Precedence: bulk


Jakarta, 25 Juni 1999

MASYARAKAT MADANI YANG SADAR HAK DAN KEWAJIBAN MENJELASKAN HAK POLITIK PEREMPUAN

        Pagi ini Kelompok Masyarakat Madani mengadakan Jumpa Pers guna
menanggapi berbagai pernyataan  pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat yang
mendiskreditkan hak politik perempuan untuk menjadi Presiden.

        Jumpa pers bertempat di Sekretariat Komisi Nasional Anti kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) ini dihadiri, antara lain, oleh
Anggota Komnasham yang juga ketua Komnas Perempuan: Prof. Dr. Saparinah
Sadli, wakil ketua PAN: Prof.Dr. Toeti Heraty, Direktur Eksekutif Mitra
Perempuan : Rita Serena Kolibonso, Direktur Perserikatan Solidaritas
Perempuan: Tati Krisnawaty, aktivis pembela Marsinah  dan seniman terkenal:
Ratna Sarumpaet, serta Ny. Titi Sumbung SH dari PKM dan Dra. Smita Notosusanto. 

        Pernyataan yang dibacakan Rita Kolibonso menyatakan bahwa menghadapi
berbagai pernyataan yang telah mendiskreditkan perempuan akhir-akhir ini,
maka perlu disadari landasan hukum yang melindungi hak-hak politik
perempuan di Indonesia.

        Pertama, pasal 27 UUD 45 menjamin persamaan hak bagi perempuan
maupun laki-laki di hadapan hukum dan pemerintahan.
 
        Selanjutnya,  sebagai anggota masyarakat sedunia, Indonesia telah
meratifikasi 2 Konvensi PBB, yaitu Konvensi tahun 1953 mengenai Hak Politik
Perempuan, yang disahkan menjadi undang-undang nomor 68 tahun 1958, dan
Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan tahun 1979, yang disahkan menjadi Undang-undang 
nomor 7 tahun 1984. Kedua konvensi ini mengakui dan melindungi hak-hak
politik perempuan, khususnya hak-hak perempuan untuk memilih dan dipilih
serta memegang jabatan dalam pemerintahan dengan kedudukan yang sama
dengan laki-laki, tanpa diskriminasi. 

        Mengenai penafsiran ajaran agama untuk mendiskreditkan hak
politik perempuan, dikatakan, ajaran agama, khususnya agama Islam,
menjunjung tinggi harkat manusia dan tidak membedakan hak politik antara
perempuan dan laki-laki. Dalam Al Qur'anjuga tidak dijelaskan secara
eksplisit bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Kepemimpinan negara
sesuai ajaran Islam karenanya dapat dijabat oleh laki=-laki maupun
perempuan. 

        Maka mendiskreditkan hak politik perempuan sesungguhnya merupakan 
perbuatan inkonstitusional, serta merupakan pertanda bahwa makna demokrasi
dan keadilan belum dimengerti. 

        Dalam waktu hanya 48 jam, Pernyataan yang di prakarsai oleh Prof.
Dr.Saparinah Sadli dan Rita Kolibonso, mendapat dukungan dari 300 lebih
tandatangan perorangan dan 21 organisasi.

        Selain disupport Ny. Dra. Nuriyah GusDur, Omi Komaria Nurcholis
Madjid MA, Dr. Karlina Leksono, Dr. Chusnul Mar'iyah, Ir. Erna Witoelar, Tini
Hadad, Ita F.Nadia, Myra Diarsi MA, Apong Herlina SH, dukungan juga diterima
dari Penasehat Presiden Dewi Fortuna Anwar, serta anggota Komnasham Marzuki
Darusman, Kusparmono Irsan dan Asmara Nababan.
 
Tokoh-tokoh lain yang ikut mendukung, termasuk Dra. H. Khofifah
Indarparawansa, pakar ekonomi seperti Dr. Mari Pangestu, Prof.Dr. Mohammad
Sadli, Prof. Dr. Emil Salim, serta Prof.Dr. Arief Budiman dan Dra Leila C.
Budiman yang sekarang mengajar di Australia.

Pendukung terbanyak terdiri atas ibu-ibu rumah tangga, kaum professional,
akademisi, TKW, buruh migran, mahasiswa dan perupa.

        Menjawab pertanyaan apakah Pernyataan ini merupakan support untuk
Megawati, Prof. Saparinah dan anggota-anggota lainnya menjelaskan, bahwa
yang ingin ditegaskan adalah PRINSIP persamaan hak politik bagi perempuan
maupun laki-laki, serta dasar hukumnya dan pelanggaran hak asasiyang selama
ini tidak diperhatikan banyak orang.

Ditegaskannya bahwa Pernyataan ini BUKAN untuk memberikan dukungan kepada
Megawati atau siapapun, tetapi lebih untuk memberikan peluang yang sama dan
adil bagi siapapun orangnya baik perempuan maupun laki-laki yang akan
dipilih untuk memangku jabatan presiden Indonesia. 'Dengan demokratisasi
yang sedang berjalan, kalau Megawati dipilih oleh rakyat dan dia memang
menang, kita harus terima. Katanya demokrasi, jadi kita harus bisa mengalah
dan siapapun yang menang harus bisa diterima'. 

Sedangkan Professor Toeti Heraty menjelaskan bahwa Pernyataan itu menuntut
persamaan hak perempuan sesuai  hukum yang berlaku.  Dikatakannya bahwa
sebagai seorang Wakil Ketua PAN, loyalitasnya adalah untuk PAN, dan sebagai
perempuan ia mendukung HAK PEREMPUAN sesuai konstitusi sebagaimana tertera
pada Surat Pernyataan.  

Dukungan dan penambahan tandatangan masih terus mengalir, baik dari dalam
maupun dari luar negeri.

Carla Bianpoen

Untuk Keterangan lebih lanjut Anda dapat menghubungi:

Prof.DR. Saparinah Sadli: [EMAIL PROTECTED]
atau 
Rita Kolibonso: [EMAIL PROTECTED]

English version:

ACTIVISTS DEMAND WOMEN'S POLITICAL RIGHTS, 
EMPHASIZING THEY DON'T BACK ANY SPECIFIC  PERSON

        A Press Meeting held on June 25, 1999 by supporters of women's
political rights refute statements linking the position of president to
gender. The meeting, which was held at the Secretariate of the National
Commission on Violence against Women, was attended by, among others,
noted human rights proponent Prof. DR. Saparinah Sadli, Deputy Chair of the
PAN Party Prof. Dr. Toeti Heraty, executive director of Solidaritas
Perempuan Tati Krisnawaty, Executive director of Mitra Perempuan Crisis
Center Rita Kolibonso, Titi Sumbung of the PKM Party, Smita Notosusanto and
reputed playwright Ratna Sarumpaet. At issue is the principle of women's
equal rights, allowing a woman to vote and be voted for.

        The Group's Statement, read by Rita Kolibonso, said that vis-a-vis
the overwhelmingly biased statements discrediting women's political rights,
particularly the right to fill the position of president, it is necessary to
be aware of the legal framework protecting women's political rights.*

        First of all, the Indonesian 1945 Constitution ensures both men and
women equality before the law.  As a member of the international community,
Indonesia has ratified the UN 1953 Convention on  Political Rights of Women
and issued Law No. 68/1958. Similarly, Indonesia ratified the UN 1979
Convention on the Elimination of any Form of Discrimination Against Women,
and issued Law No 7/1984.Both Conventions recognize and protect women's
political rights, especially the right to vote and be elected for government
positions in equality with men.. 

        Regarding the use of political dogmas for discrediting women, the
Statement which was signed and supported by over 300 men and women of
various backgrounds, and 21 organizations, made clear that in the holy book
of the Qur'an, there is no explicit stipulation that deny women's
leadership, and true Islamic values allow equal opportunities to men and
women as long as they are democratically elected and accepted.

        Comments and statements made to discredit women's political rights,
therefore, are unconstitutional and give evidence that the meaning of
justice and democracy are not yet well understood.

        The Statement, which was initiated by Prof. Saparinah Sadli and Rita
Kolibonso, only needed 48 hours to receive over 300 signatures from
individuals and organizations. Besides support from women like Dra. Nuriyah
Gus Dur, Omi Komaria Nurcholis Madjid MA, Dr. Karlina Leksono, Dr. Chusnul
Mar'iyah, Ir.Erna Witoelar, Tini Hadad, Ita F. Nadia, Myra Diarsi MA, and
Apong Herlina S.H, support was also received from noted Presidential Advisor
Dewi Fortuna Anwar, and Marzuki Darusman,  Kusparmono Irsan, and Asmara
Nababan from the National Human Rights Commission. Furthermore,  a former
parlamentarian and now active member of PKB party Dra H. Khofifah
Indarparawansa, noted economsts like Dr. Mari Pangestu, Prof. Dr. Mohammad
Sadli, andProf. Dr. Emil Salim, as well as Prof.Dr. Arief Budiman and Dra.
Leila C. Budiman. The signatories furthermore constitute housewives,
professionals, academics,  students, and artists, migrant workers and women
workers.. 

        Asked whether the Statement was meant as a support for Megawati
Sukarnoputri, Professor Saparinah and other members of the group made clear
that what is at issue is the principle and legality of women's equal
political rights. It should certainly not be taken as a support for
whichever person. What the Statement wishes to underline is that men and
women should have equal opportunities in filling the position of the
presidency. Saparinah reiterated 'As we proceed with democratization, we
should learn to accept defeat. If the people vote for Megawati and she
really is the winning party, we must accept that, whether we like it or
not'. Meanwhile Toeti Heraty, a Deputy Chair of the PAN party, who fully
supports the Statement, took herself as an example in support of Professor's
Saparinah's explanation. As a Deputy Chair of PAN, clearly her loyalty is to
her own party. Signing the Statement, though, has nothing to do with her
loyalty, as the Statement demands equal rights for women, in compliance with
existing laws.

        Support from various people continue to come in, including
supporters abroad.
                                (Carla Bianpoen)  

NB: For further information you may contact
Prof. Dr. Saparinah Sadli: [EMAIL PROTECTED]
or Rita Kolibonso: [EMAIL PROTECTED]

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke