Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 23/II/11-17 Juli 99 ------------------------------ Andi Arief, Aktifis PRD: "BUBARKAN GOLKAR, CABUT DWIFUNGSI" (DIALOG): Andi Arief, alumni Fisipol UGM yang pernah diculik Koppasus ini, makin kencang jadi juru kampanye PRD. Hasil penghitungan suara untuk PRD sendiri ternyata boleh dibilang kecil. Apakah ini menyodorkan fakta bahwa gerakan radikal hanya punya sedikit tempat di kalangan masyarakat? Atau adakah faktor-faktor lain yang melemahkannya. Berikut adalah wawancara Xpos dengan Andi Arief: T: Presentase suara PRD kecil, bagaimana ini? J: Sejak awal PRD memang tidak punya target kursi, sebab tujuan kita selain propaganda ialah memberi perspektif ke rakyat tentang satu jalan lain untuk mencapai reformasi total. PRD menunjukkan selain aksi massa, PRD tidak menafikan parlemen. Kalaupun kami dapat kursi, itu hanya tambahan untuk mempercepat revolusi demokratik atau reformasi total dalam bahasa umum saat ini. T: Bagaimana dengan boikot pemilu? J: Ada perdebatan internal tiga hari sebelum pemilu apakah kami akan mengeluarkan statement boikot ataukah kami akan menyerukan untuk mencoblos PRD. Kesimpulannya tidak dua-duanya. Kami dengan pemilu ini menghitung betul hasil propaganda kami kepada rakyat, dan kedua untuk mengukur seberapa besar pendukung kami di daerah-daerah prioritas. Misalnya untuk Jakarta, jalur-jalur revolusi mana yang fungsinya ke depan akan menjadi sasaran agen-agen politik, dan seberapa besar agen PRD nanti akan mempercepat laju revolusi demokratik. Saya tidak heran dengan hasil pemilu sekarang, hasil akhir reformasi total tidak ditentukan oleh perolehan suara dalam pemilu kemarin. Perubahan yang sesungguhnya tidak dihasilkan lewat parlemen tapi karena tekanan rakyat, parlemen bisa berubah karena tekanan rakyat. Problemnya, orang-orang parlemen dan elit politik di pemerintahan bisa melakukan sogokan-sogokan politik pada rakyat seperti memberi kebebasan politik yang sebetulnya hanya bertujuan untuk memperlemah radikalisasi tekanan rakyat. Gambaran pemilu ini juga tak bisa jadi ukuran bagi partai-partai besar untuk mengatakan bahwa tugas rakyat sudah selesai sampai coblosan. Sebab, belum ada tanda-tanda bahwa jalan parlementer sekarang bisa menyelesaikan problem-problem riil rakyat. T: Tapi saat ini tampak radikalisasi turun atau tidak fokus, apa strategi PRD untuk menaikkan lagi radikalisasi? J: Radikalisasi sekarang masih terus terjaga di dua elemen. Pertama, di kalangan kaum muda khususnya mahasiswa. Dan kedua, di kalangan kaum miskin kota. Mereka terserap suaranya ke PDI Perjuangan dan sebagian lebih kecil ke PPP. PRD sendiri tidak punya hubungan struktural dengan dua elemen paling radikal tersebut, meski banyak agen-agen kami berasal dan bertugas di sana. Ketika Soeharto jatuh radikalisasi diisi oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh rakyat, misalnya dalam peristiwa Semanggi, persoalannya setelah itu mengalami penurunan dalam kualitas dan kuantitas. Ada beberapa faktor, pertama diganggu oleh libur mahasiswa, kedua termoderasi oleh pemantau pemilu. Ini kenyataan, bahwa negara-negara barat lewat donasi-donasi internasionalnya berkepentingan mensuplai dana besar-besaran untuk menurunkan radikalisasi dengan mengalihkan energi rakyat dan ujung tombak radikalnya, yakni mahasiswa tersedot untuk menjadi pemantau-pemantau yang hasil pantauan kecurangannya tak jelas mau ditindaklanjuti bagaimana? Ini menurunkan radikalisasi. Ketiga, gerakan mahasiswa mempunyai kesalahan mendasar dalam mengorganisir rakyat, yakni masih bersifat advokasi. Cepat belajar dari masa lalu! Kalau hanya mengadvokasi, mahasiswa tidak punya ikatan organisasional dengan rakyat. Mahasiswa mesti mengorganisir kekuatan rakyat itu menjadi suara politik yang berarti, seperti ke partai-partai yang pro reformasi. Sebetulnya dari 27 Juli hingga pemilu, intervensi momentum menguat untuk mengorganisir kekuatan rakyat, tapi karena mahasiswa tidak menunjukkan kepemimpinan politiknya maka rakyat mengarahkan suara ke elit yang dianggap sesuai aspirasinya seperti Megawati dan PDI Perjuangan. Apakah radikalisasi ke depan akan menurun atau tidak itu tergantung pada kemampuan pemerintah baru untuk menyogok rakyat, sebab kalau ia menumpas radikalisasi sudah tidak mungkin karena indikasi partai-partai besar sulit untuk mengakomodasi tuntutan-tuntutan yang maju dari mahasiswa dan rakyat seperti cabut dwifungsi ABRI. Tapi tampaknya radikalisasi akan kembali menguat karena program-program ekonomi partai-partai belum ada yang mampu mengurangi penderitaan ekonomi rakyat. T: Bagaimana hubungan ekonomi politiknya? J: Ada keterpisahan antara elit dan massa. Elit tidak mengerti problem ekonomi rakyat sementara politik mereka cuma sebatas bagaimana membagi kekuasaan di parlemen. Elit melakukan kompromi-kompromi politik, terutama dengan militer. Ini yang akan membuat marah rakyat. Basis radikalisasi mahasiswa dan kaum miskin kota akan muncul jadi kuat bertemu dengan elemen-elemen lain. Kecuali, kalau pemerintah hasil kompromi nanti berhasil melakukan sogokan ekonomi a la Peronisme. T: Sogokan ekonomi Peronisme, maksudnya? J: Program ekonomi yang dimaksudkan untuk meredam radikalisasi, seperti program padat karya, kenaikan sedikit upah dan keringanan pajak. Ada subsidi kesehatan, listrik, dan transportasi. Program ini yang secara riil memang lebih dibutuhkan rakyat ketimbang pencabutan dwifungsi ABRI. Ini bisa menahan laju radikalisasi yang menohok sistem lama yang berjantung pada dwifungsi ABRI. Di Philipina, Corry Aquino mampu meredam radikalisasi dengan populisme tanpa disadari terus ditempel militer hingga ia mencalonkan mantan panglima militer Fidel Ramos untuk menggantikan dia. Ramos ini dulunya besar karena Marcos. Dalam kasus Megawati bisa jadi demikian, militer akan menempel PDI Perjuangan, dengan dukungan IMF yang menyokong penguatan nilai rupiah. T: Lalu apa yang akan dilakukan PRD? J: Tugas PRD dan agen-agennya adalah membongkar semua itu. Dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, mengisolasi kekuatan rejim lama. Simbolisasinya adalah Golkar dan tentara. Golkar telah mengalami kebangkrutan karena birokrasi yang dipreteli. Isunya, bubarkan Golkar karena money politics. Kedua, membongkar ilusi pemerintahan baru yang kelihatannya akan dipimpin PDI Perjuangan dan PKB. Massa PDI Perjuangan ilusinya juga harus dibongkar, misalnya Mega belum memberikan jawaban terhadap tuntutan yang dilancarkan rakyat jauh-jauh hari, seperti cabut dwifungsi. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html