Siapa Menolak RUU APP? <-= Re: [wanita-muslimah] RUU APP Misoginis dan Memojokkan

2006-03-09 Terurut Topik H. M. Nur Abdurrahman
lama ini, ternyata 
kedua daerah itu menyambut positif. Alasan mereka sederhana, pornografi dan 
pornoaksi sudah sedemikian meracuni anak-anak Papua dan Batam. ''Hadirnya 
undang-undang diharapkan bisa mengubah citra Kota Batam,'' kata Balkan.

   Sikap serupa juga datang dari mayoritas lembaga yang dimintai pandangan 
oleh pansus. Dari ke-167 lembaga pemberi masukan itu, pansus memilah antara 
pihak yang setuju dan kontra RUU APP. Dari jumlah itu, 144 lembaga atau 
sekitar 90 persen di antaranya menyatakan mendukung RUU tersebut. Sisanya, 
sekitar 10 persen, bisa dikategorikan menolak atau masih mengompromikan RUU 
itu.

   ''Jadi kalau melihat jumlah pendukung, tolonglah yang sepuluh persen itu 
legawa,'' kata Balkan. Menurut dia, tidaklah elok jika mereka yang ternyata 
minoritas itu justru menginjak mayoritas hanya karena kepentingan pribadi 
semata. Sementara, anggota pansus, Latifah Iskandar, menilai, dari pro dan 
kontra di lapangan, kentara siapa dan kepentingan apa saja yang menolak 
adanya undang-undang tersebut. ''Saya melihat, pendukung RUU ini akan 
berhadapan dengan para kapitalis yang selama ini menguasai industri besar 
di Tanah Air,'' kata pimpinan PP Aisiyah itu.

   Ia juga melihat, saat ini ada kecenderungan pihak yang kontra sengaja 
membelokkan tujuan lahirnya RUU tersebut. Persoalan pornografi justru 
sengaja dibuat bias kepada cara berpakaian. ''Padahal, RUU itu tidak 
mengatur cara berpakaian, melainkan menertibkan pornografi serta melindungi 
korban akibat pornografi,'' kata latifah. Yang lebih mengkhawatirkan, ia 
melihat ada upaya menggiring wacana RUU itu dengan membenturkan antara 
Islam dan non-Islam. ''Itu jelas terlalu jauh,'' keluh Latifah. (vie/aas/c34 )

===


-muslim voice-
__
BECAUSE YOU HAVE THE RIGHT TO KNOW 

 
  - Original Message - 
  From: Sato Sakaki 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, March 07, 2006 10:15
  Subject: [wanita-muslimah] RUU APP Misoginis dan Memojokkan


  http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/04/Fokus/2481742.htm

  Misoginis dan Memojokkan
  Oleh Ninuk Mardiana Pambudy

  Banyak pihak, baik perempuan maupun laki-laki, setelah
  membaca isi Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan
  Pornoaksi berpendapat, rancangan tersebut lebih
  memojokkan perempuan dan berpeluang meningkatkan
  kekerasan terhadap perempuan daripada memberi
  perlindungan.

  Contoh paling gamblang adalah Pasal 4, yang melarang
  membuat tulisan, suara, film, syair, lagu, puisi,
  gambar, foto atau lukisan yang mengeksploitasi daya
  tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang
  dewasa. Atau Pasal 25 yang melarang mempertontonkan
  bagian tubuh yang sensual.

  Pada bagian penjelasan, bagian tubuh yang sensual
  tersebut didefinisikan sebagai "antara lain alat
  kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara
  perempuan, baik terlihat sebagian atau seluruhnya".

  Berbagai definisi yang tidak jelas di dalam RUU itu
  akan menimbulkan berbagai tafsir subyektif. Menurut
  pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid KH Husein
  Muhammad, munculnya tafsir subyektif itu disebabkan
  definisi tersebut berhubungan dengan ekspresi rasa,
  gagasan, moralitas personal, dan ekspresi budaya.

  Dalam bahasa agama, menurut KH Husein, aurat perempuan
  didefinisikan beragam oleh ulama. Mulai dari hanya
  boleh memperlihatkan hanya telapak tangan dan wajah
  hingga ada yang membolehkan terlihatnya lengan, betis,
  dan wajah.

  Penulis Ayu Utami berargumen, pengalaman di masyarakat
  Indonesia memperlihatkan ketelanjangan bukanlah
  kebejatan pada dirinya. Media massa berulang kali
  memberitakan para ibu yang membuka pakaian dan
  membaringkan dirinya di tanah saat mempertahankan
  tanah mereka dari penggusuran.

  Di sini ketelanjangan justru adalah bahasa terakhir
  kaum tak berdaya. Dengan ketelanjangan itu, para
  perempuan tersebut mengatakan, "Jangan renggut tanah
  dan tubuh kami sebab kami tidak punya apa-apa lagi."

  Penulis novel Saman ini mengkritik RUU ini yang hanya
  melihat tubuh sebatas aspek sensual, pembangkit gairah
  sehingga gagal melihat aspek lain dari tubuh.

  Padahal, aspek lain itulah yang dihidupi berbagai suku
  bangsa di Indonesia dengan cara berbeda- beda sehingga
  mandi bersama di sungai, cara (perempuan) berbusana
  yang memperlihatkan bahu, sebagian atau seluruh
  payudara, atau pusar tidak dianggap sebagai sesuatu
  yang memalukan, jorok, atau membangkitkan nafsu.

  Misoginis

  Gadis Arivia menyebut RUU Antipornografi dan Pornoaksi
  ini sebagai misoginis, yaitu sikap membenci,
  menaklukkan, dan merepresi keberadaan budaya dan
  spiritualitas perempuan.

  RUU ini, menurut Gadis, menggunakan logika
  patriarkis-logika yang menganggap nilai-nilai yang
  melekat pada laki-laki lebih baik daripada perempuan
  dan karenanya mendominasi-sebab melekatkan dosa d

[wanita-muslimah] RUU APP Misoginis dan Memojokkan

2006-03-07 Terurut Topik Sato Sakaki
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/04/Fokus/2481742.htm

Misoginis dan Memojokkan
Oleh Ninuk Mardiana Pambudy

Banyak pihak, baik perempuan maupun laki-laki, setelah
membaca isi Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan
Pornoaksi berpendapat, rancangan tersebut lebih
memojokkan perempuan dan berpeluang meningkatkan
kekerasan terhadap perempuan daripada memberi
perlindungan.

Contoh paling gamblang adalah Pasal 4, yang melarang
membuat tulisan, suara, film, syair, lagu, puisi,
gambar, foto atau lukisan yang mengeksploitasi daya
tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang
dewasa. Atau Pasal 25 yang melarang mempertontonkan
bagian tubuh yang sensual.

Pada bagian penjelasan, bagian tubuh yang sensual
tersebut didefinisikan sebagai ”antara lain alat
kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara
perempuan, baik terlihat sebagian atau seluruhnya”.

Berbagai definisi yang tidak jelas di dalam RUU itu
akan menimbulkan berbagai tafsir subyektif. Menurut
pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid KH Husein
Muhammad, munculnya tafsir subyektif itu disebabkan
definisi tersebut berhubungan dengan ekspresi rasa,
gagasan, moralitas personal, dan ekspresi budaya.

Dalam bahasa agama, menurut KH Husein, aurat perempuan
didefinisikan beragam oleh ulama. Mulai dari hanya
boleh memperlihatkan hanya telapak tangan dan wajah
hingga ada yang membolehkan terlihatnya lengan, betis,
dan wajah.

Penulis Ayu Utami berargumen, pengalaman di masyarakat
Indonesia memperlihatkan ketelanjangan bukanlah
kebejatan pada dirinya. Media massa berulang kali
memberitakan para ibu yang membuka pakaian dan
membaringkan dirinya di tanah saat mempertahankan
tanah mereka dari penggusuran.

Di sini ketelanjangan justru adalah bahasa terakhir
kaum tak berdaya. Dengan ketelanjangan itu, para
perempuan tersebut mengatakan, ”Jangan renggut tanah
dan tubuh kami sebab kami tidak punya apa-apa lagi.”

Penulis novel Saman ini mengkritik RUU ini yang hanya
melihat tubuh sebatas aspek sensual, pembangkit gairah
sehingga gagal melihat aspek lain dari tubuh.

Padahal, aspek lain itulah yang dihidupi berbagai suku
bangsa di Indonesia dengan cara berbeda- beda sehingga
mandi bersama di sungai, cara (perempuan) berbusana
yang memperlihatkan bahu, sebagian atau seluruh
payudara, atau pusar tidak dianggap sebagai sesuatu
yang memalukan, jorok, atau membangkitkan nafsu.

Misoginis

Gadis Arivia menyebut RUU Antipornografi dan Pornoaksi
ini sebagai misoginis, yaitu sikap membenci,
menaklukkan, dan merepresi keberadaan budaya dan
spiritualitas perempuan.

RUU ini, menurut Gadis, menggunakan logika
patriarkis—logika yang menganggap nilai-nilai yang
melekat pada laki-laki lebih baik daripada perempuan
dan karenanya mendominasi—sebab melekatkan dosa dan
moral pada tubuh perempuan.

Logika itu terdapat pada ayat Menimbang yang
menggunakan kata-kata: ”diperlukan adanya sikap,
akhlak mulia, kepribadian luhur, pornografi dan
pornoaksi yang mengancam kelestarian tatanan kehidupan
masyarakat”.

Menurut logika falus/patriarkis di dalam RUU ini,
seksualitas dan tubuh penyebab pornografi dan
pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan;
bahwa dengan membatasi seksualitas dan tubuh perempuan
maka akhlak mulia, kepribadian luhur, kelestarian
tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam; dan
seksualitas dan tubuh perempuan didikotomikan sebagai
kotor (perempuan) dan suci (Tuhan).

Gadis menolak gagasan tersebut. Opresi terhadap
perempuan telah berjalan berabad-abad dengan mengambil
berbagai bentuk, antara lain tabu, mitos, dan
pengetahuan berdasar konsep patriarkis.

Moral dan dosa selalu dilekatkan pada tubuh perempuan,
bahkan dimulai dari saat penciptaan manusia. Eva
diimajinasikan sebagai tubuh yang kotor, penyebab
malapetaka.

Pendikotomian tersebut bukannya tidak menimbulkan
masalah. Dr Nasaruddin Umar MA di dalam bukunya,
Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al Quran
(Paramadina, 1999), membahas antara lain penciptaan
perempuan.

Dia menyebutkan, ”Substansi asal-usul kejadian Adam
dan Hawa tidak dibedakan tegas di dalam Al Quran.
Memang ada isyarat bahwa Adam diciptakan dari tanah
kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakan Hawa, namun
isyarat ini diperoleh dari Hadits. Kata Hawa yang
selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang
menjadi istri Adam sama sekali tidak pernah disinggung
di dalam Al Quran. Bahkan keberadaan Adam sebagai
manusia pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih
ada yang mempertanyakannya” (hal 235-236).

Nasaruddin juga menyebutkan, problem dalam memahami
teks kitab suci yang terberat adalah memilah antara
ajaran yang sebenarnya dan mitos yang menjadi bagian
kepercayaan pengikut berbagai agama (hal 228-229).

Pertanyaan tentang hak

Berbagai ketidakjelasan di dalam RUU itulah yang
kemudian menimbulkan pertanyaan apakah RUU ini
dimaksudkan melindungi perempuan atau justru
membatasi, mengintimidasi, mengancam, dan meningkatkan
kemungkinan kekerasan terhadap perempuan.

Bila bertujuan melindungi perempuan, Gadis
mencontohkan definisi