Precedence: bulk


Hersri Setiawan:
                               
                               
                        Di Sela Intaian
                 catatan eks-tapol pulau buru
                        nomor foto 5397
                               
                               v

     HARI HARI pertama dan kedua di atas kapal suasananya
masih seperti orang berangkat pesiar. Banyak kawan, maksudku
"kawan" dalam arti senasib bukan seideologi, keluar masuk
palka atau turun naik geladak. Beranjangsana ke kawan-kawan
lama atau menikmati pemandangan lautan luas. Sampan sampan
nelayan tampak seperti sabut sabut kelapa diayun-ayun
gelombang. Ikan-ikan terbang timbul tenggelam berlompatan,
seperti adu lomba dengan alunan ombak yang bergulung-gulung.
Kilatan halilintar di ujung pemandangan, bagai hujan anak
panah dewa-dewa di surga yang menikami kaki langit.

     Hampir tak menampak wajah-wajah murung. Cerah ceria
menyungging senyum simpul. Mengapa tidak? Di atas kapal ini
kami tidak perlu lagi saling bisik membisik, atau bahkan harus
bermain g-t-m, gerakan tutup mulut. Kami bisa bicara tentang
apa saja, dan dengan siapa saja - bahkan dengan para awak
kapal dan aparat penguasa sekalipun!
     Beranjangsana dan ngobrol dengan kawan-kawan lama, dan
mencari sebanyak-banyak kawan baru, tidak ada yang melarang.
Maka sibuklah mereka. Ada yang sekedar untuk berkawan-kawan,
tapi ada yang dengan tujuan "jangka jauh". Mengumpulkan
kembali "balung pisah", tulang-tulang yang tercerai-berai, dan
menyusun kembali "batu bata" yang pecah berserakan. Tentu saja
yang dimaksud tulang-tulang kerangka dan batu bata fondasi
bangunan organisasi.
     KM "Tokala" memang  bukan RTC Salemba atau RTC Tangerang.
Di kapal ini kami bisa tertawa selepas-lepasnya, tanpa harus
menyelinap ke belakang tembok kakus, dan tak perlu takut
terkena konsinyes "macem macem". Yang disebut "macem-macem"
ialah jenis sejumlah larangan bagi tapol, segala apa saja yang
dipandang menyeleweng dari aturan atau "konsinyes".
     Di "Tokala" kami tak perlu belajar mengaji berjam-jam
duduk bersila, dan lima kali setiap hari ke mushala karena
takut "absensi" ibadah. Kami tak perlu berpura-pura serius di
lingkaran-lingkaran kelompok diskusi Pancasila ala Kapten
Marzuki Dan Kamp Salemba. Kami bisa bermain gaple sepuas-puas
hati, sambil diselang-seling tertawa meledak-ledak sekeras-
kerasnya pun, tanpa takut peringatan dan ancaman Kepala Blok
yang berwajah angker. Kami tak perlu menanti-nanti datangnya
besukan makan-minum lezat dan bergizi dengan harap-harap
kecewa, karena yang datang tinggal tas kosong dan label yang
melambai-lambai membawa salam keluarga. Karena di atas kapal
ini tiga kali satu hari jatah makan-minum tidak pernah datang
terlambat apalagi mangkir. Satu misting padat nasi putih
selembut sutera, tertutup rapat oleh rendang atau daging
goreng yang lezat harum, dan telur rebus sebutir penuh tanpa
perlu dibelah enam atau delapan seperti di kelompok-kelompok
riungan (1) ketika di RTC. Tidak hanya jatah makan yang mewah
seperti itu! Kami masih mendapat "extra voeding" (istilah
tapol intelektuil, baca: Salemba) atau "rehab" (istilah tapol
rakyat, baca: Tangerang; akronim dari "rehabilitasi") yang
berbagai rupa: teh manis, susu, dan bubur kacang hijau. Masih
ada tambahan lain lagi yang tidak boleh tidak disebut. Di
sini, di atas kapal ini,  bukan lonceng apel, bedug mushalla,
dan panggilan-panggilan serba harus lain-lainnya yang kami
dengar, tapi alunan musik lagu-lagu keroncong dan hiburan yang
membuai belai.

     Luar biasa! Dari ketika di penjara yang setiap hari hanya
bisa menanti dengan pasti jatah siksaan dan cacimaki dikerbau-
kerbaukan, sekarang kami seakan-akan mereka-permanja dan
mereka-manusiakan kembali. Apakah ini semacam jamuan terakhir
yang dihadiahkan sebelum si pesakitan harus dieksekusi? Atau
semacam perjamuan suci isyarat perpisahan, antara Sang Penebus
dengan dua belas murid-muridnya? Atau sekedar bagian belaka,
yaitu bagian introduksi, dari skenario besar mereka yang
berjudul "Proyek Kemanusiaan Orde Baru"! Maka kami, para tapol
G30S-PKI, sengaja dibiarkan diliputi suasana yang ibarat kata
pepatah - seperti sudah tersebut pada bagian awal rangkaian
kisah ini: "kéré nemoni malem". Pengemis diundang kenduri!
Agar enak ditonton oleh mata dunia internasional. Sementara
itu Orde Baru pun menjadi tampil gilang-gemilang, bagai sosok
yang berbudi dan bermurah hati. Ratu Adil yang "bèrbudi bawa
leksana".
     Mungkin, sadar atau tidak sadar, bagaimanapun juga, kami
semua merasakan tentang hadirnya kembali harkat-kemanusiaan
kami sendiri itu. Tetapi karena kehadirannya datang terlalu
cepat, dan bahkan seakan-akan bagai hadiah malaikat turun dari
langit, maka tidak sedikit di antara kami yang justru menjadi
limbung dan nyaris tergelincir.

     Penjara, kata orang, semisal dunia tersendiri. Dunia
abnormal - seperti pernah kukatakan dalam kisah terdahulu.
Tapi justru oleh sifat abnormalitasnya itulah, kehidupan
penjara bisa membawa kesadaran si tawanan atau si terpidana
kembali pada kenormalan. Dimensi-dimensi sosok ketokohan
seseorang lalu menjadi tampak banyak bernuansa. Demikian juga
dimensi konsep-konsep dan kata-kata. Semua hal-ihwal menuntut
agar dikaji ulang dan dinilai kembali. Cara pandang dikotomis
hitam-putih, yang dangkal dan bikin sesat, lalu dipertanyakan
dan digugat.
     Wujud ekstrem pernyataan kesadaran baru itu menggejala
dalam banyak ungkapan. Sudah sejak di blok-blok penjara,
misalnya, banyak tapol yang akan berteriak sinis setiap kali
mendengar seruan permintaan "setiakawan".
     "Huh! Masih setiakawan-setiakawan lagi yang diminta.
Nggak, akh! Nggak ada lebih lagi. Setiakawan tinggal satu,
bakal oleh-oleh anak-bini kalau kelak pulang ...!"
      Juga demikian jika mereka mendengar seseorang
melantunkan begitu saja kata-kata pertama dari sajak HR
Bandaharo "tak seorang berniat pulang/walau mati menanti" (2).
Tanpa peduli pada ide umum yang melatarbelakangi sajak itu
mereka menghardik:
     "Omong kosong!" Komentar mereka. "Tak seorang berniat
pulang? Huh! Yang bener aja! Semua orang berniat pulang,
timbang dinanti mati konyol!"
     Ada lagi bentuk ungkapan lain, misalnya, terhadap istilah
"diskusi". Ada sekelompok tapol, Kristian dan kawan-kawannya,
mereka sengaja menggantinya dengan "kusi-kusi".  Sepatah kata
yang sama sekali tidak berarti, seperti juga halnya fiil
kongkret yang dinamai "diskusi" itu. Karena itu mereka juga
menciptakan kata pasemon lain sebagai sinonim, dengan merujuk
pada ungkapan Jawa "sahur manuk". Istilah itu ialah "manuk-
manukan", yaitu bertingkah meniru perangai burung. Sebuah
sarkasme terhadap moral panutan: begitu sang Panut sudah
terdengar bersuara, maka semuanya segera menyahut beramai-
ramai dengan bunyi yang sama. Istilah-istilah pasemon itu
masih diberi sinonim satu lagi yang lebih lugas: "anthuk-
anthukan". Karena yang disebut "diskusi", sebenarnya tidak
lebih dari saling angguk-mengangguk mengiyakan saja.

     Bukan hanya dalam penciptaan yargon-yargon baru
pernyataan kesadaran baru itu menggejala. Juga muncul dalam
tema-tema dan tokoh-tokoh utama dongeng-dongeng yang
dituturkan tapol pencerita pada kawan-kawannya. Si pencerita
tidak hanya mencari pahlawan-pahlawannya di antara tokoh-tokoh
klas saja. Tapi ia mencari, atau menciptakannya, dari tengah-
tengah manusia kebanyakan. Diangkatnya tokoh itu tidak sebagai
pahlawan teladan yang serba super, tapi sebagai sosok manusia
biasa yang berdarah-daging, utuh dengan segala fitrah
kemanusiaannya.
     Bahwa si pencerita tidak lagi menawarkan "tokoh klas",
tapi menggantinya dengan tokoh "manusia biasa", tentu ini
bukannya lahir dari rasa takut pada konsinyes saja. Tapi
terutama justru karena kesadaran baru akan  integritas
kemanusiaannya yang kembali tumbuh. Barangkali karena itu juga
maka banyak tokoh pemimpin lama menjadi kehilangan kepercayaan
massa. Sebagian memang karena tak mau peduli lagi pada
organisasi dengan segala soal ikutannya, tapi sebagian lainnya
- walaupun masih menaruh peduli -  karena tak percaya lagi
pada segala yang "tua" dan "lama", karena "tua" dan "lama" tak
lain berarti "kemapanan", "penakut" dan "pandai bicara".
Mereka ini lalu mencari pimpinan baru dari kalangan sesama
sendiri yang muda - karena muda ialah bersih, berani dan kuat.
     Di samping dua kelompok itu, ada  satu kelompok lagi.
Mereka juga mencari tokoh-tokoh panutan yang baru, tapi tidak
peduli dari kalangan tua atau muda. Bagi mereka yang penting
ialah keberanian berpikir dan bersuara secara baru, walaupun
kebaruan itu terkadang berupa takhayul-takhayul politik dan
akrobat kata-kata belaka. Dari kelompok mereka inilah mengalir
"info" yang, disengaja atau tidak, rancu dengan "sasus" -
desas-desus - sehingga memancing timbulnya yargon sarkastis
lain lagi: "bom-boman".
                               
     Kembali pada kehidupan dongeng tutur.
     Juru cerita di sel-sel, blok-blok penjara, atau di tempat-
tempat kerja di unit-unit tefaat merasa, seakan-akan
menghadapi lahan dongengan yang jauh lebih luas. Ia menjadi
tidak ragu-ragu lagi untuk menuturkan cerita-cerita yang
"murni" roman percintaan di tengah-tengah para pendengarnya
yang, notabene, kader-kader organisasi dengan bekal ideologi
cukup lumayan. Ia tidak perlu takut akan mendapat "cap
burjuis", walaupun yang dituturkannya kisah cinta pribadi
antara perempuan dan laki-laki, bukan antara manusia superman
dengan keyakinan ideologi dan organisasinya.
     Maka, kisah-kisah percintaan Untung Surapati - Suzana,
Damarwulan-Anjasmara, Sampek-Engtay merupakan repertoar-
repertoar yang banyak dituturkan.  Itu berarti salah satu sisi
tuntutan "dua tinggi" (3), yaitu tinggi ideologi, harus disusut
(atau justru diperlebar): dari ideologi kerakyatan menjadi
ideologi kemanusiaan.
     Untung Surapati, seperti kita tahu, seorang budak Betawi
asal Bali. Ia menjalin "cinta gelap" dengan nonik berkulit-
putih, Suzana namanya. Ayah Suzana seorang Belanda, tuan
budak, opsir Kompeni pula! Pendek kata berlapis-lapis benteng
kasta yang memisahkan antara dua kekasih itu. Tapi tidak ada
seorang tapol pun, notabene mereka adalah tapol "G30S/PKI"
[sic!], yang memprotes dan memberi Untung Surapati cap
burjuis, serta menudingnya sebagai pengkhianat bangsa atau
klas.
     Contoh kedua, Damarwulan. Seorang pemuda gunung, tokoh
kesayangan penggemar cerita ketoprak atau langendriyan. Ia
seorang hamba pekathik, pengarit rumput, yang kumawani (sok-
berani) mencintai Anjasmara, puteri mahapatih kerajaan
Majapahit di masa pemerintahan Ratu Kencana Wungu.
     Sekali peristiwa Damarwulan disiksa oleh Layang Seta
Layang Kumitir, dua kakak kembar Anjasmara, lalu mereka lempar
ke dalam lubang sumur mati. Penonton tidak menyukurkannya,
tapi sebaliknya malah meruntuhkan airmata ketika mendengar
tembang sesambat "pamit palastra" Damarwulan dalam Asmaradana:

     Anjasmara ari mami                   Anjasmara adindaku
     Masmirah kulaka warta              Azimat dengarlah kabar
     Dasihmu tumekèng layon          Budakmu tiba di ajal
                                                 dst. dst.

     Nah, mari tidak usah kita perpanjang pembicaraan tentang
dongeng-dongeng itu. Karena sesungguhnya sangat banyak dongeng
tutur yang bermaksud memberi pesan tersamar seperti itu. Yaitu
pesan agar orang, dalam menjatuhkan pilihan sikap moral, tidak
bertolak di atas dasar dikotomi hitam-putih.

     Contoh kedua, tentang homoseksualitas dalam kehidupan
tahanan - seperti pernah kutulis dalam "Seni dan Hiburan Di
Penjara Orde $uharto". Bagi pandanganku homoseksualitas di
kalangan tapol bukan suatu aib yang harus ditutup-tutupi dan
ditindak dengan kekerasan. Sebaliknyalah! Itu suatu pernyataan
jujur yang patut dibela. Tidak sepatutnya pada mereka dikenai
cap "burjuis". Atau bahkan lebih busuk lagi: kriminil!
     Pembelaanku pada kawan yang berhomo kuperlihatkan, pada
saat di Unit XIV Bantalareja terjadi peristiwa bacok-bacokan
antara sepasang homo: Bung Sam dan Bung Adi. Sketsa sajak
"Cinta" yang kutulis ketika itu akhirnya tersusun demikian:

                                 tentang cinta

               cinta ialah bagai sehelai awan
               yang sanggup menyerap segala
               matahari dan rembulan
               rintik hujan dan prahara

               ia berpelataran cakrawala
               maha luas
               ia berdaya getar
               tanpa sudah
               ia adalah api dian
               tanpa padam

               ia menjadi ratapan atau pujaan
               ia menjadi doa atau dalil
               dijalin dalam pesona suara

               hidup!
               tanahair dan neg'riku
               hidup!
               rakyat dan bangsaku
               hidup!
               ketua dan bagindaku

               cuma
               hidup tanpa manusia yang
               memanusia
               hidup tanpa cinta yang
               mencinta
               hanya
               gelembung-gelembung busa

               cinta ialah sepatah kata
               yang dibisikkan dalam sunyi
               tapi menjadi senyap
               renyap di langit  kosong
               dan awan hilang
               suara tinggal gema
               cinta tinggal kata
               sepatah
               patah
               kering

     Kembali kita ke KM "Tokala".
     Pendek kata, tidak berlebihan jika aku katakan, banyak
kawan kawan menjadi ibarat "kuda lepas pingitan". Berlalu
lalang kian ke mari, tak kalah sibuk dengan para pengawal dan
pejabat Bapreru yang menyertai kami.
     Di antara mereka yang sok-sibuk itu ada seorang yang
bagiku terkesan paling menonjol. Ia seorang insinyur, masih
muda, bernomor baju 300-sekian. Kalau bicara suaranya seakan-
akan sengaja dibikin dalam, agar terkesan berwibawa pada si
pendengar. Lalu, untuk menarik perhatian, dibumbuinya dengan
banyak gurau dan banyolan yang nyerempet-nyerempet pornografi.
Selain itu entah daya tarik apa saja yang dimilikinya. Tapi
memang selalu saja banyak kawan yang datang "bermanuk-manukan"
di sekitarnya. Dan setiap orang yang kemudian terbang dari
kawanannya, seakan-akan pergi dengan membawa amanat untuk
disebarkan di kelompok kawanan masing-masing.
     Ia memang tergolong tokoh "gudang info", istilah kami di
Salemba. Tapi sementara orang yang tidak menyukai kegiatan
konspiratif tukar menukar "info", tokoh-tokoh seperti Bung
Insinyur ini mereka sebut sebagai  tokoh serba tahu. Sama
tarafnya seperti tukang jual obat di pasar atau alun-alun,
yang menjajakan koyok atau salep yang berkhasiat menyembuhkan
segala macam penyakit! Mereka juga mendapat sebutan, dengan
meminjam kata-kata Njoto, Wakil Ketua II CCPKI, tokoh yang
"tahu segala tentang sesuatu, dan tahu sesuatu tentang
segala".
     + Ayo Mas! Kita taruhan! Seorang satelit Bung Insinyur
datang menantangku.
      -  Wah! Apa yang dibuat petaruh, orang buangan seperti
kita ini?
     + Enggak, maksud saya taruhan kata saja. Percaya enggak
Mas, sampeyan?
     Tanpa mau mengulur kesabarannya barang sedikit, untuk
menunggu jawabanku, ia segera menegaskan kata-katanya sendiri.
     + Pelayaran ini hanya untuk menjauhi Jakarta saja. Nanti
sesudah masuk perairan bebas, Tokala akan berbelok. Membawa
kita entah ke mana ...
      -  Ke mana itu? Tanyaku.
     + Ya ke mana lagi dong! Disuruhnya aku menebak sendiri
teka-teki itu.
     Aku tahu. Tentu saja maksud kawan ini tak ada tujuan lain
selain RRT, yang ketika itu dipandang sebagai benteng sejati
proletariat yang pertama dan terakhir. Tapi aku sungguh-
sungguh tidak tahu. Apakah kawan ini bermaksud bergurau saja,
ataukah sedang bersungguh-sungguh bicara. Tapi nada suara kata-
katanya yang mantap dan wajahnya yang serius, membuatku takut
untuk menyangkal. Apalagi untuk menertawakannya.
     Aku teringat sebuah lakon wayang. Balé Sigala-gala -
bangsal serba galah atau bambu.
     Suatu ketika Pandawa lima bersaudara dan istri serta ibu
mereka, yaitu Dewi Drupadi dan Dewi Kunthi, terkurung di dalam
bangsal bambu yang terbakar. Atau, lebih tepat, dibakar oleh
perbuatan keji dan licik keluarga Kurawa.  Tiba-tiba muncul
seekor garangan putih (hewan sebangsa musang), membimbing
mereka meloloskan diri dari kepungan api. Dalam gendongan Sang
Bima, mereka semua masuk ruba, sampai akhirnya tiba di lapis
bumi yang paling bawah. Yaitu lapis ketujuh, yang disebut
Saptapratala, tempat Sanghyang Anantaboga alias Nagaraja
bertapa. Dewa ini, seperti Dewa Atlas di dunia Barat, adalah
dewa penyangga bumi. Bedanya, Dewa Atlas berwujud manusia,
sedangkan Dewa Anantaboga berwujud seekor naga raksasa.
     Sudah menjadi kehendak para dewa kiranya. Sang Barongsai
tidak hanya menerima Pandawa sekeluarga sebagai pengungsi yang
datang mencari suaka saja.  Putri tunggalnya yang semata
wayang, Dewi Nagagini namanya, dihadiahkannya kepada Bima
untuk diperistri. Dari perkawinan Bima-Nagagini ini kelak
lahir Antasena, jago Pandawa yang tak terkalahkan siapa pun
juga,  selain oleh tipu muslihat Sang Wisnu ...

     SAMPAI hari ketiga KM "Tokala" masih terapung-apung di
laut, menuruti jalan pelayaran yang telah ditetapkannya. Korve
menyedot tinja dari wc yang meluap-luap masih terus berjalan
seperti dua hari yang sudah. Korve tapol-tapol muda Tangerang
membebed gula, susu, ikan asin, pil-pil vitamin dan apa saja
yang bisa dipakai untuk "merehab" sesama kawan yang  lumpuh
dan "fisik lemah", tetap berjalan tiap malam jika para
pengawal dan petugas telah terlelap tidur. Karenanya sekarang
semua tapol, baik yang lumpuh maupun yang tidak lumpuh, baik
yang fisik lemah maupun yang kuat, baik yang masih dalam
kondisi "inrijden" (baca: inrèyen, istilah tapol untuk mereka
yang baru bangun dari ranjang sakit) maupun yang segar bugar,
semuanya mendapat jatah rehab hasil pembebedan. Tanpa kecuali.
     Lagu-lagu "Pohon Beringin", lagu Irama Melayu "Larilah
Hai Kudaku", lagu "Menanti Di Bawah Pohon Kemboja", "Bengawan
Solo" dan lain-lainnya lagi, masih terus berkumandang. Suasana
hiruk-pikuk menambah udara di ruangan palka terasa semakin
panas.
     Garangan Putih belum kunjung datang juga. Ruhul Kudus
juga belum kunjung merasuki para pengawal dan awak kapal,
sehingga dengan senang hati mereka mau membelokkan KM "Tokala"
ke Negeri Kanguru di selatan atau ke Makao di utara.
     Karena merasa sia-sia menunggu harapan datangnya Garangan
Putih, datanglah kembali Satelit Insinyur kepadaku untuk
menenteramkan hati. Tentu saja hati dia sendiri dan bukan
hatiku! Hari itu hari keempat kami di laut.
     + Ah, Mas! Paling kita di sana satu dua bulan saja! Kata
Bung Satelit, mundur dari keyakinan semula.
     + Paling lama tiga bulan deh! Katanya lagi serta-merta.
Sepertinya hendak sedikit membikin tawar nada takhayul dalam
infonya itu.
     -  Lalu? Tanyaku ingin tahu.
     + Lalu? Kita akan dijemput kembali pulang ke Jawa.
     -  Siapa yang menjemput? Tanyaku lagi.
     + Ah, Bung ini! Pokoknya ada deh. Percaya sajalah! Jawab
Bung Satelit tak bisa ditawar-tawar.
     Ya. Mengapa aku terlalu usil. Padahal aku tahu, politik
ialah proses adu siasat perebutan kekuasaan. Dan bagi pihak
yang terdesak atau kalah, tapi tak bersedia mengakui
keterdesakan atau kekalahannya, ia lalu membujuk diri sendiri
dengan kejayaan mimpi.
     Tapi agar tidak mendapat cap sebagai penyebar sasus, yang
akan berakibat hilangnya medan penyebaran info-infonya, Bung
Satelit tidak berhenti di sana saja. Untuk ramalan politiknya
itu ia segera menyusulinya dengan khutbah panjang sebagai alas
tumpuan. Dengan bahasa politik yang kental berceritalah ia
tentang  strategi dunia tiga negara adikuasa:  RRT pertama,
Amerika kedua, dan Uni Soviet ketiga. Selanjutnya diuraikannya
tentang dampak strategi mereka itu bagi kehidupan politik di
Indonesia pada umumnya, dan khususnya bagi petinggi-petinggi
negeri -  para policy makers Orde Baru. Untuk bukti penopang
uraiannya, Bung Satelit mengingatkan aku pada 'info' yang
pernah beredar di Salemba ketika itu, yaitu tentang beberapa
tokoh tapol dari RTC Salemba dan RTM (Rumah Tahanan Militer),
antara lain Mohamad Munir,  yang dipanggil menghadap Presiden
Suharto untuk merunding urusan penyelesaian tapol dan rujuk
nasional ... ***

(Bersambung)

Catatan:
(1) Riungan; kelompok makan-minum di kalangan tapol RTC
Salemba dan Tangerang (mungkin juga tapol perempuan di Bukit
Duri?); dikembangkan dari istilah Sunda (nga)riung,
(ber)kumpul.
(2) HR. Bandaharo (1917-1993); penyair terkemuka Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan anggota CC-PKI. Karya-karyanya
terhimpun dalam beberapa kumpulan, al. "Sarinah dan Aku",
"Dosa Apa", "Sepuluh Sanjak Berkisah".
(3) Dua Tinggi: (a) tinggi mutu ideologi, dan (b) tinggi mutu
artistik. Salah satu dari lima "asas kombinasi" sebagai asas
kerja pekerja kebudayaan Lekra,  yang dipimpin oleh asas
"Politik adalah Panglima" dan dicapai dengan metode kerja
"Turun Ke Bawah". Lima kombinasi itu ialah: (i) meluas dan
meninggi, (ii) tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik,
(iii) tradisi baik dan kekinian revolusioner, (iv) kreativitas
individu dan kearifan massa, dan (v) realisme sosialis dan
romantik revolusioner.
 (4) Mohamad Munir, ketua Denas SOBSI (Dewan Nasional Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia); dieksekusi rejim Orde
Baru Suharto 15 Mei 1985.

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke