Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/II/18-24 Juli 99
------------------------------

PARTAI GUREM BERULAH

(POLITIK): Penetapan hasil pemilu diperkirakan bakal 'kacau' lagi. Butuh
tekanan publik untuk hentikan ulah partai-partai gurem.

Sebagian orang kini sudah mulai menarik nafas lega. Lebih dari sebulan
lamanya menunggu, titik jelas soal hasil pemilu sudah mulai terlihat.
Setelah beberapa kali terjadi penundaan, perhitungan suara tingkat nasional
yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) berlangsung tanpa
hambatan berarti. Dengan hasil tak jauh berbeda dengan yang selama ini
dimuat dan ditayangkan di berbagai media. Selesaikah sudah tetek-bengek
pemilu yang melelahkan ini? Sayangnya belum, dan sayangnya lagi, masih ada
potensi persoalan yang kembali bisa menyeruak.

Lagi-lagi "partai-partai gurem" dalam tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
dianggap paling mungkin bikin masalah. Seperti tertera dalam UU, tahap
berikut setelah selesainya penghitungan suara adalah tahap penetapan hasil
pemilu. Pada tahap inilah, terbuka peluang bagi "partai-partai gurem" untuk
memainkan posisi tawarnya sebagai pihak berwenang yang enggan menetapkan
hasil pemilu. Kemungkinan ini sangat terbuka mengingat track record mereka
selama ini. Bukan rahasia lagi, "partai-partai gurem" yang dimotori Agus
Miftach (Partai Rakyat Indonesia, PARI), Clara Sitompul (Partai Kristen
Nasional, KRISNA), Benny Fatah (Partai Buruh Nasional, PBN) dan juga
Sri-Bintang Pamungkas (Partai Uni Demokrasi Indonesia, PUDI) pernah
terang-terangan minta jatah kursi di DPR.

Untuk memainkan posisi tawarnya, beberapa trik bisa mereka gunakan. Belum
lama ini, Tim 11 yang dibentuk KPU untuk meneliti pelanggaran-pelanggaran
pemilu mencoba mengumpulkan data-data pelanggaran dari berbagai organisasi
pemantau pemilu seperti Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), University
Network for Free and Fair Election (Unfrel) dan Forum Rektor. Benny Fatah,
sebagai Ketua Tim 11, mengisyaratkan akan menggugat hasil pemilu berdasarkan
data yang diperoleh dari para pemantau. Ia bahkan rela mengejar-ngejar
Sekjen KIPP Mulyana W. Kusumah yang enggan memberikan data lengkap tentang
pelanggaran. "Kalau saya berikan, penafsiran mereka terhadap pelanggaran
pemilu bisa seenaknya, padahal banyak dari data tersebut adalah pelanggaran
administratif," ujar Mulyana.

Data-data itu tampaknya akan menjadi bahan bagi mereka untuk melakukan
tawar-menawar dengan anggota KPU yang lain -khususnya wakil-wakil pemerintah
dan partai-partai politik yang telah memastikan diri mendapat kursi di DPR
-supaya kepentingan mereka bisa tercapai. Apa persisnya kepentingan mereka,
memang sulit memastikannya. Ada analisis yang menganggap sebagian dari
mereka membawa kepentingan Soeharto (ingat artikel tentang partai-partai
baru yang didanai Cendana). Namun, ada pula yang menganggap mereka "politisi
murahan" yang sekedar menginginkan "jatah dan fasilitas" -seperti keinginan
mereka mendapatkan jatah kursi di DPR.

Jika mereka memang cuma menginginkan jatah, maka sangat mungkin pula mereka
akan memanfaatkan celah dalam penetapan kriteria bagi utusan golongan di
MPR. Andi Mallarangeng, wakil pemerintah di KPU telah memperingatkan
kemungkinan ini. Sebab, dengan segala macam alasan, bisa saja "partai-partai
gurem" membolehkan anggotanya jadi utusan golongan. Jadi, jangan heran bila
kelak ada utusan golongan "partai gurem" di MPR.

Kembali ke soal penetapan hasil pemilu, "partai-partai gurem" ini bisa
berulah karena sistem yang digunakan dalam KPU tak membedakan partai besar
dan kecil. One man one vote. Sebagai anggota KPU, sekalipun mereka tak
memperoleh satu suara pun dalam pemilu, mereka mempunyai hak sama dengan
anggota KPU lainnya yang berasal dari partai-partai besar. Seandainya hanya
segelintir partai saja -yang mendapatkan kursi di parlemen- yang mengesahkan
hasil pemilu, mereka bakal mendapat ancaman dari sejumlah besar "partai
gurem" yang tak mendapatkan kursi namun punya hak suara yang sama dengan
mereka. Jika dilakukan pemungutan suara, bisa saja justru "partai-partai
gurem" inilah yang menang. Hal semacam ini nyaris terjadi, ketika wakil
pemerintah di KPU, Andi Mallarangeng dan Adnan Buyung Nasution hendak
dipecat oleh "partai-partai gurem" ini.

Sebetulnya, pernah ada usul agar cukup partai peraih suara dalam pemilu saja
yang menetapkan hasil pemilu, dan pemilu akan dianggap sah. Namun, ini sulit
dilakukan, mengingat, ketentuan ini tak tertulis dalam UU Nomor 3 tahun 1999
tentang Pemilu. Begitu pula dengan usulan supaya pemerintah yang
mengambil-alih peran KPU menetapkan hasil pemilu, pasti bakal muncul reaksi
keras karena bertentangan dengan Undang-undang.

Lalu bagaimana cara menghadapi ulah "partai-partai gurem" ini? Ada anggapan
tanpa melakukan apa-apa pun, hasil pemilu akan dapat ditetapkan. Alasannya,
jika partai-partai peraih kursi bersedia menandatangani surat penetapan
ditambah wakil-wakil pemerintah, maka takkan ada lagi masalah. Sebab, dua
per tiga suara bakal bisal terlampaui. Namun, jika tidak? Seperti halnya
saat para wartawan di KPU 'menyelamatkan' Andi Mallarangeng dan Buyung
Nasution dari upaya pemecatan, tekanan dari luar sistem agaknya memang
diperlukan. Dan kali ini, skalanya bukan lagi segelintir orang. Tapi
pressure dari masyarakat. Barulah itu akan efektif.

Para pemantau pemilu tampaknya juga sudah bersiap membantu. KIPP misalnya,
jika diminta oleh Tim 11 untuk membeberkan data-data pelanggaran pemilu,
telah siap memberikan data 64.082 pelanggaran yang terjadi karena persoalan
administratif. Artinya, pelanggaran tersebut adalah juga tanggungjawab Tim
11 sebagai bagian dari pelaksana pemilu. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Reply via email to