[wanita-muslimah] Renungan 17 Agustus: Mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan Syariah Islam
*Alhamdulillahhirabbil 'alamin, wa sholatu wa salamu 'alal asyrofil anbiya-i wal mursalin, sayyidina, wa habibina, wa qudwatina, wa maulana Muhammad shalallahu 'alaihi wa salam* Dear ikhwan wa akhwat yang senantiasa tabayyun, JazakaLLAH ahsanal jaza'... Ikhwah wa akhwat fiLLAH Na'am ya akhi tafadhal antum... Apakah ikhwah sekalian pernah baca artikel ini? Berikut postingan dari Abu Destroy Democracy, sohib kental ana yang cukup lengket di milis PKS.. Semoga Allah SWT membalas usaha-usaha ikhwah sekalian dengan balasan yang lebih baik. Aaamiin ya RABB. *Jazakumullahu khairan katsira* Wassalammu'alaikum wr wb INDONEBIA (Indonesia-Arabia) Pendukung tegaknya Syariat Islam di Indonesia Tuntutan kami: Angkat segera Abu Bakar Ba'asyir sebagai Khalifah di muka bumi! Website: www.indonebia.com (under construction) - Ensiklopedi tentang PKS: http://pks-anz.org/pkspedia (bagaimana menggunakan istilah ana, abu, antum, ikhwan, ikhwah, akhi dsb) - Jangan coba-coba dibuka! Yang ini blog bikinan antek-antek kafir yang ingin menjelek-jelekkan PKS: pkswatch.blogspot.com Na'udzubiLLAH..neraka jahanam menantimu! - www.antibidah.org == hancurkan demokrasi tegakkan khilafah [EMAIL PROTECTED] Date: Thu, 10 Aug 2006 19:14:17 -0700 (PDT) Subject: [PKS] MEWUJUDKAN CITA-CITA KEMERDEKAAN DENGAN SYARIAH ISLAM MEWUJUDKAN CITA-CITA KEMERDEKAAN DENGAN SYARIAH ISLAM Enam puluh satu tahun lalu, tepatnya Jumat 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya setelah lebih dari 350 tahun dijajah bangsa asing. Proklamasi kemerdekaan itu bertepatan dengan Peringatan Nuzulul Quran (Bulan Ramadhan). Karena itu, para khatib shalat Jumat pun kala itu menginformasikan peristiwa penting tentang 'kelahiran' bangsa dan negara Indonesia. Tentu, tidak ada yang pantas kita ucapkan selain rasa syukur kepada Allah SWT. Sebab, hanya dengan rahmat dan karunia-Nyalah bangsa Indonesia sejak itu hingga hari ini-selama 61 tahun-telah bebas dari penjajahan fisik selama lebih dari 3,5 abad. Secara jujur harus kita akui, kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia merupakan hasil dari sebuah proses perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan, bergelimang dengan darah dan airmata, serta dihiasi dengan pengorbanan yang luar biasa, baik harta maupun nyawa. Dengan semua pengorban itu, lahirlah kemudian para pahlawan, yang mayoritasnya adalah Muslim, yang gigih mengusir kaum penjajah kafir dengan semangat jihad fi sabilillah. Di Tanah Rencong ada Teuku Umar dan Cut Nyak Dien yang sanggup membakar semangat rakyatnya untuk melawan penjajah kafir. Di Sumatera Barat ada Tuanku Imam Bonjol yang sanggupmembumihanguskan penjajahan dari ranah Minangkabau. Di Tanah Jawa ada Pangeran Diponegoro dan Jenderal Sudirman yang bisa memukul balik serangan kafir penjajah. Di Sulawesi muncul Sultan Hasanuddin yang berhasil menetralisasi Tanah Toraja dari belenggu penjajah kafir. Melalui tangan merekalah, antara lain, kemerdekaan pun akhirnya dapat diraih bangsa ini. Namun demikian, lebih penting dari sekadar kemerdekaan itu, sudahkah bangsa ini berhasil meraih kemerdekaan yang hakiki? Lebih dari itu, sudahkan bangsa ini berhasil mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang hakiki itu? Inilah antara lain yang perlu senantiasa menjadi bahan renungan kita, bangsa yang mayoritas Muslim. Tanpa merenungkan makna hakiki kemerdekaan sekaligus berupaya mewujudkan cita-citanya, Peringatan Hari Kemerdekaan setiap tahun di negeri ini hanya akan menjadi ajang seremonial tanpa makna. Kita Belum Sepenuhnya Merdeka Memang, secara fisik bangsa Indonesia sudah lepas dari penjajahan. Namun, kemerdekaan yang hakiki sebetulnya belum berhasil diwujudkan. Cita-cita kemerdekaan pun-seperti kemandirian, kemakmuran, dan keadilan-tak kunjung terwujud. Bukan hanya gagal mewujudkan cita-cita kemerdekaan, kita juga dirundung oleh berbagai macam persoalan yang semakin membuat kita terpuruk. Padahal sudah enam kali wajah presiden republik ini berganti. Jika cita-cita kemerdekaan itu di antaranya adalah kemakmuran, Indonesia jelas masih jauh di bawah negara-negara lain. Jika ukuran kemakmuran adalah GNP, pada pertengahan tahun 1960-an GNP perkapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, Cina nyaris sama, yaitu kurang dari US$ 100 perkapita. Setelah lebih dari 40 tahun, GNP perkapita negara-negara tersebut pada tahun 2004 mencapai: Indonesia sekitar US$ 1.000, Malaysia US$ 4.520, Korea Selatan US$ 14.000, Thailand US$ 2.490, Taiwan US$ 14.590, Cina US$ 1.500. Padahal untuk sekadar mencapai GNP sekitar US$ 1.000 itu, Indonesia sudah mempertaruhkan segalanya: utang luar negeri yang besar, habisnya kekayaan alam akibat kebijakan privatisasi, dan rusaknya hutan akibat eksploitasi
[wanita-muslimah] Renungan 17 Agustus
Renungan 17 Agustus Oleh: SOEGENG SARJADI Bernegara adalah kesyahduan janji bersama mencari cara mendapatkan kehidupan yang layak. Ia adalah kesyahduan bermasyarakat yang penuh dengan kesantunan, saling menghormati, rendah hati kepemimpinan, dan kesiapan hati menerima kekalahan politik dalam kompetisi setiap pemilihan jabatan politik. Pendeknya, bernegara adalah upaya untuk mencapai cita-cita bersama dan menegakkan nilai-nilai demokrasi. Mencermati realitas politik mutakhir seperti kasus PKS di Depok, Jawa Barat, misalnya, tampak bahwa di Republik ini bernegara tak lebih dari suatu ajang perebutan kekuasaan. Keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang diduga tidak mengecek data-data dari TPS untuk membuat keputusan yang menggugurkan kemenangan pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra (PKS) dan memenangkan gugatan Badrul Kamal (Golkar), menjadi cermin bening dari perilaku bernegara yang tumpul. Dengan istilah lain, terjadi pengkhianatan pada upaya pencapaian cita-cita bersama dan penegakan demokrasi. Kasus lain adalah fatwa MUI yang menimbulkan kontroversi. Suatu fatwa apabila menimbulkan keresahan publik, menginspirasi kelompok masyarakat tertentu untuk melakukan kekerasan, dan akhirnya menyulut konflik, maka harus ada keberanian moral bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya untuk bertanggung jawab, termasuk untuk mencabut fatwa tersebut. Karena bernegara adalah obsesi untuk memberikan tempat dan suasana sehingga setiap musik dan lagu terdengar indah harmonis dengan lingkungan sehingga suara adzan, lonceng gereja, dan biara bersahut-sahutan damai menyayat setiap hati pemeluknya. Padahal bernegara bukan lagi hanya tentang kekuasaan. Bernegara bukan lagi hanya tentang sistem kepartaian, bukan lagi tentang penyelenggaraan pemilu, bukan lagi hanya ketakutan tentang hak-hak asasi manusia. Bernegara bukan lagi tentang pilkada atau pengejaran kemenangan oleh calon wali kota, bupati, atau gubernur yang jika dua calon kalah terpilih lalu pergi ke pengadilan untuk mengadukan hasil pilkada. Bernegara bukan lagi obsesi tentang keharusan menang dalam pemilihan jabatan politik. Bernegara bukan lagi obsesi tentang harus dirinya yang harus memimpin partai sehingga segala cara ditempuh untuk mencapai hal tersebut. Penggunaan uang (money politics), intimidasi, maupun manipulasi menjadi halal untuk membeli jabatan tersebut. Tetapi bernegara juga bukan sekadar obsesi untuk memberantas korupsi. Bernegara adalah obsesi tentang kepemimpinan diri untuk berkarya bagi yang dipimpin untuk mewujudkan mimpi-mimpi masyarakat tentang kemerdekaan, tentang udara yang bersih, tentang air minum yang segar dan sehat, tentang sungai-sungai yang mengalir indah dan bersih tidak bau. Bernegara adalah obsesi untuk berkarya mewujudkan bus kota yang tertib, aman, dan nyaman. Bernegara adalah obsesi tentang menjadikan pantai-pantai indah, kebudayaan bangsa berkembang menarik untuk dinikmati jutaan wisatawan. Bernegara adalah obsesi untuk menjaga pulau-pulau negeri yang elok, menjaga hutan-hutan dan laut, mengelola sawah padi menguning produktif. Bernegara adalah obsesi jika jadi pemimpin akan bekerja jujur, bersih, tidak korup, dan dicintai rakyat. Bernegara adalah obsesi tentang mewujudkan kebersihan taman-taman kota, tentang bandara yang enak, bersih dan tertib sehingga bangga dilihat. Bernegara adalah obsesi memberikan arah kehidupan bangsa, memberikan arah untuk mencapai kebahagiaan individu, kebahagiaan anak bersekolah, memberikan tempat anak belajar dan membaca untuk mengetahui rahasia alam semesta sehingga bisa memeluk masa depannya penuh percaya diri, memenangkan persaingan hidup dengan siapa pun. Bernegara adalah obsesi untuk tidak menjadikan jabatan politik sebagai pekerjaan sampingan pengusaha. Bernegara adalah obsesi mengikis rasa rendah diri sebagian besar anggota masyarakat karena kemiskinan yang mendera mereka, mengikis rasa tinggi hati dan kesombongan sebagian kecil warga masyarakat karena kekayaan ataupun kekuasaan mereka. Bernegara adalah obsesi memberikan yang terbaik dari yang memimpin kepada yang dipimpin. Bernegara adalah obsesi menyatukan kembali perasaan inilah Indonesiaku, negeriku, bangsaku, sesudah 60 tahun merdeka. Soegeng Sarjadi Ketua Soegeng Sarjadi Syndicate JOKOTOLE JOKOTOLE pahlawan dari Madura.. JOKOTOLE hidup pada masa Majapahit jaya.. Kekuasaan wilayahnya adalah dasar wujud Nusantara Nusantara kemudian disebut Indonesia JOKOTOLE rela berkorban demi kejayaan Nusantara.. JOKOTOLE berperang melawan pembangkang Nusantara.. Kaulah pahlawan yang selalu hidup dalam ingatan hamba DAN.. semangat juangmu tetap membara membakar jiwa 03/08/05 Jokotole Millineum sila kunjungi kami di : http://www.jokotole.nl/ - Start your day with Yahoo! - make it your home page [Non-text