Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 26/II/1-7 Agustus 99 ------------------------------ UTANG BARU UNTUK ORANG-ORANG DEKAT (EKONOMI): Utang luar negeri dipakai biayai proyek-proyek rugi. Yang dijaga kepentingan orang-orang dekat Habibie. Sungguh enak jadi keluarga Cendana. Kendati sudah tak berkuasa, namun kedekatan dengan Habibie membuat kepentingan-kepentingan mereka tetap terjaga. Tak percaya? Tengok saja kasus pembelian proyek listrik swasta Tanjung Jati B. Proyek yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Mbak Tutut ini "melalui PT Impa Energy Co." dibeli oleh pemerintah dengan menggunakan dana pinjaman dari Jepang. Padahal, seperti pernah diberitakan berbagai media massa, proyek-proyek listrik swasta semacam ini yang dibangun di masa Orde Baru, adalah proyek rugi bagi PLN. Sebab, kenyataannya perusahaan negara itu masih memiliki suplai listrik yang berlebih. Pembelian proyek tersebut, menurut Marzuki Achmad, Ketua Komisi V bidang pertambangan dan energi, sebetulnya boleh dibilang murah. Karena nilainya berkurang hingga US$700 juta. Dari semula US$1,8 miliar menjadi US$1,1 miliar. Harga jual per kwh-nya pun turun US$0,029. Dari US$0,05/kwh menjadi US$0,021, yang berarti masih di bawah patokan harga jual rata-rata PLN sebesar US$0,034/kwh. Namun, mengapa harus proyek Tanjung Jati B yang di-buy out, bukan listrik swasta lain yang totalnya mencapai 26 proyek? Agaknya karena proyek ini ada hubungannya dengan keluarga Cendana yang kepentingannya masih dilindungi oleh Habibie. Kecenderungan kolusi dalam penggunaan dana pinjaman luar negeri (baca: utang) untuk membiayai berbagai proyek milik orang dekat Habibie, bukan itu saja. Setelah mendapat persetujuan Bappenas, dalam waktu dekat proyek subway yang sempat tertunda karena krisis moneter pun bakal segera diwujudkan. Seperti diketahui, proyek yang awalnya melibatkan konsorsium investor dari Inggris dan Jerman ini dipimpin oleh Aburizal Bakrie, orang kepercayaan Habibie yang disebut-sebut sebagai bagian dari Tim Sukses Habibie dalam Sidang Umum MPR nanti. Proyek lain lagi yang lolos 'seleksi' Bappenas adalah pembangunan tol lingkar luar Jakarta milik Tutut. Bappenas dan Habibie tampaknya tak peduli kalau proyek-proyek tersebut justru kian memberatkan beban utang luar negeri Indonesia. Kenyataannya, sulit mengharapkan keuntungan dari proyek-proyek infrastruktur dan manufaktur semacam itu, lantaran orientasinya adalah pasar domestik yang mengandalkan pada penerimaan rupiah. Padahal, dana yang dibutuhkan untuk pembangunannya sangat besar. Dana pinjaman untuk pembiayaan proyek-proyek ini sendiri berasal dari Jepang, yaitu dari Miyazawa Plan, Obuchi-Clinton Plan maupun Spesial Yen Loan. Pinjaman itu diberikan karena proyek-proyek tersebut sebetulnya sejak awal telah melibatkan baik modal maupun teknologi Jepang di dalamnya, yang dengan sendirinya menguntungkan mereka. Semestinya, menurut ekonom Sri Mulyani Indrawati, dengan jumlah utang luar negeri yang telah mencapai US$152 miliar, pembiayaan yang menggunakan dana utang harus penuh pertimbangan. Jika utang terus ditumpuk "akan menyebabkan tak mampunya perekonomian bergerak, rawan risiko dan menimbulkan disinsentif bagi pengelola ekonomi untuk mencapai kinerja baik, akibat terlalu besarnya kewajiban membayar utang." Justru yang harus diupayakan adalah mengurangi ketergantungan pada utang. Dalam perhitungan Jeffrey Winters, ekonom asal Northwestern AS, untuk mengembalikan utang luar negeri Indonesia, dibutuhkan waktu 50 tahun. Itu pun 140 juta orang Indonesia usia produktif harus bekerja 24 jam sehari dan "utang Indonesia harus distop." Tak boleh tambah lagi. Sayangnya, apa yang dikemukakan para pakar ini tak diindahkan oleh Habibie. Ia masih sibuk dengan usaha kerasnya melindungi kepentingan orang-orang dekatnya. Pengadilan terhadap pelaku-pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme di masa Orde Baru tak pernah berlangsung hingga tuntas. Apalagi tuntutan untuk mengadili Soeharto. Kabarnya, Habibie malah senang jika Soeharto meninggal dunia. Karena dengan begitu, ia tak lagi punya kewajiban memenuhi tuntutan rakyat untuk mengadili Soeharto, hal yang membuat dirinya selama ini dicap tidak reformis. Akar KKN bukannya tercerabut, malah makin menguat. Akibatnya, kepercayaan internasional yang sangat penting bagi masa depan Indonesia, belum mau pulih. Sebuah memo internal berjudul "Mengapa Tingkatan Korupsi (di Indonesia) Belum Akan Berubah?" yang kini beredar di internet dan diyakini berasal dari Bank Dunia, menunjukkan hal ini. Disebutkan bahwa "kelemahan institusi yang menyebabkan korupsi belum berubah." Lalu, "inisiatif anti-korupsi Indonesia, sehubungan dengan program pemberian pinjaman bank, terasa tidak meyakinkan." Dengan adanya kenyataan-kenyataan ini, sulit mengharapkan perbaikan menyeluruh di bidang ekonomi, bila kelak Habibie kembali terpilih sebagai presiden dalam SU-MPR mendatang. Malah menurut Jeffrey Winters, bila pemerintah yang sekarang berkuasa tidak berganti, Indonesia akan menderita kerugian sekitar US$5 miliar hingga US$10 miliar (Jeffrey berpendapat, kebocoran dana pinjaman Bank Dunia yang bisa mencapai US$10 miliar, terjadi sepengetahuan lembaga tersebut, karena itu Bank Dunia harus dituntut bertanggung jawab mengembalikan pada Indonesia. Dan tuntutan itu hanya bisa dilakukan jika terjadi pergantian rezim yang tak terlibat KKN). Jadi, lihat saja siapa yang nanti jadi presiden. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html