Precedence: bulk


PPP MANIPULASI  MAZHAB  SYAFI'I

Oleh: Sulangkang Suwalu

        Hakim tak mungkin akan bisa memutuskan secara adil, jika hanya
mendengar keterangan dari sebelah pihak saja, baik pihak yang tertuduh
atau si penuduh. Jika keterangan yang didengarnya hanya dari si
tertuduh saja, dan kemudian ditariknya kesimpulan, tentu dia akan
lebih cenderung memutuskan: bahwa tuduhan dari si penuduh lemah atau
tidak benar. Sebaliknya, bila yang didengar hanya suara si penuduh,
tentu kesimpulan yang akan lahir dari hakim itu: si tertuduh jelas
salahnya. Karena itu lah sebelum hakim memutuskan, didengarnya
keterangan kedua belah pihak yang saling bertentangan itu. Bertolak
dari dua  keterangan itu ia mengambil keputusan yang adil atau mendekati
keadilan.
        Begitu pula tidak lah benar dan adil, bila telah diambil saja
kesimpulan hanya bertolak dari melihat satu sisi dari hal ihwal.
Padahal tidak tertutup kemungkinan sisi lain yang bertolak belakang
dari sisi yang satunya. Kesimpulan tentang hal ihwal itubaru adil atau
mendekati keadilan, bila yang bersangkutan telah mengamati semua sisi
dari hal ihwal yang dimaksud.
        Demikian pula halnya mengenai adanya suara yang menolak presiden
perempuan, dengan mengkaitkan pendapat sebuah Mazhab Syafi'I, sedang
didalam Mazhab Syafi'I itu ada pula yang membenarkannya. Inilah yang
dikatakan deklarator PKB, KH Cholil Bisri.

TAK ADA DALIL NAQI YANG SIGNIFIKAN UNTUK TOLAK ATAU TERIMA

        KH Cholil Bisri mengatakan, "Kalau secara agama sebenarnya tidak ada
alasan Naqli yang signifikan untuk menolak atau menerima kepemimpinan
politik perempuan. Kita melihatnya kepada dua kaidah, bahwa menurut
ketentuan semula segala sesuatu itu dilarang, kecuali dibolehkan secara
syara; atau menurut ketentuan semula segala sesuatu itu dibolehkan ,
kecuali yang dilarang secara Syara. Lalu terjadi tarik menarik , ada
yang mengambil dalil pertama karena tidak ada yang membolehkan secara
signifikan dan ada yang mengambil dalil kedua karena tidak ada yang
melarang secara signifikan."
        Kemudian muncul penengah. Boleh boleh saja memnuhi syarat. Syaratnya
antara lain dia tidak boleh memutuskan sendiri, laias tidak absolut.
Jadi bukan seperti khalifah yang absolut, yang tidak mempunyai wakil
khalifah, yang tidak mempunyai parlemen dan sebagainya. Selain itu syarat lain
juga tergantung pada kemapuan sang calon pemimpin tersebut. Lalu ada
juga yang melihat dari sisi kesialan, maksudnya sial sekali orang yang
dipimpin perempuan.
        Mengenai alasan PPP (Yang diketuai Hamzah Haz,red) yang menggunakan
alasan Mazhab Syafi'i untuk menolak presiden perempuan , sebenarnya di
Mazhab Syafi'i sendiri ada tiga macam. Jadi, Mazhab Syafi'i sebenarnya
tak secara tegas menolak ataupun secara tegas  menerima. Masing-masing 
dengan pendekatan yang berbeda beda. Misalnya ada yang melihat dari 
kesialan, tapi ada juga yang melihat dari dalil lain. Mislanya, bahwa 
"Tersenyum lah wanita, maka
tsenyum lah dunia, menangis lah wanita maka menangislah dunia. 
        Atau hadis lain yang mengatakan bahwa "Wanita adalah tiang negara, 
jika baik wanitanya, maka baik lah negara. Jika rusak wanita maka rusak lah 
negara tersebut." Ini kan melihat keunggulan wanita dari laki-laki. Dengan 
kata lain KH Cholil Bisri
mengatakan bahwa PPP yang dipimpin Hamzah Haz tersebut menolak adanya 
presiden perempuan, hanya bertolak dari sepenggal Mazhab Syafi'i. Bukan 
bertolak dari Mazhab Syafi'i secara menyeluruh. Dengan kata lain Mazhab 
Syafi'i dimanipulasinya.

ALLAH TAK DISKRIMINATIF TERHADAP LAKI DAN PEREMPUAN

        Lain lagi dengan yang dikatakan staf pengajar Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang, dra HJ Zaurohatul Farida. Menurutnya secara
teologis , laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya, termasuk dalam
memimpin bangsa. Sebab seperti tercatum dalam Al Qur'an. Yang paling
utama dan dimuliakan Allah adalah ketakwaannya  (Suara Merdeka, 20/6/99).
        Memang ada ayat-ayat yang seakan-akan tidak membolehkan perempua
menjadi pemimpin. Ayat-ayat itu sebenarnya hanya berlaku dalam 
lingkup rumah tangga, tapi ditarik kelingkup publik. Ini kan tafsiran
yang menyesatkan. Saya kira karena Allah tak melakukan  politik 
diskriminatif" kepada
pria dan wanita, boleh lah wanita menjadi pemimpin dalam strata apa pun. 
Selama dia mamapu menjalankan amanat, tak seorang pun bisa mencegahnya. 
Laki-laki pun jika tidak bisa diberi amanat, tak layak lah jika dia jadi 
pemimpin. Asal perempuan itu bersikap adil, taat kepada Allah dan Rasul, is 
no problem. Selain itu ia harus mampu beribadah, melakukan peran sosial, 
membela kebenaran dan mencegah kemungkaran. Allah tak melarang ia jadi 
pemimpin. 
        "Jika sekarang," sambung Farida, "muncul lembaga lembaga yang tidak 
memperbolehkan wanita menjadi presiden, saya kira pernyataan-pernyataan 
mereka lebih condong sebagai statemen politik."
        "Nah," ujar Farida pula, "karena selama ini perempuan diposisikan 
sebagai sub-ordinat, pasti ada yang salah dalam pendidiakan dan tata kehidupan
kita. Itulah sebabnya, perlu pendidikan kesetaraan gender dan penafsiran 
baru terhadap ayat-ayat Al Qur'an. Saran supaya kyai (yang sering 
mengajarkan sesuatu kepada kita) dan anak anak harus diajarkan bahwa Islam 
tidak diskriminatif terhadap siapa pun." 
        Pernyataan Farida itu menunjukkan ia melihat Al Qur'an secara 
menyeluruh, dan bukan seperti PPP yang melihat hanya sebagian dari ayat dan 
ditafsirkan secara menyesatkan. Juga melihat Mazhab Syafi'i tidak secara 
menyeluruh.

BERPEGANGAN PADA YANG MENGUNTUNGKAN SAJA

        Bila PPP yang diketuai Hamzah Haz hanay berpegangan pada sepenggal
dari Mazhab Syafi'i, yaitu hanya pada bagian yang menolak presiden
perempuan dan mengkesampingkan dibolehkannya permpuan menjadi pemimpin,
karena itu yang menguntungkan PPP, maka hal demikian juga terdapat
dalam melaksanakan ketentuan ketantuan dalam Al Qur'an. Sekadar contoh, 
Jalaluddin Rahmat melalui "Renungan;Renungan Sufistik", mengemukakan 
pandangan 3 orang profesor, yang didengarnya dalam sebuah seminar di UI, 
ketika membicarakan bagaimana pandangan Islam tentang kemiskinan. Jalaluddin 
tidak mau menyebutkan nama profesor itu. 
        Jelasnya sebagai berikut. Profesor pertama mengatakan: Tidak mungkin 
kemiskinan itu dihilangkan, karena itu sudah merupakan ketentuan Allah . 
Lalu ia bacakan sebuah
ayat: "Allah lah yang memerluas rezeki, Allah lah yang menahan rezeki". 
Dengan kata lain memang ada orang miskin dan itu adalah merupakan kehendak 
Allah.
        Profesor ke dua mengatakan: Kemiskinan itu adalah giliran saja, yang
Allah gilirkan di antara mereka. Kemudian beliau mengutip sebuah ayat: "Dan 
hari hari itu kami pergilirkan diantara manusia". Olah karena itu kita sabar 
saja menunggu giliran kapan kita makmur.
        Profesor ke tiga mengatakan: hal yang sama dan menambahkan yang kita
pikirkan sebenarnya adalah bagaimana kita mengatasi kemiskinan. Itu
sudah tidak bisa diatasi. Itu sudah sepanjang sejarah, yang kita
pikirkan sekarang adalah abgaiman ita menanamkan kepada mereka itu
kesediaan menerima kemiskinan yang mereka alami; dan bagaimana caranya
supaya mereka merasa tentram dengan kemiskinan mereka, serta tidak ada
unsur memberontak, tapi mereka puas dengan keadaan seperti itu. Atau
dengankata lain kita sebagai kaum muslimin mesti berusaha menyebarkan
ilusikepada mereka, supaya mereka merasa kaya dengan kemiskinannya. 
        "Ketiga profesor itu memakai ushuludin untuk membenarkan terjadinya
kemiskinan," kata Jalaluddin.
        Ketiga profesor tersebut rupanya tidak memperdulikan atau
memepercayai jalan untuk menuntaskan kemiskinan, seperti yang terdapat
dalam surat Al A'raf 157, yang mengemukakan "Tugas pembawa risalah
harus membebaskan umat dari beban yang menghimpit mereka dan belenggu
yangmemasung mereka". 
        Tampaknya ketiga profesor tersebut mempercayai seabgian isi Al 
Qur'an dan ingkar terhadap bagian lainnya. Menurut Jalaluddin Rakhmat tugas 
mengamalkan surat Al A'raf ayat 157 itu memang sangat revolusioner dan oleh 
sebab itu jarang dibicarakan oleh mubaligh.
        Sesungguhnya yang lebih jarang lagi dibicarakan oleh mubaligh,
tentunya termasuk peringatan oleh tiga profesor tersebut ialah surat An
Nissa ayat 75 yang memperingatkan: mengapa kamu tidak mau berperang
sabilillah untuk (membebaskan) orang orang lemah di antara laki-laki ,
perempuan dan anak-anak, sedang mereka itu berdoa: "Ya, Tuhan kami,
keluarkanlah kami dari negeri yang aniaya penduduknya dan adakan lah
untuk kami seorang Wali dari sisi-Mu dan adakan lah untuk kami mengurus
pekerjaan dari kamu".

KESIMPULAN

        Bila PPP dengan Hamzah Haz hanya berpegangan kepada sepenggal dari
Mazhab Syafi'i, dan mengesampingkan bagian yang lainnya, dan tiga
profesor itu hanya berpegang kepada sebagian isi Al Qur'an, tapi ingkar pada 
sebagian yang lainnya, maka terima lah kehinaan di dunia dan siksa yang 
keras di akhirat , bagi yang bersikap demikian. Itu dikatakan dalam surat Al 
Baqarah ayat  85, sebagai berikut:
"Ada kah kamu percaya pada sebagian kitab dan ingkar akan sebagiannya, maka 
tiada lah balasan bagi yang bagi yang memperbuat demikian di antaramu, 
melainkan kehinaan dalam kehidupan di dunia dan pada hari Qiamat mereka 
dimasukkan dalam siksaan yang keras".
        Tindakan PPP (Hamzah Haz) memanipulasi Mazhab Syafi'i untuk
kepentingan politik golongan tertentu, telah  memerosotkan citra Islam, 
seakan  Islam itu melakukan politik diskriminatif terhadap pria dan wanita. 
Padahal Islam tak diskriminatif terhadap siapa pun.***

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke