Precedence: bulk ISTIQLAL (23/6/99)# UMAT ISLAM TAK ADIL Oleh: Sulangkang Suwalu Dengan gayanya sendiri, Sri Bintang Pamungkas dari PUDI dapat menerima kekalahannya dalam Pemilu 7 Juni yang lalu. "Peluang PUDI untuk mendudukkan wakil di DPR-RI memang berat, ya. Tapi nggak apa. Saya tidak kecewa. Dalam perjuangan itu kalah atau menang hal biasa, besok harus menang. Meski kalah, PUDI tidak akan dibubarkan. Dan saya tetap akan berkiprah di bidang politik. Berjuang itu kan tidak harus di senayan. Berjuang juga bisa di luar Senayan. DPR itu lemah merespons aspirasi rakyat. Saat Soeharto lagi jaya-jayanya, saya berjuang di luar Senayan, bersama mahasiswa, untuk menjatuhkan dia dan berhasil…," ujarnya. "Letak kegagalan PUDI, menurut saya, karena PUDI itu kan partai baru. Sebagai partai baru, kita agak kesulitan mencari kader-kader. Berbeda dengan PAN dan PKB. PAN memanfaatkan jalur organisasi Muhammaddiyah, sedangkan PKB memanfaatkan jalur organisasi NU. PUDi tak punya jalur seperti itu. Yang membuat PUDI kalah adalah terlalu mepetnya pemilu 1999, sehingga kita keteteran mencari kader. Kalau pemilunya diadakan dua atau tiga tahun mendatang, PUDI pasti menang. Kekalahan PUDI lainnya adalah rekayasa dari berbagai pihak untuk menjatuhkan PUDI. Rakyat dipengaruhi jangan mendukung PUDI, karena PUDI adalah partai berbahaya. Siapa yang mendukung PUDI bisa masuk penjara, karena pemimpin PUDI identik dengan penjara," lanjutnya. Bila Sri Bintang Pamungkas dari PUDI memeriksa diri mengapa PUDI sampai kalah, maka Nurcholis Madjid, Direktur Yayasan Paramadina mengadakan evaluasi: mengapa partai-partai Islam kalah dan PDI-P menang. Nurcholis sampai pada kesimpulan karena kekeliruan menfasirkan mayoritas Islam harus berkuasa; penilaian yang tidak adil terhadap PDI-P; serta tak mau kerja, ingin memetik hasil. KRITERIA SEORANG PEMIPIN Nurcholis Madjid memulai evaluasinya dengan mengatakan bahwa kita baru saja melalui proses Pemilu, yang untuk pertama kalinya dilakukan dengan relatif jurdil. Banyak hal yang tak terduga muncul sebagai hasilnya tidak seperti dulu, sebelum Pemilu kita sudah tahu hasilnya. Oleh karena itu, kita harus menerima apapun hasilnya. Inilah konsekuensinya. Rakyat memilih siapa saja yang dikehendaki, sesuai dengan hati nuraninya. Berkali-kali saya katakan, kita tidak bisa membuat kriteria-kriteria untuk seorang pemimpin. Kita selalu gagal. Contohnya, presiden harus bisa berbahasa Inggris. Itu nggak ada urusannya. Apalagi kalau harus berpengalaman jadi presiden. Kriteria itu semuanya adalah daftar keinginan pribadi yang subyektif. Kriteria satu-satunya bagi seorang pemimpin untuk saat ini adalah siapa yang dipilih rakyat, yang dalam Islam disebut "muchtar". Bukankah Nabi Muhammad juga berpesan agar kita mengikuti golongan terbanyak, "Hendaknya kamu mengikuti golongan terbanyak diantara manusia". Ini sesuai dengan ungkapan "Kekuasaan Tuhan itu bersama orang banyak": Vox populi, vox dei. KELIRU MENAFSIRKAN MAYORITAS HARUS BERKUASA Menurut Nurcholis Madjid, permasalahan pertama, karena baru pertama kali melakukan secara jurdil, unsur ketaterdugaannya tinggi. Ini membuat orang gampang panik. Ibaratnya, kita mau masuk kamar gelap, kita pasti takut terlebih dulu, meski sebenarnya tidak ada apa-apa. Unsur psikologis sangat besar di dalamnya. Dalam politik memang banyak unsur psikologis yang tidak rasional, dan oleh karenanya menjadi unpredictable. Kekawatiran dan kepanikan muncul dari sebagian besar masyarakat Indonesia yang muslim, karena salah mendefinisikan umat Islam itu sendiri. Definisi kita tentang umat Islam sangat terbatasa, sehingga kita serta merta tidak bisa mengakui Sukarno sebagai muslim, Soeharto sebagai muslim, Ali Murtopo sebagai muslim, atau Mega sebagai muslimah. Seolah semua mereka di luar pagar. Padahal dalam waktu yang sama, mengklaim bahwa umat Islam Indonesia 90%. Semuanya muncul karena politik yang eksklusif. Kalau menyoal Islam sebagai Islam, kita tidak perlu kuatir. Indonesia dibolak-balik ya tetap Islam. Kita bisa melihat tesis Harry J Benda bagaimana Jepang membawa Islamic policy ke Tokyo sebagai blue print untuk kepentingan pendudukan militernya di Indonesia. Jepang bermaksud menggunakan orang Islam, tetapi faktanya, justru terbalik. Jepang justru dimanfaatkan orang Islam dengan munculnya Hizbullah, Sabilillah dan sebagainya. Jadi, tidak usah kuatir. Kalau dikatakan dalam Pemilu umat Islam kalah, yang dimaksud itu adalah Islam dalam definisi antropologis, yaitu yang disebut santri. Secara antropologis santri kalah, itu bisa diterima. Faktanya di Jatim, di semua kantong santri sebagian besar memilih PDI-P. Bayangkan di Jombang saja, PDI-P menang. Di Jakarta, kantong-kantong Islam seperti Jurangmangu, yang secara tradisional memilih PPP, sekarang memilih PDI-P. Jadi, apa artinya? Ada unsur psikologis dalam pemilu kali ini, yaitu munculnya suara protes atau protest vote. Protest vote itu psikologi manusia, yaitu kecenderungan untuk memihak pada yang underdog yang memelas. Protes terhadap seluruh sistem selama 32 tahun dialami dan dirasakan rakyat. Jadi, dalam pemilu sekarang banyak sekali unsur psikologinya. Nanti, kalau sudah teratur dan semua sudah tertata, sehingga semua masalah psikologis diminimalisasi, pemilihan itu akan lebih objektif. Nah, Mega dan rombongannya itu berada di pihak underdog. Kita juga salah dalam mendefinisikan bahwa mayoritas harus berkuasa. Mayoritas dalam berpolitik itu dibuktikan dalam pemilu, lewat partai-partai. Umat Islam tak boleh apriori karena mayoritas harus berkuasa. Lihat di Jerman. Partai Kristen Demokrat dan Partai Kristen Sosial kalah dari Partai Demokrat. Tetapi di Jerman tak ada orang yang berpikir "Kristen harus berkuasa karena mayoritas". Sebab, mayoritas, minoritas dalam politik memang harus dibuktikan dalam melalui pemilu. Kritik Nurcholis atas pikiran "Islam harus berkuasa karena mayoritas" tepat sekali. Sebab, perempuan dibandingkan dengan pria juga mayoritas, bisa juga mengatakan "perempuan harus berkuasa". Padahal sementara mereka mengatakan "perempuan tak boleh jadi pemimpin". Memang adalah demokratis bila yang berkuasa itu pihak mayoritas. Tapi untuk sampai ke tangga kekuasaan, yang mayoritas itu harus berjuang dan berjuang dengan tak mengenal kata henti, supaya kemayoritasannya itu ditunjukkan melalui pemilu. Itu juga berlaku bagi kaum buruh dan tani yang mayoritas dibandingkan dengan kaum kapitalis dan tuan tanah di Indonesia. Nurcholis juga benar dengan mengatakan salah satu hikmah pemilu kali ini adalah membuktikan klaim-klaim orang "Saya hebat, kelompok saya hebat", sebelum pemilu, klaim yang tak bisa dibantah. Sekarang, sesudah pemilu, banyak orang yang egonya hancur. Salah sendiri, kenapa menggambarkan diri lebih dari yang sebenarnya. Bigger than life. TAK MENEMPATKAN PDI-P SECARA ADIL Umat Islam itu lupa bahwa PDI-P itu fusi dari partai-partai non-muslim, misalnya Parkindo. Ya, wajar, kalau kemudian calegnya non-muslim. Masa kita berharap semua calegnya muslim? Katakan lah benar bahwa sebagian besar calegnya non-muslim. Itu urusan intern mereka. Artinya orang Islam di PDI-P tidak kuat. Umat Islam yang berharap supaya sebagian besar caleg muslim dari PDI-P, itu menunjukkan umat Islam yang bersangkutan tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, tidak bersikap adil. Sudah jelas PDI-P adalah fungsi partai nasionalis dengan golongan kristen. Fusinya bukan dengan partai-partai Islam. Kok "neko-neko" menuntut supaya calegnya sebagian besar muslim. Hendak memaksakan kehendak sendiri pada pihak lain. Kelihatan tidak demokratisnya. TAK MAU KERJA, NAGIH REKENING "Umat Islam menuntut Islam kuat," kata Nurcholis Madjid, tapi kita tidak mau masuk ke dalam PDI-P. Ada orang dekat Mega yang datang kepada saya, bilang, "Cak Nur, ada dong dari teman-teman Cak Nur yang masuk ke kami. Kami sudah suruh masuk, tapi nggak mau". Dari sini umat Islam nggak adil. Tidak berbuat sesuatu (tak mau masuk ke PDI-P, pen.) tetapi sekarang menagih rekening. Oleh karena itu kalau kita berpikir jauh, harusnya orang Islam masuk ke PDI. Mereka senang sekali kalau ada tokoh Islam masuk. Nurcholis Madjid benar, umat Islam yang bersikap tak mau kerja, maunya hasil saja, menunjukkan watak kelas penghisap. Berbeda dengan prinsip kaum sosialis: hanya yang bekerja yang berhak makan. Ajaran Al Quran juga mengatakan: janganlah memakan sesuatu yang diperolehnya secara batil (lihat surat Al Baqarah Ayat 188). RAHASIAKAN RENCANA PADA ORANG YANG BERSEPATU Menurut Nurcholis faktor yang memungkinkan Megawati menang dalam Pemilu lalau, karena Megawati mempunyai platform tersendiri. Nabi saja menyatakan perang itu tipu muslihat. Padahal politik itu, kata orang perang tanpa senjata. Sedangkan perang adalah politik dengan senjata. Itu kan sama saja. Politik itu dalam bahasa Arab "Siasah", siasat, seni mengendalikan orang, atau seni mengatur sesuatu. Prinsipnya, kalau Mega mau sukses, front harus diperkecil. Jadi, orang-orang berpotensi memusuhi itu harus dinetralisasi. Mega selama ini tak keras terhadap tuntutan mengadili Soeharto, yang masih berpotensi dengan uangnya. Soeharto dinetralisasi dengan mengatakan, "Saya tak mau menghujat Pak Harto". Lalu terhadap ABRI. Mega bilang, "Saya tak mau mempersoalkan Dwifungsi". ABRI dinetralisasi. Dengan berbuat seperti itu Mega tak punya banyak musuh. Jalannya licin. Itu dalam Islam juga disebutkan. "Kalau kamu sukses dan mencapai hasil, rahasiakan semua rencanamu dari orang yang bersepatu dan orang yang telanjang kaki". Karena itu, setelah sekarang aman, Mega tampaknya mulai mengangsur. Dia mengatakan, "Nanti kalau saya jadi Presiden, Pak Harto akan saya adili". Sayangnya, umat Islam tidak mengerti tanda itu. KESIMPULAN Evaluasi kekalahan Islam dan kemenangan PDI-P dalam pemilu yang lalu, telah salah dalam mengartikan "Islam mayoritas harus berkuasa", "tidak berlaku adil terhadap PDI-P", "tak mau kerja, mau hasilnya saja", di pihak lain PDI-P mengamalkan petunjuk Islam, yaitu merahasiakan rencananya kepada orang-orang yang bersepatu atau kaki telanjang. Umat Islam yang tidak berlaku adil itu, sangat bertentangan dengan surat Almaidah Ayat 8 yang berbunyi, "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri karena Allah, menjadi saksi dengan keadilan. Janganlah kamu tertarik karena kebencianmu kepada satu kaum, hingga kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan".*** ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html