Precedence: bulk


Sobron Aidit :


           CERITA DARI TANAH PENGASINGAN (30)
             ( Seri Pramoedya Ananta Toer )

Mengapa tulisan ini kumasukkan dalam ruangan Cerita Dari Tanah Pengasingan?
Dan bahkan mungkin akan kuakhiri dengan Seri Pramoedya Ananta Toer ini.
Karena pada suatu pertemuan antara kami, yang kami namakan pertemuan antara
"para sastrawan dan budayawan eksilan se Eropa" dengan Pram di Holland pada
tanggal 3 Juli 1999, sebelum rombongan ini kembali ke Indonesia keesokan
harinya, tanggal 4 Juli 1999,- ada dikatakan Pram : "pada pokoknya kita ini
sama-sama pernah diasingkan, sama-sama terkena buangan dari pemerintah
Orba-Abri-Suharto. Yang satu di luarnegeri, yang lainnya di penjara-penjara
dan Pulau Buru. Keduanya sama-sama kena pengasingan, yang satu dengan
kekuatan senjata dan penyiksaan kongkrit, yang satunya lagi oleh dampak
kekuasaan politiknya yang fasis. Bedanya hanya pada berat-ringannya secara
kongkrit, secara fisik dan psychis. Dan tokh sampai kini kalian belum boleh
pulang walapun sudah boleh datang, hanya sebagai turis".-

Maka bertemulah teman-teman Pram dan "anak-didik"nya yang sudah puluhan
tahun terpisah yang sama-sama pernah terasingkan. Kami saling melepaskan
rindu dan kekangenan. Kami ngobrol - berkelakar - tanya-jawab banyak soal,
dan bergurau melepas rasa nostalgik.

Aku mengenal Pram sejak tahun 1951, ketika dia masih di Balai Pustaka.
Ketika itu umurku baru 17 tahun dan sering ke Balai Pustaka buat bertemu
dengan banyak pengarang. Ruangan Balai Pustaka yang besar dan luas itu,
tanpa kamar-kamar, tapi penuh meja-meja, dan mereka yang bekerja di
situ pada umumnya adalah sebagai redaktur Balai Pustaka, baik majalah yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka maupun sebagai buku tersendiri. Antara meja
saling berdekatan, dengan demikian antara sesama pekerja di ruangan itu
menjadi terbuka secara umum. Karenanya, disamping menemui Pram, bisa juga
menemui Anas Makruf, Amal Hamzah, Taslim Ali atau M. Balfas, yang semuanya
adalah para sastrawan dan penyair. Kebanyakan mereka, kini sudah lama meninggal.

Pram juga banyak menunjukkan dan mengajariku bagaimana caranya mengarang
dan membuat cerpen. Dan selalu kuberikan dulu kepada Pram sebelum
kukirimkan kepada beberapa majalah, dan dia dengan rela dan penuh dengan
rasa tanggungjawab menunjukkan apa saja yang diketahui dan dikuasainya.
Kurasakan bantuannya cukup banyak padaku. Lebih dari perkenalan ini, secara
kebetulan aku sendiri satu kelas dengan dua adiknya,- Koesaisah Toer dan
Koesalah Soebagyo Toer. Kami satu kelas ketika di Taman Dewasa Taman Siswa
Kemayoran. Juga aku mengenal adiknya yang lain seperti Waloeyadi Toer dan
Soesilo Toer. Mereka pada pokoknya semua menulis, kecuali Koesaisah yang
belum pernah kuketahui tulisannya di berbagai majalah. Waloeyadi Toer lebih
dikenal sebagai penterjemah sastra. Dan terjemahannya cukup baik dan telah
berhasil banyak dimuat dan diterbitkan oleh berbagai badan penerbitan.

Perkenalan dan pergaulanku dengan Pram dan keluarganya, sampai kami berpisah
pada tahun 1993. Dan betapa rasa senang dan GR-nya aku, namaku ada dalam dua
buku penerbitannya, Hoa Kiau di Indonesia dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Biarlah rasa ge-er itu ada asal saja jangan sampai membesar dan mendominasi.
Anggap saja suatu kekerdilan jiwaku saja adanya!

Istri Pram, Bu Maemunah, kukenal sejak tahun 1954, ketika diadakan Pekan
Buku Indonesia. Pekan Buku pertama di Indonesia yang dibuka sendiri oleh
Menteri PP dan K Mohammad Yamin. Yang mengadakan Pekan Buku itu adalah Tjio
Wie Thay, seorang pecinta kebudayaan dan kesusasteraan Indonesia, yang
kelaknya bernama Mas Agung, dia ini pemilik Toko Buku Gunung Agung. Mas
Agung yang mendirikan Yayasan Idayu yang banyak menerbitakn karya-karya
Bung Karno. Barangkali bukan kebetulan yayasan itu bernama Idayu, karena
nama itu adalah nama keturunan keluarga Bung Karno yang berasal dari Bali.

Pada Pekan Buku inilah tempat bertemu dan berhimpunnya pengarang dan
sastrawan Indonesia. Setiap hari dan setiap senja, para sastrawan muda pada
berkumpul dan juga termasuk mejeng di sana. Dan aku mulai berkenalan dekat
dengan banyak penulis lainnya sepertri Nugroho Notosusanto, Ramadhan KH,
Trisno Sumardjo, Trisnoyuwono dan banyak lainnya. Jauh sebelum ini kami
sudah saling berkawan dan berteman dengan WS Rendra, Ajip Rosidi yang dulu
itu tulisannya masih Ayip Rossidhy, lalu ditanyakan oleh Menteri Yamin,
mengapa harus begitu menulisnya. Maka tulisan namanya berubah sampai kini
ini. Juga dengan Misbach Yusa Biran, SM Ardan, Soekanto SA, Riyono
Pratikto, kami berteman baik. Semoga saja mereka ini tidak merasa keberatan
kutuliskan namanya ini, sudahlah, tak usahlah ingat segala "bersih
lingkungan dan bersih diri" itu lagi. Kan sudah zamannya reformasi kan?!
Dan harapanku, jangan sampai pula para intel dan penguasa lalu mencari
nama-nama ini buat "diverhoor dan diinterogasi" nggak zamannya lagi cara
begituan!

Pada Pekan Buku itulah kami selalu bertiga dengan Pram dan Dullah, seorang
pelukis istana. Kami sama-sama ngincer, karena ada yang ditaksir. Rupanya
Tuhan memperkenankan Pram buat "memetik" Maemunah yang selalu kami namakan
Mimi, sedangkan aku yang naksir Nunung, adiknya, Nursiah, Tuhan tidak
berkenan. "Untung tidak berkenan", kalau tidak, bagaimana mau kasi makan
anak orang, ketika itu awak sangat miskinnya! Dan dua tahun sesudah Pekan
Buku itu, kedua manusia berbahagia itu melangsungkan pernikahannya di daerah
Sawah Besar. Paman Mimi atau Bu Maemunah adalah Husni Thamrin, seorang
pejuang dan Pahlawan Nasional asli dari Betawi, yang namanya sangat
terkenal di kalangan volksraad dulu itu. Jadi perkenalanku dengan Pram dan
seluruh keluarganya memang sudah berlangsung hampir saja setengah abad.
Karena itu ketika pertama kali aku datang ke Jakarta tahun 1993 setelah 30
tahun hidup di luarnegeri, rumah Pram kuperlukan kucari dulu. Dan Mimi
kakakku itu tetap masih segar mengingat namaku dan rupaku.

Ketika mereka "melanglangbuana" di AS, Eropa - Holland - Prancis dan
Jerman, selama tiga bulan lebih, mereka bagaikan trilogi-wisata,
trilogi-perjalanan-kunjungan,- Pram, isterinya Bu Maemunah dan Joesoef
Ishak. Kami anggap mereka bertiga  merupakan kesatuan dalam selama
kunjungannya itu. Mereka sukses selama perjalanan yang sangat berat itu,
setiap hari penuh dengan acara yang padat, adalah karena kesatuan bertiga,
sangat kompak, bersatu, saling memperhatikan, saling mengingatkan. Kesatuan
mereka bertiga benar-benar sangat berperanan dalam dan selama kunjungan
yang berat ini. Kalau dalam kunjungan ada nama trilogi ini, maka dalam
penerbitan Pram, juga ada triloginya. Tanpa trilogi atau trias-humanica
ini, tak mungkin kita akan mendapatkan buku-buku Pram. Mereka bertiga
adalah Pram - Hasyim Rachman dan Yoesoef Ishak. Mereka bertiga inilah yang
dapat dan sangat berjasa dalam menyajikan semua karya Pram yang kini bisa
dinikmati dunia.

Mereka bertiga mendirikan penerbitan yang bernama Hasta Mitra atau Tangan
Sahabat. Di Holland nama itu dengan nama Manus Amici, dengan pengertian
yang sama. Penerbitan Hasta Mitra-lah yang paling berjasa memperkenalkan
Pram ke dunia luar, ke luarnegeri. Tanpa penerbitan ini, mungkin Pram belum
akan menjadi yang sekarang ini. Dengan penerbitan Hasta Mitra, akhirnya
Pram mencapai puncak kariernya sebagai pengarang yang paling besar di
Indonesia. Tak ada seorang pengarang Indonesia yang karyanya sudah
diterjemahkan ke dalam 30 bahasa asing. Dan tak ada seorang pengarang
Indonesia yang telah dinominasikan buat calon pemenang Hadiah Nobel Sastra
Dunia, dan bahkan sudah berkali-kali! Semua ini boleh dikatakan adalah hasil
kerja badan penerbitan Hasta Mitra ini.

Kami ketika pada pertemuan di Holland itu, sama menundukkan kepala tanda
berdukacita, mengenang meninggalnya Hasyim Rachman pada tanggal 28 Juni
1999 di Jakarta. Kami mengerti sepenuhnya, kalau rombongan ini sangat
terpukul dengan meninggalnya Hasyim Rachman, teman sekerja Pram dan Joesoef
sejak di Bintang Timur sampai Pulau Buru dan sampai akhir hidupnya.
Rombongan ini dengan usianya rata-rata di atas 70 tahun, bukan lagi
"sepantasnya" menempuh perjalanan begitu jauh, begitu lama dan begitu
berat. Tetapi karena dukungan banyak orang, banyak teman dan sahabat, dan
juga mendukung hasil kerja dan hasil karyanya sendiri, semangat yang
menyala-nyala itu tetap terpelihara dengan baik dan utuh.

Paris 7 Juli 1999,-

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke