Re: [wanita-muslimah] Membongkar Fondasi Patriarkhi
Ah itu kan cara dia saja buat menghindar.Dia kan ngomong doyan filsafat tapi koq bisa-bisanya gak tau Simone de Beauvoir bahkan sampai menganggap kadar intelektualnya dibawah Kartini.Padahal mbak Simone de Beauvoir itu adalah pacar sekaligus murid dari Jean-Paul Sartre dan merupakan nabi perempuan mazhab eksistensialis. - Original Message - From: A Yasmina [EMAIL PROTECTED] To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Sunday, December 04, 2005 5:51 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Membongkar Fondasi Patriarkhi Bang Yos, Inilah bentuk komunikasi di dunia maya, khususnya di milis terbuka seperti WM, orang berhak untuk memakai nama apa saja, misalnya teman2 kita disini ada yang bernama bmuncar, noteokrasi, bejo paijo, ambon, dll - tidak jelas namanya tapi mereka masing mewakili satu sosok manusia. Tidak apa2 kan? di dunia nyata aja kita tidak selalu ketemu teman ngobrol yang tidak jelas identitas dirinya. Ini mungkin kembali ke niat semula, masuk jadi anggota satu milis itu mau ngapain? mau nambah kenalan? mau ngobrol tentang berbagai hal? Jika kita mau nambah wawasan sambil memperkuat kemampuan untuk menuliskan pendapat kita dan kemampuan berkomunikasi secara tertulis, tidak penting kita bicara dengan siapa - tapi isi pembicaraan saja yang harus kita tanggapi bukan mengurus pribadi orang yang posting. Saya mungkin kadang2 agak bingung itu karena kebiasaan membedakan jenis kelamin karena biasa pakai mas/mba - tapi lama2 merhatikan isi pembicaraan saja, kadang2 kelihatan jenis kelaminnya tapi kalau tidak, ya sudah ... panggil nama yang ada saja pakai mba/mas atau langsung namanya. Bukan sesuatu yang mengganggu kok - dan kita bisa ngobrol apa saja, topik apa saja tanpa harus tahu orangnya. Tapi kembali lagi, orang memang beda2 - semuanya terserah masing2, jika memang bang Yos mau tahu lebih dekat kenapa tidak japrian saja, jadi bisa ngobrol nama - alamat - pekerjaan, dll ..:-) salam Aisha Yahoo! Groups Sponsor ~-- Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM ~- Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
Re: [wanita-muslimah] Membongkar Fondasi Patriarkhi
Bang Yos, Inilah bentuk komunikasi di dunia maya, khususnya di milis terbuka seperti WM, orang berhak untuk memakai nama apa saja, misalnya teman2 kita disini ada yang bernama bmuncar, noteokrasi, bejo paijo, ambon, dll - tidak jelas namanya tapi mereka masing mewakili satu sosok manusia. Tidak apa2 kan? di dunia nyata aja kita tidak selalu ketemu teman ngobrol yang tidak jelas identitas dirinya. Ini mungkin kembali ke niat semula, masuk jadi anggota satu milis itu mau ngapain? mau nambah kenalan? mau ngobrol tentang berbagai hal? Jika kita mau nambah wawasan sambil memperkuat kemampuan untuk menuliskan pendapat kita dan kemampuan berkomunikasi secara tertulis, tidak penting kita bicara dengan siapa - tapi isi pembicaraan saja yang harus kita tanggapi bukan mengurus pribadi orang yang posting. Saya mungkin kadang2 agak bingung itu karena kebiasaan membedakan jenis kelamin karena biasa pakai mas/mba - tapi lama2 merhatikan isi pembicaraan saja, kadang2 kelihatan jenis kelaminnya tapi kalau tidak, ya sudah ... panggil nama yang ada saja pakai mba/mas atau langsung namanya. Bukan sesuatu yang mengganggu kok - dan kita bisa ngobrol apa saja, topik apa saja tanpa harus tahu orangnya. Tapi kembali lagi, orang memang beda2 - semuanya terserah masing2, jika memang bang Yos mau tahu lebih dekat kenapa tidak japrian saja, jadi bisa ngobrol nama - alamat - pekerjaan, dll ..:-) salam Aisha -- From: SUTIYOSO WIJANARKO Dimas, Kalau saya mau diskusi sama panjenengan itu piye gitu, saya tidak tahu nama sampeyan, jadi kaya bicara dengan angin, kabur engga karuan, lebih baik kan saya diskusi ama orang-orang yang sudah jelas identitasnya begitu, I am sorry Saya harus bilang apa nich?, salam atau apa ? --- He-Man [EMAIL PROTECTED] wrote: Tentu saja Simone de Beauvoir itu memang lebih pintar dari R.A Kartini. Bukunya The Second Sex jadi semacam kitab suci bagi penganut paham eksistensialis sejajar sama Jean Paul Sartre.Sementara R.A Kartini kan cuma besar namanya akibat propaganda saja, sementara konstribusinya terhadap perempuan nyaris tidak ada . Mahasiswa UIN itu rata-rata sudah belajar agama sejak kecil jadi wajar kalau mereka lebih tertarik pada Sigmund Freud , Marx-Engels , Jacques Derrida dll karena itu adalah sesuatu yang baru bagi mereka .Beda halnya dengan anak-anak abangan yang kecilnya gak pernah belajar agama, sehingga ketika baru tau islam sedikit aja lagaknya seperti dia satu-satunya yang berpedoman pada Al Qur'an dan Hadis lalu mengkafirkan orang seenaknya. - Original Message - From: SUTIYOSO WIJANARKO Ini contoh female yang berbicara memakai cortex kanan, mungkin lagi belajar sich, ya dimaklumi saja. Pinginnya supaya dianggap pinter tapi malah jadi kebling Ayo, Bunda L.. Meilany , ini termasuk gado-gado atau salad ? :) Mahasiswi UIN harusnya pedomannya Al Qur'an dan Hadis, lha koq malah berpedoman eksistensialisme ? Kenapa harus si Simon yang jadu acuannya, lha mbok sekali - kali R.A K A R T I N I yang jadi acuannya, emangnya Simone de beauvoir lebih pinter dari RA Kartini ? salam. Send instant messages to your online friends http://asia.messenger.yahoo.com Yahoo! Groups Sponsor ~-- Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM ~- Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
Re: [wanita-muslimah] Membongkar Fondasi Patriarkhi
Tentu saja Simone de Beauvoir itu memang lebih pintar dari R.A Kartini. Bukunya The Second Sex jadi semacam kitab suci bagi penganut paham eksistensialis sejajar sama Jean Paul Sartre.Sementara R.A Kartini kan cuma besar namanya akibat propaganda saja, sementara konstribusinya terhadap perempuan nyaris tidak ada . Mahasiswa UIN itu rata-rata sudah belajar agama sejak kecil jadi wajar kalau mereka lebih tertarik pada Sigmund Freud , Marx-Engels , Jacques Derrida dll karena itu adalah sesuatu yang baru bagi mereka .Beda halnya dengan anak-anak abangan yang kecilnya gak pernah belajar agama, sehingga ketika baru tau islam sedikit aja lagaknya seperti dia satu-satunya yang berpedoman pada Al Qur'an dan Hadis lalu mengkafirkan orang seenaknya. - Original Message - From: SUTIYOSO WIJANARKO WIJANARKO [EMAIL PROTECTED] To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Friday, December 02, 2005 9:36 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Membongkar Fondasi Patriarkhi Ini contoh female yang berbicara memakai cortex kanan, mungkin lagi belajar sich, ya dimaklumi saja. Pinginnya supaya dianggap pinter tapi malah jadi kebling Ayo, Bunda L.. Meilany , ini termasuk gado-gado atau salad ? :) Mahasiswi UIN harusnya pedomannya Al Qur'an dan Hadis, lha koq malah berpedoman eksistensialisme ? Kenapa harus si Simon yang jadu acuannya, lha mbok sekali - kali R.A K A R T I N I yang jadi acuannya, emangnya Simone de beauvoir lebih pinter dari RA Kartini ? salam. Yahoo! Groups Sponsor ~-- Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM ~- Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[wanita-muslimah] Membongkar Fondasi Patriarkhi
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_cid=200286 Jumat, 02 Des 2005, Membongkar Fondasi Patriarkhi Oleh Nur Aylin Dania * Salah satu hambatan berat untuk mewujudkan keadilan hak-hak perempuan dan laki-laki adalah mapannya stereotipe-stereotipe yang kurang bersahabat terhadap perempuan. Beragam stereotipe itu selama puluhan tahun sudah membeku ke dalam teks-teks budaya dan keagamaan akibat penafsiran yang bias gender dan berideologi patriarkhi. Bahkan, akhir-akhir ini relasi bahasa-gender terbukti sangat eksploitatif terhadap perempuan. Mengangkat masalah relasi gender dan feminisme terasa membosankan, sekaligus mengasyikkan. Membosankan karena seakan-akan perbincangan ini tidak akan berakhir dalam suatu ujung dan titik akhir tertentu. Mengasyikkan karena bahasan ini selalu memberikan nuansa dan wacana baru dengan jargon-jargon yang terus bermunculan dan berkembang. Karena itu, perbincangan seputar diskursus gender ini adalah pokok masalah yang membumi. Artinya, masalah itu tidak saja menjadi wacana dan fenomena bagi kelompok atau golongan tertentu, yang dibatasi garis geografis maupun ideologis, namun merupakan permasalahan global yang lintas ruang dan waktu. Pada saat bersamaan, secara simultan berlangsung politik antropologi untuk melanggengkan tradisi patriaki yang menguntungkan kaum laki-laki. Berbagai nilai diarahkan dan digunakan untuk mempertahankan keberadaan pola relasi gender yang berakar dalam masyarakat. Karena tersebut berlangsung cukup lama, pola itu mengendap di alam bawah sadar masyarakat. Seolah-olah ketimpangan pola relasi gender ini adalah kodrat, mutlak, dan tidak dapat diganggu gugat. Bertambah kuat lagi setelah pola power relations (relasi kuasa) menjadi subsistem dalam masyarakat modern-kapitalis, yang kemudian melahirkan masyarakat new patriarchy (eksploitasi -tak sadar- perempuan). Semakin kuat pola relasi kuasa semakin besar pula ketimpangan (bias) gender di masyarakat, karena seseorang akan diukur berdasarkan nilai produktivitasnya. Dengan alasan faktor reproduksi, produktivitas perempuan dianggap tidak semaksimal laki-laki. Perempuan diklaim sebagai komunitas reproduksi, yang lebih tepat mengambil peran domestik, dan laki-laki diklaim sebagai komunitas produktif, yang lebih tepat mengambil peran publik. Simone De Beauvior (The Second Sex: 1989) menulis, Ke mana pun mereka melangkah, garis akhir selalu berwujud pada pernikahan; yang artinya sama dengan mengakui dominasi laki-laki. Hal inilah yang memang ingin dipertahankan laki-laki karena mereka juga ingin mempertahankan fondasi sosial. Karena itu, kita (perempuan) harus mempelajari lebih jauh tentang nasib tradisional perempuan dengan teliti. Dari segi sumber daya manusia (SDM), komunitas akademik sebenarnya sarat dengan tenaga kerja yang siap menjadi agen pemberdayaan perempuan. Para dosen, mahasiswi, dan masyarakat lingkungan akademik harus berkomitmen dan berperan aktif dalam pemberdayaan perempuan, mulai pergulatan wacana hak-hak perempuan sampai bagaimana mengadvokasi perempuan korban kekerasan dengan peranti keadilan gender. Solusi sederhana namun urgen bisa dilakukan dengan langkah penyadaran dan pemberdayaan mengenai hak-hak wanita lewat Sosialisasi dan Edukasi. Memang dalam masyarakat kita perempuan sering dimarginalkan dalam keluarga. Jika menemui kesulitan biaya hidup atau pendidikan, orang tua sering mengorbankan anak perempuan. Anak perempuan disuruh berhenti bersekolah, sementara anak laki-laki tetap sekolah. Anak perempuan malah disuruh cepat-cepat kawin. Ini tidak fair. Anak laki-laki dan perempuan harus diberi peluang yang sama. Proses sosialisasi dan edukasi memang memerlukan cukup waktu. Tapi, jika kita memakai comparative study (skala perbandingan), perempuan di Indonesia relatif tidak mendapat halangan yang cukup signifikan dalam melakukan mobilitas sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Tidak ada halangan untuk berdagang atau berusaha. Pendidikan perempuan saatnya ditekankan pada kemandirian supaya mereka paham dan menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi pelayan bagi kaum lelaki saja. Setiap perempuan punya hak untuk menentukan sendiri sikap dan pilihan hidup. Kadang beberapa hal jadi terasa menekan, seperti hal-hal yang terjadi di keluarga, lingkungan, teman, sekolah, atau media. Semua manusia memang punya keterbatasan untuk mengatur apa yang terjadi terhadap dirinya, tapi semua tetap bisa memilih sikap buat menghadapinya, termasuk perempuan. Tergantung kamu, mau jadi perempuan dengan mengambil inisiatif dan bersikap berani atau jadi perempuan yang kalah oleh kendali keadaan. * Nur Aylin Dania, mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. (Email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Sponsor ~-- Give the gift of hope to an orphaned child this holiday season. Become a sponsor http://us.click.yahoo.com/ZEPhsD/1RCMAA/i1hLAA/aYWolB/TM
Re: [wanita-muslimah] Membongkar Fondasi Patriarkhi
Ini contoh female yang berbicara memakai cortex kanan, mungkin lagi belajar sich, ya dimaklumi saja. Pinginnya supaya dianggap pinter tapi malah jadi kebling Ayo, Bunda L.. Meilany , ini termasuk gado-gado atau salad ? :) Mahasiswi UIN harusnya pedomannya Al Qur'an dan Hadis, lha koq malah berpedoman eksistensialisme ? Kenapa harus si Simon yang jadu acuannya, lha mbok sekali - kali R.A K A R T I N I yang jadi acuannya, emangnya Simone de beauvoir lebih pinter dari RA Kartini ? salam. Ambon [EMAIL PROTECTED] wrote: http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_cid=200286 Jumat, 02 Des 2005, Membongkar Fondasi Patriarkhi Oleh Nur Aylin Dania * Salah satu hambatan berat untuk mewujudkan keadilan hak-hak perempuan dan laki-laki adalah mapannya stereotipe-stereotipe yang kurang bersahabat terhadap perempuan. Beragam stereotipe itu selama puluhan tahun sudah membeku ke dalam teks-teks budaya dan keagamaan akibat penafsiran yang bias gender dan berideologi patriarkhi. Bahkan, akhir-akhir ini relasi bahasa-gender terbukti sangat eksploitatif terhadap perempuan. Mengangkat masalah relasi gender dan feminisme terasa membosankan, sekaligus mengasyikkan. Membosankan karena seakan-akan perbincangan ini tidak akan berakhir dalam suatu ujung dan titik akhir tertentu. Mengasyikkan karena bahasan ini selalu memberikan nuansa dan wacana baru dengan jargon-jargon yang terus bermunculan dan berkembang. Karena itu, perbincangan seputar diskursus gender ini adalah pokok masalah yang membumi. Artinya, masalah itu tidak saja menjadi wacana dan fenomena bagi kelompok atau golongan tertentu, yang dibatasi garis geografis maupun ideologis, namun merupakan permasalahan global yang lintas ruang dan waktu. Pada saat bersamaan, secara simultan berlangsung politik antropologi untuk melanggengkan tradisi patriaki yang menguntungkan kaum laki-laki. Berbagai nilai diarahkan dan digunakan untuk mempertahankan keberadaan pola relasi gender yang berakar dalam masyarakat. Karena tersebut berlangsung cukup lama, pola itu mengendap di alam bawah sadar masyarakat. Seolah-olah ketimpangan pola relasi gender ini adalah kodrat, mutlak, dan tidak dapat diganggu gugat. Bertambah kuat lagi setelah pola power relations (relasi kuasa) menjadi subsistem dalam masyarakat modern-kapitalis, yang kemudian melahirkan masyarakat new patriarchy (eksploitasi -tak sadar- perempuan). Semakin kuat pola relasi kuasa semakin besar pula ketimpangan (bias) gender di masyarakat, karena seseorang akan diukur berdasarkan nilai produktivitasnya. Dengan alasan faktor reproduksi, produktivitas perempuan dianggap tidak semaksimal laki-laki. Perempuan diklaim sebagai komunitas reproduksi, yang lebih tepat mengambil peran domestik, dan laki-laki diklaim sebagai komunitas produktif, yang lebih tepat mengambil peran publik. Simone De Beauvior (The Second Sex: 1989) menulis, Ke mana pun mereka melangkah, garis akhir selalu berwujud pada pernikahan; yang artinya sama dengan mengakui dominasi laki-laki. Hal inilah yang memang ingin dipertahankan laki-laki karena mereka juga ingin mempertahankan fondasi sosial. Karena itu, kita (perempuan) harus mempelajari lebih jauh tentang nasib tradisional perempuan dengan teliti. Dari segi sumber daya manusia (SDM), komunitas akademik sebenarnya sarat dengan tenaga kerja yang siap menjadi agen pemberdayaan perempuan. Para dosen, mahasiswi, dan masyarakat lingkungan akademik harus berkomitmen dan berperan aktif dalam pemberdayaan perempuan, mulai pergulatan wacana hak-hak perempuan sampai bagaimana mengadvokasi perempuan korban kekerasan dengan peranti keadilan gender. Solusi sederhana namun urgen bisa dilakukan dengan langkah penyadaran dan pemberdayaan mengenai hak-hak wanita lewat Sosialisasi dan Edukasi. Memang dalam masyarakat kita perempuan sering dimarginalkan dalam keluarga. Jika menemui kesulitan biaya hidup atau pendidikan, orang tua sering mengorbankan anak perempuan. Anak perempuan disuruh berhenti bersekolah, sementara anak laki-laki tetap sekolah. Anak perempuan malah disuruh cepat-cepat kawin. Ini tidak fair. Anak laki-laki dan perempuan harus diberi peluang yang sama. Proses sosialisasi dan edukasi memang memerlukan cukup waktu. Tapi, jika kita memakai comparative study (skala perbandingan), perempuan di Indonesia relatif tidak mendapat halangan yang cukup signifikan dalam melakukan mobilitas sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Tidak ada halangan untuk berdagang atau berusaha. Pendidikan perempuan saatnya ditekankan pada kemandirian supaya mereka paham dan menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi pelayan bagi kaum lelaki saja. Setiap perempuan punya hak untuk menentukan sendiri sikap dan pilihan hidup. Kadang beberapa hal jadi terasa menekan, seperti hal-hal yang terjadi di keluarga, lingkungan, teman, sekolah, atau media. Semua manusia memang punya keterbatasan untuk mengatur apa yang terjadi terhadap