Re: [wanita-muslimah] artikel Poligami menurut aktivis NU
Ah itu mah ente aja yang suka iseng nonton kucing kawin - Original Message - From: "jano ko" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Tuesday, December 12, 2006 2:39 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] artikel Poligami menurut aktivis NU > Jano-ko berkomentar dikit, > > Ini tidak ada kaitannya dengan Lily lho. > > Lhah piye iki, monogami aja bisa menjadi sumber penderitaan perempuan, kalau perempuan tersebut adalah penganut "sex bebas", engga mau diikat oleh aturan, pinginnya ngalor-ngidul, mencok sana, mencok sini, gitu. > > Pingin bukti, coba aja jalan-jalan kedaerah wisata, atau coba aja travelling, pasti dech akan ketemu dengan insan-insan yang suka "mencok" sana, mencok sini, ini hasil pengamatan janoko selama kurang lebih 20 tahun lho, jadi jangan dibantah. > > And yang suka mencok sana, mencok sini itu tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki, tentunya bukan laki-laki yang muslim mukmin, tapi yaitu tadi ..yang suka bebasbas... > > Ngono ndisik > > Wassalam > > PS > Kalau istilah kerennya didunia wisata itu "F" Around gitu, atau "3S" : Sex, Sun, Sea. > Jangan-jangan adik-adik belum pernah dengan istilah ini ?! > >
Re: [wanita-muslimah] artikel Poligami menurut aktivis NU
Lily Zakiyah Munir : Poligami bisa menjadi sumber penderitaan perempuan. Sebagai manusia utuh, seperti lelaki, perempuan memiliki harga diri, integritas diri, dan emosi. Poligami membuat mereka merasa dikhianati dan direndahkan, serta menjadikan mereka merasa tak berdaya. Inilah bentuk nyata diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan === Jano-ko berkomentar dikit, Ini tidak ada kaitannya dengan Lily lho. Lhah piye iki, monogami aja bisa menjadi sumber penderitaan perempuan, kalau perempuan tersebut adalah penganut "sex bebas", engga mau diikat oleh aturan, pinginnya ngalor-ngidul, mencok sana, mencok sini, gitu. Pingin bukti, coba aja jalan-jalan kedaerah wisata, atau coba aja travelling, pasti dech akan ketemu dengan insan-insan yang suka "mencok" sana, mencok sini, ini hasil pengamatan janoko selama kurang lebih 20 tahun lho, jadi jangan dibantah. And yang suka mencok sana, mencok sini itu tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki, tentunya bukan laki-laki yang muslim mukmin, tapi yaitu tadi ..yang suka bebasbas... Ngono ndisik Wassalam PS Kalau istilah kerennya didunia wisata itu "F" Around gitu, atau "3S" : Sex, Sun, Sea. Jangan-jangan adik-adik belum pernah dengan istilah ini ?! ritajkt <[EMAIL PROTECTED]> wrote: KEADILAN Wabah Itu Bernama Poligami Oleh : Lily Zakiyah Munir Sumber : Swara, Kompas, 11 Desember 2006 Sebersit angin segar kembali berembus membawa keadilan bagi perempuan Indonesia. Pemerintah, melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, cepat tanggap menangani wabah baru maraknya poligami. Sebelum itu, saya miris membaca berita demi berita tentang perilaku poligami para tokoh publik. Lebih miris lagi karena dalih yang dikemukakan hampir selalu "daripada berzina" Selemah itukah lelaki Muslim? Mereka begitu "perkasa" dalam menyubordinasi perempuan, tetapi begitu lemah dalam mengontrol nafsunya sendiri. Saya kira banyak lelaki Muslim "sejati" yang teguh dalam mengontrol diri tersinggung oleh alasan ini. Saya ngeri membayangkan seandainya tidak ada upaya menghentikan wabah poligami, jangan-jangan Indonesia menjadi seperti negerinya Taliban, Afganistan. Di negeri di mana saya pernah bekerja itu, budaya poligami berurat berakar. Kolega saya, seorang mullah elite, memiliki empat istri dan anak lebih dari empat puluh. Mereka hidup di bawah satu atap dalam satu rumah besar. Seorang calon presiden di Afganistan yang berkampanye jika terpilih nanti akan membuka kesempatan memperdebatkan poligami langsung dicekal penguasa. Dia dianggap menghina syariat Islam yang merupakan dasar konstitusi negara. Tentu bukan budaya seperti ini yang kita inginkan, demi keadilan perempuan di negeri kita. Nabi dan monogami Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibnu Majah, dilaporkan Nabi Muhammad SAW marah ketika beliau mendengar putrinya, Fatimah, akan dipoligami suaminya, Ali bin Abi Thalib. Beliau bergegas menuju masjid, naik mimbar, dan menyampaikan pidato, "Keluarga Bani Hashim bin al-Mughirah telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Thalib. Saya tidak mengizinkan, sekali lagi saya tidak mengizinkan, sekali lagi saya tidak mengizinkan sama sekali, kecuali Ali menceraikan putri saya terlebih dulu." Kemudian, Nabi Muhammad SAW melanjutkan, "Fatimah adalah bagian dariku. Apa yang mengganggu dia adalah menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah menyakitiku juga," (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, hadis nomor 9026). Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap monogami hingga Fatimah wafat. Mungkin orang akan bertanya bagaimana dengan kenyataan Nabi sendiri berpoligami? Bahkan, ini sering dijadikan alasan lelaki berpoligami, yaitu ittiba' (mengikuti) Rasul. Kalau kita menyimak perkawinan Beliau, dapat disimpulkan pada hakikatnya Nabi monogami selama sebagian besar masa perkawinannya. Beliau menikah selama lebih dari 30 tahun, dan 28 tahun di antaranya dihabiskan hanya dengan Khadijah dalam perkawinan yang sukses dan membuahkan putra-putri. Beliau sangat mencintai Khadijah dan setia kepadanya sehingga tahun Khadijah wafat disebut 'am al-hazn (tahun berduka). Dua tahun setelah Khadijah wafat, baru Nabi berpoligami. Dari sekian istri hanya Aisyah yang gadis. Kekerasan psikologis Poligami menyimpan banyak problem. Salah satunya, membisukan suara hati perempuan. Selama ini poligami hampir selalu dilihat dan didefinisikan dari perspektif lelaki. Apa definisi adil dan siapa mendefinisikan? Apakah mencakup keadilan batiniah dan seksual atau sebatas keadilan lahiriah dan material? Apa pembenaran teologis atau sosiologisnya? Perempuan nyaris tak didengar suaranya. Poligami bisa menjadi sumber penderitaan perempuan. Sebagai manusia utuh, seperti lelaki, perempuan memiliki harga diri, integritas diri,
[wanita-muslimah] artikel Poligami menurut aktivis NU
KEADILAN Wabah Itu Bernama Poligami Oleh : Lily Zakiyah Munir Sumber : Swara, Kompas, 11 Desember 2006 Sebersit angin segar kembali berembus membawa keadilan bagi perempuan Indonesia. Pemerintah, melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, cepat tanggap menangani wabah baru maraknya poligami. Sebelum itu, saya miris membaca berita demi berita tentang perilaku poligami para tokoh publik. Lebih miris lagi karena dalih yang dikemukakan hampir selalu "daripada berzina" Selemah itukah lelaki Muslim? Mereka begitu "perkasa" dalam menyubordinasi perempuan, tetapi begitu lemah dalam mengontrol nafsunya sendiri. Saya kira banyak lelaki Muslim "sejati" yang teguh dalam mengontrol diri tersinggung oleh alasan ini. Saya ngeri membayangkan seandainya tidak ada upaya menghentikan wabah poligami, jangan-jangan Indonesia menjadi seperti negerinya Taliban, Afganistan. Di negeri di mana saya pernah bekerja itu, budaya poligami berurat berakar. Kolega saya, seorang mullah elite, memiliki empat istri dan anak lebih dari empat puluh. Mereka hidup di bawah satu atap dalam satu rumah besar. Seorang calon presiden di Afganistan yang berkampanye jika terpilih nanti akan membuka kesempatan memperdebatkan poligami langsung dicekal penguasa. Dia dianggap menghina syariat Islam yang merupakan dasar konstitusi negara. Tentu bukan budaya seperti ini yang kita inginkan, demi keadilan perempuan di negeri kita. Nabi dan monogami Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibnu Majah, dilaporkan Nabi Muhammad SAW marah ketika beliau mendengar putrinya, Fatimah, akan dipoligami suaminya, Ali bin Abi Thalib. Beliau bergegas menuju masjid, naik mimbar, dan menyampaikan pidato, "Keluarga Bani Hashim bin al-Mughirah telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Thalib. Saya tidak mengizinkan, sekali lagi saya tidak mengizinkan, sekali lagi saya tidak mengizinkan sama sekali, kecuali Ali menceraikan putri saya terlebih dulu." Kemudian, Nabi Muhammad SAW melanjutkan, "Fatimah adalah bagian dariku. Apa yang mengganggu dia adalah menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah menyakitiku juga," (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, hadis nomor 9026). Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap monogami hingga Fatimah wafat. Mungkin orang akan bertanya bagaimana dengan kenyataan Nabi sendiri berpoligami? Bahkan, ini sering dijadikan alasan lelaki berpoligami, yaitu ittiba' (mengikuti) Rasul. Kalau kita menyimak perkawinan Beliau, dapat disimpulkan pada hakikatnya Nabi monogami selama sebagian besar masa perkawinannya. Beliau menikah selama lebih dari 30 tahun, dan 28 tahun di antaranya dihabiskan hanya dengan Khadijah dalam perkawinan yang sukses dan membuahkan putra-putri. Beliau sangat mencintai Khadijah dan setia kepadanya sehingga tahun Khadijah wafat disebut 'am al-hazn (tahun berduka). Dua tahun setelah Khadijah wafat, baru Nabi berpoligami. Dari sekian istri hanya Aisyah yang gadis. Kekerasan psikologis Poligami menyimpan banyak problem. Salah satunya, membisukan suara hati perempuan. Selama ini poligami hampir selalu dilihat dan didefinisikan dari perspektif lelaki. Apa definisi adil dan siapa mendefinisikan? Apakah mencakup keadilan batiniah dan seksual atau sebatas keadilan lahiriah dan material? Apa pembenaran teologis atau sosiologisnya? Perempuan nyaris tak didengar suaranya. Poligami bisa menjadi sumber penderitaan perempuan. Sebagai manusia utuh, seperti lelaki, perempuan memiliki harga diri, integritas diri, dan emosi. Poligami membuat mereka merasa dikhianati dan direndahkan, serta menjadikan mereka merasa tak berdaya. Inilah bentuk nyata diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Indahnya perkawinan yang dibina bersama dengan penuh cinta kasih tiba-tiba runtuh. Perempuan yang sudah mengorbankan identitas dan integritas diri demi menopang suami dalam meniti tangga menuju status sosial lebih tinggi tiba-tiba dipinggirkan. Usia produktif untuk mengembangkan diri dikorbankan demi suami tercinta. Kini pada usia senja, dengan ketergantungan emosional dan finansial terhadap suami, dia harus menerima kenyataan pahit itu. Banyak perempuan memilih bercerai daripada dipoligami. Tetapi, lebih banyak yang memutuskan tetap berada dalam perkawinan. Berbagai alasan dikemukakan, seperti demi anak, stigma sosial terhadap janda, ketergantungan finansial, dan sebagainya. Perempuan ini mesti memendam berbagai rasa seperti cemburu. Seorang istri yang dipoligami, ketika saya wawancara baru-baru ini, mengatakan dengan getir, "Kebahagiaan dalam perkawinan tidak dapat dibagi. Semua bentuk perhatian, cinta, kasih sayang dari suami terhadap istri, tidak dapat diukur dengan materi. Seorang suami tidak mungkin bisa adil kepada para istrinya. Jadi, poligami adalah bagian dari ketidakadilan. Tetapi, memperdebatkan poligami di tengah masyarakat patriarkis tidak ada