Precedence: bulk


GURUH MINTA MEGA TAK HENTIKAN CAP JEMPOL DARAH

        JAKARTA (SiaR, 16/7/99). Lagi-lagi cap jempol darah memperoleh
pendukungnya. Kali ini Guruh Soekarnoputra yang mengimbau Ketua Umum PDI
Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk tidak memerintahkan pendukung
setianya menghentikan cap jempol darah yang kini telah merambah hingga ke
Jakarta, Medan, dan Menado.

        Guruh kepada para wartawan seusai acara di Bengkel Night Park, Kamis (15/7)
kemarin menegaskan, bahwa cap jempol darah bukanlah wujud sikap premanisme,
tapi merupakan wujud sumpah setia rakyat kepada pemimpinnya. Selain itu,
Guruh menilai aktivitas pendukung setia Megawati tersebut diambil justru
karena rakyat merasa geram dengan situasi carut marut elit politik sekarang ini.

        "Saya kira Mbak Mega tidak perlu untuk menghentikan aksi itu. Sebab itu
bagian dari dinamika demokrasi dan hak asasi manusia," ujarnya.  

        Menurut Guruh, rakyat sudah dewasa berpolitik saat Pemilu 7 Juni lalu
menggunakan hak suaranya, tapi hal ini tak diikuti oleh para elit politiknya
yang sibuk membuat berbagai tafsiran sendiri-sendiri tentang demokrasi di
Indonesia, sehingga ada istilah "pemilihan babak ke dua", "capres harus
diuji di depan anggota dewan", "pemenang pemilu bukan berarti memperoleh
mandat memerintah", dan seterusnya.

        Sementara itu, Ong Hok Ham, sejarawan UI yang diminta komentarnya atas
pernyataan Guruh soal cap jempol darah, menegaskan hal itu terjadi karena
para elit politik, sebagai manifestasi extra electoral process, membuat
preferensi-preferensi yang mengesankan untuk mengganjal pencalonan Megawati
Soekarnoputri sebagai presiden dan kemenangan PDI Perjuangan.

        Ia memisalkan preferensi-preferensi yang kemudian jadi opini publik yang
sengaja dikembangkan, baik oleh elit politik maupun pengamat politik
partisan seperti agama, gender, tingkat intelektual, suku bangsa, fatwa
ulama, premanisme, debat capres, voting, dan sebagainya. Menurutnya, ada
yang aneh dengan hal itu, yakni mengapa preferensi-preferensi itu muncul
setelah PDI Perjuangan unggul dalam perolehan suara.

        "Mengapa semua itu tidak disepakati, melalui pembahasan UU misalnya,
sebelum pemilu dimulai. Itu kan baru fair. Berarti ada udang dibalik batu
dibalik pernyataan para elit dan pengamat politik tersebut," katanya.

        Ia mengusulkan, agar pihak PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu menolak
logika voting yang didasarkan kepada pasal 6 UUD '45. Menurutnya, hal itu
menunjukkan ketidak-konsistenan pihak-pihak yang melontarkan usulan voting,
karena mengapa mereka tak mengaitkan pasal 6 tersebut dengan pasal 1 ayat 2
UUD '45. 

        "Karena jika itu dikaitkan, penafsirannya adalah SU MPR seyogyanya hanya
melegitimasi kemenangan partai pemenang pemilu untuk memperoleh haknya
memerintah," ucapnya seperti menjawab sendiri pertanyaannya.

        Menurut Ong, ia juga menangkap aroma hipokrisi dari elit-elit tersebut,
mengapa untuk kepentingan voting, mereka ngotot mengacu kepada UUD '45 pasal
6, tapi di lain pihak mereka tak menggunakan acuan yang sama untuk capres
RI, bahwa laki-laki dan perempuan tak dimasalahkan oleh UUD '45 untuk
menjadi presiden RI. "Itu namanya diskriminatif dan mempergunakan standar
ganda," katanya.***


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke