Precedence: bulk SEORANG YANG TAK MENYETUJUI DASAR KOMUNIS, MUSTAHIL IA ISLAM SEJATI Oleh: Sulangkang Suwalu Dari kalangan umat Islam yang tak mengenal ajaran agamanya secara sungguh-sungguh dan mendalam, suka terdengar ucapan "komunisme itu bertentangan dengan agama", "komunisme atheis". Sebagai alasan dikatakan bahwa Marx pernah mengucapkan "agama sebagai opium" atau candu. Mereka tentu saja tidak menyebutkan dalam konteks apa Marx mengucapkan kata yang demikian. Benar kah komunisme bertentangan dengan agama Islam? Dalam konteks apa Marx mengucapkan kata-kata demikian? Mari kita mendalaminya, dengan mengamati titik-titik persamaan antara Islam dan Komunisme. DAN DALAM HARTA MERAKA ….. Al Quran dan Hadis Nabi merupakan pegangan setiap bumat Islam. Ia menjadi ukuran kebenaran. Sekarang marilah kita amati ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran tersebut. Dalam surat Az-Zaariyaat Ayat 19 dikatakan: "Dan dalam harta mereka ada hak untuk orang yang meminta dan orang miskin yang (tak) meminta". Apa artinya ayat itu? Arti yang pertama bahwa dalam masyarakat terdapat ada orang yang berharta (kaya) dan ada orang yang miskin. Jadi, masyarakatnya tidak esa, tidak tunggal, terbagi dalam kaum-kaum, yang kaya dan miskin. Mengapa masyarakat terbagi dalam kaum-kaum yang kaya dan miskin? Karena sebagian manusia melakukan pelanggaran terhadap larangan-larangan yang ditentukan oleh Allah melalui Al Quran. Diantara larangan-larangan yang langgara tersebut ialah: 1. Al Baqarah ayat 188: Janganlah sebagian kamu memakan harta orang lain dengan yang batil (tiada hak) dan (jangan) kamu membawa kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa, sedang kamu mengetahuinya. 2. Al An'am ayat 145: Katakanlah tiada kuperoleh apa dalam apa yang diwahyukan yang diharamkan atas orang memakannya, kecuali mayat, darah yang mengalir atau daging babi, karena itu keji dan fasik. 3. Al Humazah ayat 1 dan 2: Celakalah (azablah) untuk tiap-tiap pengumpatdan pencela, yang mengumpulkan harta benda dalam menghitung-hitungnya. Jadi, mereka bisa menjadi kaya, menumpuk harta bendanya, karena mereka telah mengambil harta orang lain dengan secara batil (tiada hak), telah memakan darah yang mengalir dalam tubuh orang lain. Karena itulah maka dikatakan ada hak orang yang meminta dan orang miskin yang tak meminta dalam harta orang yang kaya itu. Mengapa ada hak orang yang "meminta"? Yang dimaksud dengan orang yang meminta itu bukanlah "pengemis", melainkan orang yang meminta atau menuntut supaya haknya diambil, dikembalikan pada mereka. Siapa yang mempunyai hak demikian? Di zaman pemilikan budak, yang berhak menuntut demikian ialah tani para budak; di zaman feodal yang berhak menuntut demikian ialah tani hamba dan di zaman kapitalis yang berhak menuntut demikian ialah kaum buruh. Budak, tani hamba dan buruh berhak menuntut kepada tuan budak, kaum bangsawan dan kapitalis karena tenaga kerja mereka dicuri. Mereka meminta supaya hak mereka itu dikembalikan. Sedang yang dimaksud orang miskin yang tak meminta ialah fakir miskin lainnya. Hasil tenaga kerja mereka dicuri secara tidak langsung. Misalnya pedagang yang mengambil keuntungan berlebihan dari konsumen, kelebihannya itu mengandung tenaga kerja dari konsumen. Diharamkan memakan darah yang mengalir itu bukan saja secara harfiah, misalnya disayat kulit seseorang, kemudian dihirup darahnya melalui lokasi yang disayat, tepai lebih mendalam ialah diperasnya tenaga budak, tani hamba dan kaum buruh oleh tuan budak, kaum bangsawan dan kapitalis. Tuan budak, tani hamba dan kaum buruh bila darah tidak mengalir lagi dalam tubuhnya. Bila darah tidak mengalir lagi, berarti mereka sudah berhenti sebagai manusia. PERJUANGAN KAUM Kaum tertindas dan miskin (mustadhafhin) akan tetap tertindas dan miskin, bila mereka tidak berusaha, tidak berjuang untuk merubah keadaan diri mereka. Itu dengan jelas dikatakan dalam surat Ar Ra'du Ayat 11 yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri". Surat Ar Ra'du ini lebih menegaskan umat Islam itu tidak lagi esa, tetapi telah terbagi dalam kaum-kaum. Ada kaum tertindas dan miskin, ada kaum yang menindas dan kaya. Ada pertentangan kaum dan perjuangan kaum. Supaya kaum tertindas dan miskin tidak tertindas dan miskin lagi, maka kaum tertindas dan miskin harus "berusaha" (berjuang) untuk merubah keadaan mereka. Mereka tertindas dan miskin, karena ada yang menindasnya. Maka kaum tertindas dan miskin harus menyingkirkan penindasan yang dilakukan atas diri mereka. Sipenindas tidak akan sukarela melepaskan penindasan yang mereka lakukan, yang telah bisa menyebabkan mereka dengan harta yang berlimpah. Perjuangan kaum harus dilakukan oleh kaum yang tertindas, sehingga sipenindasnya tidak ada lagi. Tampaknya untuk memenangkan perjuangan kaum yang tertindas dan miskin itu, maka Tuhan mengingatkan pada umat Islam melalui surat An Nosa Ayat 75: "Mengapa kamu tiada mau berperang pada sabilillah untuk (membebaskan) orang-orang yang lemah diantara laki-laki, perempuan-perempuan, anak-anak dan mereka berkata : Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang aniaya penduduknya dan adakanlah untuk kami seorang Wali dari sisiMu dan sediakanlah untuk kami yang mengurus pekerjaan dari kamu. Tampaknya Manifes Komunis yang ditulis Karl Marx pada tahun 1848 merupakan hasil studi yang mendalam setelah manusia ada dan bagaimana hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dan sebagai kesimpulannya Marx mengatakan bahwa sejarah semua susunan dalam pergaulan hidup yang ada sampai sekarang adalah sejarah pertentangan kelas. Orang merdeka dan budak, patricier dan plebejer, baron dan hambanya, tukang dan keneknya, tegasnya yang menindas dan yang tertindas, satu sama lain terus menerus bertentangan, kadang-kadang dengan cara terang-terangan, tetapi pertentangan itu selalu berakhir dengan terjadinya perubahan-perubahan besar pada seluruh masyarakat atau sama binasanya kelas-kelas yang bertentangan itu. Kesimpulan Marx ini sesuai benar dengan kesimpulan yang dapat diambil dari ayat-ayat Al Quran diatas bahwa pertentangan kaum dan perjuangan kaum senantiasa terjadi dalam masyarakat. Hanya saja bedanya bila Karl Maex menyebut pertentangan kelas dan perjuangan kelas, maka ayat Al Quran mengatakan terbaginya dalam kaum-kaum "usaha kaum". Hakikatnya sama. Malah dalam hal tertentu, ajaran Islam lebih keras dari ajaran perjuangan kelas dari Marx. Ajaran Islam mengingatkan bila perlu dengan "perang pembebasan dari pihak teraniaya", sedang perjuangan kelas dari Marx belum tentu dengan perang. Misalnya untuk perbaikan upah dan jaminan sosial bagi kaum buruh, mungkin cukup dengan mogok dan demonstrasi. Tidak perlu dengan perang. MUSTADHAFHIN JADI PEMIMPIN DI BUMI Dalam pertentangan antara kaum tertindas dan miskin (Mustadhafhin) dengan kaum penindas dan kaya (mustakbirin), menurut Buletin DDII No 17 thn ke XX, 1413 H, 1993 bahwa Al Quran merupakan kitab suci yang secara jelas dan tegas membela dan memihak kaum dhuafa. Pembelaan dan pemihakkannya antara lain: "Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang tertindas (mustadhafhin atau dhuafa) di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka yang orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan mereka di bumi" (Al Qashash: 5-6). Sosialisme Islam sudah akan menjadi kenyataan di bumi, bila janji Tuhan dalam surat Al Qashash Ayat 5-6 telah berjalan. Artinya kaum mustdhafhin telah memimpin di bumi mewarisi bumi. Kaum mustakbirin tidak berdaya lagi. Kedudukannya sudah dibawah kaum mustadhafhin. Sosialisme tersebut adalah tahap rendah dari Masyarakat Tauhidi, masyarakat tanpa kaum-kaum atau kelas-kelas, seperti yang dikemukakan Mansour Fakih dalam tulisannya "Mencari teologi kaum tertindas" (Dalam buku "Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 tahun Harun Nasution", hal: 173). Menurut Mansour Fakih bahwa Tauhid dalam perspektif teologi kaum tertindas lebih ditekankan kepada keesaan umat manusia. Dengan kata lain doktrin Tauhid menolak segenap bentuk diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta maupun kelas. Konsep masyarakat Tauhid adalah suatu konsep penciptaan masyarakat tanpa kelas. Kaum komunis tidak menyembunyikan tujuannya, yaitu hapusnya kelas-kelas dalam masyarakat, seperti masyarakat Tauhidi dalam Islam tersebut. Dalam masyarakat komunis setiap orang bekerja menurut kemampuannya dan akan mendapat menurut kebutuhannya. Sedang dalam masyarakat sosialis, tahap rendah dari masyarakat komunis, seorang akan mendapat menurut prestasi kerjanya. Masyarakat sosialis terwujud sesudah kaum burjuasi (yang menindas/mengeksploitasi) dikalahkan oleh kaum ploretar bersama sekutunya kaum tani telah memegang tampuk kekuasaan, seperti dalam Islam kaum mustadhafhin telah memimpin dan mewarisi bumi. Benar sekali seperti yang dikatakan Bung Karno 73 tahun yang lalu, melalui tulisan "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme" bahwa banyak terdapat persesuaian antara tuntutan Islam dan Marxisme. Lebih lengkapnya apa yang dikatakan Bung Karno tersebut, antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut: ISLAMISME DAN MARXISME Kaum Islam tak boleh lupa, kata Bung karno, pemandangan Marxisme tentang riwayat menurut azas perbendaan (materialistische historie opvatting) inilah yang sering kali menjadi penunjuk jalan bagi mereka tentang soal-soal ekonomi politik dunia yang sukar dan sulit; mereka tak boleh lupa, bahwa caranya (methodenya) Histrorialisme Materialisme (ilmu perbendaan dengan riwayat) menerangakn kejadian-kejadian yang telah terjadi di muka bumi ini, adalah caranya menujumkan kejadian-kejadian yang akan datang, adalah amat berguna bagi mereka. Lebih lanjut Bung Karno mengatakan bahwa kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh marxisme itu, ialah Islamisme pula. Sebab meerwaarde sepanjang faham Marxisme dalam hakikatnya tidak lainlah riba sepanjang faham Islam. Meerwaarde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang; tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu. Teori meerwaarde disusun oleh Karl Marx dcan Friedrich Engels untuk menerangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi. Meerwaarde itulah yang menjadi nyawa segala peraturan yang bersifat kapitalistis; dengan memerangi meerwaarde inilah, maka kaum Marxisme memerangi kapitalisme sampai akar-akarnya. Untuk Islami sejati, sambung Bung Karno, maka lekas saja teranglah baginya, bahwa tak layak ia memusuhi faham Marxisme yang melawan peraturan Meerwaarde itu, sebab ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati melarang keras perbuatan memakan riba dan memungut bunga. Ia mengerti bahwa riba ini pada hakikatnya tiadalah lain daripada "meerwaarde"nya faham Marxisme itu. Kata Bung Karno pula bahwa Islamisme yang "fanatik" dan memerangi pergerakan Marxisme adalah Islamis yangtak kenal akan larang-larangan agamanya sendiri. Islam yang demikian itu tak mengetahui, bahwa sebagai Marxisme, Islamisme yang sejati melarang penumpukkan uang secara kapitalis melarang penimbunan harta benda untuk keperluan sendiri. Masih banyak kewajiban dan ketentuan dalam agama Islam yang bersamaan dengan tujuan-tujuan dan maksud-maksud Marxisme. Bung Karno memperingatkan hendaklah kaum Islam yang tak mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat, bahwa pergerakannya itu, sebagai pergerakan marxis, adalah suatu gaung atau kumandangnya jerit dan tangis rakyat Indonesia yang makin lama makin sempit kehidupannya, makin lama makin pahit rumah tangganya. Hendaknya kaum itu sama ingat, bahwa pergerakannya itu dengan pergerakan Marxis, banyaklah penyesuaian cita-cita, banyak persamaan tuntutan-tuntutan. Berbahagia lah kaum pergerakan Islam yang insyaf dan mau akan persatuan. Bahagialah mereka, karena merekalah yang sungguh-sungguhmya menjalankan perintah agamanya. Demikian Bung Karno. Untuk menjawab pertanyaan berikutnya, dalam konteks apa Marx sampai mengucapkan kata-kata "agama sebagai opium", ada baiknya dikemukakan disini tulisan Komarudin Hodayat, yang berjudul "Beragama dikala duka" (Kompas, 11/2/95). BOLEH JADI KITA MALAH MEMBENARKANNYA Menurut Komarudin Hidayat para Kiayi ataupun Pastur bisa jadi kesal terhadap Freud dan Marx. Tetapi jika kita ikuti argumen mereka dalam konteks apa mereka bicara, boleh jadi kita malah membenarkannya. Ketika berbicara tentang Tuhan dan agama, kata Komarudin Hidayat, baik Marx maupun Freud tidaklah berangkat dari dalil-dalil postulat-postulat teologi, melainkan dengan mengamati situasi konkrit manusia yang secara psikologis merasa tertindas oleh situasi sosial dan politik agresif. Marx, misalnya, merasa terpanggil untuk membela mereka yang tertindas secara politis dan ekonomis, ketika lembaga dan penguasa agama menurut Marx hanya menawarkan solusi berupa hiburan semu, yaitu janji-janji surga diseberang derita kematian. Bahkan Marx lebih kesal lagi ketika melihat agama dengan para tokohnya telah berkolusi dengan penguasa yang tiran untuk menindas dan membodohi rakyat. "Hemat saya," kata Komarudin Hidayat, "yang menjadi sasaran dari kritik Marx bukanlah hakikat Tuhan serta ajaran metafisika agama, melainkan praktek keberagamaan yang bersifat eskaptis, yaitu menjadi agama sebagai pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelesaian konkrit, bukannya tawaran surgawi diseberang kematian." Keberagamaan semacam ini bagi pemikir semacam marx tak ubahnya sebagai opium yang menghilangkan derita sementara (palliatif) karena akar penyakitnya tidak tersentuh sama sekali. Ya, wajar saja bila Komarudin Hidayat sampai pada kesimpulan, boleh jadi kita membenarkan ucapan Marx tersebut. KESIMPULAN Mencermati semua kenyataan diatas, tepatlah seperti apa yang ditunjukkan H. Misbach dalam Kongres PKI pada 4 Maret 1923 di Bandung, bahwa banyak yang bercocokan antara Komunisme dan Islam. Keduanya memandang sebagai kewajiban menghormati hak-hak manusia dan keduanya berjuang terhadap penindasan. Menurut H. Misbach bahwa seorang yang tidak menyetujui dasar-dasar komunis, mustahil ia seorang Islam sejati; dosa itu lebih besar lagi, kalau orang memakai agama Islam sebagai selimut untuk mengayakan diri sendiri (Lihat AK Pringgodigdo SH dalam "Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Pen.Dian Rakyat, 1986, hal:28). Artinya seorang yang Islam sejati, tentu ia akan bergandengan dengan komunisme untuk membumikan kaum mustadhafhin menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi, sebagai langkah menuju masyarakat Tauhidi, masyarakat tanpa kelas-kelas. Memerangi komunisme, sama dengan memerangi tercapainya tujuan membumikan surat Al Qashash ayat 5 dan 6 diatas. Dengan kata lain memerangi komunisme bagi umat Islam, disadari atau tidak, pada hakikatnya turut memerangi Islam itu sendiri.*** ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html