Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 24/II/18-24 Juli 99 ------------------------------ UUD '45 PERLU DIUBAH (POLITIK): UUD'45 memberi kesempatan bagi generasi pasca Founding Fathers untuk mengubahnya. Tidak sulit sebetulnya, kalau mau. Prof. Harus Al Rasyid yang barusan mundur dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sempat gusar ketika ada orang ngotot mempertahankan UUD'45 secara murni dan konsekuen. "Apanya yang murni? Kita tidak punya UUD'45 catatan asli atau yang disahkan otentik. Lain dengan konstitusi Amerika misalnya yang tersimpan di lemari kaca. Jadi apanya yang murni? Beberapa bagian atau kata saja sudah dihapuskan dari naskah asli, seperti presiden Indonesia harus Islam." seru pakar hukum tata negara ini dengan suara melengking, "Jadi kalau orang bicara soal amandemen itu biasa terjadi di Amerika, di Filipina, ini fenomena umum." Amandemen, yang artinya perubahan baik pengurangan atau penambahan, butir-butir konstitusi rupanya kini menjadi hal penting yang mendesak untuk dibahas. Pada dasarnya memang, UUD'45 adalah konstitusi yang sebenarnya hanya bersifat sementara dan membuka kesempatan ditetapkannya UUD baru. Soekarno sendiri yang menyatakan dalam sidang persiapan kemerdekaan bahwa konstitusi yang didominasi pembuatannya oleh Prof. Soepomo itu tidaklah tetap. Yang berwenang untuk menetapkan konstitusi itu sendiri, menurut pasal 3 UUD'45, adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). "Nah, persoalannya MPR kita selama ini belum pernah menetapkan konstitusi. Padahal jelas tugas pertama-tama majelis itu untuk menetapkan konstitusi. Ini yang kemudian diamputasi dan hanya mengerjakan tugas buntut-buntutnya seperti GBHN dan memilih presiden. Kesalahan ini muncul bersamaan dengan menguatnya Orde Baru yang menyatukan Pancasila dan UUD'45 tidak bisa diubah dan disakralkan. Ini jelas suatu kemunduran," urai Harun Al Rasyid. Pakar politik dari UGM, Syamsurizal Panggabean menelusur lebih jauh lagi mengapa sebuah negara memerlukan konstitusi. Kuncinya adalah prinsip Mayoritarianisme. Prinsip ini diambil mengingat bahwa dalam negara manapun, kesepakatan untuk mufakat itu teramat sulit sehingga perlu dicari suatu sistem untuk mengambil keputusan, maka dirumuskanlah kesepakatan atas dasar suara terbanyak atau mayoritas. "Nah, dalam mayoritarianisme ini," ujar Rizal yang kini aktif di Partai Amanat Nasional (PAN), "persoalannya adalah bagaimana menghormati hak-hak kaum minoritas yang tidak turut dalam suara terbanyak". Jalan keluarnya ada banyak. Rizal Panggabean membeberkan beberapa poin, yakni Konstitusionalisme, Separation of Power (pemisahan kekuasaan), Judicial Review (peninjauan produk perundang-undangan), Check and Balance (kontrol dan keseimbangan kekuasaan). Wujud konstitusionalisme menjadi konkrit dengan adanya UUD. Dengan demikian UUD menjadi rem bagi kesewenang-wenangan penguasa. "Terbukti selama Soekarno dan Soeharto, UUD'45 gagal menjadi rem bagi presiden. Justru presiden yang mendominasi mau diapakan UUD ini. Dan sayangnya, UUD'45 digunakan untuk mencekik masyarakat." tegas Rizal, "Maka harus diupayakan suatu reformasi total konstitusi dengan amandemen UUD baru yang longgar dan tidak mencekik kekuasaan." Pendapat Rizal tersebut dibantah oleh Mugiharhara dari DPP Golkar, "Reformasi total terhadap konstitusi itu bisa menciptakan kekosongan hukum. Konstitusi itu punya produk-produk hukum di bawahnya yang mengacu ke atas. Kalau yang di atas ini sedang dirombak, maka aturan-aturan hukum di bawahnya menjadi tidak berlaku. UUD'45 memang punya kelemahan, tapi perbaikan selayaknya bertahap dengan skala prioritas dan mengingat urgensinya. Tidak asal langsung berubah". Politisi perlente dari Golkar ini mengumpamakan UUD itu bagaikan traffic light atau lampu merah lalu lintas. "Kita ini sekarang menghadapi lampu kuning. Ada dua jenis tindakan pengemudi, ada yang siap menginjak rem. Ada yang malah menginjak gas," katanya. Ditambahkan Mugi, semakin rinci konstitusi justru semakin sering dilanggar dengan banyak kebijakan baru yang dibuat penguasa. Pendapat ini langsung dimentahkan Harun Al Rasyid, "Tidak ada itu kekosongan hukum, dulu Soekarno dan kawan-kawannya menafikan hukum positif, Soeharto juga. Yang terjadi hukum itu tidak dianggap." Maka, perumusan terhadap konstitusi yang dihormati dan sesuai dengan jamannya memang sudah saatnya dilakukan. Dari PAN Show yang digelar hari Selasa (13/7), paling tidak tersurat tiga poin perubahan. Pertama, jaminan yang lebih pasti terhadap hak-hak masyarakat, misalnya kebebasan pers untuk menghormati hakmasyarakat untuk mendapatkan informasi. Kedua, hubungan antara berbagai lembaga kekuasaan yang independen dan sejajar antara eksekutif, yudikatif dan legislatif, sehingga ada kontrol dan keseimbangan kekuasaan. Ketiga, hubungan antara pusat dan daerah, mengingat begitu tegangnya sekarang situasi di berbagai daerah yang selama Orde Baru direpresi, seperti Aceh dan Timor Timur. Tanpa pengaturan kembali hubungan pusat daerah menjadi lebih adil, kemungkinan disintegrasi malah akan begitu besar bila mengandalkan represi angkatan bersenjata. Jadi, sebetulnya mudah untuk mengubah konstitusi itu. Lantaran, tugas MPR sendiri, sebagaimana diingatkan HarunAl Rasyid, pertama-tama adalah menetapkan konstitusi. Dan itu belum dilakukan, padahal UUD'45 sendiridengan adanya pasal 37 memberi peluang bagi generasi mendatang untuk mengadakan perubahan. Jadi mengubah UUD'45? Siapa takut? (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html