[wanita-muslimah] Renungan 17 Agustus: Mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan Syariah Islam

2006-08-12 Terurut Topik indonebia indonebia
*Alhamdulillahhirabbil 'alamin, wa sholatu wa salamu 'alal asyrofil 
anbiya-i wal mursalin, sayyidina, wa habibina, wa qudwatina, wa maulana 
Muhammad shalallahu 'alaihi wa salam*
   
  Dear ikhwan wa akhwat yang senantiasa tabayyun,
   
  JazakaLLAH ahsanal jaza'...
Ikhwah wa akhwat fiLLAH
Na'am ya akhi
tafadhal antum...
   
  Apakah ikhwah sekalian pernah baca artikel ini? Berikut postingan dari 
Abu Destroy Democracy, sohib kental ana yang cukup lengket di milis 
PKS..
   
  Semoga Allah SWT membalas usaha-usaha ikhwah sekalian dengan balasan yang  
lebih baik. Aaamiin ya RABB. 
   
  *Jazakumullahu khairan katsira*
   
  Wassalammu'alaikum wr wb
   
  INDONEBIA (Indonesia-Arabia)
Pendukung tegaknya Syariat Islam di Indonesia
   
  Tuntutan kami: Angkat segera Abu Bakar Ba'asyir sebagai Khalifah di 
muka bumi!
   
  Website:
www.indonebia.com
(under construction)
   
  -
   
  Ensiklopedi tentang PKS:
  
http://pks-anz.org/pkspedia 
  (bagaimana menggunakan istilah ana, abu, antum, ikhwan, ikhwah, akhi dsb)
   
  -
   
  Jangan coba-coba dibuka! Yang ini blog bikinan antek-antek kafir yang 
ingin menjelek-jelekkan PKS:
   
  pkswatch.blogspot.com
   
  Na'udzubiLLAH..neraka jahanam menantimu!
  -
   
  www.antibidah.org
  
==
  hancurkan demokrasi tegakkan khilafah [EMAIL PROTECTED]  
Date: Thu, 10 Aug 2006 19:14:17 -0700 (PDT) 
Subject: [PKS] MEWUJUDKAN CITA-CITA KEMERDEKAAN DENGAN SYARIAH ISLAM 

MEWUJUDKAN CITA-CITA KEMERDEKAAN
DENGAN SYARIAH ISLAM
   
  Enam puluh satu tahun lalu, tepatnya Jumat 17 Agustus 1945, Indonesia 
memproklamirkan kemerdekaannya setelah lebih dari 350 tahun dijajah
bangsa asing. Proklamasi kemerdekaan itu bertepatan dengan Peringatan Nuzulul 
Quran (Bulan Ramadhan). Karena itu, para khatib shalat Jumat pun kala itu 
menginformasikan peristiwa penting tentang 'kelahiran' bangsa dan negara 
Indonesia.
  
Tentu, tidak ada yang pantas kita ucapkan selain rasa syukur kepada 
Allah SWT. Sebab, hanya dengan rahmat dan karunia-Nyalah bangsa 
Indonesia sejak itu hingga hari ini-selama 61 tahun-telah bebas dari penjajahan 
fisik selama lebih dari 3,5 abad.
  
Secara jujur harus kita akui, kemerdekaan yang diraih bangsa 
Indonesia merupakan hasil dari sebuah proses perjuangan yang sangat panjang dan 
melelahkan, bergelimang dengan darah dan airmata, serta dihiasi dengan 
pengorbanan yang luar biasa, baik harta maupun nyawa. Dengan semua pengorban 
itu, lahirlah kemudian para pahlawan, yang mayoritasnya adalah Muslim, yang 
gigih mengusir kaum penjajah kafir dengan semangat jihad fi sabilillah. Di 
Tanah Rencong ada Teuku Umar dan Cut Nyak Dien yang sanggup membakar semangat 
rakyatnya untuk melawan penjajah kafir. Di Sumatera Barat ada Tuanku Imam 
Bonjol yang sanggupmembumihanguskan 
penjajahan dari ranah Minangkabau. Di Tanah Jawa ada Pangeran Diponegoro dan 
Jenderal Sudirman yang bisa memukul balik serangan kafir penjajah. Di Sulawesi 
muncul Sultan Hasanuddin yang berhasil menetralisasi Tanah Toraja dari belenggu 
penjajah kafir. Melalui tangan merekalah, antara lain, kemerdekaan pun akhirnya 
dapat diraih bangsa ini. 
  
Namun demikian, lebih penting dari sekadar kemerdekaan itu, sudahkah bangsa ini 
berhasil meraih kemerdekaan yang hakiki? Lebih dari itu, sudahkan bangsa ini 
berhasil mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang hakiki itu? Inilah antara lain 
yang perlu senantiasa menjadi bahan renungan kita, bangsa yang mayoritas 
Muslim. Tanpa merenungkan makna hakiki kemerdekaan sekaligus berupaya 
mewujudkan cita-citanya, Peringatan Hari Kemerdekaan setiap tahun di negeri ini 
hanya akan menjadi ajang seremonial tanpa makna. 
  
Kita Belum Sepenuhnya Merdeka 
  
Memang, secara fisik bangsa Indonesia sudah lepas dari penjajahan. 
Namun, kemerdekaan yang hakiki sebetulnya belum berhasil diwujudkan. 

  Cita-cita kemerdekaan pun-seperti kemandirian, kemakmuran, dan keadilan-tak 
kunjung terwujud. Bukan hanya gagal mewujudkan cita-cita kemerdekaan, kita juga 
dirundung oleh berbagai macam persoalan yang semakin membuat kita terpuruk. 
Padahal sudah enam kali wajah presiden republik ini berganti. 
  
Jika cita-cita kemerdekaan itu di antaranya adalah kemakmuran, 
Indonesia jelas masih jauh di bawah negara-negara lain. Jika ukuran 
kemakmuran adalah GNP, pada pertengahan tahun 1960-an GNP perkapita Indonesia, 
Malaysia, Thailand, Taiwan, Cina nyaris sama, yaitu kurang dari US$ 100 
perkapita. Setelah lebih dari 40 tahun, GNP perkapita negara-negara tersebut 
pada tahun 2004 mencapai: Indonesia sekitar US$ 1.000, Malaysia US$ 4.520, 
Korea Selatan US$ 14.000, Thailand US$ 2.490, Taiwan US$ 14.590, Cina US$ 
1.500. Padahal untuk sekadar mencapai GNP sekitar US$ 
1.000 itu, Indonesia sudah mempertaruhkan segalanya: utang luar negeri yang 
besar, habisnya kekayaan alam akibat kebijakan privatisasi, dan 
rusaknya hutan akibat eksploitasi 

[wanita-muslimah] Renungan 17 Agustus

2005-08-15 Terurut Topik Jokotole

 

Renungan 17 Agustus 

Oleh: SOEGENG SARJADI

Bernegara adalah kesyahduan janji bersama mencari cara mendapatkan kehidupan 
yang layak. Ia adalah kesyahduan bermasyarakat yang penuh dengan kesantunan, 
saling menghormati, rendah hati kepemimpinan, dan kesiapan hati menerima 
kekalahan politik dalam kompetisi setiap pemilihan jabatan politik. Pendeknya, 
bernegara adalah upaya untuk mencapai cita-cita bersama dan menegakkan 
nilai-nilai demokrasi.

Mencermati realitas politik mutakhir seperti kasus PKS di Depok, Jawa Barat, 
misalnya, tampak bahwa di Republik ini bernegara tak lebih dari suatu ajang 
perebutan kekuasaan. Keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang diduga tidak 
mengecek data-data dari TPS untuk membuat keputusan yang menggugurkan 
kemenangan pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra (PKS) dan memenangkan 
gugatan Badrul Kamal (Golkar), menjadi cermin bening dari perilaku bernegara 
yang tumpul. Dengan istilah lain, terjadi pengkhianatan pada upaya pencapaian 
cita-cita bersama dan penegakan demokrasi.

Kasus lain adalah fatwa MUI yang menimbulkan kontroversi. Suatu fatwa apabila 
menimbulkan keresahan publik, menginspirasi kelompok masyarakat tertentu untuk 
melakukan kekerasan, dan akhirnya menyulut konflik, maka harus ada keberanian 
moral bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya untuk bertanggung jawab, 
termasuk untuk mencabut fatwa tersebut. Karena bernegara adalah obsesi untuk 
memberikan tempat dan suasana sehingga setiap musik dan lagu terdengar indah 
harmonis dengan lingkungan sehingga suara adzan, lonceng gereja, dan biara 
bersahut-sahutan damai menyayat setiap hati pemeluknya.

Padahal bernegara bukan lagi hanya tentang kekuasaan. Bernegara bukan lagi 
hanya tentang sistem kepartaian, bukan lagi tentang penyelenggaraan pemilu, 
bukan lagi hanya ketakutan tentang hak-hak asasi manusia. Bernegara bukan lagi 
tentang pilkada atau pengejaran kemenangan oleh calon wali kota, bupati, atau 
gubernur yang jika dua calon kalah terpilih lalu pergi ke pengadilan untuk 
mengadukan hasil pilkada.

Bernegara bukan lagi obsesi tentang keharusan menang dalam pemilihan jabatan 
politik. Bernegara bukan lagi obsesi tentang harus dirinya yang harus memimpin 
partai sehingga segala cara ditempuh untuk mencapai hal tersebut. Penggunaan 
uang (money politics), intimidasi, maupun manipulasi menjadi halal untuk 
”membeli” jabatan tersebut. Tetapi bernegara juga bukan sekadar obsesi untuk 
memberantas korupsi.

Bernegara adalah obsesi tentang kepemimpinan diri untuk berkarya bagi yang 
dipimpin untuk mewujudkan mimpi-mimpi masyarakat tentang kemerdekaan, tentang 
udara yang bersih, tentang air minum yang segar dan sehat, tentang 
sungai-sungai yang mengalir indah dan bersih tidak bau. Bernegara adalah obsesi 
untuk berkarya mewujudkan bus kota yang tertib, aman, dan nyaman.

Bernegara adalah obsesi tentang menjadikan pantai-pantai indah, kebudayaan 
bangsa berkembang menarik untuk dinikmati jutaan wisatawan. Bernegara adalah 
obsesi untuk menjaga pulau-pulau negeri yang elok, menjaga hutan-hutan dan 
laut, mengelola sawah padi menguning produktif.

Bernegara adalah obsesi jika jadi pemimpin akan bekerja jujur, bersih, tidak 
korup, dan dicintai rakyat. Bernegara adalah obsesi tentang mewujudkan 
kebersihan taman-taman kota, tentang bandara yang enak, bersih dan tertib 
sehingga bangga dilihat.

Bernegara adalah obsesi memberikan arah kehidupan bangsa, memberikan arah untuk 
mencapai kebahagiaan individu, kebahagiaan anak bersekolah, memberikan tempat 
anak belajar dan membaca untuk mengetahui rahasia alam semesta sehingga bisa 
memeluk masa depannya penuh percaya diri, memenangkan persaingan hidup dengan 
siapa pun. Bernegara adalah obsesi untuk tidak menjadikan jabatan politik 
sebagai pekerjaan sampingan pengusaha.

Bernegara adalah obsesi mengikis rasa rendah diri sebagian besar anggota 
masyarakat karena kemiskinan yang mendera mereka, mengikis rasa tinggi hati dan 
kesombongan sebagian kecil warga masyarakat karena kekayaan ataupun kekuasaan 
mereka.

Bernegara adalah obsesi memberikan yang terbaik dari yang memimpin kepada yang 
dipimpin. Bernegara adalah obsesi menyatukan kembali perasaan ”inilah 
Indonesiaku”, negeriku, bangsaku, sesudah 60 tahun merdeka.

Soegeng Sarjadi Ketua Soegeng Sarjadi Syndicate





JOKOTOLE

JOKOTOLE pahlawan dari Madura..
JOKOTOLE hidup pada masa Majapahit jaya..
Kekuasaan wilayahnya adalah dasar wujud Nusantara
Nusantara kemudian disebut Indonesia

JOKOTOLE rela berkorban demi kejayaan Nusantara..
JOKOTOLE berperang melawan pembangkang Nusantara..
Kaulah pahlawan yang selalu hidup dalam ingatan hamba
DAN.. semangat juangmu tetap membara membakar jiwa



03/08/05
Jokotole Millineum

sila kunjungi kami di : http://www.jokotole.nl/


-
 Start your day with Yahoo! - make it your home page 

[Non-text