Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 26/II/1-7 Agustus 99 ------------------------------ TENTARA AKAN INTERVENSI? (POLITIK): Sulitnya sahkan penghitungan suara buka kemungkinan intervensi militer. Habibie pun segera cari dukungan moral. Tersiar rumor di Jakarta, TNI di bawah komando Wiranto akan ambil kekuasaan bila penghitungan suara di KPU tidak selesai sampai tanggal 30 Juli 1999. Muhamad Yunus Yosfiah, dalam gurauan tertutup dengan para wartawan membenarkan kemungkinan itu. "Wiranto bisa saja kudeta, secara riil Habibie itu sudah gagal. KPU diangkat Habibie untuk melaksanakan amanat pemilu yang sudah di-Tap-kan oleh MPR. Logikanya, kalau KPU gagal menandatangani penghitungan suara berarti Habibie gagal melaksanakan Tap MPR tentang pemilu," ujar Muhamad Yunus santai. Konon, Rudini adalah bagian dari konspirasi militer untuk menjegal Habibie, terbukti dia sendiri tidak ikut tanda-tangan mewakili Partai MKGR. Bersama Sri Bintang Pamungkas dan juga Agus Miftah, ia menggalang partai-partai untuk tidak menandatangani hasil penghitungan suara, salah satunya lewat Front Rakyat Indonesia (FRI). Isu yang digunakan menumpang idenya Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang sejak awal menunjukkan sikap tak mau menandatangani dengan alasan Panwaslu harus terlebih dulu melikuidasi Partai Golkar karena kecurangan yang dilakukan sudah sangat keterlaluan. Rencananya, bila sebagian besar partai tidak tanda-tangan maka waktu akan dimolorkan hingga situasi jadi tak terkendali. Apalagi, besoknya ada demonstrasi memperingati Peristiwa 27 Juli. Bila situasi chaos, tak ayal TNI jadi punya legitimasi untuk mengamankan situasi. Tapi Habibie ternyata lebih cerdik. Ia memanfaatkan sentimen masyarakat yang sudah bosan dengan kelambanan KPU untuk mensahkan penghitungan. Meskipun seolah-olah ia memberikan mandat pada Panwaslu untuk melakukan investigasi, namun masyarakat sudah terlanjur berharap Habibie segera ambil keputusan. Sehingga ia punya legitimasi moral untuk tindakannya. Setelah Rudini menemui Habibie untuk melaporkan hasil KPU, segera saja kelompok Habibie menyiapkan strategi untuk mengamankan diri. Pertama, argumentasi pengesahan. Meski secara keseluruhan partai yang tak menandatangani lebih banyak, Habibie memakai logika keterwakilan rakyat. Partai yang menandatangani tercatat 17 partai, yang abstain 4 partai, sedangkan yang menolak 27 partai. Tetapi partai yang tanda-tangan memiliki suara sah sebanyak 98.348.208 biji atau 93,03 % dari total suara yang masuk. Sementara 27 partai yang sering "diburukkan" media dengan istilah partai gurem, mewakili 6.741.951 suara atau hanya 6,38 % dari total suara, sisanya abstain. Strategi ke dua, menggunakan media untuk membentuk opini massa. Pidato Habibie langsung ditayangkan menggusur berita-berita di Dunia Dalam Berita yang direlay semua stasiun televisi dan mengisi prime time tertinggi (waktu siaran yang paling banyak penontonnya). Esoknya, hampir semua koran pidato itu menjadi headline, seperti yang ditulis Kompas, "Presiden: Hasil Pemilu Sah". Ini diimbangi dengan berita-berita yang mendiskreditkan KPU, sebagaimana juga ditulis Kompas di halaman pertama, "KPU Ingkari Jerih Payah Jutaan Pemilih". Karenanya gagallah skenario militer untuk intervensi dan ambil posisi. Rudini sendiri yang dikonfirmasi Xpos menyatakan, "Lho tanda-tangan atau tidak itu adalah hak partai. Bukan karena ingin situasi jadi kacau, tapi kami ingin penghitungan yang benar-benar mencerminkan realitas, jujur, dan adil. Saya tidak tanda-tangan karena alasan itu di mana Dewan Pimpinan Pusat Partai yang memutuskan, saya tak berhak mengubahnya." Padahal secara legal, tindakan Habibie ini tidak ada legitimasi yuridisnya, baik berdasarkan UU No. 3 tahun 1999 maupun Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 tahun 1999. Hanya saja, tak ada media yang mengeksploitisir hal ini. Kecenderungan mengopinikan partai-partai gurem sebagai "kambing hitam" sudah terlalu kuat. Sehingga, apa yang dilakukan Habibie "asalkan berbeda dengan keinginan partai-partai gurem tadi" takkan terlalu jadi soal. Tampaknya pihak militer atau siapapun yang akan melakukan intervensi, sadar betul dengan situasi yang sekarang berkembang. Dengan situasi psikologis masyarakat yang justru mendukung langkah-langkah Habibie, sulit memainkan isu mendiskreditkan Habibie. Justru bagi masyarakat awam, Habibie adalah 'pahlawan' yang berusaha menyelematkan pemilu. Bukannya orang yang gagal menyelenggarakan pemilu -seperti yang hendak diopinikan. Apakah tindakan Habibie itu benar, pasti jadi perdebatan hukum yang sulit dan dilematis. Namun, dalam situasi yang tidak normal, hal-hal semacam ini tak jarang terjadi. Jalan menuju Indonesia yang demokratis agaknya memang masih panjang. Apalagi jika pihak yang berniat intervensi, masih saja terus mencari peluang. Dan itu berarti, dalam Sidang Umum MPR mendatang. Berdoa sajalah.(*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html