden Sukarno, yang ketika itu dituduh kaum militer yang sudah berkuasa di Jakarta dibawah Jendral Suharto, -- terlibat dengan peristiwa G30S, bahkan difitnah sebagai 'dalang G30S', dsb. Dubes Moh. Jusuf, yang menyelenggarakan 'acara perpisahan' pagi itu, minta kepada 'kami-kami' ini, untuk tanpa sungkan-sungkan menyampaikan isi hati kami, terhadap masalah yang bersangkutan dengan pencabutan paspor tsb. Pada penutupan pertemuan itu beliau berjanji akan menyampaikan dan melakukan apa yan
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON INDONESIA'S REGIONAL ELECTIONS
IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON INDONESIA'S REGIONAL ELECTIONS Tuesday 28 November, 2006 -- HOUSE DIVIDED ON HOW TO ELECT GOVERNOR RATU ATUT TAKES EARLY LEAD IN BANTEN YORGYAKARTANS FLOCK TO POLLING STATIONS TO CHOOSE A NEW MAYOR
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - Hasil Pemilihan Anggota De Tweede Kamer - Belanda:
Kolom IBRAHIM ISA Minggu, 26 November 2006 --- Hasil Pemilihan Anggota De Tweede Kamer - Belanda: Ada yang bilang Kiri Menang, Kanan merosot! Tapi -- Muncul EKSTRIM-KANAN Baru!! Rabu, 22 November y.l Belanda menyelenggarakan pemilihan umum 2006 untuk De Tweede Kamer, yaitu DPR Belanda. Ini berlangsung di bawah pemerintahan Perdana Menteri Jan Peter Balkenende, pemimpin CDA , sebuah partai Kristen Demokrat. Banyak pendapat menilai bahwa, pemerintah Belkenende menempuh politik ekonomi-liberal. Suatu kebijakan ekonomi yang mengutamakan 'pertumbuhan ekonomi' , 'pengurangan pajak (perusahaan) dan pajak orang-orang kaya . Kebijakan ini yang dikatakan demi 'pertumbuhan ekonomi' agar Nederland di luarnegeri mampu bersaing dengan negeri-negeri lain, dikritik sebagai politik-ekonomi yang tidak sosial dan tidak manusiawi. Dari kalangan sos-dem dan progresif serta Kiri lainnya, kebijakan pemerintah Balkenende, sebagai suatu kebijakan yang lebih banyak menguntungkan pengusaha besar dan orang-orang kaya, --- ketimbang mengatasi kemiskinan (yang menurut catatan jumlahnya bertambah) dan memperkecil jurang antara kaya dan miskin di Belanda. Supaya pembaca tahu, -- di Belanda terdapat golongan orang-orang yang disebut "daklozen", yaitu orang-orang yang tidak punya rumah. Tidurnya dimana-mana saja, atau 'kraken'. Secara ilegal mendiami gedung-gedung atau rumah-rumah yang kebetulan sedang kosong. Juga tidak sedikit orang-orang Belanda yang dari luar kelihatannya 'makmur', hidupnya 'enak', 'punya rumah', 'punya mobil' , dsb , tapi sesungguhnya utangya numpuk. Macam-macam utangnya. Dan banyak pula yang samasekali tidak mungkin melunasi utangnya. Pemerintah Balkenende yang menempuh kebijakan ekonomi-liberal dan politik migrasi yang konservatif, yang berusaha keras hendak menahan arus migran dari luar banyak dikritik sebagai politik 'menutup gerbang perbatasan Nederland', serta menolak memberikan izin tinggal kepada ribuan migran, terutama dari negeri-negeri sedang berkembang. Padahal mereka sudah bertahuntahun tinggal di Belanda, bekerja dan membayar pajak, tetapi telah ditolak permintaan suaka atau izin tinggal di Belanda. Selanjutnya akan diusir keluar dari negeri Belanda, dikembalikan ke negeri asal. Politik migrasi pemerintah Balkenende ini antara lain yang diangagap a-sosial dan tidak manusiawi. Padahal, demi jalannya pertumbuhan ekonomi, politik tradisionil Nederland adalah menyambut migran dari luar, karena nyatanya Belanda memang memerlukan tenaga kerja, terutama buruh kasar, seperti di bidang bangunan, pertanian dan kebersihan kota, yang orang-orang Belanda (bulé) banyak yang sudah tidak mau mengerjakannya. Ketakutan akan masuknya semakin banyak migran yang beragama Islam, adalah salah satu sebab penting, Menteri Verdonk memperketat masuknya migran baru. Verdonk baru-baru ini merencanakan suatu u.u yang melarang dipakainya 'burkah' dimuka umum di Belanda. Kaum ekstrim Kanan Baru, seperti partainya Gert Wilders, tanpa tedeng aling-aling menyerukan stop terhadap yang dikatakannya 'Islamisasi Nederland'. 'Belanda sudah kebanyakan mesjid', katanya. 'Stop itu'. 'Kita punya kultur kita sendiri, yang kita hargai', katanya. Maka tidaklah kebetulan bahwa kabinet koalisi yang dimimpin Balkenende dalam beberapa tahun belakangan ini, adalah suatu koalisi dari kekuatan politikyang intinya adalah Tengah-Kanan, CDA dengan VVD (sebuah partai Liberal Demorat). Suatu pemerintahan yang banyak dianggap sebagai suatu pemerintahan yang 'a -sosial' dan tidak manusiawi, tidak solider terhadap golongan lemah. * * * MEKANISME DEMOKRASI BELANDA: Sistim kenegaraan Belanda, yaitu sistim demokrasi parlementer. Diberlakukan melalui sistim perwakilan Dua Kamar, atau dua dewan perwakilan. Yang satu, adalah Eerste Kamer, terdiri dari 75 Senator yang dipilih 4 tahun sekali oleh Provinsi. Satu lagi, adalah De Tweede Kamer (DPR), yang dipilih untuk masa jabatan 4 tahun sekali. Dua Kamer ini merupakan suatu lembaga dewan yang disebut Staten Generaal. Suatu lembaga kekuasaan tertinggi yang membuat undang-undang. Ketuanya adalah Ratu Beatrix. Itulah bentuk negara monarki-konstitusional Belanda. Posisi Sri Ratu sesungguhnya lebih banyak bersifat simbolis. Namun, pada masa penting sesudah berlangsungnya pemilu untuk parlemen, seperti dalam situasi sperti sekarang ini, ketika akan dibentuk pemerintahan baru atas dasar hasil pemilu yang baru dilangsungkan, maka diwaktu inilah Sri Ratu atau Raja, memainkan peranannya. Para pemimpin parpol yang terpilih, diundang oleh Sri Ratu, untuk didengar pendapat/advisnya, mengenai pemerintah partai-partai mana yang mungkin dibentuk sesudah berlangsungnya pemilu. Sebelumnya Sri Ratu terlebih dulu mengundang para 'Penasihat-penasihatnya', yaitu ketua-
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- QUO VADIS REKONSILIASI NASIONAL?
Kolom IBRAHIM ISA Senin, 20 November 2006 QUO VADIS REKONSILIASI NASIONAL? Seharusnya Dimulai dng Merehabilitasi Bung Karno Quo Vadis Rekonsiliasi Nasional? Persoalan ini patut diulang-ulang, harus terus-terusan dipertanyakan dan difikirkan berkali-kali dengan serius. Sejenakpun jangan melupakannya. Ini, kalau benar-benar ada semangat untuk berbuat sesuatu demi kesatuan dan persatuan bangsa dan tanah air, demi pembangunan nasion Indonesia di tengah-tengah tantangan-tantangan yang baru dunia sejak berakhirnya Perang Dingin. Kelangsungan hidup bangsa dan negara ini, hanya bisa terjamin bila kesatuan dan persatuan bangsa diperkokoh terus dan semakin kuat adanya. Disayangkan, kebanyakan politisi kita, pemimpin-pemimpin partai, pengelola media termasuk kaum cerdik pandai, yang duduk di pelbgai lembaga kenegaraan, fikirannya jauh ketinggalan di belakang realita kehidupan yang nyata. Mereka masih asyik berfikir menurut pola situasi Perang Dingin. Oleh karena itu, mereka tidak mampu melihat perubahan situasi dunia yang berlangsung begitu cepat. Mereka tidak menyadari, bahwa tantangan-tangan baru berupa globalisasi mondial, merasuknya pengaruh dominan neo-liberalisme serta bertambahnya konflik-konflik kekerasan secara internasional maupun nasional, yang berlatar belakang penyalah-gunaan keyakinan agama. Mereka tidak menyadari bahwa, tanpa melakukan pekerjaan yang programatis dalam rangka pembangunan nasion Indonesia, tanpa terus menerus membina semangat dan karakter nasional atas dasar falsafah negara kita, Pancasila , maka kita tidak akan sanggup menghadapi, apalagi mengalahkan ancaman separatisme yang masih merupakan bahaya kongkrit bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sesungguhnya, apakah yang sudah dilakukan
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA FOCUS - ON SBY >< KALLA RIFT, Monday, November 06, 2006.
IBRAHIM ISA FOCUS - ON SBY >< KALLA RIFT, Monday, November 06, 2006. - *SBY KALLA RIFT BURST INTO OPEN* *RIFT? WHAT RIFT? * *GOLKAR WON'T WITHDRAW SUPPORT * *SBY KALLA RIFT BURST INTO OPEN* *Tony Hotland*, The Jakarta Post, Vice President Jusuf Kalla made sure on Friday that no one, including President Susilo Bambang Yudhoyono, could defy him without risking a political scandal.If both men have managed to keep previous disagreements under the rug, the recent furor over Yudhoyono's creation of a new working unit to monitor his programs may be an indication that the two have not been getting along well. Kalla said Friday he had convinced Yudhoyono that the new working unit was not necessary. "I and the President agree that the Cabinet already has a built-in system of coordination. I will coordinate the implementation of programs, the details of them, and the ministers will do the rest. There's no need to have more people doing that," he said after opening a Golkar Party convention. Yudhoyono established his working unit less than two months ago to monitor, control and accelerate his programs. The unit is concentrating on state-owned enterprises, small and medium-sized firms, law enforcement, increasing investment and improving the bureaucracy. The first sign of scandal was when Yudhoyono floated the idea earlier this year. Kalla was on a trip to Japan. When journalists asked him about the plan, he knew nothing about it. In the early days, both leaders agreed that Kalla was to focus more on economic issues and Yudhoyono on security and political matters. Some political observers see the creation of the team as an effort by Yudhoyono to encroach on Kalla's domain. When the team's head, Marsillam Simanjuntak, joined a Cabinet meeting for the first time last week, Kalla also happened to be out of town. The scandal grew as analysts concluded the new unit, which works under the President's direct supervision, only created more layers of bureaucracy and overlapping assignments. Worse, the decree that established the team said the President was assisted by the Vice President in creating it, which was not the case. Golkar has warned it could withdraw its support from Yudhoyono, saying he had disrespected their chairman and that the people chosen for the effort were not of good quality. Marsillam is not a Golkar member, while the unit's first deputy, Lt. Gen. (ret) Agus Widjojo, is Yudhoyono's longtime friend. Kalla said the decree would not be revoked, but Yudhoyono would review it. "This unit will handle the technical issues. We have enough built-in coordination in the Cabinet," he said. The review was promised when Kalla met with Yudhoyono at the presidential office, after which the two men attended Friday prayers together for the first time in nearly two years at the State Palace's Baiturrahman mosque. Meanwhile, presidential spokesman Andi Mallarangeng said after Yudhoyono and Kalla met that the two men were still on the same page. "The meeting wasn't something extraordinary. Things were well-understood and well-discussed," he said. The rivalry between the two leaders is not new, and is linked to their different styles of leadership and to competition for the public's heart. When Yudhoyono issued an instruction in 2005 that included him in the selection of directors for state enterprises, it was also seen as an effort to reduce Kalla's power in the economic field. A rumored rift also sparked media headlines last year when Yudhoyono, on a trip to Washington, insisted on using costly video conferencing to lead Cabinet meetings even after delegating the task to Kalla. The vice president was then absent from those meetings, instead attending Golkar functions or holding his own Cabinet meeting --- *RIFT? WHAT RIFT? * *BEHIND SBY-JK'S LATEST QUARREL RIFT? * *Meidyatama Suryodiningrat*, The Jakarta Post, Jakarta, 06.11.06It was a combination that simmered on the fringes since day one.No two individuals more unlike the other. More a union of political lust than opposites attract. Foreboding predictions were cast and the latest, very public, controversy on the presidential Working Unit on the Management of Programs and Reforms (UPK3R) is regarded by some as a sign the delicate union between President Susilo Bambang Yudhoyono and Vice President Jusuf Kalla is coming apart at the seams. But are things truly unraveling simply because of a relatively mundane body -- most people are skeptical of its effectiveness anyway -- or is it a political miscalculation and opportunism that is inflaming the situation? As president, Yudhoyono has the prerogative to introduce such a body. The
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - MANDELA, BETAPA LAPANG DADAMU!
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 03 November 2006 MANDELA, BETAPA LAPANG DADAMU! Dewasa ini di media Indonesia, kata rekonsiliasi, atau rekonsiliasi-nasional, sesekali masih terbaca. Sering terlupakan samasekali. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum lama dalam rangka 'mengajak pulang' mereka-mereka yang paspornya dengan sewenang-wenang dicabut Orba atas dasar fitnah dan tuduhan terlibat atau berindikasi terlibat dengan G30S. Para warganegara Indonesia yang patuh hukum, setia kepada Presiden Sukarno dan cinta tanah air, yang paspornya dicabut, menjadilah orang-orang Indonesia yang 'stateless', yang berpuluh-puluh tahun kelayaban diluarnegeri. Seperti manusia-manusia yang 'tak bermuka' dan tak beridentitas layaknya. Tampillah SBY 'mengulurkan tangannya'. Beliau menyatakan ajakannya itu atas dasar rasa perikemanusiaan. Juga dalam rangka 'rekonsiliasi'. Demikian SBY. Di media internasional, bila orang menyinggung tentang masalah REKONSLIASI, maka biasanya mengkaitkannya dengan nama mantan Presiden Afrika Selatan Merdeka, Nelson M A N D E L A . Adalah Mandela yang bersama teman-teman seperjuang anti-apartheid Uskup Desmond Tutu, dll, --- selain gigih dalam perjuangan melawan rezim Apartheid Afrika Selatan, --- juga konsisten memperjuangkan rekonsiliasi. Rekonsiliasi antara bangsa Afrika Selatan yang Hitam, yaitu penduduk aslinya, dan bangsa pendatang berkulit putih dan berwarna lainnya, terutama bangsa pendatang yang menyebut diri bangsa 'AFRIKANER'. * * * Selasa yang lalu, P.W Botha, mantan Presiden Afrika Selatan(1978-1989)rezim Apartheid, yang dikenal luas sebagai 'The Great Crocodile' telah meninggal dunia (90). Mantan Presiden P.W Botha terkenal sebagai tokoh politik Afrika Selatan, penganut faham 'Apartheid' yang kejam dan ngotot berkepala batu. Di bawah rezim Botha tak terbilang korban yang jatuh di kalangan rakyat Hitam Afrika Selatan yang berjuang melawan Apartheid. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dikepalai oleh Uskup Tutu, menyimpulkan bahwa P.W. Botha telah bersalah melakukan pelanggaran berat terhadap HAM dengan beleidnya a.l. merekayasa kampanye pembunuhan terhadap orang-orang Hitam Afrika Selatan. Botha juga adalah orangnya yang menolak keras tuntutan kaum demokrat dan pencinta HAM Afrika Selatan dan dunia internasional untuk membebaskan Nelson Mandela yang ketika itu sedang meringkuk di panjara terpencil di Pulau Roben. * * * Yang menggerakkan aku menulis kolom ini, berjudul MANDELA BETAPA LAPANG DADAMU, -- ialah pernyataan Mandela sehubungan dengan matinya Botha. Di satu fihak, kata Mandela: 'Bagi banyak orang Mr Botha akan tetap merupakan lambang, simbol dari Apartheid, namun, kita juga mengenangnya berhubung dengan langkah-langkah yang diambilnya untuk merintis jalan ke penyelesaian secara perundingan damai negeri kita'. Pernyataan Mandela ini benar-benar merupakan menifestasi dan pencerminan dari jiwa besar seorang pejuang revolusioner kemerdekaan Afrika Selatan. Mandela menunjukkan bahwa beliau adalah seorang negarawan yang jujur melihat masa lampau, realis mengakui kenyataan hidup masa kini, dan dengan pandangan visionair melihat jauh ke depan, ke masa mendatang Afrika Selatan yang berbangsa dan beretnik majmuk. Mandela menunjukkan betapa lapang dadanya. Siapa yang tidak tahu dan tidak kenal kekejaman Botha. Berapa saja korban yang jatuh di kalangan rakyat dan anggota ANC (Afrika National Congress organisasi/partai perjuangan kemerdekaan Afrika Selatan). Mandela juga konsisten, konsisten dalam perjuangan kemerdekaan dan konsisten dalam memperjuangkan dan memberlakukan prinsip rekonsiliasi nasional atas dasar kebenaran dan keadilan. Tapi Mandela juga punya kemampuan untuk bisa mempertimbangkan, betapapun besar segi-segi negatif Botha, betapapun banyak korban pada rakyat Afrika Selatan yang disebabkan politik Botha, khususnya pada Orang Hitam --- Pada akhirnya, menurut Mandela, pada Botha tokh ada juga segi lainnya. Biar kecil sekalipun, Botha pernah mengambil langkah, a.l.: Menemui dan mengadakan pembicaraan dengan Mandela, yang ketika itu masih berstatus sebagai orang yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena peranannya dalam perjuangan kebebasan rakyat Afrika Selatan. Mandela bisa bicara demikian mengenai Botha, dalam situasi Afrika Selatan sudah bebas merdeka dari rezim Apartheid. Sesudah ANC berhasil merebut kemenangan dalam pemilihan umum yang menobatkan Mandela menjadi Presiden pertama Afrika Selatan Merdeka. Mandela bisa tebuka menilai Botha apa adanya, sesudah prinsip Rekonsiliasi Nasional atas dasar Kebenaran dan Keadilan diterima dan ditegakkan sebagai politik besar negara. Juga sesudah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dikepalai oleh pemenang Hadiah Nobel untuk Perdamaian Uskup Desmond Tutu, menyimpulkan bahwa Botha telah b e r s a l a h melakukan pelanggran HAM berat merekayasa kampanye pembunuhan terhadap bangsa Hitam Afr
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA 'BERBAGI CERITA' - DIINJAK-INJAKNYA KEADILAN Di INDONESIA
IBRAHIM ISA 'BERBAGI CERITA' Kemis, 02 November 2006 DIINJAK-INJAKNYA KEADILAN Di INDONESIA Sahabat baikku, seorang sarjana ilmu sosial berbangsa Belanda, memberikan tanggapan terhadap tulisan yang kusiarkan di dalam rubrik: <'Ibrahim Isa's Selected Indonesian News and Views', 31 Oktober 2006>. Dibawah ini akan kujelaskan apa tanggapan sahabat itu. Fokus dari rubrik tsb kali ini adalah masalah peradilan dan situasi hukum di negeri Indonesia tercinta. Kongkritnya sekitar kasus Munir, dibebaskannya Tommy Suharto dan situasi diinjak-injaknya keadilan dan peradilan di Indonesia. * * * Kasus M U N I R Sahabatku itu heran terhadap sikap masyarakat di Indonesia , yang dianggapnya pasif, mengenai kasus Munir, yang sudah begitu jauh diusung sampai-sampai ke masyarakat mancanegara di Amerika, di mana a.l ikut ambil bagian Suciwati, isteri Munir. Malah sudah sampai ke rencana mengusahakan mengirimkan 'Special Raprorteur' PBB ke Indonesia. Namun di kalangan masyarakat Indonesia tampaknya tidak begitu bergema. Kasus Munir itu kasus lama. Dua tahun lamanya sejak Munir dibunuh oleh racun algojo. Sudah begitu lama perkara tertuduh Pollycarpus diproses, akhirnya Mahkamah Agung memutuskan utuk membebaskan Pollycarpus. Membikian siapa saja yang masih memiliki rasa keadilan menjadi tercengang tak habis-habisnya. Bukan saja kita sebagai bangsa merasa tidak puas, merasa dikhianati oleh lembaga peradilan Indonesia, tetapi juga menjadi marah, marah sekali terhadap kesewenang-wenangan Mahkamah Agung memutuskan pembebasan tertuduh Pollycarpus. Itulah a.l sebabnya perjuangan kasus Munir, di arena internasional digalakkan. Khususnya di arena PBB, dengan a.l usaha mendatangkan seorang Pelapor Khusus PBB untuk melacak kembali kasus pembunuhan terhadap pejuang HAM terkemuka, Munir. Kasus Munir menunjukkan benarnya analisa kita dan kesan sahabatku Belanda tadi, yang menyatakan bahwa tentara dan polisi masih menguasai kehidupan politik dan peradilan di Indonesia. * * * DIBEBASKANNYA TOMMY SUHARTO Begitu bertubi-tubi dunia peradilan kita dilanda wabah kepalsuan, kesewenang-wenangan dan ketidakbenaran fihak penguasa. Masih ramai kasus Pollycarpus dibicarakan, tambah lagi kasus dibebaskannya Tommy Suharto. Menurut berita, tidak kurang dari Wapres Jusuf Kalla secara terbuka memberikan restu dan dukungan moril terhadap dibebaskannya Tommy Suharto. Sesungguhnya sikap Jusuf Kalla itu tidak aneh. Juga tidak begitu mengherankan mengingat Jusuf Kalla, yang Wapres itu, adalah Ketua Umum Partai Golkar. Dan Golkar adalah sebuah parpol yang dibangun o l e h , d a r i dan u n t u k mengokohkan dan melestarikan rezim Orba yang dikepalai oleh Jendral Suharto, ayah kandung Tommy. Salah seorang pimpinan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI), Johnson Panjaitan, tepat sekali mengatakan bahwa adalah keliru menganggap pembebasan Tommy Suharto sebagai sesuatu yang otomatis . Pembebasan bersyarat samasekali tidak otomatis. Hal itu harus dilakukan melalui proses tertentu. Masalahnya ialah bahwa negeri ini punya presiden, tetapi tidak memiliki seorang pemimpin dalam memberlakukan hukum. Yudhoyono punya peluang untuk mengontrol para pejabat kementrian kehakimannya tetapi beliau tidak melakukan hal itu. Demikian Johson Panjaitan. Menurut sahabatku, kasus Munir dimana keadilan diplintir sejadi-jadinya, dan pembunuh Munir diperlakukan dengan tangan bersarung sutra, adalah masalah yang teramat serius. Dari situ menjadi bertambah jelas bahwa BIN dan TNI masih besar peranannya dalam mengendalikan kekuasaan dan politik di Indonesia, tidak peduli siapapun nama orangnya. Nyatanya ialah, bahwa masyarakat seolah-olah 'ayem-ayem' saja. Padahal apa yang terjadi dengan Munir, jelas adalah 'pembunuhan politik'. Tidak beda jauh dengan apa yang dilakukan oleh Tommy yang menjadi dalang pembunuhan terhadap seorang pejabat tinggi Kejaksaan Agung Indonesia yang memperkarakan kasusnya. * * * PENCABUTAN PASPOR SEWENANG-SEWENANG OLEH ORBA Berkenaan dengan 'kasus pencabutan paspor', sahabat Belanda yang sama itu, dalam tanggapannya menyatakan, bahwa, teman-teman Indonesia yang dicabut paspornya, mungkin lebih baik bersikap menerima paspor yang mau dibagi-bagikan Menteri Awaluddin. Karena, katanya, paling tidak dengan memiliki paspor Indonesia formalnya kewarganegaraan mereka akan menjadi pulih. Tambahan lagi yang bersangkutan bisa dengan leluasa pulang ke Indonesia, katanya. Dengan catatan tebal, bahwa perjuangan untuk rehabilitasi hak-hak kewarganegaraan dan politik diteruskan menurut jadwal perjuangan untuk Demokrasi dan HAM di Indonesia. Jelas, sahabatku itu orang yang berkemauan tulus, punya 'good will' dan besar simpatinya dengan nasib kaum eksil Indonesia. Namun, tampaknya belum memahami bahwa bagi para eksil, masalah p u l a n g sesungguhnya sudah t i d a k r e l e v a n lagi. Masalah paspor idem-dito. Mereka-mereka yang paspornya dicabut Orba, pada umum
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S SELECTED INDONESIAN - NEWS AND VIEWS , 31 October 2006
IBRAHIM ISA'S SELECTED INDONESIAN - NEWS AND VIEWS , 31 October 2006 Government Should Invite UN Special Reporter SUHARTO'S YOUNGER SON TOMMY RELEASED INDONESIAN JUSTICE UNDER SPOTLIGHT - Government Should Invite UN Special Reporter Tuesday, 31 October, 2006 | 17:26 WIB TEMPO Interactive, Jakarta: The government is assured that the international investigation plan on the Munir case will not affect Indonesia's position at the Human Rights Council of the United Nations. "Especially in the direction of an embargo," said Desra Percaya, spokesperson of the Department of Foreign Affairs, yesterday (10/30). According to Desra, his party heard the arrival plan of Philips Alston, the UN special reporter for extrajudicial executions, to Indonesia. Nevertheless, said Desra, the coming of the reporter is commonly based on the government's invitation. "A special reporter cannot come on his own without any invitation from the government, said Desra. Therefore, according to Desra, Australian Philips Alston arrival should be based on the government's invitation. It is not the first time in history, said Desra, that Indonesia has been visited by a UN special reporter. He cited several people such as Param Cumaras Warni, who observed judicial matters in Indonesia, and Dr Yakin Erturk, who monitored matters concerning violence to women. Last week, Usman Hamid, the coordinator of Kontras, explained that the UN special reporter for extrajudicial executions Philips Alston was ready to be involved in the investigation of the Munir case. Alston had planned to send a letter of appeal to the Indonesian government concerning the issue in November of this year. According to Usman, the reporter will benefit the government. The reason for this is that the special reporter will recommend the government concerning handling of the Munir case. As regards matters on international investigation, according to Usman, the UN special commentator can join the existing police investigation team or else form a separate team. Indonesian Police Headquarters stated that it is not yet certain of receiving UN assistance that will involve in investigating Munir case. "We can accept assistance if it benefits those involved. But, if it does not and does not support the conducive situation in the country, we will surely reject it," said Indonesian Police spokesperson Chief Commissioner Bambang Kuncoko yesterday (10/30). So far, said Bambang, the Indonesian Police is yet to accept an official offer from any party that will be involved in the international investigation of Munir case. In addition, the Munir case is not yet final. The reason is that there is still another judicial attempt that can be taken in order to solve the problem. President Susilo Bambang Yudhoyono, said Desra, clearly said that the government will re-open the case of Munir's murder. Erwin D, Titis S SUHARTO'S YOUNGER SON TOMMY RELEASED By Ahmad Pathoni JAKARTA (Reuters) - Former Indonesian president Suharto's youngest son was conditionally released from jail on Monday, after serving a third of his original sentence for plotting the murder of a Supreme Court judge. Hutomo "Tommy" Mandala Putra was sentenced to 15 years for paying a hitman to kill the judge and other offences, but that was reduced to 10 years on appeal and further sliced by a series of holiday "remissions". In all he served five years before Monday's release, which drew fire from critics as showing undue leniency to a powerful figure. "He is out. He will serve the remaining time outside the prison," Gusti Tamarjaya, the justice ministry official handling penitentiaries in Jakarta, told reporters. While no longer in jail, Tommy is theoretically still a prisoner, having to meet conditions of probation. Guards switched Tommy from a van to a car after he was blocked by a crowd of reporters and photographers scrambling for comment and footage when he emerged from an East Jakarta jail. Tommy was originally sentenced in 2002, when he had already served about a year while the prosecution was underway. The murdered judge had convicted Tommy in a graft case. Like thousands of other Indonesian prisoners, Tommy has had reductions from the remission programme. The latest six-week cut last week for the Muslim Eid al-Fitr holiday meant he had served two-thirds of his reduced sentence, making him eligible for release. Continued... © Reuters 2006. All Rights Reserved. - INDONESIAN JUSTICE UNDER SPOTLIGHT "In a country upholding the law, we cannot discriminate. After he has served two-thirds of his sentence, automatically he is free with conditions," Vice President Jusuf Kalla told reporters. However, not all prisoners who serve two-thirds of their terms are released, and the country's attorney general had ear
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA ---- SUDAH WAKTUNYA BERSUNGGUH-SUNGGUH
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 27 Oktober 2006 SUDAH WAKTUNYA BERSUNGGUH-SUNGGUH SELESAIKAN KASUS PENCABUTAN PASPOR OLEH ORBA **** * Empat puluh <40> tahun y.l., 1965 1966, sejumlah warganegara Indonesia yang kebetulan sedang menyandang pelbagai tugas pemerintah Indonesia, seperti studi, diplomatik, dan/atau untuk urusan lainnya di luarnegeri, dipanggil oleh KBRI-KBRI. Serta merta paspornya dicabut secara sewenang-wenang. Tanpa proses hukum samasekali. Alasan: penolakan mereka terhadap tuntutan/perintah KBRI untuk mengutuk G30S dan atau menuduh keterlibatan Presiden Sukarno dalam kasus tsb. Jelas, mereka-mereka itu tidak tahu menahu tentang G30S. Di lain fihak mereka dengan tulus dan konsisten mendukung kebijaksanaan pemerintah Presiden Sukarno. Sejumlah warganegara lainnya yang sedang bertugas di luarnegeri mengalami nasib yang sama. Penyebabnya, ialah, karena dukungan dan kepatuhan mereka terhadap Presiden Sukarno. Sejumlah warganegara lainnya paspornya dinyatakan dicabut, disebabkan oleh pandangan dan sikap politik mereka yang bertentangan dengan pandangan dan sikap politik penguasa ketika itu . * * ** Tigapuluh dua tahun kemudian (Mei,1998) - : Ketika Presiden Suharto turun panggung dilanda oleh gerakan Reformasi dan Demokratisasi, Presiden yang sedang digugat rakyat itu menunjuk B.J. Habibie, Wakil Presiden RI, untuk menggantikannya. Demikianlah B.J Habibie menjadi Presiden yang ke-3 Republik Indonesia. Peristiwa B.J. Habibie menjadi Presiden RI itu, terjadi lebih delapan tahun yang lalu. Perubahan pemerintah Indonesia yang berlangsung di bawah menggeloranya gerakan massa rakyat yang luas, yaitugerakan Reformasi dan Demokratisasi, mengumandangkan tuntutan adil untuk diakhirnya rezim militer otoriter Orba. Selanjutnya agar ditegakkan suatu pemerintahan yang melaksanakan demokratisasi dan reformasi, serta mengakhiri KKN. Saat itu sedikit-banyak bangsa ini punya harapan bahwa pemerintah Presiden B.J. Habibie akan membawa perubahan politik. Akan mengambil langkah awal mengakhiri ketidak-adilan dan KKN yang melanda bangsa dan tanah air laju meluncur ke jurang kebangkrutan total. Sebagian besar masyarakat mengambil sikap sbb: Bukankah Habibie orangnya Suharto, dan memang beliau jadi presiden karena ditunjuk oleh Suharto untuk menggantikannya. Jadi bagaimana bisa diharapkan akan ada perubahan. Sebagian lagi dari masyarakat kita mengambil sikap: 'Wait and see' , 'give him the benefit of the doubt' -- . Perubahan yang dituntut dan diharapkan itu memang, ternyata ada yang terlaksana. Antara lain dilepaskannya tahanan politik, diberlakukannya kebebasan pers (meskipun tidak menyeluruh dan belum mendasar), diadakannya pemilu yang relatif jurdil, dan dibolehkannya pembentukan parpol-parpol ; serta diambilnya langkah-langkah permulaan ke arah diakhirinya politik diskriminatif terhadap warganegara asal etnis Tionghoa yang rasialis serta anti-Tiongkok, warisan Orba. Mengenai masalah Tim-Tim, Presiden Habibie akhirnya tunduk pada tuntutan rakyat Timor Timur serta masyarakat internasional untuk diadakannya referendum di Timor Timur yang diduduki oleh Indonesia. Dengan demikian rakyat Timor Timur, yang hidup di bawah pendudukan militer Indonesia, bisa memilih, apakah akan bergabung dengan Indonesia ataukah merdeka sebagai bangsa yang berdaulat. Sesuai hasrat mayoritas mutlak rakyat Timor sendirim, serta harapan yang adil kalangan luas mancanegara, rakyat Timor Timur memilih untuk berdiri sendiri sebagai bangsa dan negeri yang merdeka dan berdaulat. Tercatat bahwa peristiwa-peristiwa politik yang berlangsung di Indonesia tsb, yang dinilai mengandung faktor-faktor perubahan, itu semua berlangsung di bawah pemerintahan Habibie. * * ** Namun, - - - - Ada satu SOAL BESAR yang BELUM DIJAMAH samasekali oleh pemerintahan Presiden Habibie. Yaitu masalah yang menyangkut nasib para korban 'Peristiwa 1965'. Jumlah korban langsung diperkirakan meliputi 3 juta orang yang tewas. Sedangkan keluarga mereka dan keluarga eks-tapol diperkirakan meliputi kurang lebih 20 juta warganegara Indonesia yang samasekali tak bersalah. Mereka telah dipersekusi, disiksa, dipenjarakan dan dibantai, tanpa proses peradilan apapun, tanpa mengetahui apa kesalahan mereka. Mereka adalah warganegara sendiri yang telah diperlakukan kejam dan biadab oleh penguasa. Penguasa telah melakukan pelanggaran HAM yang paling besar dalam sejarah Indonesia. Penguasa itu adalah rezim Orba. Pemerintahan pasca Suharto, sesuai hukum internasional, tidak bisa tidak harus memikul akibat dari pelanggaran HAM Orba tsb. Seperti halnya harus mencicil kembali utang yang meliputi 140 milyar dolar AS yang dibuat oleh Orba. Adalah sepenuhnya absurd argumentasi yang menyatakan, bahwa pelanggaran HAM terbesar di Indonesia yang berlangsung semasa Orba itu, b u k a n tanggungjawabnya pemerintah yang sekarang. Halmana berarti bahwa pemerintah yang s
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA 'BERBAGI CERITA' - Kata 'CINA' . .
IBRAHIM ISA 'BERBAGI CERITA' - Kata 'CINA' . . Rabu, 25 Oktober Bilang 'Cina' - Tidak Mesti Mau Menghina ALEX FLOR, sahabatku dari WATCH INDONESIA itu, serius menanggapi masalah PENGGUNAAN kata 'CINA' dan kaitannya dengan politik anti-etnis Tionghoa pemerintahan Orba. Selain itu Flor hendak menunjukkan pada suatu kenyataan, bahwa di kalangan masyarakat Indonesia, menurutnya, bila orang menggunakan kata 'Cina' itu belum tentu dengan maksud hendak menghina. Tidak sama dengan motif dan sasaran rezim Orba ketika menggantikan nama 'Tionghoa' dan 'Tiongkok' dengan kata 'Cina'. Kiranya memang demikian adanya. Flor menganalisa posisi golongan etnis-Tionghoa yang banyak di bidang perdagangan. Ini, katanya, sebagai akibat adanya larangan penguasa terhadap golongan etnis-Tionghoa, untuk berusaha di bidang lainnya. Misalnya di Indonesia memang suatu kenyataan bahwa bagi birokrasi, polisi dan tentara tampaknya t a b u untuk menerima warganegara Indonesia keturunan Tionghoa. Mudah-mudahan pada periode pasca Suharto dewasa ini 'kebijaksanaan buruk' penguasa tsb diakhiri 'once and for all'. Tak bisa dibantah, sampai sekarang disana-sini, kadang-kadang menonjol, sering tersembunyi, masih saja diskriminasi terhadap warganegara sendiri asal etnis-Tionghoa berlangsung. Biasanya itu disebabkan oleh 'UUD', ujung-ujungnya duit, alias pemerasan atau 'pungli'. Flor juga mengingatkan pembaca bahwa sesungguhnya di kalangan bangsa Indonesia, warganegara asal etnis-Tionghoa YANG MISKIN, merupakan jumlah m a y o r i t a s , terbanding yang kaya-kaya. Memang benar. * ** Menjawab pertanyaan Flor, mengapa orang asing tidak menggunakan kata 'Tionghoa' atau 'Tiongkok': Kiranya pertanyaan itu paling baik di jawab oleh orang-orang asing itu itu sendiri. Sedangkan kita, mengapa kita bangsa Indonesia sejak merdeka secara resmi menggunakan kata TIONGKOK dan TIONGHOA? Menurut pengetahuanku yang mungkin belum pasti benar, -- menurut anggapan ketika itu, sbb: Paling baik menggunakan kata Indonesia yang sudah dipakai juga di kalangan masyarakat, dan -- ini penting --- paling dekat dengan nama aslinya, dan dianggap lebih menunjukkan respek, yaitu kata TIONGKOK dan TIONGHOA. Ini masuk akal, karena dalam bahasa Tionghoa, aslinya adalah kata : ZHONGGUO yang artinya Negeri Tengah. Untuk bahasanya mereka gunakan kata 'ZHONGWEN' . Untuk pengetahuan pembaca, orang-orang Tiongkok menamakan dirinya ZONGGUOREN, dalam bahasa kita digunakan kata 'bangsa Tionghoa'; sama dengan untuk bahasanya, yaitu TIONGHOA. Jadi untuk negeri, kita gunakan kata TIONGKOK, untuk bahasa dan bangsa, kata TIONGHOA. Benarkah penjelasan diatas, menurut para pakar bahasa Indonesia-Tionghoa, silakan tanggapi? Harap dikoreksi bila keterangan tsb diatas tidak tepat atau kurang lengkap.. Di bawah ini dilampirkan TANGGAPAN ALEX FLOR, dari WATCH INDONESIA: * * * Alex Flor: SEKALI LAGI SAYA SETUJU Bung Ibrahim Isa yb, Sekali lagi saya setuju. Mengenai posisi etnis Tionhoa di berbagai negri yang diirikan orang "asli" sana mungkin saya perlu menambah bahwa sukses banyak etnis Tionghoa (jangan lupa ada banyak yang miskin pula!!) dan konsentrasi mereka di berbagai bidang adalah sebuah dampak diskriminasi pula. Mungkin ada kesamaan dengan kaum Yahudi di Eropa berbagai abad silam. Di sini Yahudi dilarang bekerja sebagai tukang karena segala tukang terorganisir dalam golongan profesi (dlm bhs. Jerman "Zünfte"). Orang Yahudi dilarang menjadi anggota dalam golongan profesi itu, lantas nggak boleh kerja sebagai tukang besi, tukang kayu dll. Mau tidak mau mereka masuk bidang lain seperti perdagangan, bank, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Sungguh sangat ironis, akhirnya mereka dituduh sebagai pemalas yang cuma mau berdagang atau pinjam-meminjam uang. Orang Tionghoa di berbagai negri "asing" tidak boleh memiliki tanah. Mana mungkin mereka bekerja sebagai petani? Pada zaman orba mereka tidak boleh mencari nafkah sebagai pejabat atau tentara. Nah, kalau semua bidang kerja di bawah pemerintah tertutup jangan heran di bidang lain - sekali lagi perdagangan dsb. - mereka diwakili dengan proporsi yang sangat tinggi. Ttg. soal penghinaan, saya sadar bahwa rezim Orba memakai kata "cina" dengan maksud untuk menghina. Namun demikian di surat kemarin pesan saya ada dua: 1. Mohon kawan-kawan etnis Tionghoa menyadari bahwa orang lain tidak selalu pengin menghina kalau mereka bilang "cina". Bagi generasi yang besar pada zaman Orba pemakaian kata ini sudah menjadi kebiasaan tanpa maksud apapun. Bahkan saya kenal anak-anak muda dari etnis Tionghoa yang akan mengintroduksi diri sbg "keturunan cina". Sama seperti
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA - MENGAPA KATA 'CINA' DIANGGAP . . . . .
IBRAHIM ISA -- "BERBAGI CERITA" Senin, 23 Oktober, 2006. Mengapa kata 'CINA' Dianggap Suatu PENGHINAAN? Sekitar 'KEBEBASAN' Media kita. BELUM LAMA KUTULIS sebuah 'Kolom' -- mempersoalkan sekitar masalah apa sesungguhnya yang menyebabkan penggunaan kata 'Tiongkok' dan 'Tionghoa' diubah oleh Orba, menjadi 'Cina'. Paling sedikit ada dua tanggapan yang kuterima. Satu , menyambut baik artikelku itu, berterima kasih dan menanyakan apakah tulisanku itu juga dimuat di media di Indonesia? Satu tanggapan lagi, oleh S. Alex Flor dari 'Watch Indonesia' . Ia setuju analisa dalam tulisanku mengenai latar belakang politik dari pergantian kata 'Tionghoa menjadi 'Cina'. Tapi mempertanyakan mengapa kata 'Cina' itu dianggap atau dirasakan sebagai penghinaan terhadap golongan warga Indonesia asal etnis Tionghoa. Bukankah, di dalam bahasa asing untuk kata 'Tiongkok' atau 'Tionghoa', digunakan juga kata yang hampir serupa dengan kata 'Cina', misalnya 'China' dalam bahasa Inggris, atau 'Chinees' dalam bahasa Belanda, atau 'Chine' bahasa Perancisnya, dsb. Itu sebagai misal saja. * * * Kufikir: Barangkali menarik juga untuk bertukar fikiran mengenai tanggapan-tanggapan tsb. Umpamnya saja, melakukannya dalam satu ruangan atau rubrik, yang kuberikan saja nama rubrik 'Berbagi Cerita'. Maka aku mulai sajalah dengan tanggapan pertama diatas. Apakah tulisanku itu juga dimuat di media cetak atau elektronik di Indonesia. Jawabnya: Terus terang, aku tak tahu. Aku selalu berharap dan merasa senang bila tulisanku itu dibaca oleh sebanyak mungkin orang. Itu kan keinginan dan harapan wajar setiap orang yang menulis untuk dibaca orang. Bukan sekadar untuk catatan sendiri. Ada yang betanya sambil menegaskan, bila menulis-nulis di pelbagai mailist di media internet itu, atau bila diwawancarai oleh media dalam atau internasional, apakah aku memperoleh suatu imbalan? Dapat uang? Aku jawab tegas: Tidak. Aku tidak pernah dapat imbalan uang. Penyebabnya mengapa aku menulis , sesesungguhnya, asal mulanya karena ingin 'BERBAGI CERITA' dengan pembaca. Ada sesuatu yang ingin disampaikan. Ada sesuatu yang dianggap benar dan adil mengenai bangsa dan tanah air yang ingin disosialisasikan dan diperjuangkan. Selain itu, menulis itu bagiku suatu hoby, belajar berani bertanggung-jawab terhadap apa yang ditulis. Juga karena berniat untuk ambil bagian dalam proses 'pelurusan sejarah' negeri kita. Salah seorang kenalan lama di Jakarta, suatu ketika menilai tulisanku begitu cocok dengan situasi kongkrit Indonesia. Ia bilang tulisanku itu bagus, sebaiknya dibaca lebih banyak orang. Sehingga ia mengirimkannya kepada temannya untuk dimuat di surat kabarnya, yang kebetulan adalah salah seorang pimpinan dari (aku lupa) Kompas atau Sinar Harapan. Temanku itu kecewa dan mengeluh. Pimpinan redaksi yang ia kirimi artikelku itu, tidak memuat artikel tsb di surat kabarnya, --- tanpa penjelasan apa-apa.. Menurut dugaan temanku, mungkin karena artikelku mengenai tema pelanggaran HAM dan hak-hak demokrasi di Indonesia, itu terlalu 'keras' atau terlalu 'tajam'. Mungkin juga karena mereka tahu penulis artikel yang bersangkutan tergolong atau dianggap orang 'Kiri'. Rupanya ada petunjuk atasan mereka yang tidak tertulis dan juga tidak dinyatakan, agar 'jangan ikut menyiarkan artikel-artikel yang ditulis oleh orang 'Kiri'. Mereka tentu ingat adanya 'TAP MPRS No XXV Th 1966, yang melarang ideologi komunis. Ideologi Kiri menurut mereka idem-dito dengan ideologi komunis. Jadi daripada ditegur oleh 'atasan' , atau bahkan daripada di-PHK-kan, lebih baik jangan 'cari pasal'. Tolak saja tulisan-tulisan, apapun isinya kalau itu ditulis oleh SI ANU, yang adalah 'orang bermasalah' atau dikenal Kiri, eks- tapol atau seorang 'eksil' yang paspornya dicabut Orba. Dugaan tsb diatas tidak seratus perses benar. Karena, tokh ada media yang bahkan mentayangkan gambarku dan sementara teman senasib, dalam siaran TV mereka.. Belum lama bersama beberapa teman orang-orang 'eksil', orang-orang yang terhalang pulang lainnya di Belanda dan Paris, kami di wawancarai oleh Trans TV Indonesia. Kata para jurnalis muda dari Trans TV Indonesia itu, wawancara yang mereka lakukan ialah dalam rangka meninjau kembali sejarah bangsa kita. Agar jangan melihat sesuatu peristiwa sejarah, sebagai episode 'hitam-putih' belaka. Ada yang kelabu dan ada yang pelangi kata merka. Jadi, mereka tidak mau lagi menerima begitu saja interpretasi sejarah, khususnya mengenai periode Presiden Sukarno, seperti yang ditulis oleh para penulis sejarah Orba. Lebih jelas lagi, mereka ada keinginan untuk ambil bagian dalam proses
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- PERIHAL NAMA 'CINA' Atau 'TIONGHOA'
Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 20 Oktober 2006. --- -- PERIHAL NAMA 'CINA' Atau 'TIONGHOA' -- "JAILNYA" Mulut Mantan PM S'Pore LEE < Sekitar Masalah Etnis Tionghoa di Malaysia dan Indonesia> Belakangan ini di media internet, , muncul lagi tulisan-tulisan sekitar penggunaan nama 'cina' atau 'Tionghoa'. Di bumi Nusantara sendiri: Aku kurang jelas bagaimana persisnya media cetak dan eletronik Indonesia, apakah diskusi sekitar penggunaan nama "Cina" atau "Tionghoa" masih berlangsung "hangat". Mungkin sudah mereda. Karena, , bukankah yang berwewenang, yang kuasa di Indonesia, kongkritnya sejak gerakan Reformasi berhasil menggulingkan Presiden Jendral Suharto, "sedikit banyak", telah dikoreksi ksewenang-wenangan Orba yang telah melakukan kampanye besar-besaran "anti-Tiongkok" dan "anti etnis Tionghoa" di Indonesia sejak berdirinya rezim tsb sampai formal terguling. Sejumlah kebijaksanaan diskriminatif yang rasialis 'made ini' Orba, oleh pemerintahan pasca Suharto telah dinyatakan batal. Lalu ada kebijaksanaan baru yang a.l. tampak dituangkan dalam UU Kewarganegaraan yang dibuat baru-baru ini. * * * Namun, disana-sini masih terungkap praktek-praktek penguasa setempat, atau birokrasinya, yang masih saja diskriminatif terhadap warganegara Indonesia asal etnis Tionghoa. A.l. seperti yang diberitakan oleh s.k. Sinar Harapan (18 Okt 2006). Dalam tulisan tsb diungkap bahwa meskipun sejak pemerintahan Gus Dur, keharusan memiliki SBKRI bagi asal etnis Tionghoa sudah dihapuskan, tetapi dalam praktek masih terus saja berlangsung. Motifnya, menurut tulisan tsb, tak lain karena pejabat yang bersangkutan menyalahgunakan jabatan yang dikuasainya untuk melakukan praktek 'pungli'. Sering secara populer disebut suatu prosedur birokrasi yang 'UUD' 'ujung-ujungnya duit'. Jangan lupa dicatat bawa praktek 'pungli' itu sangat luas pasarannya. Berlaku dimana-mana. Mulai dari keperluan untuk 'surat ini atau surat itu' dari pejabat; atau bahkan dari pegawai 'tukang ketik' dari salah satu kantor gurem; bisa saja itu kantor notaris, atau yang terjadi dalam proses mendapatkan SIM lewat cara 'menembak'; atau praktek sementara 'oknum' polisi di tikungan sebuah jalan; sampai ke sementara komisi DPR atau bahkan di bagian imigrasi dari salah satu KBRI, seperti yang pernah terjadi di KBRI Tokyo. Yang begini ini, 'mind you', korbannya bukan hanya yang etnis Tionghoa. Pokoknya, kalau sudah menyangkut 'amplop berisi', itu dipraktekkan tanpa pandang bulu. Siapa saja 'dilalap' oleh sang pejabat. Parahnya praktek mesum seperti itu dianggap 'biasa' dan 'normal'. Sekadar tambah-tambah anggaran untuk dapur di rumah atau biaya sekolah anak-anak, kata pelaku yang hidupnya pas-pas-an. Gawatnya ialah bahwa praktek sperti itu, lebih-lebih di kalangan elite yang kuasa, pelakunya adalah j u s t ru orang-orang yang sudah kaya (sekali). Barangkali ini yang dikatakan bahwa korupsi sudah 'membudaya'. Makanya dalam situasi seperti digambarkan di atas, ada anggapan apakah masih relevan untuk masih memperdebatkan mana yang benar, apakah penggunaan nama 'cina' atau 'Tionghoa'. * * * Yang perlu kiranya diperhatikan ialah kecenderungan untuk mempersoalkan masalah penggunaan nama 'cina' atau 'Tionghoa' itu terrengut dari latar belakang sejarah, dipisahkan dari faktor-faktor politik yang menjadi asal mula penyebabnya. Maka mungkin baik juga masalah ini masih dibicarakan secara serius dan baik-baik . * * * Tulisan ini dimaksudkan agar dalam meninjau masalah penggunaan nama "Cina" sebagai pengganti nama "Tionghoa" dan "Tiongkok", yang itu semua asal mulanya adalah ulahnya politik Orba, --- janganlah pendiskusian itu dilakukan, sadar atau tidak, sengaja atau bukan, terpisah dari masalah politik. Karena soal tsb nyatanya adalah soal politik. Inti sarinya adalah masalah p o l i t i k . Bukan soal istilah atau soal bahasa semata-mata. Apalagi samasekali bukan masalah 'trauma' dan lain sebagainya. Pun bukan masalah perasaan, atau kebiasaan saja. SOALNYA ADALAH POLITIK. POLITIK rezim Suharto, yang rasialis dan teramat diskrimiantif, ditujukan terhadap orang-orang Indonesia asal keturunan Tionghoa. Ataupun terhadap mereka-mereka yang masih berkewarganegaraan Tiongkok atau yang 'stateless'. Namun, keluarnya amat jelas. Sasaran utama dari politik ini adalah REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK. Persis sejalan dengan strategi global AS selama 'perang dingin', yang anti Komunis, anti-Tiongkok, anti negeri-negeri yang melakukan politik bebas dan aktif membela kemedekaan nasional dan mendukung gerakan perdamaian dunia, seperti yang dilakukan oleh RI pada zaman pemerintah
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S FOCUS - DEMOCRACY IN INDONESIA
IBRAHIM ISA'S FOCUS-DEMOCRACY IN INDONESIA Tuesday, 0ct 17, 2006 * * * * * Opportunities, pitfalls of RI's new democracy Is our democracy on the right track? * * * * * Opportunities, pitfalls of RI's new democracy Opinion and Editorial - October 16, 2006 Marcus Mietzner, Jakarta Political scientists studying Indonesia's democratic transition and consolidation have for the last couple of years struggled to come up with a defining term for the newly emerging polity. Not all of the proposed terms have been complimentary, ranging from Slater's "collusive" cartelism (2004) to Webber's "consolidated patrimonial democracy" (2006). Yet Indonesia's politics have recently been marked by a different trend, one that is beginning to dominate the electoral strategies of all parties: that is, the increasing role of opinion polls in shaping the behavior of Indonesia's key political players. Could it be that Indonesia is turning into a psephological democracy, or more popularly, a pollster democracy? The study of opinion polls is a relatively new science in Indonesia, but its influence is growing rapidly. After reliable surveys had been mostly unavailable during the 1999 campaign, the International Foundation for Election Systems (IFES) and the Lembaga Survei Indonesia (LSI) published regular opinion polls in the lead up to Indonesia's 2004 legislative and presidential elections. Financed largely by international donors, these surveys were designed to inform the public and the electorate, not to assist political parties in selecting their nominee. Accordingly, none of the established parties nominating candidates in the 2004 presidential elections based its decision on opinion polls. As the incumbent, Megawati Soekarnoputri decided to run for reelection, despite falling ratings in the surveys. Golkar sent Gen. (ret) Wiranto into the race after an internal party convention, although no pollster gave the former TNI commander a chance of winning. Amien Rais, for his part, stubbornly insisted on his nomination despite unsupportive polling data. Hamzah Haz stood no chance, and his meager result confirmed the worst predictions of the pre-election surveys. The eventual winner of the elections, however, the electoral newcomer Susilo Bambang Yudhoyono, finalized his decision to run only after polls consistently showed him to be the frontrunner. Despite this evidence of the potential power of opinion polls, the majority of political parties did not yet grasp the larger implications of this trend. Thus when the direct local elections for governors, regents and mayors began in June 2005, political parties made only infrequent use of polling data in determining their candidates for the electoral vacancies. For them, other factors were more important: The influence of local party leaders over their branches, their access to financial resources and the arithmetic of coalition-building. Incumbent heads of local governments forced their party boards to nominate them despite their well-known unpopularity, and rich bureaucrats bought nominations from parties that were cash-strapped after the expensive series of elections in 2004. The result: 40 percent of incumbents, mostly nominated by the large parties Golkar and PDIP, lost their jobs, and popular candidates with little support by established party machines stormed to power. Golkar was the first party to adjust its strategy to the new dynamics. Even in the early phase of the local elections, Golkar had conducted opinion polls, but it was unable to use them effectively. The party's central board knew, for example, that its candidates for the governorship in Central and South Kalimantan as well as North Sulawesi would lose their respective elections. As the authority to nominate candidates had rested with the local branches, however, the party leadership stood by and watched helplessly as unpopular nominees led their party into certain defeat. By early 2006, Golkar chairman Jusuf Kalla determined that enough is enough. Golkar changed its internal nomination system, making it mandatory for all branches to select their nominees based on polling data (which was supplied by pollsters like LSI as a commercial consultancy service). Consequently, non-Golkar politicians became eligible if they commanded impressive survey figures. After the new, poll-driven nomination mechanism was implemented in March 2006, Golkar's success rate in the local elections increased sharply from 36.4 to 56.7 percent. Other parties, including PDIP, followed suit. There are early indications that the new reliance on polling data will also shape the electoral contests of 2009. Golkar has already announced that the party will determine its strategy for 2009 largely based on opinion surveys, and it may well refrain from fielding its own presidential candidate should a non-Golkar figure appear as the most prospective nominee. Amien Rais has realistically noted that he will not enter the race
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA: KEGIATAN INTERAKTIF DI KBRI-DEN HAAG
Kolom IBRAHIM ISA Senin, 16 Oktober 2006 BERBAGI CERITA: KEGIATAN INTERAKTIF DIKBRI -- DEN HAAG Tulisan ini bukanlah sebuah 'laporan' ataupun 'liputan' artawan mengenai suatu peristiwa yang terjadi di KBRI Den Haag, Sabtu 14 Oktober y.l.. Ini sekadar berbagi ceritera dengan pembaca tentang kegiatan yang berlangsung pada weekend lalu di KBRI Den Haag. Yaitu berlangsungnya 'Workshop Interaktif Pemberdayaan Kerjasama Antar-Komunitas: Belanda-Indonesia'. Dimulai jam 15.00, disela buka puasa (yang disediakan oleh RANESI, Radio Nederland. Kemudian berakhir pada jam 21.00 lebih. Meskipun tidak sampai selesai aku menghadirinya, namun, kudengar dari seorang sahabat yang hadir sampai usai, 'workshop' tsb telah berakhir dengan baik. Maka kutulislah ' sedikit' tentang kegiatan yang bermotif baik itu. * * * Menyela sedikit: Bukan berarti bahwa apa yang akan ditulis mengenai workshop di KBRI Den Haag itu, kurang penting terbanding berita-berita yang tersiar sekitar SBY. Yang semula jadi calon 'kuat' untuk menjadi pemenang 'Nobel Peace Prize 2006' --; tapi kemudian ternyata adalah bankir populis mini-kredit dari Bangladesh, bernama Moh. Yunus yang memenangkan Hadiah Nobel tsb. Yang akan kutulis mengenai workshop di KBRI itu, tak kalah penting terbanding tulisan-tulisan sekitar PENCABUTAN PASPOR secara sewenang-wenang oleh Orba di waktu y.l. Mengenai masalah ini, bisa dibaca artikel yang disiarkan bertubi-tubi di internet dan di sementara s.k. Indonesia . Antara lain di 'Rakyat Merdeka', s.k. 'Riau Pos', oleh 'Trans TV Indonesia', dan di s.k. berbahasa Inggris, 'The Jakarta Post'. Orang bilang tulisan-tulisan tsb, layaknya seperti 'menyongsong' kedatangan Menkum HAM Hamid Awaludin ke Belanda nanti . Katanya sesudah Hari Raya Lebaran. Mengenai rencana kedatangan Menteri Awaluddin ke Belanda, Bari Muchtar dari Radio Nederland , mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku ketika kami berjumpa di KBRI Sabtu y.l: Bagaimana 'persiapan' menghadapi kedatangan Menteri Awaluddin. Atas pertanyan tsb, kujawab dengan senyum dan baik-baik: Ya, apalagi yang hendak dipersiapkan? Bukankah pelbagai fikiran sudah dinyatakan dan tersiar mengenai masalah tsb. Seyogianya KBRI - Den Haag dan Menteri Awaluddin berkenan membacanya dan dengan demikian sudah mengetahuinya. Difokuskan yang menjadi tuntutan 'para korban' pencabutan paspor secara sewenang-wenang oleh Orba, yang dialamatkan kepada pemerintah sekarang ini sebenanrya hanya satu, satu tetapi penting dan fundamentil: Yang penting ialah, bila Menteri Hamid Awaluddin datang nanti, sepantasnyalah beliau bersedia berdialog, bertukar fikiran, bertukar hati, dengan para 'eksil' dalam kapsitas sesama warga Indonesia. Bukan dialog antara bapak menteri dengan warga biasa. Tetapi suatu dialog antar warga Indonesia yang sama hak. Tuntutan para 'eksil' itu kiranya jelas: REHABILITASI ! Pemerintah sepantasnya mengakui bahwa pencabutan paspor secara se-wenang-wenang oleh pemerintah dulu itu, adalah salah dan melanggar undang-undang, melanggar UUD serta bertentangan dengan HAM. Sesudah pemerintah mengakui kesalahan secara terbuka, maka mengkoreksinya dengan seksama. Jangan memperlakukan masalah serius tsb sebagai masalah adminstratif semata-mata, sebagai pemberian paspor baru sesuai dengan UU Kewarganegaraan yang baru. Kalau sekadar menyuruh para 'eks mahid' mengisi formulir untuk dapat paspor baru, akan lebih berhemat untuk mengirimkan formulir tsb lewat pos umum saja. Kalau hendak memberlakukan prosedur adminstratif semata, untuk apa jauh-jauh pergi ke Den Haag dan Paris, kan itu memboroskan kas negara saja! * * * Kembali ke mula ceritera: Sekitar Workshop Interaktif Pemberdayaan Kerjasama-Komunitas: Belanda-Indonesia. Workshop tsb diselenggarakan oleh 11 organisasi pendukung, termasuk a.l. KBRI, Stichting Sapu Lidi dan Radio Nederland. Ditindjau dari maksud dan tujuannya, workshop itu suatu kegiatan yang bagus..Seperti ditulis dalam undangan, sbb: "Potensi masyarakat Indonesia yang bermukim di Belanda bagi usaha-usaha memajukan bangsa adalah unik dan strategis. Akses ke berbagai ilmu baik teoritis maupun praktis termasuk berbagai kajian khusus tentang Indonesia terbuka lebar. Kedekatan jarak dengan Belanda dan Uni Eropa juga memberikan kesempatan untuk membangun interdependensi yang lebih seimbang. Bertolak antara lain dari pemikiran tsb, kami mengundang masyarakat Indonesia termasuk pelajar, masyarakat Belanda yang tertarik untuk berpatisiasi dalam: Workshop Internaktif Pemberdayaan Kerjasama Antar-Komunitas: Belanda Indonesia." Workshop dibagi dalam 3 sesi: Sesi 1-- Membangun Kehendak Bersama: Indonesia yang Lebih Baik. Sesi 2 Menuju Era Baru dala Kerjasama Mutual: Belanda dan Indonesia. Sesi 3 Paradigma Baru Hubun
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -Buku Brigadier Generaal BD, B. Bouman: Sebuah Resensi
Kolom IBRAHIM ISA Kemis, 12 Oktober 2006 Buku Brigadier Generaal BD, B. Bouman: -- Sebuah Resensi -- "IEDER VOOR ZICH EN DE REPUBLIEK VOOR ONS ALLEN". < "Masing-masing Untuk Dirisendiri, dan Republik Untuk Kita Semua"> * * * * * * Kemarin pagi, aku menilpun sahabatku itu. Kami berkenalan beberapa tahun yang lalu dalam sebuah seminar di Amsterdam mengenai keadaan kaum interniran Belanda di Indonesia selama tiga setengah tahun pendudukan Jepang. Sahabatku itu adalah DR B. BOUMAN, Brigadier-Generaal Der Artilerie, BD. Bouman adalah seorang perwira tinggi Angkatan Darat Belanda (purnawirawan). Kami membicarakan-ulang perihal pertemuan di Defensievoorlichtingcentrum (Pusat Penerangan Pertahanan) di Kalvermarkt 28, Den Haag, tanggal 10 Oktober 2006 yl. Aku sekali lagi mengucapkan selamat atas peluncuran bukunya itu. Berterima kasih atas pemberian buku tsb kepadaku sebagai kenang-kenangan dengan tulisan tangan penulisnya, sbb: "Voor Hr Isa, geef ik dit boek met veel genoegen, mede gezien Uw inzet voor de Indonesische geschiedenis. B. Bouman". Aku katakan kepadanya bahwa aku akan membuat ('semacam') resensi tentang bukunya itu. Bouman cerita tentang rencananya akan pergi ke Indonesia dalam bulan Januari 2007 yad, sehubungan dengan peluncuran bukunya di Indonesia. Kuberikan kepadanya nama abang (angkat) istriku, seorang perwira tinggi ALRI (Purnawirawan), yang pernah belajar di Akademi Marinir Belanda, Den Helder, pada tahun 1950-1953. Bouman mengatakan bahwa ia pasti akan mengundang perwira tinggi ALRI itu, pada waktu peluncuran bukunya di Jakarta nanti. Bouman gembira sekali atas kesediaanku akan menulis resensi tentang buku studinya itu. Maka, inilah tulisan yang kujanjikan kepada Bouman itu, 's e m a c a m ' resensi. Mudah-mudahan memadai adanya. * * * Pada waktu peluncuran buku Bouman (yang lain dari pada yang lain itu), tampak adanya perhatian cukup besar dari hadirin., khusunya terhadap diskusi yang diadakan di bawah pimpinan dr J.A Moor, dengan para referan dr P.J Drooglever, Ny Prof dr P.M.H. Groen, dr R. Raben dam dr D.C.L Schoonoord. Kebanyakan dari para undangan adalah pensiunan kolonel dan jendral. Salah satu diantaranya hadir juga mantan Menteri Pertahanan, dr. W.F. van Eekelen, yang ketika dinas militer pernah di bawah Brigjen B. Bouman. Buku studi Bouman, yang mengambil tema LOGISTIK DI BELAKANG REVOLUSI INDONESIA 1945-1950, diterbitkan oleh "Penerbit Boom", Amsterdam dengan kerjasama dan dukungan penuh Institut Untuk Sejarah Militer, Den Haag. Undangan yang kuterima untuk peluncuran buku itu, dikeluarkan oleh Institut Sejarah Militer Belanda tsb. Dari sini jelas bahwa buku B. Bouman terbit berkat kerjasama dan dukungan Institut Sejarah Militer Belanda. Boleh dikatakan buku studi B. Bouman itu memang i s t i m e w a . Antara lain karena buku tsb dipersembahkan kepada "SAHABAT-SAHABAT INDONESIA", "LAWAN DI MASA LAMPAU". Sikap ini s a j a sudah menunjukkan keunikan buku studi tsb. Sulit dibayangkan ada seorang jendral Belanda yang menulis buku untuk dipersembahkan pada sahabat-sahabatnya yang dulunya adalah lawannya dalam perang kemerdekaan Indonesia. Menurut pengetahuan kalangan Belanda sendiri, belum pernah ada seorang perwira tinggi Belanda, yang pada masa dinasnya, berperang melawan Republik Indonesia, kemudian menulis buku studi tentang kekuatan bersenjata Republik Indonesia seperti itu. Tulisan tsb fokusnya memang menyoroti segi yang unik. Penghargaanku terhadap Bouman yang menghasilkan karya studi seperti itu, terpisah dari tanggapanku mengenai fakta-fakta yang diperolehnya dari 'cara oral history', serta penilaiannya sendiri terhadap masalah logistik di belakang Revolusi Indonesia, dan sangkut pautnya dengan peristiwa lainnya di dalam Revolusi Indonesia. Selanjutnya: Perhatikan istilah-istilah yang digunakan Bouman. Dari situ tidak ada kesimpulan yang meragukan: Istilah-istilah yang digunakan Bouman dalam buku studinya itu, menunjukkan sikapnya terhadap masalah tsb. Misalnya ia menulis bahwa apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1945 adalah suatu REVOLUSI. Jadi bukan seperti propaganda 'Nica' dulu. Menurut 'Nica', yang mencerminkan pandangan kolonial Den Haag ketika itu, apa yang terjadi di Indonesia waktu itu adalah kekacauan dan teror yang dicetuskan oleh 'kaum ekstremis pemuda-pemuda Indonesia'. Bahwa Republik Indonesia adalah boneka bikinan Jepang belaka, dan bahwa Sukarno adalah 'kolaborator' Jepang. Dalam buku Bouman tidak ada fitnahan dan tuduhan terhadap RI seperti yang dilakukan Nica dulu. Bouman menulis "De logistiek achter de Indonesische Revolutie 1945-1950". Logistik di belakang 'Revolusi Indonesia'. Penggunaan istilah REVOLUSI INDONESIA, itu saja sudah cukup untuk
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS AND VIEWS, 09 -11 OCT 2006
= IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS AND VIEWS, 09 -11 OCT 2006 - How Soeharto schemed and Habibie botched it UBUD - BALI - Writers fest highlights poverty and human rights North Korea test: Nuclear threat or cry for help? - HOW SOEHARTO SCHEMED AN HABIBIE BOTCHED IT Endy M. Bayuni, Jakarta The row over former president Habibie's allegations about an aborted military coup on the second day of his short term is overshadowing a more interesting revelation from his memoir: the events surrounding the collapse of the New Order regime on May 21, 1998. Habibie may not say it directly in his book Detik-Detik yang Menentukan (Crucial Seconds), but it is clear that Soeharto's carefully laid out post-retirement plan was bungled because Habibie, then his deputy, gave the president the "wrong" answer when told about Soeharto's plan to step down the night before. According to the book, Habibie's first reaction to the news was, that going by the Constitution, he would have to succeed Soeharto. He could have responded by also offering to resign -- because the pair were "elected" by the People's Consultative Assembly on the same ticket three months earlier. But he did not. Soeharto, according to the book, was not pleased with the response from a man he had carefully chosen to be his running mate three months earlier. The president abruptly ended their discussion and the two men have never spoken since. Soeharto's contempt was so deep that "he treated me as if I never existed," Habibie writes in the memoir. The next day, Soeharto announced to the nation he was quitting the presidency. The succession took place then and there at the presidential palace, with Habibie being sworn-in by the Supreme Court? chief justice to become Indonesia's third president. Habibie never found out what Soeharto's retirement plan was, and since Soeharto has never revealed it publicly, people can only speculate. But people have long known that in the hours before his resignation, Soeharto transferred almost all his executive powers to Gen. Wiranto, the chief of the armed forces. The transfer was apparently contained in a letter styled on the infamous March 11, 1966, letter supposedly given by president Sukarno to Gen. Soeharto. Wiranto has since bragged that he could have seized power then and there with the full mandate from the legitimate president, but being the "constitutional" person that he is, restrained and allowed Habibie to become the new president. Between Habibie and Wiranto, it seems clear Soeharto would have preferred the latter as his successor. Why else would he have transferred so many powers to the general? Since Soeharto had not planned on this early retirement -- he had just been reelected to serve until 2003 -- neither person, least of all Habibie, had been chosen or groomed as his heir-apparent. Wiranto's loyalty was never in doubt. Seconds after the short resignation ceremony, he took the microphone and announced to the nation that he would personally protect the safety and the dignity of the former president and his family. But the real reason why Wiranto did not make his move to grab power, we now learn, was because Habibie had pre-empted him by giving the "wrong" answer to what was effectively a two-option multiple choice question from Soeharto. In response to Soeharto's statement "I am going to step down tomorrow", Habibie could have answered either A: "So, I'm going to be the next president?" or B: "I had better step down with you, Pak". He picked A. Had the German-trained aerospace engineer answered B, then he would have paved the way for a military takeover with Wiranto in charge, but with Soeharto no doubt continuing to pull the strings. Post-Soeharto Indonesia would have taken a greatly different historical path. Fortunately, or unfortunately, depending on where one stands, Habibie was not well-versed in Javanese tradition, where courtesans are expected to know, or at least guess, the correct response to a king's questions from his body language. Regardless of the veracity of Habibie's allegations of a planned military coup the day after he assumed power, one thing is for certain, the military was confused by the unexpected turn of events. Without Soeharto, who had been doing all the thinking for the military for 30 years or more, the generals were simply lost. There was certainly a massive deployment of the Army's Strategic Reserves Command (Kostrad) under its chief, Lt. Gen. Prabowo, then a powerful figure because he was Soeharto's son-in-law. Habibie triggered the current controversy when he suggested the deployment around the presidential palace where he resided was an act of intimidation on the part
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER-MENELUSURI TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 1965'-- < 3 >
IBRAHIM ISA dari BIJLMER - Selasa, 10 Oktober 2006. <4> MENELUSURI TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 1965' <'Cerpen' TRI RAMIJO Ketika'Diamankan' Orba> Aku tulis 'Cerpen' pada sub-judul tulisanku kali ini. Itu memang disengaja. Karena, yang ditulis oleh Tri Ramijo, sesungguhnya adalah pengalamannya sendiri. Adalah siksa dan nista yang dideritaannya pribadi ketika 'diamankan' oleh petugas keamanan Orba. Tri Ramijo mengisahkan bagaimana ia disiksa sejadi-jadinya ketika di tahan, 'diperiksa' oleh seorang interogator dari fihak keamanan tentara. Tri Ramijo, - aku kenal dia. Termasuk kenalan lama. Bapaknya, seorang Digulis, pejuang kemerdekaan, juga kukenal. Ketika bertemu Tri Ramijo di Jakarta beberapa tahun yang lalu, Tri mengisahkan pengalamannya sebagai eks-tapol untuk bisa survive. Sesudah lepas dari penjara pembuangan Orba, Pulau Buru, tamatan jurusan bahasa Jepang, Universitas Tokyo ini, terpaksa menganggur. Tapi ia bertekad untuk tidak menyerahkan hari depannya pada nasibnya. Demikianlah, Tri harus menyambung hidupnya untuk beberapa lamanya sebagai 'tukang asah gunting' keliling rumah-rumah orang kaya di Menteng. Modal untuk jadi 'tukang asah gunting' itu diperoleh Tri dari peninggalan, katakanlah 'warisan' bapaknya. Sebuah 'batu asahan' tua. Barangkali belakang hari nanti, Tri bisa menceriterakannya sendiri.Kita tunggu saja. * * * Aku masih ingat. Tanggal 1 Oktober 1965 di Bangkok dalam perjalanan ke Jakarta. Ketika itu, kegiatanku dalam rangka mensukseskan 'KIAPPMA'. Baru kembali dari menyelesaikan tugas KIAPPMA < Konferensi Inernasional Anti Pangkalan-Pangkalan Militer Asing> mengunjungi beberapa negeri Afrika dan Timur Tengah. Ketika tiba di Bangkok ada tilpun dari KBRI (kemenakanku seorang diplomat muda). 'Oom', katanya. 'Jangan ke Jakarta. Situasi gawat. Kolonel Untung sudah kalah'. Aku heran dan bingung, ada apa di Indonesia? Kembali bertanya apa yang terjadi di Jakarta sampai hubungan luar negeri dengan Jakarta putus, dan lapangan terbang Kemayoran tutup. Dan siapa Kolonel Untung itu? Belakangan baru kudengar lagi bahwa yang terjadi adalah peristiwa G30S dan terbunuhnya 6 orang jendral dan seorang perwira menengah TNI. Bahwa ada 'kup' dan bahwa 'kup itu gagal' dan keadaan sudah 'dikuasai'oleh Jendral Suharto. Begitu bandara udara internasional Kemayoran buka lagi, aku tokh berangkat ke Jakarta, karena tugas KIAPPMA belum selesai. KIAPPMA sesuai rencana akan berlangsung dalam bulan Oktober 1965 itu. Di Jakarta kelihatannya tenang-tenang saja. Ramai diberitakan oleh pers yang sudah dibersihkan dari sk-sk Kiri seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur dan banyak lainnya lagi, kecuali yang dikendalikan dan di bawah pengelolaan langsung fihak militer, tentang 'kekejaman-kekejaman' anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat, orang-orang PKI kata mereka, yang menyiksa, seperti memotong kemaluan dan mencongkel mata para jendral yang kemudian dibunuh di Lubang Buaya. Berita-berita tsb disiarkan berkal-kali setiap hari oleh media cetak maupun elektronik. Dengan demikian timbullah gambaran bahwa telah terjadi kup, tetapi digagalkan oleh pasukan-pasukan Kostrad di bawah pimpinan Jendral Suharto. Kedudukan dan otoritas Presiden Sukarno tidak jelas, tetapi yang jelas ialah bahwa yang memegang kekuasaan, paling tidak di Jakarta, adalah Jendral Suharto yang telah mengambil alih pimpinan TNI-AD. Yang digambarkan ialah 'kekejaman dan 'kebiadaban' anggota Gerwani/Pemuda Rakyat/PKI di Lubang Buaya terhadap perwira-perwira tinggi TNI.Kemudian ternyata apa yang diberitakan sebagai 'kekejaman dan kebaidaban' Gerwani/Pemuda Rakyat/ PKI tsb, SAMASEKALI BOHONG. Samasekali rekayasa. Orang-orang Gerwani yang ditangkap militer kemudian di bawah siksaan disuruh mengakui perbuatan kejam di Lubang Buaya itu, belakangan membongkar sendiri tentang kebohongan fihak militer tsb. Yang terpenting ialah disiarkannya laporan dokter-doker tim forensik resmi yang memeriksa jenazah para jendral. Tim forensik menegaskan bahwa tidak ada samasekali bekas-bekas atau tanda-tanda adanya penyiksaan, seperti pemotongan kemaluan dan pencungkilan mata dsb. Jadi yang dinamakan 'kejaman dan kebidaban' Gerwani/Pemuda Rakyat/ PKI itu adalah rekayasa belaka. Rekayasa fihak militer tsb kemudian ternyata sengaja diregisir untuk memberikan 'alasan' dan 'legimitas' dilakukannya pengejaran, penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, pembuangan dan pembunuhan masal terhadap orang-orang PKI, yang dianggap PKI atau simpatisan PKI serta orang-orang KIRI lainnya yang mendukung Presiden Sukarno. Pelanggaran HAM terbesar oleh penguasa militer dan pendukung-pendukungnya tsb, jelas, dilakukan tanpa proses peradilan apapun. Bahkan
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER --TULISAN-TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 1965'-- < 3 >
IBRAHIM ISA dari BIJLMER Jumat, 06 Oktober 2006 - MENELUSURI TULISAN-TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 1965'-- < 3 > * * * Entah kapan Menkum HAM, Hamid Awaluddin, akan datang ke Den Haag dan Paris, masih belum jelas. Katanya dalam bulan Oktober ini. Tapi siapa tahu? Menurut berita yang tersiar sebegitu jauh, maksud kedatangan beliau adalah untuk melaksanakan kebijaksanaan Presiden SBY bersangkutan AJAKAN PULANG bagi para eksil yang sejak 1965 bermukim di pelbagai negeri . Katanya, urusan tsb diharapkan selesai dalam sebulan (sic!). Apa bisa menyederhanakan soal pencabutan paspor secara sewenang-wenang oleh penguasa, --menjadi demikian 'simple'? Bukankah soalnya begitu serius dan berat? Bukankah hal itu berlatar belakang pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, i.e. Peristiwa 1965. Semua meyadari bahwa dampak dan akibat (pelanggaran HAM oleh penguasa militer sejak 1965 ) terhadap rakyat biasa, sampai sekarang masih berlangsung terus. Para korban dengan keluarganya yang meliputi sekitar 20 juta jiwa itu, masih terus memikul penderitaan didiskriminasi, dimarginalisasi, distigmatisasi, dikucilkan dan disudutkan, dituduh, difitnah dan sekali lagi difitnah. Sampai sekarang ini masih ada keluarga , atau salah satu anggotanya, yang masih takut mengakui bahwa si Badu atau si Polan itu adalah bapak atau pamannya, adik atau abangnya, bahwa itu adalah keluarga mereka. Mengapa? Sederhana saja sebabnya. Karena si Polan dan si Badu itu adalah eksp-tapol, pernah di Buru, pernah dipenjarakan, pernah dekat dengan PKI atau memang pernah PKI. Seperti pengakuan seorang eks tapol dalam tulisannya baru-baru ini. Yang oleh penguasa Orba dan pendukungya , dianggap kejahatan terbesar di Indonesia, adalah bila dulunya pernah ikut gerakan yang berafiliasi dengan PKI, atau malah pernah anggota PKI. Bahkan bukan anggota PKI sekalipun, asal saja dituduh PKI atau simpatisan PKI, sudah cukup diperlakukan sewenag-wenang oleh penguasa. Coba saja simak berita-berita sekitar 30 September, sementara pers getol sekali menonjolkan tentang apa yang dikatakan 'bahaya Komunis' dan 'bahaya bangkitnya kembali PKI', dsb. Mengingatkan kembali bahwa kurikulum pelajaran sejarah, sesuai TAP MRPS No. XXV, Th 1966, harus menyoroti tentang 'bahaya komunis'. Meskipun tidak ada satu manusia jujur dan normal bisa percaya berita-berita dan isu-isu yang menyangkut 'bahaya komunis' dsb, tokh berita-berita seperti itu tak pernah berhenti. Apa maksudnya kalau bukan untuk menyabot usaha dan kegiatan menuju ke rekonsiliasi nasional atas dasar kebenaran dan keadilan. Bahkan maksud sementara aktivis pro-demokrasi dan reformasi, dalam masyarakat untuk mendirikan Partai Persatuan Pembebasan Nasional, yang bertujuan untuk mempersatukan kekuatan poitik alternatif, terbanding kekuatan-kekuatan politik yang berkuasa sekarang yang sudah begitu bergelimang dengan birokrasi, bias kekuasaan dan korupsi, belum lagi lahir sudah didemo. Tak ketinggalan dituduh bahwa itu adalah 'gerakan komunis'. Banyak dari para eksil yang sudah mengambil kewarganegaraan negeri tsb, tidak lain tidak bukan, karena keterpaksaan, demi pertimbangan keamanan dan pertimbangan lainnya. Ajakan SBY agar "para mahid" pulang, sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Karena sebagian besar dari para eksil itu sudah beberapa kali pulang balik ke Indonesia, melepas rindu dengan tanah air dan keluarga. Mereka bisa pulang, karena sudah memiliki paspor asing. Tragis juga, orang-orang eksil Indonesia yang sudah memiliki paspor asing, malah merasa lebih aman, tahu dan yakin ada jaminan ada otoritas yang melindungi mereka. Bahwa bila "terjadi apa-apa" - misalnya "diamankan", pada waktu berkunjung ke Indonesia - , ada suatu pemerintah, suatu negara yang akan tampil membela hak-hak mereka sebagai warganegara, sebagai manusia. Negara atau pemerintah tsb adalah negara dimana mereka pernah minta suaka dan kemudian memperoleh kewarganegaraan negeri tsb. * * * Walhasil, beginilah saran saya kepada Menteri Menkum HAM, Hamid Awaluddin, yang akan datang hendak menjumpai (mudah-mudahan bersedia untuk berdialog dan bertukar hati sebagai sesama bangsa Indonesia) 'para eksil' yang empatpuluh tahun lebih dengan sewenang-wenang dicabut paspornya: Please,please,please, diharap janganlah menganggap masalah kesewenang-wenangan penguasa mencabut paspor warganegara sendiri yang tak bersalah, yang dalam tahun 1965 kebetulan sedang berada diluarnegeri, --- sebagai soal 'mengajak mereka pulang' semata. Jangan menganggap masalah itu sebagai sekadar masalah memberikan paspor baru. Jangan anggap soal itu sekadar mengisi formulir di KBRI, . . . . habis ceritera. Jangan jangan! Sebab itu berarti mengambil sikap munafik seperti 'burung unta' yang meyembunyikan kepalanya dalam pasir. De
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON REFORM IN INDONESIAN ARMY
--- IBRAHIM ISA'S - FOCUS ON REFORM IN INDONESIAN ARMY -- Critics say TNI holding onto old political culture TNI's long road to democracy Pilot 'exonerated' in Munir murder --- Critics say TNI holding onto old political culture Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta As it observes its 61st anniversary, the Indonesian Military (TNI) is still reluctant to abandon its old political culture, politicians and analysts say. Outspoken legislators of major political factions criticized what they called the military's resistance to internal reform and its ignorance of the 2004 law on the TNI, which requires the military to withdraw from politics, cease business activities and concentrate on improving its professionalism. They cited the military's demand for voting rights for its personnel, its rejection of civilian court trials and its still-chaotic arms procurement procedures as proof. Yuddy Chrisnandi of the Golkar Party said the reform movement, which began following the downfall of former president Soeharto in May 1998, had yet to bring major changes to the military. Yuddy said it appears the TNI still does not trust local police to keep order in some traditional areas of conflict. "According to our recent survey, the military in their daily appearance and operation is still deploying members in Papua, Aceh, Poso and urban areas," he said Wednesday. President Susilo Bambang Yudhoyono has frequently asked the military to stay out of politics. Djoko Susilo of the National Mandate Party (PAN) said that in compliance with military law, the TNI must be put under the defense ministry so that there will be no room for the military elite to appear on the political stage. "The completion of internal reforms in the military has to come from the President in his capacity as supreme commander of the TNI, and he has to give full authority to the defense minister to control the military, including arms procurement," he said. The law gives the Defense Ministry sole authority over the supply of arms for TNI Headquarters and all forces, and requires the TNI to give up all of its businesses, which have been a majore source of income for the military. Djoko said his faction would fight for a bill that transfers some trials of military personnel to the civilian court system, an idea that has faced apparent reluctance from the TNI. Sabam Sirait and Andreas Pareira of the Indonesian Democratic Party of Struggle said a main condition of reform in the TNI was improving the military's welfare. "The military budget must be covered by the state budget to make it professional, modern and deployable anytime ... to defend the country's sovereignty," said Sabam. He noted that the lowest pay of low-ranking personnel is under Rp 1 million a month. Sabam argued the government should allocate four percent to five percent of the gross domestic product for the defense budget to at least allow it to counter the military power of neighboring states, especially Singapore. Analyst Andi Widjajanto blamed stagnant reform in the military on civilians, especially the House of Representatives. "The House, which has legislative and budgetary rights and the control function, has no political courage to push for military reform," he said. He cited the defense commission's recent decision to allow the government to purchase 32 armored vehicles from France without a public tender. Andi said the House must exercise its authority to oversee defense and the military. - TNI's long road to democracy, The Jakarta Post Editorial, 05 oct 06. As in the previous few years, the anniversary of the Indonesian Military (TNI) will be commemorated without fanfare. The ceremony to mark the 61st armed forces day Thursday will be a modest one, in line with the spirit of the fasting month of Ramadhan. This year's TNI anniversary celebration, however, comes on the heels of the military coup against the Thai civilian government, the first after 15 years. Many have lashed out at the Thai army for the putsch, which is unacceptable for whatever reason as not only has it put democracy in danger but also reinstated the use of the power of the gun. In response to the coup, TNI Commander Air Marshal Djoko Suyanto has asserted the idea of a coup attempt is alien to the military's culture. The TNI, he underlines, is committed to upholding democracy and the law. Suyanto vows that the Indonesian armed forces will always respect the civilian government, which was democratically elected. President Susilo Bambang Yudhoyono himself has brushed aside the possibility of the military
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA dari BIJLMER ---Menelusuri Tulisan-tulisan Sekitar 'Peristiwa 1965'
IBRAHIM ISA dari BIJLMER 4 Oktober, 2006 -- Menelusuri Tulisan-tulisan Sekitar 'Peristiwa 1965' <2> Sekitar 30 September 2006 dan hari-hari berikutnya, di ruangan ini sudah dan maksudnya masih akan mempublikasikan tulisan-tulisan atau bagian-bagian dari tulisan-tulisan sekitar "G30S". Presiden Sukarno menamakan gerakan yang berlangsung pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu, sebagai "GESTOK" , Gerakan Satu Oktober. Penulis-penulis yang tidak befihak pada Orba, yang tidak 'bias', yang tidak apriori, yang berusaha mengambil sikap yang obyektif atau 'netral' , menyebut gerakan tsb., sesuai dengan nama yang digunakan oleh para pelaku, yaitu "G30S", Gerakan Tigapuluh September. Jendral Suharto dan rezim Orba, termasuk penulis-penulis yang mendukung pandangan dan politik Orba, dengan maksud dan tujuan yang jelas , menuding dan menyalahkan PKI atau Presiden Sukarno, sebagai dalang. Mereka sejak semula membubuhkan nama 'PKI' di belakang kata 'G30S'. Orba menganggap penamaan "G30S/PKI", adalah nama resmi dan 'yang paling benar'. Sekitar penamaan "G30S" atau "G30S/PKI", hingga dewasa ini masih terdapat berbagai pandangan dan sikap. Orang tidak mau lagi memamahbiak ungkapan versi Orba tentang 'G30S'. Semakin banyak pendapat yang menyatakan bahwa tidak harus, dan tidak perlu ikut-ikut varian Orba. Karena, pelakunya sendiri menamakannya "G30S". Sedangkan apa dan bagaimana 'G30S' tsb itu sejarah sendiri yang akan mengungkapnya melalui penelitian, studi, pengungkapan dan analisis. Hal mana memang memerlukan ketelitian, partisipasi banyak fihak dan waktu yang panjang. Bila kehidupan demokrasi bisa dipertahankan bahkan berkembang semakin kokoh, maka ini merupakan syarat baik bagi usaha pengungkapan peristiwa sejarah tahun 1965 itu. Memang pengungkapan peristiwa sejarah Oktober 1965 tidak mudah, karena, yang berkuasa sekarang ini, pemerintah SBY , masih sarat dengan kekuatan politik, birokrasi dan militer yang terlibat dan bertanggungjawab mengenai masa lampau semasa ORBA.. Maka tidaklah mudah mengungkap masa lamapau yang merupakan cemar dan cacat sepanjang masa. * * * Di sinilah letak arti pentingnya pemerintah dan lembaga-lembaga ilmu dan penelitian, khususnya yang berhubungan dengan masalah sejarah, mengambil sikap yang tepat. Terhadap persoalan sejarah seperti halnya terhadap cabang ilmu lainnya, dituntut sikap dan penanganan i l m i a h . Obyektif dan jujur. Samasekali tidak diperkenankan, dengan alasan apapun, mengekang usaha pengungkapan dan penulisan sejarah yang benar, yang tidak direkayasa, serta memperdebatkannya secara transparan dan dewasa. Yang harus dilakukan adalah: Menciptakan suasana dan syarat yang relevan yang memungkinkan dilangsungkannya usaha dan kegiatan studi dan penelitian, pengungkapan dan penganalisaan sejarah seperti yang dimaksudkan. Maka, pernyataan Presiden SBY baru-baru ini, bahwa beliau a.l. "meminta sejarah G-30 S/PKI tidak perlu diperdebatkan", adalah tidak bijaksana. Sikap seperti itu jelas mengerem terhadap kegiatan dan keberanian bermandiri generasi muda untuk berusaha sekeras-kerasnya mencari kebenaran dalam sejarah bangsa ini. Meskipun SBY menambahkan bahwa "pengungkapan kembali tentang apa yang terjadi saat itu memang perlu"; kiranya lebih cocok apa yang dikemukakan oleh Jubir resmi Presiden, Andi Malaranggeng, bahwa, untuk mencari solusi terhadap problem bangsa membutuhkan sumbangsih pemikiran dari sejarawan.''Analisis ahli sejarah perlu agar kesalahan masa lalu tidak terulang kembali,'' * * * Di kalangan masyarakat pasca Suharto dewasa ini, sesungguhnya sudah lama tumbuh dan berkembang pemikiran yang lebih relevan dengan tuntutan Reformasi dan Demokratisasi. Seperti yang ditulis di s.k. Riau Pos, 30.09.2006, a.l. oleh Kepala Kurikulum Diknas Diah Hariyanti, bahwa kurikulum sejarah, khususnya tentang G 30 S sebaiknya netral, tidak hanya mencekoki siswa dengan versi tertentu. Juga lebih relevan kiranya yang a.l.ditulis oleh Riau Pos tsb, tentang keharusan untuk Memperluas Versi Sejarah. Sejarah, tulis Riau Pos, adalah milik pemenang. Realitas tersebut terbukti dalam pengungkapan fakta peristiwa G30S selama ini yang merupakan interpretasi sejarah dari penguasa Orde Baru. Sejarah yang bias tersebut telah mengakar dalam masyarakat. Bagaimana tidak? Sejarah versi Orde baru tersebut telah masuk dalam kurikulum dan diajarkan sampai perguruan tinggi. Selanjutnya Riau Pos: Era reformasi tidak hanya merubah konstelasi politik, namun juga berimplikasi pada munculnya kontroversi mengenai peristiwa G 30 S. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap kurikulum merespon hal tersebut dengan memperluas ve
[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA'S - SELECTED NEWS AND VIEWS, 27 SEPT 2006
--- IBRAHIM ISA'S- SELECTED NEWS AND VIEWS, 27 SEPT 2006 KALLA ACCUSED OF NOSTALGIA FOR DESPOTISM UBUD WRITERS AND READERS FESTIVAL EQUALITY AND PLURALISM IN THE CITIZENSHIP LAW --- Kalla accused of nostalgia for despotism National News - September 27, 2006 Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta Vice President Jusuf Kalla is under fire for his statement that democracy is less important than political stability and security in attracting foreign investors to Indonesia. Djoko Susilo, a legislator from the National Mandate Party (PAN), and Effendi Choirie of the National Awakening Party (PKB) accused Kalla of "dreaming about the return of Soeharto-style authoritarianism". Kalla, who is also the Golkar Party chairman and head of a business conglomerate, made the statement when addressing the Indonesian community Saturday in New York. Djoko and Effendi said given his important role in the government, Kalla should not have said something which in their opinion revealed him to be anti-reform. "Do his views reflect those of Golkar?" Effendi asked. Indonesia's largest political party was the vehicle Soeharto used to rule with an iron fist for 32 years. Defending his statement, Kalla said foreign businesspeople were more interested in investing their money in Vietnam and China because they are politically stable, even though they are not democratic and their respect for human rights is generally seen as inferior to Indonesia's. Kalla has been in the U.S. trying to convince investors to do business in Indonesia, which some argue has become a less attractive corporate target since Soeharto's fall in 1998. Djoko said stability and security would come when democracy, strong law enforcement and good government were firmly in place. "The Vice President should understand that political instability in Indonesia has to do with the corrupt bureaucracy, the absence of good governance and legal certainty, and the rising unemployment rates," he said. Djoko said the government has panicked since its effort to revise the labor law was thwarted by strong resistance from workers' unions. Effendi and Djoko called on the government to reform the bureaucracy and strengthen law enforcement in order to improve public service and ensure legal certainty. They said the bureaucracy and judiciary system were corrupt because civil servants and law enforcers were underpaid. "Once the bureaucracy is reformed, red tape in applying for business licenses will end, and once legal certainty is in place, investors will come in and feel safe," said Djoko. Djoko doubted Kalla would succeed in attracting American investors unless Indonesia worked hard to improve the business climate. UBUD WRITERS AND READERS FESTIVAL Welcome to Ubud , The Jakarta Post, 27 Sept 06 Let the festival begin! Among the luckiest people on earth must be those in Ubud, Bali, set on rewarding themselves with the various programs on offer at this year's literary event. On Thursday, children's workshops will kick off the third Ubud Writers and Readers Festival, held before the official opening Friday evening, after which participants will pay tribute to the late Pramoedya Ananta Toer, who was widely regarded as Indonesia's leading writer. Famed writers are trooping into the picturesque, tourist village, along with emerging poets and authors -- the creative bunch who contribute to our joys of reading and watching movies. Following on from previous years, the organizers have promised not only talks and public readings with authors from various countries, but also the chance to benefit from their valuable guidance. There is even a workshop on how to market your first book, be it a work of fiction or a book on travel or cooking. Hopefully more locals will attend this year's event, initially held as an attempt to "heal the wounds" after the bombings of 2002. The second terror attack on Bali did not stop the writers from gathering for the event last year. For it is the country hosts themselves, the Indonesians, who are notoriously loathe -- not to put down a book -- but to pick one up, let alone write one. The local writers featured at the Ubud festival will hopefully inspire even those among us who think that putting words on paper is a terrifying prospect. The comfortable excuse that ours is basically an oral, not written, tradition is starting to sound lame as teen-lit books penned by young Indonesians pile up on store shelves -- however incomprehensible they may seem to adults. Youngsters also plow through 400 pages of Harry Potter in a few days, and remain glued to PCs, updating their blogs. They are convinced they have something to share, for a few e-mails or a few minu
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA - T N I -- DENGAR DAN PATUHILAH SERUAN PRESIDEN
Kolom IBRAHIM ISA 27 Sept 2006 T N I -- DENGAR DAN PATUHILAH SERUAN PRESIDEN PERLU KONSISTEN LAKSNAKAN REFORMASI !! Ketika membaca berita bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono minta kepada TNI supaya "berhenti bermain politik praktis", bagaimana sepatutnya kita berreaksi? --- Bila diminta berterus terang, --- inilah tanggapannya: Pernyataan itu mula-mula kedengarannya agak sulit untuk dipercayai. Apa betul berita tsb? Apa ucapan SBY tsb bersungguh-sungguh adanya? Sesudah dibaca berkali-kali, -- kalaulah berita Kompas 21 Sept, 2006 itu memang benar, maka, sesudah ditimbang-timbang, --- bisalah dikatakan dengan berhati-hati bahwa pernyataan SBY itu sedikit banyak membikin fikiran menjadi agak lega. Pembaca bisa mengajukan pertanyaan: Mengapa pernyataan SBY itu ditanggapi begitu "diplomatis"? Begini soalnya: - - Gerakan Reformasi dan Demokratisasi bangsa ini yang menanjak dan bergelora dalam tahun1998, dan berhasil menggulingkan rezim Orba serta memberikan peluang pada Presiden Habibie, sesuai tuntutan gerakan, untuk berbuat lain dari pendahulunya dst --- sudah berlangsung lebih 8 tahun. Namun, perubahan yang diharapkan masih jauh dari kenyataan. Cobalah teliti. Sudah sampai dimana hasil usaha Reformasi di kalangan TNI. Tercatat adanya kemajuan-kemajuan, tetapi tidak memadai bila diukur menurut apa yang menjadi tuntutan rakyat dan yang amat dibutuhkan negeri ini, termasuk diperlukan oleh TNI sendiri. Sekali-kali jangan dilupakan fakta dan peristiwa sejarah bangsa ini, bahwa Orba yang digulingkan oleh gelora gelombang dahsyat gerakan Reformasi dan Demokratisasi, --- penunjang utamanya, sokogurunya adalah TNI (jangan lupa, plus GOLKAR). Kita harus berterus terang, pengalaman selama 30 tahun lebih berjayanya rezim Orba, menunjukkan, bahwa TNI, ABRI bukanlah pembela rakyat, bukan pula juru selamat Republik Indonesia dan pembela Pancasila. Halmana selama 30 tahun lebih sampai dewasa ini dipropagandakan oleh Orba dan sisa-sisa kekuatan Orba. Militerisme, birokrasi yang mencekik bangsa, korupsi, kolusi dan nepotisme yang membangkrutkan kas negara dan ekonomi negeri, berkembang pesat justru dalam periode berkuasanya kekuatan militer di bawah Jendral Suharto. Pelanggaran HAM terbesar yang pernah terjadi di Indonesia, teristimewa pambantaian masal terhadap rakyat yang tidak bersalah (1965-66), penggulingan Presiden Sukarno(1967), bukankah kekuatan penggerak dan pelakunya adalah TNI di bawah Jendral Suharto? Berkuasanya rezim militer Orba yang otoriter dan anti-demokratis, itu semua berlangsung di bawah naungan dan jubah konsepsi "Dwifungsi Abri". Itu sejarah! Orang masih belum lupa fakta-fakta sbb: Meskipun formalnya "Dwifungsi ABRI" dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, a.l dengan dihapuskannya "perwakilan otomatis" ABRI di DPR/MPR, bahwa TNI tidak lagi boleh ambil bagian dalam politik, dsb Lihatlah apa yang terjadi dalam tahun 2002. Kesatuan-kesatuan TNI lengkap dengan kendaraan-kendaraan lapis baja, dimobilisasi a.l. dimuka Istana Negara . Itu semua terjadi sekitar dilorotnya pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Ketika di- "impeached"-nya Gus Dur, tidak salah kesimpulan orang, bahwa, dalam praktek nyatanya TNI ketika itu, masih "ikut (lagi) main politik praktis" yang krusial. Bukankah ketika itu Gus Dur masih menduga bahwa pasukan TNI lengkap dengan kendaraan lapis baja yang dipasang di depan Istana Negara itu, adalah untuk menjaga keselamatan Presiden? Tetapi, Gus Dur kecelé! Keberadaan mereka itu justru untuk menunjukkan jalan keluar Istana bagi Gus Dur. Belakangan memang bisa disimpulkan bahwa pasukan TNI lengkap dengan kendaraan-kendaraan lapis baja tsb adalah untuk memberikan tekanan kepada Gus Dur agar tunduk pada keputusan MPR yang ketika itu sedang bersidang untuk menggeser Presiden Abdurrahman Wahid dan menaikkan Megawati menggantikannya sebagai Presiden ke-5 R.I. * * * Jadi, sekarang ini, bagaimana duduk perkaranya sesudah SBY terpilih langsung dalam pemilihan presiden y.l. Apakah supremasi sipil, yang hakekatnya adalah supremasi hukum sudah terjadi? Apakah TNI masih akan terus "main politik praktis"? Apakah itu dilakukan transparan ataukah ditutup-tutupi, "di belakang layar"? Bagaimana kita memahami pernyataan-pernyataan SBY bahwa TNI juga akan melaksanakan Reformasi di kalangannya sendiri. Sampai sejauh mana Reformasi itu dilaksanakan? Nyatanya sampai dewasa ini, fungsi kekuasaan teritorial TNI yang sampai ke desa-desa yang terpencil sekalipun, masih eksis. Jalur kekuasaan pemerintahan sipil dan jalur kekuasaan TNI melalui struktur teritorial "masih berjalan" terus. Benarkah demikian? Bukankah dari waktu ke waktu, kapan saja mereka-mereka itu berkenaan untuk "bicara politik", sementara panglima atau jendral TNI masih membuat pernyataan-pernyataan pol
[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- JUSUF ISAK DAPAT BINTANG KEHORMATAN PERANCIS
Kolom IBRAHIM ISA Senin, 25 Sept. 2006 JUSUF ISAK DAPAT BINTANG KEHORMATAN PERANCIS "CHEVALIER des ARTS et des LETTRES" < Untuk Perjuangan Kebebasan Pers dan Demokrasi> J u s u f I s a k , --- Pemimpin Penerbit HASTA MITRA, terkejut ketika disampaikan berita kepadanya bahwa Pemerintah Perancis memutuskan akan menganugerahkan kepadanya , BINTANG "CHEVALIER des ARTS et des LETTRES". Penyerahan dilangsungkan di kedubesan Perancis, Jakarta, pada tanggal 21 September, 2006, yang lalu. Dubes Perancis, Renaud Vignal himself yang menyematkan Bintang Kehormatan tsb. Luar biasa! Sepanjang yang kuketahui, ini adalah kedua kalinya pemrintah Perancis memberikan Bintang Penghargaan dan Kehormatan "Chevalier des Arts et des Lettres" kepada eks-tapol asal Indonesia. Yang pertama dulu adalah yang disampaikan kepada Pramoedya Ananta Toer oleh Menteri Kebudayaan Perancis, ketika Pram berkunjung ke Paris pada permulaan tahun sembilanpuluhan (maaf tidak ingat lagi kapan persisnya, I.I.). Akupun terkejut, . . . tidak . . tidak, tidak terkejut, sesungguhnya pertama-tama reaksi kalbuku adalah rasa gembira, dan perasaan bangga, bangganya bukan main. Karena peghormatan dan penghargaan tsb sekaligus merupakan penghormtan atas perjuangan rakyat Indonesia untuk Demokrasi, Kebebasan Pers dan Hak-hak Azasi Manusia. Merasa bangga karena itu adalah pengakuan terhadap adilnya perjuangan demokrasi dan HAM di Indonesia. Dan juga merasa terkejut. Mengapa? Terus terang baik bagi Jususf Ishak, seperti halnya juga bagiku, dan mungkin bagi banyak aktivis-aktivis dan pemeduli HAM, tidak pernah membayangkan bahwa suatu p e m e r i n t a h yang beraliran tengah-Kanan, yang dikepalai oleh Gaulist, Presiden Chaques Chirac, kok sampai sebegitu jauh sikap (keobyektifannnya) hingga menganugerahkan Bintang Kehormatan dan Penghargaan kepada seorang yang dikenal sebagai orang Kiri dan pernah 10 tahun lebih meringkuk dalam penjara Orba-Suharto Bayangkan bahwa di Indonesia, pada pasca Suharto, di saat penguasa banyak bicara tentang Reformasi, Demokrasi dan HAM, apkah mungkin bisa terjadi tokoh-tokoh seperti (sebagai misal) Siauw Giok Tjhan (seorang patriot pejuang kemerdekaan, dan integrasi etnis Tionghoa ke haribaan nasion Indonesia), Jusuf Isak, , Munir, Pramoedya Ananta Toer,, Sulami dll pejuang untuk Demokrasi dan HAM, memperoleh bintang penghargaan dari pemerintah Indonesia yang katanya punya program Reformasi dan Demokratisasi. Dari LSM HAM yang di Indonesia pun nama-nama para tokoh pejuang tsb tidak masuk daftar yang mereka hargai dan hormati. Apalagi bisa masuk dalam daftar pemerintah. Memang Republik Perancis bukan Republik Indoneisa pasca Orba sekarang ini. Jika pemerintah Perancis, dengan para suatu prinsip dan pandangan yang prinsipil, bisa memandang jauh dari Eropah ke ufuk Timur nun jauh di sana, Indonesia, dan bisa melihat dan menyaksikan, menilai dan kemudian memberikan penghargaan atas jasa-jasa dan sumbangan Pramoedya Ananta Toer dan Jusuf Isak terhadap keudayaan, kemajuan Demokrasi dan HAM di Indonesia, maka pemerintah Indonesia, (termasuk LSM-LSM-HAM dan Demokrasi) matanya belum begitu jeli, hati nurani mereka masih belum murni, sampai bisa melihat kenyataan dan menghargai kenyataan obyektif itu. * * * Ya, kali ini Jusuf Isak, yang pernah memperoleh pelbagai bintang penghargaan dan kehormatan dari pelbagai organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang sastra, jurnalistik dan HAM di luarnegeri seperti PEN Club Amerika dan Australia, kemudian Wertheim Foundation di Leiden-Amsterdam, sekarang ini lagi-lagi memperoleh bintang kehormatan dan pengharagaan dari pemerintah Perancis. Jusuf Isak memperoleh kali ini Bintang Kehormatan "Chevalier des Arts et des Lettres" dari pemerintah Perancis. Apa itu Bintang "Chevalier dans l'ordre des Arts et des Lettres? Itu adalah bintang kehormatan dan penghargaan yang diberikan oleh pemerintah Perancis kepada tokoh-topkoh terkemuka seniman dan penulis yang telah memberikan sumbangan signifikan terhadap usaha memajukan seni di Perancis dan di seluruh dunia. Bintang Kehormatan dan Penghargaan tsb adalah salah satu dari penghormatan tertinggi pemerintah Perancis yang dapat diberikan oleh pemerintah Perancis terhadap seseorang. Bintang Penghargaan tsb adalah Bintang Penghargaan Perancis yang dimulai oleh Perancis pada tanggal 2 Mei 1957 oleh Menteri Kebudayaan dan dikukuhkan sebagai bagian dari "Ordre National du Mérite" oleh Charles de Gaulle dalam tahun 1963. Maksudnya ialah sebagai suatu pengakuan tentang arti penting sumbangan terhadap seni, literatur atau pensosialisasiannya di bidang-bidang tsb. Dianatra yang telah memeperolehnya di bidang seni dan literarur a.l. , adalah bintang film kritis dan terkenal Sharon Stone, Robert Redford, Diana Ross, Selin Dion, Paul Anka, Tony Curtis, Art Buchwald, Gong Li, Han Shao Gong dan banyak lainnya. * * *