Re: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini

2009-04-21 Terurut Topik Ari Condro
kalau pak hasan sih, setelah lulus dari FMIPA UGM, doi ambil S2 dan S3
nya di Jepang.  sempat menjadi dosen di universitas t (kampung
halamannya seperti dalam cerita), namun tuntutan dan pilihan hidup
membuatnya balik lagi ke jepun selepas S3, menjadi associate professor
di jepun, namun setahun kemudian si bapak akhirnya kembali menjejakkan
kakinya tanah air.

kali ini tidak untuk menjadi kalangan intelektual pendidik di tanah
air (yg justru ndak sempat riset itu), namun memilih jadi anak pabrik.

ckckckckck 


pertanyaannnya : emak masih di kampung halaman atau diajak merantau juga oom ?





2009/4/21 MIAU IMA :
>
>
>
> kisah nyatakah
>
> ck ck ck
>
> sangat mengharukan dan menyentuh bagi siapapun yang membacanya
>
> http://mioariefiansyah.wordpress.com/
> --- On Tue, 21/4/09, Sutan Paruik Gadang  wrote:
>
> From: Sutan Paruik Gadang 
> Subject: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini
> To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
> Date: Tuesday, 21 April, 2009, 11:48 AM
>
> Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang
> petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca
> huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena
> berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.
>
> Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil,
> mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin
> ikut serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. "Kau bukan anak perempuan yang
> patut untuk menjadi cendekia." Emak hanya bisa menangis.
>
> Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu
> datangnya sesuatu: Kebebasan.
>
> Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah
> seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke
> suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia
> terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani.
> Sampai tua mereka tetap miskin.
>
> Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru
> dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih
> tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.
>
> Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang
> di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon
> hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung.
> Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.
>
> ***
>
> Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir
> bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan.
> Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan
> itu kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama
> setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun.
>
> Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah
> rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia
> masih harus masak untuk makan malam.
>
> Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai
> menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya
> masa depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan,
> keluarga kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik
> beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.
>
> ***
>
> Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak
> menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia
> tahu cara mengubah nasibnya. "Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi
> tak seorangpun bisa menghalangi anak-anakku. " begitu tekadnya. Saat abangku
> yang tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak
> tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari.
> Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk
> bersekolah.
>
> Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.
>
> Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun
> sekolah. Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian
> mengubah nasib banyak orang di kampung kami.
>
> ***
>
> Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia
> beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan
> berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa
> menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias
> pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan
> dagangannya. Hingga akhir

Re: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini

2009-04-21 Terurut Topik FRIDA CHAN
Bagus bangt...
aku permisi copy paste yaa...
buat disimpan di arsipku sendirii..
tenang, aku masukin source ya koook...

 

...::Frida Chan::..
Bunda Bisnis Dari Rumah Aja, Yuuuk!
Gabung di http://www.duniabisnisbunda.co.cc








From: izzuddin al qassam 
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, April 21, 2009 2:16:04 PM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini





Cool^_^
ngajarin banyak hal

:putri

http://mioariefians yah.wordpress. com/

--- On Tue, 21/4/09, Sutan Paruik Gadang  wrote:

From: Sutan Paruik Gadang 

Subject: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini

To: wanita-muslimah@ yahoogroups. com

Date: Tuesday, 21 April, 2009, 11:48 AM

Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang 
petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca 
huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena 
berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.

Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, 
mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut 
serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. "Kau bukan anak perempuan yang patut 
untuk menjadi cendekia." Emak hanya bisa menangis.

Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya 
sesuatu: Kebebasan. 

Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah 
seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke 
suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia 
terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai 
tua mereka tetap miskin.

Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru 
dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih 
tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.

Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang di 
tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup. 
Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk 
itulah nasibnya ia ubah.

***

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir 
bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. 
Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu 
kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama 
setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun. 

Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah 
rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia 
masih harus masak untuk makan malam.

Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai 
menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa 
depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga 
kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang 
kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.

***

Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak 
menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu 
cara mengubah nasibnya. "Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak 
seorangpun bisa menghalangi anak-anakku. " begitu tekadnya. Saat abangku yang 
tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak 
menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke 
kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.

Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.

Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. 
Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah 
nasib banyak orang di kampung kami.

***

Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia 
beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan 
berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa 
menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias 
pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan 
dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.

Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia 
makan, mencukupi kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, "Kau 
bekerjalah di sini, di dekat Emak." Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin 
sekolah. Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di 
sisinya. "Sudah cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana."

Aku bujuk Emak. "Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa 
sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar 
untuk sekolah. Malah saya dibayar

Re: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini

2009-04-21 Terurut Topik Abdul Mu'iz
kalau novel ya dibandingkan dengan novel juga, kalau sirah ya dibandingkan
dengan sirah juga. Semuanya keren deh, mbak put pasti keren juga lho :)

> hmmm.masih kerenan yang mana om
> laskar pelangiĀ  Andrea Hirata ato sirah Nabawiyah hehehe
>
> :putri
>
> --- On Tue, 4/21/09, Abdul Mu'iz  wrote:
>
> From: Abdul Mu'iz 
> Subject: Re: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini
> To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
> Date: Tuesday, April 21, 2009, 12:28 AM
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>   kayak laskar pelanginya andrea hirata ya put ? ") penuh inspirasi
>
>
>
>> Cool^_^
>
>> ngajarin banyak hal
>
>>
>
>> :putri
>
>>
>
>> http://mioariefians yah.wordpress. com/
>
>>
>
>> --- On Tue, 21/4/09, Sutan Paruik Gadang 
>> wrote:
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> From: Sutan Paruik Gadang 
>
>>
>
>> Subject: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini
>
>>
>
>> To: wanita-muslimah@ yahoogroups. com
>
>>
>
>> Date: Tuesday, 21 April, 2009, 11:48 AM
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri
>> seorang
>
>> petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa
>
>> membaca huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak
>
>> sekolah karena berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian
>
>> kecil, mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis
>> kecil,
>
>> ingin ikut serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. "Kau bukan anak
>
>> perempuan yang patut untuk menjadi cendekia." Emak hanya bisa menangis.
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu
>
>> datangnya sesuatu: Kebebasan.
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu
>
>> adalah seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang,
>
>> mengumpukannya ke suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas
>
>> dengan upah yang dia terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak
>
>> kehidupan buruh tani. Sampai tua mereka tetap miskin.
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak
>
>> baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu
>
>> masih tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang
>
>> pohon.
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk,
>
>> menumpang di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah
>> batang
>
>> bohon hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu
>
>> nibung. Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> ***
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak
>
>> berfikir bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya
>
>> lebih ringan. Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk
>
>> membuka lahan. Lahan itu kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi
>
>> adalah bekal makan selama setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam
>
>> kelapa, membuat kebun.
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang
>
>> sudah rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di
>
>> gubuknya ia masih harus masak untuk makan malam.
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah
>> mulai
>
>> menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah
>> punya
>
>> masa depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan,
>
>> keluarga kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik
>
>> beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> ***
>
>>
>
>>
>
>>
>
>> Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak
>
>> menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi
>> ia
>
>> tahu cara mengubah nasibnya. "Mereka bisa menghalangiku untuk bel

Re: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini

2009-04-21 Terurut Topik izzuddin al qassam
hmmm.masih kerenan yang mana om
laskar pelangiĀ  Andrea Hirata ato sirah Nabawiyah hehehe

:putri

--- On Tue, 4/21/09, Abdul Mu'iz  wrote:

From: Abdul Mu'iz 
Subject: Re: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Date: Tuesday, April 21, 2009, 12:28 AM
















  
  kayak laskar pelanginya andrea hirata ya put ? ") penuh inspirasi



> Cool^_^

> ngajarin banyak hal

>

> :putri

>

> http://mioariefians yah.wordpress. com/

>

> --- On Tue, 21/4/09, Sutan Paruik Gadang  wrote:

>

>

>

> From: Sutan Paruik Gadang 

>

> Subject: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini

>

> To: wanita-muslimah@ yahoogroups. com

>

> Date: Tuesday, 21 April, 2009, 11:48 AM

>

>

>

> Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang

> petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa

> membaca huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak

> sekolah karena berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.

>

>

>

> Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian

> kecil, mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil,

> ingin ikut serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. "Kau bukan anak

> perempuan yang patut untuk menjadi cendekia." Emak hanya bisa menangis.

>

>

>

> Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu

> datangnya sesuatu: Kebebasan.

>

>

>

> Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu

> adalah seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang,

> mengumpukannya ke suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas

> dengan upah yang dia terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak

> kehidupan buruh tani. Sampai tua mereka tetap miskin.

>

>

>

> Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak

> baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu

> masih tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang

> pohon.

>

>

>

> Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk,

> menumpang di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang

> bohon hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu

> nibung. Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.

>

>

>

> ***

>

>

>

> Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak

> berfikir bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya

> lebih ringan. Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk

> membuka lahan. Lahan itu kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi

> adalah bekal makan selama setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam

> kelapa, membuat kebun.

>

>

>

> Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang

> sudah rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di

> gubuknya ia masih harus masak untuk makan malam.

>

>

>

> Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai

> menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya

> masa depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan,

> keluarga kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik

> beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.

>

>

>

> ***

>

>

>

> Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak

> menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia

> tahu cara mengubah nasibnya. "Mereka bisa menghalangiku untuk belajar.

> Tapi tak seorangpun bisa menghalangi anak-anakku. " begitu tekadnya. Saat

> abangku yang tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada

> sekolah. Emak tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga

> hari. Tiga hari. Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku

> dititipkan untuk bersekolah.

>

>

>

> Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.

>

>

>

> Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun

> sekolah. Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian

> mengubah nasib banyak orang di kampung kami.

>

>

>

> ***

>

>

>

> Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya.

> Dia beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia

> jajakan berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang

> ia bisa menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak

> jadi perias pengantin. Berkeliling ke berbagai k

Re: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini

2009-04-21 Terurut Topik Abdul Mu'iz
kayak laskar pelanginya andrea hirata ya put ? ") penuh inspirasi

> Cool^_^
> ngajarin banyak hal
>
> :putri
>
> http://mioariefians yah.wordpress. com/
>
> --- On Tue, 21/4/09, Sutan Paruik Gadang  wrote:
>
>
>
> From: Sutan Paruik Gadang 
>
> Subject: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini
>
> To: wanita-muslimah@ yahoogroups. com
>
> Date: Tuesday, 21 April, 2009, 11:48 AM
>
>
>
> Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang
> petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa
> membaca huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak
> sekolah karena berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.
>
>
>
> Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian
> kecil, mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil,
> ingin ikut serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. "Kau bukan anak
> perempuan yang patut untuk menjadi cendekia." Emak hanya bisa menangis.
>
>
>
> Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu
> datangnya sesuatu: Kebebasan.
>
>
>
> Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu
> adalah seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang,
> mengumpukannya ke suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas
> dengan upah yang dia terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak
> kehidupan buruh tani. Sampai tua mereka tetap miskin.
>
>
>
> Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak
> baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu
> masih tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang
> pohon.
>
>
>
> Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk,
> menumpang di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang
> bohon hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu
> nibung. Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.
>
>
>
> ***
>
>
>
> Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak
> berfikir bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya
> lebih ringan. Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk
> membuka lahan. Lahan itu kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi
> adalah bekal makan selama setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam
> kelapa, membuat kebun.
>
>
>
> Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang
> sudah rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di
> gubuknya ia masih harus masak untuk makan malam.
>
>
>
> Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai
> menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya
> masa depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan,
> keluarga kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik
> beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.
>
>
>
> ***
>
>
>
> Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak
> menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia
> tahu cara mengubah nasibnya. "Mereka bisa menghalangiku untuk belajar.
> Tapi tak seorangpun bisa menghalangi anak-anakku. " begitu tekadnya. Saat
> abangku yang tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada
> sekolah. Emak tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga
> hari. Tiga hari. Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku
> dititipkan untuk bersekolah.
>
>
>
> Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.
>
>
>
> Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun
> sekolah. Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian
> mengubah nasib banyak orang di kampung kami.
>
>
>
> ***
>
>
>
> Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya.
> Dia beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia
> jajakan berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang
> ia bisa menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak
> jadi perias pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap
> menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.
>
>
>
> Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa
> memberi dia makan, mencukupi kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak
> bilang, "Kau bekerjalah di sini, di dekat Emak." Aku menurut. Tapi aku
> juga masih ingin sekolah. Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia
> ingin aku tetap di sisinya. "Sudah cukuplah k

Re: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini

2009-04-21 Terurut Topik izzuddin al qassam
Cool^_^
ngajarin banyak hal

:putri

http://mioariefians yah.wordpress. com/

--- On Tue, 21/4/09, Sutan Paruik Gadang  wrote:



From: Sutan Paruik Gadang 

Subject: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini

To: wanita-muslimah@ yahoogroups. com

Date: Tuesday, 21 April, 2009, 11:48 AM



Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang 
petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca 
huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena 
berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.



Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, 
mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut 
serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. "Kau bukan anak perempuan yang patut 
untuk menjadi cendekia." Emak hanya bisa menangis.



Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya 
sesuatu: Kebebasan. 



Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah 
seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke 
suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia 
terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai 
tua mereka tetap miskin.



Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru 
dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih 
tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.



Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang di 
tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup. 
Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk 
itulah nasibnya ia ubah.



***



Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir 
bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. 
Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu 
kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama 
setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun. 



Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah 
rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia 
masih harus masak untuk makan malam.



Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai 
menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa 
depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga 
kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang 
kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.



***



Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak 
menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu 
cara mengubah nasibnya. "Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak 
seorangpun bisa menghalangi anak-anakku. " begitu tekadnya. Saat abangku yang 
tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak 
menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke 
kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.



Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.



Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. 
Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah 
nasib banyak orang di kampung kami.



***



Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia 
beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan 
berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa 
menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias 
pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan 
dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.



Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia 
makan, mencukupi kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, "Kau 
bekerjalah di sini, di dekat Emak." Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin 
sekolah. Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di 
sisinya. "Sudah cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana."



Aku bujuk Emak. "Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa 
sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar 
untuk sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya 
tidak sekolah lagi." Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi. 



Aku berangkat sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak 
pingsan di kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya. 



Tapi Emak tak meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga 
dapat kesempatan melanjutka

Re: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini

2009-04-20 Terurut Topik MIAU IMA

kisah nyatakah

ck ck ck

sangat mengharukan dan menyentuh bagi siapapun yang membacanya

http://mioariefiansyah.wordpress.com/
--- On Tue, 21/4/09, Sutan Paruik Gadang  wrote:

From: Sutan Paruik Gadang 
Subject: [wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Date: Tuesday, 21 April, 2009, 11:48 AM
















  
  Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang 
petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca 
huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena 
berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.



Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, 
mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut 
serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. "Kau bukan anak perempuan yang patut 
untuk menjadi cendekia." Emak hanya bisa menangis.



Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya 
sesuatu: Kebebasan. 



Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah 
seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke 
suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia 
terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai 
tua mereka tetap miskin.



Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru 
dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih 
tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.



Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang di 
tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup. 
Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk 
itulah nasibnya ia ubah.



***



Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir 
bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. 
Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu 
kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama 
setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun. 



Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah 
rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia 
masih harus masak untuk makan malam.



Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai 
menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa 
depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga 
kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang 
kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.



***



Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak 
menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu 
cara mengubah nasibnya. "Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak 
seorangpun bisa menghalangi anak-anakku. " begitu tekadnya. Saat abangku yang 
tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak 
menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke 
kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.



Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.



Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. 
Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah 
nasib banyak orang di kampung kami.



***



Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia 
beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan 
berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa 
menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias 
pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan 
dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.



Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia 
makan, mencukupi kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, "Kau 
bekerjalah di sini, di dekat Emak." Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin 
sekolah. Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di 
sisinya. "Sudah cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana."



Aku bujuk Emak. "Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa 
sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar 
untuk sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya 
tidak sekolah lagi." Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi. 



Aku berangkat sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak 
pingsan di kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya. 



Tapi Emak tak

[wanita-muslimah] Emakku bukan Kartini

2009-04-20 Terurut Topik Sutan Paruik Gadang
Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang 
petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca 
huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena 
berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.

Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, 
mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut 
serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. "Kau bukan anak perempuan yang patut 
untuk menjadi cendekia." Emak hanya bisa menangis.

Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya 
sesuatu: Kebebasan. 

Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah 
seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke 
suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia 
terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai 
tua mereka tetap miskin.

Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru 
dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih 
tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.

Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang di 
tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup. 
Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk 
itulah nasibnya ia ubah.

***

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir 
bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. 
Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu 
kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama 
setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun. 

Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah 
rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia 
masih harus masak untuk makan malam.

Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai 
menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa 
depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga 
kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang 
kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.

***

Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak 
menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu 
cara mengubah nasibnya. "Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak 
seorangpun bisa menghalangi anak-anakku." begitu tekadnya. Saat abangku yang 
tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak 
menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke 
kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.

Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.

Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. 
Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah 
nasib banyak orang di kampung kami.

***

Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia 
beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan 
berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa 
menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias 
pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan 
dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.

Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia 
makan, mencukupi kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, "Kau 
bekerjalah di sini, di dekat Emak." Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin 
sekolah. Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di 
sisinya. "Sudah cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana."

Aku bujuk Emak. "Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa 
sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar 
untuk sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya 
tidak sekolah lagi." Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi. 

Aku berangkat sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak 
pingsan di kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya. 

Tapi Emak tak meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga 
dapat kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang 
tertua di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.

Sedihkah Emak? "Sepi", katanya. "tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa 
bangga."

***

Emakku bukan Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang lain bergerak. 
Ia bahkan tak bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia mengubah nasibnya. Nasib 
kami.

http://berbual.com