Re: [wanita-muslimah] Re: keterwakilan perempuan 30% = sunnah nabi?
kenapa bapak bapak acaranya sabtu malam ? soale banyak yg masih kerja di hari sabtu, atau yg cari overtime sampai jam 6 sore di kantor. akhirnya sampai rumah yah udah jam 7 maleman gitu lah ... huehehehhee On 1/29/07, Ari Condro <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > kalo di masyarakat sub urban biasanya diaturnya begini : > > 1. tiap awal bulan ada rapat level RT > 2. ibu ibu hari sabtu awalbulan sore jam 4-5 sore > 3. bapak bapak jam 8-10 malam > > isu yg dibicarakan sama, kalau ada pembicaraan yg penting dan perlu suara > dari ibu ibu, biasanya sih ada kesepakatan suara dari arisan sore ibu ibu > RT, atau kalau perlu kirim wakil di arisan malam bapak bapak. > > 4. dalam kenyataan peran ibu RT terutama yg statusnya ibu rumah tangga > lebih besar darpada suaminya [si bapak RT], soale merangkap > nguruspendaftaran dan mutasi warga baru, ngurus KTP dan KK kalau ada > permintaan dari warga, jadi mata mata dan intel untuk semua wacana yg muncul > di grassroot, jadi pelopor untuk ngunjungi warga yg sakit, melahirkan, kena > musibah, jadi bagian resek, negor negor kalo ada warga bermasalah [terlibat > tindak kriminal, gak gaul dgn masyarakat lain, atau selingkuh ama > wanita/lelaki lain]. > > > > > On 1/18/07, Chae <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > Kalau pendapat saya justru itu menjadi masalah ketika eksistensi > > perempuan di ranah publik berada di bawah otoritas laki-laki, > > seakan-akan hak perempuan untuk tampil dimuka publik jadi nomor dua > > setelah laki-laki. Ini kan berdampak terhadap penegmabangan potensi > > perempuan di ranah publik, tentu saja ada hak2 perempuan yang dikebiri > > semisal dalam hal haknya untuk ikut serta dalam menciptakan > > kebijaksanaan publik. > > > > Coba Pak Sabri lihat jika ada rapat RT atau RW maka yang diundang > > hanya Bapa2 sebagai wakil dari setiap keluarga padahal kebijaksanaan > > yang dihasilan tentu saja iktu meliputi keberadaan pihak perempuan. > > Ini baru contoh sederhananya bagaimana dengan keberadaan perempuan > > dalam ranah publik sebagai warga negara??;) > > > > --- In wanita-muslimah @yahoogroups.com, > > st sabri <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > > wah ini bener-bener nggladrah, > > > > > > wakil keluarga adalah lelaki, IMHO, hal ini tidak menjadi masalah. Di > > > Pekalongan dan sekitarnya apabila ada undangan slametan, maka yg > > > mewakili keluarga adalah Suami atau anak laki-laki. Nah untuk keluarga > > > yg berkepala keluarga perempuan (misalnya janda) maka "berkat"-nya > > akan > > > dikirim ke rumahnya, meski tidak hadir di acara slametan. Ini bukan > > bias > > > gender, kalo sang Ibu mau hadir ditengah para lelaki tentu saja boleh; > > > tapi ini tidak sesuai dengan norma kepantasan publik. Di lain sisi, > > bila > > > ada undangan kerja bakti atau ronda, maka keluarga janda ini TIDAK > > WAJIB > > > HADIR (tidak perlu capek2 ikut kerja) rumahnya akan dibersihkan juga. > > > > > > Ini bentuk penghormatan pada perempuan. > > > > > > Di tataran lebih tinggi, misal pemilihan ketua RT, perempuan boleh kok > > > mencalonkan diri, juga untuk RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, > > > Presiden. Silahkan saja. > > > > > > Jaman sekarang Nama Gadis sudah tidak hilang lagi, istri saya tidak > > > pernah dipanggil Bu Sabri :=)) baik Istri pertama maupun istri kedua. > > > Dua-duanya selalu memperkenalkan diri dengan nama mereka sendiri dan > > > masyarakat mengakuinya tuh. > > > > > > salam > > > > > > > > > > > > > > > [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [wanita-muslimah] Re: keterwakilan perempuan 30% = sunnah nabi?
kalo di masyarakat sub urban biasanya diaturnya begini : 1. tiap awal bulan ada rapat level RT 2. ibu ibu hari sabtu awalbulan sore jam 4-5 sore 3. bapak bapak jam 8-10 malam isu yg dibicarakan sama, kalau ada pembicaraan yg penting dan perlu suara dari ibu ibu, biasanya sih ada kesepakatan suara dari arisan sore ibu ibu RT, atau kalau perlu kirim wakil di arisan malam bapak bapak. 4. dalam kenyataan peran ibu RT terutama yg statusnya ibu rumah tangga lebih besar darpada suaminya [si bapak RT], soale merangkap nguruspendaftaran dan mutasi warga baru, ngurus KTP dan KK kalau ada permintaan dari warga, jadi mata mata dan intel untuk semua wacana yg muncul di grassroot, jadi pelopor untuk ngunjungi warga yg sakit, melahirkan, kena musibah, jadi bagian resek, negor negor kalo ada warga bermasalah [terlibat tindak kriminal, gak gaul dgn masyarakat lain, atau selingkuh ama wanita/lelaki lain]. On 1/18/07, Chae <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Kalau pendapat saya justru itu menjadi masalah ketika eksistensi > perempuan di ranah publik berada di bawah otoritas laki-laki, > seakan-akan hak perempuan untuk tampil dimuka publik jadi nomor dua > setelah laki-laki. Ini kan berdampak terhadap penegmabangan potensi > perempuan di ranah publik, tentu saja ada hak2 perempuan yang dikebiri > semisal dalam hal haknya untuk ikut serta dalam menciptakan > kebijaksanaan publik. > > Coba Pak Sabri lihat jika ada rapat RT atau RW maka yang diundang > hanya Bapa2 sebagai wakil dari setiap keluarga padahal kebijaksanaan > yang dihasilan tentu saja iktu meliputi keberadaan pihak perempuan. > Ini baru contoh sederhananya bagaimana dengan keberadaan perempuan > dalam ranah publik sebagai warga negara??;) > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com , > st sabri <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > wah ini bener-bener nggladrah, > > > > wakil keluarga adalah lelaki, IMHO, hal ini tidak menjadi masalah. Di > > Pekalongan dan sekitarnya apabila ada undangan slametan, maka yg > > mewakili keluarga adalah Suami atau anak laki-laki. Nah untuk keluarga > > yg berkepala keluarga perempuan (misalnya janda) maka "berkat"-nya akan > > dikirim ke rumahnya, meski tidak hadir di acara slametan. Ini bukan bias > > gender, kalo sang Ibu mau hadir ditengah para lelaki tentu saja boleh; > > tapi ini tidak sesuai dengan norma kepantasan publik. Di lain sisi, bila > > ada undangan kerja bakti atau ronda, maka keluarga janda ini TIDAK WAJIB > > HADIR (tidak perlu capek2 ikut kerja) rumahnya akan dibersihkan juga. > > > > Ini bentuk penghormatan pada perempuan. > > > > Di tataran lebih tinggi, misal pemilihan ketua RT, perempuan boleh kok > > mencalonkan diri, juga untuk RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, > > Presiden. Silahkan saja. > > > > Jaman sekarang Nama Gadis sudah tidak hilang lagi, istri saya tidak > > pernah dipanggil Bu Sabri :=)) baik Istri pertama maupun istri kedua. > > Dua-duanya selalu memperkenalkan diri dengan nama mereka sendiri dan > > masyarakat mengakuinya tuh. > > > > salam > > > > > > > > [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [wanita-muslimah] Re: keterwakilan perempuan 30% = sunnah nabi?
Dear akhi Sabri...yang berbahagia =>Jaman sekarang Nama Gadis sudah tidak hilang lagi, istri saya tidak pernah dipanggil Bu Sabri :=)) baik Istri pertama maupun istri kedua. Dua-duanya selalu memperkenalkan diri dengan nama mereka sendiri dan masyarakat mengakuinya tuh. == Jadi akhi sabri ini punya istri dua yach Salam Her st sabri <[EMAIL PROTECTED]> wrote: On Thu, 2007-01-18 at 08:14 +, Chae wrote: > Maksudnya begini Mba, kadang yang di akui secara hukum negara dan > hukum agama adalah para laki-laki atau suami sebagai satu-satunya > pihak yang mewakili kepentingan keluarga. > > Pada keberadaan perempuan dalam ranah publik pun jika dia berstatus > istri tidak lepas dibawah otoritas para suami. > wah ini bener-bener nggladrah, wakil keluarga adalah lelaki, IMHO, hal ini tidak menjadi masalah. Di Pekalongan dan sekitarnya apabila ada undangan slametan, maka yg mewakili keluarga adalah Suami atau anak laki-laki. Nah untuk keluarga yg berkepala keluarga perempuan (misalnya janda) maka "berkat"-nya akan dikirim ke rumahnya, meski tidak hadir di acara slametan. Ini bukan bias gender, kalo sang Ibu mau hadir ditengah para lelaki tentu saja boleh; tapi ini tidak sesuai dengan norma kepantasan publik. Di lain sisi, bila ada undangan kerja bakti atau ronda, maka keluarga janda ini TIDAK WAJIB HADIR (tidak perlu capek2 ikut kerja) rumahnya akan dibersihkan juga. Ini bentuk penghormatan pada perempuan. Di tataran lebih tinggi, misal pemilihan ketua RT, perempuan boleh kok mencalonkan diri, juga untuk RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Presiden. Silahkan saja. Jaman sekarang Nama Gadis sudah tidak hilang lagi, istri saya tidak pernah dipanggil Bu Sabri :=)) baik Istri pertama maupun istri kedua. Dua-duanya selalu memperkenalkan diri dengan nama mereka sendiri dan masyarakat mengakuinya tuh. salam > - We won't tell. Get more on shows you hate to love (and love to hate): Yahoo! TV's Guilty Pleasures list. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Re: keterwakilan perempuan 30% = sunnah nabi?
Kalau pendapat saya justru itu menjadi masalah ketika eksistensi perempuan di ranah publik berada di bawah otoritas laki-laki, seakan-akan hak perempuan untuk tampil dimuka publik jadi nomor dua setelah laki-laki. Ini kan berdampak terhadap penegmabangan potensi perempuan di ranah publik, tentu saja ada hak2 perempuan yang dikebiri semisal dalam hal haknya untuk ikut serta dalam menciptakan kebijaksanaan publik. Coba Pak Sabri lihat jika ada rapat RT atau RW maka yang diundang hanya Bapa2 sebagai wakil dari setiap keluarga padahal kebijaksanaan yang dihasilan tentu saja iktu meliputi keberadaan pihak perempuan. Ini baru contoh sederhananya bagaimana dengan keberadaan perempuan dalam ranah publik sebagai warga negara??;) --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, st sabri <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > wah ini bener-bener nggladrah, > > wakil keluarga adalah lelaki, IMHO, hal ini tidak menjadi masalah. Di > Pekalongan dan sekitarnya apabila ada undangan slametan, maka yg > mewakili keluarga adalah Suami atau anak laki-laki. Nah untuk keluarga > yg berkepala keluarga perempuan (misalnya janda) maka "berkat"-nya akan > dikirim ke rumahnya, meski tidak hadir di acara slametan. Ini bukan bias > gender, kalo sang Ibu mau hadir ditengah para lelaki tentu saja boleh; > tapi ini tidak sesuai dengan norma kepantasan publik. Di lain sisi, bila > ada undangan kerja bakti atau ronda, maka keluarga janda ini TIDAK WAJIB > HADIR (tidak perlu capek2 ikut kerja) rumahnya akan dibersihkan juga. > > Ini bentuk penghormatan pada perempuan. > > Di tataran lebih tinggi, misal pemilihan ketua RT, perempuan boleh kok > mencalonkan diri, juga untuk RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, > Presiden. Silahkan saja. > > Jaman sekarang Nama Gadis sudah tidak hilang lagi, istri saya tidak > pernah dipanggil Bu Sabri :=)) baik Istri pertama maupun istri kedua. > Dua-duanya selalu memperkenalkan diri dengan nama mereka sendiri dan > masyarakat mengakuinya tuh. > > salam > > >
Re: [wanita-muslimah] Re: keterwakilan perempuan 30% = sunnah nabi?
On Thu, 2007-01-18 at 08:14 +, Chae wrote: > Maksudnya begini Mba, kadang yang di akui secara hukum negara dan > hukum agama adalah para laki-laki atau suami sebagai satu-satunya > pihak yang mewakili kepentingan keluarga. > > Pada keberadaan perempuan dalam ranah publik pun jika dia berstatus > istri tidak lepas dibawah otoritas para suami. > wah ini bener-bener nggladrah, wakil keluarga adalah lelaki, IMHO, hal ini tidak menjadi masalah. Di Pekalongan dan sekitarnya apabila ada undangan slametan, maka yg mewakili keluarga adalah Suami atau anak laki-laki. Nah untuk keluarga yg berkepala keluarga perempuan (misalnya janda) maka "berkat"-nya akan dikirim ke rumahnya, meski tidak hadir di acara slametan. Ini bukan bias gender, kalo sang Ibu mau hadir ditengah para lelaki tentu saja boleh; tapi ini tidak sesuai dengan norma kepantasan publik. Di lain sisi, bila ada undangan kerja bakti atau ronda, maka keluarga janda ini TIDAK WAJIB HADIR (tidak perlu capek2 ikut kerja) rumahnya akan dibersihkan juga. Ini bentuk penghormatan pada perempuan. Di tataran lebih tinggi, misal pemilihan ketua RT, perempuan boleh kok mencalonkan diri, juga untuk RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Presiden. Silahkan saja. Jaman sekarang Nama Gadis sudah tidak hilang lagi, istri saya tidak pernah dipanggil Bu Sabri :=)) baik Istri pertama maupun istri kedua. Dua-duanya selalu memperkenalkan diri dengan nama mereka sendiri dan masyarakat mengakuinya tuh. salam >
[wanita-muslimah] Re: keterwakilan perempuan 30% = sunnah nabi?
Maksudnya begini Mba, kadang yang di akui secara hukum negara dan hukum agama adalah para laki-laki atau suami sebagai satu-satunya pihak yang mewakili kepentingan keluarga. Pada keberadaan perempuan dalam ranah publik pun jika dia berstatus istri tidak lepas dibawah otoritas para suami. --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Mia" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Maksut mba perempuan/ibu/isteri mewakili rumah tangganya misalnya > yang gimana? kepemilikan, mewakili keluarganya di acara2, buka > rekening bank? ato gimana? > > salam > Mia > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Chae" > wrote: > > > > kalau boleh usul bagaimana kalau keterwakilan perempuan dalam rumah > > tangga sebagai istri menjadi lebih seimbang dengan laki-laki > sebagai > > suami. Ironisnya seakrang ini keterwakilan perempuan dalam rumah > > tangga sangat kecil dan tidak seimbang dengan para suami bahkan > dengan > > anak laki-lakinya sendiri. > > > > Sebenarnya hal ini sudah ada contohnya dizaman Nabi katika > perempuan > > dijadikan 100% sebagai hak milik laki-laki maka pada waktu itu > seorang > > perempuan yang sudah berstatus janda berhak mewakili dirinya > sendiri > > secara 100%. > > > > Nah apakah keterwakili perempuan dalam rumah tangga yang lebih > > seimbang dengan kedudukan laki-laki juga mengikuti sunah Nabi??;) > > > > > > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Mia" wrote: > > > > > > Aku barusan ngobrol2 dengan temen, mencoba mengerti jalan > pikiran > > > kenapa keterwakilan perempuan 30% banyak ditentang oleh cowok > maupun > > > cewek. Aku mencoba mengerti jalan pikiran temen2 cewek yang > jadul. > > > > > > Aku ngebayangin di jaman nabi. Perempuan statusnya adalah hak > milik > > > suku, seperti kambing unta dimilikin komunal. Trus nabi bilang > > > perempuan warisnya 1/2 dari laki-laki. Jreng! Dari harta milik > > > statusnya naik punya kepemilikan, walaupun cuman 1/2. > > > > > > Sekarang, dimana status perempuan di wilayah domestik, dikatakan > bahwa > > > wilayah publik mesti diwakilkan oleh perempuan minimum 30%. Bisa > > > mulain di parlemen, parpol, trus ke eksekutif, terus kemana-mana. > > > > > > Jangan-jangan kita lagi ngikutin sunnah nabigleggg. > gimana?...:-) > > > > > > Salam > > > Mia > > > > > >
[wanita-muslimah] Re: keterwakilan perempuan 30% = sunnah nabi?
Maksut mba perempuan/ibu/isteri mewakili rumah tangganya misalnya yang gimana? kepemilikan, mewakili keluarganya di acara2, buka rekening bank? ato gimana? salam Mia --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Chae" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > kalau boleh usul bagaimana kalau keterwakilan perempuan dalam rumah > tangga sebagai istri menjadi lebih seimbang dengan laki-laki sebagai > suami. Ironisnya seakrang ini keterwakilan perempuan dalam rumah > tangga sangat kecil dan tidak seimbang dengan para suami bahkan dengan > anak laki-lakinya sendiri. > > Sebenarnya hal ini sudah ada contohnya dizaman Nabi katika perempuan > dijadikan 100% sebagai hak milik laki-laki maka pada waktu itu seorang > perempuan yang sudah berstatus janda berhak mewakili dirinya sendiri > secara 100%. > > Nah apakah keterwakili perempuan dalam rumah tangga yang lebih > seimbang dengan kedudukan laki-laki juga mengikuti sunah Nabi??;) > > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Mia" wrote: > > > > Aku barusan ngobrol2 dengan temen, mencoba mengerti jalan pikiran > > kenapa keterwakilan perempuan 30% banyak ditentang oleh cowok maupun > > cewek. Aku mencoba mengerti jalan pikiran temen2 cewek yang jadul. > > > > Aku ngebayangin di jaman nabi. Perempuan statusnya adalah hak milik > > suku, seperti kambing unta dimilikin komunal. Trus nabi bilang > > perempuan warisnya 1/2 dari laki-laki. Jreng! Dari harta milik > > statusnya naik punya kepemilikan, walaupun cuman 1/2. > > > > Sekarang, dimana status perempuan di wilayah domestik, dikatakan bahwa > > wilayah publik mesti diwakilkan oleh perempuan minimum 30%. Bisa > > mulain di parlemen, parpol, trus ke eksekutif, terus kemana-mana. > > > > Jangan-jangan kita lagi ngikutin sunnah nabigleggg. gimana?...:-) > > > > Salam > > Mia > > >
[wanita-muslimah] Re: keterwakilan perempuan 30% = sunnah nabi?
kalau boleh usul bagaimana kalau keterwakilan perempuan dalam rumah tangga sebagai istri menjadi lebih seimbang dengan laki-laki sebagai suami. Ironisnya seakrang ini keterwakilan perempuan dalam rumah tangga sangat kecil dan tidak seimbang dengan para suami bahkan dengan anak laki-lakinya sendiri. Sebenarnya hal ini sudah ada contohnya dizaman Nabi katika perempuan dijadikan 100% sebagai hak milik laki-laki maka pada waktu itu seorang perempuan yang sudah berstatus janda berhak mewakili dirinya sendiri secara 100%. Nah apakah keterwakili perempuan dalam rumah tangga yang lebih seimbang dengan kedudukan laki-laki juga mengikuti sunah Nabi??;) --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Mia" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Aku barusan ngobrol2 dengan temen, mencoba mengerti jalan pikiran > kenapa keterwakilan perempuan 30% banyak ditentang oleh cowok maupun > cewek. Aku mencoba mengerti jalan pikiran temen2 cewek yang jadul. > > Aku ngebayangin di jaman nabi. Perempuan statusnya adalah hak milik > suku, seperti kambing unta dimilikin komunal. Trus nabi bilang > perempuan warisnya 1/2 dari laki-laki. Jreng! Dari harta milik > statusnya naik punya kepemilikan, walaupun cuman 1/2. > > Sekarang, dimana status perempuan di wilayah domestik, dikatakan bahwa > wilayah publik mesti diwakilkan oleh perempuan minimum 30%. Bisa > mulain di parlemen, parpol, trus ke eksekutif, terus kemana-mana. > > Jangan-jangan kita lagi ngikutin sunnah nabigleggg. gimana?...:-) > > Salam > Mia >