Siapa Menolak RUU APP? <-= Re: [wanita-muslimah] RUU APP Misoginis dan Memojokkan
lama ini, ternyata kedua daerah itu menyambut positif. Alasan mereka sederhana, pornografi dan pornoaksi sudah sedemikian meracuni anak-anak Papua dan Batam. ''Hadirnya undang-undang diharapkan bisa mengubah citra Kota Batam,'' kata Balkan. Sikap serupa juga datang dari mayoritas lembaga yang dimintai pandangan oleh pansus. Dari ke-167 lembaga pemberi masukan itu, pansus memilah antara pihak yang setuju dan kontra RUU APP. Dari jumlah itu, 144 lembaga atau sekitar 90 persen di antaranya menyatakan mendukung RUU tersebut. Sisanya, sekitar 10 persen, bisa dikategorikan menolak atau masih mengompromikan RUU itu. ''Jadi kalau melihat jumlah pendukung, tolonglah yang sepuluh persen itu legawa,'' kata Balkan. Menurut dia, tidaklah elok jika mereka yang ternyata minoritas itu justru menginjak mayoritas hanya karena kepentingan pribadi semata. Sementara, anggota pansus, Latifah Iskandar, menilai, dari pro dan kontra di lapangan, kentara siapa dan kepentingan apa saja yang menolak adanya undang-undang tersebut. ''Saya melihat, pendukung RUU ini akan berhadapan dengan para kapitalis yang selama ini menguasai industri besar di Tanah Air,'' kata pimpinan PP Aisiyah itu. Ia juga melihat, saat ini ada kecenderungan pihak yang kontra sengaja membelokkan tujuan lahirnya RUU tersebut. Persoalan pornografi justru sengaja dibuat bias kepada cara berpakaian. ''Padahal, RUU itu tidak mengatur cara berpakaian, melainkan menertibkan pornografi serta melindungi korban akibat pornografi,'' kata latifah. Yang lebih mengkhawatirkan, ia melihat ada upaya menggiring wacana RUU itu dengan membenturkan antara Islam dan non-Islam. ''Itu jelas terlalu jauh,'' keluh Latifah. (vie/aas/c34 ) === -muslim voice- __ BECAUSE YOU HAVE THE RIGHT TO KNOW - Original Message - From: Sato Sakaki To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, March 07, 2006 10:15 Subject: [wanita-muslimah] RUU APP Misoginis dan Memojokkan http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/04/Fokus/2481742.htm Misoginis dan Memojokkan Oleh Ninuk Mardiana Pambudy Banyak pihak, baik perempuan maupun laki-laki, setelah membaca isi Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi berpendapat, rancangan tersebut lebih memojokkan perempuan dan berpeluang meningkatkan kekerasan terhadap perempuan daripada memberi perlindungan. Contoh paling gamblang adalah Pasal 4, yang melarang membuat tulisan, suara, film, syair, lagu, puisi, gambar, foto atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa. Atau Pasal 25 yang melarang mempertontonkan bagian tubuh yang sensual. Pada bagian penjelasan, bagian tubuh yang sensual tersebut didefinisikan sebagai "antara lain alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian atau seluruhnya". Berbagai definisi yang tidak jelas di dalam RUU itu akan menimbulkan berbagai tafsir subyektif. Menurut pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid KH Husein Muhammad, munculnya tafsir subyektif itu disebabkan definisi tersebut berhubungan dengan ekspresi rasa, gagasan, moralitas personal, dan ekspresi budaya. Dalam bahasa agama, menurut KH Husein, aurat perempuan didefinisikan beragam oleh ulama. Mulai dari hanya boleh memperlihatkan hanya telapak tangan dan wajah hingga ada yang membolehkan terlihatnya lengan, betis, dan wajah. Penulis Ayu Utami berargumen, pengalaman di masyarakat Indonesia memperlihatkan ketelanjangan bukanlah kebejatan pada dirinya. Media massa berulang kali memberitakan para ibu yang membuka pakaian dan membaringkan dirinya di tanah saat mempertahankan tanah mereka dari penggusuran. Di sini ketelanjangan justru adalah bahasa terakhir kaum tak berdaya. Dengan ketelanjangan itu, para perempuan tersebut mengatakan, "Jangan renggut tanah dan tubuh kami sebab kami tidak punya apa-apa lagi." Penulis novel Saman ini mengkritik RUU ini yang hanya melihat tubuh sebatas aspek sensual, pembangkit gairah sehingga gagal melihat aspek lain dari tubuh. Padahal, aspek lain itulah yang dihidupi berbagai suku bangsa di Indonesia dengan cara berbeda- beda sehingga mandi bersama di sungai, cara (perempuan) berbusana yang memperlihatkan bahu, sebagian atau seluruh payudara, atau pusar tidak dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, jorok, atau membangkitkan nafsu. Misoginis Gadis Arivia menyebut RUU Antipornografi dan Pornoaksi ini sebagai misoginis, yaitu sikap membenci, menaklukkan, dan merepresi keberadaan budaya dan spiritualitas perempuan. RUU ini, menurut Gadis, menggunakan logika patriarkis-logika yang menganggap nilai-nilai yang melekat pada laki-laki lebih baik daripada perempuan dan karenanya mendominasi-sebab melekatkan dosa d
[wanita-muslimah] RUU APP Misoginis dan Memojokkan
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/04/Fokus/2481742.htm Misoginis dan Memojokkan Oleh Ninuk Mardiana Pambudy Banyak pihak, baik perempuan maupun laki-laki, setelah membaca isi Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi berpendapat, rancangan tersebut lebih memojokkan perempuan dan berpeluang meningkatkan kekerasan terhadap perempuan daripada memberi perlindungan. Contoh paling gamblang adalah Pasal 4, yang melarang membuat tulisan, suara, film, syair, lagu, puisi, gambar, foto atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa. Atau Pasal 25 yang melarang mempertontonkan bagian tubuh yang sensual. Pada bagian penjelasan, bagian tubuh yang sensual tersebut didefinisikan sebagai antara lain alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian atau seluruhnya. Berbagai definisi yang tidak jelas di dalam RUU itu akan menimbulkan berbagai tafsir subyektif. Menurut pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid KH Husein Muhammad, munculnya tafsir subyektif itu disebabkan definisi tersebut berhubungan dengan ekspresi rasa, gagasan, moralitas personal, dan ekspresi budaya. Dalam bahasa agama, menurut KH Husein, aurat perempuan didefinisikan beragam oleh ulama. Mulai dari hanya boleh memperlihatkan hanya telapak tangan dan wajah hingga ada yang membolehkan terlihatnya lengan, betis, dan wajah. Penulis Ayu Utami berargumen, pengalaman di masyarakat Indonesia memperlihatkan ketelanjangan bukanlah kebejatan pada dirinya. Media massa berulang kali memberitakan para ibu yang membuka pakaian dan membaringkan dirinya di tanah saat mempertahankan tanah mereka dari penggusuran. Di sini ketelanjangan justru adalah bahasa terakhir kaum tak berdaya. Dengan ketelanjangan itu, para perempuan tersebut mengatakan, Jangan renggut tanah dan tubuh kami sebab kami tidak punya apa-apa lagi. Penulis novel Saman ini mengkritik RUU ini yang hanya melihat tubuh sebatas aspek sensual, pembangkit gairah sehingga gagal melihat aspek lain dari tubuh. Padahal, aspek lain itulah yang dihidupi berbagai suku bangsa di Indonesia dengan cara berbeda- beda sehingga mandi bersama di sungai, cara (perempuan) berbusana yang memperlihatkan bahu, sebagian atau seluruh payudara, atau pusar tidak dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, jorok, atau membangkitkan nafsu. Misoginis Gadis Arivia menyebut RUU Antipornografi dan Pornoaksi ini sebagai misoginis, yaitu sikap membenci, menaklukkan, dan merepresi keberadaan budaya dan spiritualitas perempuan. RUU ini, menurut Gadis, menggunakan logika patriarkislogika yang menganggap nilai-nilai yang melekat pada laki-laki lebih baik daripada perempuan dan karenanya mendominasisebab melekatkan dosa dan moral pada tubuh perempuan. Logika itu terdapat pada ayat Menimbang yang menggunakan kata-kata: diperlukan adanya sikap, akhlak mulia, kepribadian luhur, pornografi dan pornoaksi yang mengancam kelestarian tatanan kehidupan masyarakat. Menurut logika falus/patriarkis di dalam RUU ini, seksualitas dan tubuh penyebab pornografi dan pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan; bahwa dengan membatasi seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia, kepribadian luhur, kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam; dan seksualitas dan tubuh perempuan didikotomikan sebagai kotor (perempuan) dan suci (Tuhan). Gadis menolak gagasan tersebut. Opresi terhadap perempuan telah berjalan berabad-abad dengan mengambil berbagai bentuk, antara lain tabu, mitos, dan pengetahuan berdasar konsep patriarkis. Moral dan dosa selalu dilekatkan pada tubuh perempuan, bahkan dimulai dari saat penciptaan manusia. Eva diimajinasikan sebagai tubuh yang kotor, penyebab malapetaka. Pendikotomian tersebut bukannya tidak menimbulkan masalah. Dr Nasaruddin Umar MA di dalam bukunya, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al Quran (Paramadina, 1999), membahas antara lain penciptaan perempuan. Dia menyebutkan, Substansi asal-usul kejadian Adam dan Hawa tidak dibedakan tegas di dalam Al Quran. Memang ada isyarat bahwa Adam diciptakan dari tanah kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakan Hawa, namun isyarat ini diperoleh dari Hadits. Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi istri Adam sama sekali tidak pernah disinggung di dalam Al Quran. Bahkan keberadaan Adam sebagai manusia pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih ada yang mempertanyakannya (hal 235-236). Nasaruddin juga menyebutkan, problem dalam memahami teks kitab suci yang terberat adalah memilah antara ajaran yang sebenarnya dan mitos yang menjadi bagian kepercayaan pengikut berbagai agama (hal 228-229). Pertanyaan tentang hak Berbagai ketidakjelasan di dalam RUU itulah yang kemudian menimbulkan pertanyaan apakah RUU ini dimaksudkan melindungi perempuan atau justru membatasi, mengintimidasi, mengancam, dan meningkatkan kemungkinan kekerasan terhadap perempuan. Bila bertujuan melindungi perempuan, Gadis mencontohkan definisi