Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 25/II/25-31 Juli 99 ------------------------------ HABIBIE TERLIBAT KORUPSI DI BULOG (POLITIK): Bulog dikorupsi Rp100 triliun semasa Beddu Amang jadi kepalanya. Selain Beddu, sederet pejabat tinggi ikut mengkorupnya. Republika dapat jatah? Beddu Amang jelas Kepala Bulog (Kabulog) yang korup. Tapi, siapa Kabulog yang tak korup? Sejak Letjen Achmad Tirtosudiro jadi Kabulog, kemudian Bustanil Arifin, dua kroni kental Soeharto, Bulog sudah jadi sarang para koruptor itu. Beddu memang orang yang paling bertanggungjawab atas raibnya duit sebesar itu, karena Price Waterhouse, auditor asing yang diminta Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengaudit "gudang pangan" itu hanya memfokuskan pemeriksaannya dua tahun ke belakang. Beddu sendiri menjadi Kabulog di dua pemerintahan, yakni pemerintahan Soeharto dan Habibie. Temuan korupsi Rp100 triliun dalam dua tahun tentu bukan angka yang main-main. Waterhouse menemukan, Rp1 triliun di antaranya sudah masuk ke rekening-rekening para pejabat. Water-house, kontan kaget. Lalu meminta wewenang untuk mengusut rekening-rekening dan ke mana raibnya yang Rp99 triliun. Permintaan itu jelas ditolak. "Presiden Habibie sendiri yang menolak," ujar sumber Xpos di Waterhouse. Habibie, punya alasan sendiri untuk mengijinkan penyelidikan lebih lanjut korupsi di Bulog, selain karena akan menyeret nama-nama oarang-orang di pemerintahannya, ia sendiripun akan ikut terseret. Sumber Xpos di Waterhouse mengatakan, kemungkinan besar sebagain dana yang raib itu, mengalir ke Harian Republika, harian milik Ikatan Cendikian Muslim Indonesia di mana Habibie dan Beddu Amang terlibat dalam penerbitan itu. Di masa Kabulog, di zaman Soeharto, Beddu adalah Komisaris Utama PT Abdi Bangsa, penerbit Republika. Harian ini dulu menjadi corong pemerintahan Soeharto dan kini menjadi corong pemerintahan Habibie. Memang, yang mengalir ke Republika memang hanya sebagian kecil saja. Yang paling banyak memang masuk kantong para pejabar Bulog, orang-orang partikelir yang mendapat proyek Bulog dan para petinggi negara yang secara rutin mendapatkan upeti dari para pejabat Bulog. Menteri Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara, Hartarto salahs atu pejabat Orde Soeharto dan Orde Reformasinya Habibie yang ikut kebagian kekayaan dari Bulog. Pada zaman Soeharto, tiga kali berturut-turut ia menikmati jabatan menteri di pos yang bergelimang uang: Menteri Perindustrian dan Menko Produksi dan Hartarto punya tugas tambahan dari Habibie, yakni memimpin tim pemberantasan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Namun, Hartarto bukan orang yang bersih, ia korup dan biasa menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Yang terkait dengan korupsi di Bulog, ketika ia, beberapa waktu lalu meloloskan PT Mahaka Niaga Perdana, perusahaan milik menantunya, Muhammad Lutfi, mengimpor 400 ribu ton beras tanpa melalui tender. Impor besar Bulog dibuka setelah Soeharto jatuh. Dulu, selama puluhan tahun impor beras dikontrak dari Bulog oleh Liem Sioe Liong, Go Swie Kie, keluarga Cendana, dan para pejabat Bulog sendiri. Akan halnya PT Mahaka, dulu mengikuti proses tender, namun kalah karena tak memenuhi persyaratan. Kuota impor yang ditawarkan Bulog sebanyak 526 ribu ton dengan nilai US$174 juta itu dimenangkan oleh delapan perusahaan. Dan hanya satu perusahaan lokal. Itu terjadi pada September 1998. Lutfi, yang mengajukan harga penawaran relatif rendah dibanding pemenang tender saat itu, sempat kecewa dan menganggap Bulog tidak memihak kepada pengusaha nasional. Lalu Hartarto turun tangan. Keuntungan importir beras ini tak main-main, rata-rata bisa menikmati keuntungan US$10 hingga US$35 per ton. Jadi Lufti bisa mengeruk keuntungan yang gilirannya akan merugikan Bulog, sebesar US$4 juta (Rp 28 miliar) hingga US$14 juta (Rp 98 miliar). Pemberian proyek impor beras ini bukannya gratis. Para pejabat Bulog meminta fee US$2 per ton. Hitung-hitung nilainya sekitar US$800 ribu atau sekitar Rp6,4 miliar. Itu baru Lutfi, yang baru sekali mendapatkan proyek impor itu. Belum keuntungan yang diembat Salim Grup, Go Swie Kie, keluarga Soeharto, dan para pejabat Bulog selama puluhan tahun. Beddu Amang sendiri memperoleh hasil korupsi paling banyak, selain ia harus menyetor ke bos-bosnya. Di akhir jabatannya misalnya, Beddu mengipor beras Thailan dengan harga tinggi yakni US$285 per ton, padahal harga pasarnya lebih rendah sekitar US$260 per ton. Beras yang diimpor pun ratusan ribu ton. Negara dirugikan karena subsidinya lebih besar, Beddu pun dapat komisi dari importir beras asal Thailand itu. Permain kotor Beddu lainnya, misalnya, permainan ia mengekspor beras yang dan kemudian dibeli kembali. Beddu tidak harus kehilangan biaya transportasi karena berasnya memang belum dikapalkan ke Indonesia. Yang paling menyakitkan adalah ketika bantuan beras dari Pemerintah Jepang untuk orang-orang yang kelaparan di Indonesia, dikorupsi para pejabat Bulog. Ini temuan Waterhouse. Para pejabat Bulog menyelengkan beras ini dengan melemparkannya ke pasar bebas dengan harga yang lebih murah ketimbang harga beras di pasar. Sumber korupsi di Bulog bukan hanya di komoditas beras saja, namun juga di komoditas gandum, minyak goreng dan berbagai bahan makan yang dulu dimonopoli pengadaannya oleh Bulog. Dalam hal impor gandum misalnya, Bulog hanya menunjuk Kelompok Salim untuk jadi importirnya selama puluhan tahun. Walhasil, Salim jadi Raja Gandum Indonesia dan bisa membangun kerajaan Indofood dengan produksi mi instan terbesar di dunia. Tentu saja Salim tak memakan uang negara itu sendirian, ia juga membaginya ke Soeharto, para pejabat tinggi dan para pejabat Bulog sendiri. Karena "basahnya" badan ini, dulu Adi Sasono, Menteri Koperasi/Pengusaha Kecil dan Menengah "merebut" sebagian komoditas yang dimonopoli Bulog ke departemennya. Adi mendirikan Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) dan menggantikan Bulog sebagai distributor utama minyak goreng nasional. Rencananya, KDI juga akan merebut pengadaan dan distribusi beras dari Bulog. Namun usaha Adi ini gagal setelah ia kalah dalam percaturan politik di pemerintahan. Sayangnya, Waterhouse hanya memeriksa keuangan Bulog dalam dua tahun terakhir ini. Kalau mau mundur sejak badan ini didirikan Soeharto, korupsi yang terungkap bisa lebih dahsyat lagi. Orang-orang yang terseret bisa lebih banyak lagi. Setidaknya Achmad Tirtosudiro yang kini Ketua Umum ICMI dan anggota Tim Sukses Habibie, maupun Bustanil Arifin bisa diseret ke meja hijau. Hingga kini, Indonesia adalah surga bagi para koruptor. Sudah jelas para pejabat ini korup namun tak tersentuh hukum. Kalau dari Presidennya hingga lurah-lurahnya korup, siapa yang mau mengusut koruptor? (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html