Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 26/II/1-7 Agustus 99
------------------------------

PRO OTONOMI TIMTIM CURI KESEMPATAN

(POLITIK): Kelompok Pro otonomi Timtim bergerilya untuk memenangkan Pemilu.
Termasuk membuat KTP palsu untuk masyarakat di Timor Barat.

Bukti baru kecurangan dari milisi dan kelompok pro otonomi di Timtim yaitu
beredarnya KTP palsu di Timtim. Tepatnya di Balibo dan Maliana, saat ini
santer beredar KTP palsu yang kabarnya Pemda Bobonaro memberikan secara
cuma-cuma kepada warga seberang, yakni dari Atambua dan Kefamenanu, padahal
kedua daerah itu merupakan bagian dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekitar
7000 lebih warga dari Atambua dan Kefa yang diberikan KTP secara gratis,
tapi mereka tetap saja ditolak oleh UNAMET karena tak ada bukti pendukung
yang kuat yakni surat permandian dari gereja seperti yang ditetapkan oleh
UNAMET.

Gara-gara penolakan itulah, milisi mengancam dan menteror petugas UNAMET di
dua pos pendaftaran di Balibo, sehingga UNAMET mengambil kebijakan untuk
menutup kedua pos tersebut. Karena itulah, maka Sekjen PBB Kofi Annan pada
Rabu (28/7) kemarin menyatakan situasi keamanan di Timor Timur masih tidak
memadai. Dan kemungkinan, jajak pendapat di Timor Timur akan diundur kembali.

PBB sebenarnya juga enggan mengubah tanggal lagi karena tidak ingin memberi
kesan yang dapat memberi angin kepada para milisi bersenjata untuk terus
mengintimidasi masyarakat. Sebaliknya, kalau tidak diundurkan atau bahkan
tidak dibatalkan sementara, itu bisa menjadi risiko membiarkan rakyat Timtim
untuk menentukan pilihan di tengah ketidakamanan. Mundur seminggu atau dua
minggu, hal itu bagi Jakarta merupakan suatu pukulan. Ketidakpastian karena
Kofi Annan tidak menyebut tanggal -ini pun sudah merupakan isyarat
diplomatik kepada Jakarta.

Pada saat yang sama, di Singapura, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat
Madeleine Albright juga memperingatkan pentingnya Indonesia menjaga keamanan
di Timor Timur. Meski wakil Amerika dan Uni Eropa berbasa-basi memuji upaya
Indonesia dalam membantu UNAMET, toh Menlu Ali Alatas di muka wakil-wakil
Amerika, Rusia, Cina dan ASEAN, perlu memberi penjelasan panjang lebar
mengenai Timor Timur. Lagi pula, kalau negara-negara donor bersidang di
Paris Jumat (30/7) besok, mereka dan Bank Dunia bermaksud menimbang situasi
jajak pendapat Timtim dalam membahas pinjaman baru sebesar lima milyar dolar
itu. Singkatnya, Sekjen PBB Kofi Annan berada dalam posisi yang kuat untuk
mengambil keputusan yang pahit sekalipun. Karena itu pihak Jakarta tampaknya
mulai kesal juga menantikan lampu hijau PBB.

Untuk memperkuat argumentasi Sekjen PBB itu, di Dili Rabu (28/7) lalu sebuah
Komite yang diberi nama Komite Independen untuk Pemantau Pemungutan Suara
(KIPER) Timtim telah mendapatkan sejumlah kasus selama dua pekan pendaftaran
penentuan pendapat Timtim. Kasus yang paling mencolok adalah teror dan
intimidasi terhadap warga masyarakat yang ikut mendaftar. Sosialisasi
persyaratan pendaftaran masih sangat kurang. Staf UNAMET lebih mengutamakan
keamanan diri dan fasilitas yang dipakai, ketimbang menjamin rasa aman
masyarakat.

Dalam konferensi pers dengan wartawan dalam dan luar negeri di Dili, Rabu
(28/7), KIPER Timtim, Yeni Rosa Damayanti, yang didampingi Sekretaris
Eksekutif, Amandio de Araujo mengatakan, sekitar 758 tim relawan KIPPER
telah mengadakan pemantuan pendaftaran di 137 dari 197 polling station yang
ada di 13 kabupaten di Timtim, menemukan adanya teror dan intimidasi
terhadap masyarakat yang ikut mendaftar.

"Selain masalah jarak, kendala lain yang dihadapi sebagian  masyarakat yakni
upaya yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk menghalang-halangi
penduduk yang hendak mendaftar. Misalnya, penghadangan di jalan, didatangi
dan diancam dari rumah ke rumah," kata Yeni Rosa.

Kehadiran ribuan penduduk Timtim, katanya, dari balik gunung dan bukit, yang
menempuh perjalanan panjang dan sulit, dengan mempertaruhkan keselamatan
mereka, dengan harapan bisa didaftarkan. Tetapi sayang, karena kelengkapan
administrasi tidak cukup, mereka terpaksa pulang.Tampaknya gambaran
kerinduan rakyat Timtim untuk menentukan nasibnya sendiri, sangat tinggi.

Masalah teknis berupa kekurangan pelengkapan persyaratan pendaftaran, dan
masih banyak warga Timtim belum memahami  persyaratan itu. Disamping itu,
masih banyak anggota masyarakat tidak mengerti dimana lokasi pendaftaran.
Informasi mengenai persyaratan pendaftaran tidak sampai kepada masyarakat,
atau sampai kepada masyarakat tetapi tidak dipahami. Sosilisasi melalui
media massa kurang efektif karena komunikasi sangat terbatas apalagi bagi
masyarakat yang tidak berpendidikan.

Bisa dibuktikan, di bagian barat seperti Liquica, Bobonaro, Ermera, dan
Covalima, terdapat bendera merah putih di setiap halaman rumah penduduk.
Pemasangan bendera itu, karena teror dan intimidasi dari kelompok tertentu.

Bentuk intimidasi "ringan" lain yakni pro integrasi memberikan pengumuman
kepada warga masyarakat agar tidak mendaftar, jika membandel keselataman
mereka akan diganggu. Sekelompok masyarakat juga melakukan patroli keliling
desa/kota, dengan tujuan meneror dan mengintimidasi masyarakat yang sedang
pergi menuju tempat pendaftaran. Tindakan ini dimaksudkan untuk memancing
emosi masyarakat, sehingga mereka dapat melakukan kekerasan fisik
(penyerangan, pemukulan dan penembakan).

Jeff Fischer, pimpinan pendataan UNAMET, pekan lalu sudah mengisyaratkan
penundaan jajak pendapat sulit dihindarkan. Kalau registrasi selesai pada 4
Agustus, UNAMET masih memerlukan waktu sedikitnya 10 hari untuk melayani
klaim-klaim dan gugatan-gugatan, lalu mengirim dan menggarap data registrasi
di Sydney, Australia, sebelum menyiapkan pra-sarana untuk kampanye dan
pencoblosan. Maka tidak mengherankan bahwa Sekjen PBB, berdasarkan laporan
bos UNAMET Ian Martin, menyimpulkan bahwa situasi keamanan masih
"inadequate", artinya tidak memadai. Menurut kalangan diplomat, selama
milisi-milisi masih di luar jangkauan hukum dan perletakan senjata belum
tuntas, keamanan tidak mungkin akan memadai. Komisi Perdamaian dan
Stabilitas (KPS) yang mengurus soal perletakan senjata sudah bergerak,
milisi dan gerilyawan sudah bertemu, bahkan KPS, bersama polisi PBB sudah
berembug dengan komandan Falintil Taur Matan Ruak, tetapi sampai sekarang
sama sekali belum terjadi pengumpulan senjata.

Syarat lain dari New York, yaitu "redeployment", atau pemindahan pasukan TNI
ke tempat-tempat tertentu, juga belum terlaksana. Dengan kata lain,
tampaknya belum ada terobosan tentang siapa yang berhak mengumpulkan
senjata. Selama Jakarta tetap tidak mengakui invasi 1975 sebagai sumber
utama masalah Timor Timur, maka Jakarta beranggapan bukan PBB, melainkan
TNI-lah yang harus menerima senjata, padahal Falintil justru menuntut PBB
sebagai penengah yang sah. Sementara itu pihak pro integrasi mulai bingung
karena mereka yakin akan kalah. Hal ini terungkap dari beredarnya dokumen
Mayjen Garnadi, surat Bupati Tarman dan pernyataan Mentranskop Hendropriyono
yang semuanya senada, yaitu mengkhawatirkan gelombang eksodus ke Timor
Barat. Sedangkan juru bicara Satgas Pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timtim
(P3TT) Dino Pati Jalal sempat sewot dengan kampanye UNAMET. Masalahnya
UNAMET menerangkan kepada rakyat bahwa otonomi itu berarti punya kamar
sendiri di dalam sebuah rumah yang bernama Indonesia. Jadi kalau menolak
otonomi berarti ingin punya satu rumah sendiri yang bernama Timor Timur. (*) 

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Reply via email to