Re: [wanita-muslimah] Mereka Bisa karena Pemerintah Peduli
euu penduduk vietnam dan thailand brapa yaa?? selain produksi beras, konsumen berasnya perlu diperhitungkan mungkin yaa (vietnam: 85 jt -an, thailand: 65 jt -an) yaa memberi makan 3 anak lebih mudah daripada 8 anak... mprie - Original Message From: noni marlini <[EMAIL PROTECTED]> To: [EMAIL PROTECTED]; wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Monday, July 14, 2008 9:19:17 PM Subject: [wanita-muslimah] Mereka Bisa karena Pemerintah Peduli Mereka Bisa karena Pemerintah Peduli Sabtu, 24 September 2005 http://www.kompas. com/kompas- cetak/0509/ 24/Fokus/ 2072964.htm Sama-sama negara agraris, kalau bicara soal perberasan, kondisi Indonesia sangat kontras dibandingkan dengan dua negara tetangganya, Thailand dan Vietnam. Kedua negara itu kini eksportir terbesar beras dunia. Sementara, Indonesia masih tertatih-tatih untuk kembali berswasembada. Mengapa dua negara itu mampu mengukuhkan diri sebagai negara produsen produk pertanian yang disegani di dunia, sementara Indonesia yang sekitar 70 persen penduduknya hidup dari pertanian, petaninya terus berkubang dalam kemiskinan dan kelaparan? Ternyata kuncinya, karena pemerintah mereka peduli! Seperti Indonesia, Thailand dan Vietnam juga mengandalkan sebagian besar hidup perekonomiannya pada sektor pertanian, terutama beras. Sejak terjadinya reunifikasi tahun 1975, Vietnam menetapkan pertanian sebagai tulang punggung perekonomiannya. Ini bukan tanpa alasan. Saat itu, lebih dari 60 persen rakyatnya hidup dari pertanian padi yang dikelola secara kolektif. Oleh karena itu, meski ingin menjadi negara industri, Pemerintah Vietnam sadar tidak mungkinmeninggalkan begitu saja pertanian. Apalagi, tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat untuk mengadopsi ilmu dan teknologi yang menjadi syarat utama industri belum mencukupi. Lompatan yang terlalu cepat hanya akan membuat rakyat gagap. Kenyataan ini disadari sepenuhnya oleh para pemimpin Vietnam. Untuk itu, diambil keputusan untuk membagi pembangunan Vietnam dalam dua arah. Wilayah selatan dikembangkan menjadi daerah industri dan perdagangan, sementara wilayah utara untuk pertanian karena iklimnya lebih memungkinkan. Agar antara utara dan selatan tidak terjadi jurang yang dalam, pada tahap awal Pemerintah Vietnam memfokuskan diri dalam membangun infrastruktur, mulai dari irigasi, pencetakan sawah, hingga jalan-jalan yang menembus sampai ke pelosok-pelosok desa yang menjadi sentra produksi padi. Pemerintah Vietnam dengan ketat menjaga agar tidak terjadi alih fungsi tanah pertanian, terutama sawah yang beririgasi untuk kepentingan lain. Pelanggaran terhadap hal ini akan mendapat hukuman sangat berat, bahkan dikategorikan sebagai kejahatanâ politik. Pemerintah memang tidak memberikan subsidi, tetapi segala kebutuhan sarana produksi pertanian, khususnya padi, dijaga ketersediaannya oleh pemerintah. Mulai dari benih, pupuk, pestisida, hingga alat-alat pertanian dengan mudah bisa diperoleh oleh petani melalui koordinator kelompoknya. Ini hampir mirip dengan suasana di Indonesia ketika melakukan revolusi hijau melalui program Bimbingan Massal (Bimas) untuk mencapai target swasembada beras yang dicanangkan oleh mantan Presiden Soeharto. Namun, sebagai negara sosialis, Vietnam mempunyai kebijakan kepemilikan tanah yang lebih tegas. Ada batas minimum kepemilikan lahan yang dijaga oleh pemerintah. Lebih dari 80 persen kebutuhan pangan keluarga petani dipenuhi sendiri oleh lahan pertanian yang dimiliki keluarga itu. Kelebihan produksi yang tidak dikonsumsi oleh keluarga boleh dijual ke pasar, dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Penjualan kepada pemerintah maupun ke pasar akan mendapatkan harga sama baiknya. Namun, ada ketentuan yang tidak tertulis tetapi berlaku di masyarakat, yakni bahwa keluarga petani akan menyerahkan beras terbaiknya untuk dikelola pemerintah, yang diperuntukkan untuk ekspor. Sementara, yang kurang baik dikonsumsi sendiri. Hanya dalam waktu 11 tahun sejak reunifikasi atau berakhirnya perang saudara, Vietnam telah menjadi negara pengekspor, tidak hanya padi, tetapi juga hasil pertanian lainnya seperti gula, kacang tanah, kopi, teh, karet, dan serat jute. Hingga hari ini Pemerintah Vietnam tetap berupaya untuk menjadikan pertaniannya sebagai tulang punggung, meski industrinya mulai berkembang dan meluas. Bekerja sama dengan China, Kamboja, dan Laos, Vietnam membangun infrastruktur di daerah aliran Sungai Mekong. Proyek yang akan selesai tahun 2010 ini akan menjadi landasan kuat bagi pembangunan pertanian negara-negara di Indochina itu. Sangat kompetitif Dengan dukungan yang diberikan pemerintah, pertanian kini benar-benar menjadi tulang punggung perekonomian Vietnam. Beras menyumbang 90 persen dari total produksi pangan dan sekitar 50 persen dari total produksi pertanian. Dari total lahan pertanian yang ada, sekitar 78 persen dialokasikan untuk tanaman padi. Pada tahun 1995, dengan areal padi seluas 4,
[wanita-muslimah] Mereka Bisa karena Pemerintah Peduli
Mereka Bisa karena Pemerintah Peduli Sabtu, 24 September 2005 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/24/Fokus/2072964.htm Sama-sama negara agraris, kalau bicara soal perberasan, kondisi Indonesia sangat kontras dibandingkan dengan dua negara tetangganya, Thailand dan Vietnam. Kedua negara itu kini eksportir terbesar beras dunia. Sementara, Indonesia masih tertatih-tatih untuk kembali berswasembada. Mengapa dua negara itu mampu mengukuhkan diri sebagai negara produsen produk pertanian yang disegani di dunia, sementara Indonesia yang sekitar 70 persen penduduknya hidup dari pertanian, petaninya terus berkubang dalam kemiskinan dan kelaparan? Ternyata kuncinya, karena pemerintah mereka peduli! Seperti Indonesia, Thailand dan Vietnam juga mengandalkan sebagian besar hidup perekonomiannya pada sektor pertanian, terutama beras. Sejak terjadinya reunifikasi tahun 1975, Vietnam menetapkan pertanian sebagai tulang punggung perekonomiannya. Ini bukan tanpa alasan. Saat itu, lebih dari 60 persen rakyatnya hidup dari pertanian padi yang dikelola secara kolektif. Oleh karena itu, meski ingin menjadi negara industri, Pemerintah Vietnam sadar tidak mungkinmeninggalkan begitu saja pertanian. Apalagi, tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat untuk mengadopsi ilmu dan teknologi yang menjadi syarat utama industri belum mencukupi. Lompatan yang terlalu cepat hanya akan membuat rakyat gagap. Kenyataan ini disadari sepenuhnya oleh para pemimpin Vietnam. Untuk itu, diambil keputusan untuk membagi pembangunan Vietnam dalam dua arah. Wilayah selatan dikembangkan menjadi daerah industri dan perdagangan, sementara wilayah utara untuk pertanian karena iklimnya lebih memungkinkan. Agar antara utara dan selatan tidak terjadi jurang yang dalam, pada tahap awal Pemerintah Vietnam memfokuskan diri dalam membangun infrastruktur, mulai dari irigasi, pencetakan sawah, hingga jalan-jalan yang menembus sampai ke pelosok-pelosok desa yang menjadi sentra produksi padi. Pemerintah Vietnam dengan ketat menjaga agar tidak terjadi alih fungsi tanah pertanian, terutama sawah yang beririgasi untuk kepentingan lain. Pelanggaran terhadap hal ini akan mendapat hukuman sangat berat, bahkan dikategorikan sebagai “kejahatanâ” politik. Pemerintah memang tidak memberikan subsidi, tetapi segala kebutuhan sarana produksi pertanian, khususnya padi, dijaga ketersediaannya oleh pemerintah. Mulai dari benih, pupuk, pestisida, hingga alat-alat pertanian dengan mudah bisa diperoleh oleh petani melalui koordinator kelompoknya. Ini hampir mirip dengan suasana di Indonesia ketika melakukan revolusi hijau melalui program Bimbingan Massal (Bimas) untuk mencapai target swasembada beras yang dicanangkan oleh mantan Presiden Soeharto. Namun, sebagai negara sosialis, Vietnam mempunyai kebijakan kepemilikan tanah yang lebih tegas. Ada batas minimum kepemilikan lahan yang dijaga oleh pemerintah. Lebih dari 80 persen kebutuhan pangan keluarga petani dipenuhi sendiri oleh lahan pertanian yang dimiliki keluarga itu. Kelebihan produksi yang tidak dikonsumsi oleh keluarga boleh dijual ke pasar, dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Penjualan kepada pemerintah maupun ke pasar akan mendapatkan harga sama baiknya. Namun, ada ketentuan yang tidak tertulis tetapi berlaku di masyarakat, yakni bahwa keluarga petani akan menyerahkan beras terbaiknya untuk dikelola pemerintah, yang diperuntukkan untuk ekspor. Sementara, yang kurang baik dikonsumsi sendiri. Hanya dalam waktu 11 tahun sejak reunifikasi atau berakhirnya perang saudara, Vietnam telah menjadi negara pengekspor, tidak hanya padi, tetapi juga hasil pertanian lainnya seperti gula, kacang tanah, kopi, teh, karet, dan serat jute. Hingga hari ini Pemerintah Vietnam tetap berupaya untuk menjadikan pertaniannya sebagai tulang punggung, meski industrinya mulai berkembang dan meluas. Bekerja sama dengan China, Kamboja, dan Laos, Vietnam membangun infrastruktur di daerah aliran Sungai Mekong. Proyek yang akan selesai tahun 2010 ini akan menjadi landasan kuat bagi pembangunan pertanian negara-negara di Indochina itu. Sangat kompetitif Dengan dukungan yang diberikan pemerintah, pertanian kini benar-benar menjadi tulang punggung perekonomian Vietnam. Beras menyumbang 90 persen dari total produksi pangan dan sekitar 50 persen dari total produksi pertanian. Dari total lahan pertanian yang ada, sekitar 78 persen dialokasikan untuk tanaman padi. Pada tahun 1995, dengan areal padi seluas 4,2 juta hektar, produksi padi negara ini sudah mencapai 25 juta ton. Produksi beras Vietnam meningkat rata-rata 5 persen (sekitar 1 juta ton) setiap tahun sejak tahun 1989. Penerimaan ekspor beras menyumbang sekitar 30 persen dari total devisa ekspor produk pertanian dan kehutanan. Vietnam sendiri sekarang ini merupakan eksportir beras terbes