Saya setuju dengan tulisan di bawah.
Saya pahami bahwa untuk peduli sesuatu, bukan berarti tanpa ukuran
yang benar. Misalnya memberi penghargaan berupa gelar PAHLAWAN, bukan
berarti diberikan dengan gampang kepada Naga Bonar, Si Pitung, Jaka
Sembung bahkan Bang Ji-i.
Terlalu naif bila kita tutup mata terhadap siapa yang layak
mendapatkan penghargaan sebenarnya.
Selama ini, sebenarnya kita dipaksa sepakat dengan slogan "Rendahnya
kualitas pendidikan karena kurangnya penghargaan pada guru".
Dari jaman dulu kala, Guru bukanlah profesi untuk menjadi kaya. Guru
adalah profesi pengabdian, sampai-sampai guru digelari Pahlawan tanpa
tanda jasa. Menjadi salah kaprah bila guru dijadikan profesi "bisa
kaya". Hal ini akan mengurangi semangat pengabdian seorang guru.
Karena guru akan saling melihat kekayaan guru lainnya. Padahal kaya
atau tidaknya seseorang tergantung takdir Tuhan.
Bila dianggap profesi, secara materi, guru didesain untuk menjadi
orang cukup. Tidak kaya, tapi juga tidak miskin, tetapi secara strata
sosial, guru selalu ada di papan atas.
Mengukur kesejahteraan guru juga berbeda-beda. Saya lahir dari
keluarga guru di kota kecil, dan saya berpengalaman ke pelosok2 tanah
air, tak pernah menjumpai guru antre zakat, juga tak menjumpai guru
bermobil BMW. Bahkan dari jaman sebelum merdeka sampai sekarang, tak
ada kelurga guru yang kelaparan, tak ada keluarga guru yang buta
huruf tak mampu sekolah.
Isu guru terlalu dibesar2kan, terutama menjelang PEMILU, karena guru
sangat potensial menjaring suara pemilih pemula.
So what dengan kesejahteraan guru?
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "L.Meilany"
wrote:
>
> Kalo baca buku 'laskar pelangi the phenomenon' ; ternyata kisah
laskar pelangi ini mencerahkan.
> Banyak kesaksian dari orang2 yg mula2 terpuruk, putus asa, tidak
semangat, yg malu jadi guru
> menjadi terbangkitkan rasa percaya dirinya setelah baca laskar
pelangi.
>
> Bahkan kemudian orang2 tionghwa beramairamai pulang kampung ke
Belitong.
> Rumah Bu Mus juga disambangi banyak orang untuk sekedar berfotoria,
minta tanda tangan.
>
> Murid2nya selain Ikal, seperti Mahar, A Kiong, Kucai juga memberi
kesaksian serupa tentang peranan
> Bu Mus dalam karir mereka selanjutnya.
>
> salam,
> l.meilany
> - Original Message -
> From: Ary Setijadi Prihatmanto
> To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
> Sent: Wednesday, December 10, 2008 7:54 AM
> Subject: Re: [wanita-muslimah] Pencitraan SBY dalam Ibu Guru
Muslimah
>
>
> Menurut saya artikelnya menggunakan sudut yang nggak pas.
> Jangan karena mau nembak SBY, malah nembak orang yang nggak ada
urusannya dengan politik.
>
> Bukankah semua sepakat bahwa rendahnya kualitas pendidikan salah
satunya karena kurangnya penghargaan terhadap guru.
>
> Jadi seharusnya bukan Ibu muslimahnya yang di-utak-utik.
> Tapi harusnya dipikirkan agar ada sebanyak mungkin penghargaan bg
guru, terutama di tempat2 terpencil...
> Ayo Mega, SB, JK, HNW dll., berlomba-lomba dalam kebaikan...
anda2 bisa apa?
> Bukan cuman ngurusin orang sholat dengan cara lain, punya nabi
lain saja...
>
> Komunitas seharusnya malah nantang para calon itu untuk berbuat
nyata,
> minimal buat JANJI tertulis, mereka mau buat apa kalo terpilih...
>
> Ada guru mau ngajar di pedalaman belitung, kalimantan atau papua
saja sudah untung.
> Ini bertahun-tahun nggak dibayar, bayarannya kurang dan lain2.
> Baru dikasih penghargaan begitu saja sudah banyak yang mau
memanfaatkan (utk kampanye positif maupun negatif) ;-(
>
> Salam
> Ary
>
> - Original Message -
> From: Sunny
> To: Undisclosed-Recipient:;
> Sent: Sunday, December 07, 2008 3:25 AM
> Subject: [wanita-muslimah] Pencitraan SBY dalam Ibu Guru Muslimah
>
> Jawa Pos
>
> Kamis, 04 Desember 2008 ]
>
> Pencitraan SBY dalam Ibu Guru Muslimah
>
> Tim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sungguh jeli dalam
memanfaatkan momentum. Ibu Guru Muslimah yang kini sangat terkenal
seiring dengan populernya novel dan film Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata dibawa ke Jakarta untuk dianugerahi Satyalancana Pendidikan.
>
> Sungguh, memberikan penghargaan kepada "nama top" seperti Ibu
Guru Muslimah untuk saat ini akan lebih banyak bermanfaat daripada
memberikannya kepada nama Ibu/Bapak Guru Anu yang namanya tidak
populer. Rakyat akan mudah menengok peristiwa penghargaan tersebut.
Dan, si pemberi penghargaan (SBY) pun akan mendapatkan tengokan
serupa.
>
> Nah, di sinilah proses pencitraan akan terbangun. Bila dikaitkan
dengan kepentingan popularitas menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres)
2009, manfaat pencitraan positif seperti itu jelas akan banyak. Dan,
SBY yang sudah membulatkan tekad untuk maju lagi dalam Pilpres 2009
jelas sangat membutuhkan hal tersebut.
>
> Kita tidak hendak mengatakan bahwa pemberian penghargaan kepada
Ibu Guru Muslimah adalah berbau politis. Terlalu dini kalau
kesimpulan itu ditarik. Hanya, ada sedikit ganjalan te