Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 25/II/25-31 Juli 99 ------------------------------ RUU ANTI DEMOKRASI HADIAH DARI HABIBIE (POLITIK): RUU HAM masih memberi peluang negara untuk melakukan kekerasan. Sementara RUU Keselamatan dan Keamanan Negara akan memberi peluang presiden untuk otoriter. Reformasi bukan berarti hak-hak masyatakat terjamin. Diam-diam pemerintah Habibie dan faksi militer yang masih kuat di pemerintahan, menyusupkan rancangan-rancangan undang-undang yang buntutnya memberangus demokratisasi dan hak-hak masyarakat. Contoh yang sudah terbukti ya undang undang yang mengatur demonstrasi. Atas nama undang-undang itu, aparat keamanan bisa menganiaya, menangkap dan mengajukan ke pengadilan para demosntran hanya dengan alasan: tak memberitahukan aksi sebelumnya. Banyaknya aturan yang membatasai demonstran seperti demonstrasi harus berjarak 300 meter dari tempat yang didemo, tak boleh lebih dari seratus orang dan sebagainya makin membatasi hak masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya. RUU Hak Asasi Manusia (HAM) yang diajukan pemerintah ke DPR dianggap tak menggambarkan perlindungan HAM masyarakat Indonesia. Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) di RUU itu pelanggaran HAM hanya dipahami terbatas pada tindakan, sehingga tindakan karena kelalaian atau pembiaran tidak tercakup sebagai pelanggaran HAM. Di RUU juga tak dapat ditemukan pelanggaran dalam kategori human rights gross violation yang biasanya dilakukan aparat negara, baik dalam bentuk tindakan atau tindakan pembiaran atau kelalaian. "Terlihat kekacauan berpikir yang serius, karena mengabaikan unsur paling penting dalam pelanggaran HAM, yakni negara. Seakan-akan memberikan kekebalan kepada negara. Rumusan ini harus direvisi dengan memasukkan pelaku negara seperti yang terjadi di Aceh, Irian Jaya, Timor Timur, Tanjung Priok dan sebagainya," ujar Ifdhal Kasim, Direktur Eksekutif ELSAM. Uniknya, selain sengaja melindungi negara sebagai pelanggar HAM, RUU ini memasukkan konsep "Keajiban Asasi" sebagai lawan "Hak Asasi". Dalam hal ini, ELSAM menuntut ketentuan mengenai "kewajiban asasi" dihapus, dan kembali mengadopsi pandangan umum tentang HAM yakni: HAM bukan pemberian negara, tetapi semata-mata karena ia manusia. Selain itu, RUU HAM ini juga memberi jaminan yang tak serius pada warga masyarakat. Soalnya, HAM bisa saja sewaktu-waktu dicabut yakni pada ketentuan "pembatasan dan larangan" di pasal 95. Ketentuan ini jelas membuat hak-hak yang telah dijamin RUU ini buntung. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan asas "non-derogable rights", dalam International Covenant on Civil and Political Rights yang melarang pembatasan atau pencabutan terhadap hak-hak tertentu meskipun dalam keadaan darurat sekalipun. RUU ini juga membatasi para korban untuk menggunakan isntrumen HAM internasional. Soalnya, RUU ini melarang warga negara Indonesia menggunakan instrumen HAM yang belum diratifikasi untuk dipakai membela diri. Nah, masih berhubungan dengan RUU HAM yang "kacau" ini, muncul juga RUU Keselamtan dan Keamanan Negara yang lebih "kacau" lagi. RUU ini akan memberi kekuasaan yang mutlak pada presiden. Misalnya, presiden bisa memutuskan negara atau wilayah dalam keadaan darurat sipil atau darurat perang tanpa persetujuan DPR. Para aktifis HAM mengecam RUU ini karena bertentengan dengan semangat reformasi. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html