Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 26/II/1-7 Agustus 99 ------------------------------ BENANG KUSUT KPU (POLITIK): Setelah KPU gagal, prosedur pengesahan pemilu jadi pelik. Mungkinkah Habibie beri jatah kursi bagi parpol-parpol gurem? Sesuai perkiraan, partai-partai gurem di Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang akhirnya kembali berulah. Dari 48 partai politik yang bertarung dalam pemilu, hanya 17 yang bersedia menandatangani berita acara penghitungan suara akhir. "Empat wakil parpol tidak hadir, sedangkan 27 parpol lebih besar dari perkiraan sebelumnya, yakni 22 parpol tak mau tanda tangan. Alasan yang dikemukakan oleh mereka yang menolak: pemilu yang baru berlangsung tidak berjalan secara jujur dan adil, "Meskipun di kalangan wartawan telah beredar kabar bahwa alasan penolakan sebenarnya untuk mendapatkan 'tawaran' dari pemerintah maupun partai-partai pemenang pemilu. Tawaran itu konon adalah uang sejumlah Rp850 juta per kepala dan jatah satu kursi di DPR/MPR. Lepas dari motif yang melatar-belakangi ulah parpol-parpol gurem ini, masalah kini sudah muncul di depan mata. Dalam Undang-Undang (UU) No. 3 tentang Pemilu disebutkan bahwa pemilu dapat dianggap sah bila ditanda-tangani oleh 2/3 anggota KPU. Jelas, bahwa persyaratan ini belum terpenuhi dengan hanya 17 penandatangan dari parpol ditambah 5 dari wakil pemerintah. Pertanyaannya, apakah dengan sendirinya pemilu dapat dikatakan tidak sah? Ternyata tak sesederhana itu. Sebab, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit menyatakan hal itu. Kesulitannya, kini, adalah menentukan pihak mana yang berhak mensahkan pemilu, jika KPU ternyata tidak mampu. Banyak pihak yang memilih cara gampang: menyerahkannya begitu saja pada presiden untuk mengambil kata akhir. Toh ia dianggap sudah punya legitimasi moral untuk melakukan itu. Yaitu, dari ke-17 parpol penanda tangan berita acara penghitungan suara yang jika ditotal jumlah suara mereka mencapai 93,03 persen atau 98.348.208 suara dari seluruh pemilih yang ikut pemilu. Bandingkan dengan 6,38% yang diraih oleh ke-27 parpol gurem yang menolak menandatangani. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 tahun 1999, memang presiden memiliki kewenangan akhir sebagai penanggungjawab pemilu. Namun peran tersebut sebenarnya lebih bersifat administratif, yang dilakukan setelah mendapatkan ketetapan dari KPU. Artinya, peran paling strategis tetap saja dimiliki oleh KPU. Dengan demikian, dalam kerangka hukum-formil, pilihan untuk menyerahkannya putusan ke tangan presiden bukanlah pilihan yang baik. Pilihan ini pun mengandung konsekuensi lain. Sebab, ini berarti memberikan 'kekuasaan' lagi pada presiden untuk menjadi faktor penentu. Ini tentu bertentangan dengan kehendak sebagian orang untuk membatasi kekuasaan presiden. Dikhawatirkan, hal ini akan menjadi preseden di kemudian hari. Misalnya, bila suatu saat pemilu berlangsung 'jurdil' dan presiden dengan kekuasaannya justru memutuskan yang sebaliknya. Di sisi lain, keputusan yang cepat harus segera diambil. Pasalnya, pemilu yang dinilai sebagian besar masyarakat telah berlangsung 'mulus' ini, sangat diharapkan untuk segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah berikutnya hingga terbentuk pemerintahan baru yang mempunyai legitimasi rakyat. Supaya suasana ketidakpastian ini segera berakhir dan krisis politik dan ekonomi yang telah cukup lama melanda dapat mulai diatasi. Itu sebabnya, banyak yang tak sabar dan menghendaki presiden segera turun tangan. KPU sendiri, seperti dikemukakan ketuanya, Rudini, berniat menyerahkan begitu saja berita acaranya pada presiden. "Selanjutnya, terserah presiden," ujar Rudini. Namun, Presiden Habibie tampaknya tak mau segera mengambil keputusan dan lebih memilih untuk mendelegasikan wewenang pada Panitia Pengawasan Pemilu (Panwaslu) Pusat sebelum resmi disahkan. Soalnya, dengan menyerahkan lagi ke Panwaslu, kembali akan muncul persoalan prosedural. Nyatanya dalam UU No. 3/1999 maupun PP No. 33/1999, wewenang Panwaslu tak sampai sejauh itu. Dan benar saja, buru-buru KPU segera menyatakan keberatannya. "Wewenang Panwaslu Pusat hanyalah melakukan pemeriksaan terhadap keabsahan alasan anggota KPU yang menolak menandatangani berita acara penghitungan suara," ujar Rudini. KPU, meskipun bisa melakukan pemeriksaan, namun hasilnya hanyalah berupa rekomendasi. Jadi, penetapan pemilu sepenuhnya merupakan wewenang KPU. Dalam situasi seperti ini, Habibie lagi-lagi diposisikan sebagai pengambil keputusan strategis. Belum jelas apa persisnya langkah yang akan ia ambil. Berbagai kemungkinan bisa terjadi. Pengamat politik LIPI Hermawan Sulistyo percaya Habibie akan melakukan lobi pada parpol-parpol gurem. Kemungkinannya adalah mereka ditawari berbagai fasilitas atau materi supaya bisa mensahkan hasil pemilu. Atau yang lebih buruk, tuntutan mereka untuk mendapat masing-masing satu jatah kursi di MPR akan dipenuhi. Jika pilihan terakhir yang diambil, ini berarti keuntungan besar buat Habibie. Sebab, ia tak mungkin memenuhi permohonan itu tanpa mengharapkan imbalan. Imbalan yang akan sangat berarti dalam pertarungan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR nanti. Berdoalah agar hal itu tak terjadi, karena kemungkinan seperti itu cukup terbuka. Politik kotor yang selama ini menjadi penghambat utama reformasi, takkan pernah tercabut dari akarnya. "Yang perlu kita pikirkan, seharusnya, bagaimana memberi sanksi bagi parpol-parpol gurem itu. Bukannya memberikan mereka konsesi-konsesi politik," ujar Muflizar, Presidium Monitoring KIPP. Caranya? "Menyuruh mereka mundur dari KPU karena parpol-parpol itu tak memperoleh batas 2% suara yang disyaratkan undang-undang untuk eksis sebagai partai politik. Sebab jika tak mundur, mereka masih akan mengacau di sana (KPU) hingga 5 tahun mendatang." Nah, siapa yang tahan? (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html